CHAPTER 1 INTRODUCTION
CHAPTER 2 LITERATURE REVIEW
2.1 OBAT ANTI INFLAMASI Obat antiinflamasi dibagi menjadi dua, yaitu golongan steroid dan non steroid. 2.1.1 KORTIKOSTEROID Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di korteks kelenjar adrenal. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku.
Kortikosteroid dibagi berdasarkan kerjanya menjadi dua kelas, yakni glukokortikoid dan mineralokortikoid. Glukokortikoid berperan untuk menekan inflamasi, juga meregulasi metabolisme energi dengan memecah protein dan lemak menjadi glukosa (glukoneogenesis). (contohnya kortisol) yang berperan mengendalikan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, juga bersifat anti inflamasi dengan cara menghambat pelepasan fosfolipid, serta dapat pula menurunkan kinerja eosinofil.
Hormon dari glukokortikoid adalah kortisol (hidrokortison), kortison. Sementara, sintetisnya antaralain, - -metilprednisolon, prednisone, prednisolon, triamsinolon, parametason, betametason, dan deksametason. Mineralokortikoid berfungsi mengatur kadar elektrolit dan air, dengan cara penahanan garam di ginjal. Obatnya antaralain aldosteron dan fluorokortison. 2.1.2 OAINS (OBAT ANTI INFLAMASI NON-STEROID) Secara umum peradangan dapat diartikan sebagai suatu respon tubuh terhadap stimulus yang disebabkan oleh adanya cedera. Proses peradangan dapat timbul oleh beberapa hal seperti infeksi, antibodi dan trauma fisik. Apapun penyebab peradangan, responnya secara klasik hampir sama yaitu berupa kalor (panas), dolor (nyeri), rubor (kemerahan), dan tumor (bengkak). Obat antiinflamasi (anti radang) non steroid, atau yang lebih dikenal dengan sebutan NSAID (Non Steroidal Anti-inflammatory Drugs) adalah suatu golongan obat yang memiliki khasiat analgesik (pereda nyeri), antipiretik (penurun panas), dan antiinflamasi (anti radang). Mekanisme kerja NSAID didasarkan atas penghambatan isoenzim COX-1 (cyclooxygenase-1) dan COX-2 (cyclooxygenase-2). Enzim cyclooxygenase ini berperan dalam memacu pembentukan prostaglandin dan tromboksan dari arachidonic acid. Prostaglandin merupakan molekul pembawa pesan pada proses inflamasi (radang). Penghambatan terhadap enzim cyclooxygenase-2 (COX-2) diperkirakan memediasi efek antipiretik (penurunan suhu tubuh saat demam), analgesik (pengurangan rasa nyeri), dan antiinflamasi (anti-peradangan). Sedangkan penghambatan enzim COX-1 menyebabkan gangguan pada pencernaan. Oleh karena itu NSAIDs yang ideal adalah NSAIDs yang hanya menghambat enzim COX-2 tanpa mengganggu enzim COX-1. NSAIDs digunakan terutama untuk mengurangi nyeri dan demam yang menyertai peradangan. Seperti nyeri pada infeksi gigi-gusi, Nyeri pada penyakit rematik dan nyeri serta peradangan akibat trauma fisik. Klasifikasi NSAID: 1) Asam Salisilat diantaranya, aspirin, sodium salicylate
2) Indoles (Indomethacin) 3) Asam Fenamat diantaranya, mefenamic acid, meclofenamate sodium 4) Derivat Pirol diantaranya, diklofenak, indometasin, proglumetasin, dan oksametasin 5) Asam Propionat diantaranya, ibuprofen, alminoprofen, fenbufen, indoprofen, naproxen, dan ketorolac 6) Derivat Pyrazolone diantaranya, fenilbutazon, ampiron, metamizol, dan fenazon 7) Derivat Oxicam diantaranya, piroxicam (feldene), meloxicam (mobic) 8) COX-2 Inhibitors 2.2 KARAKTERISTIK NSAIDS NSAIDs secara klinis digunakan sebagai antipiretik, analgesik dan antiinflamasi. Obat ini sangat efektif dalam menurunkan suhu tubuh saat demam (antipiuretik). NSAIDs dipakai juga untuk analgesik dalam menangani sakit ringan sampai sedang seperti myalgia, dental pain, dysmenorrhea dan sakit kepala. Tidak seperti analgesik jenis opoid yang tidak boleh karena ada efek depresi neurologis. Sebagai antiinflamasi NSAIDs digunakan untuk merawat kondisi tegang otot, tendinitis dan bursitis. Selain itu, obat ini juga digunakan untuk merawat penyakit kronis dan inflamasi arthritis rheumatoid, osteoarthritis, dan macam-macam arthritis lain seperti gouty arthritis dan ankylosing spondylitis. 2.2.1 INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI Indikasi diberikan pada pasien yang mengalami inflamasi, rasa sakit dan demam. Faktor ko-morbid dapat meningkatkan resiko seperti perdarahan GI termasuk riwayat ulser, usia lanjut, status kesehatan yang buruk, pemakaian obt NSAID yang lama, merokok dan penggunaan alkohol. Semua itu dapat menyebabkan efek pada ginjal, sehingga dalam penggunaan NSAID harus hati-hati bagi pasien yang memiliki penyakit gagal jantung, hipertensi, dan edema. Kontraindikasi dari obat ini adalah bagi orang yang memiliki hipersensitivitas pada salisilat atau NSAID yang lain. Asma merupakan salah satu bentuk hipersensitivitas. Kontraindikasi lainnya bagi orang yang memiliki riwayat perdarahan GI, iritasi gastric, atau peptic ulcer. NSAIDs juga tidak boleh digunakan saat kehamilan, karena efek
aktivitas prostaglandin akan mengganggu perkembangan embrio terutama pada bulan terakhir kehamilan. 2.2.2 FARMAKOKINETIK NSAIDs memiliki banyak golongan, yaitu: 1.
Salisilat
2.
Derivat asam propionat
3.
Derivat indol dan inden
4.
Derivat Pirol
5.
Fenamat
6.
Oksikam
7.
Nabumeton
8.
Pirazolon
9.
Selektif penghambat COX-2
10. Acetaminofen Masing-masing golongan obat memiliki waktu mencapai puncak level plasma, waktu paruh plasma, ikatan protein serta berapa banyak yang dieksresi oleh urin yang berbeda-beda. Berikut tabel yang akan menjelaskan farmakokinetik dari beberapa macam golongan NSAIDs. Tabel 1. Farmakokinetik dari NSAIDs
2.2.3 FARMAKODINAMIK Aksi antiinflamasi dari NSAIDs dengan cara menginhibisi biosintesis prostaglandin oleh cyclooxigenase (COX)-2. COX-2 adalah cyclooxigenase (COX) predominan yang
termasuk dalam produksi dari prostaglandin selama proses inflamasi berlangsung. Prostaglandin E dan F menyebabkan beberapa manifestasi inflamasi baik lokal maupun sistemik seperti vasodilatasi, hyperemia, meningkatkan permeabelitas vascular, bengkak, sakit, dan meningkatkan migrasi leukosit. NSAIDS konvensional, seperti aspirin, ibuprofen, dan asam mefenamat memblok lebih banyak COX-1 dari pada COX-2. COX-1 mensintesis prostaglandin di lambung, ginjal, dan platelet, sehingga jika enzim ini terhambat akan mengganggu fungsi normal lambung, ginjal, dan platelet. Sedangkan COX-2 mensintesis prostaglandin hanya pada tempat inflamasi, sehingga jika hanya enzim COX-2 yang terhambat, maka akan mencegah pembentukan prostaglandin di tempat inflamasi saja. NSAIDs memperberat mediator inflamasi seperti histamin, bradikinin dan 5hidroksitriptamin. Semua NSAIDs kecuali COX-2 selective agent menginhibisi kedua COX isoform. 2.2.4 EFEK SAMPING Efek samping yang dapat terjadi sehubungan dengan pemakainan obat analgetik dapat terjadi dalam bentuk ringan maupun yang lebih serius. Pada umumnya manifestasi obat tersebut dalam bentuk ringan berupa reaksi alergi, rash, dan sebagainya dengan angka kejadian yang relatif kecil untuk paracetamol, metamizol, dan ibuprofen, sedang pada aspirin lebih besar. Efek samping aspirin terutama pada sistem gastrointestinal, berupa dispepsi, nyeri epigastrik, mual dan muntah hingga perdarahan lambung. Hal ini dapat dijelaskan, mengingat bahwa aspirin menghambat COX-1 lebih besar daripada COX-2. COX-1 mensintesis prostaglandin di lambung, ginjal, dan platelet, sehingga jika enzim ini terhambat akan mengganggu fungsi normal lambung, ginjal, dan platelet (Day, 2000). Berbeda dengan aspirin, paracetamol juga bersifat menghambat sintesis prostaglandin tetapi tidak menyebabkan peningkatan sekresi asam lambung oleh karena paracetamol hanya menghambat prostaglandin di pusat (hipotalamus), sehingga aman untuk gangguan lambung, ginjal,dan platelet. Aspirin juga dapat menyebabkan kerusakan hepar, berupa peningkatan aktivitas aminotransferase plasma, sedang hepatitis salisilat umumnya terjadi jika kadar salisilat dalam plasma mencapai lebih dari 250 mcg/ ml. Mirip dengan aspirin, meskipun dari segi keamanan relatif lebih baik, paracetamol juga dapat menimbulkan efek samping
berupa kerusakan pada hepar, terutama pada dosis yang tinggi sekitar 15 gram atau 250 mg/ kg. dan status gizi yang buruk atau pada penderita alkoholik. Efek samping dari asam mefenamat yang sering dijumpai adalah mual, diare, pusing, ruam kulit, leukopenia, dan anemia hemolitik (autoimun). Metamizol meskipun belum banyak data yang dikemukakan sehubungan dengan kejadian efek samping pada hepar, namun beberapa penelitian menyatakan bahwa efek samping metamizol relatif lebih ringan, seandainya ada biasanya karena diberikan bersama obat-obat yang lain. Nimesulide mempunyai efek samping yang sangat minimal, baik pada platelet, lambung, dan ginjal karena obat ini termasuk selektif menghambat COX-2 yang berperan dalam proses peradangan serta hanya menghambat COX-1 dalam jumlah yang relatif kecil (Vane, 1996). Perbandingan antara pemakaian obat COX-2 dengan NSAID konvensional pada pasien dengan osteoarthritis selama 1 tahun membuktikan bahwa pada endoscopy terjadi penurunan nyata kejadian peptic ulcer pada pemakai obat COX-2. Demikian juga efek yang terjadi pada ginjal dan platelet, tidak menyebabkan suatu kerusakan (Day, 2000). 2.2.5 INTERAKSI OBAT Toksisitas NSAIDs pada gastrointestinal akan meningkat jika penggunaan obat ini dikombinasikan dengan kortikosteroid. Oleh karena NSAIDs menurunkan fungsi sintesis prostaglandin, obat ini dapat meningkatkan neprotoksisitas pada agen seperti ampoterisin B, cidofovir, cysplatin, siklosporin, gancyclovir dan vancomycin. 2.2.6 DOSIS Dosis dari NSAIDs dapat dilihat pada table berikut. Tabel 2. Dosis NSAIDs Waktu paruh
Dosis orang
Frekuensi pemberian
(jam)
dewasa (mg)
Aspirin
0.25 + 0.03
300-600
4 jam sesuai kebutuhan
Dislofenac sodium
1.1 + 0.2
50-75
2,3 atau 4 kali sehari
Dislofenac
1.1 + 0.2
25-50
2 atau 3 kali sehari
11 + 2
250-500
2 kali sehari
pottasium Diflunisal
Ibuprofen
2 + 0.5
200-400
3 atau 4 kali sehari
Indomethacin
2.4 + 0.4
25-50
2 atau 3 kali sehari
Ketoprofen
1.8 + 0.3
50-100
3 atau 4 kali sehari
Asam mefenamic
3+1
250
4 kali sehari
Naproxen
14 + 1
250
3 kali sehari
Paracetamol
2 + 0.4
500-1000
4 jam sesuai kebutuhan
Phenylbutazone
56 + 8
100-200
3 kali sehari
Piroxicam
48 + 8
10-20
Sekali sehari
Sulindac
15 + 4
100-200
2 kali sehari
Tenoxicam
60 + 11
10-20
Sekali sehari
2.3 ASAM SALISILAT Macam-macam obat salisilat
Aspirin (asetylsalicylic acid)
Difunisal
Sodium salicylate
Methyl salicylate
salsalate
ASPIRIN Asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin adalah analgesik antipiretik dan anti-inflamasi yang sangat luas digunakan dan digolongkan dalam obat bebas. Aspirin secara klinis digunakan untuk nyeri akut simtompmatik dan demam dan merupakan obat yang penting untuk terapi sejumlah
inflamasi kronik.Selain sebagai
prototip, obat ini merupakan standar dalam menilai efek obat sejenis. 2.3.1 FARMAKOKINETIK Pada pemberian oral, sebagian salisilat diabsorpsi dengan cepat dalam bentuk utuh di lambung, tetapi sebagian besar di usus halus bagian atas karena daerah penyerapannya lebih luas. Waktu paruh aspirin adalah 15menit. Kadar tertinggi dicapai kira-kira 2 jam
setelah pemberian . kecepatan absorpsinya tergantung dari kecepatan disintegrasi dan disolusi tablet, pH permukaan mukosa dan waktu pengosongan lambung. Absorpsi pada pemberian secara rectal lebih lambat dan tidak sempurna sehingga cara ini tidak dianjurkan. Setelah diabsorpsi, salisilat segera menyebar ke seluruh jaringan tubuh dan cairan transelular sehingga ditemukan dalam cairan synovial, cairan spinal, cairan peritoneal, liur dan air susu. Kira-kira 80%-90% salisilat plasma terikat pada albumin. Aspirin diserap dalam bentuk utuh, dihidrolisis menjadi asam salisilat terutama dalam hati, sehingga hanya kirakira 30 menit terdapat dalam plasma. Metabolisme salisilat terjadi di banyak jaringan, tetapi terutama di mikrosom dan mitokondria hati. Salisilat diekskresi dalam bentuk metabolitnya terutama di ginjal, sebagian kecil melalui keringat dan empedu. Diekskresikan melalui urin yang terdiri dari asam salyciuric, eter atau fenol glukorinide, dan asil atau ester glukorinide. 2.3.2 FARMAKODINAMIK Salisilat merupakan obat yang paling banyak digunakan sebagai obat analgesik, antipiretik, dan anti-inflamasi. Aspirin dosis terapi bekerja cepat dan efektif sebagai antipiretik. Dengan dosis ini laju metabolisme juga meningkat. Pada dosis toksik, obat ini justru memperlihatkan efek piretik sehingga terjadi demam dan hiperhidrosis pada keracunan berat. Untuk memperoleh efek anti-inflamasi yang baik, kadar plasma perlu dipertahankan antara 250-300mcg/ml. Kadar ini tercapai dengan dosis aspirin oral 4 gram per hari untuk orang dewasa. Pada penyakit demam reumatik, aspirin masih tetap belum dapat digantikan oleh obat AINS yang lain dan masih dianggap sebagai standard dalam studi perbandingan penyakit artritis reumatoid. 2.3.3 MEKANISME KERJA Efek antipiretik dan antiinflamasi salisilat terjadi karena penghambatan sintesis prostaglandin di pusat pengaturan panas dalam hipotalamus dan perifer di daerah target. Lebih lanjut, dengan menurunkan sintesis prostaglandin, salisilat juga mencegah sensitisasi reseptor rasa sakit terhadap rangsangan mekanik dan kimiawi. Indikasi
1. Antipiresis-analgesik Salisilat efektif dalam pengobatan jenis nyeri ringan sampai sedang. Aspirin digunakan dalam pengobatan sakit kepala, sakit badan, arthralgia, neuralgia dan dismenorea. 2. Antiinflamasi Salisilat sering digunakan dalam pengobatan kondisi inflamasi seperti radang sendi (arthritis) dan fibromyositis. 3. Artitis rheumatoid Walaupun telah banyak ditemukan obat antireumatoid baru, salisilat masih dianggap obat standard pada studi perbandingan dengan obat anti-reumatik lain. Sebagian penderita atitis rheumatoid dapat dikontrol dengan salisilat saja; bila hasilnya tidak memadai, dapat digunakan obat lain. Selain menghilangkan nyeri, salisilat jelas manghambat inflamasinya. 4.
Penggunaan lain Aspirin digunakan untuk mencegah trombus koroner dan thrombus vena dalam-dalam berdasarkan efek penghambatan agregasi trombosit. Laporan menunjukkan bahwa dosis aspirin kecil (325 mg/hari) yang diminum tiap hari dapat mengurangi insiden infark miokard akut, dan penderita angina tidak stabil.
2.3.4 INDIKASI 1. Antipiresis Dosis salisilat untuk dewasa ialah 325-650 mg, diberikan secara oral tiap 3 atau 4 jam. Untuk anak 15-20 mg/kg BB, diberikan tiap 4-6 jam dengan dosis total tidak melebihi 3,6 g per hari. 2. Analgesik Salisilat bermanfaat untuk mengobati nyeri yang tidak spesisfik misalnya sakit kepala, nyeri sendi, nyeri haid, neuralgia, mialgia. Dosis sama seperti pada penggunaan antipiresis. 3. Demam reumatik akut
Dalam waktu 24-48 jam setelah pemberian obat yang cukup terjadi pengurangan nyeri, kekakuan, pembengkakan, rasa panas dan memerahnya jaringan setempat. Sehu badan, frekuensi nadi menurun dan penderita merasa lebih enak. Dosis untuk dewasa, 5-8 g per hari, diberikan 1 g per kali. Dosis untuk anak 100-125 mg/kg BB/ hari diberikan tiap 4-6 jam, selama seminggu. Setelah itu tiap minggu dosis berangsur diturunkan samapai 60 mg/kg BB/ hari. 4. Artitis rheumatoid Walaupun telah banyak ditemukan obat antireumatoid baru, salisilat masih dianggap obat standar pada studi perbandingan dengan obat anti-reumatik lain. Sebagian penderita atitis rheumatoid dapat dikontrol dengan salisilat saja; bila hasilnya tidak memadai, dapat digunakan obat lain. Selain menghilangkan nyeri, salisilat jelas manghambat inflamasinya. Dosisnya ialah 4-6 g per hari, tetapi dosis 3 g sehari kadang-kadang cukup memuaskan. 5. Penggunaan lain Aspirin digunakan untuk mencegah trombus koroner dan thrombus vena dalam-dalam berdasarkan efek penghambatan agregasi trombosit. Laporan menunjukkan bahwa dosis aspirin kecil (325 mg/hari) yang diminum tiap hari dapat mengurangi insiden infark miokard akut, dan penderita angina tidak stabil. Indikasi dalam Kedokteran Gigi NSAID adalah obat yang paling penting untuk manajemen nyeri gigi akut. Obat tertentu dapat dipilih atas dasar keparahan rasa sakit dan timbulnya gejala lain yang terkait misalnya untuk nyeri ringan sampai moderate, parasetamol umumnya direkomendasikan, dan untuk nyeri akut diklofenak atau kombinasi dengan parasetamol umumnya lebih disukai. 2.3.5 KONTRAINDIKASI
Pasien yang memiliki ulkus lambung dan duodenum. (kemungkinan terjadi perdarahan internal, mungkin terjadi hemoragi)
Penderita diatesis hemoragik (kecenderungan mengalami perdarahan).
Penderita Asma (Serangan asma sebagai hasil reaksi alergi)
Penderita Diabetes (Dosis tinggi hiperglikemi/ hipoglikemi)
Ibu hamil (menyebabkan premature closure pada duktus arterius pada fetus yang bisa mengakibatkan perdarahan)
Alergi arau intoleransi dengan aspirin
Memiliki fungsi hati abnormal karena konsumsi aspirin dalam waktu lama dapat menganggu waktu protrombin sehingga dapat menyebabkan perdarahan. Penyakit
Kemungkinan Adverse Effect
Ulser
Perdarahan internal, mungkin terjadi hemoragi
Asma
Serangan asma sebagai hasil reaksi alergi
Diabetes
Dosis tinggi hiperglikemi/ hipoglikemi
Gout
Dosis rendah peningkatan plasma, & sebaliknya
Influenza
Reye’s sindrom pada anak-anak
Hipokoagulasi
Perdarahan berlebihan
2.3.6 EFEK SAMPING 1. Efek terhadap darah Pada orang sehat, aspirin menyebabkan perpanjangan masa perdarahan. Hal ini bukan karena hipoprotrombinaemia, tetapi karena asetil siklo-oksigenase trombosit. Dosis tunggal 650 mg aspirin dapat memperpanjang masa perdarahan kira-kira 2 kali lipat. Pada pemakaian obat antikoagulan jangka lama sebaiknya berhati-hati memberikan aspirin, karena bahaya perdarahan mukosa lambung. Sekarang, aspirin dosis kecil digunakan untuk profilaksis trombosis koroner dan serebral. Aspirin tidak boleh diberikan pada penderita dengan kerusakan hati berat, hipoprotrombinemia, defisiensi vitamin K dan hemofilia, sebab dapat menimbulkan perdarahan. 2. Efek terhadap hati dan ginjal Salisilat bersifat hepatotoksik dan ini berkaitan dengan dosis, bukan akibat reaksi imun. Gejala yang sering terlihat hanya kenaikan SGOT dan SGPT, beberapa penderita
dilaporkan menunjukkan hepatomegali, anoreksia, mual dan ikterus. Bila terjadi ikterus pemberian aspirin harus dihentikan karena dapat terjadi nekrosis hati yang fatal. Oleh sebab itu aspirin tidak dianjurkan diberikan kepada penderita penyakit hati kronik. Walaupun belum dapat dibutikan secara jelas, tetapi secara penelitian epidemiologis ada hubungan erat antara salisilat dan sindrom Reye. Pada sindrom ini terjadi kerusakan hati dan enselofali. Sindrom ini jarang terjadi tetapi berakibat fatal dan dihubungkan pada pemakaian salisilat pada infeksi varicella dan virus lainnya pada anak. Salisilat dapat menurunkan fungsi ginjal pada penderita dengan hipovolemia atau gagal jantung. 3.
Efek terhadap saluran cerna Efek salisilat terhadap saluran cerna yang paling umum adalah distres epigastrium, mual dan muntah. Perdarahan mikroskopik saluran cerna hampir umum terjadi pada penderita yang mendapat pengobatan aspirin. Aspirin adalah asam. Pada pH lambung, asapirin tidak dibebaskan; akibatnya mudah menembus sel mukosa dan aspirin mengalami ionisasi (menjadi bermuatan negatif) dan terperangkap, jadi berpotensi menyebabkan kerusakan sel secara langsung. Aspirin seharusnya diberikan bersama makanan dan cairan volume besar untuk mengurangi saluran cerna. Pilihan lain, dapat juga diberikan bersama-sama misoprostol.
4. Hipersenitifitas Sekitar 15 % pasien yang minum aspirin mengalami reaksi hipersensitivitas. Gejala alergi yang asli adalah urtikaria, bronkokonstriksi, atau edema angioneurotik. Jarang terjadi anafilaktik syok yang fatal. 5. Sindrom Reye Aspirin yang diberikan selama infeksi virus ada hubungannya dengan peningkatan insidens sindrom Reye, seringkali fatal, menimbulkan hepatitis dengan edema serebral. Terutama terjadi pada anak-anak, sehingga lebih baik diberi asitaminfen daripada aspirin jika pengobatan dihentikan. 2.3.7 DOSIS
1) Nyeri akut Dosis salisilat untuk dewasa ialah 325-650 mg, diberikan secara oral tiap 3 atau 4 jam. Untuk anak 15-20 mg/kg BB, diberikan tiap 4-6 jam dengan dosis total tidak melebihi 3,6 g per hari 2) Demam rheumatic akut i.
Setelah 24-48 jam pemberian obat terjadi pengurangan nyeri, kekakuan, pembengkakan, rasa panas dan memerahnya jaringan setempat
ii.
Dosis dewasa, 5-8 g per hari, diberikan 1 g per kali
iii.
Dosis anak 100-125 mg/kgBB/hari, diberikan tiap 4-6 jam, selama seminggu. Setelah itu tiap minggu dosis berangsur diturunkan sampai 60 mg/kgBB/hari
3) Arthritis rheumatoid Dosisnya ialah 4-6 g per hari 2.3.8 SEDIAAN Aspirin (asam asetil salisilat) dan natrium salisilat merupakan sediaan yang paling banyak digunakan. Aspirin tersedia dalam bentuk tablet 100 mg untuk anak dan tablet 500 mg untuk dewasa. 2.4 ASAM PROPIONAT Di antara NSAID, turunan asam fenilpropionat tersubstitusi merupakan kelompok terbesar dari alternatif aspirin (Gambar 21-9).
Sumber: Neidle, Enid Adan Yagiela, John A. , Pharmacology dan Therapeutic for Dentitry 6th ed. St Louis, Mosby Company, 2011. Selain indikasi anti-inflamasi dalam mengobati gejala rheumatoid arthritis, osteoarthritis, dan penyakit sendi degeneratif, Ibuprofen, naproxen, ketoprofen, dan fenoprofen juga disetujui sebagai agen analgesik. itu penggunaan jangka pendek dari ibuprofen, naproxen, dan ketoprofen adalah tersedia tanpa resep untuk menghilangkan sakit kepala, demam, dismenore, dan muskuloskeletal ringan-sedang dan nyeri pasca operasi. Pada pasien dengan rheumatoid arthritis dan osteoarthritis, turunan asam propionat dan lainnya NSAID mengurangi pembengkakan sendi, nyeri, dan kekakuan pagi, dan mereka meningkatkan mobilitas yang diukur dengan peningkatan waktu berjalan. Ketika digunakan pada pasien yang diobati dengan kortikosteroid, agen ini diharapkan dapat mengurangi dosis steroid. Mirip dengan aspirin dan NSAID lainnya, obat ini menghambat PG sintesis dengan menghambat COX nonselektif. kemampuan mereka untuk menghambat COX dan mencegah efek PG pada uterus otot polos dalam pengobatan dismenore. Meskipun obat tersebut berbagi farmakologis umum, beberapa karakteristik yang unik ada di antara individu obatobatan. Naproxen tampaknya sangat efektif dalam mengurangi aktivitas leukosit dalam peradangan, dan ketoprofen mencegah pelepasan enzim lisosom dengan menstabilkan membran lisosom.
Karena turunan asam propionat sebagai sebuah kelompok cenderung dari dosis analgesik dan anti-inflamasi aspirin untuk penyebabnya GI atau perdarahan gangguan, pbat tersebut telah semakin digunakan di tempat aspirin. Meskipun sangat selektif COX-2 inhibitor menantang keunggulan dari ibuprofen dan naproxen selama beberapa tahun dalam terapi antiartritik karena risiko bahkan lebih rendah dari peristiwa GI yang serius, cardiotoxic mereka potensi pada pasien tertentu telah sangat berkurang penggunaannya. NSAID asam propionat hampir sepenuhnya diserap dari saluran pencernaan. Tingkat penyerapan umumnya cepat tapi bisa diubah untuk beberapa obat dengan makanan diperut. Konsentrasi darah puncak dicapai dalam 1 sampai 4 jam. Semua agen ini sangat terikat (> 90%) untuk plasma protein; mereka secara teoritis mampu mengganggu pengikatan obat lain seperti phenytoin atau sulfonamid. itu obat bervariasi dimetabolisme dan terkonjugasi, dan mereka sebagian besar diekskresikan dalam urin. Ibuprofen, fenoprofen, dan ketoprofen memiliki plasma paruh pendek (1 sampai 4 jam), sedangkan naproxen memiliki waktu paruh plasma sekitar 15 jam, yang memungkinkan lebih sedikit dosis. Flurbiprofen memiliki paruh menengah sekitar 6 jam; waktu paruh dari oxaprozin adalah sekitar 50jam. Sebuah gambaran singkat dari beberapa obat individual berikut, dengan penekanan pada penggunaan analgesik obat ini pada pasien dengan sakit gigi pascaoperasi. 2.4.1 NAPROKSEN Merek dagang: Apo-naproksen, Naprosyn, Naen, Novonaprox Klasifikasi: Analgesik non opoid, Agens antiinflamasi nonsteroid 2.4.1.1 INDIKASI Penatalaksanaan nyeri sedang sampai berat, penatalaksanaan dismenore, penatalaksanaan
gangguan
inflamasi, antara
lain:
osteoartiritis 2.4.1.2 KERJA OBAT 1. Menghambat sintesis prostaglandin 2. Terapeutik: Supresi inflamasi, mengurangi nyeri 2.4.1.3 FARMAKOKINETIK
artritis reumatoid dan
1. Absorbsi: Diabsorbsi seluruhnya darai saluran Gastro intestinal. Garam natrium (anaprox) lebih cepat diabsorpsi. 2. Distribusi: Menembus plasenta dan memasuki ASI dalam konsisi rendah 3. Metabolisme dan ekskresi: sebagian besar di metabolisme di hati 4. Waktu paruh: 10-20 jam 2.4.1.4 KONTRA INDIKASI DAN PERHATIAN Hipersensitifitas, sensitifitas silang dapat terjadi dengan agens antiinflamasi nonsteroid lainnya, termasuk aspirin, perdarahan GI aktif. Hati hati pada: penyakit kardiovaskuler, ginjal atau hati yang parah, riwaat penyakit ulkus,kehamian atau laktasi (keamanan penggunaan belum di tetapkan) 2.4.1.5 REAKSI MERUGIKAN DAN EFEK SAMPING 1. SSP : sakit kepala, mengantuk, pusing 2. KV : edema, palpitasi, takikardia 3. Mata dan THT : tinitus 4. Resp : Dispnea 5. GI : mual, dispepsia, muntah, diare, konstipasi, perdarahan GI, rasa tidak nyaman, hepatitis, flatulens, anoreksi 6. GU : gagal ginjal, hematuria, histitis 7. Hemat : diskrasia darah, masa perdarahan memanjang 8. Lain lain : reaksi alergi, temasuk anafilkasis 2.4.1.6 INTERAKSI 1. Obat-obat: penggunaan bersama aspirin akan menurunkan kadar naproksen dalam darah dan mengurangi efektifitasnya, 2. Meningkatkan resiko perdarahan dengan penggunan antikoagulan, agens trombolitik, sefamandol, sofotetan, sefoperazon, asam valprovat, atau plikamisin 3. Efek samping GI yang merugikan akan bertambah dengan penggunaan aspirin, glukokortikoid dan agens antiinflamasi nonsteroid lainnya 4. Probenesid meningkatkan kadar dalam darah dan dapat meningkatkan toksisitas 5. Memperbesar resiko foto sensitifitas lainnya
6. Dapat meningkatkan toksisitas metroteksat, agens antineoplatik, atau terapi radiasi 7. Dapat meningkatkan kadar serum dan resiko toksisitas litium 8. Meningkatkan resiko efek ginjal yang merugikan dengan siklosforin atau penggunaan kronk asetamiofen 9. Dapat menurunkan respon terhadap antihpertensi aya diuretik 10. Dapat meningkatkan resiko hipoglikemia pada penggunaan insulin atau agens hipoglikemik oral lainnya 2.4.1.7 RUTE DAN DOSIS 1. Antiinflamasi: dewasa: 250-500 mg dua kali sehari, anak-anak: 10 mg/kg/hari dalam dua dosi terbagi. 2. Analgesik : dewasa: 200 mg diawal, dilanjutkan dengan 250 mg tiap 6-8 jam. 2.4.1.8 SEDIAAN 1. Tablet: 250 mg, 375 mg, 500 mg. 2. Suspensi oral : 125 mg/5 ml 2.4.2 FENOPROFEN Fenoprofen digunakan untuk meringankan nyeri ringan sampai sedang dari berbagai kondisi. Obat ini juga dapat mengurangi rasa sakit, bengkak, dan kekakuan sendi dari arthritis. Fenoprofen dikenal sebagai obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID). 2.4.2.1 INDIKASI Fenoperofen digunakan untuk meringankan nyeri dan peradangan yang terkait dengan gangguan muskuloskeletal dan sendi. 2.4.2.2 KONTRAINDIKASI 1. Pasien dengan hipersensitivitas terhadap aspirin atau NSAID lainnya. 2. Pasien dengan trimester ke-3 kehamilan. 3. Pasien yang sedang menyusui. 2.4.2.3 FARMAKOKINETIK Fenoprofen diabsorpsi dengan baik dari saluran GI dengan distribusinya tidak menembus plasenta dan memasuki ASI dengan konsentrasi rendah. Sebagian besar fenoprofen dimetabolisme oleh hati. Sebagian kecil (2-5%) diekskresi dalam bentuk yang tidak berubah oleh ginjal.
2.4.2.4 FARMAKODINAMIK Fenoprofen menghambat sintesis prostaglandin dengan menghambat aktivitas siklooksigenase dengan onsetnya selama 15-30 menit dan durasi selama 4-6 jam. 2.4.2.5 EFEK SAMPING Efek samping dari fenoprofen adalah gangguan GI, terdapat darah dalam tinja, sakit kepala, gatal, pusing, mengantuk, disuria, cystitis, hematuria, nefritis interstitial, diskrasia darah, eritema multiforme, terdapat ulser pada GI, hepatitis, poliuria, gagal ginjal akut, sindrom Stevens-Johnson, nekrolisis epidermal toksik. 2.4.2.6 DOSIS DAN SEDIAAN 1. Dosis: Dewasa: 300-600 mg 3-4 kali sehari. Max Dosis: 3 g/hari. 2. Sediaan: Kapsul: 200 mg, 300mg. Tablet: 600mg. 2.4.3 KETOPROFEN 2.4.3.1 INDIKASI Ketoprofen digunakan untuk mengobati gejala-gejala artritis rematoid, ankilosing spondilitis, gout akut dan osteoartritis serta kontrol nyeri dan inflamasi akibat operasi ortopedik. 2.4.3.2 KONTRAINDIKASI 1. Pasien yang mempunyai riwayat ulkus peptikum atau dyspepsia dan gagal ginjal. 2. Hipersensitif terhadap aspirin atau NSAID lain. 3. Pasien yang menderita asma bronkial, angioedema, urtikaria atau rhinitis. 2.4.3.3 FARMAKOKINETIK Ketoprofen dapat dengan mudah diserap dari saluran pencernaan (oral). Puncak konsentrasi plasma setelah 0,5-2 jam. Diserap dengan baik (IM, rectal). Distribusinya dengan cairan sinovial (konsentrasi substansial), protein-binding yaitu 99%. Ketoprofen dimetabolisme oleh hepar melalui konjugasi dengan asam glukuronat dan diekskresikan lewat urin sebagai konjugat glukuronat. 2.4.3.4 FARMAKODINAMIK Ketoprofen merupakan suatu antiinflamasi non steroid dengan efek
antiinflamasi, analgesik dan antipiretik. Sebagai anti inflamasi, ketoprofen bekerja menghambat enzim siklooksigenase sehingga menghambat sintesa prostaglandin. 2.4.3.5 EFEK SAMPING Efek samping dari ketoprofen adalah: 1. Mual, muntah, diare, dyspepsia, konstipasi, pusing, sakit kepala, ulkus peptikum hemoragi perforasi, kemerahan kulit, gangguan fungsi ginjal dan hati, nyeri abdomen, konfusi ringan, vertigo, oedema, insomnia. 2. Reaksi hematologi : trombositopenia. 3. Bronkospasma dan anafilaksis jarang terjadi. 2.4.3.6 INTERAKSI OBAT 1. Pemakaian bersama dengan warfarin, sulfonilurea atau hidantoin dapat memperpanjang waktu protrombin dan perdarahan gastrointestinal. 2. Pemakaian bersama dengan metotreksat dilaporkan menimbulkan interaksi berbahaya, mungkin dengan menghambat sekresi tubular dari metotreksat. 3. Ketoprofen menyebabkan peningkatan resiko gangguan ginjal pada pasien yang menerima diuretik. 4. Efek samping meningkat dengan pemberian aspirin. 5. Peningkatan kadar plasma dengan probenesid. 2.4.3.7 DOSIS DAN SEDIAAN 1. Sediaan oral Dosis awal yang dianjurkan: 75 mg 3 kali sehari atau 50 mg 4 kali sehari. Dosis maksimum 300 mg sehari. Sebaiknya digunakan bersama dengan makanan atau susu. 2. Injeksi IM 50–100 mg tiap 4 jam. Dosis maksimum 200 mg/hari tidak lebih dari 3 hari. 2.4.4 IBUPROFEN Ibuprofen merupakan jenis obat derivat asam propionat yang termasuk dalam jenis NSAID yang dapat berfungsi sebagai anti inflamasi, analgesic, dan antipiretik.
2.4.4.1 FARMAKOKINETIK Ibuprofen diabsorpsi dengan baik melalui saluran gastrointestinal. Obat-obatan ini mempunyai waktu paruh singkat tetapi tinggi berikatan dengan protein. Jika dipakai bersama-sama obat lain yang tinggi juga berikatan dengan protein, dapat terjadi efek samping berat. Obat ini dimetabolisme dan dieksresi sebagai metabolit inaktif di urin. 2.4.4.2 FARMAKODINAMIK Ibuprofen menghambat sintesis prostaglandin sehingga efektif dalam meredakan inflamasi dan nyeri. Perlu waktu beberapa hari agar efek antiinflamasinya terlihat.Juga dapat menambah efek koumarin, sulfonamid, banyak dari falosporin, dan fenitoin.Dapat terjadi hipoglikemia jika ibuprofen dipakai bersama insulin atau obat hipoglikemik oral.Juga berisiko terjadi toksisitas jika dipakai bersama-sama penghambat kalsium. 2.4.4.3 MEKANISME OBAT Aktivitas analgesik (penahan rasa sakit) Ibuprofen bekerja dengan cara menghentikan Enzim Sikloosigenase yang berimbas pada terhambatnya pula sintesis Prostaglandin yaitu suatu zat yang bekerja pada ujung-ujung syaraf yang sakit. Aktivitas antipiretik (penurun panas) Ibuprofen bekerja di hipotalamus dengan meningkatkan vasodilatasi (pelebaran pembuluh darah) dan aliran darah. 2.4.4.4 INDIKASI Karena efek analgesik dan antiinflamasinya maka dapat digunakan untuk meringankan gejala-gejala penyakit rematik tulang, sendi dan non-sendi. Karena efek analgesiknya maka dapat digunakan untuk meringankan nyeri ringan sampai sedang antara lain nyeri pada dismenore primer (nyeri haid), nyeri pada penyakit gigi atau pencabutan gigi, nyeri setelah operasi. 2.4.4.5 KONTRA INDIKASI Kontraindikasi absolut atau orang yang tidak dapat menggunakan ibuprofen adalah orang yang alergi terhadap obat anti-inflamasi non–steroid (AINS). Kontraindikasi relatif antara lain gangguan perdarahan, luka pada lambung/duodenum, penyakit lupus, kolitis ulseratif,
dan wanita hamil trimester 3 (karena dapat menyebabkan penutupan prematur pembuluh darah jantung). Orang yang mengalami asma, radang mukosa hidung, jika menggunakan aspirin atau obat AINS lain sebaiknya tidak menggunakan ibuprofen. Hindari penggunaan pada penderita gangguan hati berat dan gangguan ginjal. 2.4.4.6 EFEK SAMPING Walaupun jarang terjadi, tapi timbul efek samping sebagai berikut : gangguan saluran pencernaan termasuk mual, muntah, gangguan pencernaan, diare, konstipasi dan nyeri lambung. Juga pernah dilaporkan terjadi ruam pada kulit, bronchospasme (penyempitan bronkus), trombositopenia (penurunan sel pembeku darah). 2.4.4.7 DOSIS Usia
Takaran
>12 tahun
200-400 mg
10-12 tahun
300 mg atau 15 ml
7-10 tahun
200 mg atau 10 ml
4-7 tahun
150 mg atau 7,5 ml
1-4 tahun
100 mg atau 5 ml
6-12 bulan
50 mg atau 2,5 ml
3-6 bulan
50 mg atau 2,5 ml
2.4.4.8 SEDIAAN Tablet, kapsul, obat kunyah, bubuk, cairan yang diminum. 2.4.4.9 SIGNETUR Dewasa : Sehari 3 - 4 kali 200 mg (1 tablet)
Anak-anak : 1-2 tahun : sehari 3-4 kali 50 mg (1/4 tablet) 3-7 tahun : sehari 3-4 kali 100 mg (1/2 tablet) 8-12 tahun : sehari 3-4 kali 200 mg (1 tablet) Harus diminum setelah makan. 2.5 FENAMAT Fenamat merupakan kelompok NSAID yang pertama kali ditemukan pada 1950s yang merupakan derivate N-phenylanthranilic acid.Fenamat merupakan grup dari aspirinlike drugs.Yang termasuk derivate ini adalah mefenamic, meclofenamic, dan flufenamic acids. (Goodman & Gilman's The Pharmacological Basis of Therapeutics, 11th Edition,2005)
2.5.1 ASAM MEFENAMAT 2.5.1.1 FARMAKOKINETIK Obat ini diabsorbsi secara cepat dan memiliki durasi kerja yang pendek.Pada manusia, kurang lebih 50% dosis dari asam mefenamat diekskresi di urin sebagai metabolit 3hydroxymethyl dan 3-carboxyl dan konjugasinya.20% dari obat dibuang melalui feses sebagai metabolit 3-carboxyl yang tidak terkonjugasi. (Goodman & Gilman's The Pharmacological Basis of Therapeutics, 11th Edition,2005) 1)
Absorbsi
Diabsorbsi dari GIT (oral); konsentrasi puncak pada plasma setelah 2-4 jam 2)
Distribusi
Memasuki susu ibu (dalam jumlah kecil), >90% mengikat pada plasma albumin. Volume distribusinya 1,06 l/kg 3)
Metabolisme
Dimetabolisme melalui hepatic via enzyme 4)
Ekskresi
Diekskresi pada urin (52%) sebagai obat yang tidak berubah dan metabolit; pada feses (20%). Half life eliminasinya 2-4jam. (mims.com) 2.5.1.2 FARMAKODINAMIK
Asam mefenamic menghambat enzim cyclooxygenase (COX)-1 dan COX-2 dan mengurangi pembentukan prostaglandins dan leukotrienes.Asam mefenamic juga bertindak sebagai antagonis pada reseptor prostaglandin.Asam mefenamic juga memiliki sifat analgesic dan antipiretik dengan aktivitas antiinflamasi minor. (Goodman & Gilman's The Pharmacological Basis of Therapeutics, 11th Edition,2005) 2.5.1.3 INDIKASI SECARA UMUM Asam Mefenamat diindikasikan untuk menghilangkan rasa sakit yang sedang / moderate (terapinya tidak lebih dari 1 minggu) dan untuk menghilangkan primary dysmenorrheal. Dapat juga digunakan untuk rheumatoid arthritis dan osteoarthritis. (Yagiela Pharmacology and Theurapeutics for Dentistry,2004) Indikasi di kedokteran gigi 1)
Untuk perawatan sakit postoperative atau sakit yang terjadi akibat adanya
komponen inflamasi 2)
Untuk sakit pada TMJ atau sakit akut akibat impaksi gigi (Goodman & Gilman's The
Pharmacological Basis of Therapeutics, 11th Edition,2005) 2.5.1.4 KONTRA INDIKASI 1)
Terdapat riwayat alergi atau terjadi asma akibat aspirin atau NSAID.
2)
Pada pasien yang memiliki riwayat penyakit gastrointestinal seperti inflamasi atau
pendarahan atau peptic ulcers 3)
Disfungsi liver atau ginjal atau terdapat riwayat diare pada penggunaan asam
mefenamat sebelumnya. 4)
Asam mefenamat harus digunakan secara hati-hati pada penderita asma
5)
Tidak boleh dikonsumsi oleh ibu hamil dan menyusui (mims.com)
2.5.1.5 EFEK SAMPING Kurang lebih 25% dari pengguna obat ini mengalami efek samping pada gastrointestinal pada dosis terapeutik. Pada 5% pasien juga mengalami peningkatan yang reversible dari hepatic transaminase. Diare yang parah dan inflamasi pada usus dapat juga terjadi. Anemia autoimmune hemolitik juga dapat menjadi efek samping yang serius tetapi jarang terjadi. Efek terhadap system saraf pusat jarang terjadi tetapi nausea, pusing, penglihatan blur, insomnia dan depresi pernah dilaporkan. Dapat juga terjadi kerusakan pada fungsi platelet.Bila terjadi diare atau rash (ruam), penggunaan obat ini harus dihentikan. Kewaspadaan juga harus ditingkatkan apabila terdapat tanda dan symptom dari anemia
hemolitik. (Goodman & Gilman's The Pharmacological Basis of Therapeutics, 11th Edition,2005) Efek sampingnya : sakit pada perut, dyspepsia, konstipasi, diare, nausea, gastrointestinal ulcer, edema, bronchospasme, sakit kepala, drowsiness, insomnia, gangguan penglihatan, hipertensi, takikardi, urtikaria, rash, thrombocytopenia, anemia aplastik, agranulocytosis, peningkatan enzim liver, fungsi renal yang abnormal, aotuimmune hemolytic anemia, kejang (fatal). (mims.com) 2.5.1.6 INTERAKSI OBAT Asam mefenamat penyerapannya dapat terganggu bila dikonsumsi bersama dengan antikoagulan, NSAIDs, dan aspirin. Meningkatkan aktivitas dari antikoagulan oral tetapi jarang terjadi. Meningkatkan resiko iritasi gastrointestinal dengan alcohol. (Goodman & Gilman's The Pharmacological Basis of Therapeutics, 11th Edition,2005) Toksisitas Penggunaan yang lama dari asam mefenamat dapat menyebabkan perubahan pada system haemopoietic. Harus dilakukan tes darah secara regular dan penggunaan asam mefenamat harus dihentikan jika terjadi perubahan. Dapat juga terjadi toksisitas serius pada fungsi ginjal dan hati, hemolytic anemia dan inflamasi usus. (Yagiela Pharmacology and Theurapeutics for Dentistry,2004) 2.5.1.7 DOSIS DAN BENTUK SEDIAAN Pada dewasa : dosis oral 250 – 500 mg 3 kali sehari (maximal 7 hari). Tidak dianjurkan untuk anak-anak dibawah 14 tahun dan tidak boleh untuk ibu hamil. Sediaan : kapsul, tablet (mims.com). 2.6 DERIVAT PIROL Tolmetin, Ketorolac dan Diclopenac merupakan senyawa Pirol. Tolmetin tidak terlalu berperan dalam kedokteran gigi. Maka dari itu, yang akan dibahas hanya Ketorolac dan Diclopenac. 2.6.1. KETOROLAK 2.6.1.1 INDIKASI Ketorolak diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut, sedang sampai berat setelah prosedur bedah. Durasi total Ketorolak tidak boleh lebih dari 5 hari. Ketorolak secara parenteral dianjurkan segera setelah
operasi. Harus diganti ke analgesik alternatif sesegera mungkin, asalkan terapi ketorolak tidak melebihi 5 hari. 2.6.1.2 KONTRAINDIKASI Pasien yang sebelumnya pernah mengalami alergi dengan obat ini, karena ada
1.
kemungkinan sensitivitas silang. Pasien yang menunjukkan manifestasi alergi serius akibat pemberian Asetosal
2.
atau obat anti-inflamasi nonsteroid lain. 3.
Pasien yang menderita ulkus peptikum aktif.
4.
Penyakit serebrovaskular yang dicurigai maupun yang sudah pasti.
5.
Diatesis hemoragik termasuk gangguan koagulasi.
6.
Sindrom polip nasal lengkap atau parsial, angioedema atau bronkospasme.
7.
Terapi bersamaan dengan ASA dan NSAID lain.
8.
Hipovolemia akibat dehidrasi atau sebab lain.
9.
Gangguan ginjal derajat sedang sampai berat (kreatinin serum >160 mmol/L).
10.
Riwayat asma.
11.
Pasien pasca operasi dengan risiko tinggi terjadi perdarahan atau hemostasis inkomplit, pasien dengan antikoagulan termasuk Heparin dosis rendah (2.500– 5.000 unit setiap 12 jam).
12.
Terapi bersamaan dengan Ospentyfilline, Probenecid atau garam lithium.
13.
Selama kehamilan, persalinan, melahirkan atau laktasi.
14.
Anak < 16 tahun.
15.
Pasien yang mempunyai riwayat sindrom Steven-Johnson atau ruam vesikulobulosa.
16.
Pemberian neuraksial (epidural atau intratekal). Pemberian profilaksis sebelum bedah mayor atau intra-operatif jika hemostasis
benar-benar dibutuhkan karena tingginya risiko perdarahan. 2.6.1.3 FARMAKOKINETIK Ketorolak tromethamine diserap dengan cepat dan lengkap setelah pemberian intramuskular dengan konsentrasi puncak rata-rata dalam plasma sebesar 2,2 mcg/ml setelah 50 menit pemberian dosis tunggal 30 mg. Waktu paruh terminal plasma 5,3 jam pada dewasa muda dan 7 jam pada orang lanjut usia (usia rata-rata 72 tahun). Lebih dari 99% Ketorolac terikat pada konsentrasi yang beragam.
Farmakokinetik ketorolak pada manusia setelah pemberian secara intramuskular dosis tunggal atau multipel adalah linear. Kadar steady state plasma dicapai setelah diberikan dosis tiap 6 jam dalam sehari. Pada dosis jangka panjang tidak dijumpai perubahan bersihan. Setelah pemberian dosis tunggal intravena, volume distribusinya rata-rata 0,25 L/kg. Ketorolak dan metabolitnya (konjugat dan metabolit para-hidroksi) ditemukan dalam urin (rata-rata 91,4%) dan sisanya (ratarata 6,1%) diekskresi dalam feses. Pemberian ketorolak secara parenteral tidak mengubah hemodinamik pasien. 2.6.1.4 FARMAKODINAMIK Ketorolak tromethamine merupakan suatu analgesik non-narkotik. Obat ini merupakan obat anti-inflamasi nonsteroid yang menunjukkan aktivitas antipiretik yang lemah dan anti-inflamasi. Ketorolak tromethamine menghambat sintesis prostaglandin dan dapat dianggap sebagai analgesik yang bekerja perifer karena tidak mempunyai efek terhadap reseptor opiat. 2.6.1.5 MEKANISME Ketorolak menghambat sintesisi prostaglandin dengan menurunkan aktifitas enzim cyclooxygenase. 1. Onset: 30-60 menit (oral); 10 menit (Intramuscular) 2. Durasi: 6-8 hari (oral/IM) 3. Absorpsi: Absopsi baik (Oral/IM); Puncak konsentrasi plasma setelah 30-60 menit. 4. Distribusi: Protein-binding: 99%. Melintasi plasenta; masuk ke breast milk; penetrasi buruh pada CSF 5. Metabolisme: Melalui hepar via asam konjugasi glucuronic 6. Excreasi: Via urine (90%, tanpa perubahan obat dan metabolism), feses (sisa dosis), terminal elimination half-life: 4-6 hari; 6-7 hari (tua); 9-10 (pelemahan ginjal) 2.6.1.6 EFEK SAMPING Ulcer pada GI, Pendarahan dan perforasi, drowsiness, gatal-gatal, brochospasm, hypotension, psychosis, kering pada mulut, demam, bradycardia, chest pain, dizziness, sakit kepala, sweating, oedema, pollar, perubahan fungsi hati, iritasi local (ophthalmic)
Kegunaan di Kedokteran Gigi Meningkatkan efektivitas Blok Nervus Inferior Mandibula 2.6.1.7 INTERAKSI OBAT 1.
Pemberian Ketorolac bersama dengan Methotrexate harus hati-hati karena beberapa
obat
yang
menghambat
sintesis
prostaglandin
dilaporkan
mengurangi bersihan Methotrexate, sehingga memungkinkan peningkatan toksisitas Methotrexate. 2.
Penggunaan
bersama
NSAID
dengan
Warfarin
dihubungkan
dengan
perdarahan berat yang kadang-kadang fatal. Mekanisme interaksi pastinya belum diketahui, namun mungkin meliputi peningkatan perdarahan dari ulserasi gastrointestinal yang diinduksi NSAID, atau efek tambahan antikoagulan oleh Warfarin dan penghambatan fungsi trombosit oleh NSAID. Ketorolac harus digunakan secara kombinasi hanya jika benar-benar perlu dan pasien tersebut harus dimonitor secara ketat. 3.
ACE inhibitor karena Ketorolac dapat meningkatkan risiko gangguan ginjal yang dihubungkan dengan penggunaan ACE inhibitor, terutama pada pasien yang telah mengalami deplesi volume.
4.
Ketorolac mengurangi respon diuretik terhadap Furosemide kira-kira 20% pada orang sehat normovolemik.
5.
Penggunaan obat dengan aktivitas nefrotoksik harus dihindari bila sedang memakai Ketorolac misalnya antibiotik aminoglikosida.
6.
Pernah dilaporkan adanya kasus kejang sporadik selama penggunaan Ketorolac bersama dengan obat-obat anti-epilepsi.
7.
Pernah dilaporkan adanya halusinasi bila Ketorolac diberikan pada pasien yang sedang menggunakan obat psikoaktif.
2.6.1.8 DOSIS SEDIAAN Ketorolac ampul ditujukan untuk pemberian injeksi intramuskular atau bolus intravena. Dosis untuk bolus intravena harus diberikan selama minimal 15 detik. Ketorolac ampul tidak boleh diberikan secara epidural atau spinal. Mulai timbulnya efek analgesia setelah pemberian IV maupun IM serupa, kira-kira 30 menit, dengan maksimum analgesia tercapai dalam 1 hingga 2 jam. Durasi median analgesia umumnya 4 sampai 6 jam. Dosis sebaiknya disesuaikan dengan keparahan nyeri dan
respon pasien. Lamanya terapi: Pemberian dosis harian multipel yang terus-menerus secara intramuskular dan intravena tidak boleh lebih dari 2 hari karena efek samping dapat meningkat pada penggunaan jangka panjang. 1. Dewasa Ampul : Dosis awal Ketorolac yang dianjurkan adalah 10 mg diikuti dengan 10– 30 mg tiap 4 sampai 6 jam bila diperlukan. Harus diberikan dosis efektif terendah. Dosis harian total tidak boleh lebih dari 90 mg untuk orang dewasa dan 60 mg untuk orang lanjut usia, pasien gangguan ginjal dan pasien yang berat badannya kurang dari 50 kg. Lamanya terapi tidak boleh lebih dari 2 hari. Pada seluruh populasi, gunakan dosis efektif terendah dan sesingkat mungkin. Untuk pasien yang diberi Ketorolac ampul, dosis harian total kombinasi tidak boleh lebih dari 90 mg (60 mg untuk pasien lanjut usia, gangguan ginjal dan pasien yang berat badannya kurang dari 50 kg). 2. Pasien lanjut usia Ampul: Untuk pasien yang usianya lebih dari 65 tahun, dianjurkan memakai kisaran dosis terendah: total dosis harian 60 mg tidak boleh dilampaui (lihat Perhatian). 3. Anak-anak Keamanan dan efektivitasnya pada anak-anak belum ditetapkan. Oleh karena itu, Ketorolac tidak boleh diberikan pada anak di bawah 16 tahun. Gangguan ginjal: Karena Ketorolac tromethamine dan metabolitnya terutama diekskresi di ginjal, Ketorolac dikontraindikasikan pada gangguan ginjal sedang sampai berat (kreatinin serum > 160 mmol/l); pasien dengan gangguan ginjal ringan dapat menerima dosis yang lebih rendah (tidak lebih dari 60 mg/hari IV atau IM), dan harus dipantau ketat. Analgesik opioid (mis. Morfin, Phetidine) dapat digunakan bersamaan, dan mungkin diperlukan untuk mendapatkan efek analgesik optimal pada periode pasca bedah awal bilamana nyeri bertambah berat. Ketorolac tromethamine tidak mengganggu ikatan opioid dan tidak mencetuskan depresi napas atau sedasi yang berkaitan dengan opioid. Jika digunakan bersama dengan Ketorolac ampul, dosis harian opioid biasanya
kurang dari yang dibutuhkan secara normal. Namun efek samping opioid masih harus dipertimbangkan, terutama pada kasus bedah dalam sehari. 2.6.2. DIKLOFENAK 2.6.2.1 INDIKASI Sebagai pengobatan jangka pendek untuk kondisi-kondisi akut sebagai berikut: 1.
Nyeri inflamasi setelah trauma, seperti karena terkilir.
2.
Nyeri dan inflamasi setelah operasi, seperti operasi tulang atau gigi.
3.
Sebagai ajuvan pada nyeri inflamasi yang berat dari infeksi telinga, hidung atau tenggorokan,
misalnya
faringotonsilitis,
otitis.
Sesuai
dengan
prinsip
pengobatan umum, penyakitnya sendiri harus diobati dengan terapi dasar. Demam sendiri bukan suatu indikasi. 2.6.2.2 KONTRA INDIKASI Aktif peptic ulcer, hipersensitifitas diklofenak atau NSAIDs lainnya. Perawatan nyeri pada perioperatif pada opersi CABG. Trimester ketiga pada wanita hamil. Topical: tidak boleh terkena kulit yang terluka. 2.6.2.3 FARMAKOLOGI Diklofenak mempunyai potensi anti-inflamasi, analgesik dan antipyretic. Dengan menghambat enzim cyclooxygenase. 1. Absorpsi: Cepat diserap (oral solution, rectal suppository, IM); lebih lambat (enteric-coated tab) 2. Distribusi: Penetrasi synovial fluid; masuk ke ASI (sebagian kecil). Protein binding: >99%. 3. Metabolisme: Hepar 4. Excresi: 60% dikeluarkan melalui urin (glucuronide dan sulfate conjugates); 35% in bile; 1-2 hari (eliminasi half-life) 2.6.2.4 EFEK SAMPING Gangguan GI, sakit kepala, dizziness, gatal-gatal; Pendarahan pada GI, peptic ulcer; abnormal pada fungsi ginjal. Sakit dan jaringan hancur pada Tempat injeksi (IM); iritasi local (rectal), rasa terbakar sementara dan menyengat (ophthalmic). Berpotensi fatal: Stevent-Johnson syndrome, exfoliative dermatitis, toxic epidermal necrolysis.
2.6.2.5 INTERAKSI OBAT Tidak diberikan pada pasien yang menerima obat NSAIDs lain atau antikoagulan termasuk dosis rendah pada hepar. Fungsi ginjal bisa lebih buruk ketika menggunakan diklofenak dengan ciclosporin atau triamterene. Penyerapan berubah ketika diberikan bersama dengan sucralfate, colestyramine atau colestipol. Aplikasi Ophthalmic pada diklofenak bisa mengurangi efisiensi opthtalmic acetylcholine dan carbachol. Peningkatan resiko terjadi ulcer dan pendarahan pada GI ketika menggunakan bersama corticosteroid, aspirin atau antikoagulan. Berpotensi fatal: Peningkatan level darah pada digoxin, lithium dan methotrexate. 2.6.2.6 DOSIS SEDIAAN 1.
Dewasa: Umumnya takaran permulaan untuk dewasa 100-150 mg sehari. Pada kasuskasus yang sedang, juga untuk anak-anak di atas usia 14 tahun 75-100 mg sehari pada umumnya mencukupi. Dosis harian harus diberikan dengan dosis terbagi 2-3 kali. Gunakan setelah makan.
2.
Anak-anak: Tablet kalium diklofenak tidak cocok untuk anak-anak.
2.7 COX-2 (CYCLO OXYGENASE-2) INHIBITOR Mekanisme utama obat golongan NSAIDs adalah menghambat enzim COX dan menurunkan produksi prostaglandin di seluruh tubuh, sehingga proses radang, nyeri, dan demam berkurang. Namun sayangnya, prostaglandin yang berperan melindungi lambung dan pembekuan darah pun menurun sehingga penggunaan NSAIDs dapat mengakibatkan luka atau ulkus di lambung disamping gangguan pembekuan darah. Berdasarkan hal ini, maka para ahli membuat obat NSAIDs yang hanya menghambat enzim COX-2 saja (karena enzim COX-1 memiliki peranan positif dalam tubuh). Obat ini dinamakan COX-2 inhibitor. Sebelum obat ini ditemukan, obat golongan NSAIDs mengakibatkan ulkus lambung. Dengan ditemukannya obat ini, diharapkan peradangan dan
rasa nyeri dapat dikurangi tanpa mengakibatkan ulkus lambung atau gangguan pembekuan darah. Namun memang tidak ada obat yang sempurna. Obat NSAIDs COX-2 inhibitor ini ternyata mengkibatkan efek samping buruk bagi jantung sehingga ada beberapa golongan yang ditarik dari pasaran. Penggunaan obat COX-s inhibitor hanya terbatas pada pasien yang memiliki risiko tinggi terbentuknya ulkus lambung, dan tidak digunakan pada pasien yang memiliki penyakit jantung. 2.7.1 CELECOXIB Rumus
kimianya
adalah
4-(5-[4-metilfenil]-3-[trifluorometil-1H-pirazol-1-il)
benzensulfonamid. Obat ini adalah suatu diaril yang merupakan substitusi pirazol. 2.7.1.1 INDIKASI Osteoarthritis dan arthritis rematoid. 2.7.1.2 KONTRAINDIKASI Kontraindikasi bagi pasien yang hipersensitif terhadap celecoxib dan jangan diberikan pada penderita yang alergi terhadap sulfonamide atau menderita asma, urtikaria atau alergi dengan NSAID lainnya. 2.7.1.3 FARMAKOKINETIK Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam 3 jam setelah pemberian per oral. Bila diberi bersama makanan yang kaya lemak, kadar puncak dalam plasma tertunda 1-2 jam. Kadarnya akan menurun sebanyak 37% bila diberikan bersama antacid yang mengandung magnesium dan alumunium. Celecoxib dimetabolisme oleh sitokrom P450 2C9 dan menghasilkan metabolit yang tidak aktif dan diekskresikan melalui feses sebanyak 57% dan 27% melalui urin. 2.7.1.4 FARMAKODINAMIK Cara kerjanya menghambat sintesis prostaglandin melalui penghambatan COX-2; celecoxib tidak menghambat isoenzim COX-1. Celecoxib merupakan NSAID yang memperlihatkan efek antiinflamasi, analgesic, dan antipiretik. 2.7.1.5 EFEK SAMPING Dispepsia, diare, dan nyeri abdominal ringan hingga sedang. 2.7.1.6 INTERAKSI OBAT Secara umum berinteraksi dengan obat yang menghambat sitokrom P450 2C9. Potensial beraksi dengan flukonazol, litium, furosemid, dan Inhibitor Ace. Tidak ada
interaksi secara klinis bermakna dengan gliburid, ketokonazol, metotreksat, fenitoin, dan tolbutamid. 2.7.1.7 DOSIS DAN SEDIAAN 1. Pasien osteoartritris diberikan dosis oral maksimal 200 mg per hari. 2. Pasien arthritis rematoid diberikan dosis 100 hingga 200 mg per hari. Sediaan: Kapsul 50mg, 100mg, 200mg 2.7.2 ROFECOXIB Rumus kimianya adalah 4-[4-(methylsulfonyl)phenyl]-3-phenyl-2(5H)furanone. Obat ini adalah suatu diaril yang merupakan substitusi furanon. Tapi sejak tahun 2004 telah ditarik peredarannya karena meningkatkan resiko infark jantung akut dan kematian mendadak. 2.7.2.1 INDIKASI Osteoartiritis dan arthritis rematoid 2.7.2.2 KONTRAINDIKASI Kontraindikasi untuk pasien dengan penyakit jantung iskemik atau CVD, dan juga PAD. Dan juga pada hipertensi, hiperlipidemia, DM dan merokok. 2.7.2.3 FARMAKOKINETIK Bioavalibilitas Rofecoxib rata-rata adalah 93%. Kadar puncak plasma setelah dosis tunggal 25 mg adalah 2-3 jam. Metabolisme rofecoxib terutama dimediasi melalui pengurangan oleh enzim sitosolik. Produk metabolisme utama adalah turunan cis-dan trans-dihidro dihidro rofecoxib, yang mencapai hampir 56% dalam urin. Metabolit tidak aktif sebagai COX-1 atau COX-2 inhibitor. Sekitar 72% dari dosis diekskresikan ke dalam urin sebagai metabolit, dan 14% dalam tinja sebagai obat utuh. 2.7.2.4 FARMAKODINAMIK Menghambat sintesis prostaglandin melalui penghambatan COX-2. Pada kadar terapetik, rofecoxib tidak menghambat isoenzim COX-1. 2.7.2.5 EFEK SAMPING Meningkatnya risiko kardiovaskuler. Kardiotoksisitas disebabkan karena supresi prostasiklin yang berakibat pada inefesiensi vasodilatasi dan declumping. Rofercoxib juga mengakibatkan premenstrual acne vulgaris.
2.7.2.6 INTERAKSI OBAT Laporan menunjukkan bahwa NSAID dapat mengurangi efek antihipertensi dari Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor. Pada pasien dengan hipertensi ringan sampai sedang, pemberian 25 mg harian Vioxx (rofecoxib) dengan ACE inhibitor benazepril, 10 sampai 40 mg selama 4 minggu, dikaitkan dengan peningkatan rata-rata tekanan arteri rata-rata sekitar 3 mm Hg dibandingkan dengan ACE inhibitor saja. Interaksi ini harus diberikan pertimbangan pada pasien yang memakai Vioxx (rofecoxib) bersamaan dengan inhibitor ACE. 2.7.2.7 DOSIS DAN SEDIAAN Untuk pasien osteoarthritis dan arthritis rematoid dosis maksimal per harinya adalah 25 mg. Sediaan: Tablet dan suspensi oral 12,5 mg atau 25 mg atau 50 mg untuk administrasi oral. 2.7.3 VALDECOXIB Valdecoxib merupakan agen anti inflamasi oral dan analgesik, termasuk pengobatan nyeri pasca operasi gigi. Namun, hasil studi menunjukkan nyeri pascaoperasi yang melibatkan valdecoxib dan intravena prodrug parecoxib pada pasien yang telah menjalani prosedur CABG mengungkapkan bahwa hanya 10 hari terapi dengan valdecoxib atau kombinasi dari 3 hari terapi dengan parecoxib diikuti oleh 7 hari terapi dengan valdecoxib secara signifikan meningkatkan kejadian pascaoperasi serius yaitu sakit kardiovaskular. Hasil ini, ditambah dengan kejadian yang sangat tinggi dari reaksi kulit serius termasuk sindrom Stevens-Johnson yang dilaporkan oleh pasien yang memakai terapi valdecoxib, menyebabkan penghapusan valdecoxib dari pasar pada bulan April 2005 lalu. 2.7.4 COX-2 INHIBITOR LAINNYA COX-2 inhibitor baru-baru ini telah mengembangkan 2 bentuk yang baru. Anggota pertama dari grup ini, etericoxib, memiliki 106 kali lipat selektivitas COX-2. Bentuk ini tersedia di Eropa tetapi ditolak oleh FDA di AS pada April 2007, karena tampaknya tidak memberikan manfaat yang signifikan. Bentuk kedua yaitu lumiracoxib dengan lebih dari 200 kali lipat COX-2 selektivitas. Meskipun disetujui di Eropa, namun ditolak persetujuan nya oleh FDA karena kekhawatiran tentang risiko kardiovaskular. Selain itu, Kanada dan
Australia manghapus obat ini dari pasaran karena banyak laporan toksisitas hati yang serius, termasuk beberapa laporan kegagalan hati yang membutuhkan transplantasi. 2.8 ACETAMINOFEN Acetaminofen (Nacetyl-aminophenol) merupakan satu-satunya derivat aniline yang digunakan di klinik. Dikenal sebagai pilihan antipiretik analgetic yang digunakan ketika aspirin tidak dapat digunakan karena masalah gastrik atau kontraindikasi lainnya. 2.8.1 FARMAKOKINETIK Acetaminofen absorpsi paling baik di usus halus setelah administrasi oral. Obat distribusi di cairan tubuh dan jaringan, dan secara bebas melewati plasenta. Waktu paruh kiyrang lebih 2 hingga 4 jam dan tempat primer biotransformasi (oleh konjungsi glucuronide) adalah di hati.metabolit minor lainnya termasuk konjungsi sulfat dan metabolit hidrosilase. Reaktif tinggi dan metabilit hepatoxic, N-acetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI), biasanya sedikit signifikan. Bagaimanapun juga pada kasus overdosis acetaminofen dan beberapa individu pengkonsumsi berat alkohol dan acetaminofen. Akan mengganggu akumulasi dari metabolit. Pengikat acetaminofen dengan protein plasmabervariasi tetapi jarang melebihi 40% total obat. Eliminasi di ginjaloleh filtrasi di glomelurus dan sekresi tubularproksimal aktif. 2.8.2 FARMAKODINAMIK Acetaminofen memiliki aktifitas analgetik dan antipiretik yang keduannya sama esensialnya seperti aspirin. Mekanisme aksi obat adalah stem dari inhibisi dari sisntesis PG, walaupun terdapat perbedaan dengan spektrum enzim COX yang diinhibisi. Acetaminofen lebih aktif dibandingkan aspirin sebagai inhibitor CNS COX (termasuk COX-3, enzim karakter baru) dan kurang aktif di perifer. Efek antiinflamasi acetaminofen lebih lemah daripada aspirin. Acetaminofen merupakan selektif inhibitor neuronal sintesis PG daripada aspirin. Mekanisme perifer acetaminofen
secara parsial berfungsi untuk efek analgesiknya.
Terdapat peroksida di leukosit pada jaringan inflamasi mengarahkan inhibisi acetaminofen yang disebabkan kombinasi peroksida dengan acetaminofen . Acetaminofen tidak melihat PGs dan termasuk aktivasi jalur spinal serotogenik dan inhibisi syahase nitric oksida.
2.8.3 INDIKASI Acetaminofen diindikasikan untuk meredakan secara temporer demam dan sakit dan nyeri minor. Diindikasikan unutk meredakan nyeri ringan hingga sedang karena sakit kepala, sakit otot, menstruasi, flu dan radang tenggorokan, sakit punggung, reaksi suntuk dan untuk meredakan demam. Bisa juga untuk meredakan nyeri osteoarthritis. 2.8.4 KONTRAINDIKASI Acetaminofen tidak dapat digunakan padapasien yang memiliki hipersensitif terhadap acetaminofen 2.8.5 MEKANISME KERJA Parasetamol (asetaminofen) mempunyai daya kerja analgetik, antipiretik, tidak mempunyai daya kerja anti radang dan tidak menyebabkan iritasi serta peradangan lambung (Sartono,1993). Hal ini disebabkan Parasetamol bekerja pada tempat yang tidak terdapat peroksid sedangkan pada tempat inflamasi terdapat lekosit yang melepaskan peroksid sehingga efek anti inflamasinya tidak bermakna. Parasetamol berguna untuk nyeri ringan sampai sedang, seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri paska melahirkan dan keadaan lain (Katzung, 2011) Parasetamol, mempunyai daya kerja analgetik dan antipiretik sama dengan asetosal, meskipun secara kimia tidak berkaitan. Tidak seperti Asetosal, Parasetamol tidak mempunyai daya kerja antiradang, dan tidak menimbulkan iritasi dan pendarahan lambung. Sebagai obat antipiretika, dapat digunakan baik Asetosal, Salsilamid maupun Parasetamol. Diantara ketiga obat tersebut, Parasetamol mempunyai efek samping yang paling ringan dan aman untuk anak-anak. Untuk anak-anak di bawah umur dua tahun sebaiknya digunakan Parasetamol, kecuali ada pertimbangan khusus lainnya dari dokter. Dari penelitian pada anak-anak dapat diketahui bahawa kombinasi Asetosal dengan Parasetamol bekerja lebih efektif terhadap demam daripada jika diberikan sendiri-sendiri. (Sartono 1996) 2.8.6 SEDIAAN DAN POSOLOGI Parasetamol tersedi sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500mg atau sirup yang mengandung 120mg/5ml. Selain itu Parasetamol terdapat sebagai sediaan kombinasi tetap, dalam bentuk tablet maupun cairan. Dosis Parasetamol untuk dewasa 300mg-1g per kali,
dengan maksimum 4g per hari, untuk anak 6-12 tahun: 150-300 mg/kali, dengan maksimum 1,2g/hari. Untuk anak 1-6 tahun: 60mg/kali, pada keduanya diberikan maksimum 6 kali sehari. .(Mahar Mardjono 1971) 2.8.7 EFEK SAMPING Reaksi alergi terhadap derivate para-aminofenol jarang terjadi. Manifestasinya berupa eritem atau urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa demam dan lesi pada mukosa. Fenasetin dapat menyebabkan anemia hemolitik, terutama pada pemakaian kronik. Anemia hemolitik dapat terjadi berdasarkan mekanisme autoimmune, defisiensi enzim G6PD dan adanya metabolit yang abnormal. Methemoglobinemia dan Sulfhemoglobinemia jarng menimbulkan masalah pada dosis terapi, karena hanya kira-kira 1-3% Hb diubah menjadi met-Hb. Methemoglobinemia baru merupakan masalah pada takar lajak. Insidens nefropati analgesik berbanding lurus dengan penggunaan Fenasetin. Tetapi karena Fenasetin jarang digunakan sebagai obat tunggal, hubungan sebab akibat sukar disimpulkan. Eksperimen pada hewan coba menunjukkan bahwa gangguan ginjal lebih mudah terjadi akibat Asetosal daripada Fenasetin. Penggunaan semua jenis analgesik dosis besar secara menahun terutama dalam kombinasi dapat menyebabkan nefropati analgetik. Mekanisme Toksisitas Pada dosis terapi, salah satu metabolit Parasetamol bersifat hepatotoksik, didetoksifikasi oleh glutation membentuk asam merkapturi yang bersifat non toksik dan diekskresikan melalui urin, tetapi pada dosis berlebih produksi metabolit hepatotoksik meningkat melebihi kemampuan glutation untuk mendetoksifikasi, sehingga metabolit tersebut bereaksi dengan sel-sel hepar dan timbulah nekrosis sentro-lobuler. Oleh karena itu pada penanggulangan keracunan Parasetamol terapi ditujukan untuk menstimulasi sintesa glutation. Dengan proses yang sama Parasetamol juga bersifat nefrotoksik. Dosis Toksik Parasetamol dosis 140 mg/kg pada anak-anak dan 6 gram pada orang dewasa berpotensi hepatotoksik. Dosis 4g pada anak-anak dan 15g pada dewasa dapat menyebabkan hepatotoksitas berat sehingga terjadi nekrosis sentrolobuler hati. Dosis lebih dari 20g
bersifat fatal. Pada alkoholisme, penderita yang mengkonsumsi obat-obat yang menginduksi enzim hati, kerusakan hati lebih berat, hepatotoksik meningkat karena produksi metabolit meningkat. Gambaran Klinis Keracunan Parasetamol Gejala keracunan parasetamol dapat dibedakan atas 4 stadium : 1. Stadium I (0-24 jam) Asimptomatis atau gangguan sistem pencernaan berupa mual, muntah, pucat, berkeringat. Pada anak-anak lebih sering terjadi muntah-muntah tanpa berkeringat. 2. Stadium II (24-48 jam) Peningkatan SGOT-SGPT. Gejala sistim pencernaan menghilang dan muncul ikterus, nyeri perut kanan atas, meningkatnya bilirubin dan waktu protombin. Terjadi pula gangguan faal ginjal berupa oliguria, disuria, hematuria atau proteinuria. 3. Stadium III ( 72-96 jam ) Merupakan puncak gangguan faal hati, mual dan muntah muncul kembali, ikterus dan terjadi penurunan kesadaran, ensefalopati hepatikum. 4. Stadium IV ( 7-10 hari) Terjadi proses penyembuhan, tetapi jika kerusakan hati luas dan progresif dapat terjadi sepsis, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) dan kematian. (Lusiana Darsono 2002) Penanganan Keracunan Paracetamol: 1. Dekontaminasi Sebelum ke Rumah Sakit: Dapat diberikan karbon aktif atau sirup ipekak untuk menginduksi muntah pada anak-anak dengan waktu paparan 30 menit. Rumah Sakit: Pemberian karbon aktif, jika terjadi penurunan kesadaran karbon aktif diberikan melalui pipa nasogastrik. Jika dipilih pemberian metionin sebagai antidotum untuk menstimulasi glutation, karbon aktif tidak boleh diberikan karena akan mengikat dan menghambat metionin. 2. Antidotum A. N-asetilsistein merupakan antidotum terpilih untuk keracunan Parasetamol. N-asetilsistein bekerja mensubstitusi glutation, meningkatkan sintesis glutation dan mening-katkan
konjugasi sulfat pada parasetamol. N-asetilsistein sangat efektif bila diberikan segera 8-10 jam yaitu sebelum terjadi akumulasi metabolit. B. Methionin per oral, suatu antidotum yang efektif, sangat aman dan murah tetapi absorbsi lebih lambat dibandingkan dengan N asetilsistein 2.8.8 DOSIS Cara pemberian N-asetilsistein 1. Bolus 150 mg /KBB dalam 200 ml dextrose 5 % : secara perlahan selama 15 menit, dilanjutkan 50 mg/KBB dalam 500 ml dextrose 5 % selama 4 jam, kemudian 100 mg/KBB dalam 1000 ml dextrose melalui IV perlahan selama 16 jam berikut. 2. Oral atau pipa nasogatrik Dosis awal 140 mg/ kgBB 4 jam kemudian, diberi dosis pemeliharaan 70 mg / kg BB setiap 4jam sebanyak 17 dosis. Pemberian secara oral dapat menyebabkan mual dan muntah. Jika muntah dapat diberikan metoklopropamid ( 60-70 mg IV pada dewasa ). Larutan Nasetilsistein dapat dilarutkan dalam larutan 5% jus atau air dan diberikan sebagai cairan yang dingin. Keberhasilan terapi bergantung pada terapi dini, sebelum metabolit terakumulasi.
2.9 PRESCRIPTION OBAT
SEDIAAN
DOSIS DEWASA
Ibuprofen
Tablet
ANAK-ANAK
Sehari 3 - 4 kali 200 1-2 tahun :sehari 3-4 mg
kali
50
(1 tablet)
tablet)
mg
(1/4
3-7 tahun :sehari 3-4 kali 100 mg (1/2 tablet) 8-12 tahun :sehari 34 kali 200 mg (1 tablet) 100 mg Naproxen
Tablet
Fenoprofen
Kapsul: 300mg.
200
mg, 250mg (3x sehari)
Tablet: 300-600 mg 3-4 kali
600mg.
sehari
Aspirin Asam mefenamat
Tablet Tablet dan kapsul
Ketoprofen
500 mg (4jam sesuai kebutuhan)
Tablet
Dosis oral 250 – 500 mg
3
kali
sehari
(maximal 7 hari). Ketorolac
Dosis
awal
yang
Dislofenac
Ampul
dianjurkan: 75 mg 3
Paracetamol
Tablet
kali sehari atau 50
Tablet
mg 4 kali sehari. Dosis maksimum 300 mg sehari.
1-6
10-30mg tiap 4-6jam. 60mg/kali,
tahun:
Piroxicam
100-150mg sehari.
6-12 tahun: 150-300
Tenoxicam
300mg-1g per kali,
mg/kali,
Asam mefenamic
dengan maksimum
maksimum 1,2g/hari.
4g per hari.
Pada
Tablet
dengan
keduanya
diberikan maksimum 6 kali sehari.
10-20mg sekali sehari. 10-20mg sekali sehari. 250mg 4x sehari.
2.10
ANESTESI LOKAL Anestetika lokal merupakan salah satu obat suntik yang banyak dipakai oleh dokter spesialis, dokter umum, dokter gigi dan tenaga paramedis dalam praktek sehari-hari, baik di rumah sakit, puskesmas maupun di tempat praktek swasta perorangan.
2.10.1 DEFINISI Anestetik lokal adalah hilangnya sensasi di daerah terbatas dari tubuh disebabkan oleh depresi eksitasi di ujung saraf atau penghambatan proses konduksi saraf tepi. 2.10.2 KLASIFIKASI Anestesi lokal diklasifikasikan secara kimia sebagai amida dan ester. Agen ini adalah basa lemah, amina tersier dengan tiga struktur umum: 1. Kelompok Aromatik menganugerahkan kelarutan lipid danmemungkinkan penetrasi membran saraf. 2. Rantai Menengah membedakan anestesi sebagai ester atau amida.
3. Gugus Amino berkontribusi kelarutan dalam air yang mencegah pengendapan anestesI. 2.10.3 FARMAKOKINETIK 1. Absorbsi Absorbsi sistemik suntikan anestesi lokal dari suatu tempat suntikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain dosis, tempat suntikan,
ikatan
obat-jaringan, adanya bahan vasokontrikstor, dan sifat fisikokimia obat. vasokonstriktor seperti epineprin mengurangi penyerapan sistemik
anestesi
dari tempat tumpukan obat dengan mengurangi
aliran
darah
Keadaan ini menjadi nyata terhadap obat yang
masa
kerjanya
menengah seperti prokain, lidokain, dan Ambilan obat oleh saraf diduga efek toksik sistemik obat darah hanya 1/3 nya peningkatan lokal
mepivikain
(tidak
Bahan
di
daerah singkat
untuk
lokal ini. atau
prilokain).
diperkuat oleh kadar obat lokal yang tinggi, dan
akan berkurang karena kadar obat yang masuk dalam
saja. Kombinasi pengurangan penyerapan sistemik dan
ambilan saraf inilah yang memungkinkan perpanjangan efek anestesi
sampai 50%. Vasokonstriktor kurang efektif dalam memperpanjang sifat
anestesi obat yang mudah larut dalam lipid dan bekerja lama (bupivukain, etidokain), mungkin karena molekulnya sangat erat terikat dalam jaringan. 2. Metabolisme dan ekskresi Anestesi lokal diubah dalam hati dan plasma menjadi metabolit yang mudah larut dalam air dan kemudian diekskresikan ke dalam urin. Karena anestesi lokal yang bentuknya tak bermuatan mudah berdifusi melalui lipid, maka sedikit atau tidak sama sekali bentuk netralnya yang diekskresikan. Pengasaman urin akan meningkatkan ionisasi basa tersier menjadi bentuk bermuatan yang mudah larut dalam air, sehingga mudah diekskresikan karena bentuk ini tidak mudah diserap kembali oleh tubulus ginjal. Tipe ester anestesi lokal dihidrolisis sangat cepat di dalam darah oleh butirilkolinesterase (pseudokolinesterase). Oleh karena itu, obat ini khas sekali mempunyai waktu paruh yang sangat singkat, kurang dari 1 m3nit untuk prokain dan kloroprokain. Ikatan amida dari anestesi lokal dihidrolisi oleh enzim mikrosomal hati. Kecepatan metabolisme senyawa amida di dalam hati bervariasi bagi setiap individu, perkiraan
urutannya adalah prilokain (tercepat) > etidokain > lidokain > mevikain > bupivikain (terlambat). Akibatnya, toksisitas dari anestesi lokal tipe amida ini akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi hati. Sebagai contoh, waktu paruh lidokain rerata akan memanjang dari 1,8 jam pada pasien normal menjadi lebih dari 6 jam pada pasien dengan penyakit hati yang berat. 2.10.4 FARMAKODINAMIK Mekanisme kerja Tempat tindakan anestesi lokal diyakini membran saraf.Pada
sel saraf, potensial
aksi diciptakan oleh masuknya ion natrium dari jaringan sekitarnya. Potensial aksi ini mengakibatkan konduksi impuls saraf yang menghasilkan sensasi, termasuk rasa sakit.
Anestesi lokal mencegah konduksi impuls dengan menurunkan permeabilitas membran saraf untuk ion natrium. Dengan menghambat masuknya ion natrium ke dalam neuron, estetika blok konduksi impuls, mencegah eksitasi bersama jalur saraf, dan menimbulkan anestesi. Baik ester maupun amida keduanya memberikan anestesi dan analgesi dengan mengikat secara reversibel dan membloking saluran sodium (Na). Ini memperlambat laju depolarisasi potensial aksi saraf; demikian, propagasi dari impuls listrik yang diperlukan untuk konduksi saraf dicegah. 2.11 GOLONGAN ESTER 2.11.1
KOKAIN Cocaine hidrokloride tetap berguna terutama karena vasokonstriksi menyediakan dengan penggunaan topikal. Toksisitas melarang penggunaannya selain untuk anestesi topikal.
Cocaine
memiliki
onset
yang
cepat
tindakan
(1
menit)
dan
durasi sampai 2 jam, tergantung pada dosis atau konsentrasi. Konsentrasi yang lebih rendah digunakan untuk mata, sedangkan yang lebih tinggi digunakan pada mukosa hidung dan faring. Walaupun masih digunakan sesekali, ini berbahaya karena
katekolamin yang potentiates toksisitas kardiovaskular (misalnya, aritmia, ventrikel fibrilasi. Efek kardiovaskular yang terkait dengan kedua pusat dan stimulasi simpatik perifer. bradikardi awal tampaknya terkait dengan stimulasi vagal, hal ini diikuti dengan takikardia dan hipertensi. Dosis yang lebih besar untuk langsung depresi miokardium, dan hasil kematian akibat gagal jantung. 2.11.1.1
FARMAKOKINETIK
Cocaine siap diserap dari membran mukosa, sehingga potensi toksisitas sistemik adalah besar. SSP dirangsang, dan euforia dan stimulasi korteks (misalnya, kegelisahan, kegembiraan) sering hasil. Overdosis menyebabkan kejang diikuti dengan depresi SSP. Rangsangan kortikal yang dihasilkannya bertanggung jawab atas penyalahgunaan obat. Cocaine diserap dengan cepat melalui selaput lendir, dan kadar plasma puncak (yaitu, 120-474 ng / mL) dicapai dalam waktu 15-60 menit. Paruh dalam serum adalah 3090 menit. Cocaine
dimetabolisme
dalam
beberapa
cara. Hidrolisis
oleh
pseudocholinesterases plasma menyelesaikan degradasi kokain paling benzoylecgonine, cocaethylene, dan metabolit lainnya. Metabolisme oksidatif dalam hati memproduksi norcocaine, suatu zat beracun yang dapat menyebabkan kerusakan hati yang parah. Sampai dengan 20% dari kokain terserap diekskresikan dalam urin unmetabolized.Cocaine terdeteksi di mukosa hidung selama 3 jam setelah aplikasi. Serum dan tingkat urine terukur untuk sekitar 6 jam setelah aplikasi. Cocaine mungkin memiliki efek adrenergik mendalam pada CNS, sistem kardiovaskuler, dan sistem pernafasan. stimulasi simpatis sistem kardiovaskular dapat mengakibatkan hipertensi, takikardia, fibrilasi ventrikel, dan serangan jantung. komplikasi serius lainnya termasuk cardiotoxicity langsung, angina, infark miokard, kecelakaan serebrovaskular, serangan iskemik transient, edema paru, hepatotoksisitas, iskemia usus, kejang, dan depresi SSP. Cocaine mudah masuk ke dalam ASI dan di plasenta, suatu pertimbangan penting pada pasien yang hamil atau menyusui. 2.11.1.2
FARMAKODINAMIK
Cocaine
melibatkan
hubungan
yang
kompleks
neurotransmitter
(menghambat monoamina serapan pada tikus dengan rasio sekitar: serotonin : dopamin =
2:3, serotonin: norepinefrin = 2:5) yang dipelajari secara ekstensif efek yang paling cocaine pada pusatsistemsaraf adalah blokade dari transporterdopamin protein. Dopamin pemancar dilepaskan selama sinyal saraf biasanya didaur ulang melalui transporter, yakni, transporter mengikat pemancar dan pompa keluar dari celah sinapsis kembali ke presynaptic neuron, di mana ia diangkat ke penyimpanan vesikel. Cocaine mengikat erat di transporter dopamin membentuk kompleks yang menghalangi fungsi transporter itu. Transporter dopamin tidak dapat lagi menjalankan fungsinya reuptake, dan dengan demikian dopamin terakumulasi di celahsinaptik. 2.11.1.3
INDIKASI
Sekarang ini, kokain dalam bentuk larutan kokain hidroklorida digunakan terutama sebarai anestetik topikal untuk saluran anapas bagian atas. Selain memberikan efek anesetetik, kokain juga menimbulkan pengerutan mukosa. 2.11.2 BENZOKAIN 2.11.2.1
FARMAKOKINETIK Karena kelarutannya dalam air sangat rendah, Benzokain semata-mata digunakan sebagai anestetik permukaan. Pada pemberian diatas permukaan luka yang luas kemungkinan terjadi bahaya pembentukan Methemoglobin setelah absorbsi (terutama pada bayi). Benzokain di metabolime oleh enzim pseudokolinesterase dan di eksrkresikan pada urin.
2.11.2.2
FARMAKODINAMIK Toksisitas benzokain rendah karena permukaan yang luas dari rongga mulut.
2.11.2.3
INDIKASI Anstesi topikal pada kulit membrane mukosa karena nyeri.
2.11.2.4
KONTRAINDIKASI 1) Sensitivitas anastesi ester linked 2) Alergi 3) Infeksi ke dalam aplikasi jaringan infeksi
2.11.2.5
EFEK SAMPING 1) SSP : bradikardi, hipertensi, stimulasi respirasi, tremor, depresi 2) CVS : dilatasi dan hipertensi
2.11.2.6
MEKANISME KERJA
Menghambat konduksi saraf dengan mempemgaruhi proses dasar aksi pada saraf sehingga menghambat peninggian permeabilitas membrane Na. 2.11.3 TETRACAIN HCL 2.11.3.1 FARMAKOKINETIK Tetrakain dihidrolisis cepat menjadi produk yang tidak aktif oleh kolinesterase plasma dan esterase hati. 2.11.3.2 FARMAKODINAMIK Pada pemberian intravena, zat ini 10 kali lebih aktif dan lebih toksik daripada prokain. 2.11.3.3 MEKANISME OBAT Menghambat penurunan impuls dengan jalan menurunkan permeabilitas membrane sel saraf untuk ion natrium, yang perlu bagi fungsi saraf yang layak disebabkan adanya persaingan dengan ion kalsium yang berbeda berdekatan dengan saluran natrium di membrane neuron. 2.11.3.4 INDIKASI Anastesi local yang menembus kornea dan konjungtiva, efektif setelah pemberian topical pada mata dalam 30 detik dan anestesi bertahan selama min. 15 menit. 2.11.3.5 KONTRAINDIKASI Jika diketahui adanya hipersensitif terhadap tetrakain, inflamasi okuler atau infeksi 2.11.3.6 EFEK SAMPING Kegelisahan, Disorientasi, kebingungan, pusing, pengelihatan kabur, tremor, depresi SSP, reaksi anafilaktoid. 2.11.3.7 SEDIAAN Cairan, gel, dan krim 2.11.3.8 DOSIS DAN ATURAN PAKAI Maksimal dosis dewasa topical: 50 mg, maksimal dosis dewasa mukosa: 20 mg, maksimal dosis anak-anak mukosa: 0.75 mg/kg 2.11.4 PROCAIN 2.11.4.1 FARMAKOKINETIK Absorpsi berlangsung cepat dari tempat suntikan dan untuk memperlambat absorpsi perlu ditambahkan vasokonstriktor. Sesudah diabsorpsi, prokain cepat dihidrolisis oleh esterase dalam plasma menjadi PABA dan dietilaminoetanol. PABA diekskresi dalam urine,
kira-kira 80% dalam bentuk utuh dan bentuk konjugasi. 30% dietilaminoetanol ditemukan dalam urine, dan selebihnya mengalami degradasi lebih lanjut. 2.11.4.2 FARMAKODINAMIK Dosis 100-800 mg: analgesic ringan, efek maksimal 10-20 menit dan hilang setelah 60 menit. Dihidrolisis menjadi PABA dan dapat menghambat kerja sulfonamide. 2.11.4.3 MEKANISME OBAT Pemberian prokain dengan anestesi infiltrasi maximum dosis 400 mg dengan durasi 30-50 menit, dosis 800 mg, durasi 30-45 menit,Pemberian dengan anestesi epidural dosis 300-900, durasi 30-90 menit, onset 5-15 menit,Pemberian dengan anestesi spinal : preparatic 10%, durasi 30-45 menit. 2.11.4.4 INDIKASI Digunakan untuk memberikan anestesi lokal melalui suntikan. Ketika digunakan intraoral, penambahan epinefrin disarankan. Satu-satunya indikasi sebagai anestesi lokal gigi adalah untuk orang-orang yang sangat langka yang alergi terhadap kelompok amida dari anestesi tetapi tidak hipersensitif ke grup ester. Lain digunakan untuk prokain selain untuk local anestesi adalah sebagai suntikan intra-arteri untuk melawan arteriospasm diproduksi oleh injeksi intra-arteri sengaja (prokain adalah vasodilator yang sangat baik). 2.11.4.5 KONTRAINDIKASI Alergi terhadap kelompok ester anestesi lokal dan alergi terhadap paraben. Reaksi alergi terhadap anestesi ester lebih umum daripada amida seperti lidokain, akibatnya prokain jarang digunakan dalam kedokteran gigi. Tidak boleh diberikan bersama-sama dengan sulfonamide. 2.11.4.6 EFEK SAMPING Efek samping yang serius adalah hipersensitasi,yang kadang-kadang pada dosis rendah sudah dapat mengakibatkan kolaps dan kematian. Efek samping yang harus dipertimbangkan pula adalah reaksi alergi terhadap kombinasi prokain penisilin. Berlainan dengan kokain, zat ini tidak mengakibatkan adiksi. 2.11.4.7 SEDIAAN 2 mL ampul 2% larutan. 2.11.4.8 DOSIS DAN ATURAN PAKAI Dosis maksimum yang dianjurkan prokain adalah 6,0 mg / kg 2.12 ANESTESI LOKAL GOLONGAN AMIDA
Penggunaan anastetik local amida lebih banyak dipakai dibandingkan dengan anastetik local ester, karena pada ester mudah larut dalam plasma dan mudah terhidrolisis. Sehingga mengakibatkan durasinya singkat. Metabolisme golongan amida terutama oleh enzim mikrosomal di hati. Kecepatan metabolisme tergantung kepada spesifikasi obat anestetik local. Metabolismenya lebih lambat dari hidrolisa ester. Metabolit dieksresi lewat urin dan sebagian kecil dieksresi dalam bentuk utuh 2.12.1 LIDOKAIN Lidokain merupakan derivat asetanilida yang merupakan obat pilihan utama untuk anestesi permukaan maupun infiltrasi. Lidokain adalah anestetik lokal kuat yang digunakan secara luas dengan pemberian topikal dan suntikan. Anestesi terjadi lebih cepat, lebih kuat, lebih lama, dan lebih ekstensif daripada yang ditimbulkan oleh prokain.
2.12.1.1
FARMAKODINAMIK
Lidokain (Xilokain) adalah anestetik local yang kuat yang digunakan secara luas dengan pemberian topical dan suntikan. Anestesi terjadi lebih cepat, lebih kuat, lebih lama dan lebih ekstensif daripada yang ditimbulkan oleh prokain. Lidokain merupakan aminoetilamid. Pada larutan 0,5% toksisitasnya sama, tetapi pada larutan 2% lebih toksik daripada prokain. Larutan lidokain 0,5% digunakan untuk anesthesia infiltrasi, sedangkan larutan 1,0-2% untuk anesthesia blok dan topical. Anesthesia ini efektif bila digunakan tanpa vasokonstriktor, tetapi kecepatan absorbs dan toksisitasnya bertambah dan masa kerjanya lebih pendek. Lidokain merupakan obat terpilih bagi mereka yang hipersensitif terhadap prokain dan juga epinefrin. Lidokain dapat menimbulkan kantuk sediaan berupa larutan 0,5%-5% dengan atau tanpa epinefrin. (1:50.000 sampai 1: 200.000). 2.12.1.2
FARMAKOKINETIK
Lidokain mudah diserap dari tempat suntikan, dan dapat melewati sawar darah otak. Kadarnya dalam plasma fetus dapat mencapai 60% kadar dalam darah ibu. Di dalam hati, lidokain mengalami deakilasi oleh enzim oksidase fungsi ganda (Mixed-Function Oxidases
) membentuk monoetilglisin xilidid dan glisin xilidid. Kedua metabolit monoetilglisin xilidid maupun glisin xilidid ternyata masih memiliki efek anestetik local. Pada manusia 75% dari xilidid akan disekresi bersama urin dalam membentuk metabolit akhir, 4 hidroksi-2-6 dimetil-anilin. 2.12.1.3
INDIKASI
Lidokain sering digunakan secara suntikan untuk anesthesia infiltrasi, blockade saraf, anesthesia epidural ataupun anesthesia selaput lender. Pada anesthesia infitrasi biasanya digunakan larutan 0,25% – 0,50% dengan atau tanpa adrenalin. Tanpa adrenalin dosis total tidak boleh melebihi 200mg dalam waktu 24 jam, dan dengan adrenalin tidak boleh melebihi 500 mg untuk jangka waktu yang sama. Dalam bidang kedokteran gigi, biasanya digunakan larutan 1 – 2 % dengan adrenalin; untuk anesthesia infiltrasi dengan mula kerja 5 menit dan masa kerja kira-kira satu jam dibutuhkan dosis 0,5 – 1,0 ml. untuk blockade saraf digunakan 1 – 2 ml. Lidokain dapat pula digunakan untuk anesthesia permukaan. Untuk anesthesia rongga mulut, kerongkongan dan saluran cerna bagian atas digunakan larutan 1-4% dengan dosis maksimal 1 gram sehari dibagi dalam beberapa dosis. Pruritus di daerah anogenital atau rasa sakit yang menyertai wasir dapat dihilangkan dengan supositoria atau bentuk salep dan krem 5 %. Untuk anesthesia sebelum dilakukan tindakan sistoskopi atau kateterisasi uretra digunakan lidokain gel 2 % dan selum dilakukan bronkoskopi atau pemasangan pipa endotrakeal biasanya digunakan semprotan dengan kadar 2-4%. Lidokain juga dapat menurunkan iritabilitas jantung, karena itu juga digunakan sebagai aritmia. 2.12.1.4
EFEK SAMPING
Efek samping lidokain biasanya berkaitan dengan efeknya terhadap SSP, misalnya mengantuk, pusing, parestesia, gangguan mental, koma, dan seizures. Mungkin sekali metabolit lidokain yaitu monoetilglisin xilidid dan glisin xilidid ikut berperan dalam timbulnya efek samping ini. Lidokain dosis berlebihan dapat menyebabkan kematian akibat fibrilasi ventrikel, atau oleh hentijantung 2.12.1.5
INTERAKSI OBAT
Klirens lidokain dapat berkurang oleh propranolol dan simetidin. Efek depresi jantung lidokain bersifat aditif dengan beberapa beta bloker dan antiaritmia. Efek aditif
kardiak dapat terjadi ketika lidokain diberikan dengan fenitoin IV. Bagaimanapun penggunaan jangka panjang fenitoin dan penginduksi enzim lainnya dapat meningkatkan pemberian dosis lidokain. Hipokalemia terjadi pada penggunaan lidokain dengan asetazolamid, diuretik loop, dan antagonis tiazid. 2.12.2 MEPIVAKAIN Mepivakain adalah produk amida dari vylidine dan asam N-methylpipecolic . Serupa dengan lidokain, mepivakain hidroklorida dipasarkan dalam konsentrasi 2% dan sebagai solusi 3% tanpa vasokonstriktor. 2.12.2.1
INDIKASI Anastesi lokal melalui suntikan. Memiliki sifat yang mirip dengan lidokain tapi
dengan duraksi aksi yang sedikit lebih panjang. Pain solution lebih efektif dibandingkan dengan plain lidocaine. 2.12.2.2
KONTRAINDIKASI Alergi terhadap anastesi lokal golongan amida
2.12.2.3
EFEK SAMPING Depresi saraf pusat dan sistem kardiovaskuler pada dosisi tinggi. Kurangi dosis
pada pasien dengan penyakit hati. 2.12.2.4
INTERAKSI OBAT Mepivakain meningkatkan toksisitas bupivakain
2.12.2.5
SEDIAAN Berupa dental local anasthaetic cartridge:
- Dalam 2,0 mL cartridge sebagai solusi 3% mengandung 60 mg mepivacaine. - Dalam 2,0 mL cartridge sebagai solusi 2% mengandung 40 mg mepivacaine. 2.12.2.6
DOSIS
Dosis maksimum yang disarankan adalah 4,4 mg/kg dengan batas mutlak 300 mg. 2.12.3 ARTIKAIN Artikain merupakan golongan amida yang unik karena didasarkan pada struktur cincin tiofena. Dipasarkan di Amerika Utara dalam konsentrasi 4% dengan 1:100.000 atau 1:200.000 epinefrin, artikain populer untuk penggunaan rutin dalam kedokteran gigi. Hidrolisis yang cepat dari rantai samping ester membantu mengurangi toksisitas terkait dengan penyerapan lambat dari injeksi situs; sebaliknya, konsentrasi tinggi agen mungkin menonjolkan bahaya injeksi intravaskular dan risiko kerusakan saraf di daerah injeksi,
terutama mempengaruhi saraf alveolar lingual dan inferior setelah rendah blok saraf alveolar. 2.12.3.1
INDIKASI Digunakan untuk anastesi intra oral dengan injeksi.
2.12.3.2
KONTRAINDIKASI Alergi terhadap obat anastesi lokal golongan amida. Artikain tidak biasa sebagai
obat bius lokal amida di dalamnya berisi sebuah komponen sulfur, sehingga kontraindikasi alergi terhadap penggunaan sulfit (beberapa pasien asma memiliki alergi sulfit). Produsen tidak merekomendasikan penggunaan pada anak di bawah usia 12 tahun. 2.12.3.3
EFEK SAMPING Parastesia.
2.12.3.4
INTERAKSI OBAT Tidak diketahui. Mengurangi dosis pada penderita penyakit hati. Solusi yang
mengandung epinefrin memiliki tindakan pencegahan tambahan. 2.12.3.5
SEDIAAN DAN DOSIS Berupa dental local anasthaetic cartridge:
Dalam 1,7 mL cartridge yang mengandung 4% artikain (68 mg) dengan 1: 100.000 (17 _g) atau 1: 200.000 (8,5 _g) epinefrin (adrenalin). Dosis maksimum yang disarankan adalah 7,0 mg / kg. 2.12.4 PRILOCAINE 2.12.4.1 FARMAKODINAMIK Secara Farmakokinetik, prilocaine adalah agen anestesi lokal dengan potensi dan durasi aksi yang intermediet. Penghilangan prilocaine dari tubuh adalah yang paling cepat diantara golongan amino-amida lainnya karena tingginya tingkat redistribusi ke jaringan serta metabolisme hepatik yang cepat. (Covino, 1984) 2.12.4.2
MEKANISME OBAT
Obat bekerja pada reseptor spesifik pada saluran natrium, mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium, sehingga terjadi depolarisasi pada selaput saraf dan hasilnya tak terjadi konduksi saraf. Potensi dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak, makin larut makin poten. Ikatan dengan protein mempengaruhi lama kerja dan konstanta dissosiasi (pKa) menentukan awal kerja. Konsentrasi minimal anestetika local
dipengaruhi oleh: ukuran, jenis dan mielinisasi saraf; pH (asidosis menghambat blockade saraf), frekuensi stimulasi saraf. 2.12.4.3
INDIKASI
Digunakan dalam kedokteran gigi sebagai anestesi lokal. 2.12.4.4
KONTRAINDIKASI
Alergi, porphyria akut, EMLA tidak untuk digunakan untuk bayi dibawah satu tahun. Prilocaine dapat menghasilkan methaemogobinaemia pada dosis tinggi atau pada reaksi idiosinkratik. Ditandai dengan sianosis yang diakibatkan presensi besi dalam hemoglobin darah sebagai bentik ferric bukan ferrous yang menurunkan pengangkutan oksigen. Pada dosis tinggi juga dapat mengakibatkan depresi pada SSP dan sistem kardiovaskuler. (Meechan dan Seymour, 2002)p 2.12.4.5
DOSIS
Dosis maksimum yang direkomendasikan adalah 6.0mg/kg dengan batasan mutlak 400 mg. Sediaan ada yang terdiri atas 1.8 mL or 2.2 mL cartridges dari solusi 3% (berurutan mengandung 54 dan 66 mg prilocaine) dengan 0.03IU/mL felypressin, 1.8 mL atau 2.2 mL dari solusi 4% (berurutan mengandung 72 dan 88 mg, dan sebagai komponen krim EMLA yang digunakan untuk penggunaan anestesi topikal pada kulit (EMLA adalah 5% campuran prilocaine and lidocaine). 2.12.5 BUPIVACAINE 2.12.5.1 FARMAKODINAMIK Secara Farmakologi, Bupivacaine adalah agen anestesi lokal dengan potensi tinggi dan durasi aksi yang lama. Penghilangan Bupivacaine dari tubuh adalah yang paling lambat diantara golongan amino-amida lainnya karena rendahnya tingat degradasi secara hepatik. (Covino, 1984) 2.12.5.2
MEKANISME OBAT
Obat bekerja dengan mengurangi aliran natrium kedalam dan keluar saraf. Hal tersebut mengurangi insiasi dan trandfer sinyal saraf pada area yang diaplikasikan obat. Penghalangan ini mengakibatkan kehilangan sensasi nyeri, lalu temperatur, sentuhan, tekanan dalam, dan kontrol otot. 2.12.5.3
INDIKASI
Digunakan dalam kedokteran gigi sebagai anestesi lokal. 2.12.5.4
KONTRAINDIKASI
Pasien dengan hipersensitivitas terhadap agen anestetik lokal golongan amida. Reaksi akut biasanya terjadi karenakonsentrasi dalam plasma yang terlalu tinggi. Reaksi yang paling membutuhkan penanganan segera adalah efek pada SSP dan sistem kardiovaskuler. Efek pada SSP berupa eksitasi dan/atau depresi yang segera diikuti kehilangan kesadaran dan kesulitan bernapas. Pada sistem kardiovaskuler reaksi dapat berupa depresi dari myocardium yang dapat mengakibatkan cardiac output berkurang, hipotensi, bradikardia, aritmia, hingga serangan jantung. 2.12.5.5
DOSIS
Untuk infiltrasi dan blok saraf perifer dipakai larutan 0,25-0,75%.Duration 3-8 jam. Konsentrasi efektif minimal 0,125. Untuk anesthesia spinal 0,5% volum antara 2-4 ml iso atau hiperbarik. Untuk blok sensorik epidural 0,375% dan pembedahan 0,75%. Dosis tersebut dapat diberikan kembali hingga tiiap tiga jam sekali. Dalam studi klinis, dosis maksimum perhari dapat hingga 400 mg. 2.13 HEMOSTATIK Definisi Hemostatik ialah zat atau obat yang digunakan untuk menghentikan perdarahan. Obat-obat ini diperlukan untuk mengatasi perdarahan yang meliputi daerah yang luas. Klasifikasi Obat hemostatik sendiri terbagi dua yaitu : 1. Obat hemostatik lokal 2. Obat hemostatik sistemik 2.13.1 HEMOSTATIK LOKAL Yang termasuk dalam golongan ini dapat dibagi lagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan mekanisme hemostatiknya. 2.13.1.1. HEMOSTATIK SERAP Mekanisme kerja : Menghentikan perdarahan dengan pembentukan suatu bekuan buatan atau memberikan jala serat-serat yang mempermudah bila diletakkan langsung pada permukaan yang berdarah . Dengan kontak pada permukaan asing trombosit akan pecah dan membebaskan factor yang memulai proses pembekuan darah. Indikasi :
Hemostatik golongan ini berguna untuk mengatasi perdarahan yang berasal dari pemubuluh darah kecil saja misalnya kapiler dan tidak efektif untuk menghentikan perdarahan arteri atau vena yang tekanan intra vaskularnya cukup besar. Contoh obat : Spon gelatin, oksisel ( selulosa oksida ) Spon gelatin, dan oksisel dapat digunakan sebagai penutup luka yang akhirnya akan diabsorpsi. Hal ini menguntungkan karena tidak memerlukan penyingkiran yang memungkinkan perdarahan ulang seperti yang terjadi pada penggunaaan kain kasa . Untuk absorpsi
yang
sempurna
pada
kedua
zat
diperlukan
waktu
1-
6
jam. Selulosa oksida dapat mempengaruhi regenerasi tulang dan dapat mengakibatkan pembentukan
kista
bila
digunakan
jangka
panjang
pada
patah tulang. Selain itu karena dapat menghambat epitelisasi, selulosa oksida tidak dianjurkan untuk digunakan dalam jangka panjang. Busa fibrin insani yang berbentuk spon, setelah dibasahi dengan tekanan sedikit dapat menutupi dengan baik permukaan yang berdarah. 2.13.1.2 ASTRINGEN DAN STYPTIC Astringent Jenis ini dari struktur kimianya kebanyakan bersifat vasokonstrinktif ataupun memiliki kemampuan untuk mendenaturasi protein tetapi beberapa dapat digunakan di kedokteran gigi. Preparat yang tersedia pada umumnya berupa garam dari bebrapa logam, sebagian besar dari timah, perak, logam, dan alumunium. Garam alumunium dan logam bersifat asam dengan Ph 1,3-3,1 dan dapat mengiritasi. Protein darah terdiri dari tiga jenis, yakni globulin, albumin dan fibrinogen. Fibrinogen merupakan protein darah yang berperan dalam proses koagulasi darah, di mana fibrinogen merupakan factor I dalam faktor dalam obat pembekuan darah. Denaturasi protein merupakan proses pengubahan rantai molekul nitrogen dalam gugus protein, yang menyebabkan protein menjadi terendapakan (koagulasi). Fibrinogen secara fisiologis akan terdenaturasi menjadi fibrin yang mengendap sebagai filamen-filamen penutup luka. Mekanisme kerja dari obat astringent itu mendenaturasi protein darah, khususnya fibrinogen. Di mana fibrinogen akan terendapkan dengan cepat melalui proses salting, yang mana proses salting ini memerlukan katalis yang berupa logam dalam obat (Zn, Al, Cu).
Dengan adanya logam tersebuat akan mempercepat proses pengendapan fibrinogen menjadi fibrin, sehingga proses koagulasi berlangsung cepat. Astringnent pada umumnya digunakan di kedokteran gigi untuk mengobati hemostasis akibat retraksi jaringan gingiva. Penggunaan lain adalah mengontrol perdarahan setelah pembedahan digunakan bahan 20% feric sub sulfat (larutan monsel) dan 80% Zinc klorida. Garam alumunium dan logam berfungsi untuk mendenaturasi protein darah dan jaringan yang kemudian mengalami aglutinasi. Asam tanic dengan konsentrasi 0,5-1% merupakan astringent yang efektif dan mengendapkan protein termasuk trombin tetapi seringkali tidak dapat digunakan bersamaan dengan obat lain dan garam logam lainnya. Penggunaan astringent pada pasien dengan tendensi perdarahan ringan hanya dapat mengatasi hemostasis sementara saja, tetapi pada akhirnya dapat mengawali terjadinya perdarahan pada area yang lebih luas. Astringent yang biasa digunakan dalam kedokteran gigi: 1.) Asam Tanat Asam tanat berasal dari tanaman (nabati). Kerjanya dengan pengendapan protein dan gelatin. Biasanya digunakan untuk memperkuat gusi dan memeriksa perdarahan. Sediaannya berupa pencuci mulut, hemostatic local. 2.) Zinc chloride Zat astringent yang digunakan 5-10% solution dalam ulcerative gingivitis, pyorrhoeal pockets dan aphtous ulcer 3.) Zinc sulphate Digunakan pada konsentrasi 0,5-1%. Sediaannya adalah dalam bentuk obat kumur dan lotion untuk mastoiditis, stomatitis dan chronic alveolar abses. 4.) Copper sulphate Digunakan pada konsentrasi 0.5-2% pada ulkus gusi. 5.) Alum Agen ini bersifat antiseptic dan sifat hemostatic. Digunakan pada konsentrasi 1-2% untuk menguatkan gusi, inflamasi gusi dan ulcer pada gusi. Styptic Setelah estraksi gigi dan perawatan dental, terkadang perdarahan dapat terjadi karena gangguan dari arteriol dan pembuluh darah. Styptic local hemostatic merupakan agen yang berguna untuk menahan perdarahan. Agen ini bisa juga digunakan untuk mengatur laju
aliran darah di pembuluh darah, dengan pembentukan pembekuan darah. Setelah perawatan ekstraksi gigi perdarahan yang berasal dari soket gigi biasanya akan diatasi dengan tampon yang sebelumnya telah diberikan agen local hemostatic. Styptic dapat dikategorikan menjadi: 1.) Gelatin Sponge Gelfoam adalah spons bedah yang steril dan berbasis gelatin dan dapat mengontrol perdarahan pada area yang sangat vaskuler dan sulit untuk di lakukan penjahitan. Preparat ini dapat di tinggalkan di tempatnya setelah dilakukan penutupan luka operasi. Penyerapan akan sempurna dalam 4 hingga 6 minggu, dan pembentukan luka atau reaksi seluler akan minimal. Ketika material ini diletakkan pada rongga jaringan yang tertutup, maka harus di ingat bahwa material ini menyerap cairan dan akan mengembang, yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan pada struktur sekitarnya. 2.) Fibrin Foam Fibrin foam terbuat dari plasma digunakan untuk menutup luka perdarahan yang akan diserap oleh tubuh. Langsung diterapkan pada luka dan juga dikombinasikan dengan thrombin. 3.) Human-Bovine Thrombin Protein steril yang didapatkan dari protrombon bovine. Ia diberikan secara topikal dalam bentuk bubuk atau dalam bentuk larutan untuk mengontrol perembesan kapilar pada prosedur operasi dan secara efektif dapat memperpendek lama perdarahan dari area tusukan pada pasien yang diheparinisasi 4.) Oxidized cellulose Oxidized cellulose biasa digunakan pada prosedur pembedahan. Diperlakukan khusus untuk mempromosikan pembekuan darah melalui reaksi antara hemoglobin dan asam selulosa. Karena sifatnya yg not-well absosrbed maka agen ini hanya dipergunakan pada hemostatic permukaan saja. 5.) Russel’s Viper Venom Memiliki aktivitas tromboplastin yang kuat digunakan pada kasus hemophilia dengan cara local. 2.13.1.3KOAGULAN Mekanisme
Koagulan menimbulkan hemostasis dengan dua cara: mempercepat perubahan protrombin menjadi trombin dan secara langsung menggumpalkan fibrinogen. Indikasi Pasca ekstraksi pada pasien hemofilia Efek samping Trombin yang disuntikkan intravena dapat menimbulkan pembekuan dengan bahaya emboli Cara pemakaian : Dapat diberikan secara peroral dan IV Contoh Obat : Russell’s viper venom yang sangat efektif sebagai hemostatik local dan dapat digunakan untuk alveolus gigi yang berdarah pada pasien hemofilia. Untuk tujuan ini kapas dibasahi dengan larutan segar 0,1% dan ditekankan pada alveolus sehabis ekstrasi gigi, zat ini tersedia dalam bentuk bubuk atau larutan untuk penggunaaan lokal. Sediaan ini tidak boleh disuntikkan IV, sebab segara menimbulkan bahaya emboli. 2.13.1.4 VASOKONSTRIKTOR Mekanisme Vasokonstriksi pada pembuluh darah sehingga dapat menghentikan pendarahan kapiler suatu permukaan Indikasi Pendarahan kapiler, mencegah pendarahan berlebihan pada operasi korektif ginekologik Cara pemakaian : Penggunaanya ialah dengan mengoleskan kapas yang telah dibasahi dengan larutan 1: 1000 tersebut pada permukaan yang berdarah. 2.13.1.5 EPINEFRIN Epinefrin (dikenal juga sebagai adrenalin) merupakan hormon dan neurotransmitter meningkatkan laju jantung, kontraksi pembuluh darah, melebarkan saluran udara dan berpartisipasi dalam respon fight-or-flight dari sistem saraf simpatik. Secara kimia, epinefrin adalah sebuah ketokolamin, mono amina, yang hanya dihasilkan oleh kelenjar adrenal dari asam amino fenilalanin dan tirosisn.
Adrenal bertindak dengan cara meningkatkan berbagai reseptor adrenergenik. Adrenalin adalah agonis nonseleksit dari semua reseptor adrenergik, termasuk α 1,α2, 1, 2, dan reseptor 3. Epinefrin meningkatkan reseptor ini memicu sejumlah perubahan metabolik. Mengikat pada reseptor α-adrenergik menghambat sekresi insulin oleh pangkreas, merangsang glikogenolisis dalam hati dan otot, dan merangsang glikolisis dalam otot. Reseptor β-adrenergik mengikat memicu sekresi glukagon pada pangkreas, meningkatkan hormon adrenokortokortopik (ACTH) sekresi oleh kelenjar pituitari, dan meningkatkan lipolisis oleh jaringan adiposa. Bersama-sama efek ini menyebabkan asam glukosa darah dan lemak meningkat, menyediakan substrat untuk produksi energi dalah seluruh tubuh. Adrenalin (Epinefrin) mempunyai efek meningkatkan tekanan darah melalui aktivitas adrenoseptor 1 jantung yang terjadi setelah pelepasan atau pemberian adrenalin (epinefrin) berhubungan dengan kerja kronotropik positif dan inotropik positif atas jantung. Dengan demikian adrenalin (epinefrin) juga mempunyai efek kronotropik positif (meningkatkan kecepatan denyut jantung) dan ionotropik positif (memperkuat kontraksi myokardium) sehingga cardiak output (curah jantung) meningkat. Adrenalin (epinefrin) juga berefek pada timbulnya vasokontriksi karena stimulasi afrenoseptor pada otot polos dinding pembuluh darah perifer meningkat. Pada dosis kecil adrenalin (epinefrin) juga mengaktivasi adrenoseptro 2 pada otot polos dinding pembuluh darah dalam bundel otot lurik dan pembuluh koroner berakibat vasodilatasi pembuluh darah tersebut, akibatnya tahanan perifer total sebenarnya bisa turun, hal ini menjelaskan penurunan dalam tekanan diastolik yang kadang-kadang terlihat pada penyuntikan adrenalin (epinefrin). Dalam dosis besar terjadi dominasi aktivitas adrenoseptor α sehingga tahanan perifer meningkat, aktivitas adrenoseptor 1 sehingga curah jantung naik. Kedua hal tersebut meningkatkan tekanan darah. Jika sebelum diberi adrenalin sudah lebih dahulu diberi obat penyakit adrenoseptor α
maka adrealin justru
menurunkan tekanan darah. Pada saluran nafas adrenalin (epinefrin) mempunyai efek bronkodilatasi melalui stimulasi adrenoseptor 2
pada otot polos bronkus. Efek tersebut tampak jelas jika
sebelumnya sudah ada bronkokontriksi (misalnya pada serangan asma bronkial). Adrenalin (Epinefrin) yang mempunyai efek vasokonstriksi sehingga dapat mengurangi kongesti
mukosa dan dapat memperkuat efek pelebaran saluran nafas. Adrenalin (epinefrin) merupakan senyawa endogen yang amat penting dalam pengaturan metabolisme, terutama metabolisme karbohidrat. Adrenalin meningkatkan glikogenolisis di hepar dan otot rangka, menghambat sekresi insulin melalui aktivitas adrenoseptor α (lebih dominan dibandingkan peningkatan sekresi insulin melalui aktivitas adrenoseptor 2. Adrenalin (epinefrin) juga memacu pemecahan lemak (lipolisis) melalui aktivitas adrenoseptor 1 dan meningkatkan aktivitas lipase. Adapun efek samping dari adrenalin (epinefrin) adalah disritmia ventrikel, angina pektoris, nyeri kepala, tremor, pengurangan urin berkurang, ketakutan serta ansietas. 2.13.2 HEMOSTATIK SISTEMIK Dengan memberikan transfusi darah, seringkali pendarahan dapat dihentikan segera. Hal ini terjadi karena pasien mendapatkan semua faktor pembekuan darah yang terdapat dalam darah transfusi. Perdarahan yang disebabkan defisiensi faktor pembekuan darah tertentu dapat diatasi dengan mengganti atau memberikan faktor pembekuan yang berkurang. 2.13.2.1
FAKTOR
ANTIHEMOFILIK
(FAKTOR
VIII)
DAN
CRYOPRECIPITATED
ANTIHEMOPHILIC FACTOR Kedua zat ini bermanfaat untuk mencegah atau mengatasi perdarahan pada hemofilia A (defisiensi faktor VIII yang sifatnya herediter) dan pada penderita yang darahnya mengandung inhibitor faktor VIII. Cryoprecipiteted anthemophilic factor didapat dari plasma donor tunggal dan kaya akan faktor VIII dan fibrinogen dan protein plasma lain. Akan tetapi jumlah faktor VIII yang dikandung bervariasi dan hal ini berbeda dengan konsentrat faktor antihemofilik yang mengandung faktor VIII. Selain untuk penderita hemofilia A cryoprecipitated antihemophilic factor juga dapat digunakan untuk pasien dengan penyakit von Willebrand dan penyakit herediter yang selain terdapat defisiensi faktor VIII juga terdapat gangguan suatu faktor plasma yaitu kofaktor ristoestin yang penting untuk adhes trombosit dan stabilitas kapiler. Kofaktor ristoestin ini biasanya hilang selama proses pembuatan sediaan konsentrat faktor antihemofilik. Efek Samping Cryoprecipitated antihemophilic factor mengandung fibrinogen dan protein plasma lain dalam jumlah yang lebih banyak dari sediaan konsntrat faktor VIII, sehingga kemungkinan terjadinya rekasi hipersensitivitas lebih besar pula,
dapat juga menyebabkan hepatitis virus, anemia hemolitik, hiperibrinogenemia, menggigil, dan demam. Dosis kadar faktor antihemofilik 20-30% dari normal yang diberikan IV biasanya diperlukan untuk mengatasi perdarahan pada pasien hemophilia. Biasanya hemostatis dicapai dengan dosis tunggal 15-20 unit/kgBB. Untuk perdarahan ringan, diberikan dosis tunggal 10 unit/kgBB. Pada pasien hemophilia sebelum operasi diperluka kadar antihemofilik sekurang-kurangnya 50% dari normal, dan pascabedah diperlukan kadar 20-25% dari normal untuk 7-10 hari. 2.13.2.2
VITAMIN K Vitamin K adalah vitamin yang larut didalam lemak. Terdapat tiga bentuk
vitamin K yaitu vitamin K1, vitamin K2, dan vitamin K3. Vitamin K1 dapat ditemukan dari makanan seperti sayur hijau (brokoli, bayam, dan lainnya). Vitamin K 1 disebut juga phytonadione. Vitamin K2 dapat ditemukan di jaringan manusia, biasanya disintesis oleh bakteri intestinal dan sering disebut menaquinone. Vitamin K3 adalah “synthetic compound”. Vitamin K diperlukan dalam tahap akhir dari sintesis faktor koagulan seperti faktor II, VII, IX, dan X pada hati. Kekurangan vitamin K dapat menyebabkan penyakit hati, jaundice, sindrom malabsorpsi, dan lainnya. Efek sampingnya termasuk haemolysis terutama pada bayi baru lahir (infant) dan orang dengan defisiensi G-6-PD. Menadione dapat menyebabkan jaundice dan haemolysis pada bayi baru lahir (infant). Sebagai hemostatik, vitamin K memerlukan waktu untuk dapat menimbulkan efek, sebab vitamin K harus merangsang pembentukan faktor-faktor pembekuan darah lebih dahulu. Dosis untuk vitamin K bersama dengan vitamin lain yang tersedia adalah 0,66 mg OD-BD, pada vitamin K analog seperti Menapthone yaitu 5-20 mg/hari, Menadione yaitu 10-30 mg TDS, dan lainnya. 2.13.2.3
KOMPLEKS FAKTOR X Sediaan ini mengandung faktor II, VII, IX, dan X, serta sejumlah kecil protein
plasma lain dan digunakan untuk pengobatan hemophilia B, atau bila diperlukan faktor-faktor yang terdapat dalam sediaan tersebut untuk mencegah perdarahan. Akan tetapi karena ada kemungkinan timbulnya hepatitis, preparat ini sebaiknya tidak diberikan kepada pasien nonhemofilia. Efek samping lainnya adalah
thrombosis, demam, menggigil, sakit kepala, flushing, dan reaksi hipersensitivitas berat (syok anafilaksis). Kebutuhan tergantung dari keadaan pasien. Perlu dilakukan pemeriksaan pembekuan sebelum dan selama pengobatan sebagai petunjuk untuk menentukan dosis. Satu unit/kgBB meningkatakan aktivitas faktor IX sebanyak 1,5%, selama fase penyembuhan setelah operasi diperlukan kadar faktor IX 25-30% dari normal. 2.13.2.4 ASAM AMINOKAPROAT 1. Farmakokinetik Asam aminokaproat diabsorpsi secara baik per oral dan juga dapat diberikan IV. Obat ini dieksresi dengan cepat melalui urin, sebagian besar dalam bentuk asal. Kadar puncak setelah pemberian per oral dicapai kurang lebih 2 jam setelah dosis tunggal. Mekanisme Kerja Asam aminokaproat merupakan penghambat bersaing dari activator plasminogen dan penghambat plasmin. Plasmin sendiri berperan menghancurkan fibrinogen/ fibrin dan faktor pembekuan darah lain. Oleh karena itu asam amikaproat dapat mengatasi perdarahan berat akibat fibrinolisis yang berlebihan. 2. Indikasi 1) Pemberian asam aminokaproat, karena dapat menyebabkan pembentukan thrombus yang mungkin bersifat fatal hanya digunakan untuk mengatasi perdarahan fibrinolisis berlebihan. 2) Asam aminokaprot digunakan untuk mengatasi hematuria yang berasal dari kandung kemih. 3) Asam aminokaproat dilaporkan bermanfaat untuk pasien homofilia sebelum dan sesudah ekstraksi gigi dan perdarahan lain karena troma didalam mulut. 4) Asam aminokaproat juga dapat digunakan sebagai antidotum untuk melawan efek trombolitik streptokinase dan urokinase yang merupakan activator plasminogen 3. Kontra indikasi Sebaiknya asam aminokaproat tidak diberikan pada pasien dengan kehamilan trisemester pertama dan kedua, kecuali memang diperlukan. Jika dipakai, diusahakan kandung kemih bebas dari bekuan darah agar tidak menumpuk dan menghambat disolusinya 4. Efek samping
Asam aminokaproat dapat menyebabkan prutius,eriterna konjungtiva, dan hidung tersumbat. Efk samping yang paling berbahaya ialah trombosis umum, karena itu penderita yang mendapat obat ini harus diperiksa mekanisme hemostatik. 5. Dosis Dosis dewasa dimulai dengan 5-6 per oral atau infuse IV, secara lambat, lalu 1 gram tiap jam atau 6 gram tiap 6 jam bila fungsi normal, dengan dosisi tersebut dihasilkan kadar terapi efektif 13 mg/dl plasma. Pada pasien penyakit ginjal atau oliguria diperlukan dosis lebih kecil. Anak-anak 100 mg/kg BB tiap 6 jam untuk 6 hari. Bila digunakan IV asam aminokaproat harus dilarutkan ringer. Namun masih diperlukan bukti lebih lanjut mengenai keamanan penggunaan obat ini jangka panjang untuk dosis di atas. 2.13.2.5 ASAM TRANEKSAMAT Asam Traneksamat merupakan obat hemostatik yang merupakan penghambat bersaing dari aktivatorplasminogen dan penghambat plasmin. Oleh karena itu dapat membantu mengatasi perdarahanberat akibat fibrinolisis yang berlebihan. 1. Farmakodinamik Tranexamid acid merupakan antifibrinolytic yang kompetitif menghambat aktivasi plasminogen menjadi plasmin. Asamtraneksamat merupakan inhibitor kompetitifaktivasi plasminogen, dan konsentrasi pada yang jauh lebih tinggi, inhibitor non kompetitif dari plasmin, yaitu, aksi yang sama untuk asamamino kaproat. Asam traneksamat adalah sekitar 10 kali lebih kuat secara in vitro dari asam amino kaproat. Asam traneksamat mengikat lebih kuat dibandingkan asam aminokaproatuntuk kedua situs reseptor yang kuat dan lemah dari molekul plasminogen dalam asio yang sesuai dengan perbedaan potensi antara senyawa. Asam traneksamat dalam konsentrasi 1 mg per ml tidak agregat platelet secara in vitro. Padapasiendengan angioedema herediter, penghambatan pembentukan dan aktivitas plasmin oleh asam traneksamat dapat mencegah serangan angioedema dengan menurunkan plasmin-diinduksiaktivasi protein komplemenpertama (C1). 2. Mekanisme kerja Asam tranesamat cepat diabsorsi dari saluran cerna,sampai 40% dari 1 dosis oral dan 90% dari 1 dosis IV diekresi melalui urin dalam 24 jam. Indikasi : Obat ini menpunyai indikasi dan mekanisme kerja yang sama dengan asamaminokoproat tetapi 10 kali lebih poten dengan efek sampning yang lebih ringan.
3. Kontraindikasi Kontraindikasi pemakaian koagulan adalah tidak pada penderita hipertensi, tidak disarankan pada saat kehamilan, hati hati terhadap pasien yang pernah menderita trombuembuli. 4. EfekSamping 1. Gangguan gastrointestinal: mual, muntah, sakit kepala, anoreksia 2. Gangguan penglihatan, gejala menghilang dengan pengurangan dosis atau penghentian pengobatan 5. Dosis 1. Perdarahan abdominal setelah operasi : 1 gram 3 x sehari (injeksi IV pelan-pelan) pada3 hari pertama, dilanjutkan pemberian oral 1 gram 3-4 x sehari (mulai pada hari ke-4 setelah operasi sampai tidak tampak hematuria secara makroskopis). Untuk mencegah perdarahn ulang dapat diberikan peroral 1 gram 3-4x sehari selama 7 hari. 2. Perdarahan setelah operasi gigi pada penderita hemophilia: 1) Sesaat sebelum operasi: 10 mg/kgBB (IV) 2) Setelah operasi: 25 mg/kgBB (oral) 3-4x sehari selama 2-8 hari 3. Pada penderita yang tidak dapat diberikan terapi oral dapat dilakukan terapi parenteral 10 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi 3-4kali) 6. Sediaan Kapsul 250 mg, 500 mg Injeksi 5 ml/250 mg dan 5 ml/500 mg 2.13.2.6 KARBAZOKROM 1. Definisi Carbazocrome merupakan derivat dari semikarbozon yang berfungsi untuk menghentikan perdarahan dengan memperbaiki permeabilitas kapiler. Penggunaan karbazokrom lebih tepat digunakan untuk ibu bersalin karena pada saat persalinan terjadi perdarahan baik fisiologis maupun patologis dengan daya kerjanya yang memperbaiki permeabilitas kapiler darah akan membantu mengatasi perdarahan tersebut 2. Mekanisme kerja 1) Menghambat peningkatan permeabilizas kapiler 2) Meningkatkan resistensi kapiler 3. Indikasi
merupakan obat hemostatik yang diindikasikan untuk : 1.
Perdarahan karena penurunan resistensi kapiler dan meningkatnya permeabilitas kapiler.
2.
Perdarahan dari kulit, membran mukosa dan internal.
3.
Perdarahan sekitar mata, perdarahan nefrotik dan metroragia.
4.
Perdarahan abnormal selama dan setelah pembedahan karena menurunnya resistensi kapiler 4. Kontraindikasi
Penderita hipertensi, tidak disarankan pada saat kehamilan, hati hati terhadap pasien yang pernah menderita trombuembuli. 5. Dosis dan sediaan Sediaan :
Tablet 10 mg/ Forte 30 mg
Injeksi 2 ml/10 mg dan 5 ml/25 mg 2.14 HEMOSTASIS DAN KOAGULAN Hemostasis adalah mekanisme untuk menghentikan dan mencegah perdarahan. Jika terdapat luka pada pembuluh darah, segera akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah sehingga aliran darah ke pembuluh darah yang terluka berkurang. Kemudian trombosit akan berkumpul dan melekat pada bagian pembuluh darah yang terluka untuk membentuk sumbat trombosit. Faktor pembekuan darah yang diaktifkan akan membentuk benangbenang fibrin yang akan membuat sumbat trombosit menjadi non permeabel sehingga perdarahan dapat dihentikan. Dalam proses hemosatasis terjadi 3 reaksi yaitu reaksi vascular berupa vasokontriksi pembuluh darah, reaksi selular yaitu pembentukan sumbat trombosit, dan reaksi biokimiawi yaitu pembentukan fibrin. Faktor-faktor yang memegang peranan dalam proses hemostasis adalah pembuluh darah, trombosit, dan faktor pembekuan darah. Antikoagulan adalah zat yang mencegah penggumpalan darah dengan cara mengikat kalsium atau dengan menghambat pembentukan trombin yang diperlukan untuk mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin dalam proses pembekuan. Antikoagulan dikelompokan menjadi: 1. Heparin: Antikoagulan yang bekerja langsung 2. Antikoagulan oral: Antikoagulan yang bekerja tidak langsung. Contoh: Dikumoral, Warfarin, Anisindion.
3. Antikoagulan bekerja mengikat ion Kalsium (faktor pembekuan darah). 1. Heparin Heparin: satu-satunya antikoagulan diberikan parenteral dan pilihan bila diperlukan efek cepat pada: - Emboli paru-paru, - Trombosis vena dalam - Infark miokard akut. Cara kerja Heparin: menghambat pembentukan trombin dengan cara mengikat anti trombin III (AT III). 2. Antikoagulan Oral: Berguna untuk pencegahan dan pengobatan tromboemboli. Umumnya digunakan dalam jangka panjang. Antikoagulan oral pada dasarnya merupakan antagonis vitamin K. Contoh: Dikumoral, Warfarin, Anisindion. Cara kerja Antikoagulan Oral dengan menghambat sisntesis protrombin juga faktor VII, IX dan X dalam hati. 3. Antikoagulan Pengikat Ion Kalsium Natrium Sitrat dalam darah akan mengikat kalsium menjadi kompleks kalsium sitrat. Banyak digunakan dalam darah untuk transfusi, karena tidak tosik. Asam oksalat dan senyawa oksalat lainnya digunakan untuk antikoagulan di luar tubuh (in vitro), sebab terlalu toksis untuk penggunaan in vivo (di dalam tubuh). Natrium Edetat mengikat kalsium menjadi kompleks dan bersifat sebagai Antikoagulan. Untuk mengatasi perdarahan akibat penggunaan antikoagulan digunakan Protamin Sulfat.
CHAPTER 3 CASE STUDY
3.1 TUTORIAL 1 3.1.1 KASUS A 30 years old woman name Mrs. Open came to RSGM with the chief complain painful in the right posterior gum lower jaw since 2 days ago and everytime she eat the gum is bitten. She used paracetamol but the pain is not relief. She feel suffered with the condition and asked the dentist to help her. Physical examination shown her temperature is 37o C and blood pressure is 120/80 mmHg. Intra oral examination shown the gum is redness and edema at region 48, tooth 48 partial eruption and extra oral examination shown lymphadenitis around right submandibular lymph node. Radiograph examination shown tooth 48 impacted class II. The dentist diagnosed pericoronitis et causa impaction class II tooth 48 and he/she gave the patient a prescription of ibuprofen 400 mg for 3 days if needed after meal. The dentist asked her to come back 3 days later for extraction. Instructions: 1. What is the problem? 2. What is the caused of the problem? 3. Please generate your hypotesis. 3.1.2 IDENTITAS PASIEN Nama
: Mrs. Open
Jenis Kelamin : Perempuan Usia
: 30 Tahun
3.1.3 HASIL PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Umum Suhu
: 37oC
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Pemeriksaan Intra Oral Gusi kemerahan dan edema pada region 48 serta erupsi sebagian gigi 48
Pemeriksaan Ekstra Oral Lymphadenitis di sekitar nodus limfa submandibular kanan
Pemeriksaan Radiografi Impaksi Kelas II gigi 48
Diagnosa Pericoronitis et causa Impaksi Kelas II gigi 48
3.1.4 TERMINOLOGI
Paracetamol: obat analgesik dengan cara kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di sistem syaraf pusat.
Ibuprofen: obat anti inflamasi non-steroid yang digunakan dalam pengobatan demam, nyeri, dll.
Lympadenitis: peradangan pada satu atau lebih kelenjar limfa.
Impaksi kelas II: impaksi dengan ukuran mesio-distal gigi molar ketiga lebih besar dari jarak antara distal gigi molar kedua dengan ramus mandibula.
Prostaglandin: golongan asam lemak yang mempengaruhi kerja hormon.
3.1.5 IDENTIFIKASI MASALAH
Keluhan utama: sakit pada gusi rahang bawah posterior kanan sejak dua hari lalu karena gusinya selalu tergigit ketika mengunyah.
3.1.6 HIPOTESIS Pericoronitis et causa Impaksi Kelas II gigi 48 3.1.7 MEKANISME Impaction tooth 48 ↓ Partial eruption tooth 48 ↓ Gum bitten ↓ Pericoronitis ↓
Inflamation ↓ Redness gum + Edema + Fever + Painful ↓ Given Paracetamol ↓ Pain still not relief because of Lympadenitis ↓ Given Ibuprofen ↓ Extraction after 3 days
3.1.8 INFO TAMBAHAN Pemeriksaan radiografis sudah dilakukan. 3.1.9 I DON’T KNOW
Obat anti inflamasi
Obat anti inflamasi non-steroid
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Mekanisme obat
Indikasi
Kontraindikasi
Efek samping
Dosis
Sediaan
Signetur
3.1.10 LEARNING ISSUE
Paracetamol
Ibuprofen
3.2 TUTORIAL 2 3.2.1 KASUS After 3 days she’s back and the condition is better. The pain is relief, the gum was never bitten again. The dentist follow the treatment with odontectomy tooth 48 by using lidocain + adrenalin before surgery. The dentist is giving instruction to do not touch the wound with tongue, hands or anything. But a few hours later she’s back because the blood wouldn’t stop and the dentist treated with topical hemostatic agents to stop the bleeding. She must come back a week later to control the wound after extraction. Instruction: 1. What is the problem? 2. What is the caused of the problem? 3. Please generate your hypothesis! 3.2.2 IDENTITAS PASIEN Nama
: Mrs. Open
Jenis Kelamin : Perempuan Usia
: 30 Tahun
3.2.3 HASIL PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Intra Oral Setelah 3 hari kondisi sudah membaik, sakitnya sudah hilang dan gusi tidak pernah tergigit lagi
3.2.4 TERMINOLOGI
Odontectomy: pengeluaran gigi yang erupsi sebagian.
Lidocain: obat bius untuk operasi kecil.
Adrenalin: hormon yang memicu reaksi terhadap tekanan dan kecepatan gerak tubuh.
Hemostatic agents: agen yang berperan dalam penghentian perdarahan.
3.2.5 IDENTIFIKASI MASALAH
Keluhan utama: beberapa jam setelah odontectomy pasien kembali karena darah tidak berhenti lalu ditangani dengan topical hemostatic agents untuk menghentikan perdarahan.
3.2.6 HIPOTESIS Perdarahan karena pasien mungkin tidak mengikuti instruksi dokter gigi 3.2.7 MEKANISME Pemberian Lidocain dan Adrenalin sebelum operasi ↓ Odontectomi gigi 48 ↓ Terjadi luka yang tidak boleh disentuh ↓ Pasien tidak mengikuti instruksi ↓ Terjasi perdarahan akibat luka yang terbuka ↓ Pemberian topical hemostatic agents 3.2.8 LEARNING ISSUE
Klasifikasi anestesi lokal
Lidocain
Klasifikasi hemostatik
Adrenalin
Hemostatik dan koagulasi
REFERENCES
Covino, B.G. 1984. ”Pharmacodynamic and pharmacokinetic aspects of local anesthetics”. Ann Chir Gynaecol. 1984;73(3). http://www.drugs.com/pro/bupivacaine.html diakses pada 9 November 2014 http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/135/jtptunimus-gdl-danangariw-6712-2-babii.pdf Yagiela JA, Dowd FJ, Neidle EA. 2004. Pharmacology and therapeutics for dentistry. Edisi 5. New Delhi: Mosby Elsevier.