BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG
Ruang Intensive merupakan salah satu fungsi Rumah Sakit dalam rangka melaksanakan perawatan Intensive yang memiliki tempat atau unit tersendiri di dalam rumah sakit, dimana ditempat itu memiliki staf khusus, peralatan khusus yang ditujukan untuk menanggulangi pasien gawat karena penyakit, trauma atau komplikasi yang mengancam jiwa (Dep.Kes. RI, 2010 :1). Yang dimaksud staf khusus adalah dokter, perawat terlatih atau berpengalaman dalam Intensive Care (perawat / terapi intensif), dokter ahli (intensifis) sebagai kepala ICU, tenaga ahli laboratorium diagnostic, teknisi alat-alat pemantauan yang mampu memberikan pelayanan selama 24 jam (Dep.Kes.RI, 2003:7). Sedangkan berdasarkan Materi Pelatihan Keperawatan Intensif RSUP Cipto Mangunkusumo mendefinisikan ICU merupakan ruang rawat di rumah sakit yang dilengkapi staf dan peralatan khusus untuk merawat dan mengobati pasien yang mengancam nyawa oleh kegagalan satu atau lebih organ akibat penyakit, bencana atau komplikasi yang masih ada harapan hidup (RSUP. Dr. Cipto Mangunkusumo, 2010:3). Pada prinsipnya untuk mewujudkan suatu pelayan intensif terpadu yang bermutu maka salah satu persyaratan dalam penyelenggaraan pelayanan intensif yang berkualitas perlu diadakan suatu pelatihan ICU. Pelatihan ICU ini bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan, keterampilan dan pengetahuan perawat yang bekerja di ruang intensif maka diperlukan pelatihan – pelatihan yang mendukung profesionalisme agar senantiasa dapat memberikan pelayanan yang bermutu seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran dan keperawatan. Kualitas pelayanan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu pelayanan di bidang teknis medis dan pelayanan di bidang asuhan keperawatan intensif. Klien tidak akan puas apabila mendapat pelayanan dari segi medis saja, tanpa diimbangi dengan proses asuhan keperawatan yang professional. Terbangunnya hubungan baik antara sesama petugas rumah sakit, seperti dokter dengan perawat, perawat dengan perawat, petugas kesehatan dengan pasien dan keluarga pasien, maka diperlukan suatu proses manajemen pengelolaan asuhan keperawatan khususnya di bidang kritis.
Upaya untuk menciptakan hal tersebut adalah dengan meningkatkan kemampuan perawat dengan cara mengadakan pelatihan ICU. B. MAKSUD DAN TUJUAN Memberikan panduan dalam melaksanakan perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan penyelengaraan pelayanan ICU di Rumah Sakit. B.1. Tujuan
a. b. c. d.
Peserta memahami konsep dasar ICU Peserta mampu memberikan asuhan keperawatan kritis di ruang ICU Peserta mampu mengoperasionalkan alat-alat medis di ruang ICU Peserta mampu memberikan pelayanan yang cepat, tepat dan operasional dengan mengikutsertakan peran keluarga.
C. RUANG LINGKUP a. Diagnosis dan penatalaksanaan spesifik penyakit-penyakit akut yang mengancam nyawa dan menimbulkan kematian. b. Memberi bantuan dan mengambil alih fungsi vital tubuh sekaligus melakukan tindakan yang segera diperlukan berdaya guna dan berhasil guna untuk kelangsungan hidup. c. Pemantauan fungsi vital tubuh dan penatalaksanaan tehadap komplikasi yang ditimbulkan penyakit. d. Memberikan bantuan psikologis pada pasien dan keluarga yang kehidupanya sangat tergantung pada obat, alat dan mesin. D. a. b. c.
SASARAN Tenaga medis Tenaga Perawat Instalasi Rawat Intensif
E. INDIKATOR KEBERHASILAN Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta diklat diharapkan : a. Memahami konsep dasar ICU b. Mengetahui indikasi masuk dan keluar ICU c. Mengetahui sistem scoring yang ada di ruang ICU RSUD Wangaya d. Mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien kritis di ruang ICU e. Memahami tentang terapi dan tindakan medis di ruang ICU f.
Mengenal dan mampu mengoperasikan alat-alat medis di ruang ICU
g. Mengetahui standar pelayanan di ruang ICU
F. PETUNJUK BELAJAR Modul ini merupakan pokok-pokok penting dalam proses pembelajaran orang dewasa dalam rangka meningkatkan meningkatan mutu pelayanan di Ruang Intensive . Buatlah rangkuman sesuai dengan pemahaman anda untuk setiap bab yang dapat mencerminkan isi materi keseluruhan dari modul diklat ini. Perbanyak membaca literatur yang terkait denganpelayanan ICU, baik dari buku, video maupun situs internet yang banyak menyediakan informasi yang relevan dengan upaya menjaga mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit dalam rangka mewujudkan kualitas pelayanan kesehatan rumah sakit yang prima. BAB II FALSAFAH PELAYANAN ICU A. ETIKA KEDOKTERAN Landasan dasar dari etika kedokteran adalah ”falsafah dasar kedokteran” yaitu saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien, tidak merugikan pasien dan berorientasi untuk dapat secara optimal memperbaiki kondisi kesehatan pasien. Oleh karena itu hal yang perlu diperhatikan dalam hal etika pelayanan pasien ICU adalah : 1. Autonomy : hak pasien untuk menentukan hal yang terbaik bagi dirinya. 2. Benefiscence
: kewajiban dokter untuk memberikan apa yang terbaik dan
bermanfaat bagi kesembuhn pasien. 3. Non – maleficence : tidak melakukan hal-hal yang membahayakan pasien. 4. Justice : kewajiban memberikan pelayanan yang sama bagi setiap pasien. B. INDIKASI YANG BENAR Pada dasarnya pasien yang dirawat di icu adalah pasien dengan gangguan akut yang masih diharapkan pulih (reversible). Pasien yang layak di rawat di ICU adalah : 1. Pasien yang memerlukan intervensi medis segera oleh TIM perawatan intensif. 2. Pasien
yang memerlukan pengelolaan
fungsi sistem organ tubuh secara
terkoordinasi dan berkelanjutan sehingga dapat dilakukan pengawasan yang teru menerus dan metode terapi titrasi. 3. Pasien sakit kritis yang memerlukan pemantauan kontinyu, dan tindakan segera untuk mencegah timbulnya dekompensasi fisiologis.
C. KEBUTUHAN PELAYANAN KESEHATAN PASIEN Kebutuhan pelayanan pasien ICU adalah tindakan resusitasi jangka panjang yang meliputi dukungan hidup untuk fungsi-fungsi vital seper,ti .Airway (fungsi jalan napas), Breathing (fungsi pernapasan)·, Circulation (fungsi sirkulasi), Brain (fungsi otak) dan fungsi organ lain, disertai dengan diagnosis dan terapi definitif. D. KERJASAMA MULTIDISIPLIN Dasar pengelolaan pasien ICU adalah pendekatan multidisiplin dari beberapa displin ilmu terkait yang dapat memberikan kontribusi sesuai bidang keahlianya dan bekerjasama di dalam tim yang dipimpin oleh seorang dokter intensivist / dokter spesialis anestesi untuk Rumah Sakit Kelas C sebagai kepala ICU dan sebagai ketua TIM. TIM multidisiplin memiliki 5 (lima) karakteristik : 1. Staf medik dan keperawatan purna waktu sebagai kepala dengan otoritas dan tanggung jawab penuh terhadap manajemen ICU. 2. Staf medik, keperawatan, farmasi klinik, farmakologi klinik, gizi klinik dan mikrobiologi klinik yang berkolaborasi dengan pendekatan multidisiplin. 3. Mempergunakan standar, protokol atau guideline untuk memastikan pelayanan yang konsisten baik oleh dokter, perawat maupun staf yang laen. 4. Memiliki dedikasi untuk melakukan koordinasi dan komunikasi bagi seluruh manajemen ICU 5. Menekankan pada pelayanan yang sudah tersertifikasi, pendidikan, penelitian, masalah etik dan pengutamaan pasien. E. ASAS PRIORITAS Setiap dokter primer dapat mengusulkan agar pasienya dapat dirawat di icu asalkan sesuai dengan
indikasi masuk yg benar mengingat keterbatasan ketersediaan fasilitas di ICU.
Maka diberlakukan asas prioritas dan keputusan akhir adalah kewenangan kepala ICU. F. EFEKTIVITAS, KESELAMATAN DAN EKONOMIS Unit pelayanan ICU memiliki ciri biaya tinggi, teknologi tinggi, multi disiplin dan multi profesi berdasarkan asas efektivitas, keselamatan dan ekonomis. G. KONTINUITAS PELAYANAN Perlu dikembangkan unit pelayanan tingkat tinggi (High Care Unit = HCU) sebagai unit perawatan ”antara” dari bangsal rawat dan ICU. HCU tidak memerlukan peralatan canggih seperti ICU namun perlu kewaspadaan pemantauan yang tinggi.
BAB III KONSEP DASAR ICU A. PENGERTIAN ICU Menurut Achsanuddin, H (2007) Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang terpisah dengan staf yang khusus yang ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi klien yang menderita penyakit, cidera, atau penyakit-penyakit yang mengancam jiwa atau potensial mengancam jiwa dengan prognosis dubia. Icu menyediakan kemampuan dan sarana, prasarana serta peralatan khusus untuk menunjang fungsi-fungsi vital dengan menggunakan ketrampilan staf medik, perawat dan staf lain yang berpengalaman dalam pengolahan keadaan tersebut (Depkes RI, 2003: 1) B. KLASIFIKASI PELAYANAN ICU Dalam menyelenggarakan pelayananya di Rumah Sakit, pelayanan ICU dibagi dalam beberapa klasifikasi pelayanan. Jenis tenaga dan kelengkapan pelayanan menentukan klasifikasi pelayanan di rumah sakit tersebut atau sebaliknya. Tabel 1. Klasifikasi Pelyanan ICU
C. KETENAGAAN Tenaga yang terlibat dalam ICU terdiri dari tenaga dokter intensivist, dokter spesialis dan dokter yang telah mengikuti pelatihan ICU dan perawat terlatih ICU. Tenaga tersebut
menyelenggarakan
palayanan
ICU
kewenangan yang diatur oleh masing masing RS. Tabel 2. Ketenagaan
sesuai
dengan
kompetensi
dan
D. INDIKASI MASUK DAN KELUAR ICU Sarana dan prasarana ICU disuatu rumah sakit terbatas sedangkan kebutuhan pelayanan ICU lebih banyak, maka diperlukan suatu mekanisme untuk membuat prioritas sesuai indikasi sebagai berikut : Indikasi Masuk ICU Untuk terpai intensive, prioritas 1 didahulukan yaitu pasien sakit kritis, tidak stabil yang memerlukan terapi intensif dan titrasi seperti batuan ventilasi, alat penunjang fungsi organ. Prioritas 2adalah pasien yang memerlukan pemantauan canggih dan beresiko terjadi perburukan. Prioritas 3 adalah pasien sakit kritis yang tidak stabil, yang oleh penyakit yang mendasari secara sendiri ataupun kombinasi dan komplikasi yang terjadi, sangat kecil kemungkinan untuk sembuh walaupun dengan perawatan ICU.
Kriteria pasien keluar dari ICU: Prioritas pertama, adalah jika terapi mngalami kegagalan, prognosa jangka pendek buruk, bila sedikit kemungkinan perawatan intensive di teruskan. Prioritas kedua apabila perawatan intensive tidak di butuhkan dan pemantauan intensive tidak di perlukan. Prioritas ketiga terapi intensive kontinyu untuk pulih kembali sangat kecil, keuntungan dari terapi intensive sangat kecil atau tidak berespon terhadap terapi ICU. End Life Care (Perawatan Terminal Kehidupan) Pasien disediakan ruangan khusus agar keluarga isa lebih dekat, tidak diberikan lagi bantuan luar biasa, hanya kebutuhan dasar kehidupan dan terapi utk paliatif. E. INFORMED CONSENT Sebelum pasien masuk ke ICU, pasien dan keluarganya harus mendapatkan penjelasan secara lengkap dasar pertimbangan kenapa pasien harus mendapatkan perawatan ICU, serta berbagai macam tindakan kedokteran yang mungkin dilakukan selama pasien dirawat di ICU. F. ALUR PELAYANAN Pasien yang memerlukan perawatan ICU bisa berasal dari UGD, HCU, Kamar operasi, bangsal rawat inap atau unit khusus seperti endoskopi dan hemodialisa.
G. SARANA, PRASARANA DAN PERALATAN 1. Lokasi Dianjurkan satu kkomplek dengan kamar bedah dan kamar pulih, berdekatan atau mempunyai akses yang mudah ke UGD, Laboratorium dan radiologi. 2. Desain Pelayanan ICU yang memadai ditentukan berdasarkan desain yang baik dan pengaturan ruang yang adekuat seperti tabel. Ruang ICU dibagi menjadi beberapa area ang terdiri dari :
3. Peralatan Peralatan yang memadai baik kulitas maupun kuantitas sangat membantu kelancaran pelayanan. Uraian peralatan dapat dilihat dalam tabel berikut :
H. SISTEM RUJUKAN Rujukan
adalah
penyelenggaraan
kesehatan
yang
mengatur
pelimpahan
tugas/wewenang dan tanggung jawab secara timbal balik baik secara horisontal maupun vertikal terhadap kasus penyakit atau masalah kesehatan karena adanya keterbatasan dalam memberikan pelayanan yang dibutuhkan pasien. a. Rujukan eksternal (antar fasilitas pelayanan kesehatan) 1. Rujukan vertikal
Rujukan yang terjadi dari suatu fasilitas pelayanan kesehatan kepada fasilitas pelayanan kesehatan dalam tingkat pelayanan kesehatan yang bebeda. 2. Rujukan horisontal Rujukan yang terjadi dari suatu fasilitas pelayanan kesehatan kepada
fasilitas
pelayanan
kesehatan
lainya
yang
memiliki
kemampuan yang lebih tinggi dalam suatu tingkatan yang sama. b. Rujukan Internal (intra fasilitas pelayanan kesehatan) Secara umum, tujuan dilakukanya rujukan adalah : a. Membutuhkan pendapat dari ahli lain (second opinion) b. Memerluka pemeriksaan yang tidak tersedia di fasilitas tersebut c. Memerluka intervensi medis diluar kemampuan fasilitas kesehatan tersebut d. Memerlukan penatalaksanaan bersama dengan ahli lainya e. Memerlukan perawatan dan pemantauan lebih lanjut
I.
MONITORING DAN EVALUASI Monitoring dan evaluasi dilaksanakan secara berkesinambungan guna mewujudkan pelayanan ICU yang aman, bermutu dan mengutamakan keselamatan pasien. Indikator pelayanan ICU menggunakan sistem scoring prognosis dan keluaran ICU. Sistem scoring dibuat 24 jam stelah pasien masuk ICU. Beberap contoh scoring sistem di ICU diantaranya APACHE II, SAPS, MODS, SOFA dll.
J. PEMBIAYAAN Penyelenggaraan pelayanan ICU dirumah sakit mengacu pada pola tarif standar kelas 1 (satu) dimana sumber pembiayaan dapat berasal dari : a. APBD b. APBN c. Jamkesda d. Jamkesmas e. Asuransi Kesehatan f. Masyarakat dan sumber pembiayaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundand-undangan. BAB IV PENGORGANISASIAN A.
STRUKTUR ORGNISASI Untuk mencapa tujuan dan sasaran yang optimal perlu ditata pengorganisasian pelayanan dengan tugas dan wewenang yang jelas dan terinci baik secara administratif.
B. URAIAN TUGAS Uraian tugas masing masing personil adalah sebagai berikut : a. Kepala ICU Tugas pokok 1. Menyelenggarakan upaya pelayanan ICU yang sesuai dengan kemampuan ketenagaan yang ada. 2. Menyelenggarakan dan melaksanakan kerjasama lintas program dan lintas sektoral yang terkait. Uraian tugas 1. Merencanakan/membuat rencana kerja kebutuhan tim setiap tahunya. 2. Menyelenggarakan
pelayanan
icu
berdasarkan
rencana
kebutuhan
ketenagaan sesuai kebijakan yang telah ditetapkan oleh direktur RS 3. Menyelenggarakan pendidikan, pelatihan, penelitian serta pengembangan ilmu. 4. Menyelenggarakan rujukan, bakdi dalam maupun ke dan dari luar rumah sakit. 5. Menyelenggarakan kerjasama dengan tim / SMF lain di RS serta hubungan lintas program dan lintas sektoral melalui direktur RS. 6. Bertanggung jawab atas laporan berkala pelayanan ICU. 7. Bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan ICU di RS. 8. Mengadakan supervisi dan pembinaan pelayanan ICU di RS b. Koordinator Pelayanan Tugas Pokok 1. Menyediakan kelengkapan fasilitas, sarana dan prasarana sesuai dengan kegiatan yang ada, pengaturan sumber daya manusia yang dibutuhkan sehingga kegiatan pelayanan ICU berjalan lancar. 2. Menyelenggarakan upaya pelayanan ICU serta melaksanakan rujukan ke dan dari SMF lain bila perlu Uraian Tugas 1. Merencanakan membuat rencana kerja serta rencana kebutuhan ICU setiap tahunya 2. Menyediakan kelengkapan pelayanan ICU berdasarkan kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh ketua tim pelayanan ICU 3. Menyediakan kelengkapan tugas pendidikan, latihan dan penelitian serta pengembangan sesuai kebijakan tim. 4. Menyelenggarakan kerjasama dengan SMF di umah sakit
5. Bertanggung jawab kepada kepala ICU atas peyelenggaraan pelayanan ICU di RS c. Dokter Intensivist / Dokter Spesialis / Dokter Tugas pokok : Melaksanakan pelayanan ICU dan membantu pelaksanaan pendidikan serta penelitian. Uraian Tugas : 1. Bertindak sebagai anggota TIM di pelayanan ICU 2. Melaksanakan re-evaluasi pasien dan menentukan program selanjutnya bagi pasien. 3. Mengirim kembali dan menyampaikan jawaban konsultatif kepada dokter pengirim. 4. Bertanggung jawab atas pelaksanaan program pelayanan ICU kepada koordinator pelayanan ICU 5. Membantu pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tenaga medis dan tenaga perawat dilingkungan pelayanan ICU 6. Bekerjasama dengan semua pihak dalam membantu penelitian dan pengmbangan ilmu kedokteran intensif. d. Perawat Tugas pokok : Mengelola pelayanan dan asuhan keperawatan secara komprehensif meliputi pengkajian, diagnosis keperawatan, perencanaan, tindakan keperawatan serta evaluasi pada pasien ICU. Uraian Tugas : 1. Bertindak sebagai anggota TIM ICU di semua jenis pelayanan 2. Melaksanakan semua program perawatan, sesuai rencana keperawatan yang disepakati oleh tim 3. Melaksanakan
re-evaluasi
pasien
dengan
mengusulkan
program
keperawatanselanjutnya bagi pasien. 4. Bertanggung jawab atas pelaksanaan program perawtaan ICU kepada koordinator pelayanan ICU. 5. Melkasanakan pelatihan bagi tenaga perawat dilingkungan pelayanan ICU e. Koordinator administrasi dan keuangan Tugas pokok : Melaksanakan tata persuratan dan kerasipan, rumah tangga dan kebendaharaan yang baik serta sistem dokumentasi dan pelaporan pelayanan ICU Uraan tugas
1. Menjawab surat menyurat masuk 2. Mambantu kepala ICU dalam membuat laporan hasil kegiatan dan keuangan secara berkala 3. Mengatur kebutuhan dan kegiatan kerumahtanggan sehari-hari 4. Pemeliharaan sarana dan kebutuhan untuk kelancaran pelayanan 5. Membuat laporan berkala mengenai barang rusak, mutasi barang dan lain lain. BAB V STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN INTENSIF A. Pendahuluan Mengingat banyaknya standar asuhan keperawatan Intensif maka pada tahap awal ini hanya akan diuraikan asuhan keperawatan Intensif dengan penggunaan ventilasi mekanik dan gangguan hemodinamik B. Pengertian Asuhan keperawatan intensif adalah kegiatan yang memberikan acuan yang minimal dan diberikan oleh perawat di unit instalasi perawatan intensif. Asuhan keperawatandilakukan dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan yang merupakan metode ilmiah dan panduan dalam asuhan keperawatan yang berkualitas guna mengatasi masalah pasien. Pengkajian Merupakan langkah awal dari proses keperawatan yang mengharuskan perawat menemukan data kesehatan klien secara tepat. Pengkajian meliputi proses pengumpulan data, validasi data, menginterpretasikan data dan menmformulasikan masalah atau diagnosa keperawatan sesuai hasil analisa data Penempatan masalah/diagnosa keperawatan Setelah melaukan pengkajian data dikumpulkan dan diiterpretasikan kemudian dianalisa lalu ditetapkan masalah/diagnosa keperawatan berdasarkan data yang menyimpang dari fisiologis. Melaksanakan tindakan keperawatan Semua tindakan yang dilakukan dalam memberikan pelayana asuhan keperawatan sesuai dengan rencana tindakan, hal ini penting dilakukan dalam menentukan tujuan akhir dalam pelayanan tindakan keprawatan dapat dalam bentuk observasi, tindakan prosedur tertentu, tindakan kolaboratif dan pendidikan kesehatan Evaluasi Evaluasi adalah langkah kelima dalam proses keperawatan dan merupakan dasar pertimbangan yang sistematis untuk menilai keberhasilan tindakan keperawatan dan
sekaligus dan merupakan alat untuk melakuakan penilain ulang dalam upaya dalam melakukan modifikasi/ revisi diagnosa dan tindakan evluasi yang dilakuakan sebagai asuhan yang disebut sebagai evaluasi proses dan evaluasi hasil.
Dokumentasi keperawatan Adalah catatan yang berisi data pelaksanaan tindakan keperawatan atau respon klien terhadap tindakan keperwatan sebagai pertanggungjawaban dan pertanggungugatan terhadap asuhan keperawatan yang dilakukan perawat kepada pasien dari kebijakan.
Dalam bab ini akan dibahas “Asuhan Keperawatan Pasien Kritis Dengan Bantuan Ventilasi Mekanik”
1. Pengertian Ventilasi mekanik diklasifikasikan berdasarkan cara alat tersebut mendukung ventilasi, dua kategori umum adalah ventilator tekanan negatif dan tekanan positif. Ventilator Tekanan Positif Ventilator tekanan positif menggembungkan paru-paru dengan mengeluarkan tekanan positif pada jalan nafas dengan demikian mendorong alveoli untuk mengembang selama inspirasi. Pada ventilator jenis ini diperlukan intubasi endotrakeal atau trakeostomi. Gambaran ventilasi mekanik yang ideal adalah : a. b.
Sederhana, mudah dan murah Dapat memberikan volume tidak kurang 1500cc dengan frekuensi nafas hingga 60X/menit dan dapat diatur ratio I/E.
c.
Dapat digunakan dan cocok digunakan dengan berbagai alat penunjang pernafasan yang lain.
d. e.
Dapat dirangkai dengan PEEP Dapat memonitor tekanan , volume inhalasi, volume ekshalasi, volume tidal, frekuensi nafas, dan konsentrasi oksigen inhalasi
f.
Mempunyai fasilitas untuk humidifikasi serta penambahan obat didalamnya
g. h.
Mempunyai fasilitas untuk SIMV, CPAP, Pressure Support Mudah membersihkan dan mensterilkannya.
2. Indikasi Klinik
2..1 Kegagalan Ventilasi a. Neuromuscular Disease b. Central Nervous System disease c. Depresi system saraf pusat d. Musculosceletal disease e. Ketidakmampuan thoraks untuk ventilasi
2.2 Kegagalan pertukaran gas a. Gagal nafas akut b.Gagal nafas kronik c.Gagal jantung kiri d. Penyakit paru-gangguan difusi e. Penyakit paru-ventilasi / perfusi mismatch
2.3 Modus Operasional Untuk menentukan modus operasional ventilator terdapat empat parameter yang diperlukan untuk pengaturan pada penggunaan volume cycle ventilator, yaitu : a. b. c. d.
Frekuensi pernafasan permenit Tidal volume Konsentrasi oksigen (FiO2) Positive end respiratory pressure
Pada klien dewasa, frekuensi ventilator diatur antara 12-15 x / menit. Tidal volume istirahat 7 ml / kg BB, dengan ventilasi mekanik tidal volume yang digunakan adalah 10-15 ml / kg BB. Untuk mengkompensasi dead space dan untuk meminimalkan atelektase (Way, 1994 dikutip dariLeMone and Burke, 1996).Jumlah oksigen ditentukan berdasarkan perubahan persentasi oksigen dalam gas. Karena resiko keracunan oksigen dan fibrosis pulmonal maka FiO2 diatur dengan level rendah. PO2 dan saturasi oksigenbarteri digunakan untuk menentukan konsentrasi oksigen. PEEP digunakan untuk mencegah kolaps alveoli dan untuk meningkatkan difusi alveolikapiler.
2.4 Modus operasional ventilasi mekanik terdiri dari :
a. Controlled Ventilation Ventilator mengontrol volume dan frekuensi pernafasan. Indikasi untuk pemakaian ventilator meliputi pasien dengan apnoe. Ventilasi mekanik adalah alat pernafasan bertekanan negatif atau positif yang dapat mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen dalam waktu yang lama.Ventilator tipe ini meningkatkan kerja pernafasan klien. b. Assist/Control Ventilator jenis ini dapat mengontrol ventilasi, volume tidal dan kecepatan. Bila klien gagal untuk ventilasi, maka ventilator secara otomatis. Ventilator ini diatur berdasarkan atas frekuensi pernafasan yang spontan dari klien, biasanya digunakan pada tahap pertama pemakaian ventilator. c. Intermitten Mandatory Ventilation Model ini digunakan pada pernafasan asinkron dalam penggunaan model kontrol, klien dengan hiperventilasi. Klien yang bernafas spontan dilengkapi dengan mesin dan sewaktu-waktu diambil alih oleh ventilator. d. Synchronized Intermitten Mandatory Ventilation (SIMV) SIMV dapat digunakan untuk ventilasi dengan tekanan udara rendah, otot tidak begitu lelah dan efek barotrauma minimal. Pemberian gas melalui nafas spontan biasanya tergantung pada aktivasi klien. Indikasi pada pernafasan spontan tapi tidal volume dan/atau frekuensi nafas kurang adekuat. e. Positive End-Expiratory pressure Modus yang digunakan dengan menahan tekanan akhir ekspirasi positif dengan tujuan untuk mencegah Atelektasis. Dengan terbukanya jalan nafas oleh karena tekanan yang tinggi, atelektasis akan dapat dihindari. Indikasi pada klien yang menederita ARDS dan gagal jantung kongestif yang massif dan pneumonia difus. Efek samping dapat menyebabkan venous return menurun, barotrauma dan penurunman curah jantung. f. Continious Positive Airway Pressure. (CPAP) Ventilator ini berkemampuan untuk meningkatakan FRC. Biasanya digunakan untuk penyapihan ventilator.
3.Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan mayor klien dapat mencakup : a.
Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan penyakit yang mendasari, atau penyesuaian pengaturan ventilator selama stabilisasi atau
penyapihan . b.
Ketidak efektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan pembentukan lendir yang berkaitan dengan ventilasi mekanik tekanan positif .
c.
Risiko terhadap trauma dan infeksi yang berhubungan dengan intubasi endotrakea
d.
Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan ketergantungan ventilator
e.
Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan tekanan selang endotrakea dan pemasangan pada ventilator.
f. Koping individu tidak efektif dan ketidak berdayaan yang berhubungan dengan ketergantungan pada ventilator. Masalah kolaboratif /Komplikasi Potensial a. b.
Melawan kerja ventilator Masalah-masalah ventilator – peningkatan dalam tekanan jalan nafas nafas puncak ; penurunan tekanan ; kehilangan volume
c. d. e. f. g.
Gangguan kardiovaskuler Barotrauma dan pneumothoraks Infeksi paru Ketidakmampuan mempertahankan ventilasi spontan Disfungsi respon penyapihan ventilator
3.1 Perencanaan dan Implementasi Tujuan utama bagi pasien yaitu : pertukaran gas optimal; penurunan akumulasi lendir; tidak terdapat trauma atau infeksi ; pencapaian mobilisasi yang optimal ; penyesuaian terhadap metode komunikasi non verbal ; mendapatkan tindakan koping yang berhasil ; dan tidak terjadi komplikasi. Asuhan keperawatan pada pasien dengan ventilasi mekanik membutuhkan teknik dan keterampilan interpersonal yang unik, antara lain : a. Meningkatkan pertukaran gas Tujuan menyeluruh ventilasi mekanik adalah untuk mengoptimalkan pertukaran gas dengan mempertahankan ventilasi alveolar dan pengiriman oksigen. Perubahan dalam pertukaran gas dapat dikarenakan penyakit yang mendasari atau factor mekanis yang berhubungan dengan penyesuaian dari mesin dengan pasien. Tim perawatan kesehatan, termasuk perawat , dokter, dan ahli terapi pernafasan , secara kontinu mengkaji pasien terhadap pertukaran gas yang adekuat , tanda dan gejala hipoksia, dan respon terhadap tindakan . Pertukaran gas yang tidak adekuat dapat berhubungan dengan faktor-faktor yang sangat beragam; tingkat kesadaran, atelektasis, kelebihan cairan, nyeri insisi, atau penyakit primer seperti pneumonia. Pengisapan jalan nafas bawah disertai fisioterapi dada ( perkusi,fibrasi ) adalah strategi lain untuk membersihkan jalan
nafas dari kelebihan sekresi karena cukup bukti tentang kerusakan intima pohon trakeobronkial. Intervensi keperawatan yang penting pada klien yang mendapat ventilasi mekanik yaitu auskultasi paru dan interpretasi gas darah arteri. Perawat sering menjadi orang pertama yang mengetahui perubahan dalam temuan pengkajian fisik atau kecenderungan signifikan dalam gas darah yang menandakan terjadinya masalah ( pneumotoraks, perubahan letak selang, emboli pulmonal ). b. Penatalaksanaan jalan nafas Ventilasi tekanan positif kontinu meningkatkan pembentukan sekresi apapun kondisi pasien yang mendasari. Perawat harus mengidentifikasi adanya sekresi dengan auskultasi paru sedikitnya 2-4 jam. Tindakan untuk membersihakn jalan nafas termasuk pengisapan, fisioterapi dada, perubahan posisi yang sering, dan peningkatan mobilitas secepat mungkin. Humidifikasi dengan cara ventilator dipertahankan untuk membantu pengenceran sekresi sehingga sekresi lebih mudah dikeluarkan. Bronkodilator baik intravena maupun inhalasi, diberikan sesuai dengan resep untuk mendilatasi bronkiolus. c. Mencegah trauma dan infeksi Penatalaksanaan jalan nafas harus mencakup pemeliharaan selang endotrakea atau trakeostomi. Selang ventilator diposisikan sedemikian rupa sehingga hanya sedikit kemungkinan tertarik atau penyimpangan selang dalam trakea. Perawatan trakeostomi dilakukan sedikitnya setiap 8 jam jika diindikasikan karena peningkatan resiko infeksi. Higiene oral sering dilakukan karena rongga oral merupakan sumber utama kontaminasi paru-paru pada pasien yang diintubasi pada pasien lemah. Adanya selang nasogastrik dan penggunaan antasida pada pasien dengan ventilasi mekanik juga telah mempredisposisikan pasien pada pneumonia nosokomial akibat aspirasi. Pasien juga diposisikan dengan kepala dinaikkan lebih tinggi dari perut sedapat mungkin untuk mengurangi potensial aspirasi isi lambung. d. Peningkatan tingkat mobilitas optimal Mobilitas pasien terbatas karena dihubungkan dengan ventilator. Mobilitas dan aktivitas otot sangat bermanfaat karena menstimuli pernafasan dan memperbaiki mental. Latihan rentang gerak pasif/aktif dilakukan tiap 8 jam untuk mencegah atrofi otot, kontraktur dan statis vena. e. Meningkatkan komunikasi optimal Metode komunikasi alternatif harus dikembangkan untuk pasien dengan ventilasi mekanik. Bila keterbatasan pasien diketahui, perawat menggunakan pendekatan komunikasi; membaca gerak bibir, menggunakan kertas dan pensil, bahasa gerak tubuh, papan komunikasi, papan pengumuman. Ahli terapi bahasa dapat membantu dalam menentukan metode yang paling sesuai untuk pasien. f.
Meningkatkan kemampuan koping.
Dengan memberikan dorongan pada klien untuk mengungkapkan perasaan mengenai ventilator, kondisi pasien dan lingkungan secara umum sangat bermanfaat. Memberikan penjelasan prosedur setiap kali dilakukan untuk mengurangi ansietas dan membiasakan klien dengan rutinitas rumah sakit. Klien mungkin menjadi menarik diri atau depresi selama ventilasi mekanik terutama jika berkepanjangan akibatnya perawat harus menginformasikan tentang kemajuannya pada klien, bila memungkinkan pengalihan perhatian seperti menonton TV, bermain musik atau berjalan-jalan jika sesuai dan memungkinkan dilakukan. Teknik penurunan stress (pijatan punggung, tindakan relaksasi) membantu melepaskan ketegangan dan memampukan klien untuk menghadapi ansietas dan ketakutan akan kondisi dan ketergantungan pada ventilator.
3.2 Evaluasi Hasil yang diharapkan dari asuhan keperawatan yang diberikan antara lain 1. Menunjukkan pertukaran gas, kadar gas darah arteri, tekanan arteri pulmonal dan tanda-tanda vital yang adekuat. 2. Menunjukkan ventilasi yang adekuat dengan akumulasi lendir yang minimal. 3. Bebas dari cedera atau infeksi yang dibuktikan dengan suhu tubuh dan jumlah sel darah putih. 4. Dapat aktif dalam keterbatasan kemampuan. 5. Berkomunikasi secara efektif melalui pesan tertulis, gerak tubuh atau alat komunikasi lainnya. 6. Dapat mengatasi masalah secara efektif.
3.2 Penyapihan dari ventilasi mekanik Kriteria dari penyapihan ventilasi mekanik : 1. Tes penyapihan a) Kapasitas vital 10-15 cc / kg b) Volume tidal 4-5 cc / kg c) Ventilasi menit 6-10 l d) Frekuensi permenit < 20 permenit 2. Pengaturan ventilator a) FiO2 < 50%
b) Tekanan ekspirasi akhir positif (PEEP) : 0 3. Gas darah arteri a) PaCO2 normal b) PaO2 60-70 mmHg c) PH normal dengan semua keseimbangan elektrolit diperbaiki 4. Selang Endotrakeal a) Posisi diatas karina pada foto Rontgen b) Ukuran : diameter 8.5 mm 5. Nutrisi a) Kalori perhari 2000-2500 kal b) Waktu : 1 jam sebelum makan 6. Jalan nafas a) Sekresi : antibiotik bila terjadi perubahan warna, penghisapan (suctioning) b) Bronkospasme : kontrol dengan Beta Adrenergik, Tiofilin atau Steroid c) Posisi : duduk, semi fowler 7. Obat-obatan a) Agen sedative : dihentikan lebih dari 24 jam b) Agen paralise : dihentikan lebih dari 24 jam 8. Emosi Persiapan psikologis terhadap penyapihan 9. Fisik Stabil, istirahat terpenuhi
BAB VI PENYAKIT, TERAPI DAN TINDAKAN MEDIS KEPERAWATAN DI ICU
BANTUAN HIDUP DASAR
Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support) merupakan aspek dasar dari tindakan penyelamatan sehubungan dengan kejadian henti jantung. Aspek yang penting dari BLS termasuk strategi pencegahan, pengenalan yang cepat dari kejadian henti jantung (cardiac arrest) mendadak, aktivasi dari sistem respon emergency, tindakan dini Cardiopulmonary rescucitation (CPR)/ resusitasi jantung paru (RJP) dengan perhatian pada kompresi dada, tindakan secara dini defibrilasi. Tindakan bantuan hidup lanjut (advance life Support) yang efektif dan penatalaksanaan post cardiac arrest secara terpadu. Serangkaian tindakan di atas disebut sebagai rantai keselamatan “chain of survival”.
1.
2.
3.
4.
5.
Gambar 1: Chain of Survival (sumber: AHA 2015) 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Surveillance dan strategi pencegahan Pengenalan yang cepat dari kejadian henti jantung (cardiac arrest), Aktivasi dari sistem respon emergency, tindakan dini resusitasi jantung paru (RJP) dengan kualitas tinggi Tindakan secara dini defibrilasi Tindakan bantuan hidup lanjut (advance life Support) Penatalaksanaan post cardiac arrest secara terpadu
Tujuan bantuan hidup dasar adalah untuk memberikan bantuan sirkulasi sistemik, ventilasi dan oksigenasi tubuh secara efektif dan optimal sampai didapatkan kembali sirkulasi sistemik secara spontan atau telah tiba bantuan dengan peralatan yang lebih lengkap untuk melaksanakan tindakan bantuan hidup lanjut atau sampai pasien dinyatakan meninggal. Kompresi dada merupakan komponen yang sangat penting pada RJP dikarenakan perfusi selama RJP sangat tergantung dari tindakan ini. Pelaksanaan bantuan hidup dasar dengan segera dan efektif, dapat meningkatkan keberhasilan resusitasi serta mengurangi gangguan neurologis yang terjadi
A. LANGKAH-LANGKAH BANTUAN HIDUP DASAR DEWASA Langkah-langkah Bantuan hidup dasar terdiri dari urut-urutan pemeriksaan diikuti dengan tindakan, seperti yang diilustrasikan di algoritme bantuan hidup dasar (gambar 2). Meskipun seakan-akan tindakan dilakukan secara berurutan. Tetapi idealnya apabila memungkinkan terutama untuk tenaga medis professional dan resusitasi di rumah sakit, resusitasi dilakukan secara tim yang bekerja secara simultan (sebagai contoh, satu penolong mengaktifkan sistem emergency sementara penolong lain melakukan kompresi dada, penolong lain dapat melakukan bantuan pernapasan dengan bag mask, dan mengaktifkan defibrillator)
Bantuan hidup dasar pasien dewasa terdiri langkah-langkah seperti di bawah ini:
Gambar 2: algoritme bantuan hidup dasar yang disederhanakan (AHA 2010) 1. MENGENALI KEJADIAN HENTI JANTUNG DENGAN SEGERA (CEK RESPON DAN CEK PERNAPASAN) Pada saat menemui korban dewasa yang tidak sadar, atau mendadak kolaps, setelah memastikan lingkungan aman, tindakan pertama adalah memastikan respon dari korban.
Penolong harus menepuk atau mengguncang korban dengan hati-hati pada bahunya dan bertanya dengan keras : “ Halo! Halo! Apakah anda baik-baik saja ? (gambar 3). Pada saat bersamaan penolong melihat apakah pasien tidak bernapas atau bernapas tidak normal (contoh: gasping). Jika pasien tidak menunjukkan respon dan tidak bernapas atau bernapas tidak normal (gasping) maka penolong harus mengasumsikan bahwa pasien mengalami henti jantung. Pada beberapa menit awal setelah terjadi henti jantung, korban mungkin bernapas tidak adekuat, lambat dan gasping. Jangan bingung dengan kondisi napas normal. Jika ragu-ragu apakah pasien bernapas tidak normal, lakukan tindakan sebagaimana pasien tidak bernapas normal. Sesuai dengan revisi panduan yang dikeluarkan American Heart Association 2015 mengenai bantuan hidup dasar, penolong tidak perlu melakukan observasi napas spontan dengan look, listen and feel karena langkah pelaksanaan yang tidak konsisten dan menghabiskan terlalu banyak waktu
Gambar 3: Memastikan respon korban dan secara bersamaan memastikan korban bernapas atau tidak, atau bernapas tidak normal (gasping)
2.
PEMERIKSAAN DENYUT NADI Pemeriksaan denyut nadi bukan hal yang mudah untuk dilakukan, bahkan tenaga kesehatan yang menolong mungkin memerlukan waktu yang agak lama untuk memeriksa deyut nadi, sehingga tindakan pemeriksaan denyut nadi tidak dilakukan oleh penolong awam dan langsung mengasumsikan terjadi henti jantung jika seorang dewasa mendadak tidak sadarkan diri atau penderita tanpa respon yang bernafas tidak normal. Periksa denyut nadi korban dengan merasakan arteri karotis pada orang dewasa. Lama pemeriksaan tidak boleh lebih dari 10 detik, jika penolong secara definitif tidak dapat merasakan pulsasi dalam periode tersebut, maka kompresi dada harus segera dilakukan. (cek nadi dilakukan secara simultan bersamaan dengan penilaian pernapasan korban)
Gambar 4. pemeriksaan nadi karotis
Jika pernapasan tidak normal atau tidak bernapas tetapi dijumpai denyut nadi pada korban, maka diberikan bantuan napas setiap 5-6 detik. Lakukan pemeriksaan ulang nadi korban setiap 2 menit. Hindari pemberian bantuan napas yang berlebihan, selama RJP direkomendasikan dengan volume tidal 500-600 ml (6-7 ml/kg), atau hingga terlihat dada korban mengembang.
Gambar 5. Mengaktifkan sistem emergency (code blue) rumah sakit 3. MENGAKTIFKAN SISTEM RESPON EMERGENCY
Jika pasien tidak menunjukkan respon dan tidak bernapas atau bernapas tidak normal (gasping) maka jika penolong mempunyai asisten, orang lain harus segera memanggil bantuan/panggil sistem emergency rumah sakit (contoh: 999) dan mengambil
AED jika tersedia (gambar 4). Informasikan secara jelas alamat/lokasi kejadian kondisi dan jumlah korban, No telp yang dapat dihubungi dan jenis kegawatannya. Bila korban bernapas normal, atau bergerak terhadap respon yang diberikan, maka usahakan tetap mempertahankan posisi pasien seperti saat ditemukan atau usahakan pasien diposisikan ke dalam posisi recovery; panggil bantuan, sambil melakukan pemantauan terhadap tanda-tanda vital korban secara terus menerus sampai bantuan datang. Segera setelah anda menentukan ketidaksadaran dan mengaktifkan 118, pastikan bahwa korban terbaring terlentang (pada punggungnya) diatas permukaan yang keras dan datar agar RJP efektif. Khusus untuk petugas medis pada henti jantung yang disebabkan karena asfiksia seperti korban tenggelam dan sumbatan benda asing jalan napas yang tidak sadar, petugas medis harus memberikan RJP 5 menit (2 menit) sebelum mengaktifkan respon emergency.
4. MULAI SIKLUS 30 KOMPRESI DADA DAN 2 BANTUAN NAPAS Kompresi dada yang efektif sangat penting untuk mengalirkan darah dan oksigen selama RJP. Kompresi dada terdiri dari aplikasi tekanan secara ritmik pada bagian setengah bawah dari sternum. Tindakan kompresi dada ini akan menyebabkan aliran darah akibat naiknya tekanan intrathorak dan kompresi secara langsung pada jantung. Meskipun mengalirkan darah dalam jumlah yang sedikit tetapi hal ini sangat penting untuk menghantarkan oksigen ke otot jantung dan otak, dan meningkatkan keberhasilan tindakan defibrilasi.
Gambar6.: Posisi tangan saat kompresi dada ((Sumber : ERC 2010) Mayoritas kejadian henti jantung pada penderita dewasa dengan angka keberhasilan hidup tertinggi adalah pasien henti jantung disaksikan (witnessed arrest) dengan irama awal ventricular fibrillation (VF) atau pulseless ventricular tachycardia (VT). Pada pasien ini, elemen awal yang paling
penting adalah kompresi dada dan segera dilakukannya defibrilasi. Rekomendasi sebelumnya dari AHA 2005 dengan sekuensial A-B-C (Airway-Breathing-Circulation), pemberian kompresi dada sering terlambat saat penolong berusaha membuka jalan napas, memberikan bantuan napas dari mulut ke mulut, atau mencari peralatan bantuan pernapasan. Rekomendasi yang terbaru sejak th 2010 AHA mengubah sekuen A-B-C menjadi C-A-B, sehingga diharapkan kompresi dada dan defibrilasi dapat segera diberikan.
Gambar 7: Posisi saat melakukan kompresi dada, posisi penolong harus vertikal di atas dada pasien (Sumber : ERC 2010)
Gambar 7: Algoritme bantuan hidup dasar untuk petugas medis (AHA 2015)
Mulai dengan kompresi dada dengan cara sebagai berikut: Posisi penolong berjongkok dengan lutut di samping korban sejajar dengan dada korban. Letakkan tumit dari salah satu tangan pada pusat dari dada korban (yaitu pada pada bagian setengah bawah dari sternum korban, letakkan tangan yang lain di atas tangan yang pertama, jari-jari ke dua tangan dalam posisi mengunci dan pastikan
bahwa tekanan tidak di atas tulang iga korban. Jaga lengan penolong dalam posisi lurus. Jangan melakukan tekanan pada abdomen bagian atas atau sternum bagian akhir. Posisikan penolong secara vertical di atas dinding dada korban, dan berikan tekanan ke arah bawah, sekurang-kurangnya 5 cm (tetapi jangan melebihi 6 cm). Gunakan berat badan anda untuk menekan dada dengan panggul berfungsi sebagai titik tumpu. Setelah masing-masing kompresi dada, lepaskan tekanan pada dinding dada secara penuh, tanpa melepas kontak tangan penolong dengan sternum (full chest recoil) , ulangi dengan kecepatan sekurang-kurangnya 100 kali/menit (tetapi jangan melebihi 120 kali/menit). Durasi waktu antara kompresi dan release kompresi harus sama.
Komponen yang perlu diperhatikan saat melakukan kompresi dada (High Quality CPR) : 1) Tekan cepat (push fast): Berikan kompresi dada dengan frekuensi yang mencukupi (minimal 100 kali/menit tetapi tidak lebih dari 120x/menit) 2) Tekan kuat (push hard): Untuk dewasa berikan kompresi dada dengan kedalaman minimal 2 inchi (5 cm) tetapi tidak lebih dari 2,4 inchi (6 cm) 3) Berikan kesempatan untuk dada mengembangkan kembali secara sempurna setelah setiap kompresi (full chest recoil). 4) seminimal mungkin melakukan interupsi baik frekuensi maupun durasi terhadap kompresi dada yang dilakukan 5) Perbandingan kompresi dada dan ventilasi 30: 2 direkomendasikan. (AHA 2015)
Berikan bantuan pernapasan Tujuan primer pemberian bantuan nafas adalah untuk mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan tujuan sekunder untuk membuang CO2. Setelah 30 kompresi dada , Untuk penolong awam, buka jalan napas korban dengan maneuver head tilt - chin lif baik pada korban trauma atau non trauma. Untuk petugas medis, Jika terdapat bukti adanya trauma atau kemungkinan cedera spinal, gunakan jaw thrust tanpa mengekstensikan kepala saat membuka jalan napas.
Gambar 8: chin lift, head tilt (Sumber : ERC 2010)
Buka jalan napas dengan head tilt dan chin lift, tekan bagian lunak dari hidung agar menutup dengan indek dan ibu jari penolong. Buka mulut pasien sambil mempertahankan chin lift. Ambil napas secara normal, dan letakkan mulut penolong pada mulut korban, dan pastikan kerapatan antara mulut korban dengan mulut penolong. Berikan bantuan napas pada mulut pasien sambil melihat pengembangan dada, pertahankan posisi head tilt dan chin lift, jauhkan mulut penolong dari korban dan lihat dada korban mengempis saat udara keluar dari korban. Ambil napas kembali secara normal, dan berikan pernapasan bantuan sekali lagi sehingga tercapai pemberian napas bantuan sebanyak 2 kali.
Gambar 9: Jaw thrust (Sumber : ERC 2010)
Penolong memberikan bantuan pernapasan sekitar 1 detik (inspiratory time), dengan volume yang cukup untuk membuat dada mengembang, dihindari pemberian bantuan napas yang cepat dan berlebih. Pemberian bantuan nafas yang berlebihan tidak diperlukan dan dapat menimbulkan distensi lambung beserta komplikasinya seperti regurgitasi dan aspirasi. Lebih penting lagi bahwa pemberian ventilasi yang berlebihan dapat menyebabkan naiknya tekanan intrathorakal, mengurangi venous return ke jantung dan menurunkan cardiac output. Untuk mengurangi resiko regurgitasi dan aspirasi, penekanan pada kartilago cricoid (Cricoid pressure) dapat dipertimbangan untuk tenaga medis terlatih dengan jumlah petugas yang mencukupi, hindari tindakan cricoid pressure yang berlebih yang dapat menyebabkan obstruksi trakhea.
Gambar 10.: pemberian bantuan napas dari mulut ke mulut (Sumber : ERC 2010)
Kedua bantuan pernapasan diharuskan tidak boleh lebih dari 5 detik. Langkah selanjutnya kembali tangan penolong ke dada korban dan lakukan kompresi dada lanjutan sebanyak 30 kali. Lanjutkan kompresi dada dan pernapasan bantuan dengan rasio 30:2. Jika awal pemberian napas bantuan tidak menyebabkan pengembangan dinding dada seperti pada kondisi normal pernapasan. Sebelum melakukan langkah selanjutnya: Lihat pada mulut korban, dan bersihkan apabila dijumpai adanya sumbatan. Cek kembali adekuatnya posisi kepala (chin lift dan head tilt). Jika terdapat lebih dari 1 penolong, penolong yang lain harus bergantian melakukan RJP setiap 2 menit untuk mencegah kelelahan. Pastikan interupsi dari kompresi dada minimal selama pergantian penolong. Teknik tersebut di atas berlaku untuk teknik pemberian bantuan pernapasan yang lain, seperti penggunaan masker ventilasi, dan penggunaan bag valve mask baik 1 penolong maupun 2 penolong dengan atau tanpa suplemen oksigen.
Gambar 11: Pemberian bantuan napas dari masker ventilasi ke mulut korban (Sumber : ERC 2005)
Kompresi dada saja tanpa bantuan pernapasan (Chest-compression-only CPR) digunakan pada situasi: jika penolong tidak terlatih, atau penolong tidak yakin untuk memberikan bantuan pernapasan. Kompresi dada dilakukan secara kontinyu dengan kecepatan sekurang-kurangnya 100 kali/menit (tetapi tidak lebih dari 120 kali/menit). Jangan melakukan interupsi resusitasi sampai: penolong profesional datang dan mengambil alih RJP, atau korban mulai sadar: bergerak, membuka mata dan bernapas normal, atau penolong kelelahan.
Gambar 12: Teknik pemberian bantuan ventilasi dengan bag valve mask). Jika memungkinkan dan tersedia berikan suplementasi oksigen 100%. (Sumber : ERC 2010)
Jika petugas medis/penolong terlatif tersedia, maka teknik pemberian ventilasi dengan bag mask dengan 2 personel lebih efektif dibandingkan 1 personel. Teknik ventilasi dengan 2 personel diperlukan untuk dapat memberikan ventilasi yang efektif terutama pada korban dengan obstruksi jalan napas atau compliance paru yang buruk, atau adanya kesulitan dalam menjaga kerapatan mask dengan muka korban. Dikarenakan teknik dengan 2 personel lebih efektif, harus menjadi perhatian untuk menghindari pemberian volume tidal yang terlalu besar yang menyebabkan terjadinya ventilasi yang berlebihan. Selama RJP jika memungkinakan dan tersedia berikan suplemen oksigen saat memberikan bantuan ventilasi. Studi pada binatang dan data teori menduga adanya efek yang tidak diinginkan dari pemberian 100% oksgigen. Tetapi perbandingan variasi konsentrasi O2 selama resusitasi baru dilakukan pada periode bayi baru lahir. Sampai adanya informasi baru yang tersedia, sangat beralasan untuk petugas medis memberikan oksigen 100 % selama resusitasi. Saat sirkulasi kembali normal, lakukan monitoring saturasi oksigen sistemik. Sangat beralasan untuk menyediakan peralatan yang sesuai untuk melakukan titrasi oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen > 94% dengan mengatur FiO2 seminimal mungkin.
5. PENGGUNAAN AUTOMATED EXTERNAL DEFIBRILLATOR (AED) Defibrilasi merupakan tindakan kejut listrik dengan tujuan untuk mendepolarisasikan sel-sel jantung dan menghilangkan Ventrikel Fibrilasi/Ventrikel takikardia tanpa nadi. Terapi listrik otomatis (AED) adalah alat yang aman dan efektif apabila digunakan untuk penolong awam dan petugas medis, dan memungkinkan defibrilasi dilakukan lebih dini sebelum tim bantuan hidup lanjut datang. Menunda resusitasi dan pemakaian defibrilasi akan menurunkan harapan hidup. Penolong harus melakukan RJP secara kontinyu dan meminimalkan interupsi kompresi dada pada saat mengaplikasikan AED dan selama penggunaannya. Penolong harus konsentrasi untuk mengikuti perintah suara segera setelah alat diterima, terutama untuk melakukan RJP segera mungkin setelah diinstruksikan. AED standar dapat digunakan untuk anak-anak dengan usia lebih dari 8 tahun. Untuk anak-anak 1-8 tahun penggunaan pads pediatric harus digunakan, dengan penggunaan mode pediatric jika tersedia. AED tidak direkomendasikan untuk anak < 1 tahun. Pentingnya tindakan defibrilasi segera setelah AED tersedia, selalu ditekankan pada panduan resusitasi sebagai hal yang mempunyai pengaruh penting terhadap keberhasilan resusitasi dari kondisi ventrikel fibrilasi atau ventrikel takikardi tanpa pulse. High quality CPR harus terus dilanjutkan saat defibrillator disiapkan dan pads AED dipasang pada korban. Saat penolong menyaksikan kejadian henti jantung di luar area rumah sakit dan tersedia AED, atau petugas medis di rumah sakit dimana tersedia AED dan defibrillator maka penolong harus segera melakukan RJP dengan kompresi dada dan menggunakan AED
sesegera mungkin. Rekomendasi ini didesain untuk mensuport RJP dan defibrilasi dengan segera terutama jika AED atau defibrillator dapat tersedia dengan cepat pada saat onset kejadian henti jantung mendadak. Pada situasi henti jantung di luar rumah sakit yang kejadiannya tidak disaksikan oleh penolong, maka dipertimbangkan untuk dilakukan RJP 1 ½ sampai 3 menit sebelum dilakukan defibrilasi.
Gambar13: AED dengan elektroda PAD, aktivitas listrik yang ditimbulkan 2 arah (bifasik) memungkinkan jantung untuk berkontraksi secara optimal.
Langkah-langkah penggunaan AED 1. Pastikan penolong dan korban dalam situasi yang aman dan ikuti langkah-langkah bantuan hidup dasar dewasa. Lakukan RJP sesuai langkah-langkah pada bantuan hidup dasar, kompresi dada dan pemberian bantuan pernapasan dengan perbandingan 30:2 2. Segera setelah alat AED datang. Nyalakan AED dan tempelkan elektroda pads pada dada korban. Jika penolong lebih dari 1 orang, RJP harus dilanjutkan saat memasang elektroda pads pada dada korban. Tempatkan elektroda yang pertama di line midaxillaris sedikit di bawah ketiak, dan tempatkan elektroda pads yang kedua di sedikit di bawah clavicula kanan (gambar 14).
Gambar 14: Penempelan elecroda pads.
Gambar 15: Pastikan tidak ada kontak korban dengan orang lain. (Sumber : ERC 2010)
3. Ikuti perintah suara/visual dari alat AED dengan segera. Pastikan bahwa tidak ada orang yang menyentuh korban saat AED melakukan analisis irama jantung (gambar 15). 4. Jika shock diindikasikan. Pastikan tidak ada seorangpun yang menyentuh korban. Tekan tombol shock (AED yang otomatis penuh akan memberikan shock secara otomatis) (gambar 12). 5. Segera lakukan kembali RJP 30:2 seperti yang diperintahkan oleh perintah suara/visual alat AED (gambar 16). 6. Jika shock tidak diindikasikan, lakukan segera RJP 30:2, sesuai dengan perintah suara/visual, hingga penolong profesional datang dan mengambil alih RJP, korban mulai sadar: bergerak, membuka mata dan bernapas normal, penolong kelelahan.
Gambar 16 (kiri) : Saat tombol shock ditekan, pastikan tidak ada seorangpun yang bersentuhan dengan korban.
Gambar 17 (kanan) : Setelah tombol shock ditekan, pastikan segera dilakukan RJP dengan perbandingan 30 kompresi dada dan 2 bantuan pernapasan, sesuai perintah suara/visual alat AED. (Sumber : ERC 2010)
B. POSISI PULIH (Recovery)
Posisi pulih (recovery) digunakan pada korban dewasa yang tidak respon dengan pernapasan dan sirkulasi yang adekuat. Posisi ini di desain untuk mempertahankan patensi jalan napas dan mengurangi resiko obstruksi jalan napas dan aspirasi. Jika korban tidak sadar/tidak respon tetapi tidak diketemukan gangguan pernapasan dan denyut jantung; atau korban sudah memiliki pernapasan dan denyut nadi yang adekuat setelah bantuan pernapasan atau RJP (serta tidak memerlukan imobilisasi untuk kemungkinan cedera spinal), maka posisikan korban pada posisi pulih (recovery) sambil menunggu bantuan datang. Posisi recovery memungkinkan pengeluaran cairan dari mulut dan mencegah lidah jatuh ke belakang dan menyebabkan obstruksi jalan napas.
Gambar 18.
Gambar 19.
Gambar 20. (Sumber : ERC 2010)
Langkah-langkah: Jika tidak ada bukti trauma letakkan korban dengan posisi miring pada posisi recovery. Diharapkan dengan posisi ini jalan napas dapat terbuka. 1. Berjongkok di samping korban dan luruskan lutut pasien, letakkan tangan yang dekat dengan penolong pada posisi salam (90 derajat dari axis panjang tubuh) (gambar 14) tempatkan tangan yang lain di di dada (gambar 18) . Dekatkan tubuh penolong di atas tubuh korban, tarik ke atas lutut dan tangan yang lain memegang bahu pasien (gambar 19). 2. Gulingkan korban ke arah penolong dalam satu kesatuan bahu dan lutut pasien secara perlahan 3. Atur posisi kaki seperti terlihat di gambar, letakkan punggung tangan pada pipi pasien untuk mengatur posisi kepala (gambar 20). 4. Tindakan selanjutnya adalah melakukan evaluasi secara kontinyu nadi dan pernapasan korban, sambil menunggu bantuan datang. Jika terjadi henti jantung posisikan pasien kembali supine dan lakukan RJP kembali.
Gambar 21. Posisi recovery (Sumber : ERC 2010)
Penderita dapat digulingkan ke sisi manapun namun lebih disarankan untuk menggulingkan penderita ke arah penolong sehingga pengawasan dan penghisapan dapat lebih mudah dilakukan. Jika korban tidak bernapas dengan adekuat, posisi recovery tidak boleh dilakukan. Korban harus ditempatkan terlentang dan bantuan pernapasan harus diberikan.
C. PENATALAKSANAAN SUMBATAN BENDA ASING PADA JALAN NAPAS Tidak semua masalah jalan napas disebabkan oleh lidah yang jatuh ke belakang, jalan napas juga dapat tersumbat oleh benda asing. Meskipun kejadiannya jarang, tetapi sumbatan jalan napas dapat menyebabkan kematian pada korban. Sumbatan jalan napas
bisa terjadi secara parsial atau komplit. Sehingga gejala yang ditimbulkan dapat bervariasi akibat obstruksi ringan dan obstruksi berat seperti yang terlihat pada tabel 1.
Tabel 1: Perbedaan antara sumbatan benda asing pada jalan napas ringan dan berat
Tanda
Obstruksi ringan
Obstruksi berat
Apakah kamu tersedak ?
Ya
Tidak dapat berbicara
Tanda lain
Tidak dapat berbicara, batuk dan bernapas
Tidak dapat berbicara, napas wheezing, tidak dapat membatukkan, penurunan kesadaran
Gambar 22: Algoritme penatalaksanaan sumbatan benda asing jalan napas.
Gambar 23: Back blows (Sumber gambar: Colquhoun et al, 2004)
Langkah-langkah penatalaksanaan sumbatan benda asing jalan napas. 1. Lakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan terjadinya sumbatan benda asing pada jalan napas (tanda umum saat makan, korban mungkin akan memegangi lehernya). 2. Nilai derajat berat ringannya sumbatan jalan napas, tentukan apakah terjadi sumbatan jalan napas berat (batuk tidak efektif) atau obstruksi ringan (batuk efektif) (lihat tabel 1). 3. Jika terjadi obstruksi berat , korban tidak sadar dan dijumpai tanda-tanda henti jantung lakukan RJP. Aktifkan sistem emergency, Jika pasien masih sadar lakukan 5 kali back blows dan dilanjutkan 5 kali abdominal thrust jika tidak berhasil.
Gambar 24: Abdominal thrust (sumber gambar: Colquhoun et al, 2004)
4. Jika terjadi obstruksi ringan, minta pasien untuk membatukkan secara kuat, secara kontinyu dilakukan pemeriksaan untuk menilai keefektifan batuk korban, makin memburuk menjadi obstruksi berat atau membaik. Referensi:
American Heart Association (2010), Adult Basic Life Support: Guidellines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovasculare care , Circulation, 122; 685- 705 American Heart Association (2015), Guidellines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovasculare care European Resuscitation Council (ERC), (2010), Guidelines for Resuscitation, Resuscitation, 81, 1219–1276 European Resuscitation Council (ERC), (2005), Guidelines for Resuscitation Colquhoun, M.C., Handley, A.J., Evans, T.R. (2004), ABC of Rescucitation, fifth edition, BMJ Publishing Group, London.
CIDERA KEPALA
A. Cedera Otak Traumatik (Traumatic Brain Injury) Cedera otak traumatik di klasifikasikan menjadi cedera primer dan sekunder. Cedera otak primer adalah ireversibel, yang terjadi pada saat terjadinya benturan, aselerasi-deselerasi dan menimbulkan kerusakan pada tulang tengkorak, jaringan otak dan jaringan saraf akibat axon yang putus (DAI). Setelah kejadian cedera otak primer, cedera sekunder muncul karena hipoksia, hiperkapnia, hipotensi, gangguan biokimia dan hipertensi intrakranial, dimana semuanya menyebabkan iskemik serebral. Cedera otak sekunder dapat di atasi maupun di cegah dengan intervensi medis yang baik. Indikasi dilakukan pembedahan jika terjadi kompresi pada sisterna basalis akibat karena resiko terjadinya herniasi. 1,2
1. Patofisiologi 1.1. Efek Sistemik Respon kardiovaskular seringkali terlihat pada stadium awal cedera otak, seperti hipertensi, takikardi dan peningkatan curah jantung (cardiac output). Pada cedera otak yang berat, cedera sistemik multipel dan kehilangan darah yang banyak, respon yang muncul adalah hipotensi dan penurunan curah jantung. Hipotensi (TDS < 90 mmHg) saat tiba di rumah sakit meningkatkan mortalitas dan morbiditas secara signifikan. Respon respirasi pada cedera otak termasuk apnea, pola nafas abnormal, hiperventilasi, aspirasi karena muntahan dan central neurogenic pulmonary odema. Regulasi suhu tubuh juga terganggu, hipertermi dapat terjadi dan memperberat cedera yang ada. 2 1.2. Perubahan sirkulasi dan metabolisme serebral Pada daerah cedera fokal, CBF dan CMRO2 menurun pada pusat cedera dan penumbra, dengan area hipoperfusi di sekitarnya. Jika TIK meningkat maka akan semakin hipoperfusi dan hipometabolisme.2 1.3. Pembengkakan Otak Akut dan Odema Serebral Pembengkakan otak akut di sebabkan oleh penurunan tonus vasomotor serta peningkatan volume pada jaringan pembuluh darah serebral. Pada keadaan ini peningkatan tekanan darah dapat dengan mudah menyebabkan pembengkakan otak dan peningkatan TIK. Odema Serebral seringkali vasogenik atau sitotoksik karena kerusakan sawar darah otak (blood brain barrier) dan iskemia. Kedua keadaan diatas dapat terjadi bersama dengan trauma kepala,jika keadaan tersebut tjd karena adanya hematom intra serebral, maka TIK yang terjadi akan menyebabkan penurunan CBF dan iskemia. Jika tidak dilakukan penanganan segera akan menyebabkan herniasi batang otak melalui foramen magnum. 2 1.4. Eksitotoksisitas, Inflamasi sitokin dan mediator Cedera kepala menyebabkan pelepasan glutamat dari neuron dan sel glia, meningkatkan konsentrasi glutamat pada CSF, sehingga meningkatkan kalsium intraseluler. Keadaan ini mengaktivasi phospolipase, protrein kinase, protease, NO sintetase dan enzim lainya yang memacu terbentuknya lipid peroksidase, proteolisis, radikal bebas dan kereusakan DNA sehingga menyebabkan kematian sel. Sitokin meningkat pada keadaan iskemia serebral. Pasien dengan GCS < 8 memiliki kadar IL-6 yang lebih tinggi. Pelepasan sitokin setelah TBI menstimulasi produksi radikal bebas, asam arachidonat dan molekul adhesi yang mengganggu mikrosirkulasi. 2
Skema. 1. Patifisiologi pada Cedera Otak Traumatik 2
Sumber : Sakabe T and Bendo A. Anesthetic Management of Head Trauma. In. Newfield P, Cottrell JE. Eds. Handbook of Neuroanesthesia. 4th edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins. 2007 ; 91-110.
B. Subdural Hematom (SDH) Subdural hematom merupakan lesi fokal intrakranial yang paling sering dijumpai, sekitar 24% dari pasien yang mengalami cedera kepala berat tertutup. Subdural hematom disebabkan karena robeknya bridging vein kortikal diantara duramater dan piamater. Pada CT scan tampak seperti gambaran bulan sabit, dan paling sering terjadi pada daerah lobus frontal inferior dan lobus temporal anterior. SDH diklasifikasikan menjadi (1) Akut, (2) Subakut, dan (3) Kronik. Outcome yang buruk terjadi jika terjadi SDH bilateral atau terakumulasi secara cepat, atau penanganan operasi ditunda lebih dari 4 jam. SDH akut berhubungan dengan mortalitas yang tinggi. Laju mortalitas (mortality rate) SDH sangat tinggi mencapai 50%. Beberapa faktor mempengaruhi outcome pasien pada SDH termasuk umur, waktu darti kejadian cedera sampai penanganan, adanya pupil yang abnormal, GCS
motor skor saat masuk, koma, lucid interval, gambaran CT scan (ketebalan hematom, midline shift), TIK postoperatif dan tipe pembedahan. Adanya kontusio serebral memperburuk prognosis SDH. 1,2,3 SDH menyebabkan kerusakan otak dengan meningkatkan TIK dan pergeseran struktur otak (shifting). Terapi utama SDH adalah evakuasi hematom dengan pembedahan, semakin lama pembedahan tertunda (delay time) semakin buruk kerusakan iskemik yang terjadi. Beberapa studi menyatakan penurunan morbiditasdan mortalitas pada pasien yang dilakukan evakuasi hematom segera. 1,2,3
C. Manajemen Perioperatif pada Cedera Kepala Traumatik (TBI) Manajemen perioperatif pada pasien cedera kepala fokus pada stabilisasi dan mencegah cedera sekunder karena sebab sistemik dan intrakranial. Assessmen preanestesi mencakup (1) Airway dan cervical spine, (2) Breathing : oksigenasi dan ventilasi, (3) Circulatory Status, (4) Associated Injury, (5) Status Neurologis (GCS), (6) Penyakit kronis penyerta, (7) Circumstances of injury : waktu kejadian cedera, lamanya tidak sadar, riwayat mengkonsumsi alkohol dan obat lain. 1,3,4 Langkah pertama adalah menjaga jalan nafas dan ventilasi yang adekuat. Intubasi dan ventilasi mekanik dilakukan jika diperlukan, namun harus dijaga agar tidak terjadi kenaikan tekanan intracranial. Setelah jalan nafas terkontrol, fokus penanganan terhadap resusitasi kardiovaskuler. Hipotensi sering terjadi pada cedera kepala biasanya karena perdarahan. Keadaan ini harus segera ditangani secara agresif dengan cairan, koloid, darah, inotropik maupun vaspresor bila perlu. Hal yang harus diperhatikan dalam resusitasi kardiovaskuler adalah terjadinya odema serebri. Osmolalitas serum total merupakan kunci terjadinya odema serebri. Ketika osmolalitas serum menurun maka akan terjadi odema serebri karena rusaknya sawar darah otak, sehingga cairan yang hipoosmoler akan menyebabkan peningkatan kadar air otak. Hipovolemia seringkali tidak tampak pada tekanan darah yang relatif stabil karena hiperaktivitas simpatis atau respon terhadap peningkatan TIK. Karenanya resusitasi cairan seharusnya tidak berdasarkan pada tekanan darah semata, namun juga pada produksi urine dan tekanan vena sentral. Larutan kristaloid isotonis dan hipertonis maupun koloid dapat diberikan untuk mempertahankan volume intravaskuler. Darah dan produk darah dapat diberikan jika kadar hematokrit rendah (< 30%). Larutan yang mengandung glukosa sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan hiperglikemi dan perburukan outcome neurologis. Jika tekanan darah dan curah jantung tidak dapat dikembalikan dengan resusitasi cairan, maka inotropik dan vasopresor intravena dapat segera diberikan.1,3,4
D. Manajemen peningkatan TIK Penurunan TIK dan pemeliharaan tekanan darah adalah hal yang krusial pada penanganan hipertensi intrakranial. Hipertensi intrakranial dapat mempresipitasi reflek hipertensi arterial dan bradikardi (Trias Cushing). (1) Hiperventilasi; jika ditemukan tanda herniasi transtentorial pada pasien dengan cedera kepala berat, hiperventilasi sampai PaCO2 30 mmHg harus segera dilakukan karena hiperventilasi dapat secara cepat dan efektif menurunkan TIK. (2) Terapi diuretik; manitol 0,25 – 1 g/KgBB infus selama 15 menit, dapat diulangi setiap 3-6 jam. (3) Posisi; elevasi kepala 10-30 0 memfasilitasi drainase CSF dan vena serebral, serta dapat menurunkan TIK. (4) Barbiturat; barbiturat dikenal memiliki efek proteksi serebral dan menurunkan TIK. Barbiturat dosis tinggi dapat diberikan pada pasien dengan cedera kepala berat yang tidak mampu di kontrol dengan terapi medikal dan pembedahan. 1,3,4
E. Manajemen Anestesi Tujuan utama manajemen anestesi adalah meningkatkan perfusi serebral dan oksigenasi, mencegah kerusakan sekunder dan memberikan kondisi yang optimal untuk pembedahan. Anestesi umum menjadi pilihan untuk mengontrol fungsi respirasi dan kardiosirkulasi. Induksi anestesi dapat menggunakan obat anestesi intravena. Pada umumnya pemilihan obat anestesi berdasarkan efeknya pada sistem kardiovaskuler, namun pada kasus cedera kepala, harus dipikirkan efeknya terhadap aliran darah otak, volume darah otak, tekanan intra kranial cairan serebrospinal, auto regulasi serta respon terhadap CO2. Obat anestesi intravena yang dapat menurunkan TIK dan aliran darah otak adalah tiopental, etomidate, propofol dan midazolam. Untuk pemeliharaan anestesi dapat menggunakan anestesi intravena maupun inhalasi. Obat yang ideal adalah obat yang mampu menurunkan TIK, memelihara suplai oksigen ke jaringan otak, dan menjaga otak dari iskemik akibat metabolik. Barbiturat (pentotal), etomidat, propofol, midazolam dan narkotik dapat menjadi pilihan karena efeknya yang baik dalam hal menurunkan CBF, TIK, dan CMRO2. Untuk anestesi inhalasi, isofluran, sevofluran, dan desfluran dapat menjadi pilihan. Vekuronium merupakan pelumpuh otot pilihan karena efeknya minimal terhadap TIK, tekanan darah dan denyut nadi. 1,3,4,7 Hipotensi intraoperatif karena perdarahan maupun karena perlakuan anestesi harus dihindari, karena dalam 24 jam pertama otak telah mengalami hipoperfusi. Pembengkakan otak
intraoperatif ataupun herniasi dari tempat operasi dapat menjadi komplikasi dekompresi hematom. Dapat disebabkan karena posisi pasien yang kurang baik, ICH kontralateral, gangguan drainase vena, atau hidrocepalus akut karena perdarahan intraventrikuler harus segera ditangani.3,4 F. Proteksi Serebral Menurunkan CMRO2 tampaknya adalah cara kerja utama pharmakologi proteksi otak dan barbiturat memiliki efek tersebut. Barbiturat dosis tinggi direkomendasikan untuk mengontrol peningkatan TIK, dimana terapi medis dan pembedahan tidak mampu mengatasi peningkatan TIK ini. Penurunan suhu tubuh (hipotermia) 35-33 o C dipercaya memiliki efek proteksi serebral. Mekanisme proteksi termasuk menurunkan kebutuhan metabolik, eksitotoksisitas, menghambat pembentukan radikal bebas dan odema.1,3,4,7
Tabel. 1. Terapi Hipertensi Intrakranial pada Cedera Kepala Traumatik Berat 4
Sumber : Bendo AA. Perioperative Management of Adult Patient with Severe Head Injury. In. Cottrell JE, Young WL. Eds. Neuroanesthesia. 5th edition. USA : Mosby. 2010; 317 – 25.
Hipertensi Intrakranial
Hipertensi intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan tekanan di dalam rongga tengkorak (intrakranial) di atas nilai normal. Dikatakan nilai normal TIK berkisar antara 7 – 15 mmHg. Jika karena berbagai sebab tekanan di dalam rongga tengkorak meningkat (> 20 mmHg) maka penanganan untuk menurunkan TIK harus segera dilakukan. 4 Hipertensi intrakranial menyebabkan penurunan tekanan perfusi, menghambat aliran darah dan menyebabkan kematian saraf. Kematian dapat terjadi karena herniasi struktur intrakranial. Evaluasi klinis yang saat ini belum dapat digunakan sebagai deteksi awal hipertensi intrakranial, biasanya dengan kriteria yang ada pasien sudah dalam kondisi lanjut, dimana herniasi dan kematian tidak dapat dicegah.
Tabel 1. Penyebab peningkatan TIK pada anak-anak 5
Kompartemen Intrakranial Tengkorak dapat di bayangkan adalah sebuah ruangan yang dibatasi oleh tulang yang rigid, yang di dalamnya terdadap struktur yang lunak yang tidak boleh mendapat tekanan, walaupun pada anak-anak sutura dari tulang tengkorak belum menutup. Pada keadaan normal, ruang intrakranial terisi oleh jaringan otak (80%), darah (12%) dan cairan serebrospinal / CSF (8%). Pada keadaan patologis seperti space occupying lesion (SOL) oleh tumor, hematom, edema, abses dll, maka hubungan kesetimbangan (Hukum Monroe-Kelly) ini akan terganggu. Sehingga peningkatan volume dari satu kompartemen akan dikompensasi oleh penurunan volume kompartemen yang lain dengan besaran yang kurang lebih sama, kecuali ruang intrakranial dapat melebar dan menampung volume yang lebih besar. Pada infant dan neonatus, memiliki perkecualian ini karena fontanela yang masih terbuka dan sutura yang belum menutup. Sutura dan fontanela akan menutup saat umur 2-3 tahun. 6 Peningkatan tekanan intrakranial secara gradual, seperti misalnya tumor yang tumbuh perlahan atau pada hidrocephalus, peningkatan tekanan intrakranial yan terjadi dapat dikompensasi secara natural oleh compliance fontanela dan sutura ini. Dengan adanya fontanela yang masih terbuka dan sutura yang masih belum menutup, proses patologis sebagian dapat dikompensasi dengan meningkatkan diameter kepala (head circumferential). Hal penting yang perlu diingat adalah, kejadian herniasi dapat terjadi pada infant dan neonatus walaupun fontanela dan sutura masih terbuka, jika peningkatan tekanan intrakranial yang besar terjadi secara akut. Selanjutnya pada kondisi subakut, otak dapat mengkompensasi peningkatan volume intrakranial yang patologis yang terjadi dengan dehidrasi intraseluler dan mengurangi cairan interstisial. 6
Monitoring Tekanan Intrakranial (TIK) Tekhnik pengukuran tekanan intrakranial pada dewasa juga dapat digunakan pada anakanak. Kateter ventrikular merupakan metode yang akurat dan dapat digunakan untuk CSF drainase untuk diagnostik dan terapetik. Komplikasi utama dari teknik ini adalah infeksi dan perdarahan walaupun jarang terjadi. Teknik pemasanganya juga sulit, khususnya pada kondisi oedem serebri yang berat. Teknik lain adalah pemasangan subarachnoid bolt. Teknik ini minimal invasif, dapat memberikan informasi tekanan intrakranial yang cukup memadai walaupun kadang underestimate untuk daerah yang jauh dari tempat insersi. Teknik lain adalah dengan epidural kateter, memiliki nilai yang mendekati nilai intra ventrikel, namun kelemahanya sulit di kalibrasi ulang setelah insersi. Nilai normal TIK umumnya kurang dari 15 mmHg. Namun ada yang mengatakan kurang dari 20mmHg dan nilai serebral perfusion presure (CPP) dipertahankan diantara 50 - 70 mmHg, untuk mencegah iskemia dan di bawah 110 mmHg untuk mencegah hiperperfusi. Sayangnya tidak ada konsensus tentang berapa nilai CPP yang harus dipertahankan untuk memperbaiki outcome pada anak-anak dengan cidera kepala. Guidelines untuk manajemen cidera kepala berat akut pada infant, children dan adolescent, menganjurkan CPPdipertahankan diatas 40 mmHg. Guidelines ini berdasarkan penelitian dari Downard dkk, yang mengatakan bahwa penderita yang selamat dari cidera kepala berat memiliki CPP> 40mmHg. Ada juga penelitian lain mengatakan CPP > 50 mmHg memiliki outcome yang baik. Penelitian oleh Catala-Temprano dkk mangatakan CPP antara 40 – 70 mmHg adalah target CPP pada anak-anak. Grinkeviciute dkk dalam penelitianya mendapatkan nilai batas ambang untuk TIK adalah 22,5 mmHg dan minimal CPP 46,5mmHg. Pada neonatus yang cukup umur nilai normal TIK 2-6 mmHg dan mungkin lebih rendah pada infant yang kurang bulan. Pada keadaan fontanela yang masih terbuka nilai TIK biasanya normal walaupun terdapat proses patologik yang signifikan. Peningkatan diameter kepala (head circumferentia) mungkin merupakan tanda klinis yang pertama muncul. Fontanela yang menggembung mungkin tidak terjadi, terutama jika proses berjalan lambat. 6 Penanganan TIK Berbagai macam cara diperkenalkan untuk penanganan peningkatan TIK, diantaranya (1) menurunkan CBV, (2) mengurangi jaringan otak dan CSF, (3) mengurangi volume intrakranial. Sebelum melakukan tindakan untuk menurunkan TIK, asessment terhadap airway, breathing dan sirkulasi harus dikerjakan terlebih dahulu. Cerebral Blood Volume (CBV)
CBV merupakan suatu komponen intrakranial yang dengan mudah dapat di manipulasi. Elastisitas Intrakranial (Intracranial Compliance) Nilai absolut TIK tidak menujukkan seberapa besar kompensasi yang mungkin terjadi. Jika TIK meningkat secara signifikan, kompensasi dapat gagal. Namun status patologis dapat muncul walaupun TIK dalam batas normal. Intracranial compliance (perubahan tekanan relatif terhadap perubahan volume) adalah suatu konsep penting dalam dinamika intrakranial. Sebuah kurva hubungan antara waktu dan tekanan intrakranial dan volume intrakranial dapa dilihat pada gambar. 1,2
Gambar 2. Kurva perubahan ralatif tekanan terhadap volume
Bentuk kurva tergantung pada waktu terhadap peningkatan volume yang direfleksikan sebagai peningkatan TIK. Pada keadaan patologis (titik 1), TIK rendah, copliance tinggi, menunjukkan peningkatan yang kecil dari volume intrakranial. Saat volume meningkat dengan cepat melewati batas kompensasi, maka peningkatan volume ini akan direfleksikan sebagai peningkatan intrakranial. Hal ini terjadi jika TIK masih dalam batas normal namun compliance rendah (titik 2). Jika TIK sudah dalam keadaan tinggi, maka sedikit peningkatan volume akan menyebabkan peningkatan TIK yang cepat (titik 3). Pada praktek klinis, compliance dapat dievaluasi dengan kateter ventrikulostomi atau dengan melihat respon TIK dengan stimulasi eksternal seperti suction trakea, batuk dan agitasi. 1,2 Intracranial Complience
dikatakan lebih rendah pada anak-anak dibandingkan dewasa,
mengingat beberapa kondisi fisiologis seperti jaringan otak yang mengandung air lebih besar, volume CSF yang lebih sedikit, rasio otak dan tengkorak yang besar,semunya berpengaruh terhadap
rendahnya complience pada anak anak.
Sehingga anak-anak memiliki rasio yang lebih tinggi
terhadap kejadian herniasi dibandingkan dewasa pada keadaan TIK yang sama. Lain halnya dengan infant yang memiliki complience yang lebih besar karena fontanela dan sutura yang masih terbuka. 1,2
Prinsip Dasar Memahami Kerja Ventilasi Mekanik Prinsip Dasar Memahami Kerja Ventilasi Mekanik
Beberapa ventilator tekanan positif saat ini sudah dilengkapi sistim komputer dengan panel kontrol yang mudah dioperasikan (user-friendly). Untuk mengaktifkan beberapa mode, setting dan alarm, cukup dengan menekan tombol. Selain itu dilengkapi dengan layar monitor yang menampilkan apa yang kita setting dan parameter alarm. Ventilator adalah peralatan elektrik dan memerlukan sumber listrik. Beberapa ventilator, menyediakan back up batere, namun batere tidak di disain untuk pemakaian jangka lama. Ventilator adalah suatu metode penunjang/bantuan hidup (life - support); sebab jika ventilator berhenti bekerja maka pasien akan meninggal. Oleh sebab itu harus tersedia manual resusitasi seperti ambu bag di samping tempat tidur pasien yang memakai ventilator, karena jika ventilator stop dapat langsung dilakukan manual ventilasi. Ketika ventilator dihidupkan, ventilator akan melakukan self-test untuk memastikan apakah ventilator bekerja dengan baik. Tubing ventilator harus diganti setiap 24 jam dan biarkan ventilator melakukan self-test lagi. Filter bakteri dan water trap harus di periksa terhadap sumbatan, dan harus tetap kering. Namun perlu diingat bahwa penanbahan filter dapat meningkatkan dead space.
SETTING VENTILATOR Setting ventilator biasanya berbeda-beda tergantung pasien. Semua ventilator di disain untuk memonitor komponen2 dari keadaan sistim respirasi (paru-paru) pasien. Beberapa alarm dan parameter dapat disetting untuk mengingatkan perawat/dokter bahwa pasien tidak cocok dengan setting atau menunjukkan keadaan berbahaya. Respiratory Rate (RR) Frekuensi nafas (RR) adalah jumlah nafas yang diberikan ke pasien setiap menitnya. Setting RR tergantung dari TV, jenis kelainan paru pasien, dan target PaCO2 pasien. Parameter alarm RR di set diatas dan di bawah nilai RR yang diset. Misalnya jika set RR 10 kali/menit, maka set alarm sebaiknya diatas 12x/menit dan di bawah 8 x/menit. Sehingga cepat mendeteksi
terjadinya hiperventilasi atau hipoventilasi. Pada pasien2 dgn asma (obstruktif), RR sebaiknya diset antara 6-8 x/menit, agar tidak terjadi auto-PEEP dan dynamic-hyperinflation. Selain itu pasien2 PPOK memang sudah terbiasa dengan PaCO2 tinggi, sehingga PaCO2 jangan terlalu rendah/normal. Pada pasien2 dengan PPOK (resktriktif) biasanya tolerate dengan RR 12-20 x/menit. Sedangkan untuk pasien normal RR biasanya 8-12 x/menit. Waktu (time) merupakan variabel yg mengatur siklus respirasi. Contoh: Setting RR 10 x/menit, maka siklus respirasi (Ttotal) adalah 60/10 = 6 detik. Berarti siklus respirasi (inspirasi + ekspirasi) harus berlangsung dibawah 6 detik.
Tidal Volume (VT) Tidal Volume adalah volume gas yang dihantarkan oleh ventilator ke pasien setiap sekali nafas. Umumnya setting antara 5-15 cc/kgBB, tergantung dari compliance, resistance, dan jenis kelainan paru. Pasien dgn paru normal tolerate dgn tidal volume 10-15 cc/kgBB, sedangkan untuk pasien PPOK cukup dengan 5-8 cc/kgBB. Untuk pasien ARDS memakai konsep permissive hipercapnea (membiarkan PaCO2 tinggi > 45 mmHg, asal PaO2 normal, dgn cara menurunkan tidal volume yaitu 4-6 cc/kgBB) Tidal volume rendah ini dimaksudkan agar terhindar dari barotrauma. Parameter alarm tidal volume diset diatas dan dia bawah nilai yg kita set. Monitoring tidal volume sangat perlu jika kita memakai TIME Cycled. Fraksi Oksigen, (FiO2) FiO2 adalah jumlah oksigen yg dihantarkan/diberikan oleh ventilator ke pasien. Konsentrasi berkisar 21-100%. Rekomendasi untuk setting FiO2 pada awal pemasangan ventilator adalah 100%. Namun pemberian 100% tidak boleh terlalu lama sebab rersiko oxygen toxicity (keracunan oksigen) akan meningkat. Keracunan O2 menyebabkan perubahan struktur membrane alveolar-capillary, edema paru, atelektasis, dan penurunan PaO2 yg refrakter (ARDS). Setelah pasien stabil, FiO2 dapat di weaning bertahap berdasarkan pulse oksimetri dan Astrup. Catatan; setiap tindakan suctioning (terutama pd pasien hipoksemia berat), bronkoskopi, chest fisioterapi, atau prosedur berat (stres) dan waktu transport (CT scan dll) FiO2 harus 100% selama 15 menit serta menambahkan 20-30% dari pressure atau TV sebelumnya, sebelum prosedur dilakukan. Namun pada pasien-pasien dengan hipoksemia berat karena ARDS skor tinggi, atau atelektasis berat yang sedang menggunakan PEEP tinggi sebaiknya jangan di suction atau dilakukan prosedur bronkoskopi dahulu, sebab pada saat PEEP dilepas maka paru akan segera kolaps kembali dan sulit mengembangkannya lagi. Inspirasi:Ekspirasi (I:E) Ratio I:E rasio biasanya diset 1:2 atau 1:1.5 yang merupakan nilai normal fisiologis inspirasi dan
ekspirasi. Terkadang diperlukan fase inspirasi yg sama atau lebih lama dibanding ekspirasi untuk menaikkan PaO2, seperti pada ARDS, berkisar 1:1 sampai 4:1. Pressure Limit/ Pressure Inspirasi Pressure limit mengatur/membatasi jumlah pressure/tekanan dari volume cycled ventilator, sebab pressure yg tinggi dapat menyebabkan barotrauma. Pressure yg direkomendasi adalah plateau pressure tidak boleh melebihi 35 cmH2O. Jika limit ini dicapai maka secara otomatis ventilator menghentikan hantarannya, dan alarm berbunyi. Pressure limit yang tercapai ini biasanya disebabkan oleh adanya sumbatan/obstruksi jalan nafas, retensi sputum di ETT atau penguapan air di sirkuit ventilator. Biasanya akan normal lagi setelah suctioning. Peningkatan pressure ini juga dapat terjadi karena pasien batuk, ETT digigit, fighting terhadap ventilator, atau kinking pada tubing ventilator. Flow Rate/ Peak flow Adalah kecepatan gas untuk menghantarkan tidal volume yg diset/menit. Biasanya setting antara 40-100 L/menit. Inspiratory flow rate merupakan fungsi dari RR, TV dan I:E rasio Flow = Liter/menit = TV/TInspirasi x 60 Jika RR 20x/menit maka: Ttotal = 60/20 = 3 detik. Jika rasio 1:2 , Tinspirasi = 1 detik. Untuk menghantarkan tidal volume (TV) 500 cc diperlukan Inspiratory flow rate = 0.5/1 x 60 = 30 Liter/menit. Sensitifity/Trigger Sensitivity menentukan jumlah upaya nafas pasien yang diperlukan untuk memulai/mentrigger inspirasi dari ventilator. Setting dapat berupa flow atau pressure. Flow biasanya lebih baik untuk pasien yang sudah bernafas spontan dan memakai PS/Spontan/ASB karena dapat megurangi kerja nafas/work of breathing. Selain itu pada pasien PPOK penggunaan flow sensitiviti lebih baik karena pada PPOK sudah terdapat intrinsic PEEP pada paru pasien sehingga pemakaian pressure sensitiviti kurang menguntungkan. Nilai sensitivity berkisar 2 sampai -20 cmH2O untuk pressure sedangkan untuk flow antara 2-20 L/menit. Jika PaCO2 pasien perlu dipertahankan konstan, misalnya pada resusitasi otak, maka setting dapat dibuat tidak sensitif. Dengan demikian setiap usaha nafas pasien tidak akan dibantu oleh ventilator. Pada keadaan ini perlu diberikan sedasi dan pelumpuh otot (muscle relaksan) karena pasien akan merasa tidak nyaman sewaktu bangun. Namun jika memakai mode assisted atau SIM atau spontan/PS/ASB, trigger harus dibuat sensitif. PEEP (Positive End Expiratory Pressure) PEEP meningkatkan kapasitas residu fungsional paru dan sangat penting untuk meningkatkan PaO2 yg refrakter. Nilai PEEP selalu dimulai dari 5 cmH2O. Setiap perubahan pada PEEP harus berdasarkan analisa gas darah, toleransi dari PEEP, kebutuhan FiO2 dan respon
kardiovaskular. Jika PaO2 masih rendah sedangkan FiO2 sudah 60% maka PEEP merupakan pilihan utama sampai nilai 15 cmH2O. Fungsi PEEP: Redistribusi cairan ekstravaskular paru Meningkatkan volume alveolus Mengembangkan alveoli yg kolaps
Setting alarm ventilator Alarm Low exhaled volume Set 100 cc dibawah nilai tidal volume ekspirasi, misalnya tidal volume ekspirasi 500 cc maka alarm diset 400 cc. Akan berbunyi jika tidal volume pasien tidak adekuat Biasanya digunakan untuk mendeteksi kebocoran sistim di ventilator atau terjadi disconnect sirkuit Alarm Low Inspiratory Pressure Sebaiknya diset 10-15 cmH2O dibawah PIP (Peak Inspiratory Pressure) Akan berbunyi jika Pressure turun dibawah yang diset. Juga digunakan untuk mendeteksi kebocoran sistim Jika alarm ini berbunyi maka perlu dilakukan pemeriksaan pasien terhadap: Air di dalam sirkuit ETT kinking atau tergigit Sekresi dalam ETT Bronkospasme Pneumotoraks tension Low compliance (efusi pleura, edema paru akut, asites) Peningkatan airway resistance Batuk MODE VENTILASI Terminologi untuk mode ventilasi saat ini banyak yang membingungkan. Misalnya seperti penggunaan kata-kata yang tidak tepat; “control”, “cycled” atau “assist’. Namun saat ini banyak penulis yang mengikuti terminologi yang dibuat oleh Kapadia. [Postgrad Med J 1998 74 330-5]. Ia membagi terminologi mode menjadi 3 dasar: The Trigger - the signal that opens the inspiratory valve, allowing air to flow into the patient; The Limit - the factor which limits the rate at which gas flow into the lungs; Cycling - the signal which stops inspiration AND eventually opens the expiratory valve. Start/initiation/trigger positive pressure
Target/limit/batasan positive pressure Cycled/Siklus/peralihan inspirasi ke ekspirasi Terminologi ini disingkat TLC Approaches Start/initiation/trigger: Ada 2 cara: Berdasarkan waktu (time-trigger) yg telah diset à control mode Berdasarkan penurunan airway pressure (pasien-trigger) à assisted mode Target/limit: Ada 2 macam: Berdasarkan volume yg diset à volume target Berdasarkan pressure yg diset à pressure target volume target = TV/flow konstan, tapi pressure berubah2 sesuai compl paru pasien FLOW KONSTAN PRESSURE
pressure target = pressure konstan tapi TV/flow berubah2 sesuai compl paru pasien PRESSURE KONSTAN FLOW Cycled: Ada 4 cara: Berdasarkan volume yg diset à volume cycled Berdasarkan pressure yg diset à time cycled Berdasarkan penururnan flow à flow cycled
PENGOPERASIAN DAN PEMELIHARAAN Beberapa ventilator tekanan positif saat ini sudah dilengkapi sistim komputer dengan panel kontrol yang mudah dioperasikan (user-friendly). Untuk mengaktifkan beberapa mode,
setting dan alarm, cukup dengan menekan tombol. Selain itu dilengkapi dengan layar monitor yang menampilkan apa yang kita setting dan parameter alarm. Ventilator adalah peralatan elektrik dan memerlukan sumber listrik. Beberapa ventilator, menyediakan back up batere, namun batere tidak di disain untuk pemakaian jangka lama. Ventilator adalah suatu metode penunjang/bantuan hidup (life - support); sebab jika ventilator berhenti bekerja maka pasien akan meninggal. Oleh sebab itu harus tersedia manual resusitasi seperti ambu bag di samping tempat tidur pasien yang memakai ventilator, karena jika ventilator stop dapat langsung dilakukan manual ventilasi. Ketika ventilator dihidupkan, ventilator akan melakukan self-test untuk memastikan apakah ventilator bekerja dengan baik. Tubing ventilator harus diganti setiap 24 jam dan biarkan ventilator melakukan self-test lagi. Filter bakteri dan water trap harus di periksa terhadap sumbatan, dan harus tetap kering. Namun perlu diingat bahwa penanbahan filter dapat meningkatkan dead space.
SETTING VENTILATOR Setting ventilator biasanya berbeda-beda tergantung pasien. Semua ventilator di disain untuk memonitor komponen2 dari keadaan sistim respirasi (paru-paru) pasien. Beberapa alarm dan parameter dapat disetting untuk mengingatkan perawat/dokter bahwa pasien tidak cocok dengan setting atau menunjukkan keadaan berbahaya. Respiratory Rate (RR) Frekuensi nafas (RR) adalah jumlah nafas yang diberikan ke pasien setiap menitnya. Setting RR tergantung dari TV, jenis kelainan paru pasien, dan target PaCO2 pasien. Parameter alarm RR di set diatas dan di bawah nilai RR yang diset. Misalnya jika set RR 10 kali/menit, maka set alarm sebaiknya diatas 12x/menit dan di bawah 8 x/menit. Sehingga cepat mendeteksi terjadinya hiperventilasi atau hipoventilasi. Pada pasien2 dgn asma (obstruktif), RR sebaiknya diset antara 6-8 x/menit, agar tidak terjadi auto-PEEP dan dynamic-hyperinflation. Selain itu pasien2 PPOK memang sudah terbiasa dengan PaCO2 tinggi, sehingga PaCO2 jangan terlalu rendah/normal. Pada pasien2 dengan PPOK (resktriktif) biasanya tolerate dengan RR 12-20 x/menit. Sedangkan untuk pasien normal RR biasanya 8-12 x/menit. Waktu (time) merupakan variabel yg mengatur siklus respirasi. Contoh: Setting RR 10 x/menit, maka siklus respirasi (Ttotal) adalah 60/10 = 6 detik. Berarti siklus respirasi (inspirasi + ekspirasi) harus berlangsung dibawah 6 detik.
Tidal Volume (VT) Tidal Volume adalah volume gas yang dihantarkan oleh ventilator ke pasien setiap sekali nafas. Umumnya setting antara 5-15 cc/kgBB, tergantung dari compliance, resistance, dan jenis kelainan paru. Pasien dgn paru normal tolerate dgn tidal volume 10-15 cc/kgBB, sedangkan untuk pasien PPOK cukup dengan 5-8 cc/kgBB. Untuk pasien ARDS memakai konsep permissive hipercapnea (membiarkan PaCO2 tinggi > 45 mmHg, asal PaO2 normal, dgn cara menurunkan tidal volume yaitu 4-6 cc/kgBB) Tidal volume rendah ini dimaksudkan agar terhindar dari barotrauma. Parameter alarm tidal volume diset diatas dan dia bawah nilai yg kita set. Monitoring tidal volume sangat perlu jika kita memakai TIME Cycled. Fraksi Oksigen, (FiO2) FiO2 adalah jumlah oksigen yg dihantarkan/diberikan oleh ventilator ke pasien. Konsentrasi berkisar 21-100%. Rekomendasi untuk setting FiO2 pada awal pemasangan ventilator adalah 100%. Namun pemberian 100% tidak boleh terlalu lama sebab rersiko oxygen toxicity (keracunan oksigen) akan meningkat. Keracunan O2 menyebabkan perubahan struktur membrane alveolar-capillary, edema paru, atelektasis, dan penurunan PaO2 yg refrakter (ARDS). Setelah pasien stabil, FiO2 dapat di weaning bertahap berdasarkan pulse oksimetri dan Astrup. Catatan; setiap tindakan suctioning (terutama pd pasien hipoksemia berat), bronkoskopi, chest fisioterapi, atau prosedur berat (stres) dan waktu transport (CT scan dll) FiO2 harus 100% selama 15 menit serta menambahkan 20-30% dari pressure atau TV sebelumnya, sebelum prosedur dilakukan. Namun pada pasien-pasien dengan hipoksemia berat karena ARDS skor tinggi, atau atelektasis berat yang sedang menggunakan PEEP tinggi sebaiknya jangan di suction atau dilakukan prosedur bronkoskopi dahulu, sebab pada saat PEEP dilepas maka paru akan segera kolaps kembali dan sulit mengembangkannya lagi. Inspirasi:Ekspirasi (I:E) Ratio I:E rasio biasanya diset 1:2 atau 1:1.5 yang merupakan nilai normal fisiologis inspirasi dan ekspirasi. Terkadang diperlukan fase inspirasi yg sama atau lebih lama dibanding ekspirasi untuk menaikkan PaO2, seperti pada ARDS, berkisar 1:1 sampai 4:1. Pressure Limit/ Pressure Inspirasi Pressure limit mengatur/membatasi jumlah pressure/tekanan dari volume cycled ventilator, sebab pressure yg tinggi dapat menyebabkan barotrauma. Pressure yg direkomendasi adalah plateau pressure tidak boleh melebihi 35 cmH2O. Jika limit ini dicapai maka secara otomatis ventilator menghentikan hantarannya, dan alarm berbunyi. Pressure limit yang tercapai ini biasanya disebabkan oleh adanya sumbatan/obstruksi jalan nafas, retensi sputum di ETT atau penguapan air di sirkuit ventilator. Biasanya akan normal lagi setelah suctioning. Peningkatan pressure ini juga dapat terjadi karena pasien batuk, ETT digigit, fighting terhadap ventilator, atau kinking pada tubing ventilator.
Flow Rate/ Peak flow Adalah kecepatan gas untuk menghantarkan tidal volume yg diset/menit. Biasanya setting antara 40-100 L/menit. Inspiratory flow rate merupakan fungsi dari RR, TV dan I:E rasio Flow = Liter/menit = TV/TInspirasi x 60 Jika RR 20x/menit maka: Ttotal = 60/20 = 3 detik. Jika rasio 1:2 , Tinspirasi = 1 detik. Untuk menghantarkan tidal volume (TV) 500 cc diperlukan Inspiratory flow rate = 0.5/1 x 60 = 30 Liter/menit. Sensitifity/Trigger Sensitivity menentukan jumlah upaya nafas pasien yang diperlukan untuk memulai/mentrigger inspirasi dari ventilator. Setting dapat berupa flow atau pressure. Flow biasanya lebih baik untuk pasien yang sudah bernafas spontan dan memakai PS/Spontan/ASB karena dapat megurangi kerja nafas/work of breathing. Selain itu pada pasien PPOK penggunaan flow sensitiviti lebih baik karena pada PPOK sudah terdapat intrinsic PEEP pada paru pasien sehingga pemakaian pressure sensitiviti kurang menguntungkan. Nilai sensitivity berkisar 2 sampai -20 cmH2O untuk pressure sedangkan untuk flow antara 2-20 L/menit. Jika PaCO2 pasien perlu dipertahankan konstan, misalnya pada resusitasi otak, maka setting dapat dibuat tidak sensitif. Dengan demikian setiap usaha nafas pasien tidak akan dibantu oleh ventilator. Pada keadaan ini perlu diberikan sedasi dan pelumpuh otot (muscle relaksan) karena pasien akan merasa tidak nyaman sewaktu bangun. Namun jika memakai mode assisted atau SIM atau spontan/PS/ASB, trigger harus dibuat sensitif. PEEP (Positive End Expiratory Pressure) PEEP meningkatkan kapasitas residu fungsional paru dan sangat penting untuk meningkatkan PaO2 yg refrakter. Nilai PEEP selalu dimulai dari 5 cmH2O. Setiap perubahan pada PEEP harus berdasarkan analisa gas darah, toleransi dari PEEP, kebutuhan FiO2 dan respon kardiovaskular. Jika PaO2 masih rendah sedangkan FiO2 sudah 60% maka PEEP merupakan pilihan utama sampai nilai 15 cmH2O.
Fungsi PEEP: Redistribusi cairan ekstravaskular paru Meningkatkan volume alveolus Mengembangkan alveoli yg kolaps
Setting alarm ventilator Alarm Low exhaled volume Set 100 cc dibawah nilai tidal volume ekspirasi, misalnya tidal volume ekspirasi 500 cc maka
alarm diset 400 cc. Akan berbunyi jika tidal volume pasien tidak adekuat Biasanya digunakan untuk mendeteksi kebocoran sistim di ventilator atau terjadi disconnect sirkuit Alarm Low Inspiratory Pressure Sebaiknya diset 10-15 cmH2O dibawah PIP (Peak Inspiratory Pressure) Akan berbunyi jika Pressure turun dibawah yang diset. Juga digunakan untuk mendeteksi kebocoran sistim Jika alarm ini berbunyi maka perlu dilakukan pemeriksaan pasien terhadap: Air di dalam sirkuit ETT kinking atau tergigit Sekresi dalam ETT Bronkospasme Pneumotoraks tension Low compliance (efusi pleura, edema paru akut, asites) Peningkatan airway resistance Batuk MODE VENTILASI Terminologi untuk mode ventilasi saat ini banyak yang membingungkan. Misalnya seperti penggunaan kata-kata yang tidak tepat; “control”, “cycled” atau “assist’. Namun saat ini banyak penulis yang mengikuti terminologi yang dibuat oleh Kapadia. [Postgrad Med J 1998 74 330-5]. Ia membagi terminologi mode menjadi 3 dasar: The Trigger - the signal that opens the inspiratory valve, allowing air to flow into the patient; The Limit - the factor which limits the rate at which gas flow into the lungs; Cycling - the signal which stops inspiration AND eventually opens the expiratory valve. Start/initiation/trigger positive pressure Target/limit/batasan positive pressure Cycled/Siklus/peralihan inspirasi ke ekspirasi Terminologi ini disingkat TLC Approaches Start/initiation/trigger: Ada 2 cara: Berdasarkan waktu (time-trigger) yg telah diset à control mode Berdasarkan penurunan airway pressure (pasien-trigger) à assisted mode
Target/limit: Ada 2 macam: Berdasarkan volume yg diset à volume target Berdasarkan pressure yg diset à pressure target volume target = TV/flow konstan, tapi pressure berubah2 sesuai compl paru pasien FLOW KONSTAN PRESSURE pressure target = pressure konstan tapi TV/flow berubah2 sesuai compl paru pasien PRESSURE KONSTAN FLOW Cycled: Ada 4 cara: Berdasarkan volume yg diset à volume cycled Berdasarkan pressure yg diset à time cycled Berdasarkan penururnan flow à flow cycled
MODE OF VENTILASI CONTROL MODE 1. Volume Control Mode 2. Pressure Control mode Karakteristik: à Start/trigger berdasarkan waktu à Target/limit bisa volume atau pressure à Cycled bisa volume atau bisa time/pressure (jika vol/pressure sudah tercapai seperti yg diset, inspirasi stop menjadi ekspirasi) à Disebut juga time-trigger ventilasi à Baik volume/pressure level maupun RR dikontrol oleh ventilator à Jika ada usaha nafas tambahan dari pasien tidak akan dibantu oleh ventilator
Control Volume Cycled ( CMV – Bennet 7200, IPPV – Drager, S-CMV – Galileo, VC – Servo 900C)
Control Time cycled (BIPAP – Drager, P-CMV – Galileo, PC – Servo 900C)
Setting: à Tidal volume atau level Pressure à RR à PEEP à FiO2 à Peak flow à I:E rasio à Sensitivity Indikasi: à Sering digunakan untuk pasien yg fighting terhadap ventilator terutama saat pertama kali memakai ventilator à Pasien tetanus atau kejang yang dapat menghentikan hantaran gas ventilator à Pasien yang sama sekali tidak ada trigger nafas (cedera kepala berat) à Trauma dada dgn gerakan nafas paradoks à Jangan digunakan tanpa sedasi atau pelumpuh otot Komplikasi: à Pasien total dependen/sangat tergantung pada ventilator à Potensial apneu (malas bernafas) ASSISTED MODE 1. Assisted Volume mode 2. Assisted Pressure mode Karakteristik: à Start/trigger oleh usaha nafas pasien yaitu penurunan tekanan jalan nafas à Target/limit oleh volume/time atau pressure à Cycled oleh volume atau pressure à Disebut juga pasien-trigger ventilation à RR lebih dari yg diset, karena setiap usaha nafas dibantu oleh ventilator à Tidal volume sesuai yg diset. à Jika nafas bervariasi; kadang pasien-trigger, kadang time-trigger maka disebut ASSISTED CONTROL MODE
Assisted Volume Cycled Start/Initiation = pasien - trigger Time Pressure Setting: à Tidal volume atau Pressure level à RR à PEEP à FiO2 à Peak flow à I:E Rasio à Sensitivity <5 cmH2O Indikasi: à Proses weaning Komplikasi: à Hiperventilasi à respiratory alkalosis à Pada cedera kepala sering menyebabkan hiperventilasi, sebaiknya segera ganti mode. Kedua mode diatas 9 control mode maupun assisted mode disebut juga Full ventilatory support, sedangkan SIMV, PS, ASB, Spontan disebut juga partial ventilatory support. SIMV MODE (Synchronized Intermittent Mandatory Ventilation) Adalah mode dimana ventilator memberikan nafas control (mandatory) namun membiarkan pasien bernafas spontan diantara nafas control tersebut. Karakteristik: à Start/trigger oleh pasien à Target/limit oleh volume à Cycled oleh volume Setting: à Tidal volume à SIMV rate/siklus SIMV à Peak flow à PEEP à FiO2 à Level PS/ASB/Spontan SIMV = 10 detik Periode SIMV 3 detik Periode spontan 7 detik Contoh, Jika setting SIMV rate = 6. Berarti siklus SIMV = 60/6 = 10 detik Jika RR pasien 20; maka Ttotal pasien (periode SIMV) = 60/20 = 3 detik. Periode SIMV dibuat sama dgn pola nafas pasien, dgn cara menghitung dahulu pola nafas pasien. Jika nafas pasien 20 x/m maka T total pasien = 3 dtk, dgn I:E = 1:2 maka Ti pasien 1 detik. Maka peak flow diset TV/1 dtk x 60 Sisanya adalah periode spontan 10 – 3 = 7 detik
PRESSURE SUPPORT/SPONTAN/FLOW CYCLED Karakterisrik: à Start/trigger berdasarkan usaha nafas pasien à Target/limit berdasarkan pressure level yang diset à Cycled berdasarkan penurunan peak flow inspirasi 25% (manufactured = setting dari pabrik), Inspirasi pasien hanya dibantu sebagian. Beberapa ventilator modern saat ini mempunyai setting seperti ETS (expiratory trigger sensitivity). Jika di set 40% berarti flow inspirasi akan berhenti saat flow mencapai 40% dari flow rate pasien saat itu. Beberapa penelitian menunjukkan untuk pasien PPOK maka ETS sebaiknya lebih cepat ( >25%) untuk menghindari autoPEEP. à Berfungsi mengatasi resistensi ETT, dengan memberi support inspirasi saja à Peak flow, ekspirasi serta RR ditentukan oleh pasien (tergantung pasien sendiri). Setting: à Inspiratory Pressure Level à PEEP à FiO2 Indikasi: Untuk pasien yang sudah dapat bernafas spontan (sudah ada trigger). Semakin kecil ETT semakin tinggi resitensi, oleh sebab itu pada pasien dewasa setting level pressure inspirasi biasanya hanya antara 5-10 cmH2O, sedangkan pada anak kecil lebih besar yaitu 10 cmH20. Jika pasien sudah tolerate dengan PS rendah à 5-10 cmH2O lebih dari 24 jam, sebenarnya tidal volume pasien sudah cukup, karena PS 5-10 hanya untuk mengkompensasi resistensi dari tube. Kontraindikasi: à Pasien yang belum ada trigger (belum bernafas spontan), atau pasien yang menggunakan obat pelumpuh otot (esmeron, norcuron atau pavulon) à PS/Spontan dapat diback up oleh SIMV, jika weaning pada pasien cedera kepala dimana trigger masih jarang. Common modes of ventilation - TLC classification Mode Trigger Limit Cycling Continuous Mechanical Ventilation Assist (CMVa)=Assist-Control(A/C)= Volume-ControlAssist (VCa) Ventilator or Patient Flow Volume (Time controls pause) Pressure Control Ventilation (PCV)
Ventilator or Patient Pressure Time (Time also controls pause) volume-cycled Synchronised-Intermittent-Mandatory Ventilation (SIMV) Ventilator or Patient Flow (mandatory breath) Volume (mandatory breath) pressure-limited SIMV Ventilator or Patient Pressure (mandatory breath) Time (mandatory breath) Pressure Support (PS) Patient Pressure Flow CPAP Patient Pressure Flow CPAP + PS Patient Pressure Flow SIMV + PS A combination of synchronised intermittent mandatory ventilation (with the appropriate characteristics of the mandatory breaths) and pressure support (with its characteristics). Note that either type of SIMV mentioned above may be used. Note that where CPAP is combined with ventilator triggered modes, confusing terminology kicks in again - CPAP is then called "PEEP" (Positive End-Expiratory Pressure). CONTOH SALAH SATU AUTOMATED MODE PADA VENTILATOR2 MODERN. ASV (ADAPTIVE SUPPORT VENTILATION) Galileo, Hamilton Medical, sweden ASV adalah mode baru ventilasi mekanik. ASV didisain untuk memberikan ventilasi dengan jaminan minimal minute ventilation (ventilasi semenit=RRxTV), baik untuk pasien yang masih di kontrol maupun pasien yang sudah nafas spontan. Pada setiap nafas yang diberikan ASV akan secara otomatis menyesuaikan kebutuhan ventilasi pasien berdasarkan setting minimal minute ventilation dan Berat Badan ideal pasien. BB diset oleh dokter/perawat sedangkan mekanik respirasi/paru (compliance dan resistensi jalan nafas pasien) ditentukan oleh ventilator. Dengan ASV, ventilasi yang diberikan dapat menjamin minimum inspiratory pressure (mencegah barotruma), mencegah auto-PEEP, menghilangkan intrinsik=PEEP.
ASV merupakan kombinasi antara Pressure Control dan Pressure Support ventilation. Jika pasien diberikan sedasi atau pelumpuh otot sehingga tidak ada trigger nafas, maka ASV secara otomatis akan menjadi mode Pressure Control murni. Jika kemudian pasien mulai bangun (trigger +) atau mulai diweaning, maka ASV akan berubah otomatis menjadi Pressure Support. ASV mengasumsikan normal minute ventilasi seseorang adalah 100 ml/kgBB untuk dewasa dan 200 ml/kgBB untuk pediatrik. Sebagai contoh, jika BB seseorang 50 kg, maka menit volume minimal orang tersebut ( TV x RR) diasumsikan 5 L/menit. Setelah data BB ideal tersebut dimasukkan, maka untuk memberikan minimal menit ventilasi, %MinVol diset 100%. Ini berarti ventilator akan memberikan jaminan menit ventilasi sebesar 5L/menit, sedangkan besarnya TV/Pressure Insp dan RR tergantung pada penilaian ventilator terhadap compliance paru dan resistensi jalan nafas pasien. Misalnya setelah 5 kali positif pressure diberikan, compliance dan resistensi pasien segera dinilai oleh ventilator/ASV. Dari 5 kali test breaths tersebut ventilator akan mengambil nilai pressure rata-rata, jika rata-rata pressure didapat 20 cmH2O, dan dgn pressure tersebut tidal volume yang bisa masuk sebesar 300 ml maka ASV akan mencari nilai RR agar 300 cc tersebut jika dikalikan RR mencapai target yang sudah diset yaitu 5 Liter/menit. Berarti ASV akan memberikan RR 5/0.3 = 16 kali/menit. Jika terjadi penurunan compliance seperti edema paru akut atau pneumonia berat, dimana dengan pressure 20 cmH2O tidal volume yang masuk hanya 100 ml, maka ASV akan meningkatkan lagi RR agar minute volume tetap sesuai target 5 liter/mnt. Sebaliknya jika edema paru atau pneumonia terkoreksi, dimana dengan pressure yg sama yaitu 20 cmH2O tidal volume meningkat perlahan, maka ASV secara otomatis akan menurunkan kembali RR agar target minVol konstan. Kalukulasi ini semua dilakukan nafas demi nafas (breath by breath) oleh ASV, sehingga RR dan tidal volume ekspirasi terlihat berubah-ubah setiap saat sesuai kondisi paru pasien. Dengan ASV maka mulai dari pasien dikontrol sampai weaning pasien hanya memakai satu mode saja. Sebab mulai dari pressure kontrol (paralisis) sampai weaning dengan Pressure Support atau sebaliknya, mode yg digunakan hanya ASV. Misalnya sementara memakai ASV tiba-tiba RR menjadi meningkat sampai >30 x/menit, saturasi turun, setelah di periksa ternyata terjadi edema paru atau penumonia berat, maka pasien segera dikontrol lagi dengan memakai pelumpuh otot. Setelah diberikan pelumpuh otot ASV secara otomatis akan segera berubah menjadi Pressure Control tanpa user harus merubah mode lain. Weaning dengan ASV, adalah dengan menurunkan %min volume, sampai 40-50%. Sebab jika dalam proses weaning %minVol dipertahankan 100% berarti pasien tidak diberi kesempatan bernafas sendiri, karena semua kebutuhan min-vol nya dippenuhi oleh ASV. Jika ASV sudah mencapai 50% berarti mode ini disebut parsial ventilation mirip dengan PS atau SIMV mode.
Dengan berdasarkan pada menit ventilasi ini maka setting tidal volume, Insp Pressure, I:E rasio, peak flow dan RR tidak diperlukan lagi, sehingga pengoperasian menjadi lebih mudah.
JENIS-JENIS SYOK DAN PENGERTIANNYA
Berdasarkan etiloginya maka syok digolongkan atas beberapa macam yaitu :Syok Hipovolemik, Syok Kardiogenik, Syok Distributif, dan Syok Obstruktif SYOK HIPOVOLEMIK Pengertian Syok hipovolemik merupakan tipe syok yang paling umum ditandai dengan penurunan volume intravascular. Cairan tubuh terkandung dalam kompartemen intraseluler dan ekstraseluler. Cairan intraseluler menempati hamper 2/3 dari air tubuh total sedangkan cairan tubuh ekstraseluler ditemukan dalam salah satu kompartemen intavaskular dan interstitial. Volume cairan interstitial adalah kira-kira 3-4x dari cairan intravascular. Syok hipovolemik terjadi jika penurunan volume intavaskuler 15% sampai 25%. Hal ini akan menggambarkan kehilangan 750 ml sampai 1300 ml pada pria dgn berat badan 70 kg. Etiologi Kondisi-kondisi yang menempatkan pasien pada resiko syok hipovolemik adalah (1) kehilangan cairan eksternal seperti : trauma, pembedahan, muntah-muntah, diare, diuresis, (2) perpindahan cairan internal seperti : hemoragi internal, luka baker, asites dan peritonitis
SYOK KARDIOGENIK Pengertian Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan fungsi pompa jantung yang mengakibatkan curah jantung menjadi berkurang atau berhenti sama sekali. Etiologi Penyebab syok kardiogenik mempunyai etiologi koroner dan non koroner. Koroner, disebabkan oleh infark miokardium, Sedangkan Non-koroner disebabkan oleh kardiomiopati, kerusakan katup, tamponade jantung, dan disritmia.
SYOK DISTRIBUTIF Pengertian Syok distributif atau vasogenik terjadi ketika volume darah secara abnormal berpindah tempat dalam vaskulatur seperti ketika darah berkumpul dalam pembuluh darah perifer. Etiologi Syok distributif dapat disebabkan baik oleh kehilangan tonus simpatis atau oleh pelepasan mediator kimia ke dari sel-sel. Kondosi-kondisi yang menempatkan pasien pada resiko syok distributif yaitu (1) syok neurogenik seperti cedera medulla spinalis, anastesi spinal, (2) syok anafilaktik seperti sensitivitas terhadap penisilin, reaksi transfusi, alergi sengatan lebah (3) syok septik seperti imunosupresif, usia yang ekstrim yaitu > 1 thn dan > 65 tahun, malnutrisi Berbagai mekanisme yang mengarah pada vasodiltasi awal dalam syok distributif lebih jauh membagi klasifikasi syok ini kedalam 3 tipe : 1. Syok Neorugenik Pada syok neurogenik, vasodilatasi terjadi sebagai akibat kehilangan tonus simpatis. Kondisi ini dapat disebabkan oleh cedera medula spinalis, anastesi spinal, dan kerusakan sistem saraf. Syok ini juga dapat terjadi sebagai akibat kerja obat-obat depresan atau kekurangan glukosa (misalnya : reaksi insulin atau syok). Syok neurogenik spinal ditandai dengan kulit kering, hangat dan bukan dingin, lembab seperti terjadi pada syok hipovolemik. Tanda lainnya adalah bradikardi. 2. Syok Anafilaktik Syok anafilaktik disebabkan oleh reaksi alergi ketika pasien yang sebelumnya sudah membentuk anti bodi terhadap benda asing (anti gen) mengalami reaksi anti gen- anti bodi sistemik. 3. Syok Septik Syok septik adalah bentuk paling umum syok distributuf dan disebabkan oleh infeksi yang menyebar luas. Insiden syok septik dapat dikurangi dengan melakukan praktik pengendalian infeksi, melakukan teknijk aseptik yang cermat, melakukan debriden luka ntuk membuang jarinan nekrotik, pemeliharaan dan pembersihan peralatan secara tepat dan mencuci tangan secara menyeluruh.
BAB VII
SCORING SISTEM DI ICU Indikator
pelayanan
ICU menggunakan
sistem scoring
prognosis dan keluaran ICU.
Sistem scoring dibuat 24 jam stelah pasien masuk ICU. Beberapa contoh scoring sistem di ICU diantaranya APACHE II, SAPS, MODS, SOFA dll. A. APACHE II
APACHE II Score ("Acute Physiology and Chronic Health Evaluation II Score") adalah sistem klasifikasi keparahan penyakit yang pertama kali diperkenalkan oleh William Knaus dkk. di Universitas George Washington pada tahun 1981. Scor Apache ini digunakan untuk mengukur tingkat keparahan penyakit dan memprediksi mortalitas yang biasa digunakan di beberapa unit perawatan intensif (ICU). Penilaian klinis keparahan penyakit merupakan komponen penting praktek medis karena dapat menentukan intervensi pengobatan, derajat kegawatan dan prognosis. Severity of illness dinilai berdasarkan pengukuran 12 sistem fisiologis rutin selama 24 jam pertama setelah masuk, usia dan status kesehatan sebelumnya atau komorbiditas yang dimiliki pasien. Data perhitungan skor APACHE II berdasar pada variabel-variabel yang terdiri dari suhu rektal, mean arterial pressure, frekuensi nadi, frekuensi napas, hantaran oksigen (PO2), PO2, pH arteri, natrium serum, kalium serum, kreatinin serum, hematokrit dan hitung jenis lekosit. Jumlah skor bervariasi dari 0 sampai 71. Semakin besar skor semakin meningkat risiko kematian. Meskipun sistem penilaian baru, seperti SAPS II, telah menggantikan APACHE II di banyak tempat, APACHE II terus digunakan secara luas karena begitu banyak dokumentasi didasarkan pada itu. Pada studi yang dilakukan di berbagai negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Selandia Baru dan Singapura, terbukti sistem skor APACHE II memiliki korelasi yang baik antara mortalitas yang diprediksi dengan mortalitas aktual yang terjadi. APACHE II memiliki kelemahan antara lain: 1. Sistem skor ini dibuat berdasarkan data lama dari tahun 1979 – 1982 dan sistem skor tidak dirancang untuk memprediksi outcome pasien secara individual dan penyakit khusus. 2. Perbedaan dalam waktu kedatangan pasien di ICU menyebabkan perbedaan nilai prediksi dan kategori diagnosis tidak secara akurat menghitung perbedaan kondisi saat masuk ICU. 3. Tidak mencakup penilaian pasien trauma dan bedah.
4. APACHE II memiliki kekurangan dalam komponen untuk menilai secara akurat trauma akut yang terjadi pada individu yang sebelumnya sehat sebaliknya pada individu yang sebelumnya memiliki penyakit kronik 5. Tidak mengontrol penatalaksanaan sebelum masuk ICU yang dapat memengaruhi kondisi fisiologis pasien sehingga menurunkan skor dan menurunkan risiko pasien yang sesungguhnya. 6. Mengeksklusi pasien-pasien grafting bypass arteri koroner, perawatan jantung, luka bakar dan pasien pediatric
B. SAPS (SYMPLIFIED ACUTE PHYSIOLOGIC SCORE)
C. SOFA (SEQUENTIAL ORGAN FAILURE ASSESSMENT ) SCORE
D. MODS (MULTIPLE ORGAN DISFUNCTION SCORE)
BAB VIII PENUTUP Modul pelatihan ICU merupakan gambaran secara umum tentang apa itu ICU bagaimana peranan ICU dalam konteks pelayanan kesehatan di rumah sakit, regulasi serta ketenagaan, ketersediaan alat dan system rujukan. Peserta pelatihan nantinya diharapkan mampu memahami dan menerapkan hal hal yang menjadi aturan dasar pelaksanaan dan pekayanan di ICU, membangun kerjasama yang baik antar disiplin ilmu yang betrkaitan dengan ICU. Modul ini mungkin jauh dari sempurna namun merupakan langkah awal untuk perbaikan bersama ke depan.