LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
MIKROPALEONTOLOGI
Disusun Oleh:
Mochammad Rosyid Ridlo
131.10.1148
LABORATORIUM SUMBER DAYA ENERGI
JURUSAN TEKNIK GEOLOGI
FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
INSTITUT SAINS & TEKNOLOGI AKPRIND
YOGYAKARTA
2014
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
PRAKATA iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR TABEL viii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………..1
I.1. Latar Belakang 1
I.2. Maksud Dan Tujuan 2
I.3. Metode Penulisan 2
I.4. Alat Dan Bahan 3
BAB II MIKROPALEONTOLOGI……………………………………….5
BAB III LAPANGAN……………………………………………………..12
III.1. Pengambilan Contoh Batuan 11
Dasar Teori 11
Geologi Regional Daerah Penelitian 14
Waktu, Lokasi, Dan Kesampaian Daerah 16
III.2. Lampiran 16
Deskripsi Lapangan
Kolom Stratigrafi Terukur
BAB IV ANALISIS ………………………………………………………..18
IV.1. Penyajian Atau Preparasi Fosil 18
Alat Dan Bahan 18
Langkah Kerja 19
IV.2. Determinasi Fosil 23
Dasar Teori 23
Alat Dan Bahan 72
Langkah Kerja 72
Lampiran 72
Fosil Planktonik
Fosil Bentonik
BAB V APLIKASI FORAMINIFERA…………………………………..73
V.1. Penentuan Umur Relatif Batuan 73
V.1.1 Dasar Teori 73
V.1.2 Alat Dan Bahan 73
V.1.3 Langkan Kerja 74
V.1.4 Lampiran 74
Kolom Penarikan Umur Relatif 74
V.2. Penentuan Lingkungan Batymetry 74
V.2 .1 Dasar Teori 74
V.2.1Alat Dan Bahan 76
V.2.3 Langkah Kerja 76
V.2.4 Lampiran 76
Kolom Penarikan Lingkungan Batymetry 76
BAB VI PENUTUP………………………………………………………...77
VI.1. Kesimpulan 77
VI.2. Saran 78
DAFTAR PUSTAKA 79
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Foto singkapan dilapangan 17
Gambar 2. Sketsa lapangan 21
Gambar 3. Siklus foraminifera 24
Gambar 4. Ekologi foraminifera bentos 31
Gambar 5. Bagian – bagian cangkang foraminifera 32
Gambar 6. Berbagai bentuk dasar test foraminifera 34
Gambar 7. Berbagai bentuk dasar test foraminifera 35
Gambar 8. Berbagai bentuk kamar foraminifera 36
Gambar 9. Berbagai bentuk cangkang monothalamus 37
Gambar 10. Berbagai bentuk cangkang polythalamus 39
Gambar 11. Macam- macam aperture 40
Gambar 12. Jenis – jenis aperture berdasarkan letaknya 42
Gambar 13. Berbagai jenis hiasan pada cangkang foraminifera 44
Gambar 14. Spesies Orbulina universa 48 Gambar 15. Spesies Orbulina bibobita 48 Gambar 16. Spesies Orbulina Saturalis 48 Gambar 17. Spesies Globigerina nephentes 49 Gambar 18. Spesies Globigerina praebulloides 49 Gambar 19. Spesies Globigerina Seminulina 49 Gambar 20. Spesies Globigerina Tripatia 50 Gambar 21. Spesies Globigerina Trilobus 50 Gambar 22. Spesies Globigerina Conglobatus 51 Gambar 23. Spesies Globigerina Extremus 51 Gambar 24. Spesies Globigerina Fistulosus 52 Gambar 25. Spesies Globigerina Immaturus 52 Gambar 26. Spesies Globigerina Obiquus 52 Gambar 27. Spesies Globigerina Primodius 53
Gambar 28. Spesies Globigerina Ruber 53 Gambar 29. Spesies Globigerina Dehiscens 54 Gambar 30. Spesies Globigerina Altispira 54 Gambar 31. Spesies Sphaeroidinella dehiscens 54 Gambar 32. Spesies Sphaeroidinellopsis seminulina 55 Gambar 33. Spesies Pullenitina 55 Gambar 34. Spesies Catapsydrax dissimillis 56 Gambar 35. Subgenus globorotalia-spesies Globorotalia tumidae 57 Gambar 36. Subgenus globorotalia-spesies Globorotalia plesiotumida 57 Gambar 37. Subgenus Turborotalia-spesies Globorotalia Siakensis 58 Gambar 38. Genus Hantkenina-spesies Hantkenina alabamensis 59 Gambar 39. Genus Cribohantkenina-Spesies Cribohantkenina Bermudezi 59 Gambar 40. Genus Hastigerina-Spesies Hastigerina aequilateralis 60 Gambar 41. Bentuk Test globular 61 Gambar 42. Bentuk Test botol 61 Gambar 43. Bentuk Test Tabung 62 Gambar 44. Bentuk Test kombinasi tabung dan botol 62 Gambar 45. Bentuk Test Planispiral 62 Gambar 46. Bentuk Test cabang/bifurcatirtg 63 Gambar 47. Bentuk Test Arburescent-Fusifom 63 Gambar 48. Macam-macam bentuk cangkang monothalamus 64
Gambar 49. Foraminiferayang mempunyai cangkang monothalamus 65
Gambar 50. Bentuk Test polythalamus-Involute 66
Gambar 51. Bentuk Test polythalamus-Nautiloid 67
Gambar 52. Bentuk Test polythalamus-Biserial 67
Gambar 53. Bentuk Test polythalamus-Triserial 68
Gambar 54. Bentuk Test polythalamus-Biformed 68
Gambar 55. Bentuk Test polythalamus-Triformed 68
Gambar 56. Contoh genus foraminifera bentonik dan keterangannya 70
Gambar 57. Contoh genus foraminifera bentonik dan keterangannya 71
Gambar 58. Lingkungan pengendapan sedimen 78
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Takstonomi mikro organisme 10
Tabel 2. Takstonomi mikro organisme dan penemu 10
Tabel 3. Jumlah rata-rata mikrofosil pada batuan(Bignot,1982) 13
Tabel 4. Skala ayakan menurut ASTM 22
Tabel 5. Kedalaman dari Grimsdale dan Mark Hoven (1950) 75
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar belakang
Mikropaleontologi merupakan cabang dari ilmu paleontologi yang mempelajari sisa-sisa organisme yang telah terawetkan di alam berupa fosil yang berukuran mikro. Mikropaleontologi juga didefinisikan sebagai studi sitematik yang membahas mikrofosil, klasifikasi, morfologi, ekologi, dan mengenai kepentingannya terhadap stratigarfi atau ilmu yang mempelajari sisa organisme yang terawetkan di alam dengan mengunakan alat mikroskop.
Mikrolitologi membahas batuan sedimen mengunakan mikroskop dinokular yang di bahas : warna,tekstur,pemilahan,struktur,ukuran kristal ,mineral,semen dll.pada umumnya fosil mikro yang berukuran lebih kebil dari 0,5mm, untuk mempelajainya kadang-kadang mengunakan sayatan tipis dari fosil tersebut. FOSIL berasal dari bahasa latin, yaitu Fossilis, yang berarti menggali dan/ sesuatu yang diambil dari dalam tanah/batuan. Beberapa kegunaan dari fosil, khususnya mikrofosil :
Fossil index ; secara akurat memberikan umur realtif suatu batuan
Paleoclimatology ; mengetahui iklim purba (zaman lampau)
Paleoceanography ; mengetahui tempat kehidupan masa lalu
Biostratigraphy; mengetahu secara rinci zonasi/stratigrafi kehidupan
Evolusi kehidupan ( mengetahui urut-urutan perkembangan kehidupan suatu spesies)
Paleobathymetric ; mengetahui kedalaman suatu sedimentasi
Paleoenvironment; mengetahui lingkungan kehidupan masa lampau
Tectonic indication ; dapat mengetahui indikasi perubahan tektonisme selama sejarah kehidupan
Oil Deposite Indicator ; indikasi terdapatnya potensi Minyak Bumi (HC)
Sejarah Mikropaleontologi
Sebelum zaman masehi, fosil-fosil mikro terutama ordo foraminifera sangat sedikit untuk di ketahui. Meskipun demikian filosofi-filosofi Mesir banyak yang menuis tentang keanehan alam. Termasuk pada waktu menjumpai fosil.
Herodotus dan Strabo pada abad ke lima dan ke tujuh sebelum masehi menemukan benda-benda aneh di daerah piramida. Mereka mengatakan bahwa benda-benda tersebut adalah sisa-sisa makanan para pekerja yang telah menjadi keras, padahal benda tersebut sebetulnya adalah fosil-fosil numulites. Fosil ini terdapat dalam batugamping brumur Eosen yang di gunakan sebagai bahan bangunan piramida di negara tersebut.
Agricola pada tahun 1546 mengambarkan benda-benda aneh tersebut sebagai "Stone Lentils" Gesner tahun 1565 menulis tentang sistematika paleontology.
Van Leewenhoek (tahun 1660) menemukan miroskop, terhadap fosil mikro berkembang dengan pesat.
Beccarius (tahun 1739) pertama kali menulis tentang foraminifera yang dapat dilihat dengan mikrosop.
Carl Von Lineous adalah orang swedia yang memperkenalkan tata nama baru (1758) dalam bukunya yang berjudul (System Naturae) tata nama baru ini penting, karena cara penamaan ini lebih sederhana dan sampai sekarang ini digunakan untuk penamaan binatang maupun tumbuhan pada umumnya.
D'orbigny (1802-1857) menulis tentang foraminifera yang digolongkan dalam kelas Chepalopoda. Beliau juga menulis tentang fosil mikro seperti Ostracoda, Conodonta, beliau dikenal sebagai Bapak Mikropaleontologi.
Ehrenberg dalam penyelidikan organisme mikro menemukan berbagai jenis Ostracoda, Foraminifera dan Flagellata, penyelidikan tentang sejarah perkembangan foraminifera dilakukan oleh Carpenter (1862) dan Lister (1894). Selain itu mereka juga menemukan bentuk-bentuk mikrosfir dan megalosfir dari cangkang-cangkang foraminifera.
Chushman (1927) pertama kali menulis tentang fosil-fosil foraminifera dan menitikberatkan penelitianya pada study determinasi foraminifera, serta menyusun kunci untuk mengenal fosil-fosil foraminifera.
Jones (1956) banyak membahas fosil mikro diantaranya Foraminifera, Gastropoda, Conodonta, Ostracoda, Spora dan Pollen serta kegunaan fosil-fosil tersebut, juga membahas mengenai ekologinya.
Taksonomi
Carl Van Lineous (1758), ahli Botani dari Swedia yang memperkenalkan tata nama baru dalam bukunya "Systema Naturae", mengusulkan Taksonomi dan sampai sekarang masih dipercaya dan digunakan oleh banyak orang. Tata cara penamaan yang digunakan menggunakan bahasa latin.
Taksonomi adalah tata cara penamaan atau sistematika penamaan tingkat kehidupan yang tertinggi sampai tingkat kehidupan yang terendah.
Kingdom : Jumlah tertentu dan pasti (yakni : Flora & Fauna)
Phylum : Tidak berubah dan pasti
Class : Sudah teridentifikasi dan pasti
Ordo : sehingga tidak berubah
Family :
Genus : Jumlahnya masih dapat berubah/bertambah dengan penamaan Genus baru di alam.
Species : Dimungkinkan ditemukan di alam
Varietas : Dimungkinkan dapat dibuat/direkayasa penemuan varietas
Baru yang lebih unggul
Secara garis besar Kingdom dapat diklasifikasikan kedalam 5 kingdom, yaitu :
Chromista (diatoms, coccolith )
Fungi (Fungi)
Metaoza (Animals)
Plantae (Plants)
Protista (Protists)
Penamaan Genus-Spesies
Untuk penamaan genus hanya diberikan dengan satu suku kata dan ditulis dengan huruf tegak dan diawali dengan huruf besar, contoh : Globorotalia.
Sedangkan untuk tingkat spesies, nama genus ditambah satu suku kata (ada dua suku kata) dan ditulis dengan menggunakan huruf miring atau digaris bawahi, untuk suku kata kedua ditulis dengan huruf kecil. Contoh : Globorotalia tumida atau Globorotalia tumida.
Kingdom Protista
Menurut Haeckel (1866) binatang primitif bersel satu termasuk Kingdom Protista yang dapat dibagi menjadi 12 Phylum, diantaranya Phylum Protozoa.
Class : 1. Flagellata/Mastigosphora
2. Sarcodina/Rhizopoda
3. Sporozoa
4. Ciliatta (Infusoria)
Class sarcodina terbagi menjadi 8 ordo, yaitu :
Ordo : 1. Foraminifera*
2. Proteomyxa
3. Mycetozoa
4. Amoebina
5. Testaccea
6. Heliozoa*
7. Radiolaria*
Mempunyai bagian yang keras, dalam praktikum Mikrpaleontologi ini akan dibahas mengenai Ordo Foraminifera dan Radiolaria, sedangkan Heliozoa tidak dibahas karena fosil ini hanya dapat dilihat menggunakan mikroskop dengan perbesaran tinggi. Selain itu, juga akan diperkenalkan mikrofosil lainnya, yaitu : Diatome, Conodonta, Ostracoda dan Nannofosil.
I.2. Maksud dan Tujuan
Maksud praktikum Mikropaleontologi adalah untuk mengenal berbagai macam fosil mikro terutama dari golongan Foraminifera yang umumnya banyak dijumpai.
Tujuannya mendeskripsikan fosil-fosil Foraminifera, sehingga pratikan dapat menentukan umur relatif suatu batuan, membantu dalam studi lingkungan pengendapan dan korelasi stratigrafi dengan daerah lain.
I.3. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan laporan ini adalah menggunakan metode primer dan metode sekunder. Metode primer ialah metode yang mengguankan data lapangan secara langsung yang berasal dari pengambilan data di kalibawang, kulon progo - yogyakarta, sedangkan metode sekunder yaitu metode berdasarkan dasar eori yang diambil dari buku panduan pratikum, literature-literatur buku-buku lain yang berkaitan dengan laporan ini serta penganbilan literatur yang ada di internet.
I.4. Alat dan Bahan
I.4.1 Peralatan yang digunakan dalam pengambilan sampel dilapangan, antara lain:
Palu Sedimen, untuk mengambil sampling fosil pada batuan arau singkapan.
Kompas geologi, mengetahui arah jurus (dip dan slope).
Plastik sample, wadah untuk menaruh sample yang sudah diambil.
Buku catatan lapangan, untuk mencatat data-data primer yang ada di lapangan
HCL 0,1 N, untuk mengetahui reaksi batuan atau mengetahu kandungan batuan sedian karbonatan atau tidak.
Peta lokasi pengambilan sampel, untuk referensi lokasi yang akan dituju.
Data geologi regional lokasi yang dituju, untuk mengetahui regional daerah penelitian.
I.4.2 Peralatan yang digunakan untuk menyajikan fosil, antara lain:
Wadah sampel
Larutan H O
Mesin pengayak
Ayakan menurut skala mesh
Tempat sample yang sudah di bersihkan
Alat pengering / oven
I.4.3 Dan untuk memisahkan fosil, peralatan yang diperlukan antara lain :
Cawan tempat contoh hancuran batuan
Jarum preparat
Lem untuk merekatkan fosil
Tempat fosil (pick)
Mikroskop & alat penerang
BAB II
MIKROPALEONTOLOGI
II.1 Mikropaleontologi
Fosil yang terdapat di alam mempunyai ukuran yang berbeda-beda, sehingga penelitiannya dilakukan dengan cara yang berbeda pula. Ada penelitian fosil yang dilakukan secara megaskopis, artinya dilakukan dengan mata bugil/dengan loupe (kaca pembesar). Disamping itu, ada juga cara penelitian secara mikroskopis, artinya penelitian dilakukan dengan menggunakan alat mikroskop.
Mikropaleontologi merupakan studi yang secara khusus mempelajari sisa-sisa oraganisme yang terawetkan di alam dengan menggunakan mikroskop. Organisme yang terawetkan tersebut dinamakan fosil mikro karena berukuran sangat kecil. Sebagai contoh fosil mikro adalah fosil-fosil dari organisme golongan foraminifera. Golongan ini umumnya mempunyai ukuran yang kecil, sehingga untuk mengadakan penelitian harus menggunakan mikroskop. Umumnya fosil mikro berukuran lebih kecil dari 0,5 mm, tetapi ada pula yangg mencapai 19 mm (Genus Fusulina).
Fosil-fosil mikro antara lain dari : Calcareous Nannofosil, Conodonts, Diatoms, Foraminifera, Ostracoda dan Radiolaria.
Mikrolitologi merupakan studi mikroskop yang membahas tentang batuan sedimen, antara lain warna, tekstur, struktur, pemilahan, fragmen, serta sementasi dari sedimen. Alatnya berupa mikroskop Binokuler. Mikrostratigrafi merupakan gabungan ilmu mikropaleontologi dengan mikrolitologi, khususnya digunakan dalam korelasi.
II.1.1 Sejarah Mikropaleontologi
Sebelum zaman masehi, fosil-fosil mikro terutama ordo foraminifera sangat sedikit untuk diketahui. Meskipin demikian, filosof-filosof Mesir banyak yang menulis tentang keanehan alam.
HERODOTUS dan STRABO (abad kelima dan ketujuh sebelum Masehi) menemukan benda-benda aneh disekitar Piramid, mereka mengatakan bahwa benda tersebut adalah sisa-sisa makanan para pekerja yang telah menjadi keras, padahal benda tersebut adalah fosil-fosil Nummulites. Fosil ini terdapat pada batugamping berumur Eosen, yang digunakan sebagai bahan bangunan Piramid.
Perkembangan ilmu mikropaleontologi :
AGRICOLA (1739) menggambarkan benda-benda aneh tersebut sebagai "Stone Lentils".
GESNER (1565) menulis tentang sistematika paleontologi.
VAN LEEUWENHOEK (1660) menemukan mikroskop. Dengan penemuan alat ini, maka penyeledikan terhadap fosil mikro berkembang dengan pesat.
BECCARIUS (1739) pertama kali menulis tentang foraminifera yang dapat dilihat pada mikroskop.
CARL VON LINEOUS (1758), orang swedia yang memperkenalkan tata nama baru dalam bukunya yang berjudul "Systema Naturae". Tata nama ini penting karena cara penamaan ini lebih sederhana dan sampai sekarang digunakan untuk penamaan binatang maupun tumbuhan.
D'ORBIGNY (1802-1857) menulis tentang foraminifera yang digolongkan dalam kelas Cephalopoda. Beliau juga menulis tentang fosl mikro seperti Ostracoda, Conodonta, sehingga beliau dikenal sebagai Bapak Mikropaleontologi.
EHRENBERG dalam penyelidikan organisme mikro menemukan berbagai jenis Ostracoda, Foraminifera dan Flagellata. Penyelidikan tentang sejarah perkembangan foraminifera dilakukan oleh CARPENTER dan LISTER (1894). Selain itu, mereka juga menemukan bentuk-bentuk mikrofosil dari cangkang-cangkang foraminifera.
CUSHMAN (1927) pertama kali menulis tantang fosil-fosil foraminifera dan menitikberatkan pada studi determinasi foraminifera, serta menyusun kunci untuk mengenal fosil-fosil foraminfera.
JONES (1956) membahas fosil mikro, diantaranya Foraminifera, Gastropoda, Conodonta, Spora dan Pollen serta kegunaan fosil-fosil tersebut, juga membahas mengenai ekologinya.
II.1.2 Pengertian
Fosil yang terdapat di alam mempunyai ukuran yang berbeda-beda, sehingga penelitiannya dilakukan dengan cara yang berbeda pula. Ada penelitian fosil yang dilakukan secara megaskopis, artinya dilakukan dengan mata bugil/dengan loupe (kaca pembesar). Disamping itu, ada juga cara penelitian secara mikroskopis, artinya penelitian dilakukan dengan menggunakan alat bantu yaitu mikroskop.
Mikropaleontologi merupakan studi yang secara khusus mempelajari sisa-sisa oraganisme yang terawetkan di alam dengan menggunakan mikroskop. Organisme yang terawetkan tersebut dinamakan fosil mikro karena berukuran sangat kecil. Sebagai contoh fosil mikro adalah fosil-fosil dari organisme golongan foraminifera. Golongan ini umumnya mempunyai ukuran yang kecil, sehingga untuk mengadakan penelitian harus menggunakan mikroskop. Umumnya fosil mikro berukuran lebih kecil dari 0,5 mm, tetapi ada pula yanggmencapai 19 mm (Genus Fusulina).
II.1.3 Fosil Mikro
Definisi Mikro fosil menurut Jones, 1936: Mikro fosil adalah setiap fosil yang biasanya kecil dan untuk mempelajarinya digunakan alat bantu Mikroskop. Fosil mikro dalam batuan tersebut terdapat bersama dengan bahan lain telah direkatkan oleh semen. Dalam mikropaleontologi yang dipelajari adalah Phylum protozoa, class Sarcodina, Ordo Foraminifera.
Berdasarkan kegunaannya, maka dikenal beberapa istilah yaitu :
Fosil Indeks / Fosil penunjuk / Fosil Pandu adalah Fosil yang digunakan sebagai penunjuk umur relatif. Pada umumnya jenis fosil ini mernpunyai penyebaran vertikal pendek dan penyebaran lateral luas serta mudah dikenal.
Fosil Bathimetri / Fosil Kedalaman adalah Fosil yang dapat digunakan untuk menentukan lingkungan pengendapan. Pada umumnya yang dipakai adalah benthos yang hidup di dasar.
Contoh : Elphidium spp penciri lingkungan transisi (Tipsword, 1966).
Fosil Horison / Fosil Lapisan / Fosil Diagnostik / Fosil Kedalaman adalah Fosil yang mencirikan atau khas tecdapat di dalam lapisan yang bersangkutan. Contoh : Globorotalia tumida (penciri N18).
Fosil Lingkungan adalah Fosil yang dapat dipergunakan sebagai petunjuk lingkungan sedimentasi. Contoh : Radiolaria sebagai penciri laut dalam.
Fosil Iklim adalah Fosil yang dapat digunakan sesuai penunjuk iklim pada saat itu. Contoh : (Globigerina pachiderma penciri iklim dingin (2-5).
II.1.4 Makna dan Tata Cara Penamaan Fosil
Seorang sarjana Swedia, Carl Von Line (1707-1778) yang kemudian melahirkan namanya menjadi Carl Von Linnaeus membuat suatu hukum yang dikenal LAW OF PRIORITY (1958), yang pada pokoknya menyebutkan bahwa nama yang telah dipergunakan suatu individu tidak dipergunakan untuk nama individu yang lain. Nama kehidupan pada tingkat genus terdiri dari satu kata, sedangkan tingkat spesies terdiri dari dua kata, tingkatan subspesies terdiri dari tiga kata. Nama-nama kehidupan selalu diikuti oleh orang yang menemukannya. Beberapa contoh penamaan fosil adalah sebagai berikut:
Globorotalia menardii exilis Blow, 1969 atau Globorotalia menardii exilis Blow, 1969 Penamaan fosil hingga subspesies diketemukan oleh Blow, tahun 1969.
Globorotalia humerosa n.sp. TAKAYANAGI & SAITO, 1962 atau Globorotalia humerosa n.sp. TAKAYANAGI & SAITO, 1962 n.sp. artinya spesies baru.
Globorotalia rubber elongatus (D'ORBIGNY), 1862 atau Globorotalia rubber elongatus (D'ORBIGNY), 1862 Penemuan pertama dari fosil tersebut adalah D'ORBIGNY dan pada tahun 1862 fosil tersebut diubah oleh ahli lain yang menemukannya. Hal ini sebagai penghormatan pada penemu pertama kali nama fosil tersebut dicantumkan dalam kurung.
Pleumotora carinata GRAY, Van woodwardi MARTIN atau Pleumotora carinata GRAY, Van woodwardi MARTIN Yang artinya GRAY memberikan nama spesies sedangkan MARTIN memberikan nama varietas.
Globorotalia acostaensis pseudopima n.sbsp BLOW, 1969 atau Globorotalia acostaensis pseudopima n.sbsp BLOW, 1969 n.sbsp artinya subspesies baru.
Dentalium (s.str) ruteni MARTIN atau Dentalium (s.str) ruteni MARTIN Artinya fosil yang ditemukan tersebut sinonim dengan Dentalium ruteni MARTIN yang diumumkan sebelumnya.
Globigerina angulisuturalis ? atau Globigerina angulisuturalis ? Artinya tidak yakin apakah betul Globigerina angulisuturalis.
Globorotalia cf. tumida atau Globorotalia cf. Tumida Artinya tidak yakin apakah bentuk ini betul Globorotalia tumida tetapi dapat dibandingkan dengan spesies ini. ( cf = confer )
Sphaeroidinella aff dehiscens atau Sphaeroidinella aff. Dehiscens Artinya bentuk ini berdekatan (berfamili) dengan Sphaeroidinella dehiscens. ( aff = affiliation )
Ammobaculites spp. atau Ammobaculites spp.Mempunyai bermacam-macam spesies.
Recurvoides sp atau Recurvoides sp Artinya spesies (nama spesies belum dijelaskan ).
II.1.5 Pengukuran Penampang Stratigrafi
Secara umum tujuan dari pengukuran penampang stratigrafi adalah :
Mendapatkan data litologi terperinci dari urut-urutan perlapisan suatu stratigrafi.
Menentukan satuan batuan.
Menentukan satuan stratigrafinya (formasi, kelompok , anggota dan sebagainya).
Mendapatkan ketebalan yang teliti dari tiap-tiap satuan stratigrafi.
Untuk mendapatkan dan mempelajari hubungan stratigrafi antar satuan batuan dan urut-urutan sedimentasi dalam arah vertikal secara detail untuk menafsirkan lingkungan pengendapan.
Dalam kenyataannya di Indonesia untuk dapat melakukan pengukuran penampang stratigrafi tidaklah mudah dapat dilakukan sehubungan dengan kondisi singkapan batuannya. Seorang geologiawan yang baik meskipun kondisi singkapan daerah pemetaan tidak semua baik akan tetap berusaha untuk melakukan pengukuran pada singkapan-singkapan yang menerus.
II.1.5 Sistematika Paleontologi
Pada umumnya studi mikrofosil yang rinci, biasanya disertai dengan pembahasan sistematika paleontologi, antara lain meliputi taksonominya. Urutan klasifikasi makhluk hidup, sesuai dengan ranking atau kedudukannya, untuk foraminifera dan salah satu jenis hewan adalah seperti yang klasifikasikan pada tabel 1.
Tabel 1. Takstonomi mikro organisme
(Sumber: Modul Mikropaleo/UGM 2009)
Kingdom
Protista
Animalia
Filum
Protozoa
Chordata
Klas
Sarcodina
Mammalia
Ordo
Foraminifera
Carnivora
Famili
Globigerinidae
Felidae
Genus
Globigerina
Felis
Spesies
nepenthes
catus
Salah satu contoh urutan klasifikasi, dalam pembahasan Sistematika Paleontologi serta yang menemukan fosil tersebut seperti pada tabel 2.
Tabel 2. Takstonomi mikro organisme dan penemu
(Sumber: Modul Mikropaleo/UGM 2009)
Klasifikasi
Organisme
Penemu dan Tahun
Kingdom
Protista
Haeckel, 1866
Filum
Protozoa
Goldfuss, 1818
Klas
Sarcodina
Hertwig & Lesser, 1874
Ordo
Foraminiferida
Eichwald, 1830
Famili
Globigerinidae
Carpenter, Parker & Jones,1862
Genus
Globigerina
D'Orbigny, 1826
Spesies
Globigerina
venezuelana Hedberg, 1937
BAB III
LAPANGAN
III.1 Pengambilan Contoh Batuan
A. Dasar Teori
Dalam pengambilan contoh batuan, harus memperhatikan 3 hal, yaituSampling, Kualitas Sample dan Jenis Sampel.
1. Sampling
Sampling adalah pengambilan sampel batuan di lapangan untuk di analisis kandungan mikrofaunanya. Sangat diperlukan ketelitian serta perhatian dalam pengambilan sampel, mernisahkan dari material lain, lalu menyimpannya ditempat yang aman danterlindung dari kerusakan secara kimiawi dan fisika.
Pekerjaan seorang ahli mikropaleontologi diawali dengan pengamatansingkapan di lapanan, mengukur dengan rinci berbagai perubahan litologi sepanjanglintasan dan bila perlu merggunakan foto. Lalu menentukan bagaimana dan di bagianmana sampel batuan yang akan disampling.
Lokasi sampel batuan harus diplot dengan benar pada peta. Untuk sampel batuan dari sumur pemboran, harus di catat pada kedalaman berapa sampel tersebutdiambil dan usahakan pengambilan pada batuan yang segar dan dimungkinkanmengandung fosil. Pengambilan sampel minimal pada bagian Top, Middle dan Bottom dari lokasi pengambilan dan diperhatikan pula bahwasanya fosil-fosil mikro dapat dijumpaidalam batuan sedimen seperti batugamping, napal, lempung, serpih, batupasir halus,Ianau serta rijang.
Masalah yang sering muncul pada saat pengambilan sampel dari penampangsuatu urutan sedimen adalah menentukan lokasi mikrofosil, hal ini disebabkan karenakebanyakan zona dapat di wakili oleh ketebalan lapisan yang tebalnya hanya beberapainchi dan kadang kala menerus sampai ketebalan tertentu.
Beberapa prosedur sampling pada berbagai sekuen sedimentasi dapatdilakukan, seperti:
Spot Sampling, dengan interval tertentu merupakan metode terbaik untukpenampang yang tebal dengan jenis litologi yang seragam, seperti pada lapisanbatugamping. Pada metode ini dapat ditambahkan channel sample (sampel paritan) sepanjang kurang lebih 30 cm pada setiap interval 1,5 meter.
Channel sample, dapat di lakukan pada penampang lintasan dengan panjang yang pendek 3-5m, pada litologi yang seragam atau pada perselingan batuan dan dilakukan setiap perubahan unit litologi.
2. Kualitas Sampel
Pengambilan sampel batuan untuk analisis mikropaleontologi harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
Bersih, sebelurn mengambil sampel harus di bersihkan dari semua kepingan pengotor
Representatif dan Komplit, harus dipisahkan dengan jelas antara sampel batuan yang mewakili suatu sisipan atau suatu lapisan batuan. Ambil sekitar300-500 gram (hand specimen) sampel batuan yang sudab dibersihkan.
Pasti, hasil analisis sampel pasti dapat bermanfaat apabila sampel terkemas dengan baik dalam suatu kemasan kedap airyang ditandai dengan tulisan tahan air, yang mencakup segala hal keterangantentang sampel tersebut seperti nomer sampel, lokasi, jenis batuan dan waktupengambilan.
Ketidakhati-hatian kita dalam memperlakukan sampel batuan akanberakibatfatal dalam paleontologi maupun stratigrafi apabila tercampur baur, terkontaminasiataupun hilang.
3. Jenis Sample
Sampel permukaan, sampel yang diambil langsung dari pengamatansingkapan di lapangan. Lokasi & posisi stratigratinya dapat diplot pada peta.
Sampel bawah permukaan, sampel yang diambil dari suatu pemboran.
Dari cara pengambilannya, sampel bawah permukaan dapat dipisahkan menjadi:
Inti bore (core), selurula bagian lapisan pada kedalaman tertentu diambilsecara utuh.
Sampel hancuran (ditch-cutting), lapisan pada kedalaman tertentu dihancurkandan dipompa keluar, kemudian ditampung.
Sampel sisi bor (side-well core), diambil dari sisi-sisi dinding bor dari lapisanpadakedalamantertentu.
Tabel 3. Jumlah rata-rata mikrofosil pada batuan(Bignot, 1982)
(Modul Panduan Praktikum Mikropaleontologi)
Mikrofosil
Batuan
Diatomae
Calplonella
Chitinozoair
Radiolaria
Coccolith
Ostracoda
Conodonta
Foraminifera
Dinokista
Spora&Pollen
Evaporit
Dolomit
Batupasir
Batubara
Silt, Chert dan sedimen silika
Batugamping
Napal & Lempung
Batuan metamorf
: Melimpah : Jarang : Kadang-kadang
B. Geologi Regional Daerah Penelitian
Geomorfologi Regional
Menurut penelitian Van Bemmelen (1948), secara fisiografis Jawa Tengah dibagi menjadi 3 zona, yaitu :
Zona Jawa Tengah bagian utara yang merupakan Zona Lipatan.
Zona Jawa Tengah bagian tengah yang merupakan Zona Depresi.
Zona Jawa Tengah bagian selatan yang merupakan Zona Plato.
Berdasarkan letaknya, Kulon Progo merupakan bagian dari zona Jawa Tengah bagian selatan maka daerah Kulon Progo merupakan salah satu plato yang sangat luas yang terkenal dengan nama Plato Jonggrangan (Van Bemellen, 1948). Daerah ini merupakan daerah uplift yang memebentuk dome yang luas. Dome tersebut relatif berbentuk persegi panjang dengan panjang sekitar 32 km yang melintang dari arah utara - selatan, sedangkan lebarnya sekitar 20 km pada arah barat - timur. Oleh Van Bemellen Dome tersebut diberi nama Oblong Dome.
Berdasarkan relief dan genesanya, wilayah kabupaten Kulon Progo dibagi menjadi beberapa satuan geomorfologi antara lain, yaitu:
Satuan Pegunungan Kulon Progo, satuan pegunungan Kulon Progo mempunyai ketinggian berkisar antara 100–1200 meter diatas permukaan laut dengan kemiringan lereng sebesar 150–160. Satuan Pegunungan Kulon Progo penyebarannya memanjang dari utara ke selatan dan menempati bagian barat wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, meliputi kecamatan Kokap, Girimulyo dan Samigaluh. Daerah pegunungan Kulon Progo ini sebagian besar digunakan sebagai kebun campuran, permukiman, sawah dan tegalan.
Satuan Perbukitan Sentolo, satuan perbukitan Sentolo ini mempunyai penyebaran yang sempit dan terpotong oleh kali Progo yang memisahkan wilayah Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Bantul. Ketinggiannya berkisar antara 50–150 meter diatas permukaan air laut dengan besar kelerengan rata–rata 150. Di wilayah ini, satuan perbukitan Sentolo meliputi daerah Kecamatan Pengasih dan Sentolo.
Satuan Teras Progo, satuan teras Progo terletak disebelah utara satuan perbukitan Sentolo dan disebelah timur satuan Pegunungan Kulon Progo, meliputi kecamatan Nanggulan dan Kali Bawang, terutama di wilayah tepi Kulon Progo
Satuan Dataran Alluvial, satuan dataran alluvial penyebarannya memanjang dari barat ke timur, daerahnya meliputi kecamatan Temon, Wates, Panjatan, Galur dan sebagian Lendah. Daerahnya relatif landai sehingga sebagian besar diperuntukkan untuk pemukiman dan lahan persawahan.
Satuan Dataran Pantai
a. Subsatuan Gumuk Pasir, subsatuan gumuk pasir ini memiliki penyebaran di sepanjang pantai selatan Yogyakarta, yaitu pantai Glagah dan Congot. Sungai yang bermuara di pantai selatan ini adalah kali Serang dan kali Progo yang membawa material berukuran besar dari hulu. Akibat dari proses pengangkutan dan pengikisan, batuan tersebut menjadi batuan berukuran pasir. Akibat dari gelombang laut dan aktivitas angin, material tersebut diendapkan di dataran pantai dan membentuk gumuk–gumuk pasir.
b. Subsatuan Dataran Alluvial Pantai, subsatuan dataran alluvial pantai terletak di sebelah utara subsatuan gumuk pasir yang tersusun oleh material berukuran pasir halus yang berasal dari subsatuan gumuk pasir oleh kegiatan angin. Pada subsatuan ini tidak dijumpai gumuk-gumuk pasir sehingga digunakan untuk persawahan dan pemukiman penduduk.
Stratigrafi Regional
Menurut Sujanto dan Ruskamil (1975) daerah Kulon Progo merupakan tinggian yang dibatasi oleh tinggian dan rendahan Kebumen di bagian barat dan Yogyakarta di bagian timur, yang didasarkan pada pembagian tektofisiografi wilayah Jawa Tengah bagian selatan, yang mencirikan tinggian Kulon Progo yaitu banyaknya gunung api purba yang timbul dan tumbuh di atas batuan paleogen, dan ditutupi oleh batuan karbonat dan napal yang berumur neogen.
Dalam stratigrafi regional mengenai daerah fieldtrip, dibahas umur batuan berdasarkan batuan penyusunnya, untuk itu perlu diketahui sistem umur batuan penyusun tersebut. Sistem tersebut antara lain:
1. Sistem eosen
Batuan yang menyusun sistem ini adalah batu pasir, lempung, napal, napal pasiran, batu gamping, serta banyak kandungan fosil foraminifera maupun moluska. Sistem eosen ini disebut "Nanggulan group". Tipe dari sistem ini misalnya di desa Kalisongo, Nanggulan Kulon Progo, yang secara keseluruhannya tebalnya mencapai 300 m. Tipe ini dibagi lagi menjadi empat yaitu "Yogyakarta beds", "Discoclyina", "Axiena Beds" dan Napal Globirena, yang masing- masing sistem ini tersusun oleh batu pasir, napal, napal pasiran, lignit dan lempung. Di sebelah timur "Nanggulan group" ini berkembang facies gamping yang kemudian dikenal sebagai gamping eosen yang mengandung fosil foraminifera, colenterata, dan moluska.
2. Sistem oligosen – miosen
Sistem oligosen–miosen terjadi ketika kegiatan vulkanisme yang memuncak dari Gunung Menoreh, Gunung Gadjah, dan Gunung Ijo yang berupa letusan dan dikeluarkannya material–material piroklastik dari kecil sampai balok yang berdiameter lebih dari 2 meter. Kemudian material ini disebut formasi andesit tua, karena material vulkanik tersebut bersifat andesitik, dan terbentuk sebagai lava andesit dan tuff andesit. Sedang pada sistem eosen, diendapkan pada lingkungan laut dekat pantai yang kemudian mengalami pengangkatan dan perlipatan yang dilanjutkan dengan penyusutan air laut. Bila dari hal tersebut, maka sistem oligosen–miosen dengan formasi andesit tuanya tidak selaras dengan sistem eosen yang ada dibawahnya. Diperkirakan ketebalan istem ini 600 m. Formasi andesit tua ini membentuk daerah perbukitan dengan puncak–puncak miring.
3. Sistem miosen
Setelah pengendapan formasi andesit tua daerah ini mengalami penggenangan air laut, sehingga formasi ini ditutupi oleh formasi yang lebih muda secara tidak selaras. Fase pengendapan ini berkembang dengan batuan penyusunnya terdiri dari batu gamping reef, napal, tuff breksi, batu pasir, batu gamping globirena dan lignit yang kemudian disebut formasi jonggrangan, selain itu juga berkembang formasi sentolo yang formasinya terdiri dari batu gamping, napal dan batu gamping konglomeratan. Formasi Sentolo sering dijumpai kedudukannya diatas formasi Jonggrangan. Formasi Jonggrangan dan formasi Sentolo sama–sama banyak mengandung fosil foraminifera yang beumur burdigalian–miosen. Formasi–formasi tersebut memiliki persebaran yang luas dan pada umumnya membentuk daerah perbukitan dengan puncak yang relatif bulat. Diakhir kala pleistosen daerah ini mengalami pengangkatan dan pada kuarter terbentuk endapan fluviatil dan vulkanik dimana pembentukan tersebut berlangsung terus–menerus hingga sekarang yang letaknya tidak selaras diatas formasi yang terbentuk sebelumnya.
Berdasarkan sistem umur yang ditentukan oleh penyusun batuan stratigrafi regional menurut Wartono Rahardjo dkk(1977), Wirahadikusumah (1989), dan Mac Donald dan partners (1984), daerah penelitian dapat dibagi menjadi 4 formasi, yaitu :
a. Formasi Nanggulan mempunyai penyusun yang terdiri dari batu pasir, sisipan lignit, napal pasiran dan batu lempungan dengan konkresi limonit, batu gamping dan tuff, kaya akan fosil foraminifera dan moluska dengan ketebalan 300 m. berdasarkan penelitian tentang umur batuannya didapat umur formasi nanggulan sekitar eosen tengah sampai oligosen atas. Formasi ini tersingkap di daerah Kali Puru dan Kali Sogo di bagian timur Kali Progo. Formasin Nanggulan dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Axinea Beds, formasi paling bawah dengan ketebalan lapisan sekitar 40 m, terdiri dari abut pasir, dan batu lempung dengan sisipan lignit yang semuanya berfasies litoral, axiena bed ini memiliki banyak fosil pelecypoda.
2. Yogyakarta beds, formasi yang berada di atas axiena beds ini diendapkan secara selaras denagn ketebalan sekitar 60 m. terdiri dari batu lempung yang mengkonkresi nodule, napal, batu lempung, dan batu pasir. Yogyakarta beds mengandung banyak fosil poraminifera besar dan gastropoda.
3. Discocyclina beds, formasi paling atas ini juga diendapkan secara selaras diatas Yogyakarta beds dengan ketebalan sekitar 200 m. Terdiri dari batu napal yang terinteklasi dengan batu gamping dan tuff vulakanik, kemudian terinterklasi lagi dengan batuan arkose. Fosil yang terdapat pada discocyclina beds adalah discocyclina.
b. Formasi Andesit Tua mempunyai batuan penyusun berupa breksi andesit, lapili tuff, tuff, breksi lapisi , Aglomerat, dan aliran lava serta batu pasir vulkanik yang tersingkap di daerah kulon progo. Formasi ini diendapkan secara tidak selaras dengan formasi nanggulan dengan ketebalan 660 m. Diperkirakan formasi ini formasi ini berumur oligosen–miosen.
c. Formasi Jonggrangan mempunyai batuan penyusun yang berupa tufa, napal, breksi, batu lempung dengan sisipan lignit didalamnya, sedangkan pada bagian atasnya terdiri dari batu gamping kelabu bioherm diselingi dengan napal dan batu gamping berlapis. Ketebalan formasi ini 2540 meter. Letak formasi ini tidak selaras dengan formasi andesit tua. Formasi jonggrangan ini diperkirakan berumur miosen. Fosil yang terdapat pada formasi ini ialah poraminifera, pelecypoda dan gastropoda.
d. Formasi Sentolo mempunyai batuan penyusun berupa batu pasir napalan dan batu gamping, dan pada bagian bawahnya terdiri dari napal tuffan. Ketebalan formasi ini sekitar 950 m. Letak formasi initak selaras dengan formasi jonggrangan. Formasi Sentolo ini berumur sekitar miosen bawah sampai pleistosen.
Struktur Geologi Regional
Struktur ini dapat dikenali dengan adanya kenampakan pegunungan yang dikelilingi oleh dataran alluvial. Secara umum struktur geologi yang bekerja adalah sebagai berikut :
1. Struktur Dome
Menurut Van Bemellen (1948), pegunungan Kulon Progo secara keseluruhan merupakan kubah lonjong yang mempunyai diameter 32 km mengarah NE–SW dan 20 km mengarah SE–NW. Puncak kubah lonjong ini berupa satu dataran yang luas disebut jonggrangan plateu. Kubah ini memanjang dari utara ke selatan dan terpotong dibagian utaranya oleh sesar yang berarah tenggara–barat laut dan tertimbun oleh dataran magelang, sehingga sering disebut oblong dome. Pemotongan ini menandai karakter tektonik dari zona selatan jawa menuju zona tengah jawa. Bentuk kubah tersebut adalah akibat selama pleistosen, di daerah mempunyai puncak yang relatif datar dan sayap–sayap yang miring dan terjal. Dalam kompleks pegunungan Kulon Progo khususnya pada lower burdigalian terjadi penurunan cekungan sampai di bawah permukaan laut yang menyebabkan terbentuknya sinklin pada kaki selatan pegunungan Menoreh dan sesar dengan arah timur – barat yang memisahkan gunung Menoreh denagn vulkanik gunung Gadjah. Pada akhir miosen daerah Kulon Progo merupakan dataran rendah dan pada puncak Menoreh membentang pegunungan sisa dengan ketinggian sekitar 400 m. secara keseluruhan kompleks pegunungan Kulon Progo terkubahkan selama pleistosen yang menyebabkan terbentuknya sesar radial yang memotong breksi gunung ijo dan Formasi Sentolo, serta sesar yang memotong batu gamping Jonggrangan. Pada bagian tenggara kubah terbentuk graben rendah.
2. Unconformity
Di daerah Kulon Progo terdapat kenampakan ketidakselarasan (disconformity) antar formasi penyusun Kulon Progo. Kenampakan telah dijelaskan dalam stratigrafi regional berupa formasi andesit tua yang diendapkan tidak selaras di atas formasi Nanggulan, formasi Jonggrangan diendapkan secara tidak selaras diatas formasi Andesit Tua, dan formasi Sentolo yang diendapkan secara tidak selaras diatas formasi Jonggrangan.
Waktu, Lokasi, Dan Kesampaian Daerah
Lokasi Daerah Pengamatan, yaitu di Daerah Kulung Progo meliputi daerah G.Perem, Sentolo. Termasuk Kab. Kulung Progo, kota Yogyakarta kira-kira sebelah utara kota Yogyakarta. Kesampaian daerah kira-kira 35 km dari kota Yogyakarta.
Waktu pelaksaan Fild Trip pada hari sabtu, 27 september 2014 dari jam 07:30 – 13:30 WIB.
C. Waktu, Lokasi, Dan Kesampaian Daerah
Pelaksanaan praktikum mikropalenteologi ini dilakukan di laboratorium mikropaleontologi, IST AKPRIND Yogyakarta setiap hari Selasa, Pukul 15:00 WIB.
Sedangkan untuk penganbilan sampel, di laksanakan pada hari Sabtu, 27 September 2014, di Kulon Progo. Lokasi bisa dicapai dengan waktu 60 menit menggunakan sepeda motor.
III.2 Lampiran
A. Deskripsi Lapangan
Hari/Tanggal : Sabtu, 28 September 2014
Pukul : 08:36 WIB
Lokasi : Kali Bawang, Kabupaten Kulon Progo
Koordinat : LS 07o 41'55,4" BT 110o 15'12"
Cuaca : Cerah
Vegetasi : Jarang (pohon mahoni, pohon kelapa)
Morfologi : Pebukitan Denudasional
Litologi : Batuan Sedimen (batugamping)
Orientasi : Bottom
Strike dan Dip Singkapan : N 295o E/67o
Lokasi, waktu, dan kesampaian daerah :
Praktikum lapangan untuk pengambilan sempel di laksanakan pada hari Sabtu, 28 September 2014, di Kali bawang, Kulon progo - yogyakarta. Berangkat dari Laboratorium IST AKPRIND Yogyakarta pada pukul 07:00 WIB dan tiba di LP 1 pada pukul 08.45 WIB, lokasi bisa di capai dengan waktu kurang lebih 60 menit menggunakan sepeda motor. Singkapan dapat dilihat dari foto yang di tunjukkan pada gambar 1 yang tampak stratigrafinya.
Sketsa singkapan :
Gambar 1. Foto Singkapan di lapangan (bottom)
(Kamera foto singkapan menghadap ke utara)
Sketsa Singkapan (bottom)
Gambar 2. Sketsa singkapan
(Sumber: Catatan penyusun)
Sketsa litologi dan singkapan dapat dilihat dari hasil catatan lapangan yang di tunjukkan oleh gambar 2.
Deskripsi Batuan
Jenis Batuan : Batuan Sedimen
Warna : segar : putih keabu-abuan lapuk : kuning kecoklatan
Struktur : masif
Tekstur : Ukuran Butir : pasir sedang - halus
Sortasi : baik
Bentuk Butir : membundar
Kemas : tertutup
Komposisi : Fragmen : -
Matriks : pasir sedang
Semen : karbonat
Petrogenesa : batuan ini tertransport jauh, tersedimentasi dilaut. Kemudian tercampur dengan unsur karbonatan sehingga terbentuk mineral kalsit
Nama batuan : Batupasir karbonatan
Deskripsi Batuan
Jenis Batuan : Batuan Sedimen
Warna : segar : putih keabu-abuan lapuk : kecoklatan
Struktur : masif
Tekstur : Ukuran Butir : pasir halus
Sortasi : baik
Bentuk Butir : membundar
Kemas : tertutup
Komposisi : Fragmen : -
Matriks : pasir halus
Semen : karbonat
Petrogenesa : batuan ini sudah tertransport jauh, tersedimentasi dilaut. Kemudian tercampur dengan unsur karbonatan
Nama batuan : Batupasir karbonatan.
B. Kolom Strtigrafi Terukur
Deskripsi litologi dan kolom stratigrafi terukur, (Terlampir)
BAB IV
ANALISIS
Fosil berukuran mikro dalam penyajiannya ada tahap dan prosedurnya. Dari fosil mikro, penyajian ini harus ada alat bantu untuk menganalisisnya. Penyusun akan menerangkan secara detail tentang analisis dari penyajian fosil mikro dari tahap ke tahap.
IV. 1. Penyajian atau preparasi fosil
Fosil mikro dalam batuan sering terdapat bersamaan dengan bahan lain yang telah direkatkan oleh semen, oleh karena itu harus dipisahkan terlebih dahulu dari batuan penyusunnya sebelum dilakukan penelitian.
Karena dalam penelitian diperlukan fosil yang benar-benar bersih dari pengotor dan lepas dari ikatan semennya, maka batuan sedimen yang belum begitu kompak perlu diurai menjadi butir-butir yang lepas, sedangkan untuk batuan yang telah kompak dimana penguraian butirnya tidak memungkinkan, perlu dilakukan secara khusus, misalnya dengan sayatan tipis, kemudian diteliti dengan mikroskop.
IV.1.1. Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam pengambilan sampel, antara lain :
Palu geologi
Kompas geologi
Plastik/tempat sampel
Buku catatan lapangan
Alat tulis
HCl 0,1 N
Peta lokasi pengambilan sampel
Sedangkan peralatan lain guna menyajikan fosil, antara lain:
Wadah sampel
Larutan H2O2
Mesin pengayak
Ayakan menurut skala Mesh
Tempat sampel yang telah dibersihkan
Alat pengering / oven
Dan untuk memisahkan fosil, peralatan yang diperlukan antara lain:
Cawan tempat contoh batuan
Jarum
Lem unuk merekatkan fosil
Tempat fosil
Mikroskop & alat penerang
IV.1.2.Langkah kerja
Proses Penguraian Batuan
Proses pneguraian batuan sedimen dapat dikerjakan dengan 2 cara, yaitu ; proses penguraian secara fisik dan proses penguraian secara kimia.
Proses penguraian secara fisik
Cara ini digunakan terutama untuk batuan sedimen yang belum begitu kompak dan dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu :
Batuan sedimen ditumbuk dengan palu karet sampai menjadi pecahan-pecahan dengan diameter 3-6 mm
Pecahan-pecahan batuan direndam dalam air
Kemudian direas-remas dalam air
Diaduk dengan mesin aduk atau alat pengaduk yang bersih
Dipanaskan selama 5-10 menit
Didinginkan
Umumnya batuan sedimen yang belum begitu kompak, apabila mengalami proses-proses tersebut akan terurai.
Proses penguraian secara kimia
Bahan-bahan larutan kimia yang biasa digunakan dalam penguraian batuan sedimen antara lain : asam asetat, asam nitrat dan hydrogen piroksida. Penggunaan larutan kimia sangat tergantung dari macam butir pembentuk batuan dan jenis semen. Oleh sebab itu, sebelum dilakukan penguraian batuan tersebut perlu diteliti jenis butirannya, masa dasar dan semen.
Cara yang dilakukan :
Batulempung dan Lanau : penguraian batuan dilakukan dengan menggunakan larutan Hydrogen Pyroksida (H2O2). Batuan sedimen yang kering ditumbuk menjadi bagian-bagian kecil hingga 3-6 mm. Tuangkan larutan kedalam gelas piala yang sudah terdapat batuan di dalamnya. Larutan akan memasuki pori-pori batuan dan berasosiasi dengan larutan H2O2 dan O2 serta dengan cepat mendesak butir-butir batuan sedimen. Dalam 10-15 menit, butir-butir batuan akan terurai, jika reaksi berjalan lambat dapat ditambahkan dan dipanaskan dengan beberapa tetes KOH. Bila butir-butir telah terurau, cuci dengan aquades hingga bersih dari semen.
Batupasir : penguaraian tergantung dari semen yang mengikatnya. Mula-mula batuan ditumbuk sampai menjadi pecahan-pecahan berdiameter 5-10 mm. Bila batupasir itu mempunyai masa dasar lempung dengan kadar rendah, maka butiran dapat dilepas secara fisik dengan memakai palu karet atau palu kayu. Kemudian panaskan dengan 0,01 N Natriumpirofosfat/0,01 N Amoniak, tetapi kalau kadar lempung tinggi dapat diurai dengan Hydrogen Piroksida. Jika batupasir mempunyai semen silika, maka penguraian batuan sangat sulit, pelarutan semen dapat mengakibatkan fosil-fosil iktu rusak. Dalam hal ini, penelitian dilakukan dengan menggunakan sayatan tipis. Batupasir dengan semen oksida besi dapat diuraikan dengan mengocok selama + 30 menit atau dididihkan selama 10 menit dalam larutan asam oksalat dalam 2,5 liter air.
Proses Pengayakan
Dasar proses pengayakan adalah bahwa fosil-fosil dan butiran lain hasil penguraian terbagi menjadi berbagai kelompok berdasarkan ukuran butirnya masing-masing yang ditentukan oleh besar lubang. Namun, perlu diperhatikan bahwa tidak semua butiran mempunyai bentuk bulat, tetapi ada juga yang panjang yang hanya bisa lolos dalam kedudukan vertikal. Oleh karena itu, pengayakan harus digiyang sehingga dengan demikian berarti bahwa yang dimaksudkan dengan besar butir adalah diameter yang kecil / terkecil.
Ukuran ayakan dinyatakan dalam Mesh yang berarti jumlah jaringan per-inchi. Standar dan merek dari sistem mesh ini bermacam-macam, antara lain : ASTM (American Standard for Testing Material), dimana juga tertera besarnya lubang dalam milimeter. Dari beberapa unsur mesh ini harus dipilih satu unit ayakan dengan selang besar lubang tertentu dan lebih kecil selang lubangnya lebih teliti analisisnya.
Pengayakan dapat dilakukan dengan cara basah dan cara kering :
a. Cara kering
Keringkan seluruh contoh batuan yang telah terurai
Masukkan kedalam ayakan paling atas dari unit ayakan yang telah tersusun baik sesuai denagn keperluan
Mesin kocok dijalankan selama + 10 menit
Contoh batuan yang tertinggal di tiap-tiap ayakan ditimbang dan dimasukkan dalam botol/plastik contoh batuan
b. Cara basah
Pengayakan dilakukan dalam air sehingga contoh batuan yang diperoleh masih harus dikeringkan terlebih dahulu.
Skala ayakan yang digunakan dalam analisis fosil berdasarkan ASTM, yaitu seperti pada tabel 4 seperti berikut :
Tabel 4. Skala Ayakan menurut ASTM
MESH
Besar Lubang Ayakan (mm)
5
6
7
8
10
12
14
16
18
20
25
30
35
40
45
50
60
70
80
100
120
140
170
200
230
270
325
4,00
3,36
2,83
2,38
2,00
1,68
1,41
1,19
1,00
0,84
0,71
0,59
0,50
0,42
0,35
0,297
0,250
0,210
0,177
0,149
0,125
0,105
0,088
0,074
0,062
0,053
0,044
Proses Pemisahan Fosil
Setelah contoh batuan selesai diayak, maka pekerjaan selanjutnya adalah pemisahan fosil dari butiran lainnya.Pemisahan ini menggunakan alat :
Cawan untuk tempat contoh batuan
Jarum
Cawan tempat air
Lem untuk merekatkan fosil
Kertas untuk memberi nama fosil
Tempat fosil
Mikroskop
Fosil-fosil dipisahkan dari butiran lainnya dengan menggunakan jarum. Untuk menjaga agar fosil yang telah dipisahkan tidak hilang, maka fosil perlu disimpan di tempat yang aman. Setelah selesai pemisahan fosil, penelitian terhadap masing-masing fosil dilakukan.
IV. 2. Determinasi Fosil
Beberapa cara mendeterminasi foraminifera untuk memberikan nama genusnya, antara lain dengan :
Membandingkan dengan koleksi fosil yang ada
Menyamakan foram, yang belum dikenal dengan gambar-gambar yang ada di leteratur/publikasi
Lengsung mendeterminasi fosil foram yang belum dikenal tersebut dengan mempelajari ciri-ciri morfologinya
Kombinasi 1,2 dan 3
Ciri-ciri morfologi :
Komposisi dinding test (bahan pembentuk test)
Bentuk test, bentuk kamar, susunan kamar dan jumlah kamar
Bentuk dan letak mulut, aperture utama dan aperture tambahan serta jumlah aperture
Bentuk dan posisi suture
Bentuk dan letak ornamentasi/hiasan
IV.2.1.Dasar Teori
1. Foraminifera
Foraminifera merupakan binatang yang terdiri dari satu sel yang sangat sederhana, sel tersebut terdiri dari protoplasma dan inti (bias lebih dari satu). Ciri khas foraminifera adalah adanya pseudopodia (kaki semu) yang berfungsi sebagai alat penggerak dan menangkap mangsanya. Foraminifera sudah memiliki cangkang dimana cangkang tersebut dibentuk oleh protoplasma ataupun diambil dari bahan-bahan disekelilingnya. Pada umumnya cangkang tersebut terbuat dari zat organic ataupun anorganik dan memiliki pori-pori dengan satu atau lebih lubang yang disebut aperture.
Tempat hidup foraminifera dapat di laut, danau, rawa-rawa baik yang berair ataupun tidak, tawar maupun asin, dan perkembangbiakannya dengan cara sexual dan asexual. Perkembangan foraminifera dapat menghasilkan cangkang yang berbeda, dimana satu individu dapat menghasilkan dua cangkang yang berlainan bentuknya (dimorphisme), bahkan ada juga yang trimorphisme. Perkembangan sexual akan menghasilkan cangkang mikrosfir, sedangkan secara asexual akan menghasilkan cangkang megalosfir.
Pada batuan sedimen, golongan ini lebih banyak dijumpai sehingga lebih berharga dari ordo-ordo lain pada kelas Sarcodina. Golongan ini telah muncul sejak zaman Pra-Kambrium (+ 550 tahun yang lalu) sampai sekarang dengan jumlah spesies + 40.000 jenis spesies. Selain dari itu, Foraminifera dapat juga dipakai sebagai korelasi batuan untuk penentuan lingkungan pengendapan atau juga sebagai fosil petunjuk.Siklus hidup foraminifera dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 3. Siklus hidup foraminifera
(Sumber: Geoldstein 1999)
2. Sejarah perkembangan kehidupan foraminifera
Perkembangan foraminifera secara garis besar dapat sebagai berikut :
Early Cambrian (~525 million years ago)
Foraminifera pertama kali muncul dalam cetakan batuan dari foram benthonic yang mempunyai komposisi aglutin dan mempunyai kamar tunggal dimana juga terdapat cetakan berupa dwelling structure (struktur menghuni) yang merupakan cetakan dari kehidupan foram benthonic tersebut.
Late Cambrian (>500 million years ago)
Foram yang mempunyai Multi-chambered ( lebih dari 3 kamar) berkembang.
Devonian (>360 million years ago)
Microgranular dan porcellaneous (biomineralized) calcareous tests pertama kali berkembang.
Middle Pennsylvanian (~308 million years ago)
Foraminifera berkembang dengan komposisi hyaline calcareous dan ditambah pula spesies foram besar muncul.
End Permian (~250 million years ago)
Kepunahan masal dari sebagian besar foraminifera termasuk foram besar berupa Fusilina. Kepunahan ini dipercaya sebagai yang terbesar dalam sejarah bumi dengan kepunahan 90-95 % seluruh spesies laut.
Early Jurassic (~183 million years ago)
Foraminifera pertama kali muncul hingga sekarang, begitu pula foram benthonik.
Middle Cretaceous (~112 million years ago)
Distribusi foram planktonik memulai perkembangan secara cepat.
End Cretaceous (~65 million years ago)
Berkurangnya keanekaragaman planktonik dan kepunahan dari sebagian besar spesies foram planktonik. Foram yang berukuran lebih kecil umumnya dapat bertahan dari kepunahan.
End Paleocene (~55 million years ago)
Kepunahan dari hampir separuh (30-50%) foram benthonic (laut dalam).
Late Eocene to Early Oligocene (~30-39 million years ago)
Kepunahan foram yang berukuran lebih kecil sangat banyak dan spesies foram benthonic dapat melalui periode ini.
Middle Miocene (~12-19 million years ago)
Kelimpahan foram mengubah dokumentasi yang ada dan juga berkembang varietas foram benthonic modern.
Today
Lebih dari 10.000 spesies foram yang hidup. Sebagian besar merupakan foram benthonic, hanya 40-50 spesies yang merupakan foram planktonik.
3. Ekologi Foraminifera
Ekologi mempelajari hubungan kehidupan foraminifera dengan lingkungan sekitarnya. Foraminifera dibedakan menjadi dua berdasarkan cara hidupnya, yaitu foram planktonik dan foram benthonik. Foram plankton hidup di sekitar permukaan air laut dan mengambang, sedangkan foram benthonik hidup di dasar laut. Foram planktonik hidup di kedalaman 100-300 m, umumnya lingkungan air laut dingin, hidupnya agak kebawah permukaan laut, sedangkan pada daerah tropis hidup sekitar 30 meter di bawah permukaan laut.
Seringkali pada malam hari, foraminifera naik ke permukaan dan pada siang hari turun, sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa lingkungan ternyata mempengaruhi kehidupan foraminifera.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan foraminifera :
a. Suhu
Suhu di samudra tidak sama, di dekat kutub suhunya rendah, kadang-kadang mencapaii nol derajat celcius, sedangkan di ekuator suhunya lebih tinggi. Daerah dingin dicirikan dengan bentuk uniform, besarnya juga hampir sama, golongan aglutin ukurannya besar-besar, -2o - +27o C untuk lautan dan +35oC untuk lautan tertutup.
Menurut CUSHMAN, foram dibedakan menjadi 4 kelompok berdasarkan daerah hidupnya, yaitu :
Foram afrika utara
Foram indo-pasifik
Foram mediteran
Foram india barat
Suhu air laut berubah ke jurusan lateral dan vertikal. Karena di daerah kutub dingin, sedangkan di katulistiwa panas, maka terjadi sirkulasi air laut. Tetapi karena dipisahkan oleh pulau-pulau maka ini mengakibatkan terjadinya foraminifera aendemik. Perubahan temperatur air laut juga mempengaruhi perkembangbiakan. Kedalaman juga mempengaruhi perkembangan foraminifera. Ada foraminifera yang hidup pada kedalaman tertentu, seperti Gyroidina dan Anomalia (hanya hidup pada laut yang cukup dalam).
b. Kadar Garam (Salinitas)
Kadar garam juga dapat mempengaruhi kehidupan foram. Umumnya kadar garam air laut yang terbuka, yaitu antara 3% - 3,3%, tetapi kadar garam ini dapat berubah tergantung di daerahnya. Sebagai contoh adalah Laut Tengah yang merupakan laut tertutup dan memiliki iklim yang kering dengan kadar garam dapat naik menjadi 4,15 – 4,4%, bahkan di Laut Mati kadar garamnya demikian tingginya, sehingga terjadi pengendapan garam di tepi-tepinya, sebaliknya pada muara-muara sungai umumnya terjadi penurunan kadar garam. Adanya perubahan kadar garam ini dapat menyebabkan kumpulan foraminifera tertentu yang hidup sesuai dengan daerah yang cocok untuk hidupnya.
c. Cahaya Matahari (Kedalaman)
Daya tembus cahaya matahri terbatas pada kedalaman sekitar 300 meter dibawah permukaan laut. Cahaya matahari sangat dibutuhkan oleh tumbuhan untuk kelangsungan hidupnya dan cahaya ini akan bereaksi dengan hijau daun dari tumbuhan. Foraminifera pada umumnya bersama-sama dengan ganggang, maka secara tidak langsung sinar matahari mempengaruhi kehidupan foraminifera. Karena itu di laut dalam, foraminifera benthos sedikit jumlahnya. Foraminifera benthos banyak dijumpai pada zona neritik, karena daerah ini sedimentasi cukup kuat. Foraminifera jarang dijumpai pada daerah litoral karena pengaruh gelombang yang besar.
d. Kumpulan kehidupan
Foraminifera hidup pada daerah tertentu sesuai dengan syarat kondisi hidupnya. Bila kondisi baik, foram akan berkembangbiak dengan cepat sehingga akan terdapat kumpulan kehidupan yang sangat banyak pada daerah tersebut. Akibatnya akan muncul kekurangan makanan dan menimbulkan persaingan hidup, sehingga yang lemah akan mati atau pindah mencari kumpulan kehidupan yang lain. Macam-macam perpindahan dan pencarian lingkungan baru akan saling menguntungkan atau merebut makanan dari lingkungan yang sudah ada. Sebagai contoh adalah Genus Discorbis yang menempel pada binatang lain dan dipakai sebagai indikator laut dangkal.
Ekologi diatas dapat diterapkan pada zaman lampau, sehingga dengan melihat fosil-fosil foram dapat ditentukan keadaan pada zaman tersebut. Sebagai contoh, umumnya foraminifera plankton hidup pada laut terbuka. Oleh karena hidupnya pada lautan terbuka, maka foraminifera plankton akan semakin banyak dijumpai ditengah lautan, sebaliknya semakin ke pantai semakin sedikit. Pada foraminifera benthos, jumlahnya semakin ketengah lautan semakin sedikit dan makin kearah pantai semakin banyak.
Untuk melihat tafsiran ekologi, orang harus berhati-hati karena mungkin ada peristiwa dimana golongan plankton banyak dan golongan benthos sedikit disebabkan bukan karena adanya suatu laut terbuka, melainkan adanya lingkungan air setengah asin. Hal ini dapat terjadi karena golongan plankton hidup dengan baik sedang benthos sukar hidup, contohnya kehidupan di Laut Hitam. Selain itu juga dapat terjadi karena longsor di laut, sehingga untuk penentuan ekologi juga penting diketahui kondisi ekologinya disamping foraminifera sebagai petunjuk lingkungan.
e. Kekeruhan
Secara tidak langsung, proses turbidit akan berpengaruh terhadap mikrofauna. Penyebab terjadinya turbidit : suspensi sedimen, organic pelonggokan plankton/organic yang tebal, longsoran suatu massa sedimen. Kekeruhan air yang timbul karena arus turbidite akan berpengaruh terhadap kehidupan mikrofauna/mengurangi masuknya sinar matahari kedalam air, biasanya terdapat pada muara sungai yang besar. Masuknya air dalam jumlah besar akan mengurangi salinitas.
f. Pengaruh Gelombang dan Arus
Arus turbulen pada dasar lautan yang dangkal akan menimbulkan kekeruhan. Disamping arus turbulen juga mengalami pergerakan atau perpindahan disebut sebagai arus air laut.
Lingkungan Terumbu
Pengertian terumbu adalah suatu gugusan yang terdiri dari batugamping dan disusun oleh kumpulan organisme. Organisme yang utama adalah koral dan algae serta sedikit foraminifera besar disamping organisme lainnya dalam jumlah sedikit, misalnya Bryozoa, Moluska dan sebagainya.
Macam-macam terumbu, antara lain :
Terumbu penghalang (barrier reef) : adalah terumbu yang tumbuh di daerah lepas pantai, terpisahkan dari daratan oleh adanya suatu lagoon
Atol : adalah suatu terumbu yang bentuknya melingkar mengelilingi suatu lagoon.
Terumbu meja (table reef) : adalah terumbu yang terisolasi dan tidak mempunyai lagoon, puncaknya datar sehingga bentuknya menyerupai meja.
Shoal reef : adalah terumbu yang pertumbuhannya tidak teratur di daerah yang dangkal dan tertimbun oleh hancuran gamping, disebut juga patch reef.
Bank reef : adalah terumbu yang besar berbentuk tidak teratur, tumbuh diatas dasar yang tenggelam oleh gejala tektonik dan dikelilingi oleh laut dalam.
Disamping lingkungan terumbu diatas, dibawah ini merupakan petunjuk umum untuk endapan laut dalam dan laut dangkal, yaitu :
Petunjuk Laut Dalam :
Disamping foraminifera plankton, kadang-kadang Radiolaria.
Foraminifera benthonik jarang diketemukan.
Batuan sering tidak berlapis.
Kadang-kadang terdapat debu volkanik yang halus
Petunjuk Laut Dangkal :
Foraminifera Benthonik banyak dijumpai
Banyak ditemukan Oolite
Batuan sering berlapis
Banyak dijumpai koral maupun moluska
Foraminifera dibedakan atas foraminifera kecil dan foraminifera besar. Untuk foraminifera kecil, proses pengamatan dan pemerian secara langsung, artinya fosil-fosil diamati langsung dibawah mikroskop, sedangkan foraminifera besar pemeriannya menggunakan sayatan tipis.
Foraminifera kecil, berdasarkan cara hidupnya dapat dibedakan menjadi foram planktonik dan foram benthonik.. Cara hidup dari ordo ini adalah :
a. Planktonik (mengambang) b. Benthonik (Di dasar laut)
-. Nektonik ; aktif bergerak -. Secil ; menambatkan diri
-. Pelagik ; pasif bergerak -. Vagil ; merayap/berpindah
Dari phylum protozoa, khususnya foraminifera sangat penting dalam geologi karena memiliki bagian yang keras dengan ciri masing-masing foraminifera, foraminifera kecil dibagi menjadi 2 yaitu :
Foraminifera Planktonik (mengambang), ciri-ciri :
Susunan kamar trochospiral.
Bentuk test bulat.
Komposisi test Hyaline
Foraminifera Benthonik (di dasar laut), ciri-ciri :
Susunan kamar planispiral.
Bentuk test pipih.
Komposisi test adalah aglutine dan aranaceous
Foram kecil benthos sering dipakai untuk penentuan lingkungan pengendapan, sedangkan foraminifera besar dipakai untuk penentuan umur foram kecil benthos sudah sejak lama dipakai dan sangat berharga untuk mengetahui lingkungan pengendapan purba. Lingkungan laut di bagi menjadi yang dapat dilihat pada gamabar 4. yaitu:
Zona neritik : kedalaman 0-200m
Zona bthyal : kedalaman 200-300m
Zona abysal : kedalaman lebih 3000m
Gambar: 4 Ekologi Foraminifera Benthos
(Sumber: http www.mikropeda blogspot)
Morfologi Foraminifera
Bentuk luar foraminifera, jika diamati dibawah mikroskop dapat menunjukkan beberapa kenampakan yang bermacam-macam dari cangkang foraminifera, meliputi :
Dinding, lapisan terluar dari cangkang foraminifera yang berfungsi melindungi bagian dalam tubuhnya. Dapat terbuat dari zat-zat organik yang dihasilkan sendiri atau dari material asing yang diambil dari sekelilingnya.
Kamar, bagian dalam foraminifera dimana protoplasma berada.
Protoculum, kamar utama pada cangkang foraminifera.
Septa, sekat-sekat yang memisahkan antar kamar.
Suture, suatu bidang yang memisahkan antar 2 kamar yang berdekatan..
Aperture, lubang utama pada cangkang foraminiferra yang berfungsi sebagai mulut atau juga jalan keluarnya protoplasma. Macam – macam morfologi atau cangkang foraminifera dapat dilihat pada gambar 5.
Gambar 5. Bagian-bagian cangkang foraminifera
(Sumber: panduan praktikum mikropaleontologi)
A. Komposisi cangkang (test)
Pada umumnya komposisi test terdiri dari 5 macam :
Aranaceous/aglutine :
seperti gamping (putih)
Terdiri dari butiral mineral (microgranular)
Chitinous/khitin : campuran zat organik
Cirinya :
Berwarna coklat muda sampai kekuningan
Transparan/tembus cahaya
Tidak berpori/masif
Hyaline : Seperti gamping transparan dan berpori, biasanya dimiliki oleh foram planktonik
Porsellaneous : berwarna putih, kadang merah muda, terbentuk dalam tubuh fosil dan keluar melaui pori-pori fosil tersebut.
Siliceous :
Warna putih jernih dari silika
Dimiliki dari spesies laut dalam, seperti :Radiolaria
B. Bentuk Cangkang, Bentuk dan Susunan Kamar
Bentuk cangkang merupakan bentuk cangkang fosil secara keseluruhan, artinya tidak sama dengan bentuk kamar dalam fosil tersebut. Foraminifera mempunyai cangkang yang bermacam-macam bentuknya, biasanya terdiri dari satu/lebih kamar dimana antara kamar satu dan lainnya dibatasi oleh septa. Cangkang tersebut dikelilingi oleh sebuah dinding. Tempat pertemuan dinding dengan septa ini disebut suture yang penting untuk klasifikasi yang ditunjukkan pada gambar 6 dan 7.
Secara garis besar bentuk-bentuk cangkang, meliputi :
Tabular (tabung) 15. Clavate (ganda)
Radial (bola) 16. Cuneate (tanduk)
Ellips 17. Flaring (mekar)
Lagenoid (botol) 18. Fistulose (jantung)
Sagittate (anak panah) 19. Sirkular
Fusiform (kumparan) 20. Kipas
Palmate (tapak/jejak) 21. Biconvex trochospiral
Lencticular (lensa) 22. Spiroconvex trochospiral
Rhomboid (ketupat) 23. Umbilicus biconvex trochospiral
Globular (seperti peluru) 24. Evolute planispiral
Subglobular 25. Involute planispiral
Kerucut 26. Streptospiral
Biconvex 27. Enrolled biserial
Tabulospinate (berduri) 28. Globular (bulat)
Gambar 6. Berbagai bentuk dasar test (cangkang) Foraminifera
(Sumber : buku panduan praktikum mikropaleontologi ,ist akprind)
Gambar 7. Berbagai bentuk dasar test (cangkang) Foraminifera
(Sumber : buku panduan praktikum mikropaleontologi ,ist akprind)
Sedangkan bentuk kamar dari fosil foram antara lain :
Spherical 6. Tabulospinate
Ovale 7. Angular conical
Hemisperical 8. Angular trunctate
Radial elongated 9. Angular rhomboidal
Clavate
Gambar 8. Berbagai bentuk kamar foraminifera
(buku panduan praktikum mikropaleontologi ,ist akprind)
Cangkang dibedakan atas dua kelompok utama, yaitu Cangkang Monothalamus (Uniloculer) dan Polythalamus (multiloculer). Pada umumnya, istilah monothalamus dan polythalamus digunakan di Eropa, sedangkan uniloculer dan multilooculer digunakan di Amerika. Cangkang monothalamus adalah cangkang yang terdiri dari satu kamar, sedangkang polytalamus terdiri lebih dari satu kamar. Bentuk kamar dapat dilihat pada gambar 8.
A. Monothalamus
Berdasarkan bentuknya dapat dibedakan menjadi (dapat dilihat pada gambar 9):
Bulat (Globular), Contoh : Genus Orbulina
Botol (Flask), Contoh : Genus Lagena
Batang (Cylindrical), Contoh : Genus Bathysphon
Kombinasi botol tabung, Contoh : Genus Entosolenia
Bintang (Stellate), Contoh : Genus Asthorhiza
Planispiral coiled, bentuk yang terputar pada satu bidang, Contoh : Cornuspira, Ammodiscus
Planispiral kemudian lurus, Contoh : Genus Rectocornuspira
Planispiral pada permukaan kemudian tak teratur, Contoh : Genus Orthover tella, Psammophis.
Gambar 9. Berbagai bentuk cangkang monothalamus
(buku panduan praktikum mikropaleontologi ,ist akprind)
B. Polythalamus
Berdasarkan keseragaman kamar, dapat dilihat pada gambar 10 ;
Uniformed test, cangkang foram yang terdiri dari satu macam susunan kamar, misalnya : uniserial saja atau biserial saja, atau juga triserial saja. Contoh : Nodosaria, Bolivina, Uvigerina.
Biformed test, cangkang foram yang terrdiri atas dua macam susunan kamar, Misalnya : Pada awal memiliki kamar triserial dan pada akhirnya menjadi biserial. Contoh : Heterostomella, Cribrostomum.
Triformed test, cangkang foram yang terdiri dari tiga macam susunan kamar, misalnya : Pada awalnya biserial, kemudian terputar dan akhirnya menjadi uniserial, Contoh : Vulvulina, Semitextularia.
Multiformed test, cangkang foram yang terdiri atas lebih dari tiga macam susunan kamar. (Sangat jarang dijumpai)
Berdasarkan susunan kamarnya, polythalamus-Uniformed dapat dibedakan menjadi :
Uniserial rectilinier, merupakan bentuk cangkang dimana kamar-kamarnya terdiri dari sebaris kamar yang lurus susunannya, contoh : Genus Nodosaria.
Uniserial rectilinier berleher, contoh : Genus Nodogeneria
Uniserial curvilinier, contoh : Genus Dentalina
Uniserial equitant,kamar saling menutupi, contoh : Genus Glandulina
Biserial, merupakan cangkang dimana kamar-kamarnya tersusun dalam dua baris yang letaknya berseling-seling, contoh : Genus Bolivina, Textularia
Triserial, merupakan cangkang yang terduru dari tiga baris kamar yang letaknya berseling-seling satu sama lain, contoh : Genus Uvigerina
Kombinasi biserial dan uniserial, contoh : Genus Bigerina
Kombinasi triserial dan uniserial, contoh : Genus Clarulina
Cangkang planispiral, cangkang dimana semua putaran kamarnya terletak pada satu bidang, contoh : Genus Operculina.
Cangkang involute, cangkang dimana putaran kamar yang terakhir menumpangi kamar yang terdahulu sehingga kamar putaran terakhir yang hanya tampak, contoh : Genus Robulus
Cangkang evolute, cangkang dimana seluruh putaran kamarnya dapat dilihat, contoh : Genus Assilina
Cangkang rotaloid, cangkang dimana semua putaran kamarnya terlihat dari pandangan dorsal, sedang dari pandangan ventral hanya putaran terakhir yang terlihat, contoh : Rotalia
Cangkang biloculina, contoh : Genus Pyrgo
Cangkang triloculine, contoh : Genus Triloculina
Cangkang Quingueloculine, contoh : Genus Quingueloculina
Gambar 10. Berbagai bentuk cangkang polythalamus
(Sumber: buku panduan mikropaleontologi,ist akprind)
C. Aperture
Pada semua foraminifera umumnya dijumpai adanya aperture, kecualii foram besar. Aperture merupakan lubang utama pada cangkang foraminifera yang umumnya terletak pada permukaan kamar akhir. Kadang-kadang, aperture dijumpai lebih dari satu, misalnya pada Genus Globigerinoides dan Candeina.
Aperture yang dijumpai pada fosil foraminifera mempunyai bentuk yang bermacam-macam. Aperture mempunyai fungsi sebagai tempat keluarnya protoplasma, yang kemudian berfungsi sebagai pseudopodia (kaki semu) dan aperture tersebut penting untuk klasifikasi. Hasil penelitian terakhir menunjukkan tidak semua foraminifera mempunyai aperture terutama foraminifera besar, untuk contoh – contohnya dapat dilihat pada gambar 11.
Macam-macam aperture :
Primary aperture : lubang utama yang terletak pada kamar akhir, contoh : Globigerina
Secondary aperture : lubang tambahan yang terletak pada kamar utama
Accesory aperture : lubang yang nampak tidak langsung kamar utama tetapi pada asesoris struktur, contoh : Catapsydrox.
Gambar 11. Macam-macam aperture
(buku panduan praktikum mikropaleontologi ,ist akprind)
Bentuk-bentuk aperture yang umum dijumpai, antara lain :
Aperture yang berbentuk bulat dan sederhana, umumnya terletak di ujung sebuah cangkang, lubang bulat, contoh : Genus Frondicularia dan Pulmula.
Aperture yang memancar, sering pula disebut aperture radiar, merupakan lubang yang bulat dan mempunyai galengan-galengan yang memancar dari pusat lubang. Umumnya dijumpai pada family Nodosaria dan Polymorphinidae, contoh : Genus Nodosaria dan Polymorphina.
Aperture phialine, merupakan sebuah lubang yang bulat, terletak pada ujung leher yang pendek tapi mencolok, contoh : Genus Uvigerina & Siphogenerina.
Aperture crescentric, aperture yang memiliki bentuk seperti tapal kuda, contoh : Genus Nodosaarella.
Aperture yang berbentuk celah, juga sering disebut "slit-like aperture", contoh : Genus Nonion & Pullenia.
Aperture yang letaknya pada umbilicus, contoh : Genus Globigerina.
Aperture multiple, terdiri dari banyak lubang, contoh : Genus Decerella.
Aperture Cribate, aperture yang bentuknya seperti saringan, lubang umumnya halus dan tersebar pada permukaan kamar akhir, contoh : Genus Miliola & Ammomassilina.
Aperture tambahan, sering juga disebut sebagai "accesory aperture" berupa lubang-lubang yang lebih kecil sebagai tambahan dari sebuah lubang yang lebih besar, yaitu aperture utama, contoh : Genus Globigerinoides.
Aperture entosolenian, aperture yang memiliki leher dalam, contoh : Genus Entosolenia.
Aperture ectosolenian, aperture yang memilimi leher luar yang pendek, contoh : Genus Ectosolenia.
Aperture dendritik, berbentuk seperti ranting pohon dan terletak pada septal face, contoh : Genus Dendritina.
Aperture yang bergigi, berbentuk lubang melengkung yang pada bagian dalamnya terdapat tonjolan yang menyerupai gigi (single tooth), contoh : Pyrgo & Quingueloculina.
Aperture virganile/bulimine, berbentuk seperti koma yang melengkung, contoh : Genus Virgulina, Bulimina, Buliminela dan Cassidulina.
Berdasarkan bentuknya, aperture juga dibedakan seperti gambar 12 :
Aperture tunggal, terletak pada ujung kamar terakhir, contoh : Genus Cornuspira, Nodosaria dan Uvigerina.
Aperture pada apertural face, terletak pada permukaan kamar yang terakhir, contoh : Genus Cribrohantkenina dan Dendritina.
Aperture periferal, yang memanjang dari umbilicus kearah tepi (peri-peri), contoh : Genus Globorotalia dan Cibicides.
Gambar 12. Jenis-jenis Aperture pada fosil foraminifera berdasarkan letaknya
(Sumber : MIRACLE Web-Site, University College London, 2002)
D. Suture
Suture : suatu hiasan yang memisahkan dua kamar yang saling berdekatan
Bentuk suture :
Melengkung kuat
Melengkung lemah
Lurus
E. Hiasan dan Tekstur Permukaan
Hiasan pada cangkang foraminifera sangat beragam dan hiasan ini sangat penting untuk klasifikasi. Selain hiasan, permukaan luar cangkangnya juga sering mempunyai tekstur yang berbeda-beda seperti gambar 13 :
Keel, selaput tipis yang mengeliilingi bagian peri-peri cangkang foraminifera, biasanya terdapat pada Globorotalia & Spiponina.
Costae, galengan vertical yang dihubungkan dengan garis-gariis suture yang halus. Contoh : Bulimina & Uvigerina.
Spines, duri-duri yang menonjol pada bagian tepi-tepi kamarnya. Contoh : Hankenina, Asteerorotalia. Retrall process : merupakan garis-garis suture yang berkelok-kelok dan biasa dijumpai pada Amphistegina.
Bridged suture, adalah garis-garis suture yang terbentuk dari septa yang terputus-putus. Contoh : Elphidium.
Limbate suture, garis-garis suture yang berbentuk kumpalan pori-pori yang halus.
Umbilical plug, bagian pusat cangkang, dapat berbentuk bulatan yang menonjol ataupun yang cekung kedalam.
Umbilicus, bagian pusat cangkang yang biasanya merupakan bagian kamar pertama.
Reticulate, bentuk dinding cangkang yang berupa pori-pori bulat yang kasar.
Punctate, bagian permukaan luar cangkang yang berupa pori-pori bulat yang kasar.
Cancellata, permukaan luar cangkang dengan pori-pori kasar dan tidak selalu bulat bentuuknya.
Pustulose, permukaan luar cangkang yang dihiasi dengan bulatan-bulatan yang menonjol.
Smooth, permukaan cangkang yang halus tanpa hiasan.
Gambar 13. Berbagai jenis hiasan pada cangkang foraminifera
(buku panduan praktikum mikropaleontologi,ist akprind)
Foraminifera Planktonik
Foraminifera planktonik jumlah genusnya sedikit, tetapi jumlah spesiesnya banyak. Plankton pada umumnya hidup mengambang di permukaan laut dan fosil plankton ini dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah geologi, antara lain :
Sebagai fosil petunjuk
Korelasi
Penentuan lingkungan pengendapan
Foram plankton tidak selalu hidup di permukaan laut, tetapi pada kedalaman tertentu :
Hidup antara 30 – 50 meter
Hidup antara 50 – 100 meter
Hidup pada kedalaman 300 meter
Hidup pada kedalaman 1000 meter
Ada golongan foraminifera plankton yang selalu menyesuaikan diri terhadap temperatur, sehingga pada waktu siang hari hidupnya hampir di dasar laut, sedangkan di malam hari hidup di permukaan air laut. Sebagai contoh adalah Globigerina pachyderma di Laut Atlantik Utara hidup pada kedalaman 30 sampai 50 meter, sedangkan di Laut Atlantik Tengah hidup pada kedalaman 200 sampai 300 meter.
Foram plankton sangat peka terhadap kadar garam. Pada keadaan normal, ia berkembangbiak dengan cepat, tetapi bila terjadi perubahan lingkungan ia akan segera mati atau sedikit terpengaruhi perkembangannya. Namun demikian, ada juga beberapa jenis yang tahan terhadap perubahan kadar garam, misalnya di Laut Merah meskipun kadar garamnya tinggi, tetapi masih dijumpai Globigerina bulloides dan Globigerinoides sacculifer
.
Tahapan Cara Mendeskripsi Foraminifera Planktonik
Di dalam mendeskripsi foraminifera planktonik dalam penentuan genus maupun spesies disini harus diperhatikan, antara lain :
Susunan Kamar
Susunan kamar pada foraminifera plankton dapat dibagi :
Planispiral, sifat terputar pada satu bidang, semua kamar terlihat, pandangan serta jumlah kamar ventral dan dorsal sama. Contoh : Hastigerina
Trocospiral, sifat terputar tidak pada satu bidang, tidak semua kamar terlihat, pandangan serta jumlah kamar ventral dan dorsal tidak sama. Contoh : Globigerina
Streptospiral, Sifat mula-mula trochospiral, kemudian planispiral sehingga menutupi sebagian atau seluruh kamar-kamar sebelumnya. Contoh : Pulleniatin
Aperture
Aperture adalah lubang utama dari test foraminifera yang terletak pada kamar terakhir. Khusus foraminifera plankton bentuk aperture maupun variasinya lebih sederhana. Umumnya mempunyai bentuk aperture utama interiomarginal yang terletak pada dasar (tepi) kamar akhir (septal face) dan melekuk ke dalam, terlihat pada bagian ventral (perut). Foraminifera planktonik ini juga banyak ditemui serta tersebar diseluruh benua atau laut dengan kedalaman tertentu sehingga foraminifera planktonik dijadikan fosil indeks sebagai penarikan umur.
Macam-macam aperture yang dikenal pada foraminifera plankton :
Primary Aperture Interiomarginal, yaitu :
Primary Aperture Interimarginal Umbilical, adalah aperture utama interiomarginal yang terletak pada daerah umbilicus atau pusat putaran. Contoh : Globigerina.
Primary Aperture Interimarginal Umbilical Extra Umbilical, adalah aperture utama interiomarginal yang terletak pada daerah umbilicus melebar sampai ke peri-peri. Contoh : Globorotalia.
Primary Aperture Interimarginal Equatorial, adalah aperture utama interiomarginal yang terletak pada daerah equator, dengan ciri-ciri dari samping kelihatan simetri dan hanya dijumpai pada susunan kamar planispiral. Equator merupakan batas putaran akhir dengan putaran sebelum peri-peri. Contoh : Hastigerina
Secondary Aperture / Supplementary Aperture
Merupakan lubang lain dari aperture utama dan lebih kecil atau lubang tambahan dari aperture utama. Contoh : Globigerinoides
Accessory Aperture
Merupakan aperture sekunder yang terletak pada struktur accessory atau aperture tambahan. Contoh : Catapsydrax
1.1.2 Pengenalan Genus dan Spesies Foraminifera Planktonik
Foraminifera planktonik khusus terdapat pada superfamili Globigerinicea, yang dapat dibagi menjadi :
Family Globigeriniidae
Famili ini pada umumnya mempunyai bentuk test spherical atau hemispherical, bentuk kamar globural dan susunan kamar trochospiral rendah atau tinggi. Aperture pada umumnya terbuka lebar dengan posisi yang terletak pada umbilicus dan juga pada suture atau pada apertural face. Beberapa genus yang termasuk dalam family Globigeriniidae :
Genus Orbulina
Ciri khas dari genus ini adalah adanya aperture small opening. Aperture ini adalah akibat dari terselubungnya seluruh kamar sebelumnya oleh kamar terakhir. Beberapa spesies yang termasuk dalam genus ini (dapat dilihat pada gambar 14) :
Orbulina universa
Gambar 14. Spesies Orbulina Universa
(Sumber: http://www.paleontology.com )
Orbulina bilobata (dapat dilihat pada gambar 15)
Gambar 15. Spesies Orbulina bilobata
(Sumber: http://www.paleontology.com )
Orbulina suturalis (dapat dilihat pada gambar 16)
Gambar 16. Spesies Orbulina Saturalis
(Sumber: http://www.paleontology.com)
Genus Globigerina
Globigerina nephentes (dapat dilihat pada gambar 17)
Ciri khas : aperturenya melengkung semi bulat dengan pinggiran melipat ke atas.
Gambar 17. Spesies Globigerina nephentes
(Sumber: http://www.paleontology.com)
Globigerina praebulloides (dpat dilihat pada gambar 18)
Ciri khas : kamar menggembung, suture pada bagian spiral radial sehingga sangat melengkung, tertekan, pada bagian umbilical radial, tertekan, umbilicusnya dalam.
Gambar 18. Spesies Globigerina praebulloides
(Sumber: http://www.paleontology.com)
Globigerina seminulina (dapt dilihat pada gambar 19)
Ciri khas : kamar spherical satu yang terakhir elongate, umbilicus kecil hingga sangat lebar, sangat dalam. Aperture berbentuk elongate atau melengkung rendah, interiomarginal umbilical dibatasi oleh lengkungan.
Gambar 19. Spesies Globigerina seminulina
(Sumber: http://www.paleontology.com)
Globigerina tripartite (dapat dilihat pada gambar 20)
Ciri khas : tiga kamar pada putaran terakhir bertambah besar ukurannya. Umbilicusnya sempit dan triangular.
Gambar 20. Spesies Globigerina tripartita
(Sumber: http://www.paleontology.com)
Genus Globigerinoides
Ciri morphologinya sama dengan Globigerina tetapi pada Globigerinoides terdapat supplementary aperture. Beberapa spesies yang termasuk dalam genus ini :
Globigerinoides trilobus (dapat dilihat pada gambar 21)
Ciri khas : tiga kamar pada putaran terakhir membesar sangat cepat. Umbilicusnya sangat sempit. Aperture primernya interiomarginal umbilical, melengkung lemah sampai sedang dibatasi oleh rim, pada kamar terakhir terdapat aperture sekunder.
Gambar 21. Spesies Globigerina trilobus
(Sumber: http://www.paleontology.com)
Globigerinoides conglobatus (dapat dilihat pada gambar 22)
Ciri khas : kamar awalnya subspherical, tiga kamar terakhir bertambah secara perlahan. Umbilicus sempit, tertutup dan dalam. Aperture primer interiomarginal umbilical, umbilical panjang, melengkung dibatasi oleh sebuah lengkungan, serta terdapat aperture sekunder.
Gambar 22. Spesies Globigerina conglobatus
(Sumber: http://www.paleontology.com )
Globigerina extremus (dapat dilihat pada gambar 23)
Ciri khas : empat kamar terakhir bertambah besar, suture melengkung, blique pada spiral-spiral dan pada bagian umbilicusnya tertekan, umbilicusnya sempit, dalam. Semua kamar pada putaran terakhir yang tertekan, oblique lateral. Terdapat hiasan berupa tooth pada aperturenya.
Gambar 23. Spesies Globigerina extremus
(Sumber: http://www.paleontology.com)
Globigerinoides fistulosus (dapat diliht pada gambar 24)
Mempunyai kamar spherical, kamar terakhir bergerigi pada peri-peri, suture pada bagian spiral melengkung tertekan, umbilicusnya sangat lebar. Aperture primer interiomarginal umbilical, lebar, terbuka dengan adanya sebuah lip. Terdapat aperture sekunder pada kamar awalnya.
Gambar 24. Spesies Globigerina fistulosus
(Sumber: http://www.paleontology.com)
Globigerinoides immaturus (dapat dilihat pada gambar 25)
Tiga kamar terakhir bertambah besar tidak begitu cepat. Umbilicus sempit. Aperture primer interiomarginal umbilical dengan lengkungan yang rendah sampai sedang, dibatasi oleh sebuah rim. Terdapat aperture sekunder pada kamar terakhir.
Gambar 25. Spesies Globigerina immaturus
(Sumber: http://www.paleontology.com)
Globigerinoides obliquus (dapat dilihat pada gambar 26)
Satu kamar terakhir berbentuk oblique. Aperture primer interiomarginal umbilical, sangat melengkung yang dibatasi oleh sebuah rim. Sebagian kecil dari kamar terakhir memperlihatkan sebuah aperture sekunder yang berseberangan dengan aperture primer.
Gambar 26. Spesies Globigerina obliquus
(Sumber: http://www.paleontology.com)
Globigerinoides primordius (dapat dilihat pada gambar 27)
Ciri khasnya hampir sama dengan Globigerina praebulloides tetapi mempunyai aperture sekunder pada sisi dorsal.
Gambar 27. Spesies Globigerina primordius
(Sumber: http://www.paleontology.com)
Globigerinoides ruber (dapat dilihat pada gambar 28)
Perputaran kamarnya terlihat mulai dari samping. Aperture interiomarginal umbilical, dengan lengkungan sedang yang terbuka dibatasi oleh sebuah rim. Pada sisi dorsal terdapat aperture sekunder.
Gambar 28. Spesies Globigerina ruber
(Sumber: http://www.paleontology.com)
Genus Globoquadrina
Bentuk test spherical, bentuk kamar globural,aperture terbuka lebar dan terletak pada umbilicus dengan bentuk segiempat,yang kadang-kadang mempunyai bibir. Beberapa spesies yang termasuk dalam genus ini :
Globoquadrina dehiscens (dapat dilihat pada gambar 29)
Kamar subglobular menjadi semakin melingkupi pada saat dewasa. Tiga kamar terakhir bertambah ukurannya secara cepat. Pada kenampakan samping sisi dorsal terlihat datar. Spesies ini banyak ditemukan di daerah laut sedang yang memiliki kedalaman dari 200- 350 meter di bawah permukaan air laut dengan cara hidup melayang – layang di laut dan terfosilkan di dasar laut.
Gambar 29. Spesies Globigerina dehiscens
(Sumber: http://www.paleontology.com)
Globoquadrina altispira (dapat dilihat pada gambar 30)
Empat kamar terakhir bertambah ukurannya secara sedang, umbilicus sangat lebar, dalam, aperture interiomarginal sangat lebar terlihat elongate pada bagian atas, terdapat flap.
Gambar 30. Spesies Globigerina Altispira
(Sumber: http://www.paleontology.com)
Genus Sphaeroidinella
Bentuk test spherical atau oval, bentuk kamar globular dengan jumlah kamar tiga buah yang saling berangkuman (embracing). Aperture terbuka lebar dan memanjang di dasar suture. Pada dorsal terdapat supplementary aperture. Mempunyai hiasan berupa suture bridge. Spesies yang termasuk dalam genus ini:
Sphaeroidinella dehiscens (dapat dilihat pada gambar 31)
Gambar 31. Spesies Sphaeroidinella dehiscens
(Sumber: http://www.paleontology.com)
Genus Sphaeroidinellopsis
Mempunyai ciri hampir sama dengan genus Sphaeroidinella tapi tidak mempunyai aperture sekunder. Spesies yang termasuk dalam genus ini:
Sphaeroidinellopsis seminulina (dapat dilihat pada gambar 32)
Gambar 32. Spesies Sphaeroidinellopsis seminulina
(Sumber: http://www.paleontology.com)
Genus Pulleniatina
Susunan kamar trochospiral terpuntir. Aperture terbuka lebar memanjang dari umbilicus kearah dorsal dan terletak didasar apertural face. Pada genus ini sering ditemukan terfosilkan pada kedalaman 200-350 meter dibawah permukaan air laut, tapi genus ini sangat jarang di jumpai mungkin karena kebanyakan sudah hancur karna memiliki test atau cangkang yang kurang kuat Spesies yang termasuk dalam genus ini:
Pulleniatina obliqueloculata (dapat dilihat pada gambar 33)
Gambar 33. Spesies Pullenitina
(Sumber: http://www.paleontology.com)
Genus Catapsydrax
Mempunyai hiasan pada aperture berupa bulla pada Catapsydrax dissimilis dan tegilla pada Catapsydrax stainforthi. Juga mempunyai accessory aperture yaitu infralaminal accessory aperture pada tepi hiasan aperturenya. Spesies yang termasuk dalam genus ini:
Catapsydrax dissimillis (dapat dilihat pada gambar 34)
Gambar 34. Spesies Catapsydrax dissimillis
(Sumber: http://www.paleontology.com)
Family Globorotaliidae
Umumnya mempunyai bentuk test biconvex, bentuk kamar subglobular atau angular conical, susunan kamar trochospiral. Aperture mamanjang dari umbilicus kepinggir test dan terletak pada dasar apertural face. Pada pinggir test ada yang mempunyai keel dan ada pula yang tidak. Genus yang termasuk dalam family Globorotaliidae:
Genus Globorotalia
Berdasarkan ada tidaknya keel maka genus ini dibagi menjadi 2 subgenus,yaitu:
Subgenus Globorotalia
Subgenus ini mencakup seluruh Globorotalia yang mempunyai keel. Untuk membedakan subgenus ini dengan subgenus lainnya maka penulisannya diberi kode sebagai berikut : Globorotalia (G) Beberapa spesies yang termasuk subgenus ini :
Globorotalia tumida (dapat dilihat pada gambar 35)
Test trochospiral rendah sampai sedang, sisi spiral lebih convex daripada sisi umbilical, permukaannya licin kecuali pada kamar dari putaran akhir dan umbilical pada kamar akhir yang pustulose. Suture disisi spiral pada mulanya melengkung halus lalu melengkung tajam mendekati akhir hampir lurus hingga radial, pada distal kembali melengkung hamper tangensial ke peri-peri.
Gambar 35. Subgenus globorotalia-spesies Globorotalia tumidae
(Sumber: http://www.paleontology.com)
Globorotalia plesiotumida (dapat dilihat pada gambar 36)
Test trochospiral sangat rendah, biconvex, tertekan, peri-peri equatorial globulate, keel tipis. Suture pada bagian spiral melengkung satu pada bagian yang terakhir subradial, pada sisi distalnya melengkung sangat kuat. Umbilical sempit dan tertutup dalam, aperture interiomarginal umbilical extra umbilical melengkung lemah dibatasi oleh lip yang tipis.
Gambar 36. Subgenus globorotalia-spesies Globorotalia plesiotumida
(Sumber: http://www.paleontology.com)
Subgenus Turborotalia
Mencakup seluruh Globorotalia yang tisak mempunyai keel. Untuk penulisannya diberi kode sebagai berikut: Globorotalia (T) Beberapa spesies yang termasuk subgenus ini:
Globorotalia siakensis (dapat dilihat pada gambar 37)
Susunan kamar trochospiral lemah, peri-peri equatorial globulate, kamar tidak rata, subglobular, kamar 5-6 terakhir membesar tidak teratur. Pada kedua sisi suturenya radial, tertekan, umbilical agak lebar sampai agak sempit, dalam. Aperture interiomarginal umbilical extra umbilical, agak rendah, terbuka, melengkung, dibatasi oleh bibir atau rim.
Gambar 37. Subgenus Turborotalia-spesies Globorotalia Siakensis
(Sumber: http://www.paleontology.com)
Family Hantkeniidae
Pada test terdapat dua umbilicus yang masing-masing terletak pada salah satu sisi test yang berseberangan. Susunan kamr planispiral involute. Pada beberapa genus kamar-kamar ditumbuhi oleh spine-spine panjang. Beberapa genus yang termasuk dalam family Hantkeniidae:
Genus Hantkenina (dapat dilihat pada gambar 38)
Bentuk test biumbilicate, bentuk kamar tabular spinate dan susunan kamar planispiral involute, tiap-tiap kamar terdapat spine yang panjang, bentuk cangkang genus ini kebanyakan memiliki duri – duri banyak ditemukan cangkang dalam keadaan keropos atau sudah rusak karena proses sedimentasi. Contoh: Hantkenina alabamensis.
Gambar 38. Genus Hantkenina-spesies Hantkenina alabamensis
(Sumber: http://www.paleontology.com)
Genus Cribohantkenina (dapat dilihat pada gambar 39)
Mempunyai ciri hampir sama dengan Hantkenina tetapi kamar akhir sangat gemuk dan mempunyai cribate yang terletak pada apertural face.
Contoh: Cribohantkenina bermudezi
Gambar 39. Genus Cribohantkenina-Spesies Cribohantkenina Bermudezi
(Sumber: http://www.paleontology.com)
Genus Hastigerina
Bentuk test biumbilicate, susunan kamar planispiral involute atau loosely coiled. Mempunyai aperture equatorial yang terletak pada apertural face.
Contoh: Hastigerina aequilateralis (dapat dilihat pada gambar 40)
Gambar 40. Genus Hastigerina-Spesies Hastigerina aequilateralis
(Sumber: http://www.paleontology.com)
Foraminifera Benthonik
Fosil foraminifera benthonik sering dipakai untuk penentuan lingkungan pengendapan, sedangkan fosil foram benthonik besar dipakai untuk penentuan umur. Fosil benthonik ini sangat berharga untuk penentuan lingkungan purba.
Foraminifera yang dapat dipakai sebagai lingkungan laut secara umum adalah :
Pada kedalaman 0 – 5 m, dengan temperatur 0-27 derajat celcius, banyak dijumpai genus-genus Elphidium, Potalia, Quingueloculina, Eggerella, Ammobaculites dan bentuk-bentuk lain yang dinding cangkangnya dibuat dari pasiran.
Pada kedalaman 15 – 90 m (3-16º C), dijumpai genus Cilicides, Proteonina, Ephidium, Cuttulina, Bulimina, Quingueloculina dan Triloculina.
Pada kedalaman 90 – 300 m (9-13oC), dijumpai genus Gandryna, Robulus, Nonion, Virgulina, Cyroidina, Discorbis, Eponides dan Textularia.
Pada kedalaman 300 – 1000 m (5-8º C), dijumpai Listellera, Bulimina, Nonion, Angulogerina, Uvigerina, Bolivina dan Valvulina.
Tahapan Cara Mendeskripsi Foraminifera Bentonik
Di dalam mendeskripsi foraminifera bentonik dalam penentuan genus maupun spesies disini harus diperhatikan, antara lain :
Susunan Kamar Foraminifera Benthos
Monothalamus
Monotalamus adalah susunan dan bentuk kamar-kamar akhir foraminifera yang hanya terdiri dari satu kamar. macam - macam dari bentuk monothalamus test:
Bentuk globular atau bola atau spherical dapat dilihat pada gambar 41 .Terdapat pada kebanyakan subfamily accaminidae Contoh : Saccamina
Gambar 41. Bentuk Test globular
(Sumber: http://www.micropaleontology.com)
Bentuk botol (flarkashaped), terdapat pada kebanyakan subfamily Proteonaninae Contoh : Lagena (gambar 42)
Gambar 42. Bentuk Test botol
(Sumber: http://www.micropaleontology.com)
Bentuk tabung (tabular) seperti yang ditunjukkan pada gambar 43, terdapat pada kebanyakan subfamili Hyperminidae Contoh : Hyperammina.
Gambar 43. Bentuk Test Tabung
(Sumber: http://www.micropaleontology.com)
Bentuk kombinasi antara tabung dan botol seperti yang di tunjukkan pada gambar 44. Contoh : Lagena
Gambar 44. Bentuk Test kombinasi tabung dan botol
(Sumber: http://www.micropaleontology.com)
Planispiral (uncoiling) seperti yang di tunjukan pada gambar 45.
Contoh : Rectocornuspira
Gambar 45. Bentuk Test Planispiral
(Sumber: http://www.micropaleontology.com)
Zigzag
Contoh : Lenticulina sp
Radiate
Contoh : Astroshizalimi colasandhal
Cabang (bifurcatirtg) (gambar 46)
Contoh: Rhabdamina abyssorum
Gambar 46. Bentuk Test cabang/bifurcatirtg
(Sumber: http://www.micropaleontology.com)
Arburescent (gambar 47)
Contoh : Dendrophyra crectosa
Tak teratur (irregular)
Contoh : Planorbulinoides reticnaculata
Setengah lingkaran (hemispherical)
Contoh : Pyrgo murrhina
Inverted v-shaped chamber (palmate)
Contoh : Flabellina rugosa
Fusiform
Contoh : Vaginulina laguman
Gambar 47. Bentuk Test Arburescent-Fusifom
(Sumber: http://www.micropaleontology.com)
Pyriform
Contoh : Elipsoglandulina velascoensis
Conical (kerucut)
Contoh : Textularia ere/osa
Semicircular (fanshaped-flabelliform)
.Contoh: Pavaninaflabelliformis
Beberapa foraminifera yang memiliki cangkang monothalamus yang di tunjukkan pada gambar 48 dan 49.
Gambar 48. Macam-macam bentuk cangkang monothalamus
(Sumber: http://www.micropaleontology.com)
Gambar 49. Foraminifera yang mempunyai cangkang monothalamus
(Sumber: Moore R.C. et al., 1952)
Polythalamus
Merupakan suatu susunan kamar dan bentuk akhir kamar foraminifera yang terdiri dari lebih satu kamar, misalnya uniserial saja ata biserial saja. Macam-macam polythalamus test:
2.a Uniformed, terdiri dari Uniserial, terdiri dari satu macam susunan kamar dan sebaris kamar, terdiri dari :
Rectilinier (linier punya leber), test uniserial terdiri atas kamarkamar bulat yang dipisahkan satu sarna lain dengan stolonxy neck. Contob : Siphonogerina, Nodogerina.
Linier tanpa leber, kamar tidak bulat dan antara kamar yang satu dengan kamar yang lainnya tidak didapat neck. Contoh : Nodosaria.
Equitant uniserial, test uniserial tidak mempunyai leher, tetapi sebaliknya kamamya sangat berdekatan sehingga menutupi sebagian yang lain. Contoh : Glandu/ina.
Curvilinierl uniserial arcuate, test uniserial tapi sedikit melengkung dan garis batas kamar satu dengan yang lainnya atau sututre membentuk sudut terhadap sumbu panjang. Contoh : Dentalina
Coiled test atau test yang terputar, macam – macamnya yaitu Planispiral coiled test, test yang terputar pada satu bidang datar, di bagi dua:
e.1) Involute yang di tunjukkan pada gambar 50, test yang terputar dengan putaran akhir menutupi putaran yang sebehunnya, sehingga putaran akhir saja yang terlihat. Contoh : Elphidium
Gambar 50. Bentuk Test polythalamus-Involute
(Sumber: http://www.micropaleontology.com)
e.2) Evolute test, test yang terputar dengan seluruh putaramlya dapat terlihat. Contoh : Anomalia
e.3) Nautiloid test, yang ditunjukkan pada gambar 51 merupakan test yang terputar dengan kamar-kamar di bagian umbilical (ventral) menumpang satu sarna lain, sehingga kelihatan karnar kamarnya lebih besar dari bagian peri-peri dari pada di bagian umbilicus. Contoh : Nonion
Gambar 51. Bentuk Test polythalamus-Nautiloid
(Sumber: http://www.micropaleontology.com)
e.4) Rotaloid test, Merupakan test yang terputar tidak pada satu bidang, dengan posisi pada dorsal seluruh putaran terlihat, sedang pada ventral hanya putaran terakhir yang terlihat. Susunan kamar ini disebut juga Low Trochospiral. Contoh: Rotalia
e.5) Helicoid test, merupakan test yang terputar meninggi, dimana lingkarannya dengan cepat menjadi besar. Terdapat pada subfamily Globigerinidae (plankton). Susunan kamar ini disebut juga High Trochospiral. Contoh: Globigerina
e.6) Biserial yang di tunjukkan pada gambar 52, test yang tersusun dua baris kamar yang terletak berselang-seling. Contoh: Textularia dan Bolivina SP
Gambar 52. Bentuk Test polythalamus-Biserial
(Sumber: http://www.micropaleontology.com)
e.7) Triserial yang di tunjukkan pada gambar 53, test yang tersusun oleh tiga baris kamar yang terletak berselang-seling. Contoh : Uvigerina, Bulim
Gambar 53. Bentuk Test polythalamus-Triserial
(Sumber: http://www.micropaleontology.com)
e.8) Biformed Test yang di tunjukkan oleh gambar 54. Merupakan dua macam susunan kamar yang sangat berbeda satu dengan yang lain dalam satu buah test, misalnya biserial pada awalnya kemudian menjadi uniserial pada akhirnya. Contoh : Bigerina
Gambar 54. Bentuk Test polythalamus-Biformed
(Sumber: http://www.micropaleontology.com)
e.9) Triformed (gambar 55) Test Merupakan tiga bentuk susunan kamar dalam sebuah test, misalnya permulaan biserial kemudian berputar sedikit dan akhirnya menjadi uniserial. Contoh: Vulvulina
Gambar 55. Bentuk Test polythalamus-Triformed
(Sumber: http://www.micropaleontology.com)
e.10) Multiformed Test, dalam sebuah test tdpt >3 susunan kamar. Bentuk ini sangat jarang ditemukan.
Aperture Foraminifera Bentos
Golongan benthos memiliki bentuk aperture yang bervariasi. Dan aperture itu sendiri merupakan bagian penting dari test foraminifera, karena merupakan. lubang tempat protoplasma organisme tersebut bergerak keluar dan masuk.
Macam-macam aperture pad a foraminifera benthos:
Simple Aperture, yaitu :
at end of tabular chamber
at base of aperture face
in middle aperture face
aperture yang bulat dan sederhana, biasanya terletak diujung sebuah test(terminal), lubangnya bulat.
Aperture comma shaped, mempunyai koma/melengkung, tetapi tegak lurus pada permukaan septal face.
Aperture phyaline, merupakan sebuah lubang yang terletak diujung neck yangn pendek tapi menyolok.
Aperture slit like, berbentuk lubang sempit yang memanjang, umum dijumpai pada foraminifera yang bertest hyaline.
Aperture crescentic, lubangnya berbentuk tapal kuda.
Supplementary Aperture, yaitu :
Infralaminal accessory aperture – dendritik
Aperture yang memancar (radiate), merupakan sebuah lubang yang bulat, tapi mempunyai pematang yang memancar dari pusat lubang.
Radiate with apertural facechamberlet.
Multiple Aperture, yaitu :
Multiple sutural, aperture yang terdiri dari banyak lubang, terletak di sepanjang suture.
Aperture cribralateral, cribrate/inapertural face cribrate. Bentuknya seperti saringan, lubang uummnya halus dan terdapat pada permukaan kamar akhir.
Terminal
Primary Aperture, yaitu :
Primary aperture interiomarginal umbilical
Interiomarginal umbilical extra runbilical/simple aperture lip/ ventral and peripheral.
Spilo umbilical/interiomarginal equatorial.
Berikut adalah foraminifera dengan beberapa genus dan keterangan determinasinya, yang di tunjukkan pada gambar 56 dan 57.
Gambar 56. Contoh genus foraminifera bentonik dan keterangannya
(Sumber: http://www.micropaleontology.com)
Gambar 57. Contoh genus foraminifera bentonik dan keterangannya
(Sumber: http://www.micropaleontology.com)
IV.2.2 Alat Dan Bahan
Dan untuk memisahkan fosil, peralatan yang diperlukan antara lain :
Cawan tempat contoh batuan
Jarum
Lem unuk merekatkan fosil
Tempat fosil
Mikroskop & alat penerang.
IV.2.3. Langkah Kerja
Menetukan lokasi yang hendak diambil sampel fosil mikro,dengan menentukan top,middle,dan bottom.dimana jarak antara ketiga bagian tersebut berjarak ± 100 m
Pengambilan sampel dengan ukuran handspacement pada masing-masing bagian(top,middle,bottom).Sampel yang hendak diambil harus dalam keadan masih segar.
Metode determinasi fosil,dapat dilakukan dengan cara:
Membandingkan dengan koleksi fosil yang ada
Menyamakan fosil,yang belum dikenal dengan gambar-ganbar yang ada literatur/publikasi.
Langsung mendeterminasi fosil yang belum dikenal tersebut dengan mempelajari ciri-ciri morfologinya.
Kombinasi 1,2 dan 3
Morfologi fosil yang dideterminasi masing-masing fosil berbeda,karena hal ini tergantung dari jenis fosil dan karakteristik morfologi tubuhya baik fosil makro maupun mikro.
Determinasi fosil mikro,dengan menggunakan mikroskop hal-hal yang diamati:
Sketsa ataugambar fosil
Nomor praga
Jenis fosil
Susunan kamar
Bentuk kamar
Suture
Komposisi
Jumlah kamar
Ventral
Dostral.
IV.2.4. Lampiran
Fosil Planktonik (terlampir)
Fosil Bentonik(terlampir).
BAB V
APLIKASI FORAMINIFERA
Umur relatif adalah penempatan suatu stratigrafi relatif terhap zaman-zaman geologi yang didasarkan pada fosil-fosil tertentu tanpa ditentukan batas-batasnya secara geokronologi yang dinyatakan dalam skala waktu/satuan waktu dalam tahun. Penentuan umur relatif batuan pada 2 lapisan yang berbeda dalam 1 penampang dapat ditentukan dengan melihat lapisan yang terlebih dahulu diendapkan, yang terendapkan pertama lebih tua umurnya daripada yang terendapkan kemudian. Proses ini berlangsung terus sampai semua lapisan tersusun dalam suatu skala umur relatif yang memperlihatkan urutan kejadiannya. Salah satu cara penarikan fosil menggunakan Cara dengan hasil fosil :
Cara ini biasanya pada batuan endapan. Fosil adalah sisa – sisa binatang atau tumbuhan purba yang sudah membatu. Dasar pemikirannya: evolusi. Pada endapan yang terletak dibawah mempunyai fosil yang berbeda dengan endapan yang terletak di atas. Dari fosil – fosil ersebut dapat diketahui evolusi dari binatang maupun tumbuhan. Banyak binatang / tumbuhan yang baru muncul. Dengan mengetahui evolusi binatang / tumbuhan tersebut dapat diketahui endapan yang tua dan yang lebih muda. Tetapi umur yang didapat hanyalah umur kisaran (nisbi).
V. 1. Penetuan Umur Relatif Batuan
Cara menentukan umur relatif pada umumnya didasarkan atas dijumpainya fosil didalam batuan. Didalam mikropaleontologi cara menentukan umur relative dengan menggunakan :
Foraminifera Kecil Planktonik: disamping jumlah genus sedikit, planktonik sangat peka terhadap perubahan kadar garam, hal ini menyebabkan hidup suatu spesies mempunyai kisaran umur yang pendek sehingga baik untuk penciri umur suatu lapisan batuan. Biozonasi foraminifera planktonik yang populer dan sering digunakan diIndonesia adalah Zonasi Blow ( 1969 ), Bolli ( 1966 ) dan Postuma (1971).
84Foraminifera Besar Bentonik : Dipakai sebagai penentu umur relatif karenaumumnya mempunyai umur pendek sehingga sangat baik sebagai fosil penunjuk.
84
Penentuan umur berdasarkan foraminifera besar, khususnya di Indonesia biasanya menggunakan Klasifikasi Huruf, antara lain. Klasifikasi Huruf yang dikemukakan oleh Adams ( 1970 ).
V.1.1. Dasar Teori
Penentuan Umur Batuan Foraminifera Plantonik. Terdiri dari dua metode yaitu :
Penentuan umur absolute Umumnya di lakukan dengan menghitung waktu paruh dari unsur-unsur radioaktif yang terkandung dalam batuan tersebut.
Penentuan umur relatif adalah membandingkan umur batuan tersebut dengan batuan lain yang sudah di ketahui atau menpunyai hubungan posisi stratigrafi yang jelas. Salah satu cara penenutan umur relatif ini adalah dengan meneliti kandungan fosil yang ada dalam batuan tersebut. Pada data lapangan kita dapat menarik umur fosil seperti yang di tunjukkan pada table 6.
Tabel 6. Contoh hasil analisis foram planktonik pada Batupasir, Kulon progo-DIY
Umur
Fosil
Planktonik
Oligosen
Miosen
Pliosen
kuarter
Atas
Bawah
Tengah
Atas
N1 N2 N3
N4 N5 N6 N7 N8
N9 N10 N11 N12 N13 N14 N15
N16 N17 N18
N19 N20 N21
Glg. Nepentnes
Orb. Biobota Drigrigry
Glt. Pseudomenardi
Gld. ruber
Glt. acostoensis
Glt. Multicamerata
Glt.Miocanica Palmer
Glr. Noides sacculitas
Orb. Bilobita
Glt. Obesa
Umur relatif dari hasil analisis merupakan Miosen atas (N18)
Keterangan : Glg : Globigerina
Glt : Globorotalia
Gld : Globigerinoides
Glr : Globigoro
Orb : Orbulina
c) Penentuan umur batuan dengan mengunakan analisa fosil foraminiera telah banyak di lakukan. Analisa foraminifera di tunjang pula oleh kemajuan ilmu ini yang sangat pesat sehingga banyak perusahaan perminyakan yang selalu mengunakan analisis ini sebagai salah satu tahapan dalam eksplorasi yang mereka lakukan. Penelitian foraminifera menghasilkan banyak bionesa foraminifera yang di pakai sebagai acuan dalam analisisnya. Beberapa biozonasi foraminifera yang digunakan dan di kenal di indonesia sebagai berikut :
Hal ini terlihat dari nilai Z yang lebih besar yaitu 1,58-2,01 untuk foraminifera plangtonik dan 5,26-5,75 pada foraminifera besar (Z score adalah perbandingan tengang waktu tersier dalam juta tahun di bagi dengan jumlah biozona yang menyusunnya). Seluruh biozonasi planktonik mengunakan datum pemunculan awal dan akhir spesies tertentu untuk manbatasi masing-masing zonanya. Prinsip zona selang banyak di gunakan dalam penarikan batas-batas zona setiap boizonasi. boizonasi foraminifera kecil (benthos), selain digunakan untuk penentuan lingkungan purba, beberapa spesies foraminifera kecil (bentonik) dapat di gunakan untuk penentuan umur.
Penentuan lingkungan pengendapan Foraminifera Benthonik Fosil foraminifera benthonik sering dipakai untuk penentuan lingkungan pengendapan, sedangkan fosil foram benthonik besar dipakai untuk penentuan umur. Fosil benthonik ini sangat berharga untuk penentuan lingkungan purba. Foraminifera yang dapat dipakai sebagai lingkungan laut secara umum adalah
Pada kedalaman 0–5 m, dengan temperatur 0-27 derajat celcius, banyak dijumpai genus-genus Elphidium, Potalia, Quingueloculina, Eggerella, Ammobaculites dan bentuk-bentuk lain yang dinding cangkangnya dibuat dari pasiran.
Pada kedalaman 15–90 m (3-16ºC), dijumpai genus Cilicides, Proteonina, Ephidium, Cuttulina, Bulimina, Quingueloculina dan Triloculina.
Pada kedalaman 90–300 m (9-1300C), dijumpai genus Gandryna, Robulus, Nonion, Virgulina, Cyroidina, Discorbis, Eponides dan Textularia.
Pada kedalaman 30–1000 m (5-8º C), dijumpai Listellera, Bulimina, Nonion, Angulogerina, Uvigerina, Bolivina dan Valvulina
Lingkungan pengendapan yang dapat kita tari dari tabel penarikan kedalaman pada endapan laut, seperti yang di tunjukkan pada tabel 7.
Table 7. lingkungan pengendapan
(Sumber: http/www.geolab.unc.edu)
Lingkungan pengendapan
Litoral
Neritik
Batial
Foraminifera bentonik
0-5 m
Tepi I
5-20 m
Tepi II
20-100 m
Tepi III
100-200 m
200-2000m
Tabel 8 . Penentuan lingkungan pengendapan
(Cimsdde dan Mark Heaven 1955)
Ratio %
Kedalaman (m)
0 – 10
0 – 70
10 – 20
0 – 70
20 – 30
60 – 120
30 – 40
120 – 600
40 – 50
120 – 600
50 – 60
550 – 700
60 – 70
650 – 825
70 – 80
700 – 1100
80 – 90
900 – 1200
90 – 100
1200 – 2000
X 100%
X 100%
Ratio =
= 0,9627 x 100% = 96,27% (termasuk dalam lingkungan pengendapan laut dalam 1200 – 2000 meter dibawah permukaan air laut).
Berdasarkan Cimsdde dan Mark Heaven (1955) dalam memakai rumus perhitungan ratio. Menghasilkan hasil mencapai 0,9627 atau 96,27% maka dari itu dapat mengambil kesimpulan bahwa linkungan pengendapannya adalah 1200 – 2000 meter yang menunjukan pada Zona Batial (laut dalam).
V.1.2. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan untuk menentukan lingkungan batymetri yaitu :
Fosil yang belum dipisahkan 0.5 gram ( Top, Middle, Bottom.)
Timbangan
Mikroskop
Cawan / tempat fosil
Jarum
Alat tulis
Lampu / penerangan untuk sumber cahaya mikroskop
Buku postuma
Kolom penarikan umur
V.1.3 Langkah Kerja
Fosil atau hasil determinasi dicocokan didalam buku postuma untuk mencari umur dari fosil tersebut. Lalu hasilnya dimasukan kedalam kolom penarikann umur relatif batuan. Kolom umur yang ditempati semua fosil itulah umur relatif batuan.
Langkah – langkah yang harus kita lakukan sebagai berikut :
Sample fosil ditimbang 0.5 gram dari masing-masing kelompok Top, Middle dan Bottom.
Sample tersebut dicampur
Sample dipisahkan 0.1 gram setiap kelompok
Dipisahkan antara plantonik dan bentonik di mikroskop dengan jarum
Lalu dijumlah masing – masing (fosil planktonik dan bentonik) dan dimasukan dalam rumus
Hasilnya dilihat dalam table
V1.4 Kolom Penarikan Umur Relatif ( Terlampir )
V.2. Penentuan Lingkungan Batymetry
Lingkungan pengendapan adalah tempat mengendapnya material sedimen beserta kondisi fisik, kimia, dan biologi yang mencirikan terjadinya mekanisme pengendapan tertentu (Gould, 1972). Didalam sedimen umumnya turut terendapkan sisa-sisa organisme atau tumbuhan, yang karena tertimbun, terawetkan,dan selama proses Diagenesis tidak rusak dan turut menjadi bagian dari batuan sedimen atau membentuk lapisan batuan sedimen. Sisa-sia organisme atau tumbuhan yang terawetkan ini dinamakan fosil. Jadi fosil adalah bukti atau sisa-sisa kehidupan zaman lampau. Dapat berupa sisa organisme atau tumbuhan, seperti cangkang kerang, tulang atau gigi maupun jejak ataupun cetakan.
Kedalaman lingkungan kehidupan foram dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
- Litoral = 0 – 5 meter - Batyal = 200 – 2000 meter
- Epineritik = 5 – 50 meter - Abyssal = 2000 – 5000 meter
- Neritik = 50 – 200 meter - Hadal = > 5000 meter
Berikut pula merupakan bagian-bagian dari ligkungan pengendapan sedimen:
Gambar 58. Lingkungan pengendapan sedimen
(L.S.F., 1991)
A. Dasar Teori
Fosil foraminifera benthonik sering dipakai untuk penentuan lingkungan pengendapan, sedangkan fosil foram benthonik besar dipakai untuk penentuan umur. Fosil benthonik ini sangat berharga untuk penentuan lingkungan purba. Foraminifera yang dapat dipakai sebagai lingkungan laut secara umum adalah :
Pada kedalaman 0 – 5 m, dengan temperatur 0-27 derajat celcius, banyak dijumpai genus-genus Elphidium, Potalia, Quingueloculina, Eggerella, Ammobaculites dan bentuk-bentuk lain yang dinding cangkangnya dibuat dari pasiran.
Pada kedalaman 15 – 90 m (3-16º C), dijumpai genus Cilicides, Proteonina, Ephidium, Cuttulina, Bulimina, Quingueloculina dan Triloculina.
Pada kedalaman 90 – 300 m (9-13oC), dijumpai genus Gandryna, Robulus, Nonion, Virgulina, Cyroidina, Discorbis, Eponides dan Textularia.
Pada kedalaman 300 – 1000 m (5-8º C), dijumpai Listellera, Bulimina, Nonion, Angulogerina, Uvigerina, Bolivina dan Valvulina
Faktor fisika meliputi kadar garam, kecepatan arus, kedalaman air, kecepatan angin dan sebagainya. Faktor kimia meliputi kadar garam, keasaman, kebasaan air serta komposisi kimiu batuan. Sedangkan yang dipelajari dalam praktikum ini adalah. faktor biologi yang mempelajari kehidupan organisme masa lampau berdasarkan Iingkungan hidupnya.
Metode yang dipakai untuk menentukan lingkungan pengendapan tersebut adalah:
Menggunakan Ratio Plankton / Bentos
Menggunakan Foraminifera Kecil Bentonik
Penentuan Lingkungan Pengendapan dengan Rasio Plankton/ Bentos
Tabel 8. Kedalaman dari Grimsdale dan Mark Hoven (1950)
% Ratio Plankton
Kedalaman %
1 - 10
0 – 70
10 – 20
0 – 70
20 – 30
60 – 120
30 – 40
100 – 600
40 – 50
100 – 600
50 – 60
550 – 700
60 – 70
680 – 825
70 – 80
700 – 1100
80 – 90
900 – 1200
90 – 100
1200 – 2000
Lingkungan Pengedapan Bentos
Kedalaman
% Ratio
Neritik Tepi
0 – 20
0 – 20
Neritik Tengah
20 – 100
20 – 50
Neritik Atas
100 – 200
20 – 50
Bathyal Atas
200 – 500
30 – 50
Bathyal Bawah
500 – 2000
50 – 100
B. Alat Dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan untuk menentukan lingkungan batymetri yaitu
Fosil yang belum dipisahkan 0.5 gram ( Top, Middle, Bottom.)
Timbangan
Mikroskop
Cawan tempat fosil
Jarum
Alat tulis
C. Langkah Kerja
Langkah kerja untuk menentukan lingkungan batymetrey yaitu :
Sample fosil ditimbang 0.5 gram dari masing-masing kelompok Top, Middle dan Bottom.
Sample tersebut dicampur
Sample dipisahkan 0.5 gram setiap kelompok
Dipisahkan antara plantonik dan bentonik di mikroskop dengan jarum
Lalu dijumlah dan dimasukan dalam rumus
Hasilnya dilihat dalam table
D. Lampiran
Kolom Penarikan Lingkungan Batymetry
BAB VI
PENUTUP
VI.1 Kesimpulan
Mikropaleontolgi merupakan ilmu yang mempelajari sisa organisme yang terawetkan di alam dengan mengunakan alat mikroskop ukuran fosil tersebut berukuran mikron. Mikrolitologi membahas batuan sedimen mengunakan mikroskop binokular yang di bahas, warna, tekstur, pemilahan, struktur, ukuran kristal , mineral , semen dll . pada umumnya fosil mikro yang berukuran lebih kebil dari 0,5mm, untuk mempelajainya kadang-kadang mengunakan sayatan tipis dari fosil tersebut.
Foraminifera merupakan binatang yang terdiri dari satu sel yang sangat sederhana, sel tersebut terdiri dari protoplasma dan inti (bias lebih dari satu). Ciri khas foraminifera adalah adanya pseudopodia (kaki semu) yang berfungsi sebagai alat penggerak dan menangkap mangsanya. Foraminifera sudah memiliki cangkang dimana cangkang tersebut dibentuk oleh protoplasma ataupun diambil dari bahan-bahan disekelilingnya. Pada umumnya cangkang tersebut terbuat dari zat organik ataupun anorganik dan memiliki pori-pori dengan satu atau lebih lubang yang disebut aperture.
Dalam pengambilan contoh batuan, harus memperhatikan 3 hal, yaitu : Sampling, Kualitas Sample dan Jenis Sample.
Penentuan umur absolute Umumnya di lakukan dengan menghitung waktu paruh dari unsur-unsur radioaktif yang terkandung dalam batuan tersebut.
Penentuan umur relatif adalah menbandingkan umur batuan tersebut dengan batuan lain yang sudah di ketahui atau menpunyai hubungan posisi stratigrafi yang jelas. salah satu cara penenutan umur relatif ini adalah dengan menelit kandungan fosil yang ada dalam batuan tersebut.
VI. 2. Saran
Waktu pendeskripsi fosil bisa diperpanjang lagi agar deskripsi fosil dapat maksimal.
Alat – alat laboratorium terutama untuk mikroskop seharusnya memakai mikroskop yang standar agar proses deskripsi lebih mudah.
Praktikan seharusnya diberi modul atau buku ajar agar praktikan adan asisten bisa berjalan bersamaan dan praktikan dapat belajar dirumah dengan modul atau buku yang diberi.
DAFTAR PUSTAKA
Mahap Maha, 2007. Panduan Pratikum Mikropaleontologi, UPN Veteran Yogyakarta.
Sanjoto Siwi, Defri H, Sri P.K., 2005, Buku Petunjuk Praktikum Mikropaleontologi, ISTA Yogyakarta
Sanjoto Siwi, Suharsono, 1994, Petunjuk Praktikum Mikropaleontologi Dasar ; Ordo Foraminifera, ISTA Yogyakarta
Postuma J. A., Manual of Planctonic Foraminifera, Elsevier Publishing Company Amsterdam London, New York
Katili, Dr.J & Marks, Dr.P .Geologi.Jakarta :Departement Urusan Research Nasional
Geologifugm.blogspot.com. 24 Desember 2013.,17.30 wib. Yogyakarta.
http://www.lemigas.esdm.go.id
http://www.paleontology.com
http://www.radiolaria.org/
http://www.micropaleontology.com