Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education menurut Munif Chatib Sigit Purnama
|1
Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education menurut Munif Chatib Sigit Purnama Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta E-mail:
[email protected] Golden Age Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini, Vol. 1 No. 1 April 2016 Diterina: 15 Januari 2016 Direvisi: 30 Januari 2016 Disetujui: 3 Februari 20167 DOI : e-ISSN: 2502-3519
Abastract This article aims to describe Munif Chatib thinking about materials in parenting education. This type of research is literature that emphasizes the significance of processed philosophically and theoretically used to examine the primary and secondary data sources. The process of data collection is done by reading the symbolic and semantic level, recording the data card, and coding. The data were analyzed descriptively through data reduction, data classification, data display. The analytical method used is Verstehen (understanding). The results showed that: (1) Chatib thoughts about parenting education materials based on the perspective of children and parents. He saw that the child is born it brings nature of goodness, and the development is influenced by genes and environment. Being a parent it is a precious grace of God and a golden opportunity for a good charity. Therefore, do not be afraid to get married and have children. Such views inspired and by integrating various fields of science, namely religion (al-Qur'anHadith and sirrah), developmental psychology, child psychology, and recent findings about the brain, nerves, and intelligence. (2) parenting education materials include: changing the paradigm of a child, the child's ability to explore, discover the talent of children, choosing the right school, and became a teacher for children.
KeyWord : Material, Parenting Education, Munif Chatib Abstrak Artikel ini bertujuan untuk memaparkan pemikiran Munif Chatib tentang materi-materi dalam parenting education. Jenis penelitian kepustakaan yang menekankan olahan kebermaknaan secara filosofis dan teoritis digunakan untuk meneliti sumber data primer dan skunder. Proses pengumpulan data dilakukan melalui pembacaan pada tingkat simbolik dan semantik, pencatatan pada kartu data, dan pemberian kode. Analisis data dilakukan secara deskriptif melalui reduksi data, klasifikasi data, display data. Metode analisis yang digunakan adalah verstehen (pemahaman). Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) pemikiran-pemikiran Chatib tentang materi-materi parenting education GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
2|
Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education menurut Munif Chatib Sigit Purnama
didasarkan pada perspektifnya tentang anak dan orang tua. Ia memandang bahwa anak yang dilahirkan itu membawa fitrah kebaikan, dan dalam perkembangannya dipengaruhi oleh gen dan lingkungan. Menjadi orang tua itu merupakan anugrah mulia dari Allah dan kesempatan emas untuk beramal baik. Oleh karena itu, tidak boleh takut menikah dan memiliki anak. Pandangan-pandangan tersebut terinspirasi dan dengan memadukan berbagai bidang ilmu, yaitu agama (al-Qur’an-Hadits dan sirrah), psikologi perkembangan, psikologi anak, dan temuan-temuan terkini tentang otak, saraf, dan kecerdasan. (2) Materi parenting education mencakup: merubah paradigma tentang anak, menjelajahi kemampuan anak, menemukan bakat anak, memilih sekolah yang tepat, dan menjadi guru bagi anak. Kata kunci: materi, parenting education, munif chatib This article aims to describe Munif Chatib thinking about materials in parenting education. This type of research is literature that emphasizes the significance of processed philosophically and theoretically used to examine the primary and secondary data sources. The process of data collection is done by reading the symbolic and semantic level, recording the data card, and coding. The data were analyzed descriptively through data reduction, data classification, data display. The analytical method used is Verstehen (understanding). The results showed that: (1) Chatib thoughts about parenting education materials based on the perspective of children and parents. He saw that the child is born it brings nature of goodness, and the development is influenced by genes and environment. Being a parent it is a precious grace of God and a golden opportunity for a good charity. Therefore, do not be afraid to get married and have children. Such views inspired and by integrating various fields of science, namely religion (al-Qur'anHadith and sirrah), developmental psychology, child psychology, and recent findings about the brain, nerves, and intelligence. (2) parenting education materials include: changing the paradigm of a child, the child's ability to explore, discover the talent of children, choosing the right school, and became a teacher for children. Pendahuluan Seorang anak adalah amanah yang diberikan Allah kepada orangtua. Oleh karena itu, anak haruslah dirawat, diasuh, dilindungi, dibimbing, dan dididik sebaik mungkin. Dalam konsep Islam, saat anak dilahirkan dalam keadaan lemah dan suci/fitrah, sedangkan alam sekitarnya akan memberi corak warna terhadap nilai hidup atas pendidikan agama anak didik (Zuhairini, dkk.: 2012). Kondisi lemah dan suci itulah yang mengharuskan anak memperoleh pendidikan agar nantinya menjadi manusia yang sempurna. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama dan utama bagi anak. Keluarga yang biasanya terdiri dari seorang ayah, ibu, dan para anggota muda (anak-anak) memiliki fungsi dalam pendidikan, yaitu mendidik, membimbing, dan membina anggota keluarga untuk memenuhi peranannya sebagai orang dewasa dan makhluk bermasyarakat. Di dalam keluarga anak belajar sejak dalam kandungan hingga perjalanan usia anak memasuki rumah tangga sendiri. Oleh karena itu, keluarga memiliki peran yang sangat mendasar dalam GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education menurut Munif Chatib Sigit Purnama
|3
mengoptimalkan semua potensi anak. Peran keluarga tidak dapat tergantikan sekalipun anak telah dididik di lembaga pendidikan formal maupun nonformal (Direktorat Pembinaan Anak Usia Dini: 2012). Sikap dan pengasuhan orangtua, baik secara langsung maupun tidak langsung, akan mempengaruhi kemampuan pengendalian emosi anak. Pola asuh yang baik dalam keluarga ternyata bisa membuat seorang anak mempunyai kemampuan intelektual dan fisik yang bagus, termasuk perkembangan emosi dan sosialnya. Pola asuh yang baik itu ditunjukkan dengan orangtua yang sangat mencintai, penuh perhatian, dan sangat responsif terhadap anak-anaknya (Megawangi: 2007). Ayah turut memberikan kontribusi penting bagi perkembangan anak. Pengalaman yang dialami bersama dengan ayah, akan mempengaruhi seorang anak hingga dewasa nantinya. Farid Hidayati, dkk. (2011) menggambarkan proses parenting yang melibatkan peran ayah (fathering). Tanggung jawab kebersamaan ayah dan ibu dalam menjalankan peran pengasuhan cukup tinggi, karena 86% responden menyatakan bahwa pengasuhan anak adalah tugas bersama. Temuan mengenai rata-rata waktu yang digunakan ayah dalam berinteraksi dengan anak adalah 6 jam. Secara kuantitas dapat dikatakan bahwa waktu ayah bersama anak cukup memadai untuk melakukan aktifitas bersama dengan anak. Salah satu peran penting ayah di keluarga adalah economic provider, sehingga di hari libur kerja beberapa masih melakukan aktifitas untuk mencari nafkah dengan kerja sampingan. Kenyataannya, seringkali fungsi-fungsi keluarga tidak bisa lagi dipenuhi oleh para anggota keluarga. Tidak semua orangtua mampu berperan sebagai guru emosi yang baik. Ada orangtua yang berbakat menjadi guru emosi yang baik dan ada orangtua yang tidak berbakat menjadi guru emosi yang baik. Dalam konteks demikian inilah perlunya materi-materi pengembangan emosi anak dalam parenting education agar orang tua dapat berperan menjadi guru emosi yang baik (Gottman dan DeClaire: 2013). Kurangnya pemahaman akan fungsi keluarga ditengarai menjadi sebab fungsi-fungsi tersebut harus dilaksanakan oleh pihak atau lembaga lain yang dipercaya oleh anggota keluarga sebagai pelaksana dari fungsi tersebut. Keterlibatan lembaga pendidikan di luar keluarga memiliki dampak tersendiri dalam proses tumbuh kembang anggota muda keluarga. Selain itu, keselarasan pendidikan yang dilaksanakan di lembaga PAUD dan di rumah diakui oleh para ahli pendidikan sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan pendidikan anak secara menyeluruh (Direktorat Pembinaan Anak Usia Dini: 2012). Hanya saja, kegiatan pembelajaran yang dijalankan oleh lembaga pendidikan seringkali tidak sejalan dengan apa yang telah diterima oleh anak di lingkungan rumah. Orang tua juga kadang tidak bisa sepenuhnya terlibat secara aktif dalam kegiatan pembelajaran yang diikuti oleh anak di luar rumah. Dalam beberapa tahun terakhir, keselarasan pendidikan yang dilaksanakan di lembaga PAUD dan di keluarga telah menjadi perhatian bersama, yakni dengan adanya program PAUD berbasis keluarga (parenting education). Hanya saja informasi-informasi yang berkaitan dengan program tersebut terbilang sedikit, seperti bagaimana pelaksanaannya, materi-materi pendidikan yang diberikan, model pendidikan yang digunakan, bentuk keterlibatan keluarga terhadap pendidikan anaknya di PAUD, upaya-upaya untuk meningkatkan keterlibatan. Sebagai contoh, sampai saat ini belum ada materi parenting standar yang diberikan kepada orang tua. Sebagian PAUD, menyerahkan kepada orang tua untuk menentukan materi apa
GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
4|
Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education menurut Munif Chatib Sigit Purnama
yang akan dikaji pada kegiatan parenting. Dengan demikian, diperlukan kajian khusus yang mengaji mater-materi parenting education. Salah satu pemikir dan penggerak pendidikan anak di rumah dan sekolah adalah Munif Chatib. Melalui trilogi bukunya yang berjudul Sekolahnya Manusia (2009), Gurunya Manusia (2011), dan Orangtuanya Manusia (2012), Chatib menyadarkan akan pentingnya paradigma baru dalam pendidikan, anak baik di rumah maupun di sekolah. Melalui cara berfikir bahwa setiap anak itu cerdas, setiap anak berpotensi, setiap anak adalah bintang, dan tidak ada ‘produk’ yang gagal, Ia menyadarkan para orang tua untuk dapat memberikan stimulus dan lingkungan yang tepat sesuai bakat dan minat anak. Dalam bukunya berjudul Orangtuanya Manusia (2012), Chatib memaparkan pikiranpikiran genius tentang materi-materi apa yang dibutuhkan orang tua untuk menjadi orang tua ideal. Misalnya bagaimana memberikan stimulus yang tepat untuk melejitkan kecerdasan anak, bagaimana membangkitkan rasa percaya diri anak, mengidentifikasi bakat dan minat anak, dan sebagainya. Materi-materi tersebut penting untuk dianalisis sehingga diharapkan dapat menjadi materi-materi standar dalam parenting education. Metode Berdasarkan objek material kajian ini, yaitu pemikiran seseorang yang terdapat dalam sebuah karya tulis, maka metode yang relevan digunakan adalah metode penelitian teks yang lebih menekankan olahan kebermaknaan secara filosofis dan teoritis.. Metode ini tidak menekankan pada kuantum atau jumlah, melainkan lebih menekankan pada segi kualitas secara alamiah karena menyangkut pengertian, konsep, nilai, serta ciri-ciri yang melekat pada objek penelitian lainnya. Menurut Kaelan (2011), metode ini relevan dalam studi humaniora, baik studi teks maupun studi humaniora lainnya. Sumber data primer penelitian ini adalah buku karya Munif Chatib berjudul Orangtuanya Manusia (2012), Pedoman Penyelenggaraan PAUD Berbasis Keluarga yang diterbitkan oleh Direktorat Pembinaan PAUD Kemdiknas (2012). Sedangkan sumber data sekunder adalah buku karya Munif Chatib berjudul Sekolahnya Manusia (2009), Gurunya Manusia (2011), dan web dan blog Munif Chatib dengan alamat www.munifchatib.com dan www.munifchatib.wordpress.com. Sumber-sumber tersebut diperoleh dengan cara membeli di toko buku, meminjam/membaca di perpustakan, dan melacak di internet. Tahapan pengumpulan data dilakukan melalui pembacaan pada tingkat simbolik dan semantik, pencatatan pada kartu data, dan pemberian kode. Proses analisis data dilakukan secara deskriptif, melalui tahapan reduksi data, klasifikasi data, dan display data. Untuk menentukan saling hubungan antara kategori satu dengan kategori lainnya digunakan metode analisis data verstehen (pemahaman), yaitu memahami objek penelitian melalui insight, einfuehlung serta empati dalam menangkap dan memahami pemikiran Chatib tentang materimateri parenting education.
GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education menurut Munif Chatib Sigit Purnama
|5
Hasil Penelitian
Pemikiran tentang Anak Butir-butir pemikiran Chatib tentang materi-materi parenting education dapat ditelusuri dari bagaimana ia memberikan pandangan tentang sosok anak. Menurut Chatib, setiap anak yang dilahirkan itu pada hakekatnya cenderung pada kebaikan. Dalam bukunya berjudul Orangtuanya Manusia ia menulis: “Pertanyaan terbesar: mengapa anak kita tiba-tiba berperangai merusak dan memusuhi orangtua, guru, atau temannya? Sepertinya, dia sudah bukan manusia lagi. Lalu, bagaimana sikap kita sebagai orangtua ketika menghadapi perilaku anak yang sangat negatif itu? Untuk mengatasinya, menurut saya orangtua harus kembali pada pola pikir yang benar bahwa setiap anak punya fitrah ilahiah. Fitrah ini layaknya fondasi dalam sebuah bangunan, yaitu berupa ruh yang cenderung mengenal tuhannya. Dengan fitrahnya itu sesungguhnya punya kecenderungan pada agama:…”(Chatib: 2013) Nampak sekali pandangan Chatib tentang anak tersebut sangat dipengaruhi dan berpijak pada keyakinan agamanya. Untuk mendukung pendapatnya tersebut, ia mengutip dua ayat alQur’an, yaitu QS Ar-Rum [30]:30 dan Al-A’raf [7]: 172:
َۡ َ َۡ َ ََۡ َ َ َ ٗ ۡ َ َ ه ه َ َ َ ه َ َٰ َ ه َ َ ۡ َ ۡ ََ د ِ ِين حن ِيفا ۚ ف ِطرت ٱَّلل ِ ٱل ِِت فطر ٱنلاس عليها ۚ َل تبدِيل ِلل ِق ٱَّللِۚ ذل ِك ِ فأق ِم وجهك ل ِل َ َ َ َ َ ۡ د ُ ۡ َ د ُ َ َ َٰ ه َ ك ِ َث ٱنله ٣٠ اس َل َي ۡعل ُمون كن أ ِ ٱلِين ٱلقيِم ول
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
ُ َ ُّ َ َ َ َ ۡ ُ ۡ ُ د ه َ ُ ۡ َ َ ۡ َ َ ُ ۡ َ َ ٰٓ َ ُ ۡ َ َ ۡ ُ د َ َ ٓ َك ِم ۢن ب س ِهم ألس ِإَوذ أخذ رب ِ ِن َءادم مِن ظ ُهورِهِم ذرِيتهم وأشهدهم لَع أنف ۡۖت ب ِ َربِك ۡم ِ َ ۡ ْ ََ ْ ُ َ َ َل َشه ۡدنَا ٓۚ أن َت ُقولُوا يَ ۡو َم ٱلق َيَٰ َمةِ إنها ُك هنا َع ۡن َه َٰ َذا َغَٰفل َٰ ١٧٢ ِني قالوا ب ِ ِ ِ ِ Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".
Dalam menjelaskan faktor-faktor yang menjadi penyebab mengapa anak berperangai buruk, Chatib mengutip pendapat ahli pendidikan anak, Ibrahim Amini, yaitu: melupakan Tuhan, bangga, riya, dan sombong, tidak bersyukur dan mudah putus asa, kikir dan berkeluh kesah, melampau batas, tergesa-gesa, dan suka membantah. Ia juga menawarkan solusi ketika para orang tua mendapati anak-anak berperilaku buruk dan menyimpang, yaitu dengan mengaktifkan paradigma fitrah, berdoa kepada Tuhan, dan meneliti faktor dominan yang menyebabkan anak berperangai buruk. Selain memandang bahwa anak itu dilahirkan dengan membawa fitrah, Chatib juga berpandangan bahwa anak itu mengalami perkembangan di antara genetika dan lingkungan. Faktor genetis merupakan transfer alamiah karakteristik orang tua kepada anak melalui sel-sel genetis (sel-sel kromosom) orang tua yang diturunkan kepada anak. Ia berpendapat bahwa pertumbuhan anak itu ditentukan oleh pertumbuhan gen dan pertumbuhan gen anak itu GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
6|
Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education menurut Munif Chatib Sigit Purnama
dipengaruhi faktor lingkungan. Ia menyebutkan faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan gen antara lain: nutrisi dan kebersihan lingkungan. Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa pemikiran Chatib dipengaruhi oleh pemahamannya mengenai dalil-dalil kitab suci dan pemikiran-pemikiran terbaru mengenai psikologi perkembangan anak dan temuan-temuan terbaru tentang perkembangan otak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Chatib telah memadukan ilmu-ilmu agama yang bersumber pada teks dan ilmu-ilmu umum (psikologi dan studi tentang otak). Pemikiran Chatib tersebut relevan dengan kebutuhan anak. Menurut Bronfenbrenner dan Morris (Brooks: 2011), anak memiliki kebutuhan psikologis dasar untuk: (1) Sebuah hubungan berkelanjutan dengan paling sedikit satu orang dewasa yang amat sangat mencintainya dan berkomitmen seumur hidup untuk memberikan perhatian; (2) satu orang dewasa sekunder yang ikut terikat secara emosional dan memberikan perhatian serta dukungan emosional dan dorongan bagi orang dewasa (pengasuh) lainnya; dan (3) interaksi yang stabil dan konsisten dengan pengasuh dan objek-objek di lingkungan yang membuat anak dapat mengembangkan perilaku yang lebih kompleks dan mendapatkan pengetahuan yang lebih besar tentang dunia. Menurut Chatib, orang tua harus mengetahui dan mempelajari karakter anak. Caranya adalah dengan memberikan waktu yang cukup untuk berinteraksi dan bercengkerama dengan anak. Mendasarkan pada apa yang dilakukan Rasulullah SAW, Chatib menyatakan beberapa alasan mengapa orang tua seharusnya suka bercengkerama dengan anak-anak, yaitu: (1) anak kecil suka menangis, (2) anak kecil suka main tanah, (3) anak kecil tidak punya rasa dendam, (4) anak kecil tidak pernah menyimpan sesuatu untuk esok hari, dan (5) anak kecil cepat membuat dan cepat merusak. Dengan memperbanyak waktu bercengkerama dengan anak-anak, Chatib mengidentifikasi empat keuntungan yang akan diperoleh oleh orang tua, yaitu: (1) mengetahui bakat terpendam dalam diri anak, (2) kepercayaan anak terhadap orang tua akan tumbuh subur, (3) kesiapan anak dalam menghadapi masa ketaatan, dan (4) ketenangan psikologis anak selama masa berikutnya.
Pemikiran tentang Orang Tua Chatib berpandangan bahwa saat ini ada sebagian orang yang takut menjadi orang tua dan sebagai lagi orang tua yang tidak dapat berperan sebagai orang tua yang baik. Pandangannya ini didasarkan pada pengalaman dan pengamatannya ketika banyak mendapati temantemannya memutuskan untuk tidak akan menikah dan memiliki anak, serta masalah kecukupan materi. Ada juga pasangan suami-istri yang takut memiliki anak karena tidak siap mendidik anak dari segi mental dan psikologi. Pada sisi lain, ia berpendapat bahwa dengan menikah, memiliki anak, dan menjadi orang tua itu merupakan anugrah yang besar. Ajaran Islam itu memberikan kedudukan kepada orang tua dengan sangat mulia dan istimewa. Ia mengutip QS Al-Isra’ [17]: 23,
ۡ َ ُ َ َ َ َ ُّ َ َ ه َ ۡ ُ ُ ٓ ْ ه ٓ ه َ ۡ ۡ َ س ًنا ۚ إ هما َي ۡبلُ َغ هن ع َ َِۡب أ َ َح ُد ُه َما ٓ أَو َ َ ِند َك ٱلۡك َ َٰ َٰ ۞وق َٰ َض ربك أَل تعبدوا إَِل إِياه وبِٱلو ِلي ِن إِح ِ َ ٗ لِك ُه َما فَ ََل َت ُقل ل ه ُه َما ٓ أُ دف َو ََل َت ۡن َه ۡر ُه َما َوقُل ل ه ُه َما قَ ۡو َٗل َكر ٢٣ يما ِ ّٖ ِ
GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education menurut Munif Chatib Sigit Purnama
|7
Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.”
Chatib (2012) menawarkan kiat-kiat praktis bagaimana merawat perkawinan dan ketika orang tua menjadi “hamba” sang “Raja” kecil (anak). Kiat-kiat praktis merawat perkawinan, antara lain: (1) Cinta dan kasih sayang itu adalah memberi bukan menuntut, (2) Quality time, yaitu dengan melakukan aktivitas yang melibatkan seluruh anggota keluarga, (3) Bersabar terhadap kekurangan pasangan, (4) Tidak membandingkan pasangan dengan orang lain, (5) Memusatkan perhatian pada kebaikan pasangan, seraya menerima kekurangannya, (6) Menghormati dan menghargai pasangan, (7) Hindarkan sejauh mungkin “bermain-main” dengan orang lain, (8) Saling menasehati, (9) Keep an open mind, (10) Menahan marah, memaafkan, dan mengucapkan terimakasih, (11) Menjaga kebugaran dan penampilan setiap saat, dan (12) Kesibukan pasangan suami-istri bekerja. Adapun kiat-kiat bagi orang tua ketika menghadapi anak-anak sebagai “raja kecil”, antara lain: (1) Memberikan kebebasan yang bertanggungjawab, (2) Memberi batas antara rasa ingin tahu anak dan kebiasaan, (3) Memperhatikan anak dengan santun, kelembutan, dan kasih sayang, (4) Memberikan jawaban positif atas semua pertanyaan mereka dengan menggunakan beberapa cara, yakni: metode analogi, metode sebab-akibat, metode jawaban global, (5) Tidak perlu memberikan peraturan dan kedisiplinan yang kaku dan keras, dan (6) Menemani anak dengan kuantitas pertemuan yang lebih banyak.
Materi-Materi Parenting Education Berdasarkan pandangannya tentang anak dan orang tua, Chatib menawarkan materimateri yang relevan dalam parenting education, yaitu: merubah paradigma tentang anak, menjelajahi kemampuan anak, menemukan bakat anak, memilih sekolah yang tepat, dan menjadi guru bagi anak. Merubah Paradigma Tentang Anak Materi pertama yang semestinya diberikan kepada para orang tua peserta didik dalam parenting education adalah bagaimana merubah paradigma orang tua tentang anak. Ada tiga paradigma yang seharusnya dianut oleh orang tua terhadap anak, yaitu anak kita adalah bintang, kemampuan anak kita seluas samudera, dan anak kita punya harta karun. Chatib (2012) menulis, “Saya percaya … setiap anak yang dilahirkan dari Rahim ibunya, bagaimanapun kondisinya, dia adalah masterpiece karya agung Tuhannya. Sebab Allah Swt. tidak pernah membuat produk-produk gagal. Hanya kesabaran orangtualah yang diuji.” Pola pikir orang tua yang harus diubah pertama kali adalah bagaimana memandang sosok anak itu. Paradigma yang benar adalah bagaimanapun kondisi anak, mereka adalah bintang dan juara. Menurut Chatib, Orang tua sering tak sadar bahwa mereka sendirilah yang memberikan lapisan-lapisan penghalang sehingga menganggap anak bukan bintang. Misalnya, ketika mendapati anaknya “tulalit” (proses berfikirnya lambat) banyak orang tua memberi cap sebagai anak yang bodoh dan mana mungkin bisa menjadi bintang. Ketika melihat anakanaknya suka berantem ketika di sekolah maupun di rumah, kemudian para orang tua memberinya stempel anak nakal. GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
8|
Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education menurut Munif Chatib Sigit Purnama
Pandangan-pandangan tersebutlah yang menjadi penghalang bagi anak untuk menjadi bintang dan juara. Semestinya kondisi anak itu harus dihargai sesuai dengan kemampuannya. Inilah paradigma pertama yang mestinya dikenalkan kepada para orang tua peserta didik dalam kegiatan parenting education. Chatib (2012) menulis, “Ketika kemampuan seorang anak dimaknai dengan sudut pandang yang luas, maka setiap anak akan menemukan eksistensinya.” Sudut pandang yang kedua adalah meyakini anak kita itu memiliki kemampuan seluas samudera. Paradigma ini relevan ketika banyak orang tua, bahkan guru sekolah mereduksi atau menyempitkan kemampuan anak. Banyak orang tua dan guru yang masih berpandangan bahwa anak atau siswa yang pintar itu kalau nilainya 10. Pola pikir seperti inilah yang salah menurut Chatib dan yang menyebabkan kemampuan anak tidak bisa dimaksimalkan. Anak memiliki nilai ujian 9 atau 10 adalah hasil dari sebagian kemampuan anak. Masih ada jenis-jenis kemampuan anak. Dengan mengutip pendapatnya Nasution, Chatib menyatakan bahwa kemampuan anak itu setidaknya ada tiga aspek, yaitu aspek kemampuan afektif, aspek kemampuan psikomotorik, dan aspek kemampuan kognitif. Afektif adalah aspek kemampuan anak yang berkaitan dengan nilai dan sikap. Psikomotrik adalah aspek kemampuan anak yang berkaitan dengan kemampuan gerak fissik yang memengaruhi sikap mental. Sendangkan kognitif adalah aspek kemampuan yang berkaitan dengan kegiatan berfikir. Dari uraian di atas, paradigma kedua yang semestinya dikenalkan kepada para orang tua peserta didik dalam parenting education adalah bahwa kemampuan anak itu tidak tunggal, tetapi majemuk, dimana setiap anak memiliki kecenderungan yang berbeda, tergantung bagaimana para orang tua mengasahnya. Chatib (2012) menulis: “Yakinlah … setiap anak punya harta karun dalam dirinya, seperti pesan yang dititipkan Allah kepadanya. Tugas orang tua hanya membantu menemukannya. Lalu kondisi terbaik anak kita akan menerangi dunia.” Paradigma ketiga yang penting untuk dimiliki orang tua adalah bahwa anak itu memiliki kecerdasan majemuk. Paradigma ini didasarkan pada temuan-temuan Howard Gardner. Bahwa anak kita itu memiliki kecerdasan dari 9 kecerdasan majemuk. Apabila orang tua dan lingkungannya selalu memberikan stimulus yang tepat, setiap kecerdasannya berpotensi memunculkan kemampuan-kemampuan yang dahsyat. Kesembilan kecerdasan tersebut adalah kecerdasan linguistik, kecerdasan matematis-logis, kecerdasan visual-spasial, kecerdasan musical, kecerdasan kinestetis, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan naturalis dan kecerdasan eksistensial. Setelah memahami paradigma ini para orang tua hendaknya mencari kecenderungan kecerdasan anaknya, kemudian meningkatkan kecerdasan itu secara maksimal. Hal ini didasarkan pada pendapat Gardner yang dikutip Chatib, bahwa anak-anak memiliki variasi potensi kecerdasan yang berbeda-beda. Ada yang hanya memiliki satu kecerdasan yang dominan, sedangkan yang lainnya rendah. Ada yang memiliki dua, tiga, atau bahkann semua kecerdasannya dominan. Oleh karena itu, tidak ada manusia bodoh, terutama jika stimulus yang diberikan lingkungan tepat (Chatib: 2012). Menjelajahi Kemampuan Anak Setelah memiliki paradigma yang benar tentang sosok anak, tugas orang tua adalah menjelajahi kemampuan anak. Ini menjadi materi penting dalam parenting education, yaitu bagaimana mengetahui kemampuan anak itu. banyak orang tua yang kurang mampu GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education menurut Munif Chatib Sigit Purnama
|9
menjelajahi kemampuan anak. Menurutnya hal itu karena para orang tua kebanyakan kurang memiliki kepekaan dan pembiasaan yang baik. Oleh karena itu, menjelajahi kemampuan anak dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu kepekaan dan pembiasaan. Kepekaan adalah daya pandang orang tua terhadap kemampuan anaknya. Yang perlu ditekan di sini menurut Chatib adalah bahwa kemampuan anak itu tidak tunggal, melainkan jamak. Pembiasaan adalah konsistensi dalam memandang kemampuan anak. Jika anak yang keras kepala dipandang orang tua sebagai anak yang ulet, sampai kapan pemahaman itu akan dimiliki orang tua? Jadi pembiasaan menurut Chatib adalah usaha mempertahankan paradigma. Orang tua harus berusaha mempertahankan pandangan bahwa anak mereka tekun dan ulet, misalnya, bukan keras kepala. Kebiasaan ini sampai berujung pada pembentukan mindset bahwa sebenarnya “anakku memang ulet”. Chatib (2012) juga menawarkan cara-cara praktis bagaimana menyelami kemampuan anak, seperi kebiasaan memberikan apresiasi (penghargaan) bermakna, seperti memberikan pujian yang tepat, memberikan hadiah, mendoakan kebaikan sang anak, dan kebiasaan menulis kisah dan simbol sukses anak. Menemukan Bakat Anak Chatib (2012) mendefinisikan bakat adalah aktivitas yang disukai anak yang berasal dari internal, dan lingkungan di luar diri anak yang membutuhkan aktivitas tersebut adalah minat. Menurutnya bakat kerap terlepas dari pengaruh lingkungan, walaupun ada pula sedikit pengaruhnya. Hal tersebut berbeda dengan minat yang bisa disamakan dengan kesenangan dan sifatnya bisa berubah-ubah karena dapat dipengaruhi lingkungan. keduanya (bakat dan minat) jika diarahkan dan dikembangkan dengan baik akan membuat anak memiliki kemampuan dan keterampilan tertentu. Orangtualah yang salah satunya berperan dalam mengarahkan dan mengembangkan bakat dan minat anak. Oleh karena itu, orangtua harus dapat mengidentifikasi bakat dan minat anak, disamping jangan sampai membelenggu dan menutup. Chatib (2012) mengidentifikasi beberapa hal yang dapat membelenggu dan menutup bakat dan minat anak, yang semuanya seringkali dilakukan oleh para orang tua, yaitu: (1) Melarang anak melakukan aktivitas yang disukainya, (2) Selalu menyebut anak dengan sebutan negatif, (3) Tidak memberikan kebebasan kepada anak untuk berekspresi, (4) Memberikan hukuman kepada anak dengan hukuman yang tidak mendidik, dan (5) Memberikan tekanan kepada anak terhadap prestasi di sekolah. Adapun ciri-ciri bakat anak, menurut Chatib dimulai dari kondisi anak, dimana ia dilahirkan itu dengan potensi masing-masing. Potensi itu berkembang menjadi rasa suka. Oleh karena itu, ciri-ciri bakat anak dapat diidentifikasi dari beberapa hal, yaitu: (1) Aktivitas yang disukai, (2) Bakat biasanya memunculkan banyak momen spesial, (3) Merasa nyaman mempelajari aktivitas yang disukai, (4) Bakat itu fast learner, (5) Bakat terus-menerus memunculkan minat untuk memenuhi kebutuhan anak, (6) Bakat selalu mencari jalan keluar, (7) Bakat menghasilkan karya, dan (8) Bakat menjadikan anak menyukai unjuk penampilan. Memilih Sekolah yang tepat Materi parenting berikutnya yang penting diberikan kepada orangtua adalah bagaimana mencari dan memilihkan sekolah yang tepat bagi anak. Chatib (2009) memberikan gambaran dua jenis sekolah, yaitu sekolahnya manusia dan sekolah robot. Sekolahnya manusia adalah sekolah berbasis MI (multiple intelligence), yaitu sekolah yang menghargai berbagai jenis GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
10 |
Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education menurut Munif Chatib Sigit Purnama
kecerdasan siswa. Sebaliknya sekolah robot baginya adalah sekolah yang menghasilkan sosok anak menjadi robot, pandai, namun tak punya kepedulian; cerdas namun tak bermanfaat bagi orang banyak; berpendidikan tinggi, namun tidak mempunyai rasa keadilan. Ia mengidentifikasi perbedaan ciri-ciri sekolahnya manusia dan sekolah robot sebagai berikut. Tabel 1. Perbedaan Sekolahnya Manusia dan Sekolah Robot ASPEK SEKOLAHNYA MANUSIA SEKOLAHNYA ROBOT Paradigma Setiap peserta didik adalah anak yang Masih beranggapan ada anak yang berpotensi bodoh dan tidak punya potensi apapun Penerimaan Tes dan observasi siswa berfungsi Masih menggunakan tes seleksi yang siswa baru sebagai database siswa ketat karena diharapkan mendapatkan the best input: siswa yang pandai dan tidak nakal Target Mengharga tiga ranah kemampuan Masih didominasi oleh ranah kognitif kurikulum manusia, yaitu kognitif, sebagai symbol kemampuan tertinggi psikomotorik, dan afektif Isi kurikulum Tidak padat oleh beban bidang studi, Padat oleh bidang studi dengan tetapi bermuatan kreativita, problem standar isi sangat berat dan hanya solving, character building, life skill, menekankan pada bidang studi dan unit-unit aktivitas yang sesuai tertentu dengan bakat siswa. Proses belajar- Menyenangkan: tidak membuat siswa Menegangkan sehingga membuat mengajar tegang dan stress siswa tertekan dan stress Para guru Mendidik dan mengajar dengan hati Killer, ditakuti siswanya, tidak sabar, dan kesabaran dalam menghadapi dan selalu menyalahkan siswa jika siswa dengan beragam kecerdasan ada materi yang tidak dipahami Peran guru Sebagai sang fasilitator, yaitu guru Sebagai sang penceramah, yaitu selalu memberikan kesempatan siswa selalu mengajar dengan metode untuk beraktivitas lebih banyak ceramah sehingga seluruh waktu dalam kegiatan pembelajaran dihabiskan dengan bicara, tanpa memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif Sikap guru Sebagai katalisator: selalu memantik Sebagai gladiator, pembunuh bakat bakat dan minat siswa, tidak pernah dan minat siswa, serta sering mengatakan bodoh dan nakal, serta mengelompokkan siswa dalam mendorong siswa untuk meraih kelompok siswa pandai dan siswa prestasi bodoh Strategi Menggunakan multistrategi dan Hanya menggunakan strategi atau mengajar guru memiliki kreativitas mengajar metode tunggal seumur hidup, yaitu berceramah Pelatihan guru Sekolah memiliki jadwal pelatihan Sekolah hanya memiliki sedikit sekali yang cukup, berkualitas dan terbuka jadwal pelatihan guru Soal-soal yang Soal-soal kognitif bermuatan Soal-soal kognitif saja sehingga diberikan problem solving kemampuan afektif dan GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education menurut Munif Chatib Sigit Purnama
Rapor Perkembangan siswa
Tujuan keberadaan sekolah
Menggunakan penilaian autentik yang memotret ranah kemampuan psikomotorik, afektif, dan kognitif Melihat perkembangan siswa dengan konsep ipsatif yang mengukur perkembangan siswa dari diri siswa itu sendiri berdasarkan pencapaian sebelumnya Mendapatkan pengetahuan dan keterampilan agar bermanfaat dalam kehidupan dunia dan akherat
| 11
psikomotorik siswa tidak terlihat Menggunakan penilaian kognitif saja sehingga kemampuan afektif dan psikomotorik siswa tidak terlihat Melihat perkembangan siswa hanya dengan konsep peringkat (rangking), yaitu perkembangan siswa diukur melalui perbandingan dengan siswa lain Cenderung hanya untuk persiapan menghadapi ujian
Dalam biodata bukunya berjudul “Gurunya Manusia” (2011), Chatib merumuskan sekolah unggul. Menurutnya sekolah unggul adalah sekolah yang memandang tidak ada siswa bodoh dan semua siswanya merasakan taka da satu pun pelajaran yang sulit. Ia menulis: “Betapa cantiknya sebuah proses belajar dalam sebuah kelas apabila guru memandang semua siswanya pandai dan cerdas; dan para siswanya merasakan semua pelajaran yang diajarkan mudah dan menarik. Kelas tersebut akan hidup. Keluar dari kelas tersebut, semua siswa mendapatkan pengalaman pertama yang luar biasa dan tak akan pernah lupa seumur hidup. Apabila kelas seperti itu terjadi pada jutaan kelas di sekolahsekolah di Indonesia, pasti Negara ini akan menjadi Negara maju yang diperhitungkan oleh dunia.” “Di setiap sekolah mana pun dengan kualitas apa pun, para siswanya adalah amanah yang perlu dijaga. Dan orang yang paling bertanggungjawab adalah para guru. Sekolah unggul adalah sekolah yang memiliki guru professional. Dan penyelenggara sekolah yang professional adalah yang selalu memikirkan kesejahteraan para gurunya.” Menjadi guru bagi anak Dapat dikatakan bahwa dalam seharinya anak dekat dengan beberapa pihak, yaitu orang tua, guru, dan lingkungan. Dari ketiganya nampaknya guru (sekolah) dan lingkungan adalah yang paling dekat, baru kemudian orang tua. Ini menjadi masalah dalam kepengasuhan, anakanak lebih dekat dengan lingkungan, padahal di dalam lingkungan banyak sekali hal-hal negatif yang dapat mempengaruhi anak. Semestinya orang tua dan gurulah seharusnya yang lebih dekat dengan anak. Orang-orang yang dekatlah yang berjasa pada anak. Berdasarkan pemikiran tersebut, Chatib menganggap penting bagaimana membuat orang tua sebagai guru terbaik bagi anak. Orang tua harus menjadi guru bagi anak. Oleh karena itu, bagaimana orang tua dapat menjadi guru terbaik harus dilatihkan. Orang tua semestinya memahami bagaimana anak belajar. Ia mengelompokkan aktivitas belajar menjadi tiga, yaitu: alasan mengapa anak belajar, proses bagaimana anak belajar, dan hasil dari proses belajar. Anak belajar karena alasan kebutuhan otak dan tuntutan perkembangan fisiknya. Orang tua harus memahami bahwa anak sebenarnya makhluk pembelajaran. Mengapa anak ingin terus belajar adalah karena kebutuhan otak itu sendiri. Kebutuhan otak merupakan tuntutan alami dan tidak bisa kita hentikan. Dengan demikian menurutnya, semestinya tidak ada anak yang malas belajar. Jika ada anak yang malas atau enggan, bahkan tidak mau belajar, GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
12 |
Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education menurut Munif Chatib Sigit Purnama
sebenarnya itu diakibatkan oleh proses belajar yang salah dan tidak sesuai dengan kondisi anak. Chatib (2012) menulis, “Anak belajar dengan caranya masing-masing. Kenyamanan belajar sangat menentukan hasil belajar yang maksimal.” Anak berhasil dalam belajar jika prosesnya tepat. Menurut Chatib, proses belajar merupakan kombinasi antara materi yang menarik dan cara materi itu disampaikan yang sesuai dengan gaya belajar anak. Ia mendefinisikan materi yang menarik adalah materi yang dapat menimbulkan minat anak untuk ingin mengetahui hal baru atau lebih dalam. Sedangkan cara materi itu disampaikan merupakan strategi mengajar. Untuk mengetahui hasil belajar anak, orang tua dapat melakukan konformasi, yaitu kesempatan anak untuk mengecek ulang apakah dia sudah memahami materinya. Yang penting diketahui bagi orang tua adalah bagaimana memaknai hasil belajar. Chatib memberikan beberapa makna hasil belajar yang dapat digunakan untuk mengetahui hasil belajar anak, yaitu: (1) Hasil belajar adalah perubahan perilaku dalam diri anak yang relevan dengan materi belajar. Orang tua dapat mengetahui hasil belajar anak jika ia melihat perubahan perilaku dalam diri anak. Chatib memberikan contoh, saat mempelajari tanaman, anak menjadi sangat peduli pada tanaman di rumah, sehingga dia menyiraminya setiap hari. (2) Hasil belajar adalah perubahan pola pikir anak, yaitu dari tidak tahu menjadi tahu atau dari tidak bisa menjadi bisa. Untuk melihat hasil belajar anak, orang tua cukup memberikan pertanyaan tentang materi yang dipelajari anak. Jika anak mampu menjawab tentang materi yang telah dipelajari, baik lisan maupun tulisan, berarti ia telah berhasil dalam belajar. (3) Hasil belajar adalah anak dapat membangun konsep baru. Hal ini berdasarkan pemikiran bahwa anak sebenarnya telah memiliki informasi atau pengetahuan awal dalam otaknya. Keberhasilan belajar anak tercapai jika dia mampu memunculkan konsep baru yang berhubungan dengan pengetahuan awal tersebut. Jika orang tua menemukan salah satu saja dari ketiga perubahan tersebut dalam diri anak, menurut Chatib harus dikatakan bahwa anak telah berhasil dalam belajarnya. Perlu juga para orang tua dikenalkan dengan gaya belajar. Gaya belajar sangat berkaitan dengan proses belajar. Dalam bukunya, Chatib mengulas gaya belajar anak yang didasarkan pada temuan-temuan Howard Gardner. Yang menarik adalah bagaimana Ia memberikan cara-cara bagaimana orang tua dapat mengetahui gaya belajar anak. Menurutnya ada dua cara yang dapat dilakukan orang tua, yaitu dengan mengamati kebiasaan yang disukai anak saat belajar atau menggunakan alat riset psikologis. Untuk menjadi guru bagi anak-anak, orang tua semestinya menjadi rumah sebagai sekolah kedua. Di sekolah kedua ini tugas orang tua adalah mencari tahu sejauh mana pencapaian belajar anak di sekolah. Di samping itu, orang tua bertugas membantu anaknya dalam belajar. Chatib memberikan saran bagaimana cara orang tua menemani anaknya belajar di rumah, yaitu: (1) Menyegarkan otak anak ketika pulang sekolah, dengan cara memberikan kesempatan kepada anak untuk beristirahat, memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan aktivitas yang disukainya, atau memijat-mijat kaki dan kepala anak. (2) Membebaskan anak belajar dengan gaya belajarnya sendiri. (3) Materi belajar lebih hidup dengan konsep AMBAK, yakni orang tua harus mengetahui manfaat materi belajar, sehingga dengan menceritakannya kepada anak, minatnya untuk belajar akan dapat terus terpupuk. (4) Melakukan konfirmasi yang menyenangkan untuk mengujinya, misalnya dengan pertanyaan
GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education menurut Munif Chatib Sigit Purnama
| 13
lisan, kuis, atau meminta anak dengan santai menceritakan apa yang telah dipelajari pada akhir waktu anak belajar. Memberikan proteksi bagi anak Tak dipungkiri bahwa perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi dewasa ini telah memberikan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak, selain sisi-sisi kemanfaatannya. Sebagai contoh pengaruh negatif media internet. Oleh karenanya, orang tua harus peduli, yaitu dengan memberikan pendidikan melek media. Menurut Chatib, orang tua semestinya memahami pendidikan melek media, kalau tidak nantinya anak-anaklah yang akan menjadi korban. Orang tua harus mengetahui bagaimana dampak media bagi anak-anak. Dengan demikian dalam kesehariannya orang tua dapat mengontrol anaknya ketika berinteraksi dengan media agar tidak berlebihan. Chatib juga memberikan beberapa saran praktis bagi orang tua agar dapat melindungi anak dari dampak negatif media, antara lain: (1) Memberikan pendidikan agama yang lebih dalam, (2) Mengetahui terlebih dahulu isi media informasi untuk anak-anak, (3) Mendampingi anak dalam menggunakan media informasi, (4) Membuat kesepakatan aturan menggunakan media informasi, dan (5) Menggunakan media informasi menjadi sarana belajar dan membuat proyek. Pembahasan Seperti yang telah dikemukakan pada uraian di atas, pemikiran-pemikiran Chatib tentang anak dan orang tua menjadi dasar dan perspektif baginya dalam merumuskan materi-materi parenting education. Pemikiran-pemikiran tersebut merupakan hasil perpaduan dari berbagai bidang ilmu dan sebagaiannya adalah merupakan temuan-temuan baru, seperti saraf dan otak. Chatib menyatakan bahwa seorang anak yang dilahirkan ke dunia ini dengan membawa fitrah kebaikan. Meskipun demikian, ia menyatakan bahwa pertumbuhan anak juga sangat ditentukan oleh faktor genetika dan lingkungan, dimana pertumbuhan gen itu dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Nampak jelas bahwa pandangan-pandangan Chatib tentang anak sangat dipengaruhi doktrin agama Islam. Hal ini terlihat dengan adanya beberapa kutipan ayat-ayat al-Qur’an dan karya-karya penulis muslim, seperti Ibrahim Amini. Di samping itu, Ia juga memadukan pandangan-pandangannya tentang anak dengan kajian-kajian dan temuan-temuan baru dalam bidang neurosains, seperti saraf dan sel otak. Ia misalnya mengutip pendapatnya Julia Maria Van Tiel, yang dikenal sebagai ahli saraf dalam menjelaskan penyebab disleksia. Ia juga mengutip pendapatnya Dr. Ezra Susser seorang ahli nutria ibu hamil ketika menjelaskan bagaimana gen itu bertumbuh kembang dan factor-faktor apa saja yang mempengaruhi. Ketika menjelaskan perkembangan otak, Chatib juga mengutip pendapat-pendapat dari seorang pakar neurosain Indonesia, Taufik Pasiak. Juga mengutip buku berjudul Stability and Change in Human Characteristic karya Benjamin S. Bloom. Di samping itu, pandangan Chatib tentang anak juga diinspirasi beberapa budaya masyarakat dunia. Misalnya ia menjelaskan bagaimana ibu-ibu di Jepang memilih berhenti bekerja ketika hamil dan berkonsentrasi pada janin yang dikandungnya. Juga bagaimana mereka begitu disiplin mengunjungi dokter kandungan untuk mengetahui perkembangan janinnya. Chatib juga memberikan contoh
GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
14 |
Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education menurut Munif Chatib Sigit Purnama
bagaimana setiap bayi di Finlandia mendapatkan baby box. Ini menunjukkan betapa pemerintah memiliki perhatian yang lebih terhadap generasi bangsanya. Pemikiran-pemikiran Chatib tentang materi-materi parenting education juga dilandasi oleh paradigmanya tentang sosok orang tua. Chatib berpendapat menjadi orang tua adalah anugrah yang sangat mulia dari Allah Swt. dan kesempatan emas untuk berbuat baik membentuk generasi. Oleh karena itu, Chatib menegaskan untuk jangan takut menikah dan memiliki anak. Paradigma Chatib tersebut nampak jelas dipengaruhi latar belakang keagamaan Chatib. Ia juga mengutip ayat-ayat al-Qur’an ketika menyatakan bahwa menikah adalah anugrah mulia dari Allah. Juga kutipan-kutipannya dari sirrah nabawiyah. Di samping itu, pandanganpandangannya juga bertolak dari kajian-kajian psikologi perkembangan dan psikologi anak, seperti bagaimana memberikan latihan kedisiplinan pada anak-anak. Sebagaimana pandanganya tentang anak, pandangan Chatib tentang orang tua merupakan hasil perpaduan dari berbagai disiplin, ilmu agama (al-Qur’an dan tarikh) dan psikologi (psikologi perkembangan dan psikologi anak). Bertolak dari pandangannya tentang anak dan orang tua, dalam berbagai buku karyanya, khususnya buku berjudul “Orangtuanya Manusia” banyak memberikan materi-materi yang dapat diberikan kepada orang tua dalam pendidikan pengasuhan. Jelas pula bahwa materimateri tersebut juga didasarkan dengan mengintegrasikan berbagai bidang ilmu dan temuantemuan baru dalam ilmu saraf dan otak. Materi-materi parenting yang dikembangkan Chatib juga syarat terinspirasi dari teori kecerdasan yang temukan Howard Gardner, yakni multiple intelligences. Juga temuan-temuan Thomas Amstrong yang mengaplikasikan teori multiple intelligences ke dalam kelas pembelajaran. Ada enam materi yang relevan digunakan dalam pendidikan pengasuhan, yaitu: merubah paradigma tentang anak, menjelajahi kemampuan anak, menemukan bakat anak, memilih sekolah yang tepat, menjadi guru bagi anak, dan memberikan proteksi bagi anak. Ditinjau dari ketercapaian tujuan pendidikan pengasuhan, keenam materi tersebut relevan untuk mengantarkan pencapaian tujuan pendidikan. Hal ini karena tujuan pendidikan pengasuhan agar orang tua atau orang dewasa nantinya dapat menyiapkan anak memiliki kompetensi dan siap hidup di masyarakat. Selain itu, keenam materi tersebut jika ditinjau dari teori pemrosesan informasi juga telah memenuhi kriteria suatu pesan/materi dapat diterima dengan baik. Dari kriteria novelty, yaitu kemutakhiran materi, Nampak bahwa materi-materi yang disusun Chatib memenuhi kriteria tersebut. Chatib mendasarkan pendapat-pendapatnya dari berbagai temuan terbaru dalam berbagai bidang, seperti saraf, otak, dan kecerdasan. Materi-materi tentang bagaimana orang tua meningkatkan minat dan bakat anak, menemukan kecerdasan anak merupakan materi-materi yang bermakna bagi orang tua. Ditinjau dari kriteria conflict, materi-materi parenting yang kembangkan Chatib dapat dikemas sedemikian rupa sehingga mampu menggugah informasi orang tua. Hal ini tampak misalnya ketika Chatib mengemas materi berupa tips-tips praktis yang mudah untuk diterapkan oleh orang tua. Demikian dengan berbagai cerita atau kisah nyata sebagai contohcontoh riil yang diberikan Chatib. Hal tersebut menegaskan bahwa materi-materi Chatib tidak hanya “omong kosong” akan tetapi terbukti di lapangan. Hal ini nampak ketika materi bagaimana menemukan bakat anak.
GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education menurut Munif Chatib Sigit Purnama
| 15
Ditinjau dari dari sisi proximity, materi-materi yang dikembangkan Chatib juga tidak “melangit” atau jauh dari pengalaman orang tua. Materi-materi tersebut dekat dengan dunia keseharian orang tua. Demikian halnya jika ditinjau dari sisi humor, materi-materi pengasuhan yang disusun Chatib juga dapat dikemas secara ‘humoris’ sehingga tetap menarik untuk dipahami orang tua. Simpulan Pemikiran Chatib tentang materi-materi parenting education dikembangkan dari cara pandangnya terhadap anak dan orangtua. Anak semestinya dipandang sebagai individu yang lahir dengan membawa fitrah. Sedangkan menjadi orangtua adalah sebuah anugrah yang besar dari Allah untuk dapat membantu mengembangkan fitrah anak. Paradigma tersebut merupakan hasil dari perpaduan bidang ilmu (agama, tarikh, psikologi, saraf, otak, kecerdasan dan lain sebagainya). Berpijak dari paradigma terhadap anak dan orang tua tersebut Chatib memberikan materi-materi yang relevan yang dapat dikembangkan lebih lanjut dalam kegiatan parenting education, antara lain: merubah paradigma tentang anak, menjelajahi kemampuan anak, menemukan bakat anak, memilih sekolah yang tepat, dan menjadi guru bagi anak. Materi-materi tersebut jika ditinjau dari teori pemrosesan informasi sudah memenuhi kriteria, yaitu kriteria kemutakhiran materi, menggugah informasi orang tua, sesuai dengan pengalaman orang tua, dan dapat dikemas secara humoris. Jika ditinjau dari ketercapaian tujuan, keenam materi tersebut sudah cukup untuk mencapai tujuan pendidikan pengasuhan, yaitu menyiapkan anak memiliki kompetensi dan mampu hidup di masyarakat dengan baik. Materi-materi yang dirumuskan Chatib dapat dipertimbangkan untuk dikembangkan lebih lanjut dan digunakan sebagai materi parenting education, utamanya bagi PAUD bagi lembaga setingkatnya. Program Studi Pendidikan Guru Raudlatul Athfal (RA) perlu memasukkan parenting education sebagai sebuah mata kuliah tambahan (pilihan) bagi mahasiswa. Daftar Pustaka Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini. 2012. Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini Berbasis Keluarga. Jakarta: Dirjen PAUD, Nonformal, dan Informal. Editorial Reviews dalam http://www.amazon.com/The-Heart-Parenting-EmotionallyIntelligent /dp/productdescription/0684801302/ref=dp_proddesc_0?ie=UTF8&n=283155&s=books, diakses 16 Mei 2013. Hidayati, F., Kaloeti, D.V.S., dan Karyono. 2011. Peran Ayah dalam Pengasuhan Anak. Jurnal Psikologi Undip, 9 (1).
GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
16 |
Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education menurut Munif Chatib Sigit Purnama
Brooks, J. 2011. The Process of Parenting. Terj. Rahmat Fajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kaelan. 2012. Metode Penelitian Kualitatif Interdisipliner. Yogyakarta: Paradigma. Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 58 Tahun 2009 tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini. Chatib, M. 2012. Orangtuanya Manusia. Bandung: Kaifa. --------. 2011. Gurunya Manusia. Bandung: Kaifa. --------. 2009. Sekolahnya Manusia. Bandung: Kaifa. Ratna Megawangi. 2007. Character Parenting Space: Menjadi Orangtua Cerdas untuk Membangun Karakter Anak. Bandung: Read! Publishing House. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Zuhairini, dkk. 2012. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bina Aksara. www.munifchatib.com www.munifchatib.wordpress.com
GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Optimlisasi Kemampuan Interaksi Sosial Anak di PAUD Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta Nadlifah
| 17
Optimlisasi Kemampuan Interaksi Sosial Anak di PAUD Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta Nadlifah Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta E-mail:
[email protected] Golden Age Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini, Vol. 1 No. 1 April 2016 Diterina: 14 Desember 2015 Direvisi: 21 desember 2015 Disetujui: 20 januari 2016 e-ISSN: 2502-3519 DOI :
Abstract Education is a social process that can't happen without interaction between individuals Learning is a personal and social proccess when the child is in touch with other children in building understanding and knowledge together. Generally, Early Childhood have a low social interactions skill. This is evidenced by the frequent fights with his friend and selfish. Similarly in general, children who have mental disorders such as children with autism, Down syndrome, the hearing impaired etc, has the low skill ability in social interaction and communication. children who have maximum social interaction skills will be easier to be accepted in the school environment, especially in a classroom environment. Therefore it the children of inclusion is still an early age need to be assisted in improving the ability of social interactions at school, because the period of early childhood is a period of development the right to develop, improve and optimize all the capabilities of a child, even this period is an effective time to train and familiarize children to develop social interaction skills of children.
Keyword : Optimization, social interaction, Early Childhood Educations Inklusi Abstrak Pendidikan merupakan suatu proses sosial yang tidak dapat terjadi tanpa interaksi antar pribadi. Belajar merupakan proses pribadi dan juga proses sosial ketika anak berhubungan dengan anak lainnya dalam membangun pengertian dan pengetahuan bersama. Secara umum, anak-anak usia TK dan PAUD memiliki kemampuan interaksi sosial anak masih rendah. Hal ini dibuktikan seringnya anak berkelahi dengan temannya, anak egois dan menang sendiri. Demikian juga pada umumnya, anak yang mengalami gangguan mental seperti anak autis, down syndrome , tuna rungu dan sebagainya memiliki kemampuan interaksi sosial dan komunikasi yang kurang. Kemampuan interaksi sosial yang maksimal akan lebih mudah untuk diterima di lingkungan sekolah terutama di lingkungan kelas. Terlebih lagi bagi anakanak inklusi yang masih berada di usia dini ini perlu dibantu dalam meningkatkan kemampuan interaki sosialnya di sekolah, karena anak-anak pada usia dini merupakan GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Optimlisasi Kemampuan Interaksi Sosial Anak di PAUD Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta Nadlifah
| 18
periode perkembangan yang tepat untuk mengembangkan, meningkatkan dan mengoptinalkan seluruh kemampuan yang dimiliki anak, bahkan periode ini adalah waktu yang efektif untuk melatih dan membiasakan anak untuk membangun kemampuan interaksi sosial anak. Kata Kunci: Optimalisasi,interaksi sosial, PAUD Inklusi.
Pendahuluan Anak usia taman kanak-kanak dan usia dini dengan dunianya sangat menarik untuk dipahami dalam konteks keunikannya dalam bertutur, bermain, berkarya, berinteraksi sosial serta penyelesaian masalah-masalah yang mereka hadapi sendiri. Hal ini dibutuhkan proses pendidikan yang diselenggarakan secara menyenangkan, inspiratif, menantang, memotivasi anak untuk berpartisipasi aktif memberi kesempatan untuk berkreasi dan kemandirian sesuai dengan tahap perkembangan fisik dan psikis anak. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan interaksi sosial anak sangat penting. Pendidikan merupakan suatu proses sosial yang tidak dapat terjadi tanpa interaksi antar pribadi. Belajar merupakan proses pribadi dan juga proses sosial ketika anak berhubungan dengan anak lainnya dalam membangun pengertian dan pengetahuan bersama. Dalam kenyataannya ketika anak memasuki taman kanak-kanak kebanyakan di antara mereka mulai dihadapkan pada tuntutan untuk menjadi anak yang manis, penurut dan tidak rewel. Selain itu juga berbagai aturan-aturan yang seharusnya belum perlu diterapkan pada anak mulai bermunculan, sehingga dapat mengurangi kebebasan dalam berkreasi dan mengekspresikan diri. Dalam kegiatan pembelajaran, anak dituntut untuk duduk, diam dan mendengarkan tanpa diberi kesempatan untuk menuangkan ide ataupun gagasan yang dapat mengembangkan keterampilan yang dimilikinya. Di sini guru hanya memindahkan pengetahuan atau keterampilan dari guru kepada anak seolah-olah tugas guru memberi dan anak menerima. Anak sebagai penerima pengetahuan dan keterampilan bersifat pasif, tanpa ada upaya memperbaiki diri. Secara umum, anak-anak usia TK dan PAUD memiliki kemampuan interaksi sosial anak masih rendah. Hal ini dibuktikan seringnya anak berkelahi dengan temannya, anak egois dan menang sendiri. Ada anak yang sulit diajak bekerjasama oleh temannya, ada pula anak yang takut bermain dengan salah seorang temannya, dan ada pula anak yang asyik bermain sendiri dan kurang suka bila temannya bergabung untuk bermain. Demikian pula ada umumnya, anak yang mengalami gangguan mental seperti anak autis, down syndrome. tuna rungu dan sebagainya memiliki kemampuan interaksi social dan komunikasi yang kurang. Berdasarkan studi pendahuluan di PAUD Ahsanu Amala Yogyakarta, anak-anak yang secara mental mengalami gangguan memiliki kemampuan interaksi sosialnya masih rendah. Pada saat pembelajaran, anak-anak berjalan-jalan sendiri di dalam kelas, bahkan ke luar kelas, mengambil pensil atau buku teman yang secara langsung maupun tidak langsung mengganggu kegiatan pembelajaran di kelas. Pada waktu istirahat, lebih suka menyendiri dan bermain ditempat sepi. Kondisi ini menggambarkan bahwa perlunya pengembangan kemampuan interaksi sosial anak agar anak dapat lebih mudah melakukan penyesuaian dengan GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Optimlisasi Kemampuan Interaksi Sosial Anak di PAUD Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta Nadlifah
| 19
teman dan lingkungan sekitarnya. Terlebih lagi pada anak yang secara psikologis mengalami gangguan mental. Bimo Walgito (2003: 65) mengemukakan bahwa interaksi sosial ialah hubungan antara indvidu satu dengan individu yang lain, individu satu dapat mempengaruhi individu yang lain atau sebaliknya, jadi terdapat adanya hubungan yang saling timbal balik. Hubungan tersebut dapat antara individu dengan individu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok. Kemampuan interaksi sosial yang maksimal akan lebih mudah untuk diterima di lingkungan sekolah terutama di lingkungan kelas. Terlebih lagi bagi anak-anak inklusi yang masih berada di usia dini ini perlu dibantu dalam meningkatkan kemampuan interaki sosialnya di sekolah, karena anak-anak pada usia dini merupakan periode perkembangan yang tepat untuk mengembangkan dan meningkatkan seluruh kemampuan yang dimiliki anak, bahkan periode ini adalah waktu yang efektif untuk melatih dan membiasakan anak untuk membangun kemampuan interaksi sosial anak. Metode Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yang bersifat kualitatif yaitu penelitian dimana datanya dinyatakan dalam bentuk verbal dan dianalisis tanpa menggunakan teknik statistik, apabila dalam penelitian ini terdapat angka-angka maka hanya bersifat sebagai data penunjang saja bukan data utama (Amin, 2007: 12). Digunakan pendekatan kualitatif karena dalam melakukan tindakan kepada subjek penelitian yang sangat diutamakan adalah mengungkap makna, yaitu optimalisasi kemampuan interaksi sosila anak di PAUD Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan psikologi. Psikologi berasal dari kata psyche dan logos, masing-masing kata itu mempunyai arti “Jiwa” dan “ilmu”. Psikologi adalah ilmu yang menyelediki dan membahas tentang perbuatan dan tingkah laku manusia (Zulkifli, 2003: 4). Peneliti menggunakan pendekatan ini berguna untuk memahami jiwa dan karakter anak usai dini di Paud Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta. Penelitian ini akan dilaksanakan di PAUD Inklusi Ahsanu Amala Lempongsari Sariharjo Ngaglik Sleman Yogyakarta, dengan subjek penelitiannya adalah pengelolah atau kepala sekolah, guru, peserta didik, serta orang tua peserta didik pada Paud Inklusi Ahsanu Amala.Adapun sasaran penelitian adalah anak didik yang berusia 4-5 tahun, baik yang mengalami gangguan mental seperti autis,down syndrome, dan sebagainya maupun anak yang normal. Pengambilan subjek penelitian menggunakan teknik purposive sampling (sampel bertujuan), artinya penetuan subjek yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini, misalnya orang tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi objek/situasi sosial yang diteliti. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Wawancara bebas terpimpin dipilih untuk memperoleh data dari kepala, guru, orang tua, dan anak PAUD, untuk mengetahui interaksi sosial anak, hambatan-hambatan yang dialami, dan strategi guru untuk mengoptimalkan kemampuan interaksi sosial anak. Observasi nonpartisipan dipilih untuk memperoleh data mengenai kondisi anak, kondisi sekolah, fasilitas-fasilitas sekolah dan aspek-aspek lain yang berkaitan dengan kondisi sekolah. Dokumentasi digunakan untuk GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Optimlisasi Kemampuan Interaksi Sosial Anak di PAUD Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta Nadlifah
| 20
menghimpun data tentang sejarah dan stuktur organisasi sekolah, keadaan peserta didik, guru, dan karyawan. Cara yang digunakan untuk menguji keabsahan data penelitian ini menggunakan triangulasi. Lexy Moleong (2008: 178)bahwa triangulasi data sebagai teknik pemeriksaan data dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyelidikan maupun teori. Triangulasi sumber yaitu pengecekan data dengan membandingkan dan mengecek ulang data yang diperoleh oleh informan dengan informan lainnya. Triangulasi metode yaitu dengan cara mengecek kebenaran data yang diperoleh dari informan dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda. Triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu triangulasi sumber dan metode. Dalam penelitian ini jenis analisis data menggunakan model Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2008: 337) yaitu aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga data sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data yaitu data reduction, data display, dan data conclusion drawing/verification. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Kemampuan Interaksi Sosial Anak Di PAUD Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta PAUD Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta merupakan salah satu PAUD di Yogyakarta yang memberikan layanan pendidikan inklusi. Di PAUD ini terdapat beberapa Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di antaranya di kelas Kinergarten A, dari 10 anak terdapat 4 anak yang ABK, dan Kindergarten B dari 13 anak, terdapat 2 anak yang ABK. Demikian pula di kelas Big Group, dari 11 anak, terdapat 2 anak yang ABK. Anak berkebutuhan khusus di PAUD ini terdiri dari anak Down Syndrome, tuna rungu,gangguan konsentrasi, dan autis. Anak-anak berkebutuhan khusus mengikuti proses pendidikan bersama dengan anak yang lainnnya sehingga terintegrasi dalam proses pembelajaran. Kendatipun demikian, dalam proses pembelajaran di kelas, anak berkebutuhan khusus membutuhkan pelayanan dan pendidikan khusus dalam kerangka pengembangan dirinya karena kemampuan pemahaman dan daya serap berbeda dengan anak yang tidak berkebutuhan khusus, sehingga guru membutuhkan energi yang lebih dalam memberikan pemahaman kepada anak ABK dibandingkan dengan anak lainnya. Hal ini sebagaimana di jelaskan oleh salah seorang guru yang menyatakan: “Anak-anak berkebutuhan khusus meskipun dijadikan satu kelas, tetapi dalam menerima pembelajaran dari guru memiliki kemampuan pemahaman yang berbeda dengan anak lainnya, sehingga guru pendamping ABK memberikan pemahaman ulang kepadanya”. Masing-masing kelas yang terdapat siswa ABK, memiliki 2 orang guru, 1 guru kelas dan 1 guru khusus pendamping ABK. Memberikan layanan pendidikan kepada anak ABK tidaklah mudah, karena anak ABK tidak memiliki keterampilan interaksi sosial yang sederhana sekalipun seperti melakukan kontak mata, atau menengok ketika namanya dipanggil, demikian juga dalam berkomunikasi, mereka kurang terampil menggunakan bahasa baik bahasa verbal maupun bahasa non verbal untuk berkomunikasi. Anak autis, tuna rungu, dan down syndrome memerlukan program pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan hambatan yang mereka
GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Optimlisasi Kemampuan Interaksi Sosial Anak di PAUD Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta Nadlifah
| 21
miliki.Berdasarkan penuturan dari guru pendamping dan guru kelas, dari ketiga jenis anak-anak ABK, yang memiliki tingkat kesulitan lebih tinggi dalam berinteraksi yaitu jenis down syndrome. Perilaku-perilaku anak autis dan down syndrome yang sering dikeluhkan dan membuat orang tua curiga adanya gangguan pada anaknya di antaranya kurangnya kualitas interaksi sosial dan kurangnya kualitas komunikasi timbal balik, tidak merespon apabila diajak bicara/ kurang kontak mata, serta menyendiri dan tak tertarik bermain dengan anak-anak lain. Hal ini juga dirasakan oleh guru yang mengajar di PAUD Ahsanu Amala, sebagaimana dikemukakan sebagai berikut: “Komunikasi dengan anak ABK tidak mudah, terkadang sudah dilakukan pengulangan beberapa kali juga belum ada respon, namun hal itu kami rasakan di awal-awal anak mengikuti pendidikan di sini.” Di awal-awal mengikuti pendidikan di PAUD Ahasanu Amala, anak ABK kurang dapat berinteraksi dengan anak lainnya, demikian pula sebaliknya, anak-anak normal di awal-awal proses pembelajaran, merasa sulit berinteraksi dengan anak ABK. Namun setelah dilakukan layanan dan bimbingan, anak-anak normal sudah dapat mengerti dan memahami anak-anak ABK sehingga saat ini sudah dapat belajar dan bermain bersama-sama dengan anak-anak ABK. Proses interaksi atau komunikasi anak–anak autis dapat berjalan dengan berbentuk cara komunikasi yang khas seperti berkomunikasi dengan membuat suatu tulisan untuk menyampaikan sesuatu yang ingin disampaikannya, berkomunikasi dengan mengucapkan kata ”kamu” apabila hendak menyampaikan sesuatu yang mengenai dirinya, sehingga ketika mengucapkan sesuatu yang diinginkannya ia akan berkata “kamu ingin....”, Berkomunikasi dengan mengulang kaka-kata yang telah diucapkan seseorang kepadanya. Kemampuan komunikasi anak autis dan donw syndrome mengikuti apa yang diucapkan.Orang tua yang anaknya menderita autis dan donw syndrome meminta kepada para guru PAUD Inklusi Ahsanu Amala untuk menggunakan komunikasi lisan meskipun masih sulit menerima pesan yang dikomunikasikan. Orang tua anak yang tidak berkebutuhan khusus berempati kepada anak-anak ABK sehingga menimbulkan rasa syukur atas kesempurnaan fisik pada anak. Salah satu motivasi orang tua yang anaknya tidak berkebutuhan khusus untuk menyekolahkan anakanaknya di PAUD ini ialah agar anak dapat bersosialisasi dengan teman sebaya tanpa membeda-bedakan kekurangannya, menumbuhkan rasa syukur dan empati pada anak-anak ABK. Hal ini membangun nilai positif bagi orang tua dan anak. Adanya motivasi dan perhatian yang penuh kasih sayang dari orang-orang terdekat pada akhirnya akan memberikan efek positif pada anak berkebutuhan khusus tersebut. Hal utama yang diperlukan anak berkebutuhan khusus adalah dapat diterima oleh lingkungannya sekalipun dengan segala keterbatasan yang dimilikinya. Pada awalnya, anak berkebutuhan khusus yang mampu menerima kekurangan yang ada pada dirinya terlebih dulu, akan tumbuh pula kepercayaan diri untuk mau menyatu dengan lingkungan sosialnya. Setelah lingkungan sosial mampu menerima kehadirannya, maka akan terjadi hubungan dan interaksi sosial yang baik pula. Hubungan dan interaksi sosial yang baik ini akan menjadi awal yang baik bagi perkembangan sosial anak berkebutuhan khusus dengan lingkungan masyarakat di sekitarnya. Dengan menyadari bahwa dirinya telah diterima oleh masyarakat, maka seorang anak berkebutuhan khusus akan dapat mengembangkan hubungan interpersonal yang lebih baik lagi. Orang tua yang memilihkan sekolah inklusi untuk anak berkebutuhan khusus, juga akan mendapatkan dampak positif bagi diri anak, yaitu self-esteem, diterima oleh teman sekelas, dan GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Optimlisasi Kemampuan Interaksi Sosial Anak di PAUD Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta Nadlifah
| 22
kemampuan sosial sehingga anak dapat mengenal keberagaman, mampu mengembangkan sikap empati, dapat belajar mensyukuri akan pemberian Tuhan terhadap dirinya sekalipun berbeda dari teman-teman yang lainnya. Dampak positif yang akan terlihat setelah anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi tidak hanya akan dirasakan anak, namun juga dapat dirasakan oleh masyarakat di lingkungan sekolah, lingkungan rumah, dan juga masyarakat. Dengan belajar di sekolah inklusi, anak berkebutuhan khusus akan mendapatkan pelajaran yang sama dengan anak-anak normal yang lain dari guru yang sama, serta anak juga dapat lebih belajar bersosialisasi dengan teman-teman di sekolah baik yang juga berkebutuhan khusus maupun teman-teman yang normal. Selain itu, keluarga dekat dan masyarakat di lingkungan rumah anak berkebutuhan khusus ini juga dapat ikut membantu pembelajaran anak dengan memberi dukungan, membantu saat belajar, maupun mengingatkan untuk melakukan hal-hal yang dapat mengembangkan kemampuan sosialnya. Masih ada dari kalangan orang tua siswa yang merasa anaknya kurang mendapat jaminan rasa aman di PAUD Inklusi Ahsanu Amala ini, karena anak-anak down syndrome bila kesehatannya menurun, kadang-kadang berperilaku kasar, agresif seperti memukul pada anakanak normal. Upaya antisipatif dari guru terhadap masalah tersebut adalah guru menjelaskan keberadaan ABK yang kadang berperilaku kasar, agresif dan lambat mengikuti pelajaran. Guru memberikan pemahaman dan peengertian kepada orang tua sehingga orang tua pun memahaminya sehingga orang tua yang anaknya normal sangat peduli terhadap ABK bahkan bersedia memberi informasi untuk layanan kesehatan di luar sekolah. Anak-anak autisme sebenarnya mampu untuk bersekolah di sekolah umum, sementara sebagian lainnya memerlukan pendidikan di jalur khusus. Apabila anak mampu untuk duduk diam di kelas selama jangka waktu yang cukup lama, dapat mengikuti aturan, dapat memahami instruksi orang lain, dan dapat mengendalikan emosinya ketika ada sesuatu yang tak berkenan terjadi, maka anak tersebut dapat disekolahkan di sekolah umum, bahkan tidak jarang anak autis juga memiliki intelegensi tinggi yang sama dengan anak umum lainnya, bahkan tak sedikit mereka yang telah mengikuti terapi bisa berprestasi di sekolah umum. Interaksi anak berkebutuhan khusus (ABK) di sekolah, guru memiliki peran penting dalam pengasuhan di lingkungan sekolah. Guru adalah model terpenting untuk menumbuhkan perilaku empati.Anak-anak ABK terkadang lebih menurut pada guru. Kewajiban bagi guru untuk memberikan perhatian lebih terhadap anak dengan gejala ABK. Besarnya peran guru terhadap perilaku anak, sesuai dengan hasil wawancara dan observasi di sekolah, yang telah mensosialisasikan secara luas terhadap seluruh guru, untuk memberikan perilaku yang sama kepada semua anak, baik yang normal maupun dengan kebutuhan khusus.
Hambatan dalam optimalisasi kemampuan interaksi sosial anak Inklusi di PAUD Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta Hambatan dalam optimalisasi kemampuan interaksi sosial anak Inklusi di PAUD Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta diklasifikasikan ke dalam 2 komponen, yaitu:
GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Optimlisasi Kemampuan Interaksi Sosial Anak di PAUD Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta Nadlifah
| 23
1. Siswa Gangguan proses informasi dan koneksi, seringkali menghambat anak ABK mengikuti pelajaran di sekolah umum. Anak-anak ABK lebih merespons terhadap stimulus visual, sehingga instruksi dan uraian verbal (apalagi yang panjang dalam bahasa rumit) akan sulit mereka pahami. Kecenderungan ”mono” pada diri mereka tidak memungkinkan mereka mengerjakan beberapa hal sekaligus pada satu waktu yang sama (menatap sambil mendengarkan, mendengarkan sambil menulis, dan sebagainya).Hal ini dijelaskan oleh guru pendamping anak ABK yang mengatakan: Anak-anak ABK mengalami hambatan dalam menerima pelajaran sekolah, kalimat panjang sulit mereka pahami, instruksi dan komunikasi verbal yang panjang susah dipahami sehingga guru pendamping harus mengulangi dan pelan-pelan dalam berkomunikasi. Gaya berpikir mereka yang visual membuat reaksi mereka lebih lambat daripada anak lain, dimana mereka memerlukan jeda waktu sedikit lebih lama sebelum berespons. Anak-anak ABK mengalami kesulitan memusatkan perhatian, terus menerus terdistraksi, apalagi di kelas yang sarat dengan anak dengan suara yang sangat hiruk pikuk. Salah satu kesulitanan anak autis adalah dalam hal komunikasi, dimana mereka sulit berekspresi diri. Sebagian besar dari mereka, meskipun dapat berbicara, menggunakan kalimat pendek dengan kosakata yang sederhana. Seringkali mereka bisa mengerti orang lain tapi hanya bila orang tersebut berbicara langsung kepada mereka. Itu sebabnya kadang mereka tampak seakan tidak mendengar, padahal jelas-jelas kita memanggil mereka. Anak ABK yang sulit berkata-kata/berbicara, seringkali mengungkapkan diri melalui perilaku. Semakin mereka tidak dipahami, maka mereka semakin frustrasi. Lingkungan yang kurang dapat melihat ciri ini secara obyektif akan memaksakan agar anak-anak tersebut berbicara dalam mengungkapkan diri, sehingga berakibat tekanan pada mereka yang lalu membuat mereka berperilaku negatif. Anak-anakABK juga bermasalah pada perkembangan keterampilan sosialnya, sulit berkomunikasi, kurang mampu memahami aturan-aturan dalam pergaulan, sehingga biasanya kurang memiliki banyak teman. Minat mereka yang terbatas pada orang lain di sekitarnya, sedikit banyak membuat mereka lebih senang menyendiri atau sangat pemilih dalam bergaul, mereka hanya memiliki teman yang dapat memberikan rasa aman kepada mereka, dan pada umumnya mengalami kesulitan beradaptasi dalam berbagai kelompok yang dibentuk secara acak/mendadak.
2. Guru Guru masih memiliki pemahaman dan kemampuan yang terbatas dalam berkomunikasi dengan anak-anak ABK. Sistem integrasi membawa keterpaduan anak-anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak pada umumnya, keperpaduan ini dapat menyeluruh, sebagian atau keterpaduan dalam rangka sosialisasi sehingga menuntut energi yang lebih bagi guru dalam proses pembelajaran. Peningkatan kemampuan guru yang mengajar pada kelas ABK menjadi penting, agar lebih memudahkan guru dalam mendampingi anak ABK. Menurut N. Praptiningrum (2010) kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi adalah sebagai berikut: (a) pengetahuan tentang perkembangan anak GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Optimlisasi Kemampuan Interaksi Sosial Anak di PAUD Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta Nadlifah
| 24
berkebutuhan khusus, (b) p e m a h a m a n akan pentingnya mendorong rasa penghargaan anak berkaintan dengan perkembangan, motivasi dan belajar melalui suatu interaksi positif dan berorientasi pada sumber belajar, (c) pemahaman tentang konvensi hak anak dan implikasinya terhadap implementasi pendidikan dan perkembangan semua anak, (d) pemahaman tentang pentingnya menciptakan lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran yang berkaitan dengan isi, hubungan sosial, pendekatan dan bahan pembelajaran, (e) pemahaman arti pentingnya belajar aktif dan pengembangan pemikiran kreatif dan logis, (f) pemahaman pentingnya evaluasi dan assesmen berkesinambungan oleh guru, (g) pemahaman konsep inklusi dan pengayaan serta cara pelaksanaan inklusi dan pembelajaran yang berdeferensi, (h) pemahaman terhadap hambatan belajar termasuk yang disebabkan oleh kelainan fisik maupun mental, dan (i) pemahaman konsep pendidikan berkualitas dan kebutuhan implementasi pendekatan dan metode baru. Kemampuan-kemampuan bagi seorang guru di atas merupakan modal dasar yang harus dimiliki oleh seorang guru yang mendampingi anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi. Dengan harapan program penyelenggaraan sekolah inklusi dapat terlaksana dengan baik dan sesuai dengan kebutuhan anak berkebutuhan khusus. Guru kelas berkolaborasi dengan guru pendamping khusus, sama-sama menangani memberikan pelayanan bagi anak berkebutuhan khusus sehingga potensi yang ada pada anak berkebutuhan khusus dapat berkembang dengan optimal. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa di awal-awal mengikuti pendidikan di PAUD Ahasanu Amala, anak ABK kurang dapat berinteraksi dengan anak lainnya, demikian pula sebaliknya, anak-anak normal di awal-awal proses pembelajaran, merasa sulit berinteraksi dengan anak ABK. Namun setelah dilakukan layanan dan bimbingan, anak-anak normal sudah dapat mengerti dan memahami anak-anak ABK sehingga dapat belajar dan bermain bersama-sama dengan anak-anak ABK. Hambatan dalam optimalisasi kemampuan interaksi sosial anak Inklusi di PAUD Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta diklasifikasikan ke dalam 2 komponen, yaitu hambatan dari siswa dan guru. Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat dikemukakan saran sebagai berikut: (1) Disarankan bagi guru untuk meningkatkan kesabaran dan rasa empati yang tulus kepada anakanak khususnya ABK. Demikian pula untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan kemampuan serta pemahaman dalam mendampingi ABK dengan mengikuti berbagai pelatihan, workhshop dan seminar tentang ABK. Seain itu, disarankan kepada guru untuk meningkatkan variasi atau keragaman dalam strategi pembelajaran untuk merangsang dan meningkatkan interaksi sosial anak. (2) Disarankan bagi orang tua untuk meningkatkan kepedulian terhadap ABK dan menindaklanjuti di rumah hal-hal yang telah diajarkan di sekolah.
GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Optimlisasi Kemampuan Interaksi Sosial Anak di PAUD Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta Nadlifah
| 25
Daftar Pustaka Abu Ahmadi,Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta, 2002 Bimo Walgito, Psikologi Sosial. Yogyakarta: Andi Offset, 2003 Dani Wahyu Dermawan, ”Meningkatkan interaksi Sosial Anak melalui Dinamika Kelompok Berbasis Bimbingan pada TK Tarbiyatul Athfal Mayong LOR Jepara Tahun Pelajaran 2012/2013”, Skripsi, Program Studi Bimbingan dan Konseling, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muria Kudus, 2013 Depediknas, KurikulumHasilBelajarPendidikAnakUsia Dini, (Jakarta: Depdiknas, 2002 Gerungan, Psikologi Sosial. Jakarta: Grasindo, 2000 Indar Mery Handayani, Interaksi Sosial Anak Berkebutuhan Khusus Di SD Negeri 016/016 Inklusif Samarinda (Studi Kasus Anak Penyandang Autis), eJournal Sosiatri-Sosiologi, 2013, 1 (1): 1-9 LexyMoleong, PenelitianKualitatif, Bandung: PT. RemajaRosdakarya, 2008 Maemunah Hasan, PAUD (PendidikanAnakUsia Dini), Cet II, (Yogyakarta: Diva Press, 2010 Mistio Mesa Fernanda, Afrizal Sano dan Nurfarhanah, “Hubungan antara Kemampuan Berinteraksi Sosial dengan Hasil Belajar”, Jurnal Ilmiah Konseling, Volume 1 Nomor 1 Januari 2012 Moch Amin, MetodePenelitian Bahasa Arab. Malang: HilalPustakam 2007 Musfiroh, Tadkiroatun. BerceritaUntukAnakUsia DepartemenPendidikanNasional, 2005
Dini.
(Jakarta:
N.Praptiningrum,Fenomena PenyelenggaraanPendidikan Inklusif Bagi AnakBerkebutuhan Khusus, Jumal Pendidikan Khusus Vol.7.No.2.Nopember 2010 Nasution. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito, 2003 Olsen, G. & Fuller, M. Home School Relation. Working Sucessfully with Parents and Families. Boston: Allyn and Bacon, 2003 Sarlito Wirawan Sarwono,Psikologi Umum. Jakarta: Rajawali, 2010 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001 GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Optimlisasi Kemampuan Interaksi Sosial Anak di PAUD Inklusi Ahsanu Amala Yogyakarta Nadlifah
| 26
Sugiyono. Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung:Alfabeta, 2008 Suwarjo dan Eva Imania Eliasa, 2010. 55 Permainan dalam Bimbingan dan Konseling. Yogyakarta: Paramitra Publishing, 2010 Syafrida Elisa dan Aryani Tri Wrastari, “Sikap Guru Terhadap Pendidikan Inklusi Ditinjau Dari Faktor Pembentuk Sikap”, Jurnal Psikologi Perkembangan dan Pendidikan Vol. 2, No. 01, Februari 201 Zulkifi L, Psikologi Perkembangan, Bandung: PT Remaja Rodakarya, 2003
GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Parenting Education sebagai Model Pendidikan Karakter
Anak Usia Dini Berbasis Keluarga Rohinah
| 27
Parenting Education sebagai Model Pendidikan Karakter Anak Usia Dini Berbasis Keluarga
Rohinah Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Email:
[email protected] Golden Age Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini, Vol. 1 No. 1 April 2016 Diterina: 21 Desember 2015 Direvisi: 13 Januari 2016 Disetujui: 15 Januari 2016 e-ISSN: 2502-3519 DOI :
Abstract Character education is an effort that should involve all parties, both the household and the family, the school and the school environment, and the wider community. A child will grow and develop optimally when the basic needs of the children's rights are met. But in reality often violent behavior and discrimination that actually carried out by her own parents. Violent behavior and racial discrimination by parents of children often occurs due to the psychological impact of the workload and the demands of a career outside the home or it could be due to a lack of knowledge about how to educate and assist children in the home. Hence, early childhood institutions "KB Ceria" is located in a residential Pendowo Asri, Village Pendowoharjo, Sewon, Bantul has the attention and concern for the development of character-based early childhood family. This is evidenced by the role that institutions not only provide education for young protege, but also provide education and insight about assistance to parents (parenting education) and then this organization called the Group Meeting with Parents (KPO).
Keywords: Parenting Education, Character Education, Early Childhood Abstrak Pendidikan karakter merupakan upaya yang melibatkan semua pihak, keluarga, sekolah, dan masyarakat luas. Keluarga memiliki peran dan tanggung jawab pertama dan utama dalam menjaga pertumbuhan dan perkembangan anak. Seorang anak akan tumbuh dan berkembang secara optimal manakala kebutuhan dasarnya. Namun pada kenyataannya sering terjadi perilaku kekerasan dan diskriminasi yang justru dilakukan oleh orangtuanya sendiri, sebagai dampak psikologis beban kerja dan tuntutan karir, dan terutama karena minimnya pengetahuan cara mendidik dan mendampingi anak di rumah. Sebagian orang tua lebih memilih dan mempercayakan pada lembaga pendidikan anak usia dini yang berkualitas dan unggul meski harus mengeluarkan biaya yang mahal. PAUD “KB Ceria” di Sewon, Bantul, memiliki perhatian dan kepedulian terhadap perkembangan karakter anak usia dini berbasis keluarga. Hal ini dibuktikan dengan peran lembaga yang tidak hanya memberikan pendidikan bagi anak-anak didiknya, namun juga memberikan pendidikan dan wawasan GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
28 |
Parenting Education sebagai Model Pendidikan Karakter Anak Usia Dini Berbasis Keluarga Rohinah
seputar pendampingan terhadap orang tua (parenting education) yang dinamakan dengan Kelompok Pertemuan Orang Tua (KPO). Kata Kunci: Parenting Education, Pendidikan Karakter, Anak Usia Dini Pendahuluan Pendidikan karakter akhir-akhir ini menjadi topik hangat dan ramai diperbincangkan. Merebaknya beragam kasus di negeri ini mencirikan telah terjadinya krisis nilai-nilai moralitas yang jika dibiarkan berlarut-larut dapat memicu persoalan disintegrasi bangsa dan mereduksi tatanan yang telah diwariskan oleh para leluhur bangsa ini. Terjadinya bentrokan antar warga maupun kelompok tertentu diberbagai daerah yang dipicu oleh beragam persoalan sangat mudah menyulut emosi masyarakat kita dengan menjadikan kekerasan sebagai akhir dari sebuah penyelesaian. Termasuk daerah yang selama ini dikenal damai, santun, saling asih asuh, dan jauh dari perilaku kekerasan sebagaimana Yogyakarta dan Solo. Hal ini sangat disayangkan karena kedua kota tersebut selama ini kuat untuk berpegang teguh pada warisan budaya leluhur yang selalu mengedepankan sikap dan perilaku welas asih, tepo sliro, dan mengagungkan kebersamaan(berita selengkapnya di SKH Kedaulatan Rakyat, 11/12/2012). Hal ini menunjukkan semakin mengikisnya sikap tenggangrasa, welas asih, gotong royong, serta pengakuan terhadap adanya perbedaan dan keragaman. Belum lagi hilangnya budaya malu yang terindikasi dari perilaku korup, manipulasi, penyelewengan jabatan serta krisis keteladanan dan kepemimpinan dari para tokoh elit di negeri ini menjadi fakta yang tidak terbantahkan (Nurul F. Huda, 2010:132). Realitas seperti ini hampir-hampir menjadi tontonan sehari-hari di media publik dan dilihat oleh jutaan rakyat Indonesia. Bahkan dunia pendidikan yang disebut-sebut sakral dan meniscayakan kebenaran dan kejujuran sebagai asas yang harus dipedomani tak luput dari wabah krisis moralitas. Kasus sejumlah anak sekolah diberitakan mencontek ketika ujian dan turut pula melibatkan pejabat pemerintah daerah untuk mensukseskan tindakan pembocoran soal dan jawaban Ujian Nasional (Republika, edisi Jumat, 17 Juni 2011) semakin menambah deretan panjang fenomena runtuhnya bangunan moral yang selama ini diagung-agungkan. Saat ini, dunia pendidikan telah disadarkan dari mimpi panjang yang telah melenakan dan kembali beramai-ramai mengusung satu gerakan perubahan dengan cara menghidupkan kembali pendidikan karakter. Sebagaimana yang diatur melalui UU nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Permendiknas nomor 22/2006 tentang Standar Isi, Permendiknas tentang Standar Kompetensi Lulusan, dan Inpres nomor 1/2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional tahun 2010 yang secara eksplisit memerintahkan pengembangan karakter peserta didik melalui pendidikan di sekolah di berbagai jenjang (Kemendiknas, 2010). Namun demikian, pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pihak baik rumah tangga dan keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah, serta masyarakat luas. Dalam buku Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2012 yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia tahun 2010 menjelaskan bahwa ruang lingkup GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Parenting Education sebagai Model Pendidikan Karakter
Anak Usia Dini Berbasis Keluarga Rohinah
| 29
pembangunan karakter bangsa meliputi; Lingkup Keluarga, Lingkup Satuan Pendidikan, Lingkup Pemerintahan, Lingkup Masyarakat Sipil, Lingkup Masyarakat Politik, Lingkup Dunia Usaha dan Industri, serta Lingkup Media Massa (Tadkiroatun Musfiroh, 2011:125-126). Oleh karena itu, perlu menyambung kembali hubungan dan educational networks yang mulai terputus tersebut. Pembentukan dan pendidikan karakter tersebut, tidak akan berhasil selama antar lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan. Posisi keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat memiliki peran dan tanggungjawab pertama dan utama dalam menjaga pertumbuhan dan perkembangan anak. Seorang anak akan tumbuh dan berkembang secara optimal manakala kebutuhan dasar yang menjadi hak-hak anak dapat terpenuhi. Adapun kebutuhan dasar anak mencakup kebutuhan fisik (sandang, pangan, dan papan) dan kebutuhan psikologis (dukungan, perhatian, dan kasih sayang). Pendidikan karakter di sekolah memang penting, namun kebutuhan untuk mencukupi perkembangan karakter anak, terlebih bagi anak usia dini yang sedang berada pada masa-masa keemasannya, akan lebih efektif jika keterlibatan peran keluarga – dalam hal ini orang tua sebagai pendidik utama perlu dioptimalkan. Sebaik apapun lembaga pendidikan untuk anakanak usia dini, tetap orang tua lah yang menjadi pendidik terbaik bagi putra-putrinya. Sementara peran orang tua dalam pembentukan karakter anak sangat erat terkait dengan dua hal penting, yakni gaya pengasuhan dan apa yang diajarkan terhadap anak. Padahal jika menelisik fenomena yang ada, seringkali kekerasan yang terjadi pada anak-anak justru dilakukan oleh orang terdekat mereka, yakni orang tua. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Putra cukup mencengangkan, bahwa hasil-hasil perlakuan salah (maltreated) terhadap anak yang terjadi dalam ranah publik dan domestik ternyata sebagian besar dilakukan oleh orang tua mereka (Eva Imania Eliasa:117). Hal ini tentu sangat bertentangan dengan UU RI No. 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak pasal 4 tercantum dengan jelas bahwa "Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi." Perilaku kekerasan dan diskriminasi yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak seringkali terjadi karena dampak psikologis dari beban kerja dan tuntutan karir di luar rumah atau bisa juga karena minimnya pengetahuan seputar bagaimana cara mendidik dan mendampingi anak di rumah. Bahkan pada sebagian orang tua lebih memilih dan mempercayakan pada lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) yang berkualitas dan memiliki berbagai keunggulan meski harus mengeluarkan biaya yang cukup mahal, asalkan kewajiban sebagai orang tua terpenuhi dan hak-hak anak sudah tercukupi yakni memberikan pendidikan yang layak dan berkualitas sehingga dapat meringankan beban orang tua dalam mendidik dan mengajari mereka. Namun demikian, berbeda halnya dengan lembaga pendidikan anak usia dini yang dikembangkan oleh lembaga PAUD “KB Ceria” yang berada di perumahan Pendowo Asri, Kelurahan Pendowoharjo, Sewon, Bantul. Meski keberadaan sekolah tersebut secara kualitas maupun kuantitas masih jauh dibandingkan dengan lembaga PAUD yang berada di daerah perkotaan, namun ternyata memiliki perhatian dan kepedulian terhadap perkembangan karakter anak usia dini berbasis keluarga. Hal ini dibuktikan dengan peran lembaga yang tidak hanya memberikan pendidikan bagi anak-anak didiknya, namun juga memberikan pendidikan dan wawasan seputar pendampingan
GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
30 |
Parenting Education sebagai Model Pendidikan Karakter Anak Usia Dini Berbasis Keluarga Rohinah
terhadap orang tua (parenting education) yang kemudian organisasi ini dinamakan dengan Kelompok Pertemuan Orang Tua (KPO). Organisasi ini dikelola secara swadana oleh para orang tua murid lembaga PAUD tersebut dan difasilitasi oleh pihak pengelola lembaga dan sudah berjalan selama 2 tahun, dengan agenda kegiatan pertemuan rutin satu bulan sekali untuk saling berbagi (sharing) seputar pendampingan anak dengan mendatangkan para narasumber dari berbagai bidang, di antaranya; pendidik, psikolog, konsultan pendidikan, kesehatan, ahli gizi, seksolog, dan sebagainya. Berdasarkan data-data tersebut sangat menarik untuk mengkaji lebih jauh terkait dengan program pelatihan parenting education di lembaga PAUD “KB CERIA” yang sudah berjalan selama 2 tahun ini terhadap pembentukan karakter anak usia dini berbasis keluarga. Landasan Teori Teori sistem ekologi adalah teori yang dikembangkan oleh Urie Bronfenbrenner yang fokus utamanya adalah pada konteks sosial di mana anak tinggal dan orang-orang yang memengaruhi perkembangan anak. Sistem-sistem yang memengaruhi perkembangan anak tersebut adalah mikrosistem, mesosistem, eksosistem, makrosistem, dan kronosistem. 1. Mikrosistem, yaitu setting dimana individu hidup, meliputi keluarga individu, teman-teman sebaya, sekolah, dan lingkungan. Dalam mikrosistem inilah interaksi yang paling langsung dengan agen-agen sosial berlangsung (misalnya dengan orangtua, teman sebaya, dan guru). 2. Mesosistem, yaitu meliputi hubungan antara beberapa mikrosistem atau hubungan antara beberapa konteks. Contohnya: hubungan antar pengalaman keluarga dan pengalaman sekolah, pengalaman sekolah dengan pengalaman keagamaan, dan pengalaman keluarga dengan pengalaman teman sebaya. 3. Eksosistem, yang mana dalam teori ekologi Bronfenbrenner dilibatkan ketika pengalamanpengalaman dalam setting sosial lain, dimana individu tidak memiliki peran yang aktif, mempengaruhi apa yang individu alami dalam konteks yang dekat. Misalnya, pengalaman kerja dapat mempengaruhi hubungan seorang perempuan dengan suami dan anaknya; pemerintah pusat melalui perannya dalam kualitas perawatan kesehatan dan sistem bantuan bagi manusia lanjut usia. 4. Makrosistem, yaitu meliputi kebudayaan dimana individu hidup. Kebudayaan mengacu pada pola perilaku, keyakinan, dan semua produk lain dari sekelompok manusia yang diteruskan dari generasi ke generasi. 5. Kronosistem, yaitu meliputi pemolaan peristiwa-peristiwa lingkungan dan transisi sepanjang rangkaian kehidupan dan keadaan-keadaan sosiohistoris. Misalnya, dengan mempelajari dampak perceraian terhadap anak-anak, para peneliti menemukan bahwa dampak negatif sering memuncak pada tahun pertama setelah perceraian dan dampaknya lebih negatif bagi anak laki-laki daripada anak perempuan (Rika Eka Izzati:2008). Menurut Bronfenbrenner anak dilingkupi oleh sistem keluarga yang terdiri atas ayah, ibu, sekandung, dan anggota keluarga yang lain. Selanjutnya sistem keluarga ini disebut sebagai mikro sistem. Mikrosistem dilingkupi dan dipengaruhi oleh mesosistem yang berupa lingkungan sekolah, lingkungan pekerjaan orang tua, jejaring sosial, dan peribadatan atau agama. Mesosistem sendiri dipengaruhi oleh ekso sistem berupa kebijakan pemerintah, nilai-
GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Parenting Education sebagai Model Pendidikan Karakter
Anak Usia Dini Berbasis Keluarga Rohinah
| 31
nilai dan keyakinan masyarakat, budaya, dan media. Dan selanjutnya eksosistem dipengaruhi oleh sejarah, waktu, perubahan dan perkembangan (Tadkiroatun Musfiroh:135). Dengan demikian, berdasarkan teori sistem ekologi bahwa seorang anak berkembang secara langsung dipengaruhi oleh keluarganya, dan secara tidak langsung oleh lingkungan-lingkungan yang lain. Sekilas Tentang KB Ceria Keberadaan KB Ceria yang berdiri sejak tanggal 10 Bulan Mei Tahun 2007 di Perum Pendowo Asri, Kecamatan Sewon, Kabupaten/Kota Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ini mempunyai peranan penting dalam mempersiapkan generasi masa depan dengan cara mendidik siswa di lingkungan sekitar dusun dengan sungguh-sungguh sehingga dapat melanjutkan ke pendidikan Taman Kanak-kanak, yang juga ada di dusun Pendowo atau Perumahan Pendowo Asri yaitu TK ABA Pendowoharjo Sewon. Dilihat dari segi kependudukan Dusun Pendowo atau Perumahan Pendowo Asri mempunyai jumlah penduduk sekitar 685 orang yang terdiri dari 350 laki-laki dan 335 perempuan. Dari jumlah tersebut penduduk dengan usia 0-6 tahun adalah 25 orang. Kemudian dari lingkungan dusun sekitar juga belum ada PAUD, sehingga banyak juga siswa yang berasal dari sekitar dusun Pendowo atau Perumahan Pendowo Asri. Melihat kondisi tersebut diatas maka melalui PKK Dusun Pendowo atau Perumahan Pendowo Asri dibentuklah sebuah Kelompok Bermain Ceria melalui kegiatan PKK dan Posyandu di dusun. Diharapkan dengan adanya kegiatan ini anak-anak usia dini yang belum terlayani pendidikannya dapat tertampung dan mendapatkan pendidikan yang memadai, dan juga dapat menjaring siswa untuk kebutuhan TK ABA Pendowoharjo Sewon yang terletak di Dusun Pendowo atau Perumahan Pendowo Asri, sehingga menjadikan hubungan yang erat dengan saling menguntungkan. Sampai pada tahun 2012 ini diperkirakan murid-murid yang ada di KB Ceria tidak kurang dari 30 peserta didik. Sejarah Berdirinya KPO (Kelompok Pertemuan Orang Tua) KPO sesungguhnya merupakan wadah komunikasi bagi orang tua untuk saling berbagi informasi dan pengetahuan tentang bagaimana melaksanakan pendidikan anak usia dini. Pada mulanya kegiatan parenting (KPO) yang diadakan oleh lembaga PAUD “KB Ceria” Sewon Bantul ini merupakan bentuk kerjasama antara lembaga dengan Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini Kementerian Pendidikan Nasional. Program ini merupakan bentuk penguatan PAUD berbasis keluarga yang diselenggarakan selama satu tahun atas binaan dari lembaga mitra yang telah ditunjuk. Pada waktu itu sebagai mitra yang ditunjuk adalah dari TK Budi Mulia Dua. Dan untuk memperlancar jalannya kegiatan, dibentuklah sebuah kepengurusan yang mewadahi keberlangsungan dari program ini. Kepengurusan ini dimotori oleh para wali murid sendiri dan menjadi sebuah organisasi independen di luar pengelola lembaga PAUD. Setelah sukses berjalan satu tahun program Kemendiknas ini, pihak pengelola maupun para orang tua merasakan adanya kebermaknaan dan manfaat dari proses pembelajaran dalam kegiatan tersebut. Sehingga perlu adanya “follow up” dan program keberlanjutan meski untuk hal-hal yang berkaitan dengan pendanaan dibebankan para orang tua sendiri (swadana). Dari GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
32 |
Parenting Education sebagai Model Pendidikan Karakter Anak Usia Dini Berbasis Keluarga Rohinah
sinilah, kegiatan parenting di lembaga PAUD “KB Ceria” sampai saat ini (memasuki usia 2 tahun lebih) masih bisa eksis dan cenderung mengalami peningkatan. Sementara jenis kegiatan dalam KPO berupa; Curah Pendapat, pengumpulan pendapat dari setiap anggota tanpa tanggapan antar peserta atau antara peserta dan fasilitator, serta tidak memerlukan kehadiran narasumber. Hasil yang diharapkan adalah daftar pendapat atau permasalahan sesuai topik curah pendapat. Kemudian hasilnya akan disusun menurut urutan jumlah anggota yang menyetujuinya dan dimasukkan dalam daftar hasil curah pendapat. Yang kemudian tema-tema itu akan dijadikan sebagai topik pembahasan dalam setiap pertemuan rutin secara berurutan. Sarasehan, diskusi kelompok dihadiri oleh satu atau lebih nara sumber, namun anggota kelompok dan nara sumber mempunyai kedudukan yang sama untuk mengemukakan pendapatnya. Pada kegiatan ini lebih diarahkan pada pertukaran pendapat tentang topik bahasan sarasehan, dan tidak menjadi keharusan diperoleh kesepakatan bersama. Simulasi, kegiatan dilaksanakan kelompok ditambah dengan keterlibatan anggota dalam bermain peran dan pada akhir kegiatan dilakukan diskusi tentang hal-hal yang dilakukan, dilihat dari aspek sikap yang dirasakan, pemahaman tentang pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh atau yang masih perlu diperoleh untuk melaksanakan peran tersebut. Konsultasi, lebih ditekankan pada tanya jawab yang mendalam tentang sesuatu masalah dengan seorang nara sumber atau lebih. Peran bertanya atau mengajukan masalah terletak pada peserta dan nara sumber membantu menggali hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang diajukan agar dapat memecahkan masalah yang dihadapi. Temu wicara, diskusi lebih terbuka secara dua arah. Narasumber berperan sebagai fasilitator dan moderator untuk mendistribusikan kesempatan bicara antar peserta secara adil dan seimbang. Pada akhir pertemuan, narasumber dapat menyimpulkan hasil diskusi berdasarkan pendapat para peserta. Belajar keterampilan tertentu, kegiatan lebih diarahkan pada pemberian latihan pada individu atau kelompok dengan tujuan peningkatan atau penguasaan keterampilan tertentu, baik melalui kegiatan belajar bersama maupun oleh seorang ahli. Kegiatan Kelompok Orang Tua (KPO) dalam Membangun Karakter Anak Usia Dini Berbasis Keluarga Penelitian ini mengambil sampel dari beberapa orang tua yang telah aktif mengikuti kegiatan KPO (Kelompok Pertemuan Orang Tua) yang diadakan oleh KB Ceria selama kurang lebih 2 tahun yakni sejak tahun 2010-2012. Dari data-data tersebut di atas dapat di simpulkan bahwa kebanyakan para orang tua yang telah mengikuti kegiatan KPO ini mulai terbangun kesadaran bahwa betapa pentingnya peran orang tua dalam memberikan perhatian terhadap tumbuh kembang anak di rumah. Hal ini nampak dari upaya orang tua untuk selalu memperbaiki sikap dan perilaku yang ditampakkan terhadap anak di rumah. Dan yang terpenting lagi adalah adanya kemauan dan usaha yang dilakukan oleh para orang tua untuk meminimalisir perilaku bulliying (kekerasan) terhadap anak, baik kekerasan verbal, fisik, maupun psikologis. Hal ini sebagaimana terjadi pada kasus Ibu Nining yang sebelumnya sering menampakkan perilaku emosional terhadap anaknya Natasya Aninda Putri, bahkan cenderung sering GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Parenting Education sebagai Model Pendidikan Karakter
Anak Usia Dini Berbasis Keluarga Rohinah
| 33
menggunakan bahasa-bahasa verbal yang kasar, namun setelah mengikuti kegiatan KPO mulai terbangun kesadaran bahwa sikap dan perilaku yang ditampakkan terhadap anaknya yang masih pada tahapan usia dini selama ini ada yang salah dan belum mengarah pada hal-hal yang positif. Sehingga merasa perlu banyak belajar untuk memperbaiki diri (Wawancara dengan Ibu Nining pada tanggal 20 Agustus 2012). Hasil dari kegiatan kunjungan rumah dapat disimpulkan bahwa kegiatan KPO yang diselenggarakan oleh KB Ceria sudah mengarah pada pemecahan masalah yang dihadapi oleh orang tua yang mengalami problem keluarga. Sehingga bisa memahami betul apa sebenarnya kondisi yang melatar belakangi setiap permasalahan yang dihadapi peserta didik. Karena sikap dan perilaku anak yang ditampakkan anak sesungguhnya lebih banyak diperoleh dari bentukan dalam proses pengasuhan keluarga. Meski dalam kegiatan kunjungan rumah yang dilakukan oleh KPO ini sesungguhnya masih belum mengarah pada kegiatan advokasi dan pendampingan terhadap kasus-kasus yang terjadi pada masing-masing keluarga tersebut. Baru sebatas pemecahan masalah yang bersifat kekeluargaan dan personal. Sebagaimana kasus yang menimpa pada Ibu Rohanah yang sering kali anaknya yang bernama Sutrisno Ade Saputra mendapat kekerasan dari ayah tirinya (Wawancara dengan Ibu Rohanah pada tanggal 25 Agustus 2012). Pendekatan yang dilakukan KPO baru sebatas memberikan pengarahan pada masing-masing pihak baik ayah dan ibu, untuk memperbaiki sikap dan perilaku terhadap anak-anaknya di rumah. Namun demikian, belum mengarah kepada kegiatan advokasi dan pendampingan terhadap peserta didik yang menjadi korban kekerasan. Jadi, pendekatan yang digunakan masih menggunakan pendekatan kekeluargaan dan pembinaan secara personal. Dari hasil pembacaan terhadap data di atas dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan kunjungan rumah yang menjadi target dari kegiatan ini adalah Menjadikan lingkungan keluarga yang kondusif dan komunikatif. Dalam kegiatan curah pendapat target yang ingin dicapai adalah penemuan pemecahan masalah secara bersama terhadap masalah yang dihadapi orangtua dan anak di rumah. Untuk kegiatan sarasehan target dari kegiatan ini adalah menjadikan smart parent, dan untuk kegiatan pemberian keterampilan target utamanya adalah menjadikan orang tua terampil membuat permainan edukatif di rumah. Dari hasil pembacaan terhadap data-data tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan yang sudah cukup efektif yakni curah pendapat dan sarasehan. Sedangkan kunjungan rumah dan pemberian keterampilan masih belum efektif disebabkan berbagai macam kendala di atas. Oleh karena itu masih perlu dioptimalkan lagi. Dari berbagai bentuk kegiatan yang diadakan oleh KPO ini sesungguhnya telah memuat ketiga aspek, baik kognitif, afektif, dan psikomotorik. Namun kadar dan ukurannya yang berbeda-beda. Pada bentuk kunjungan rumah dampak afektif lebih dominan, disebabkan dengan pendekatan personal, peserta merasa beban berat yang selama ini menjadi persoalan keluarga bisa di share kan kepada orang lain, dan menemukan pencerahan dari proses pendekatan secara kultural. Dengan demikian kepekaan perasaan lebih memiliki dampak yang signifikan. Demikian juga pada kegiatan curah pendapat, dengan membagi persoalan pendampingan anak pada umumnya para peserta merasa tidak sendirian, dan bisa membagi persoalan yang ada. Pendekatan ini ternyata efektif, dengan berbagai masukan dari temanteman peserta yang lain, mampu membangkitan kepekaan perasaan dan penyadaran yang cukup signifikan. GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
34 |
Parenting Education sebagai Model Pendidikan Karakter Anak Usia Dini Berbasis Keluarga Rohinah
Sementara pada kegiatan sarasehan, karena yang lebih dominan pada sesi ini adalah nara sumber, sehingga dampak kognitif sangat berpengaruh besar terhadap pengetahuan, wawasan, dan perubahan pola pikir para peserta. Pada umumnya kaum ibu para peserta pelatihan berasal dari desa, secara pendidikan juga masih rendah, akses informasi juga belum memadai, sehingga informasi yang diperoleh melalui sesi ini sangat berarti dan memberikan kebermaknaan yang cukup besar. Sedang untuk sesi pemberian pelatihan keterampilan lebih pada dampak psikomotorik nya. Dari pelatihan ini banyak para orang tua yang mencoba memberikan permainan edukatif dengan memanfaatkan bahan-bahan yang ada di rumah. Sehingga menambah kreatifitas para orang tua dalam mendampingi anak-anaknya di rumah. Hambatan dan Tantangan Kegiatan Kelompok Pertemuan Orang Tua (KPO) Hambatan dan tantangan dalam kegiatan ini di antaranya; pertama, masih minimnya kesadaran orang tua akan pentingnya kegiatan pelatihan parenting. Terlebih secara geografis letak KB Ceria berada di tengah-tengah pemukiman perumahan yang notabene eksklusif dan high class yang hampir setiap anak diserahkan kepada pengasuh (baby sitter). Sehingga keterlibatan orang tua justru tergantikan oleh para pengasuhnya. Kedua, masih rendahnya keterlibatan dan partisipasi orang tua terhadap kegiatan sekolah, terlebih lagi dari kaum ayah. Kegiatan ini hampir seluruhnya didominasi oleh para ibu. Ketiga, masih adanya anggapan bahwa kegiatan sekolah hanyalah untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan sekolah semata. Tetapi belum menjadi kebutuhan pribadi. Keempat, beragamnya latar belakang orang tua baik dari aspek pendidikan, ekonomi, sosial, dan usia. Dan kelima, masalah pendanaan. Karena masih minimnya kesadaran orang tua berimbas pula terhadap keterlibatan aktif dalam hal pendanaan. Sehingga kegiatan ini hampir seluruhnya di bebankan kepada sekolah dan pengurus. Peluang dan Kekuatan Kegiatan Kelompok Pertemuan Orang Tua (KPO) Pertama, pengelola dan pengurus yang solid untuk selalu berusaha mengembangkan kegiatan program penguatan PAUD Berbasis Keluarga sebagai wahana pendidikan orang tua. Kedua, dukungan sebagian orang tua yang merasa perlu adanya kegiatan semacam ini. Ketiga, peran serta guru-guru yang sangat antusias dalam mensukseskan kegiatan ini. Keempat, sebagian para pengasuh anak (baby sitter) justru memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pentingnya kegiatan semacam ini.
Simpulan
GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Parenting Education sebagai Model Pendidikan Karakter
Anak Usia Dini Berbasis Keluarga Rohinah
| 35
Pertama, kebanyakan para orang tua yang telah mengikuti kegiatan KPO ini mulai terbangun kesadaran bahwa betapa pentingnya peran orang tua dalam memberikan perhatian terhadap tumbuh kembang anak di rumah. Hal ini nampak dari upaya orang tua untuk selalu memperbaiki sikap dan perilaku yang ditampakkan terhadap anak di rumah. Dan yang terpenting lagi adalah adanya kemauan dan usaha yang dilakukan oleh para orang tua untuk meminimalisir perilaku bulliying (kekerasan) terhadap anak, baik kekerasan verbal, fisik, maupun psikologis. Kedua, kegiatan KPO yang diselenggarakan oleh KB Ceria sudah mengarah pada pemecahan masalah yang dihadapi oleh orang tua yang mengalami problem keluarga. Sehingga bisa memahami betul apa sebenarnya kondisi yang melatar belakangi setiap permasalahan yang dihadapi peserta didik. Karena sikap dan perilaku anak yang ditampakkan anak sesungguhnya lebih banyak diperoleh dari bentukan dalam proses pengasuhan keluarga. Meski dalam kegiatan kunjungan rumah yang dilakukan oleh KPO ini sesungguhnya masih belum mengarah pada kegiatan advokasi dan pendampingan terhadap kasus-kasus yang terjadi pada masing-masing keluarga tersebut. Baru sebatas pemecahan masalah yang bersifat kekeluargaan dan personal. Ketiga, dalam setiap bentuk kegiatan memiliki target yang berbeda-beda, di antaranya; kegiatan kunjungan rumah yang menjadi target dari kegiatan ini adalah Menjadikan lingkungan keluarga yang kondusif dan komunikatif. Dalam kegiatan curah pendapat target yang ingin dicapai adalah penemuan pemecahan masalah secara bersama terhadap masalah yang dihadapi orangtua dan anak di rumah. Untuk kegiatan sarasehan target dari kegiatan ini adalah menjadikan smart parent, dan untuk kegiatan pemberian keterampilan target utamanya adalah Menjadikan orang tua terampil membuat permainan edukatif di rumah. Keempat, di antara keempat bentuk kegiatan yang dilakukan KPO, kegiatan yang sudah cukup efektif yakni curah pendapat dan sarasehan. Sedangkan kunjungan rumah dan pemberian keterampilan masih belum efektif disebabkan berbagai macam kendala di atas. Oleh karena itu masih perlu dioptimalkan lagi. Kelima, dari berbagai bentuk kegiatan yang diadakan oleh KPO ini sesungguhnya telah memuat ketiga aspek, baik kognitif, afektif, dan psikomotorik. Namun kadar dan ukurannya yang berbeda-beda. Pada bentuk kunjungan rumah dampak afektif lebih dominan, disebabkan dengan pendekatan personal, peserta merasa beban berat yang selama ini menjadi persoalan keluarga bisa di share kan kepada orang lain, dan menemukan pencerahan dari proses pendekatan secara kultural. Dengan demikian kepekaan perasaan lebih memiliki dampak yang signifikan. Demikian juga pada kegiatan curah pendapat, dengan membagi persoalan pendampingan anak pada umumnya para peserta merasa tidak sendirian, dan bisa membagi persoalan yang ada. Pendekatan ini ternyata efektif, dengan berbagai masukan dari teman-teman peserta yang lain, mampu membangkitan kepekaan perasaan dan penyadaran yang cukup signifikan. Sementara pada kegiatan sarasehan, karena yang lebih dominan pada sesi ini adalah nara sumber, sehingga dampak kognitif sangat berpengaruh besar terhadap pengetahuan, wawasan, dan perubahan pola pikir para peserta. Pada umumnya kaum ibu para peserta pelatihan berasal dari desa, secara pendidikan juga masih rendah, akses informasi juga belum memadai, sehingga informasi yang diperoleh melalui sesi ini sangat berarti dan memberikan kebermaknaan yang cukup besar. Sedang untuk sesi pemberian pelatihan keterampilan lebih pada dampak psikomotorik nya. Dari pelatihan ini GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
36 |
Parenting Education sebagai Model Pendidikan Karakter Anak Usia Dini Berbasis Keluarga Rohinah
banyak para orang tua yang mencoba memberikan permainan edukatif dengan memanfaatkan bahan-bahan yang ada di rumah. Sehingga menambah kreatifitas para orang tua dalam mendampingi anak-anaknya di rumah. Daftar Pustaka Babbie L. Earl, The Practice of Social Research. Fifth Edition, California: Wadsworth Publishing Company, Inc., 1989. Bakker, Anton dan Achmad Charis Zubair, Metodologi Penulisan Filsafat. Jakarta: Kanisius, 1995. Danim, Sudarwan, Menjadi Penulis Kualitatif. Bandung: Pusta Setia, 2002. Dzakiyah Darajat, Menumbuhkan Minat Beragama dan Akhlak Bagi Anak dan Remaja. Bandung: Rosda Karya, 2000. E Sphero Lawrence, Emotional Intellegence. Terj. T. Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991. Huda, Nurul F, Kiat Membentuk Anak Berkarakter Hebat. Yogyakarta: Bidadari Biru, 2010. Izzaty, Rika Eka, Pengembangan Karakter Anak Melalui Pendidikan Karakter. Tinjauan Berbagai Aspek Character Building. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008. Izzaty, Rika Eka, Peran Aktivitas Pengasuhan Pada Pengasuhan Perilaku Anak Usia Dini (Kajian Psikologis Berdasarkan Teori Sistem Ekologi). Tinjauan Berbagai Aspek Character Building. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana, 2008. Kartono, Kartini, Psikologi Anak. Bandung: Penerbit Alumni, 1982. Kemendiknas, Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter di SMP. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, 2011. Kemendiknas, Panduan Pendidikan Karakter. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, 2010. Lickona, T, Educating for Character, How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books, 1992. Megawangi, Ratna, Pendidikan Karakter untuk Membangun Masyarakat Madani. Jakarta: IPPK Indonesia Heritage Foundation, 2003.
GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Parenting Education sebagai Model Pendidikan Karakter
Anak Usia Dini Berbasis Keluarga Rohinah
| 37
Musfiroh, Tadkiroatun ed, Karakter Sebagai Saripati Tumbuh Kembang Anak Usia Dini. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2011. Republika, edisi Jumat, 17 Juni 2011) Rukhiyat, Adang, Manejemen Pembinaan Ektrakurikuler. Jakarta: Dinas olah Raga dan Pemuda, 2004. SKH Kedaulatan Rakyat, 11/12/2012 Ulwan, Abdullah Nashih, Mendidik Anak Secara Islami, terj. Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2010. Zuriah, Nurul, Pendidikan Moral & Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan. Jakarta; PT. Bumi Aksara, 2007.
GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
38 |
Parenting Education sebagai Model Pendidikan Karakter Anak Usia Dini Berbasis Keluarga Rohinah
GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Dinamika Perubahan Kurikulum: Kebijakan Perubahan Kurikulum 2013 Paud Laelatul Istiqomah
| 39
Dinamika Perubahan Kurikulum: Kebijakan Perubahan Kurikulum 2013 Paud Laelatul Istiqomah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta email:
[email protected] Golden Age Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini, Vol. 1 No. 1 April 2016 Diterima: 10 Februari 2016 Direvisi : 25 Februari 2016 Disetujui: 01 Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519 DOI :
Abstract
Abstrak Salah satu permasalahan pendidikan di Indonesia adalah pada kurikulum. Seiring perkembangan dan tantangan zaman, kurikulum terus mengalami perubahan dan pengembangan yang sistematis dan terarah. Implementasi kurikulum seharusnya dapat mewujudkan visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional secara bertahap. Perubahan dan pengembangan kurikulum yang paling mendasar adalah pengembangan kurikulum pada pendidikan tingkat paling dasar yaitu Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), karena mutu Pendidikan Anak Usia Dini menentukan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia di masa yang akan datang, salah satunya yaitu dengan kurikulum 2013 PAUD. Saat ini PAUD telah mempunyai kurikulum sendiri, karena selama ini PAUD belum mempunyai kurikulum. Diharapkan Kurikulum 2013 PAUD mendorong perkembangan peserta didik secara optimal. Kata Kunci : Perubahan Kurikulum, Kurikulum PAUD 2013 GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
40 |
Dinamika Perubahan Kurikulum: Kebijakan Perubahan Kurikulum 2013 Paud Laelatul Istiqomah
Pendahuluan Dewasa ini, pendidikan anak usia dini (PAUD) telah menjadi bagian penting dari sistem pendidikan di Indonesia. Pendidik PAUD memerankan tugas yang sangat mulia, bagaimana pendidikan dalam usia emas (golden age) dapat berjalan dengan optimal. PAUD merupakan suatu tahap pendidikan yang tidak dapat diabaikan, karena ikut menentukan perkembangan dan keberhasilan anak. Dengan adanya PAUD diharapkan anak akan tumbuh dan berkembang dengan identitas diri yang kuat (Noorlaila, 2010: 8). Awal kehidupan anak merupakan masa yang paling tepat dalam memberikan dorongan atau upaya pengembangan agar anak dapat berkembang secara optimal. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam rangka pengembangan potensi tersebut adalah dengan program pendidikan yang terstruktur. Salah satu komponen untuk pendidikan yang terstruktur adalah kurikulum. Kurikulum dalam PAUD terdiri dari semua kegiatan dan pengalaman yang diikuti anak usia dini dalam pengasuhan. Lingkup perkembangan fisik/ motorik, sosial emosional, kognitif, nilai moral agama dan seni merupakan isi kurikulum secara utuh dan kurikulum dirancang sesuai dengan perkembangan (Morrisson, 2012: 207). Penyempurnaan kurikulum perlu terus menerus dilakukan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penyempurnaan kurikulum akan berhasil, bila terjadi perubahan paradigma pendidik terhadap anak dan pembelajaran. Pendidik harus mempunyai paradigma bahwa anak adalah individu yang berpotensi untuk berkembang, memiliki rasa ingin tahu dan individu yang aktif. Kurikulum memiliki struktur dan muatan yang memberi peluang pada anak untuk memperoleh sejumlah pengalaman belajar. Keberhasilan suatu kurikulum merupakan proses panjang, mulai dari kristalisasi berbagai gagasan dan konsep ideal tentang pendidikan, perumusan desain kurikulum, persiapan pendidik dan tenaga kependidikan, serta sarana dan prasarana, tata kelola pelaksanaan kurikulum (termasuk pembelajaran) dan penilaian pembelajaran dan kurikulum (Kemendikbud, 2014: 6). Dalam Peraturan Menteri No.160 tahun 2014 tentang pemberlakuan kurikulum 2006 dan kurikulum 2013 pasal 7 yang menyebutkan bahwa satuan pendidikan anak usia dini melaksanakan kurikulum 2013 sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Jadi satuan PAUD melaksanakan KTSP dan Kurikulum 2013 dengan ketentuan perundang-undangan. Ketentuan perundang-undangan kemudian diatur dalam Peraturan Menteri No. 137 tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini dan No. 146 tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 PAUD. Peraturan tersebut menyatakan bahwa saat ini PAUD telah mempunyai kurikulum sendiri, karena selama ini PAUD belum mempunyai kurikulum. Hakikat Kurikulum Istilah kurikulum digunakan pertama kali pada dunia olahraga pada zaman Yunani kuno yang berasal dari kata curir dan curere. Pada waktu itu kurikulum diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari. Orang mengistilahkannya dengan tempat berpacu atau tempat berlari dari mulai start sampai finish. Selanjutnya istilah kurikulum digunakan dalam dunia pendidikan. Para ahli pendidikan memiliki penafsiran yang berbeda tentang kurikulum, namun ada juga kesamaannya. GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Dinamika Perubahan Kurikulum: Kebijakan Perubahan Kurikulum 2013 Paud Laelatul Istiqomah
| 41
Kesamaannya adalah bahwa kurikulum berhubungan erat dengan usaha mengembangkan peserta didik sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai (Sanjaya, 2013: 3). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kurikulum adalah perangkat mata pelajaran yang diajarkan pada lembaga pendidikan (Depdikna, 2008: 1429). Pengertian kurikulum itu sendiri mengalami perubahan seiring bertambahnya tanggung jawab sekolah. J Galen Saylor dan William M. Alexander mengemukakan the curriculum is the sum total of school efforts to influence learning. Whether in classroom, on the playground, or of out school. Kurikulum menurut pengertian tersebut merupakan semua upaya sekolah untuk mempengaruhi peserta didik belajar, baik di halaman sekolah atau di luar sekolah (Arifin, 2011:2-3). Konsep kurikulum juga dikatakan sebagai suatu program atau rencana pembelajaran, seperti yang dikemukakan oleh para ahli kurikulum, seperti, Donald E. Orlosky, B. Othanel Smith, dan Peter F. Oliva, yang menyatakan bahwa kurikulum pada dasarnya adalah suatu perencanaan atau program pengalaman siswa yang diarahkan sekolah. Kurikulum sebagai suatu rencana tampaknya sejalan dengan rumusan kurikulum menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dikatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (Sanjaya, 2013:8). Pengertian tersebut banyak berhubungan dengan fungsi dan kegiatan guru sebagai pengembang kurikulum di sekolah, baik dalam dimensi rencana, dimensi kegiatan maupun dimensi hasil. Perlunya Kurikulum PAUD merupakan pendidikan yang paling fundamental karena perkembangan anak di masa selanjutnya sangat ditentukan oleh berbagai stimulasi bermakna yang diberikan sejak usia dini. Pendidikan anak usia dini harus dipersiapkan secara terencana dan bersifat holistik agar dimasa emas perkembangan anak mendapatkan distimulasi yang utuh, sehingga mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki anak. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam rangka pengembangan potensi tersebut adalah dengan program pendidikan yang terstruktur. Salah satu komponen untuk pendidikan yang terstruktur adalah kurikulum (Kemendikbud, 2014: 8). Dinamika Perubahan Kurikulum di Indonesia Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 1999, 2004, 2006 dan 2013. Dalam suatu sistem pendidikan, kurikulum itu sifatnya dinamis serta harus selalu dilakukan perubahan dan pengembangan, agar dapat mengikuti perkembangan dan tantangan zaman. Meskipun demikian, perubahan dan pengembangan harus dilakukan secara sistematis dan terarah, tidak asal berubah. Perubahan dan pengembangan kurikulum tersebut harus memiliki visi dan arah yang jelas, mau dibawa ke mana sistem pendidikan nasional dengan kurikulum tersebut (Mulyasa, 2013: 59). GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
42 |
Dinamika Perubahan Kurikulum: Kebijakan Perubahan Kurikulum 2013 Paud Laelatul Istiqomah
Implementasi kurikulum seharusnya dapat mewujudkan visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional secara bertahap, namun dalam kenyataannya seringkali menghadapi berbagai masalah dan tantangan, sehingga yang terjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan, bahkan mengalami kegagalan. Oleh karena itu, setiap perubahan kurikulum mestinya memperhatikan kondisikondisi yang dialami dalam implementasi kurikulum sebelumnya, tidak bisa serampangan juga tidak boleh terlalu dipaksakan (Mulyasa, 2013: 35). Kebiasaan bongkar pasang kurikulum ini juga menandakan bahwa perencanaan pembelajaran belum bisa terencana dengan sedemikian cermat, dipraktikkan secara efektif dan efisien. Padahal anggaran yang harus dikeluarkan untuk menyusun kurikulum membutuhkan dana yang sangat besar, yang seharusnya para konseptor dan kreator benar-benar menyusun kurikulum dengan matang. Bagan di bawah ini merupakan gambaran kasar sejarah kurikulum di Indonesia: 1. Kurikulum Rencana Pelajaran (1947-1968) a. Rencana Pelajaran 1947 Kurikulum ini merupakan kurikulum pertama yang lahir setelah masa kemerdekaan. Pada masa tersebut masih menggunakan istilah leer plan (bahasa Belanda = rencana pelajaran). Kisikisi pendidikannya lebih bersifat politis, dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Rencana Pelajaran 1947 baru dilaksanakan di sekolah-sekolah pada 1950. Bentuknya memuat dua hal pokok, yaitu: 1. Daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya; 2. Garis-garis besar pengajaran (GBP). Fokus pelajarannya pada pengembangan Pancawardhana, yaitu: 1. Daya Cipta; 2. Rasa; 3. Karsa; 4. Karya; 5. Moral. b. Rencana Pelajaran Terurai 1952 Rencana pelajaran 1947 kemudian disempurnakan menjadi renvana pelajaran 1952. Pada fase ini pendidikan sudah mulai menata tujuannya. Fokus rencana pelajarannya tidak hanya pada pendidikan watak dan perilaku saja, aspek kognitif sudah mulai diperhatikan. Selain itu pengembangannya juga sudah mulai meluas atau pada saat itu disebut dengan pengembangan pancawardhana yang mana mencakup daya cipta, rasa, karsa, karya dan moral. Mata pelajaranpun sudah diklarifikasikan dalam lima kelompok bidang studi yaitu: 1. Moral, 2. Kecerdasan, 3. Emosional/artistik, 4. Keprigelan (Keterampilan), 5. Jasmaniah. c. Kurikulum Rencana Pendidikan 1964 Pokok-pokok pikiran 1964 adalah bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD. Kurikulum 1964 juga menitik beratkan pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya dan moral, yang kemudian dikenal dengan istilah Pancawardhana. Pada saat itu pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis, yang disesuaikan dengan pengembangan anak. Sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana (Fitriya, 2014). d. Kurikulum 1968 Kurikulum 1968 dilahirkan oleh pemerintah dengan harapan dapat melakukan perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan karena kurikulum yang berlangsung sebelumnya terkesan masih diwarnai oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang cenderung mengakomodir sistemsistem yang belum sejalan dengan jiwa UUD 45. Dalam penerapannya, kurikulum 1968 diserahkan pada masing-masing sekolah atau guru, kurikulum 1968 secara nasional hanya
GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Dinamika Perubahan Kurikulum: Kebijakan Perubahan Kurikulum 2013 Paud Laelatul Istiqomah
| 43
memuat tujuan materi, metodik dan evaluasi. Hal ini berarti kurikulum 1968 telah dikembangkan dalam nuansa otonomi. 2. Kurikulum Berorientasi Pencapaian Tujuan (1975-1994) a. Kurikulum 1975 Setelah munculnya keputusan MPR No. II /MPR/1973 maka muncullah kurikulum baru yang disusun oleh pemerintah, yaitu kurikulum 1975 menggantikan kurikulum sebelumnya. Dalam kurikulum ini, konsep pendidikan ditentukan dari pusat, sehingga para guru tidak perlu berfikir untuk membuat konsep pembelajaran yang akan dilaksanakan. b. Kurikulum 1984 Dalam penyusunan kurikulum 1984 ini terdapat kebijakan yang diambil oleh pemerintah diantaranya penambahan mata pelajaran inti yang awalnya hanya berjumlah 8 menjadi 16 mata pelajaran inti ditambah lagi penambahan pelajaran pilihan yang sesuai dengan jurusan masingmasing. c. Kurikulum 1994 Kurikulum 1994 merupakan penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya yang dimaksudkan untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan sosial dimasa depan, sehingga pendidikan diarahkan pada pembentukkan karakter anak yang memiliki kemampuan dasar siap bekerja dengan skill yang baik. Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurna kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai denganUndang-undang no.2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional. Hal ini berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem caturwulan. Pembelajaran disekolah menekankan pada materi pelajaran yang cukup padat. Pada pelaksanaan kurikulum 1994, muncul beberapa persoalan yang dihadapi sehingga pada mendorong para pembuat kebijakan untuk menyempurnakan kurikulum tersebut dengan cara diberlakukannya Suplemen Kurikulum 1994. 3. Kurikulum 2004/ KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) Kurikulum Berbasis Kompetensi atau yang lebih sering kita kenal dengan KBK merupakan sebuah konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan dan penguasaan kompetensi bagi peserta didik melalui berbagai kegiatan dan pengalaman sesuai dengan standar nasional pendidikan sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, orang tua dan masyarakat (Arifin, 2011: 152). KBK pada prinsipnya adalah menggeser orientasi kurikulum yang berbasis pada kompetensi. Kurikulum lama yang berorientasi content mendorong para pengajar untuk melakukan how to know dan what should be to know. Dengan demikian para tenaga pendidik lebih tertuju agar para peserta didik dapat menguasai materi dibanding praktek pada diri peserta didik. Berbeda dengan KBK yang mana berorientasi pada kompetensi yang menuntut para pendidik untuk how to do dan what to do sehingga para peserta didik dapat “tahu apa” dan “melakukan apa”. Dalam proses KBK pendidik dituntut untuk dapat melakukan how to know (bagaimana membuat siswa memahami pengetahuan), how to be (bagaimana sesuatu yang dipelajari siswa menjadi bagian kepribadian siswa), how to do (bagaimana sesuatu yang dipelajari siswa menjadikannya dapat melakukan sesuatu) (Hasibuan, 2010: 113).
GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
44 |
Dinamika Perubahan Kurikulum: Kebijakan Perubahan Kurikulum 2013 Paud Laelatul Istiqomah
4. Kurikulum 2006/ KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) Dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP Pasal 1 ayat 15) dikemukakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Penyusunan KTSP dilakukan oleh satuan pendidikan dengan memperhatikan dan berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP). KTSP resmi diberlakukan secara nasional dengan terbitnya PP No. 19/2005 dan Pemdiknas No. 24/2006. Pengembangan KTSP berpedoman pada standar kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD), standar isi (SI), dan standar kompetensi lulusan (SKL), yang digunakan sebagai acuan pembelajaran di sekolah dengan menekankan pencapaian kemampuan minimal pada setiap tingkatan kelas dan pada akhir satuan pendidikan (Raharjo, 2010:27). 5. Kurikulum 2013 Kurikulum ini adalah kurikulum terbaru yang mulai diterapkan pada tahun ajaran 20132014. Pengembangan kurikulum 2013 ini diharapkan mampu menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, afektif melalui penguatan sikap, keterampilan dan pengetahuan yang terintegrasi. Adapun elemen yang berubah pada kurikulum 2013 ini adalah pada standar kompetensi lulusan, standar proses, standar isi, dan standar penilaian. Perlunya perubahan kurikulum juga karena adanya beberapa kelemahan yang ditemukan dalam KTSP 2006, antara lain: 1) Isi dan pesan-pesan kurikulum masih terlalu padat, 2) Kurikulum belum mengembangkan kompetensi secara utuh sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional, 3) Kompetensi yang dikembangkan lebih didominasi oleh aspek pengetahuan, belum sepenuhnya menggambarkan pribadi peserta didik (pengetahuan, keterampilan dan sikap), 4) Penilaian belum menggunakan standar penilaian berbasis kompetensi dan lain sebagainya. Selain kelemahan- kelemahan tersebut, perubahan dan pengembangan kurikulum diperlukan karena adanya beberapa kesenjangan kurikulum yang sedang berlaku sekarang (KTSP). Sejalan dengan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, maka dapat diidentifikasikan beberapa kesenjangan kurikulum sebagai berikut (Mulyasa, 2013: 61-62); KONDISI SAAT INI A. Kompetensi Lulusan 1. Belum sepenuhnya menekankan pendidikan karakter 2. Belum menghasilkan keterampilan sesuai kebutuhan 3. Pengetahuan-pengetahuan lepas
A. 1.
KONSEP IDEAL Kompetensi Lulusan Berkarakter mulia
2.
Keterampilan yang relevan
3. Pengetahuan-pengetahuan terkait B. Materi Pembelajaran B. Materi Pembelajaran 1. Belum relevan dengan 1. Relevan dengan matei yang kompetensi yang dibutuhkan dibutuhkan 2. Beban belajar terlalu berat 2. Materi esensial GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Dinamika Perubahan Kurikulum: Kebijakan Perubahan Kurikulum 2013 Paud Laelatul Istiqomah
3.
| 45
Terlalu luas, kurang mendalam
3. Sesuai dengan tingkat perkembangan anak C. Proses Pembelajaran C. Proses Pembelajaran 1. Berpusat pada guru 1. Berpusat pada peserta didik 2. Proses pembelajaran 2. Sifat pembelajaran yang berorientasi pada buku teks kontekstual 3. Buku teks hanya memuat materi 3. Buku teks memuat materi bahasan dan proses pembelajaran, sistem penilaian serta kompetensi yang diharapkan Seperti yang kita ketahui, kurikulum 2013 diterapkan di 6.221 sekolah, sejak Tahun Pelajaran 2013/2014 dan di semua sekolah di seluruh tanah air, sementara itu, Peraturan menteri nomor 159 Tahun 2014 tentang evaluasi kurikulum 2013 baru dikeluarkan tanggal 14 Oktober 2014, yaitu tiga bulan sesudah Kurikulum 2013 dilaksanakan di seluruh Indonesia. Harus diakui bahwa Indonesia menhadapi masalah yang tidak sederhana karena kurikulum 2013 ini diproses secara amat cepat dan bahkan sudah ditetapkan untuk dilaksanakan di seluruh tanah air sebelum kurikulum tersebut pernah dievaluasi secara lengkap dan menyeluruh. Maka dengan memperhatikan rekomendasi tim evaluasi implementasi kurikulum serta diskusi dengan berbagai pemangku kepentingan, menteri pendidikan memutuskan untuk: 1. Menghentikan pelaksanaan kurikulum 2013 di sekolah- sekolah yang baru menerapkan satu semester. Sekolah- sekolah ini supaya kembali menggunakan kurikulum 2006. 2. Tetap menerapkan kurikulum 2013 di sekolah-sekolah yang telah tiga semester ini menerapkan, dan menjadikan sekolah-sekolah tersebut sebagai sekolah pengembangan dan percontohan penerapan kurikulum 2013 3. Mengembalikan tugas pengembangan kurikulum 2013 kepada pusat kurikulum dan perbukuan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI( Baswedan, 2014: 1-3). Lain halnya dengan Kurikulum 2013 PAUD, yang saat ini sedang dalam proses sosialisasi dan pelatihan-pelatihan untuk para pendidik dan para pemangku kepentingan. Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini diharapkan menjadi fundamental penyiapan peserta didik menjadi lebih siap dalam memasuki jenjang pendidikan lebih tinggi. Untuk pencapaian tujuan tersebut maka perlu diberikan pedoman, pelatihan, dan acuan-acuan yang dapat dijadikan sebagai rujukan para pendidik menerapkan kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini di satuan pendidikannya. Kurikulum 2013 PAUD Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini bertujuan untuk mendorong perkembangan peserta didik secara optimal sehingga memberi dasar untuk menjadi manusia Indonesia yang memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia.
GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
46 |
Dinamika Perubahan Kurikulum: Kebijakan Perubahan Kurikulum 2013 Paud Laelatul Istiqomah
1. Struktur Kurikulum 2013 PAUD Struktur Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini merupakan pengorganisasian Kompetensi Inti, Kompetensi Dasar, muatan pembelajaran, program pengembangan, dan beban belajar. 2. Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak (STPPA) Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak merupakan kriteria minimal tentang kualifikasi perkembangan anak yang mencakup aspek nilai agama dan moral, fisik motorik, kognitif, bahasa, sosial-emosional, dan seni (Kemendikbud, 2014: 11). Aspek Nilai-nilai agama dan moral, meliputi: mengenal agama yang dianut, mengerjakan ibadah, berperilaku jujur, penolong, sopan, hormat, sportif, menjaga kebersihan diri dan lingkungan, mengetahui hari besar agama, dan menghormati (toleransi) agama orang lain. Aspek Fisik Motorik, meliputi: a. Motorik Kasar: memiliki kemampuan gerakan tubuh secara terkoordinasi, lentur, seimbang, dan lincah dan mengikuti aturan. b. Motorik Halus: memiliki kemampuan menggunakan alat untuk mengeksplorasi dan mengekspresikan diri dalam berbagai bentuk. c. Kesehatan dan Perilaku Keselamatan: memiliki berat badan, tinggi badan, lingkar kepala sesuai usia serta memiliki kemampuan untuk berperilaku hidup bersih, sehat, dan peduli terhadap keselamatannya. Aspek Kognitif, meliputi: a. Belajar dan Pemecahan Masalah: mampu memecahkan masalah sederhana dalam kehidupan sehari-hari dengan cara yang fleksibel dan diterima sosial dan menerapkan pengetahuan atau pengalaman dalam konteks yang baru. b. Berfikir logis: mengenal berbagai perbedaan, klasifikasi, pola, berinisiatif, berencana, dan mengenal sebab akibat. c. Berfikir simbolik: mengenal, menyebutkan, dan menggunakan lambang bilangan 1-10, mengenal abjad, serta mampu merepresentasikan berbagai benda dalam bentuk gambar. Aspek Bahasa, meliputi: a. Memahami (reseptif) bahasa: memahami cerita, perintah, aturan, dan menyenangi serta menghargai bacaan. b. Mengekspresikan Bahasa: mampu bertanya, menjawab pertanyaan, berkomunikasi secara lisan, menceritakan kembali apa yang diketahui c. Keaksaraan: memahami hubungan bentuk dan bunyi huruf, meniru bentuk huruf, serta memahami kata dalam cerita. Aspek Sosial-emosional, meliputi: a. Kesadaran diri: memperlihatkan kemampuan diri, mengenal perasaan sendiri dan mengendalikan diri, serta mampu menyesuaian diri dengan orang lain b. Rasa Tanggung Jawab untuk Diri dan Orang lain: mengetahui hak-haknya, mentaati aturan, mengatur diri sendiri, serta bertanggung jawab atas perilakunya untuk kebaikan sesama. c. Perilaku Prososial: mampu bermain dengan teman sebaya, memahami perasaan, merespon, berbagi, serta menghargai hak dan pendapat orang lain; bersikap kooperatif, toleran, dan berperilaku sopan.
GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Dinamika Perubahan Kurikulum: Kebijakan Perubahan Kurikulum 2013 Paud Laelatul Istiqomah
| 47
Aspek Seni, meliputi: mengeksplorasi dan mengekspresikan diri, berimaginasi dengan gerakan, musik, drama, dan beragam bidang seni lainnya (seni lukis, seni rupa, kerajinan), serta mampu mengapresiasi karya seni. 3. Kompetensi Inti Kompetensi Inti (KI) pada Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini merupakan tingkat kemampuan untuk mencapai STPP yang harus dimiliki peserta didik PAUD pada usia 6 tahun. Jadi Kompetensi Inti merupakan operasionalisasi dari STPP dalam bentuk kualitas yang harus dimiliki anak dengan berbagai kegiatan pembelajaran melalui bermain yang dilakukan di satuan PAUD. Kualitas tersebut berisi gambaran mengenai kompetensi utama yang dikelompokkan ke dalam kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Secara terstruktur kompetensi inti dimaksud mencakup: 1. Kompetensi Inti-1 (KI-1) untuk kompetensi inti sikap spiritual. 2. Kompetensi Inti-2 (KI-2) untuk kompetensi inti sikap sosial. 3. Kompetensi Inti-3 (KI-3) untuk kompetensi inti pengetahuan. 4. Kompetensi Inti-4 (KI-4) untuk kompetensi inti keterampilan. Rumusan kualitas masing-masing kompetensi inti yang harus dimiliki peserta didik terurai pada tabel di bawah ini. KOMPETENSI INTI KI-1 KI-2
KI-3
KI-4
Menerima ajaran agama yang dianutnya Memiliki perilaku hidup sehat, rasa ingin tahu, kreatif dan estetis, percaya diri, disiplin, mandiri, peduli, mampu bekerja sama, mampu menyesuaikan diri, jujur, dan santun dalam berinteraksi dengan keluarga, pendidik dan/atau pengasuh, dan teman Mengenali diri, keluarga, teman, pendidik dan/atau pengasuh, lingkungan sekitar, teknologi, seni, dan budaya di rumah, tempat bermain dan satuan PAUD dengan cara: mengamati dengan indra (melihat, mendengar, menghidu, merasa, meraba); menanya; mengumpulkan informasi; mengolah informasi/mengasosiasikan,dan mengkomunikasikan melalui kegiatan bermain Menunjukkan yang diketahui, dirasakan, dibutuhkan,dan dipikirkan melalui bahasa, musik, gerakan, dan karya secara produktif dan kreatif, serta mencerminkan perilaku anak berakhlak mulia
4. Kompetensi Dasar Kompetensi Dasar pada Kurikulum 2013 PAUD berisikan kemampuan dan muatan pembelajaran untuk suatu tema pembelajaran pada PAUD yang mengacu pada Kompetensi Inti. Kompetensi Dasar dikembangkan berdasarkan pada prinsip akumulatif, saling memperkuat dan memperkaya antar program pengembangan. Dalam merumuskan Kompetensi Dasar juga memperhatikan karakteristik peserta didik, kemampuan awal, serta ciri dari suatu program pengembangan yang hendak dikembangkan. Kompetensi Dasar dibagi menjadi empat kelompok sesuai dengan pengelompokkan kompetensi inti sebagai berikut: 1. Kelompok1:kelompok Kompetensi Dasar sikap spiritual dalam rangka menjabarkan KI-1 2. Kelompok 2: kelompok Kompetensi Dasar sikap sosial dalam rangka menjabarkan KI-2 GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
48 |
Dinamika Perubahan Kurikulum: Kebijakan Perubahan Kurikulum 2013 Paud Laelatul Istiqomah
3. Kelompok 3: kelompok Kompetensi Dasar pengetahuan dalam rangka menjabarkan KI-3 4. Kelompok 4: kelompok Kompetensi Dasar keterampilan dalam rangka menjabarkan KI-4. Uraian dari setiap Kompetensi Dasar untuk setiap kompetensi inti adalah sebagai berikut: (Kemendikbud, 2014: 13-15) KOMPETENSI INTI KI-1. Menerima ajaran agama yang dianutnya
KOMPETENSI DASAR
Mempercayai adanya Tuhan melalui ciptaan-Nya Menghargai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar sebagai rasa syukur kepada Tuhan KI-2. Memiliki perilaku hidup 2.1. Memiliki perilaku yang mencerminkan hidup sehat sehat, rasa ingin tahu, kreatif 2.2. Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap ingin dan estetis, percaya diri, disiplin, tahu mandiri, peduli, mampu 2.3. Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap bekerjasama, mampu kreatif menyesuaikan diri, jujur, dan 2.4. Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap estetis santun dalam berinteraksi 2.5. Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap dengan keluarga, pendidik percaya diri dan/atau pengasuh, dan teman 2.6. Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap taat terhadap aturan sehari-hari untuk melatih kedisiplinan 2.7. Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap sabar (mau menunggu giliran, mau mendengar ketika orang lain berbicara) untuk melatih kedisiplinan 2.8. Memiliki perilaku yang mencerminkan kemandirian 2.9. Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap peduli dan mau membantu jika diminta bantuannya 2.10. Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap kerjasama 2.11. Memiliki perilaku yang dapat menyesuaikan diri 2.12. Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap jujur 2.13. Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap santun kepada orang tua, pendidik dan/atau pengasuh, dan teman KI-3. Mengenali diri, keluarga, 3.1. Mengenal kegiatan beribadah sehari-hari teman, pendidik dan/atau 3.2. Mengenal perilaku baik sebagai cerminan akhlak pengasuh, lingkungan sekitar, mulia teknologi, seni, dan budaya di 3.3. Mengenal anggota tubuh, fungsi, dan gerakannya rumah, tempat bermain dan untuk pengembangan motorik kasar dan motorik halus satuan PAUDdengan cara: 3.4. Mengetahui cara hidup sehat mengamati dengan indra 3.5. Mengetahui cara memecahkan masalah sehari-hari (melihat, mendengar, menghidu, dan berperilaku kreatif 1.1. 1.2.
GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Dinamika Perubahan Kurikulum: Kebijakan Perubahan Kurikulum 2013 Paud Laelatul Istiqomah
KOMPETENSI INTI
| 49
KOMPETENSI DASAR
merasa, meraba); menanya; mengumpulkan informasi; mengolah informasi/ mengasosiasikan, dan mengkomunikasi-kan melalui kegiatan bermain
3.6. Mengenal benda -benda disekitarnya (nama, warna, bentuk, ukuran, pola, sifat, suara, tekstur, fungsi, dan ciri-ciri lainnya) 3.7. Mengenal lingkungan sosial (keluarga, teman, tempat tinggal, tempat ibadah, budaya, transportasi) 3.8. Mengenal lingkungan alam (hewan, tanaman, cuaca, tanah, air, batu-batuan, dll) 3.9. Mengenal teknologi sederhana (peralatan rumah tangga, peralatan bermain, peralatan pertukangan, dll) 3.10. Memahami bahasa reseptif (menyimak dan membaca) 3.11. Memahami bahasa ekspresif (mengungkapkan bahasa secara verbal dan non verbal) 3.12. Mengenal keaksaraan awal melalui bermain 3.13. Mengenal emosi diri dan orang lain 3.14. Mengenali kebutuhan, keinginan, dan minat diri 3.15. Mengenal berbagai karya dan aktivitas seni KI-4. Menunjukkan yang 4.1. Melakukan kegiatan beribadah sehari-hari dengan diketahui, dirasakan, tuntunan orang dewasa dibutuhkan, dan dipikirkan 4.2. Menunjukkan perilaku santun sebagai cerminan melalui bahasa, musik, gerakan, akhlak mulia dan karya secara produktif dan 4.3. Menggunakan anggota tubuh untuk kreatif, serta mencerminkan pengembangan motorik kasar dan halus perilaku anak berakhlak mulia 4.4. Mampu menolong diri sendiri untuk hidup sehat 4.5. Menyelesaikan masalah sehari-hari secara kreatif 4.6. Menyampaikan tentang apa dan bagaimana bendabenda disekitar yang dikenalnya (nama, warna, bentuk, ukuran, pola, sifat, suara, tekstur, fungsi, dan ciri-ciri lainnya) melalui berbagai hasil karya 4.7. Menyajikan berbagai karyanya dalam bentuk gambar, bercerita, bernyanyi, gerak tubuh, dll tentang lingkungan sosial (keluarga, teman, tempat tinggal, tempat ibadah, budaya, transportasi) 4.8. Menyajikan berbagai karyanya dalam bentuk gambar, bercerita, bernyanyi, gerak tubuh, dll tentang lingkungan alam (hewan, tanaman, cuaca, tanah, air, batubatuan, dll) 4.9. Menggunakan teknologi sederhana (peralatan rumah tangga, peralatan bermain, peralatan pertukangan, dll) untuk menyelesaikan tugas dan kegiatannya GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
50 |
Dinamika Perubahan Kurikulum: Kebijakan Perubahan Kurikulum 2013 Paud Laelatul Istiqomah
KOMPETENSI INTI
KOMPETENSI DASAR 4.10. Menunjukkan kemampuan berbahasa reseptif (menyimak dan membaca) 4.11. Menunjukkan kemampuan berbahasa ekspresif (mengungkapkan bahasa secara verbal dan non verbal) 4.12. Menunjukkan kemampuan keaksaraan awal dalam berbagai bentuk karya 4.13. Menunjukkan reaksi emosi diri secara wajar 4.14. Mengungkapkan kebutuhan, keinginan dan minat diri dengan cara yang tepat 4.15. Menunjukkan karya dan aktivitas seni dengan menggunakan berbagai media
Pendekatan pada kurikulum 2013 PAUD menggunakan Pendekatan Saintifik, dan penilaiannya menggunakan Penilaian Autentik (Authentic Assessment). Pendekatan saintifik adalah proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar peserta didik secara aktif membangun kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan melalui tahapan mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, menalar, dan mengomunikasikan. Penilaian pada anak usia dini berupa penilaian otentik. Penilaian otentik adalah jenis penilaian yang berhubungan dengan kondisi nyata dan dalam konteks yang bermakna. Penilaian otentik dilakukan pada saat anak terlibat dalam kegiatan bermain (tugas) secara mandiri atau bersama anak lain. Dengan demikian penilaian anak usia dini harus dilakukan secara alami, pada saat anak terlibat dalam kegiatan (tugas) selama bermain sehari-hari. Penilaian mencakup seluruh aspek perkembangan anak. Aspek yang dinilai oleh pendidik mencakup semua program pengembangan yang ada dalam Kompetensi Dasar (KD) terdiri dari 4 ranah yakni: kompetensi sikap religius, sikap sosial, pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan usia dan tahap perkembangan anak. Dalam proses pelaksanaan penilaian di RA atau PAUD yang sesuai dengan kurikulum 2013 adalah melalui tiga tahapan yaitu: Pertama, Pengamatan dan Pencatatan, Kedua, Pengolahan dan yang Ketiga adalah Pelaporan. Secara sederhana bagannya adalah sebagai berikut (Tim Instruktur Nasional, 2015):
GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Dinamika Perubahan Kurikulum: Kebijakan Perubahan Kurikulum 2013 Paud Laelatul Istiqomah
Pengamatan & Pencatatan
Catatan Anekdot
Catatan Harian
Hasil Observasi
Hasil Karya
Pengolahan
Analisa (Hub.Data & KD)
Checklist
Analisa (Hub.Data & KD)
| 51
Pelaporan
Aspek Perkemb. KD + I/C
LPA (Narasi)
Kekuatan Rekomendasi
Dari gambaran umum tentang Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini, menunjukkan bahwa Kurikulum 2013 PAUD adalah kurikulum yang relevan pada anak usia dini, karena proses pembelajaran yang dirancang mempunyai tujuan agar peserta didik aktif dalam kegiatan/ bermain dan guru harus memperhatikan karakteristik peserta didik, kemampuan awal, serta ciri dari suatu program pengembangan yang hendak dikembangkan. Simpulan Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 1999, 2004, 2006 dan 2013. Perubahan dan pengembangan kurikulum tersebut harus memiliki visi dan arah yang jelas, dan Implementasi kurikulum seharusnya dapat mewujudkan visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional secara bertahap. Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini diharapkan menjadi fundamental penyiapan peserta didik menjadi lebih siap dalam memasuki jenjang pendidikan lebih tinggi. Untuk pencapaian tujuan tersebut maka perlu diberikan pedoman, pelatihan, dan acuan-acuan yang dapat dijadikan sebagai rujukan para pendidik menerapkan kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini di satuan pendidikannya.
GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
52 |
Dinamika Perubahan Kurikulum: Kebijakan Perubahan Kurikulum 2013 Paud Laelatul Istiqomah
Daftar Pustaka Arifin, Zainal, 2011, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Jakarta: Gramedia, Edisi IV Fitriya,
Hidayatul, 2014, Sejarah Kurikulum di Indonesia, Http://hidayatulfitriya.blogspot.com/2014/02/sejarah-kurikulum-di-indonesia1945-2013.html. Diakses pada tanggal 22 April 2014, pukul 13:50 wib
Hamid, Hamdani, 2012, Pengembangan Kurikulum Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia Hasibuan, Lias, 2010, Kurikulum dan Pemikiran Pendidikan, Jakarta: Gaung Persada Kemendikbud, 2014, Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013 PAUD, Jakarta: Direktorat Pembinaan PAUD, Direktorat Jendral non formal dan informal Kemendikbud, 2014, Pengenalan Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini, Jakarta: Direktorat Pembinaan PAUD Morrison, George S., 2012, Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, Jakarta: Indeks, terj. Suci Romadhona dan Apri Widiastuti Mulyasa, E., 2013, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, Bandung: Remaja Rosdakarya Noorlaila, Iva, 2010, Panduan Lengkap Mengajar PAUD, Yogyakarta: Pinus Book Publisher Raharjo, Rahmat, 2010, Inovasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam, Yogyakarta: Magnum Pustaka Sanjaya, Wina, 2013, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Kencana Tim Instruktur Nasional, Workshop dan Sosialisasi Kurikulum 2013, Sleman: mengikuti acara workshop pada tanggal 7 - 8 Februari 2015
GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam Pendidikan PAUD Najamuddin Muhammad
| 53
Pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam Pendidikan PAUD Najamuddin Muhammad Universitas Sains AlEmail:
[email protected] Golden Age Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini, Vol. 1 No. 1 Maret 2016 Diterima: 10 Februari 2016 Direvisi: 19 Februari 2016 Disetujui: 01 Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519 DOI : Abstract The aim of this article is describing the Integration-interconnection Paradigm and its implementation in early childhood education, as we know early childhood education is very important in laying the foundation of science, morality and spirituality of children. This integration-interconnection paradigm offers an idea to reduce the tension between the religious sciences and other social sciences. This paradigm affirms that any scientific buildings, both religious science, science can t stand alone, but require cooperation, mutual correction and interconnectivity, this paradigm also helps people in the face of the complexity of human life. KeyWord : approach, integration-interconnect, early childhood Abstrak Tulisan ini ingin menguraikan tentang Paradigma Integrasi Interkoneksi, Serta implementasinya dalam pendidikan Anak Usia Dini, mengingat pendidikan anak usia dini sangat penting dalam meletakkan pondasi keilmuan, moraltas serta spiritulitas anak. Paradigma integrasi interkoneksi ini menawarkan gagasan untuk mengurangi ketegangan antara ilmu agama dan ilmu sosial lainnya. Paradigma ini menegaskan bahwa bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama, keilmuan tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi menbutuhkan kersa sama, saling tegur, saling koreksi dan saling keterhubungan, akan menbantu manusia dalam menghadapi kompleksitas kehidupan manusia. Kata kunci: pendekatan, integrasi-interkoneksi, PAUD Pendahuluan
GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
54 |
Pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam Pendidikan PAUD Najamuddin Muhammad
Wacana tentang integrasi ilmu dan agama telah muncul lama. Meski tak selalu ihwal perlunya pemaduan ilmu dan agama, atau akal dan wahyu (iman), sudah cukup lama mengemuka. Dalam sejarah kejayaan sains dalam masa peradaban Islam, ilmu dan agama telah integrated (Baqir, dkk.: 2005). Mengembalikan sejarah peradaban Islam harus pula mengintegrasikan antara agama dan ilmu pengetahuan. Hanya saja dalam perjalanannya, dualisme pengetahuan dalam tubuh pendidikan islam masih menjadi penyakit lama yang sulit sembuh. Sejarah pendidikan kita telah banyak memberikan pelajaran bahwa dualisme pengetahuan melahirkan banyak anomali. Ada beberapa permasalahan yang menunjukkan rumitnya proses integrasi dalam tubuh pendidikan islam dan memecahkan persoalan social secara integral. Pertama, dalam sebuah kegiatan Penataran dan Lokakarya guru-guru agama bagi sekolah dasar dan lanjutan di Universitas Pendidikan Indonesia, ada sebuah usulan yang berkaitan dengan minimnya waktu yang tersedia untuk mata pelajaran agama. Mereka mengeluh karena terlalu besarnya harapan dan tuntutan kurikulum serta harapan orang tua terhadap pendidikan agama. Beberapa peserta yang merupakan guru agama SLTP dan SMU mengusulkan dua solusi, yakni menambah jam pelajaran agama pada kurikulum nasional dan perlunya penambahan kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler keagamaan yang bersifat formal. Usulan menambah kegiatan ekstra kurikuler tentu masih bisa dilakukan, tetapi menambah jam pelajaran agama tentu suatu hal yang sulit mengingat mata pelajaran yang ada di sekolah kita jauh lebih banyak dibandingkan dengan negara-negara maju. Jawaban yang cukup menarik untuk disimak dan dan ditindak lanjuti dari dari permasalah tersebut adalah ungkapan yang disanpaikan oleh mantan pinpinan Kanwil Depdikbud Jabar bahwa tugas pendidikan agama sebenarnya tidaklah menjadi monopoli guru agama. Tugas itu bisa menjadi tanggung jawab guru-guru bidang studi lainnya. Pendidikan agama tidaklah mesti disanpaikan secara formal oleh guru agama dengan materi pelajaran agama (Hidayat, dkk.: 2007) Kedua, cukup banyak anak-anak yang tinggal dipelosok yang dianggap mengalami keterbelakangan mental tidak mendapat akses pendidikan sejak usia dini. Kelainan mental yang dialami seakan menjadi penghambat untuk mengembangkan potensi yang ada pada dirinya. Padahal dalam kajian ilmu neurosain setiap anak itu mempunyai potensi kecerdasan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya dan anak tidak terlahir dengan tingkat terbelakang dan stritip negative lainnya apabila mereka memahami apa keuikan dan potensi yang ada pada anak. Banyak temua-temuan modern dalam bidang ilmu otak yang menegaskan bahwa setiap anak itu mempunyai ragam kecerdasan yang cukup beragam dan unik. Ketiga, masalah tawuran antar pelajar di Ibu Kota Jakarta menyita banyak perhatian, terutama kalangan praktisi, pengambil kebijakan dan pengamat pendidikan. Dari kasus GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam Pendidikan PAUD Najamuddin Muhammad
| 55
tawuran antar pelajar yang cukup marak beberapa tahun banyak orang mencoba menganalisis penyebab dibalik itu semua. Hanya saja dari beberapa analisa untuk mencari tahu penyebab dan factor utama dibalik keberingasan pelajar masih belum konferehensif sehingga membentuk mata rantai yang sulit diputus. Mereka yang rajin tawuran ternyata banyak berasal dari sekoloh favorit dengan kualitas guru yang profesional, iklim penbelajaran yang menyenangkan alias tidak menekan dan sarana prasarana yang lengkap. Ketika ditelusuri secara lebih jauh latar belakang keluragnya, ternyata mereka berangkat dari keluarga yang kondusif, tidak brokeh home. Kalau ada tuduhan bahwa yang seringkali tawuran itu berangkat dari ekonomi rendah dan tingkat sekolah yang kurang berkualitas tentu belum sepenuhnya benar. Ketika kajian ilmu social sudah sulit menangkap factor dibalik beringasnya pelajar yang rajin tawuran itu, maka dalam diskusi di stasius TV Swasta, salah satu pengamat dari luar Jawa secara lebih jauh menganalisa fenomena tawuran pelajar dari usia dini. Dia berpandangan remaja itu bisa menjadi nakal karena hak-haknya waktu kecil tidak dipenuhi, seperti dikumandangkan adzan ditelingan kanan dan iqomat ditelinga kiri anak saat lahir, diberi nama yang baik, diaqiqahi, anak diberi pendidikan keteladanan baik itu dalam berkata dan bersikap serta dekapan kasih saying yang cukup dari dini analisa ini oleh sebagian orang dianggap terlalu mengkait-kaitkan dan dianggap lucu. Itulah beberapa kasus krusial yang menunjukkan selalu ada pemisahan antara ilmu agama dan umum. Kasus guru agama yang bersikap dualisme menunjukkan ada pemisahan tanggung jawab dan ilmu yang berdiri sendiri antara satu disiplin dengan disiplin yang lain sehingga tidak ada saling sapa dan saling mengisi antara yang satu dengan yang lainya. Maka kalau anak nakal atau kurang beretika, guru agama seakan menjadi sasaran utama untuk dipermasalahkan. Kasus yang kedua menunjukkan pentingnya pelbagai disiplin keilmuan, baik itu psikologi, sosiologi dan ilmu neurosain dalam mengembangkan anak usia dini sehingga semua anak mampu tumbuh dan berkembang dengan baik. Cukup banyak persoalan anak usia dini yang saat ini membutuhkan deteksi dini agar mereka potensinya mampu terakomodasi dengan baik. Untuk mendeteksi itu membutuhkan disiplin keilmua dalam bidang neurosain dan bidang kedokteran serta ahli gizi. Kasus terakhir, kekerasan pelajar yang sulit diidentifikasi dalam kajian ilmu sosiologi, maka peran agama mesti hadir untuk menbantu menyelesaikan konpleksitas yang dialami pelaja. Beberapa doktrin agama untuk pendidikan anak juga perlu pendekatan multidispliner sehingga korelasi antara pemenuhan hak-ahak anak di usia dini dan terbentuknya sikap pelajar secara beringas mampu dijelaskan secara ilmiah. Hanya saja ketika ada pengamat yang menganalisa dengan pendekatan agama yang dianggap lucu dan kurang pas, menunjukkan kurangnya saling mengsisi dan saling tegur sapa untuk memecahkan persoalan. Maka pendekatan integrasi-interkoneksi dalam penelitian PAUD cukup penting untuk dikembangkan. Ada begitu banyak ragam persoalan yang pemecahannya menuntut pendekatan multidisipliner agar persoalan PAUD benar-benar mampu dipecahkan secara GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
56 |
Pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam Pendidikan PAUD Najamuddin Muhammad
holistic. Mempertantangkan antara ilmu agama dengan ilmu umum sudah terbukti hanya melahirkan ketinpangan-ketinmpangan. Sudah saatnya pendekatan integrasi-interkoneksi dalam penelitian PAUD dikembangkan.
Urgensi Pendekatan Integrasi-Interkoneksi Paradigma Integrasi Interkoneksi menawarkan gagasan untuk mengurangi ketegangan antara ilmu agama dan ilmu social lainnya. Paradigma ini menegaskan bahwa bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama, keilmuan tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi menbutuhkan kersa sama, saling tegur, saling koreksi dan saling keterhubungan, akan menbantu manusia dalam menghadapi kompleksitas kehidupan manusia. Terjadi kerjasama, saling membutuhkan, saling koreksi,dan saling keterhubungan antar disiplin keilmuan akan lebih dapat membantu manusia memahami kompleksitas kehidupan dan memecahkan persoalan yang dihadapinya. Kalau bangunan-bangunan keilmuan itu saling bertolak belakang, maka kemunduran, dehumanisasi secara massif, baik dalam bidang keilmuan dan kehidupan keagamaan (Abdullah, 2006:94). Paradigma integrasi-interkoneksi ilmu yang ditawarkan ini dimaksudkan utk memahami dan membaca kehidupan manusia yang komplek secara padu dan holistic. Pembacaan holistic itu dirangkum dalam tiga level, yakni hadlarah al-nash, hadralah aldan hadlarah alfalsafahh. Wilayah keilmuan tersebut tidak dikaji secara parsial, melainkan dikaji secara integrative interkonektif atau saling berhubungan antara yang satu denganyang lainnya (Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006: 19). Sentral keilmuan adalah Al-Quran dan al-Sunnah. Lebih jauh sentral ini dikembangkan melalui proses ijtihad dengan menggunakan pelbagai pendekatan dan metode. Hal inilah yang kemudian memberikan inspirasi bagi munculnya ilmu-imu keislaman klasik, seperti Tafsir, Fiqh, Tarikh, falsafah dan ilmu-ilmu keislama klasik lainya. Pada abad-abad berikutnya muncullah ilmu-ilmu kealaman, social, humaniora dan ilmu-ilmu kontemporer lainnya. Di antara sekian banyak disiplin ilmu itu, satu sama lain tetap saling berintraksi, saling membincangkan dan saling menghargai atau sensitive terhadap kehadiran ilmu yang lainnya (Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006: 21). Pendekatan integratife adalah terpadunya kebenaran wahyu (burhan ilahi) dalam bentuk pembidangan mata kuliah yang terkait dengan nash (hadlarah al-nash), dengan bukti-bukti yang ditemukan di alam semesta ini (burhan kauni) dalam bentuk pembidangan mata kuliah empiris-kemasyarakatan dan kealaman (hadlarah al-ilm), dan pembidangan mata kuliah yang terkait dengan falsafah dan etika (hadlarah al-falsafah). Disebut sebagai struktur keilmua integrative bukan berarti pelbagai ilmu mengalami peleburan menjadi satu bentuk ilmu yang GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam Pendidikan PAUD Najamuddin Muhammad
| 57
identik, melainkan terpadunya karakter, corak dan hakekat antar ilmu tersebut dalam semua kesatuan dimensinya (Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006: 26). Pendekatan interkonektif adalah terkaitnya satu pengetahuan dengan pengeahuan yang lain melalui satu hubungan yang saling menghargai dan saling mempertimbangkan. Bidang keilmuan yang berkarakteristik integrative sudah tentu memiliki interkoneksi antar bagian keilmuannya. Sebaliknya, karena tidak semua ilmu dapat diintegrasikan, maka paling tidak masing-masing ilmu memiliki kepekaan akan perlunya interkoneksi untuk menutup kekurangan yang melekat dalam dirinya sendiri jika berdiri sendiri (Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006: 26). Ada beberapa contoh yang memberi gambaran mengenai ilmu yang bercorak integralistik, seperti Bank Muamalat, Bank BNI Syariah, usaha-usaha agrobisnis, transportasi, kelautan dan sebagainya. Agama menyediakan etika dalam prilaku ekonomi diantaranya adalah bagi hasil (al-mudlarabah), dan kerja sama (al-musyarakah). Disitu terjadi proses objektivikasi dari etika agama menjadi ilmu agama yang dapat bermamfaat bagi orang bagi semua penganut agama, non agama, atau bahkan anti agama. Dari orang beriman untuk seluruh manusia (rahmatan li al-amin). Ke depan, pola kerja keilmuan yang integralistik dengan basis moralitas keagamaan yang humanistic ini dituntut dapat memasuki wilayah-wilayah yang lebih luas, seperti sosiologi, antropologi, social work, lingkungan, kesehatan, tekhnologi, ekonopi, politik, hubungan internasional, hukum dan peradilan dan seterusnya (Abdullah dkk, 2004: 13-14). Pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam PAUD Dalam agama islam, pendidikan anak mendapatkan perhatian yang cukup serius. Anak adalah generasi penerus ummat. Bagaimana sebuah kebudayaan dan perhelatan peradaban besar itu bisa tercapai di masa yang akan datang tanpa memperdulikan pendidikan anak. Pendidikan anak dalam islam tidak hanya dimulai sejak lahir, tetapi juga sebelum lahir, bahkan sejak proses pemilihan pasangan. Pendidikan anak itu juga tak hanya memperioritaskan aspek duniawi, tetapi juga ada aspek ukhrawi. Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu menge (QS At Tahriim: 6) Dalam sebuah hadist juga disebutkan, "Apabila manusia mati maka terputuslah amalannya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu bermanfaat, atau anak shaleh yang mendo'akannya." (HR. Muslim, dari Abu Hurairah). Islam secara tegas telah member perhatian yang serius dalam pendidikan anak. Kegiatan pendidikan yang dilaksanakan dalam keluarga, tidak bisa dilepaskan dari pendidikan sebelumnya, yakni dalam kandungan atau sebelum lahir (pranatal), sekitar saat kelahiran (perinatal), saat baru kelahiran (neonatal) dan setelah kelahiran (postnatal), termasuk GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
58 |
Pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam Pendidikan PAUD Najamuddin Muhammad
pendidikan dini. Dengan demikian, pendidikan anak usia dini merupakan serangkaian yang masih ada keterkaitannya untuk mewujudkan generasi unggul, dan pendidikan itu merupakan sebuah kebutuhan dalam kehidupan manusia. Islam memandang keluarga sebagai lingkungan atau milliu yang pertama bagi individu dan dalam keluargalah pendidikan pertama kali dilangsungkan Mnasur, 2011: 366). Pendidikan anak itu dalam islam sudah ada panduannya mulai dari memilih istri yang baik atau pun menentukan suami yang baik. Rasulullah SAW memberikan nasehat dan pelajaran Dapatkan wanita yang beragama, (jika tidak) niscaya engkau merugi" (HR.Al-Bukhari dan Muslim). Begitu juga dengan wanita, memilih calon suami yang baik juga penting untuk masa depan penddikan anak. Rasulullah memberikan pengarahan kepada para wali dengan bersabda, "Bila datang kepadamu orang yang kamu sukai agama dan akhlaknya, maka kawikanlah. Jika tidak kamu lakukan, nisacaya terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar Ketika suami ingin mengauli istrinya, maka ada adab khusus yang diperintahkan oleh Rasulullah saw. "Jika seseorang diantara kamu hen nama Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari apa yang Engkau karuniakan kepada kami". Ketika sang istri sudah mengandung, maka Islam memberikan perhatian dan kestimewaan khusus agar janin yang tumbuh di dalamnya mampu berkembang dengan baik. Demi menjaga keselamatan janin, Islam telah member keringanan bagi wanita hamil dalam menunaikan ibadah puasa di bulan ramadhan. Wanita yang mengandung diperbolehkan berbuka apabila tidak mampu atau puasanya dikhawatirkan menggangu pertumbuhan janin. Demi menjaga keselamatan jenin, Islam memerintahkan agar pelaksanaan hukuman terhadap wanita hamil ditangguhkan sampai ia melahirkan. Rasulullah Saw bersabda, mbunuh secara sengaja, ia tidak boleh dijatuhi hukuman mati sampai ia melahirkan anaknya, jika ia memang sedang hamil. Dan bilamana seorang wanita berzina, ia tidak boleh dirajam sampai ia melahirkan anaknya jika ia sedang hamil dan sampai ia selesai merawatnya." (HR Ibnu Majah). Ketika anak sudah dilahirkan, maka ada kaidah-kaidah khusus untuk pendidikan anak. -hukum yang berkaitan dengan kelahiran. Pertama, memberikan ucapan ucapan selamat dan rasa turut gembira ketika seseorang melahirkan. Al-Quran menyebutkan tentang kegembiraan akan lahirnya anak di pelbagai ayat. Kedua, mengumandangkan adzan dan iqomah ketika anak lahir. Ketiga, mengunyahkan kurma (tehnik) ketika anak terlahir. Keempat, memberikan nama yang baik pada anak. Kelima, mengaqiqahi anak. Keenam, menghitan anak. Ketujuh, penyusuan dan pengasuhan (Ulwan, 2013: 36-71). Itulah beberapa dalil Al-quran dan hadits yang berkaitan dengan PAUD. Secara tersurat islam telah membangun pondasi PAUD. Hanya saja perintah yang bersika tektualis itu juga perlu dipertemukan, disandingkan, dirundingkan dengan pelbagai disiplin keilmuan lainnya GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam Pendidikan PAUD Najamuddin Muhammad
| 59
seperti psikologi, sosiologi, antropologi, kesehatan, neurosain dan disiplin keilmuan lainnya. Perintah yang bersikap normative itu perlu disapa dalam kajian multidispliner sehingga terjadi proses saling sapa, saling memperkaya, saling mengisi dan saling menguatkan. Teks yang memerintahkan orangtua atau siapapun untuk member ungkapan rasa gembira atau bersyukur, dibacakan adzan dan iqomah ketika anak lahir mendapat pembenaran secara ilmiah. Dr. Masaru Emoto, Seorang peneliti Jepang, melakukan sebuah penelitian menarik terhadap air. Beliau menuangkan air dalam wadah, kemudian disebutkan kataberapa kata-kata jelek lainnya. Ternyata ketika dipotret dengan sebuah peralatan yang canggih, antara air yang disebutkan dengan kalimat-kalimat positif dan air yang disebutkan kalimat-kalimat negatif mengandung sebuah reaksi yang berbeda. Kalau air itu dibacakan kalimat yang positif maka itu akan bereaksi bening dan bahkan bercahaya tapi ketika disebutkan kalimat negatif maka air itu akan keruh (Abidin, 2014: 174). Dalam tubuh manusia 70 % mengandung air. Kalau kita selalu menggunakan kata-kata yang positif, maka itu akan membentuk sebuah kristal yang indah. Ketika kita selalu mengungkapkan rasa sykur pada Allah Swt, maka air yang ada dalam tubuh akan membentuk kristal yang indah dan tersusun rapi sehingga akan keluar dalam tubuh kita sebuah energi posistif. Sebaliknya, ketika kita menggunakan kata-kata yang negatif, maka air yang ada dalam tubuh kita akan membentuk kristal yang tidak utuh, terpotong-potong dan pada gilirannya akan memancarkan energi negatif juga dalam tubuh kita. Kata-kata positif itu sangat berpengaruh terhadap pembentukan energi dalam tubuh kita (Abidin, 2014: 175). Masaru Emoto mengatakan -kata yang Anda gunakan dalam hidup sehari-hari. Kata-kata Anda dan cara Anda menggunakannya berpengaruh besar terhadap jenis kehidupan yang anda jalani. Ini adalah penemuan yang tidak mengejutkan setiap orang. Katakata adalah getaran, dan ketika tubuh kita, bersama semua air yang terkandung di dalamnya, terpapar pada kata-kata yang baik, tidak bisa tidak kita akan sehat dan sejahtera. Dengan cara yang sama, kata-kata buruk dan getarannya akan berdampak negatif pada tubuh, jadi kita tidak perlu heran ketika kata-kata yang buruk menghancurkan. Ada begitu banyak hal yang dapat terkandung dalam sebuah kata. Itulah sebabnya mengapa hidup Anda tergantung pada bagaimana Anda menggunakan kata-kata dan bagaimana Anda berelasi dalam setiap maknanya di setiap hari. Terutama di masa kini, di banding dengan masa lalu, kita di bombardir oleh kata-kata yang negatif di radio, televisi, dan perbincangan dengan orang lain. Meskipun beberapa bahasa negatif yang digunakan untuk bergurau mungkin tidak terlalu buruk, banyak dari bahasa yang kita gunakan, dan bahkan kata-kata serta ungkapan baru yang memasuki bahasa kita, memalui budaya modern, memiliki getaran negatif (Emoto, 2007: 9) Ketika anak dilahirkan kemudian diungkapkan rasa syukur, diadzankan dan diiqomahkan, maka itu akan sangat berpengaruh terhadap masa depan kepribadian anak. Ada energy positif yang tersalukan, apalagi anak pada saat baru dilahirkan benar-benar dalam keadaan suci. Ketika ada energi positif yang menghampirinya, maka akan terjadi proses pencahayaan sebagaiana layaknya air dalam penelitian Masaru Emoto yang menjadikan air sangat bening hanya dengan GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
60 |
Pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam Pendidikan PAUD Najamuddin Muhammad
berkata positif. Ungkapan syukur, adzan dan iqomah bisa menjadi kilauan mutiara yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan psikologis dan emosi anak di masa yang akan datang. Perintah khitan untuk anak juga sudah dilakukan pendekatan medis oleh pelbagai kalangan. Dalam temuanya disimpulkan bahwa khitan mempunyai dampak posistif. Ada lapisan kulit zakar yang sulit dibersihkan. Maka kalau tidak dikhitan, kotoran yang biasa disebut smegma itu bisa menggupal dan bisa menimbulkan infeksi pada zakar. Kulub laki-laki mempunyai potensi menyimpan penyakit kelamin dan menyebabkan terjadinya pemancaran sperma secara dini, sebab kepala penis yang berkulub lebih sensitive daripada yang tidak berkulub. Maka tak heran ketika para kumpulan para dokter menyarankan kepada pemerintah negaranya masing-masing agar menyerukan khitanan missal guna membebaskan penyakit dan gangguan seksualitas di dalam masyarakat (Umar, 2001: 36). Khitan dalam konteks ini bisa bermamfaat tidak hanya bagi ummat islam, tetapi bagi seluruh ummat manusia tanpa mengenal agama dan etnis. Khitan juga bisa dikaji melalui disiplin ilmu antropologi. Para antropolog menemukan budaya khitan sudah ada sejak pra islam dengan bukti ditemukannya Mumi perempuan di Mesir kuno pada abad ke-16 SM yang terdapat tanda pemotongan. Ada juga penelitian yang menyebutkan bahwa khitan telah dilakukan di Asia barat dan Afrika seperti Semit, hamit atau hamitoid (Arifin, 2010: 205). Bagaimana dengan Indonesia yang mempunyia tradisi da kultur yang berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain untuk melaksanakan khitan. Tentu kajian antropologi dalam khitan akan melahirkan pelbagai ragam pengetahuan dan wawasan yang menyeluruh ihwal silsilah dan tradisi khitan untuk menyucikan anak. Penyusuan dan pengasuhan anak saat ini juga sudah mendapatkan perhatian medis. Organisasi Kesehatan Dunia di awal abad ke-20 melaporkan bahwa para ilmuwan menemukan makanan sempurna untuk bayi, yakni air susu ibu. Menyusui bayi ternyata tidak hanya memberi danpak psikologis pada ibunya, tetapi juga akan memberikan efek pada kekebalan tubuh bayi. Air susu Ibu ternyata mengandung anti bodi yang membuat anak bisa lebih tahan terhadap ragam penyakit (Sears dkk, 2007: 268). Kalau dulu penyusuan seakan hanya menjadi perintah normative, tetapi saat ini semenjak ada himbauan dari WHO penyusuhan menjadi cara terbaik untuk memerikan makanan pada anak yang mempunyai mamfaat banyak bagi perlindungan kesehatan anak. Begitu juga dengan pengasuhan terhadap anak, orang yang paling utama adalah kedua orang tua, kalau tidak adalah kerabat dekatnya. Orang yang paling berhak terhadap pengasuhan ini adalah orang yang paling dekat kekarabatannya. Pengasuhan ini menjadi sangat penting karena pada usia dini anak harus dipenuhi dengan kasih sayang, perasaan mesra dan hangat serta penuh dengan kegembiraan. Maka pengasuhan yang paling utama adalah kedua orangtunya, terutama ibu. Masa-masa itu adalah masa-masa krusial, segala sesuatu yang dilihat dan dirasakan anak akan membekas. Pengasuhan itu sangat penting bagi anak agar segenap potensi yang ada pada anak di usia dini mampu dikembangkan dengan baik. Dalam kajian neurosain, anak yang baru lahir mempunyai 100-200 milyar neuron sedangkan perkembangan GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam Pendidikan PAUD Najamuddin Muhammad
| 61
otaknya mencapai 50% ketika mencapai usia 6 bulan. Pada usia 2 tahun perkembangan otaknya mencapai 75 % dan pada usia 5 tahun perkembangan otaknya mencapai 90 % (Gunawan, 2003: 57). Ini sungguh periode emas yang perlu sentuhan dan kasih sayang dari kedua orang tua. Tantangan Integrasi-interkoneksi dalam Penelitian PAUD Proses integrasi-interkoneksi dalam penelitian PAUD mendapat tantangan serius seiring dengan proses perubahan social yang kian hari kian kencang. Ada banyak persoalan-persoalan sosial yang mempunyai pengaruh besar terhadap keputusan yang diambil keluarga anak, praktisi dan ahli PAUD. Menurut George S. Morison ada beberapa persoalan social terkini yang berpengaruh terhadap pendidikan anak, seperti perubahan peran keluarga, masalah kesehatan anak, status social ekonomi keluarga, penelitian otak dan kekerasan pada anak (Morison, 2012: 32). Apa yang telah digelisahkan oleh George S. Morison juga terjadi dalam lingkungan kita. Perubahan peran dalam keluarga banyak terjadi. Jumlah ibu pekerja yang kian meningkat dan ketidakhadiran ayah dalam keluarga membuat pendidikan anak kian terabaikan. Orang tua kian tidak punya banyak waktu untuk berkumpul dengan keluarga dan memberi layanan pengasuhan terhadap anak. Ini tentu akan berpengaruh besar terhadap proses pengasuhan anak. Salah satu tujuan program dari pendidikan anak usia dini adalah memberi keamanan dan kesehatan bagi anak. Ketika kondisi kesehatan anak kurang baik, maka itu tentu akan berpengaruh terhadap prestasi anak dan tugas-tugas pertumbuhan dan perkembangan anak tidak akan berjalan dengan sempurna. Beberapa problem gangguan kesehatan seperti campak, cacar, asma, gondok dan pelbagai gangguan lainnya mesti juga menjadi perhatian untuk proses PAUD yang lebih baik. Masalah ini juga cukup banyak dijumpai di sekitar kita. Status social ekonomi juga mempunyai pengaruh terhadap PAUD. Status social ekonomi itu terdiri dari tiga hal utama namun saling berkaitan; tingkat pendidikan orang tua, status pekerjaan orang tua, dan pendapatan keluarga (Morison, 2012: 41). Tiga hal itu ternyata sangat berpengaruh terhadap proses pengasuhan anak, intraksi antar keluarga dan anak serta lingkungan yang dibangun di rumah untuk menunjang perkembangan potensi anak. Status social di negeri ini menjadi penyakit lama yang sulit disembuhkan. Penelitian otak terus digalakkan sehingga senantiana menghasilkan temuan-temuan baru yang berkaitan bagaimana cara member rangsangan yang terbaik untuk perkembangan emosi, inteltual dan spiritual anak. Berdasarkan pada penelitian otak, ahli PAUD berkeyakinan bahwa perkemangan intelektual yang paling cepat terjadi sebelum lima tahun, anak tidak terlahir dengan kecerdsan yang sudah tetap dan anak yang besar dari lingkungan yang merangsang lebih baik dari anak yang dibesarkan dari lingkungan yang kurang menantang.
GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
62 |
Pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam Pendidikan PAUD Najamuddin Muhammad
Persoalan terakhir yang turut menjadi tantangan untuk proses integrasi-interkoneksi dalam penelitian PAUD adalah kekerasan pada anak. Kekerasan, baik itu secara verbal atau pun nonverbal, melalui kedua orang tua atau pun melalui televise, video games mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan anak usia dini. Agar watak dan karakter keras anak tidak dipelihara dan dipupuk mulai dini, maka ini menjadi tantangan tersendiri bagi keluarga untuk membimbing anak dalam menonton dan memilih games. Itulah beberapa persoalan-persoalan PAUD saat ini yang tentu akan berpengaruh teradap praktik PAUD di lapangan. Masalah itu cukup dekat dengan kita. Persoalan itu tentu tidak mampu hanya dipecahkan degan hanya bersandar pada disiplin keilmuan tunggal, tetapi membutuhkan pelbagai pendekatan multidisipliner sehingga mampu dipecahkan secara holistic. Kita butuh pendekatan medis untuk menyelesaikan persoalan penyakit pada anak, butuh pendekatan ekonomi dan kebijakan public untuk member solusi pada keluarga yang dililit kemiskinan, perlu penguasaan ilmu otak untuk terus mengembangkan potensi anak dan pelbagai pendekatan keilmuannya lainya. Maka pendekatan integrasi-interkoneksi dalam penelitian PAUD menjadi kewajiban untuk memecahkan persoalan PAUD yang kian beragam.
Simpulan Berdasarkan Uraian di atas Paradigma Integrasi Interkoneksi menawarkan gagasan untuk mengurangi ketegangan antara ilmu agama dan ilmu social lainnya. Paradigma ini menegaskan bahwa bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama, keilmuan tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi menbutuhkan kersa sama, saling tegur, saling koreksi dan saling keterhubungan, akan menbantu manusia dalam menghadapi kompleksitas kehidupan manusia. Dalam konteks Pendidikan Anak Usia Dini. Secara tersurat maupun tersirat Islam telah membangun pondasi PAUD. Hanya saja perintah yang bersikap tektualis itu juga perlu dipertemukan, disandingkan, dirundingkan dengan pelbagai disiplin keilmuan lainnya seperti psikologi, sosiologi, antropologi, kesehatan, neurosain dan disiplin keilmuan lainnya. Perintah yang bersikap normative itu perlu disapa dalam kajian multidispliner sehingga terjadi proses saling sapa, saling memperkaya, saling mengisi dan saling menguatkan. Yang pada akhirnya anak bisa berkembang secara seimbang dan paripurna tidak hanya jasmani tapi juga rohani, tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan umum melainkan juga tafaqquh fi ad-diin
GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
Pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam Pendidikan PAUD Najamuddin Muhammad
| 63
Daftar Pustaka
Adi W. Gunawan, Genius Learning Strategy, petunjuk praktis menerapkan Accelereted Learning, (Jakarta: Gramedia, 2003) Abdul Mujib, Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) Pendidikan Anak dalam Islam, penerjemah Arif Rahman Hakim dkk (Solo: Penerbit Insan Kamil, 2013) Ahmad Zainal Abidin, Ajaibnya Tafakkur dan Tasyakkur untuk percepatan rezeki, (Yogyakarta: Safirah, 2014) George S. Morison, Dasar-dasar Pendidikan Anak Usia Dini, penerjemah Suci Romadhona dan Apri Widiastuti (Jakarta: PT Indeks, 2012) Desmita El-Idham, Psikologi Perkembangan Peserta Didik, (PT Remaja Rosda Karya Bandung, 2009) Dudung Rahmat Hidayat, Dkk, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan jilid 3, ( Jakarta, PT Imerial Bhakt Utama, 2007) M. Amin Abdullah, islamic Studies: di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2006) Karangka Dasar Keilmuan & pengembangan kurikulum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, (Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006) M. Amin Abdullah Dkk, Integrasi Sains-Islam: Mempertemukan Epistemologi Islam dan Sain, Cet. 1 (Yogyakarta: Pilar Religia, 2004) Mulyono, Model Integrasi sains dan agama dalam pengembangan akademik keilmuan UIN, (Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juni 2011: 319-339) Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011) Maseru Emoto, The Miracle of Water, Mukjizat Air, penerjemah, Susi Purwoko, (Jakarta: Gramedia, 2007) GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519
64 |
Pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam Pendidikan PAUD Najamuddin Muhammad
Nasaruddin Umar, Agama dan Kekerasan terhadap Perempuan, (Jurnal Dinamika HAM, Volume 2, No 1 April 2001) Gus Arifin, Menikah untuk Bahagia, Figh Nikah dan Kama Sutra Islami, (Jakarta: Elek Media Komputindo, 2010) William Sears dkk, The Baby Books, Segala hal yang perlu anda ketahui tentang bayi anda sejak lahir hingga usia dua tahun (Jakarta: Serambi, 2007). Zainal Abidin Baqir, Dkk, Integrasi Ilmu dan Agama; Interpretasi dan aksi, (Bandung: PT Mizan Pustaka Kerjasama dengan UGM dan Suka Press Yogyakarta, 2005)
GOLDEN AGE Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Volume. 1 No. 1. Maret 2016 e-ISSN: 2502-3519