#NgajiGatholco
=MASTURBASI RELIGIUS=
2016 M. SURURI ARUMBANI #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 0
DAFTAR ISI Pengantar 1-Mengapa Menulis Serat Gatholoco 2-Menghardik Nasab 3-Soal Nama Gatholoco 4-Makna Gatholoco, Sebuah Pembelaan 5-Mandi (Bersuci) 6-Halal-Haram 7-Hidup yang Nikmat? 8-Mengikuti Rasulullah? 9-Aku Hidup, Maka Aku Ada 10-Kematian itu Sangat Dekat 11-Hiduplah dengan Mata dan Telinga 12-Sudah Buta, Memvonis Buta 13-Maling 14- Jawa, Tidak Njawani 15-Mbodo 16-Kesaksian Palsu 17-Siapa Aku? 18-Takdir 19-“Setan” Sebagai Asal Manusia 20-Perusak Agama 21-Setan Berwujud Manusia 22-Tuhan Yang Pemarah atau Ramah? 23-Maling Dunia dan Akhirat 24-Menyembah Waktu 25-Arti Lima Waktu Shalat 26-Shalat Terus, Tanpa Putus 27-Pidato Gatholoco 28-Gelap dan Terang 29-Mengenal Hidup Sendiri #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
................... 5 ................... 9 .................. 10 .................. 13 .................. 17 ................. 20 ................. 23 ................. 26 .................. 30 ..................33 .................. 36 .................. 38 ..................40 ...................42 ...................44 ...................46 ..................48 ...................50 ..................52 ....................54 ...................56 ....................58 ....................60 ...................62 ....................64 ...................66 ....................69 ...................71 ...................73 Page 1
30-Hidup Itu Sama 31-Introspeksi 32-Energi Super Dahsyat 33-Semua Ada Dalam Diri 34-Kesempurnaan Ilmu 35-Shalat Da‟im 36-Martabat Tiga 37-Berlatih Merasa 38-Martabat Penglihatan 39-Model Lelaku 40-Tingkatan Badan 41-Tingkatan Pemikiran 42-Komponen Ruhani Manusia 43-Anugrah Sahadat 44-Anugrah Shalat 45-Gatholoco Berkelana 46-Mengenal Payudara, Mengenal Jagad 47-Sepasang Buah Dada 48-Puting Payudara, Belajar Inti 49-Rara Bawuk, Ucapan dan Misterinya 50-Rara Bleweh, Rahasia Rasa 51-Dikotomi Kehidupan 52-Dewi Lupitwati, Mengenal Pernikahan 53-Menelanjangi, Tetapi Tidak Disetubuhi 54-Nasehat Buat Para Wanita 55-Anugrah Buddhi 56-Anugrah Ruh dan Sekarat 57-Anugrah Iman, Tauhid dan Makrifat 58-Anugrah Karomah 59-Di Manakah Allah?
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
....................75 ...................77 ...................80 ..................82 .....................84 ..................86 ....................88 ......................91 .....................93 ....................95 ...................97 ......................99 .....................102 ......................104 ....................106 ...................108 ....................110 ....................112 ....................114 ..................117 .....................121 ....................122 ....................125 ....................127 ....................130 ......................133 .....................136 .....................138 ....................140 ......................142
Page 2
PENGANTAR Muji syukur, ngarsa Gusi Allah ingkang Maha Murba ing dumadi. Sholawat tur salam katur dumateng Kanjeng Nabi Muhammad SAW, ugi kagem para sahabatipun, keluarganipun, para malaikat, lan para kyai. Saya berterima kasih khususnya kepada penulis Serat Gatholoco, juga kepada mereka yang sudah bersusah payah mengumpulkan, mengalihbahasakan, menerjemahkan, menyebarkan di media-media, baik cetak, maupun elektronik. Tanpa keberadaan mereka, buku ini “MASTURBASI RELIGIUS” tidak akan pernah tersaji. Judul ini tentu saya ajukan, sebagai upaya untuk memudahkan memahami bagian terbesar dan inti dari Serat Gatholoco yang saya pahami. Ini, adalah kumpulan tulisan saya yang saya posting di facebook saya pribadi. Tujuan utama saya adalah mengaji pada Serat Gatholoco. Jika kemudian tulisan ini bermanfaat bagi orang lain, tentu saya sangat bersyukur. Saya berharap, ini semua membawa berkah buat saya dan keluarga, dan tentu buat para pembaca sekalian. Sidoarjo, 3 Januari 2016
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 3
#1 MENGAPA MENULIS SERAT GATHOLOCO? Serat gatholoco merupakan naskah berbahasa Jawa diperkirakan muncul pada abad ke-19. Gayanya vulgar, dengan kata yang kasar, berbeda dengan banyak karya sastra yang lahir pada era itu. Secara umum serat ini dapat saya sebut sebagai gugatan, kritik atas perilaku beragama masa itu. Pada bait pembuka penulis mengakui bahwa karyanya ini muncul akibat kegelisahan, prihatin yang menjadi-jadi, seperti tertuang dalam naskah: Prana putêk kapêtêk ngranuhi, wiyoganing batos, raosing tyas karaos kêkêse, têmah bangkit upami nyêlaki, rudah gung prihatin, nalangsa kalangkung. Apakah kegelisahan ini muncul bisa jadi akibat penulis melihat banyak hal menyimpang dalam praktek beragama. Dengan menulis ini, diharapkan mampu mencari kebenaran yang jelas, jernih dan menentramkan hatinya. Gatholoco adalah nama tokoh utama dalam naskah ini, meski ada tiga tokoh lain, yaitu Kyai Hasan Besari, Kyai Ahmad Arif dan Abdul Jabar. Pemilihan nama Gatholoco, buat saya sangat menarik. Gatho berarti alat kelamin (yang tersembunyi), loco berarti (mengelus, mengocok). Singkatnya gatholoco dapat saya terjemahkan bebas menjadi masturbasi. Saya mengartikan ini untuk membantu memahami naskah serat secara keseluruhan yang merupakan kritik perilaku beragama, yang menurut penulis dianggap seperti orang masturbasi. Ciri penting masturbasi adalah egois, mencari kesenangan sendiri dan tentu tidak memerlukan orang lain untuk mencapai kesenangan. #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 4
Orang dalam praktek keberagamaannya bisa mirip bermasturbasi. Bisa jadi melalui penampilan yang sarat dengan tanda-tanda atau pernik-pernik yang menunjukkan kesucian dan kesalehan dalam beragama. Melalui pernak-pernik ini, seseorang mampu mereguk kenikmatan, mampu menggairahkan diri dalam beragama kemudian mencapai tarap orgasmus. Awal bagian serat gatholoco, kritik atas masturbasi beragama ini adalah melalui penampilan dan nama itu sendiri. Gambaran kesalehan tiga guru pesantren dengan atribut pakaian menjadi pembuka. Bakda subuh wau tiga Kyai, rujuk tyasnya condhong, Guru tiga ngrasuk busanane, arsa linggar sadaya miranti, duk wanci byar enjing, sarêng angkatipun. Murid nênêm umiring tut wuri, samya anggêgendhong, kang ginendhong kitab sadayane, gunggung kitab kawan likur iji, ciptaning panggalih, tuwi mitranipun. Bagaimana ketiga guru tersebut digambarkan sedang ditunggu oleh para santri sehabis subuh. Sementara ada enam santr yang mengawal membawa kitab sebanyak 24 buah, berjalan menuju ke sebuah tempat. Mereka berhenti, beristirahat. Para murid nampak berdzikir penuh khusuk. Namun kemudian didatangi oleh seorang yang buruk rupa. Penggambaran kondisi ini jelas, antara yang berpenampilan buruk dan berpenampilan soleh. Ia adalah gatholoco yang digambarkan bertubuh pendek, matanya juling, rambut keriting, hidung pesek, dagu tidak lancip, telinga lebar maju, #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 5
pipi kempot, serta gambaran katuranggan yang jelek. Penggambaran kontras ini dihadirkan di awal, seolah mengajak kepada pembaca untuk bersiap-siap menyaksikan dua bentuk yang berlawanan, dua kutub yang siap beradu. Memang demikian, pada bagian-bagian selanjutnya akan dijumpai perdebatan sengit dua kubu ini. Gatholoco yang berpenampilan jelek itu kemudian mendekat kepada kumpulan santri dan kyainya. Sambil kebul-kebul merokok, yang baunya sangit, gatholoco tetap mendekat dan berbaur. Melihat kelakuan gatholoco seperti ini, murid-murid banyak yang terganggu. Para guru juga demikian, serta mengeluarkan reaksinya. Mereka mengucap istighfar, taawud dan tahlil. Mereka merasa aneh dan janggal menemui manusia semacam itu. Segera saja mereka langsung memberi cap kepada gatholoco: Janma ingkang rupane kayeki, sarwi noleh ngandika mring sabat, Padha tingalana kuwe, manusa kurang wuruk, datan wêruh sakehing Nabi, neng dunya wus cilaka, iku durung besuk, siniksa aneng akherat, rikêl sewu siksane neng dunya kuwi. Manusia yang berwujud seperti ini, sembari menoleh berkatalah kepada para sahabat (para santri), Lihatlah itu, manusia kurang pengajaran, tidak mengenal Para Nabi, didunia sudah celaka, belum kelak, disiksa di akherat, berlipat seribu siksaannya lebih dari siksaan didunianya kini. Begitu mudahnyakah manusia memvonis orang lain, hanya karena wujudnya? Penampilannya? Perilakunya yang belum benar-benar terbukti mengancam kehidupan orang lain? Mungkin dengan mengeluarkan vonis itu, kemudian puas? Bahkan dengan membiasakannya bisa mencapai orgasme, yang semakin mengukuhkan kesalehan? #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 6
#2 MENGHARDIK NASAB Setelah Gatholoco dihardik karena penampilannya, selanjutnya yang dihadirkan sudah melebar ke masalah lain, soal keturunan, nasab. Kalau mau jujur, apakah ketiga guru dan santrinya itu mengenal betul Gatholoco? Oh tentu belum, bahkan soal nama saja, baru ditanyakan kemudian. Berikut ini saya kutip dari bait 9 Pupuh II Dandanggula: Dudu anak manusa sayêkti, anak Bêlis Setan Brêkasakan, turune Mêmêdi Wewe, Gatholoco duk ngrungu, den wastani yen anak Bêlis, langkung sakit manahnya, nanging tan kawêtu, ngungkapi gembolanira, kleletipun sajêbug sigra ingambil, den untal babar pisan. Terjemahan: Dia (gatholoco)- sesungguhnya bukan anak manusia, tetapi anak Iblis Setan Brêkasakan, keturunan Hantu atau Wewe, Gatooloco mendengar akan hal itu, disebut sebagai anak Iblis, sangat-sangat sakit hatinya, akan tetapi didiamkan saja, membuka gembolannya kembali, diambilnya candu sekepal, dimakan sekaligus semuanya. Bayangkanlah bagaimana sakit hati anda, jika anda dihardik soal keturunan dari siapa anda. Apalagi menghardik sebagai anak iblis, setan, hantu dan sejenisnya. Dihardik sebagai anak bapaknya, katakanlah memang pernah jadi narapidana akibat mencuri, kemudian disebut anak pencuri saja sakit hati, apalagi ini. Fakta bukan, yang jelas ini spekulasi luar biasa. Bahwa orang yang burup rupa itu mesti anak penjahat, sejahatjahatnya sama dengan iblis.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 7
Keberagamaan seseorang seringkali dikaitpautkan dengan nasab, keturunan. Tidak sedikit orang yang mabuk gelar religius karena keturunan ini. Ketika dirinya diketahui keturunan orang-orang suci, saleh dan alim, kemudian melihat orang lain dengan sebelah mata. Apakah kemudian, karena keturuanan seperti itu otomatis dia mempunyai kualifikasi seperti leluhurnya yang dibanggakan? Tentu tidak to? Lagi-lagi kembali kepada prestasi masing-masing diri. Bahkan bagi sebagian yang sadar diri, nasab menjadi beban yang luar biasa berat untuk memberi bukti, bahwa dirinya diupayakan tidak terlalu jauh dengan leluhurnya. Masturbasi melalui nasab bisa saja dilakukan oleh mereka yang lahir dalam keluarga saleh, alim dan suci.Kondisi ini selalu didengungdengungkan dalam benak, menancap di hati dan menghasilkan sebuah orgasme akan kesalehan diri. Ketika dihadapkan kenyataan orang lain, yang nampak buruk, sontak birahinya membuncah, menderu dan selanjutnya dikocokkocok, untuk mencapai orgasme. Menghina orang lain yang bernasab tidak semulia dirinya, dengan berbagai sebutan dan spekulasi mengaitkan dengan penjahat atau musuh-musuh orang suci dengan kata lain adalah masturbasi guna mencapai kenikmatan diri sendiri. Begitua nikmat dengan menghardik nasab orang, meninggikan nasab sendiri, padahal nasibnya bisa jadi tidak jauh berbeda.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 8
#3 SOAL NAMA GATHOLOCO Serat Gatholoco, bagi saya sekali lagi adalah sebuah kritik atas sikap dan perilaku merasa puas, senang pada diri sendiri. Sementara orang lain atau pihak lain adalah diperlakukan sebagai obyek pemuas belaka. Ibarat sex, maka gatholoco itu memperlakukan pihak lain sebagai perangsang, kemudian berupaya memuaskan diri sendiri, meski pihak lain itu tidak pernah terlibat bersama dalam mencapai orgasme. Yang ada hanyalah khayalan diri. Jika pada bagian sebelumnya, orgasme batin ini melalui penampilan dan rupa yang buruk pihak lain, maka dalam bagian ini adalah soal nama. Berikut saya kutip bait 13 (masih pupuh II) yang berbunyi: Lah ta sapa aranira yêkti, sarta manêh ngêndi wismanira, kang tinannya lon saure, Gatholoco aranku, ingsun janma Lanang Sujati, omahku têngah jagad, Guru tiga ngrungu, sarêng denya latah-latah, Bêdhes buset aran nora lumrah janmi, jênêngmu iku karam. Terjemahan: Siapakah namamu sesungguhnya? Dan lagi dimanakah rumahmu? Yang ditanya menjawab pelan, Gatholoco namaku, aku manusia Lanang Sujati ( Lelaki Sejati ), rumahku ditengah-tengah jagad, Ketiga Guru mendengar, bersamaan mereka tertawa terbahak-bahak, Monyet! Busyet! Nama tidak umum dipakai manusia, namamu saja itu sudah haram! Para guru menanyakan nama, dan dijawab namanya adalah Gatholoco. Ia mengaku sebagai lelaki sejati, rumahnya ditengah #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 9
jagad. Mendengar jawaban ini, para guru langsung tertawa terbahak, bahkan lebih jauh mengumpat, monyet, busyet, nama yang tidak lumrah, nama yang haram dipakai. Kita berhenti sejenak. Beberapa waktu lalu, soal nama sempat menjadi perhatian banyak orang, sebut saja ada orang bernama Tuhan, Syaitonirojim, bahkan ada yang “.”. Ini tentu tidak lazim. Sebagian orang langsung buru-buru mengeluarkan vonis, bahkan dengan label dan ukuran agama. Seperti para guru itu memperlakukan nama Gatholoco. Langsung distempel HARAM. Bahkan hanya soal nama, seseorang divonis tidak bakal bisa masuk surga. Seperti ungkapan para guru di bait 16, “Tidak patut, namamu itu sangat-sangat jelek, karena sangat tabunya, bukah hanya makruh tapi sudah najis bahkan haram! Itu nama yang mencelakakan, nama yang membuat orang menjadi durhaka, nama yang tidak patut, sudah disebutkan didalam kitab, apabila menghindari hal-hal yang haram jika meninggal kelak pasti akan naik ke surga, yang tidak menghindari hal-hal yang haram pasti kelak masuk neraka”. Seolah, hanya mereka yang mempunyai nama yang lazim dianggap baik sajalah yang layak masuk surga, sementara yang tak lazim, bahkan cenderung porno tidak layak. Potret merasa paling beriman karena memiliki nama yang baik, layaknya orang bermasturbasi, ketika menemu orang lain dengan nama yang tidak lazim, atau dianggap tidak syar‟ie. Nama-nama yang tidak mengambil dari kitab suci bisa dianggap juga tidak suci, najis dan tak layak disandang sehingga akan menjadi penghambat pemiliknya masuk surga.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 10
Maka, celaka benar mereka yang sudah terlanjur sejak lahir tak diberi nama dari kitab suci. Kadang sebuah sebutan di daerah tertentu sebagai nama yang biasa, tetapi di daerah lain tidak pantas. Apakah kemudian, surga akan menyeleksi nama-nama berdasarkan daerah tertentu? Apakah surga hanya akan menerima nama orang yang berbahasa tertentu?
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 11
#4 MAKNA GATHOLOCO, SEBUAH PEMBELAAN Sebelum membahas bagian pembelaan ini, saya ringkas dulu tiga bagian sebelumnya. Bahwa Gatholoco adalah pasemon, kritikan menggunakan simbol atau sanepan. Ketika Gatholoco mendekati para santri dan kyainya, dengan penampilan tidak patut/jelek dan rupa yang tak tampan, hardikan bertubi-tubi diterima Gatholoco. Orang-orang yang belum mengenal betul Gatholoco mudah menjatuhkan penilaian, vonis dan menentukan nasib surga dan neraka. Reaksi Gatholoco tidak langsung membalas dengan kemarahan, tetapi dengan asyik kebul-kebul (merokok), makan, cengengas-cengenges dan mabok. Sikap ini semakin membikin kalap dan semakin deras laknat yang diterima Gatholoco. Ketika ditanya namanya, ia menjawab: “Gatholoco aranku, ingsun janma Lanang Sujati, omahku têngah jagad”. Jawaban tegas, namanya Gatholoco, bagi saya adalah sebuah jawaban pasemon, jawaban yang sebenarnya sebagai kritik yang ditujukan kepada penanya. Seolah-olah rasa jengkel yang dipendam akibat hardikan, umpatan dan laknat yang diterima memunculkan jawaban yang terkesan sekenanya, seenaknya dan ngawur. Maka para guru yang mendengar jawabannya, tertawa terbahak-bahak, menganggap gila, semakin meyakinkan bahwa dzon yang sebelumnya disematkan benar adanya. Gatholoco itu manusia yang jelek, baik nama, kelakukan, rupa dan nasab. Namun, saya memahami itu sebagai jawaban kritis, maka sebutan Gatholoco atau Masturbasi itu ditujukan kepada para pemvonis dan pelaknat, yang begitu mudahnya dikeluarkan #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 12
tanpa tahu dan mengenal mendalam siapa gatholoco. Selanjutnya Gatholoco menerangkan soal namanya: Gatholoco ngucap tannya aris, Dene sira padha latah-latah, anggêguyu apa kuwe, Kyai Guru sumaur, Krana saking tyasingsun gêli, gumun mring jênêngira, Gatholoco muwus, Ing mangka jênêng utama, Gatho iku têgêse Sirah Kang Wadi, Loco Pranti Gosokan Terjemahan: Gatholoco tenang bertanya, Kenapa kalian terbahak-bahak? Mentertawai apakah? Kyai Guru menjawab, Hatiku sangat geli, heran kepada namamu, Gatholoco berkata, Padahal itu adalah nama utama, Gatho itu artinya Kepala Yang Dirahasiakan, Loco artinya Dikocok. Gatholoco bagi gatholoco tidak jorok. Gatho itu kepala, utama, pemimpin. Letaknya dimana? Pada bait 13 disebut “omahku tengah jagad”, adanya ditengah jagad. Jagad dalam dunia mistik Jawa, ada jagad gede, jagad cilik. Manusia bisa disebut jagad cilik, sementara alam semesta jagad besar. Sebutan besar kecil bisa terbalik, jika itu menyangkut manusia. Berada di tengah jagad, artinya, gato itu ada di tengah diri manusia. Jika konstruksi fisik yang dijadikan ukuran, gato bisa diartikan penis. Bagi saya bukan itu. Gato lebih tepat dirujukkan kepada hati atau rahsa. Mari lanjutkan pada bait 15. Marma kabeh padha sun lilani, sakarsane ngundang marang ingwang, yekti sun sauri bae, têtêlu araningsun, kang sawiji Barang Kinisik, siji Barang Panglusan, nanging kang misuwur, manca pat manca lêlima, iya iku Gatholoco aran mami, prasaja tandha priya (15) Maka aku rela jika kalian semua, mau memanggil aku apa, pasti aku akan terima, tiga namaku, yang pertama Barang #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 13
Kinisik, satunya lagi Barang Panglusan, akan tetapi yang terkenal, di empat penjuru angin bahkan di-lima penjuru angin, ialah Gatholoco, tanda seorang pria sejati. Gatholoco dapat disebut dengan tiga nama, yaitu Barang Kinisik, Barang Panglusan dan Lanang Sujati. Sebutan barang kinisik, bisa berarti diisik-isik (dielus-elus). Hati atau rasa manusia itu dielus, dirangsang, dilatih, mengolah berbagai ifnformasi. Tiap hari bisa berbolak-balik rasanya yang muncul. Memang hati itu seperti dikocok terus menerus setiap saat. Kadang sakit, kadang suka, kadang sedih, kadang galau dan sebagainya. Untuk memahami itu pula perlu ditelisik dengan jernih dan teliti. Jika hanya dikocok-kocok saja, yang terjadi ya Gatholoco yang merujuk pada masturbasi hati/rasa. Hati adalah barang halus, oleh karenanya disebut Barang Panglusan. Sementara sebutan Lanang Sujati/Sejati, adalah hati yang asli, asal, belum terkotori oleh perkara remeh temeh. Sehingga dia akan mudah dikenali pada keempat penjuru dunia (keblat papat) dan lima pancer (pusat). Pemahaman seperti ini akan jumbuh dengan pemahaman masyarakat Jawa pada hati. Hati yang masih asli itu sebagai pertanda hati yang sejati, sebagai Lanang ( LAN= Landepe, tajamnya, NANG= weNANG, kehendak, tekad). Dengan kata lain, Gatholoco itu meliputi tiga hal, pertama berkaitan dengan Kinisik (mengisikisik, mengocok, mengolah, meneliti) berbagai lintasan hati, Halus (artinya lembut, samar), proses dua hal ini perlu dikuatkan dengan tekad yang tajam, sehingga benar-benar mampu mengetahui rahasia Gato (hati yang tersimpan). Jika hati sering digosok kotorannya, diredam amarahnya, ditundukkan kesombongannya, itulah Lanang Sejati, ya Gatholoco. Namun jika yang digosok itu adalah rasa marah, #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 14
sombong, dendam, benar sendiri, paling suci dan sejenisnya itulah Gatholoco yang hanya kulitnya, wujud sareatnya, mencari kepuasan sendiri semata, Masturbasi. Proses melocogato, menghasilkan sperma, benih kehidupan. “Walaupun aku bukan priyayi, akan tetapi namaku adalah Rahasia Mulia, supaya kelak para keturunanku, akan menjadi priyayi besar (18 pupuh II).” Benih yang terlahir dari proses meloco sejati akan menurunkan priyayi besar, akan menghadirkan manfaat besar bagi sekitarnya. Sebab ia adalah rahasia mulia (sir hati), hati nurani yang jernih, bening dan tersimpan rapi. Namun, jika itu gatholoco yang hanya sekedar Masturbasi, maka dia akan melahirkan angkara murka, kama wutah sak paran-paran (sperma/benih amarah dimana-mana).
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 15
#5 MANDI (BERSUCI) Memasuki bagian ini, saya akan mengajukan satu poin penting untuk digunakan memahami bagian selanjutnya. Bagian 1 s/d 4 pembaca sudah saya suguhi adanya dua kubu yang berbeda dalam memahami banyak hal. Yang utama adalah soal lahir dan batin, soal nama dan makna nama. Sebut saja, seperti judul serat ini, GATHOLOCO, bagi kalangan guru dinilai nama kotor, jorok dan jelek, yakni berarti masturbasi. Sedangkan bagi Gatholoco sendiri memiliki makna yang mendalam sebagai cermin proses membersihkan hati. Posisi berbeda ini akan berlaku di banyak kasus. Bagian ini perbedaan tersebut pada persoalan mandi, bersuci. Kebiasaan berwudhu, mandi dalam pengertian sebagai upaya bersuci, kadang menjadi perangsang bagi seseorang untuk merasa suci. Lama-lama, ketka melihat orang yang berpenampilan nggembel, jorok dan jelek, langsung “muncrat” penilaian dan vonis najis. Wudlu dan mandinya, memang menghilangkan najis dan hadas, tetapi malah mengotori hatinya. Masturbasi religius muncul kembali, dalam kasus mandi (bersuci). Berikut ini kutipan dialog antara gatholoco dan para guru. Ingsun ngaku wong Lanang Sujati, basa Lanang Sujati têmênan, wadiku apa dhapure, Sujati têgêsipun, „ingSUn urip tan nêJA maTI‟, Guru tiga angucap, Dhapurmu lir antu, sajêge tan kambon toya, Gatholoco macucu nulya mangsuli, Ewuh kinarya siram (19 Pupuh II)
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 16
Pengakuan Gatholoco, sebagai Lanang Sejati, yakni orang yang selalu menjaga rahasia hati, menjaga jiwa yang asli, menguatkan ketajaman nurani, maka sebenarnya dia menjaga ruh yang hakikatnya tidak mau mati. Kemudian dijawab para guru, bahwa rupa gatholoco seperi hanti, jelek tak pernah tersentuh air. Lagi-lagi soal rupa, soal fisik yang jadi bahan olokan, bahan menyudutkan seseorang. Meski sudah dijelaskan panjang lebar, tetap saja yang diserang adalah rupa. Para guru nampak puas dengan menghina seperti itu. Gatholoco cemberut, dan menimpali. Meski rupanya jelek, tetapi dia tetap bersih. Dengan apa dia harus mandi, untuk membersihkannya? Upamane ingsun adus warih, badaningsun wus kaisen toya, kalamun adus gênine, jro badan isi latu, yen rêsika sun gosok siti, asline saking lêmah, sun dus-ana lesus, badanku sumbêr maruta, tuduhêna kinarya adus punapi, ujarnya Guru tiga (20 Pupuh II) Badan manusia (gatholoco) ada unsur air, apakah air bisa mensucikannya? Dengan api? Badan juga ada unsur api. Dengan tanah? Badan juga penuh unsur tanah. Pakai angin? Badan juga sumber angin. Lantas hendak dengan apa aku harus mandi (bersuci), begitu tanya gatholoco kepada para guru. Menurut para guru, tubuhmu dari sperma, maka layak mandi (bersuci) dengan air. Pandangan ini secara sareat (atau yang berlaku pada nyata dan lazimnya), memang demikian menggunakan air. Tetapi, bagaimana dosa-dosa dalam hati? Apakah cukup dengan air? Itulah sebenarnya yang dimaksud oleh gatholoco. Maka dia menyalahkan pandangan para guru tersebut, dalam memahami sareat. Pandangan ini tentu bodoh (menurut gatholoco), tidak tepat. Hal batin dibahas dengan #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 17
sudut pandang lahir. Meski ia berhubungan, maka itu tidak sepadan. Untuk bersuci batin (gatholoco itu menyangkut batin/hati), maka gatholoco menegaskan, “ketahuilah bahwa sesungguhnya, aku telah mandi Air Tekad Suci yang Jernih, yaitu jernihnya hati tanpa dikotori oleh Segala macam perbuatan yang salah, itulah mandi yang sesungguhnya bagi manusia, mandi yang sebenar-benarnya mandi”. Tekad untuk menjaga hati dari kotoran hati itulah mandi, membersihkan kotoran hati (melalui berbagai aktivitas) itu juga mandi sejati.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 18
#6 HALAL-HARAM Makanan mana yang haram, dan yang halal, secara syariat sudah jelas. Banyak informasi tentang hal ini. Apa saja jenis makanan yang halal dikonsumsi oleh orang Islam sudah diatur, demikian pula informasinya sudah mudah didapat. Namun, perbedaan pandangan (saya lebih melihatnya sebagai bentuk kritik Gatholoco) terhadap masalah halal-haram makanan ini juga terjadi. Gatholoco mengkritik sikap orang-orang yang sebatas memahami halal-haram pada wujud jenis makanan saja, tetapi kurang memperhatikan sisi lain dari makanan itu. Hanya terbatas pada pemenuhan syarat wujud kehalalan. Mari perhatikan bait-bait berikut: Najan arak iwak celeng babi, anggêr doyan mêsthi sira pangan, ora wedi durakane, Gatholoco sumaur, Iku bênêr tan nganggo sisip, kaya pambatangira, najan iwak asu, sun titik asale purwa, lamun bêcik tan dadi sêriking janmi, najan babi celenga (22 Pupuh II) Terjemahan: Walaupun arak, daging celeng dan babi, asal kamu doyan pasti kamu makan, tidak takut dosa, Gatholoco menyahut, Benarlah dan tidak salah, semua dugaanmu kepadaku itu, walaupun daging anjing, aku teliti asal usulnya, manakala diperoleh dengan jalan yang tidak menyakiti sesama manusia, begitupun juga walau daging babi dan celeng. Masturbasi religius melalui halal-haram dapat muncul dalam bentuk menilai orang-orang yang memakan makanan haram, seperti arak, babi, anjing, secara otomatis orangnya juga dihukumi najis. Merasa jijik untuk mendekat, tidak mau #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 19
bersikap baik, karena seluruh tubuhnya, dagingnya, darahnya ikut najis akibat makan makanan yang haram (najis). Termasuk semua amal perbuatannya juga najis, tertolak akibat makanan yang dikonsumsi. Sementara, mereka yang merasa hanya makan makanan halal, adalah dirinya suci seperti makanan yang dimakannya, termasuk darahnya dan dagingnya. Apakah demikian adanya? Bagaimana, katakanlah orang yang sebelumnya suka makan makanan haram, kemudian bertobat, apakah harus membersihkan apa yang sudah masuk dalam tubuhnya? Apakah itu semua tidak dapat diampuni? Demikian beratkah untuk membersihkan diri, bertobat? Gatholoco tidak sepakat dengan yang demikian. Masih ada celah haram dalam makanan, yakni soal cara memperolehnya. Ini, bagi gatholoco juga berdampak sangat serius. Berikut pendapatnya yang sudah diterjemahkan: “Walaupun arak daging celeng dan babi, asal kamu doyan pasti kamu makan, tidak takut dosa, Gatholoco menyahut, Benarlah dan tidak salah, semua dugaanmu kepadaku itu, walaupun daging anjing, aku teliti asal usulnya, manakala diperoleh dengan jalan yang tidak menyakiti sesama manusia, begitupun juga walau daging babi dan celeng”. (23 Pupuh II). Poin utamanya adalah, cara untuk memperoleh makanan tidak melukai, tidak merugikan sesama manusia. Makanan yang dihasilkan dari buah usaha sendiri, seperti menanam, beternak sendiri, berburu di hituan, (bagi gatholoco) jauh lebih menentramkan daripada diperoleh dengan cara mencuri, meski jenis makanan itu halal. Pandangan radikal ini tentu tidak membenarkan manusia hobi makan makanan haram, tetapi
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 20
perlu diingat bahwa usaha untuk mendapatkan makanan itu juga ada halal dan haramnya. Kasus ini juga berlaku untuk pakaian, perhiasan diri. Banyak orang bisa memperoleh citra penampilan yang luar biasa. Barang-barang yang dipakai bagus, harganya mahal, juga tidak najis. Rutin dicuci, dilaundry bahkan diberi parfum wewangian. Banyak orang menumpuk pakaian. Tiap bulan berburu yang baru. Setiap bepergian berburu merek baru. Jika itu semua hanya menumpuk kesombongan, apakah baju dan perhiasan demikian tidak menjadi kotoran, najis bagi hati? Bagaimana jika makanan, pakaian, perhiasan itu adalah hasil dari mencuri, menipu, atau korupsi? Andai saja Gatholoco menjadi penuntut umum para koruptor, percekcokannya bisa dahsyat, lebih dahsyat dari serat gatholoco sendiri.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 21
#7 HIDUP YANG NIKMAT? Setelah perdebatan tentang halal-haram makanan dan pakaian, kemudian berlanjut pada soal bagaimana menikmati makanan dan pakaian itu. Sekali lagi, orang yang sudah terbiasa menghina, merasa diri paling suci, akan juga muncul kebiasaan menilai orang lain tidak bahagia. Kalau toh ada, kemudian akan dengki. Kalau perlu digagalkan kebahagiaan itu. Itulah watak pelaku Masturbasi Religius. Para guru mengetahui bahwa prinsip Gatholoco soal halalharam sampai pada cara memperoleh barang. Bagaimana bisa (seperti jaman edan begini) benar-benar memperoleh sesuatunya itu halal seratus persen? Kalau menuruti kemurnian ini, apa bisa kaya? Bisa menikmati hidup yang enak? Seperti tutur para guru dalam bait berikut: ... pantês têmên uripmu cilaka, kamlaratan salawase, tan duwe bêras pantun, sandhangane pating saluwir, kabeh amoh gombalan, sajêge tumuwuh, ora tau mangan enak, ora tau ngrasakake lêgi gurih, kuru tan darbe wisma (26 Pupuh II). ... Pantas jika hidupmu celaka, melarat selamanya, tak memiliki makanan cukup, busana-pun compang camping, semua hanya gombal lusuh, selama hidup, tak pernah memakan makanan enak, tidak pernah menikmati rasa manis dan gurih, makanya kurus kering dan tak memiliki rumah. Bagi para guru yang menghina ini Gatholoco, dianggap miskin, karena tak ada harta yang dimiliki. Para guru berkata,”pakaian yang kotor langsung kubuang di sampah, bareng kotoranku. #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 22
Ganti yang baru, toh tinggal beli. Sementara, kamu Gatholoco yang kere, mana bisa kamu menikmati itu?” Kalau seperti itu, para guru itu tidak beda dengan kebanyakan manusia, bukan orang istimewa. Gelar keagamaan tidak ada nilai lebihnya. Gatholoco, dengan kemiskinannya merasa menjadi istimewa, karena barang-barang yang dimilikinya dibagi dengan sesama, yang baru atau lama demikian juga. Gatholoco rela memakai yang jelek-jelek saja. Rela makan makanan yang tidak enak saja, biarlah yang lain merasakan enaknya. Dia mau meminum yang pahit, sedangkan yang manis bisa dinikmati oleh orang lain. Gatholoco hanya mencatat, menikmati Sastra 21 (selikur) saja. Sebuah kesadaran akan kesendirian dan kebersamaan. Sadar akan adanya Dzat yang Tunggal, dan hidup berdua (2) dengan Yang Tunggal. Kemiskinan, pahit, tidak enak, juga yang yang enak, kaya dan manis adalah Tunggal adanya. Gatholoco lebih menikmati adanya realitas ganda (2) sebagai sebuah ketunggalan (1), itulah sastra, dinamika hidup yang dicatat dalam hati Gatholoco. Berikut ungkapannya: “Yang kumakan setiap hari, kupilih yang sangat panas, dan yang terlampau pahit, kotoranku (batin) menjadi gunung, nampak terlihat jelas. Mengolah rasa tidak enak seperti itu, kesadaran akan kotoran diri itu menyakitkan. Ibarat gunung berapi dengan lavanya yang tersimpan, jika akan keluar, memunculkan asap. Semua kotoran diri dimakan (diterima dan diolah dalam batin). Pengolahan itu dilakukan tiap saat. Menerima penderitaan, cobaan, ujian, menyadari kekurangan dan mengolahnya untuk yang bermanfaat. Inilah proses daur ulang melalui batin. Inilah wujud Gatholoco sebagai Barang #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 23
Kinisik yang sejati. Pada akhirnya, dalam menghadapi realitas dunia yang ada baik dan buruk, pahit dan manis, serta berbagai dualitas seperti itu, Gatholoco menunjukkan tekad yang kuat melampauinya”. Dalam kasus ini, aku ingat pesan guru kejawenku,” jika menghadapi yang dirasa tidak enak, maka bersangkalah, anugrah apa yang hendak Tuhan berikan”. Pun sebaliknya,”jika menemu yang enak, ujian apa yang hendak Tuhan turunkan”. Ketika saya dinyatakan mencapai tahap tertentu, aku diberi pilihan, memilih susu atau racun. Secara alamiah aku memilih susu, sebab susu itu enak dan bergizi. Tetapi guruku mengingatkanku, untuk memilih racun, sebab racun yang diminum bisa diolah menjadi obat. Tentu ini hanya sanepan. Dalam dunia kedokteran, obat sebuah penyakit itu kadang berasal dari penyakit. Imunisasi itu katanya dibuat dari virus.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 24
#8 MENGIKUTI RASULULLAH? Jika dalam bagian #7, Gatholoco menggambarkan dirinya yang miskin dan fisiknya kurus, karena itu adalah maboknya pada Rasulullah (utusan Allah). Berikut kutipannya: Gatholoco sigra anauri, Mila ingsun kurune kalintang, krana nurut mring karsane, Gusti Jêng Nabi Rasul, sabên ari ingsun turuti, tindak mênyang ngêpaken, awan sore esuk, mundhut candhu lawan madat, dipun dhahar kalawan dipun obongi, Allah kang paring wikan (32 Pupuh II). Terjemahan: Gatholoco menjawab, mengapa diriku kurus, karena mengikuti kehendak Kanjeng Rasul, tiap hari aku turuti, pergi siang dan malam, mengambil candi dan mabuk. Bisa di makan atau dibakar, Allah merestui. Membaca istilah-istilah dalam serat ini tidak bisa leterlek, seperti yang tertulis. Jika diikuti sejak awal, maka ada konsepsi yang bersifat batin yang diungkap oleh Gatholoco. Ketika dia menyebut kotoran, itu dirujukkan pada dosa. Atau menerangkan namanya sendiri, gatholoco, itu adalah aktivitas membersihkan hati nurani, bukan masturbasi. Pada kutipan di atas menyebut candu dan madat, artinya adalah mabok pada hati nurani. Menuruti bisikan hati yang jernih. Dengan demikian, tentu Allah merestuinya. Jika, perintah nurani (yang disebut Kanjeng Rasul) tidak dituruti, maka dia marah betul, membikin tidak bisa tidur dan menyiksa diri. Konsepsi Gatholoco tentang Rasul yang sedemikian, mendapat protes keras dari para guru. Menurut mereka yang disebut #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 25
Rasulullah itu ya yang ada di Arab sebagai junjungan manusia sedunia. Mereka menghardik Gatholoco demikian, sehingga tidak pantas Kanjeng Rasul itu mengutus nyandu dan madat. Jelas itu perbuatan haram. Lagi-lagi ada perbedaan persepsi, meski pada sebutan yang sama. Gatholoco mengatakan bahwa jika Kanjeng Rasul yang disebut itu, maka beliau sudah seribu tahun lebih meninggal, tidak wujud. Meski dengan jungkir balik memuji, belum tentu ditemui. Lantas mengaku mengikuti Rasulullah itu seperti apa? Banyak pihak, akhir-akhir ini berteriak dan bersemboyan mengikuti Rasulullah, namun banyak juga yang berebut kebenaran dan akhirnya bertengkar. Semua atas nama Rasulullah. Padahal yang diikuti adalah kata-kata yang tertulis dalam kitab semata. Penafisran atas teks itu kembali kepada nafsu masing-masing diri. Sebenarnya mereka hanya mengikuti hawa nafsunya, bukan dawuhnya Kanjeng Rasul. Oleh karena itu, gatholoco mengkritik keras perilaku seperti ini. Mengikuti hati nurani yang sudah terlatih tiap saat membersihkan jiwa, akan mendekatkan kepada Kanjeng Rasul, yakni utusan yang ada dalam diri setiap pribadi manusia. Gatholoco berusaha keras mencari dan mendekatkan diri pada Kanjeng Rasul (utusan) yang ada dalam diri sendiri, bukan yang di luaran, sebab beliau sudah wafat. Berikut sebagian kritik pedas Gatholoco atas memperturutkan hawa nafsu atas nama Kanjeng Rasul: Rasulullah seda sewu warsi, sira bêngok saking wisma-nira, bok kongsi modot gulune, masa bisa karungu, tiwas kêsêl tur tanpa kasil (36 Pupuh II)
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 26
Terjemahan: Rasulullah telah meninggal seribu tahun yang lalu, kamu teriaki dari rumahmu, walaupun sampai memanjang lehermu, tidak akan berkenan hadir menemuimu? Hanya melelahkan diri sendiri tiada guna. Padahal, al Quran dan Hadits itu adalah petunjuk yang harusnya meningkatkan kesadaran, memperhalus budi dan mempertajam nurani. Oleh karenanya, perilaku yang suka merendahkan orang lain, menilai orang lain jauh dari Al Quran dan Hadits, tidak mengikuti Rasulullah (padahal belum tentu demikian), adalah sikap gegabah. Lagi-lagi perilaku seperti ini adalah masturbasi religius, merasa dekat sekali dengan Kanjeng Nabi, nyatanya belum tentu. Gatholoco menyadari apa yang sudah dipaparkan sejak awal, belum tentu benar mutlak adanya. Masih ada kebingungan memastikan kebenarannya. Ini adalah sikap kesatria dia. Kemudian dia meminta pendapat hukum dari para guru. Namun apa jawab mereka? Lagi-lagi hardikan, dan merasa tidak pantas Gatholoco diberi pendapat soal agama, menurut mereka Gatholoco sudah tersesat jauh. Berikut hardikannya: Asru ngucap Nyata sira maling, ora pantês rembugan lan ingwang, sira iku wong munapek, duraka ing Hyang Agung, lamun ingsun gêlêm mulangi, pakartine dursila, mring panjawabipun, ora wurung katularan, najan ingsun datan anglakoni maling, yen gêlêm mulangana, Nalar bangsat paturane maling, yêkti dadi melu kêna siksa, Terjemahan: Dengan lantang dikatakan: Ternyata kamu maling! Tidak pantas meminta pendapat kami! Kamu orang munafik! Berdosa kepada Hyang Agung! Jika kami sampai #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 27
bersedia memberikan pendapat, tidak urung bakal ketularan (dosanya)! Walaupun kami tidak ikut mencuri, manakala bersedia memberikan pendapat. Sama saja menyetujui perbuatan bangsat seorang maling! Luar biasa. Dikasih sudut pandang lain, tidak mau, diminta pendapat tidak mau, malah merendahkan dan menghardik. Inikah gambaran watak para guru? Perilaku orang-orang yang merasa paling suci, paling beriman, paling dekat kepada Rasulullah? Daripada terus menerus dihardik, Gatholoco menantang bermain tebak-tebakan, teka-teki. Apa teka-tekinya? Monggo diikuti bagian berikutnya.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 28
#9 AKU HIDUP, MAKA AKU ADA Memasuki Pupuh III ini, teka-teki sudah dimulai. Maksud dari teka-teki yang diajukan Gatholoco adalah untuk menguji ketajaman pandangan mengenai kehidupan ini. Ada satu pertanyaan yang diajukan Gatholoco, yaitu: mana yang lebih dahulu/tua, antara Dhalang, Wayang, Kelir dan Blencong (lampu)? Pertanyaan ini perlu dipahamai dalam sebuah pagelaran wayang. Ketiga guru yang diajak teka-teki (Kyai Arif, Kyai Abdul Jabar dan Kyai Manaf) mempunyai jawaban yang berbeda-beda. Begitulah kehidupan ini, setiap orang juga punya pandangan yang beragam atasnya. Tetapi mana yang paling utama? Yang paling menentukan dalam kehidupan ini? Kyai Arif menjawab bahwa yang paling tua adalah kelir (layar untuk pertunjukan). Baginya kelir itu jelas kelihatan, bahkan sebelum adanya dalang dan wayang. Kyai Jabar menjawab dhalanglah yang paling tua. Pagelaran wayang itu kalau ada dhalang, meski sudah ada kelir dan blencong. Kyai Manaf menjawab bahwa yang lebih tua adalah Wayang (pagelaran wayang). Jika seseorang akan mengadakan pagelaran wayang, maka konsep pagelaran itu sendiri sudah ada, bisa jadi jauh sebelum adanya blencong, dhalang dan kelir. Dalam Dialog di serat Gatholoco, masing-masing saling menyalahkan pandangan yang lainnya. Tetapi menyalahkan pihak lain ternyata belum menjamin benar. Itu juga wujud dari perilaku Masturbasi Religius. Perbedaan pendapat ini seperti kisah beberapa orang buta untuk menggambarkan bentuk gajah. Masing-masing meyakini yang dipegang, yang dekat dan dirabanya, dirasakannya. #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 29
Bagi Gatholoco, justru Blencong itulah yang paling tua. Ini bukan sekedar jawaban yang berbeda atau sengaja beda, tetapi jawaban yang benar-benar menunjukkan kualitas dirinya memahami realitas hidup ini. Mengapa? Katakanlah, semua sudah siap, Dhalang siap, Wayang siap, Kelir siap, penabuh musik siap, sinden siap, dan sebagainya. Tetapi bagaimana kemudian jika tak ada lampu? Apakah kemudian wayang itu nampak sebagai pagelaran? Bisa jadi dhalang tinggal menjalankan wayang, penabuh tinggal memukul alat musik, sinden terus berdendang. Itu semua dilakukan sesuai pakem, meski tak ada blencong, pagelaran bisa berjalan. Sekali lagi, tapi itu tak ada artinya bagi anda yang menonton. Blencong adalah cahaya, hidup, sadar bahwa dirinya hidup, itulah gambaran blencong. Sebelum saya lahir di dunia ini, alam ini sudah berjalan seperti biasanya. Orang-orang yang sudah terlahir dan hidup di dunia ini sudah hidup, tetapi bagi saya, itu semua tidak berarti apa-apa. Setelah saya lahir, kemudian saya bisa melihat, merasakan, dan sebagainya saya baru benar-benar bisa menyaksikan pagelaran wayang itu, bahkan bisa menikmatinya. Dengan kata, Aku Hidup, Maka Aku Ada. Hidup dalam pengertian tidak sekedar sudah bisa hidup, makan, minum dan sebagainya, tetapi juga dituntut kesadaran bahwa diri ini memang hidup. Itulah jawaban Gatholoco atas teka-teki sanepan yang diajukan. Banyak orang terjebak, bahwa kelir itu penting. Kelir adalah lambang raga, lambang wujud aktivitas. Sementara wayang adalah sukma sejati mengikuti perintah dhalang (rasul) dalam diri. Dibalik itu semua ada Dzat Hidup Yang Maha Hidup, yang memercikan kehidupan kepada diri manusia. #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 30
Mendengar penjelasan ini para guru, bukannya malah senang, ketika diingatkan kepada Dzat Maha Hidup. Tetapi lagi-lagi marah, dan ilmu semacam itu tidak pantas dikeluarkan oleh orang macam Gatholoco. Seolah-olah hanya mereka para guru yang layak membicarakannya, memedarnya. Padahal nyatanya mereka belum memamahinya. Ini juga Masturbasi Religius, merasa paling berhak bicara soal Tuhan, paling berhak mengetahui Tuhan, orang lain dianggap tidak layak. Guru tiga duk miyarsa, anyêntak sarwi macicil, Rêmbug gunêm ujarira, iku ora lumrah janmi, ... (16 Pupuh III) Terjemahan: Begitu mendengarnya ketiga Guru, membentak sembari melotot, Apa yang telah kamu katakan, tidak lumrah diucapkan manusia! Dalam kondisi marah seperti itu, Gatholoco mengajukan pertanyaan. Jika pagelaran wayang telah usai, wayang dan kelir dimasukkan kotak, dhalang berpisah dengan kelir, wayang berpisah dengan blencong, lantas ke manakah perginya wayang dan blencong?
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 31
#10 KEMATIAN ITU SANGAT DEKAT Seorang bijak mengajukan sebuah pertanyaan: apa yang paling dekat dengan manusia? Jawabany adalah Ajal/Kematian. Meski tiap hari minum vitamin, antitoksin, antiaging, atau bersembungi di bunker, atau pindah ke bulan, ajal itu sudah pasti datang. Karena, ajal itu tidak pernah jauh dari hidup manusia. Gatholoco punya pendirian yang sama, bahwa mati itu selalu bersama-sama dengan hidup manusia. Berikut kutipannya: Benjang yen sira palastra, urip-mu ana ing ngêndi, saikine sira gêsang, pati-mu ana ing ngêndi, uripmu bakal mati, pati nggawa urip iku, ing ngêndi kuburira, sira-gawa wira-wiri, tuduhêna dununge panggonanira (15 Pupuh III). Terjemahannya: Kelak jika kalian meninggal dunia, hidup-mu berada dimana? Saat ini kalian hidup, mati-mu berada dimana? Hidup-mu bakal menemui mati, mati akan membawa pergi hidup-mu, dimanakah kematian itu berada? Sesungguhnya (kematian) telah kalian bawa kesana-kemari, tunjukanlah tempat kediamannya. Hidup ibarat blencong/lampu dalam sebuah pagelaran wayang. Ialah yang membuat pagelaran itu bisa dilihat. Sebaliknya, penonton menyadari adanya pagelaran wayang, melihat aksi dhalang, mendengar suara sinden dan alunan musik gamelan. Melaluinya pula, penonton bisa melihat megahnya kelir yang dibentang. Begitulah, hidup adalah kesadaran akan diri sendiri dan lainnya. Meski, blencong yang
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 32
utama, tetapi melaluinya keberadaan dhalang, wayang dan kelir menjadi jelas eksistensinya. (silakan baca #9). Bagi para pelaku Masturbasi Hidup seperti diuraikan sebelumnya, tidak menyadari adanya pihak lain yang ada. Seperti kyai Arif yang mementingkan kelir, tidak memandang pentingnya dhalang, wayang atau blencong. Baginya keberadaan kelir itulah yang pokok. Kelir adalah ibarat raga, jagat, rumah tinggal, alam sekitar, ruang, waktu dan sejarah. Mereka yang mementingkan kelir, akan sibuk dengan penampilan dan keberadaan itu semua. Sibuk, asyik dan mabok memperhatikan kelir membuat lupa darata, lupa hidupnya, apalagi hidup lainnya. Demikian pula yang gila dhalang. Mereka yang sangat gandrung dhalang pakem Banyumasan akan berbeda dengan pakem Kartasura. Ada yang memprotes munculnya Bawor di jajaran punakawan, atau sebaliknya memprotes nama Bagong. Lakon Petruk dadi Ratu tidak disukai, karena dianggap merusak pakem. Dalam agama, bagi pengikut madhab A atau tarekat B, tidak suka bahkan menolak keberadaan lainnya. Karena dhalang adalah pakem itu sendiri, penuntun laku dan teladan. Mereka yang menganggap (pagelaran) wayang akan terbawa arus membenci Sengkuni, atau memuja Arjuna. Lakon romantisme dan kesaktian Arjuna menjadi kesukaan sementara lakon Jamus Kalimasada tidak disukai. Bagaimana misalnya Bima yang menggunakan gada tiba-tiba diganti dengan panah, akan membuat marah. Banyak orang usil dengan tetangga, mengkiblat artis dan meniru gayanya. Itulah gambaran mereka yang terlalu gandrung pada pagelaran wayang. #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 33
Kondisi seperti itulah yang disebut mati, kematian. Tak ada blencong (lampu) wayang tak nampak apa-apa kecuali gelap. Bahwa yang hanya gandrung pada kelir, dhalang atau wayang lupa, bahwa kegilaan itu sebenarnya telah menutup kesadarannya akan eksistensi diri maupun lainnya. Nah, bagi yang mengetahui peran penting blencong/hidup akan tahu dan bisa menikmati pagelaran wayang, memperhatikan gerakan tangan dhalang, aksi akrobat wayang, dan kemegahan kelir yang dibeber. Manusia di saat masih dalam kandungan, ia hidup dalam pengertian bernyawa. Kemudian bayi, anak-anak, ya hidup. Bahkan dewasa juga hidup, karena ditandai adanya makan dan minum. Tapi manusia yang lupa adanya eksistensi diri dan lainnya, sebenarnya mati, seperti matinya lampu dalam pagelaran wayang, gelap gulita. Meski demikian, ketika blencong dinyalakan, sering terjadi bahwa penonton (diri) itu mengantuk atau lalai, tidak konsen dalam menyaksikan pagelaran wayang. Menonton wayang ya sekedar menonton saja. Lebih tragis lagi, kalau sebagai penonton, malah dia tidak menyadari bahwa dia sendiri menjadi bagian dari sebuah pagelaran wayang yang lebih besar. Tontotan sudah disuguhkan, tapi penontonnya tidur semua. Apalah artinya? Hanya dapat kenyang tidur. Inilah kematian yang sangat besar. Kematian itu sangat dekat, bergandengan dengan hidup itu sendiri.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 34
#11 HIDUPLAH DENGAN MATA DAN TELINGA Orang yang sudah terbiasa melakukan masturbasi religius bisa disebabkan karena masturbasi (kesadaran) hidup. Ia tidak mampu membedakan hidup dan mati, meski antara hidup dan mati itu adanya bergandengan dan beriringan. Bahkan ia tidak mampu menyadari bahwa dirinya itu hidup atau mati. Efeknya menular menjadi kebiasaan masturbasi sosial. Anda mungkin sudah tahu sebuah binatang yang sering dijadikan gambaran mereka yang punya perilaku memeras hidup orang lain. Ya, lintah, atau sering disebut lintah darat. Lintah darat itu yang manusia. Dalam bait 17 Pupuh III berikut Gatholoco menggambarkan: Santri padha ambêk lintah, ora duwe mata kuping, anggêre amis kewala, cinucup nganti malênthing, ora ngrêti yen gêtih, gandane amis tur arus, kinira madumangsa, yen wus warêg mangan gêtih, amalêngkêr tan mêtu nganti sawarsa. Terjemahannya: Santri yang berperilaku seperti lintah, tidak memiliki mata dan telinga, asalkan mencium bau amis, dihisap hingga perutnya menggelembung, tidak tahu kalau itu darah, baunya amis dan arus (padanan kata amis), dikira madu, jika sudah kenyang meminum darah, meringkuk tak keluar-keluar lagi hingga setahun. Orang-orang (santri) yang tidak menyadari akan hidupnya, juga matinya dalam hidup, adalah mereka yang mati rasa, tidak memiliki rasa rumangsa. (silakan baca bagian #10). Ibaratnya adalah lintah, yang tidak memiliki mata dan telinga. Tidak #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 35
mampu mendengar suara hati, tidak mampu melihat realitas yang sebenarnya. Tidak mampu membedakan antara madu dan darah, semua dianggap sama, yaitu darah. Kemudian lintah menghisap sekenyang-kenyangnya sampe membesar badannya untuk menampungnya. Ia terlena dengan kenikmatan yang dirasakannya. Yang diperturuti adalah mulutnya, perutnya, kerongkongannya semata. Tidak mau bersusah payah mendengar, melihat, mengkaji sedalam-dalamnya. Apa yang tertulis oleh dalil ditelan mentahmentah. Abai pada substansi terjebak pada kulit. Asal itu menguntungkan dirinya, tutup mata, tutup telinga, dijalankan. Selalu berdalih, ini ada dalilnya, itu ada dasar hukumnya. Apa yang diperbuat ada teks nashnya yang sudah jelas, tanpa menggali dengan mata dan telinga lebih sabar, dengan kehalusan rasa yang mendalam. Ilmu sejati tidak diperhatikan. Banyak praktek agama dan kehidupan yang bagi semua pihak sudah didasari atas dalil yang menurutnya paling shohih. Tetapi pada nyatanya, tidak sedikit yang kemudian bertengkar, bahkan saling membunuh. Tidak peduli bahwa mereka adalah tetangganya, saudaranya. Itu semua dirasakan sangat pas menurut rasanya sendiri. Tidak perndah ditimbang dengan rasa orang lain. Yang terjadi adalah kekacauan sosial, kekacauan kemanusiaan. Dus, para pelaku masturbasi sosial sebenarnya itu tidak memiliki mata dan telinga. Apakah mereka terima jika disebut demikian? Oh, tentu tidak akan menerima. Baginya mata dan telinga adalah milik mereka yang sudah maksimal difungsikan. Ikuti pemaparan bagian selanjutnya.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 36
#12 SUDAH BUTA, MEMVONIS BUTA Maka, benar adanya. Mereka tidak terima jika dikatakan tak punya mata dan telinga. Yang terjadi malah sebaliknya. Orang yang mengingatkan, dihardik buta. Berikut kutipan bait 19 Pupuh III: Têtêp urip tanpa mata, matamu mata soca pring, matamu tanpa paedah, matamu tan migunani, Kyai Guru mangsuli, muring-muring asru muwus, Apa sira tan wikan, mring mataku loro iki Terjemahannya: Kalian hidup tak memiliki mata! Matamu mata batang bambu! Matamu tak bermanfaat! Matamu tak berguna! Kyai Guru menjawab, marah-marah membentak keras, Apa kamu buta! Tidak melihat jikalau kami punya mata! Apakah benar, Gatholoco itu buta? Atau mereka yang sebenarnya buta? Gatholoco membuktikan bahwa ucapannya adalah benar adanya. Dia mengajukan beberapa pertanyaan sepele, yang membuat para guru terdiam, tak mampu membantahnya. Jika memang para guru itu memiliki mata, apa memang benar-benar memiliki mata? Gatholoco mengajukan sebuah soal, jika memang mata itu miliki para guru, tentu mereka bisa mengendalikannya. Bisakah para guru tertidur dengan satu mata? Satu terpejam, satunya lagi berjaga, sehingga masih bisa mengawasi? Atau menulikan satu telinga dan memfungsikan telinga satunya? Apa bisa melakukan itu? Jika tidak, maka itu bukti yang kuat bahwa mereka tidak benar-benar memiliki mata dan telinga, tak memiliki sedikitpun kuasa atasnya. #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 37
Dasar suka masturbasi, diingatkan tetap saja sibuk masturbasi. Para guru tetap ngeyel, jika mereka sejak kecil tidak terpisah dari wajahnya, artinya matanya sudah menempel. Sejak kecil sudah ada, itu semua pemberian Allah. Wah, sebuah pengakuan yang hebat, sudah bawa-bawa Allah segala. Gatholoco tertawa, geli mendengar jawaban itu. Gatholoco mengajukan sederetan pertanyaan. Jika itu pemberian Allah, kapan diberi? Dimana diberinya? Apakah ada saksinya saat pemberian itu? Mendengar pertanyaan-pertanyaan itu, para guru bingung, dan keceplosan menjawab: ya dari bapak-ibu. Meledaklah tawa Gatholoco. Orang tua mana ada yang bisa membuat mata dan telinga? Bikinnya dari apa, bagaimana membuatnya? Semakin jengkel saja, para guru diberi pertanyaan macam-macam yang tidak diduga itu.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 38
#13 MALING Para guru yakin, bahwa Allah lah yang telah memberi raga; mata, telinga dan sebagainya. Beginilah tutur mereka: Guru tiga nulya mojar, Allah Ingkang Maha Suci, ingkang karya raganingwang. Gatholoco anauri, Prênah apa sireki, kalawan Kang Maha Luhur, dene ta pinaringan, mata loro kanan-kering, têlu pisan pinaringan grana lesan (27 Pupuh III) Terjemahannya: Ketiga Guru lantas berkata, Allah Yang Maha Suci, yang telah membuat raga kami, Gatholoco menyahuti, Punya hubungan apa kalian, dengan Yang Maha Luhur? Sehingga kalian diberikan, kedua bola mata kanan dan kiri, yang ketiga bahkan diberikan hidung dan lesan. Pertanyaan unik segera diajukan oleh Gatholoco. Jika memang itu pemberian Allah, lantas apa hubungan mereka dengan Allah, sehingga mereka diberi itu semua? Apa jawaban para guru? “karena do‟a-do‟a kami diterima”. Jawaban yang benarbenar luar biasa. Diri merasa dekat dengan Allah, merasa paling disayang, sehingga do‟a pujinya diterimakabulkan. Mendengar jawaban ini, Gatholoco langsung membentak. Klaim itu semua pada hakekatnya juga milik Allah. Lisan yang membuat klaim itu juga milik Allah, mengapa berani berdalih bahwa semua nikmat itu diberi Allah karena amal dan do‟anya? Perilaku demikian, bagi Gatholoco adalah MALING yang sebenarnya maling. Mencuri milik yang Maha Memiliki. Banyak orang menjadi maling seperti ini, yang tak lain hanya untuk memenuhi hasrat masturbasi religiusnya.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 39
Mulut, telinga, lisan, raga adalah pinjaman dari Allah. Jika menggunakannya tidak sesuai KehendakNYA, dia telah menyelewengkan, apalagi sampai mengakui kepemilikan dan menggunakan sesuai hawa nafsunya. Kelak akan menjadi pesakitan, dituntu mengembalikan. Padahal tidak pernah tahu darimana asalnya, kemudian dihilangkan, disimpan di alam gaib, dan kelak akan dihadirkan untuk menjadi saksi dalam persidangan. Bagi Gatholoco, tindakan apapun dilumat lembuat, diloco dengan keras, agar tidak sampai jatuh pada hal yang salah. Sebab takut kelak menjadi pesakitan yang tak bisa membuktikan kebenaran apapun. Bagi sebagian pembaca, jawaban model Gatholoco ini seperti jawaban orang gila. Semua tahu raga itu pemberian dari Allah, tetapi kan nyatanya menjadi milik manusia. Maka semua terserah manusianya mau menggunakan untuk apa. Gatholoco hanya mengingatkan, bahwa itu semua ada pemilik yang sebenarnya. Bahkan bukti sederhana yang menunjukkan kepemilikan adalah pada mata, yang tak bisa diatur sesuai kehendak manusia. Jangan sampai menjadi maling, mencuri milik Allah. Itu mungkin masih lazim, tetapi jika mencuri kuasa Allah? Mengklaim bahwa amalanya, do‟anya sudah pasti diterima, sudah pasti masuk surga sebab amal perbuatan dan ibadahnya. Seolah olah mereka pemilik surga dan neraka, seenaknya mengatur siapa yang berhak masuk surga dan siapa yang pantas di neraka. Bukankah itu mencuri KekuasaanNYA? Bukankah seperti itu sama saja dengan membunuh Allah, dalam pengertian meniadakan Allah sebagai Maha Kuasa?
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 40
#14 JAWA, TIDAK NJAWANI Setelah berbagai debat antara Gatholoco dan tiga guru pada pupuh pertama, sampai sebagian pupuh tiga ini, perseteruannya tidak berhenti. Gatholoco merasa heran dengan sikap para guru yang mudah marah, menghina, memvonis keburukan pada Gatholoco. Sampai-sampai Gatholoco meragukan asal para guru. “Apakah kalian itu orang Asing? Jika, sama-sama orang Jawa, mengapa kalian tidak Njawani sama sekali?”, begitu kira-kira pertanyaan yang diajukan. Namun lebih lengkapnya dibaca pada bait ke-36 berikut: Apa sira wong Benggala, Guru tiga anauri, Ingsun iki bangsa Jawa, Muhammad agama-mami, Gatholoco nauri, Sira wong kapir satuhu, Kristên agamanira, lamun sira bangsa Jawi, dene sira tan nêbut Dewa Bathara. Terjemah: Apakah kalian orang Benggala (maksudnya India), Ketiga Guru menjawab, Kami ini orang Jawa, (ajaran) Nabi Muhammad agama kami! Gatholoco menjawab, Kalian manusia „Penentang‟/Kafir yang sesungguhnya, seperti halnya orang Kristen! Jika memang kalian orang Jawa, mengapa tidak menyebut (Nama Tuhan dengan sebutan) Dewa Bathara? Pada bagian ini sampai bait 38, Gatholoco menggugat sifat dan watak para guru yang katanya orang Jawa, tetapi memiliki tabiat seperti para kolonialis (yang kebetulan saat itu beragama Kristen). Tidak mengenal budaya Jawa sendiri, tidak memiliki kearifan yang sebenarnya di Jawa juga diajarkan oleh para leluhur.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 41
Bahwa setiap bangsa memiliki tradisi budi pekerti. Kedatangan agama baru, apakah yang dibawa oleh orang Eropa, India (Benggala), Arab dengan agama Hindu, Budha, Kristen dan Islam bukan berarti kemudian menirukan kebiasaan mereka yang sebenarnya juga tidak sesuai ajaran agamanya. Apakah menghardik, menghina, memvonis seperti yang dilakukan oleh para guru kepada Gatholoco diajarkan oleh agama-agama itu? Tentu tidak. Gatholoco mengingatkan bahwa di Jawa sudah ada agama Budha, dalam pengertian adalah agama budhi pekerti (Budhi Dhaya yang luhur), sejak dahulu kala. Maka agama apapun bisa diterima orang Jawa sebagai penyempurna keluhuran yang sudah dimiliki. Para guru mempraktekkan budi pekerti yang melepas agama Islam itu sendiri dalam perilaku, jadinya yang nampak seolah tradisi Arab, atau menghilangkan watak Krsiten yang mengajarkan kasih sayang dan yang nampak adalah nafsu Eropa menguasai dunia. Inilah yang ditentang Gatholoco. Bahkan pada akhir bait yang tersebut diatas, menggugat, “mengapa tidak menyebut Tuhan dengan Dewa Bathara?”, atau dalam konteks ke kinian, mengapa mereka yang menyebutnya dengan “Tuhan, Gusti Allah” kemudian tidak dianggap Islam? Hanya karena sebutan semata, padahal artinya tetaplah menyebut Tuhan itu sendiri. Apakah tidak boleh menggunakan bahasa sendiri, bahasa ibu, untuk memanggil Tuhannya sendiri?
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 42
#15 MBODO Setelah disebut sebagai orang yang yang tidak Njawani, karena mengaku orang Jawa tetapi tidak memiliki budi pekerti seperti yang diajarkan dalam tatakrama Jawa, maka para guru semakin marah. Kebiasaan menghina semakin menjadi-jadi. Memang inilah ciri khas pelaku Masturbasi Religius. Selalu merasa suci, dengan menghina orang lain, dengan memvonis orang lain kotor dan sesat, mereka merasakan kenikmatan dan kesucian dalam batinnya. Apa umptannya? Mari kita baca dalam bait berikut: Ketiga Guru begitu mendengarnya, keras membentak sembari menuding, Gatholoco kamu gila! Gatholoco menjawab, Aku memang gila, jika bertemu orang sepertimu, aku takut ketularan, tidak memiliki mata dan telinga, pengetahuan kalian hanya melulu berkisar tentang jakat pitrah (zakat fitrah) saja. Tudingan gila sudah biasa diterima Gatholoco, bahkan sejak awal berjumpa jauh lebih kasar dari itu juga sudah. Dengan gaya sindiriannya, tidak mempunyai mata dan telinga seperti lintah kembali dikemukakan oleh Gatholoco. Lalu disambung dalam baitu berikutnya: Kyai Guru tiga pisan, tyasnya runtik anauri, Nyata sira anak JALANG, Gatholoco amangsuli, Iku bênêr tan sisip, bapa biyung kaki buyut, kabeh kêna ing pêjah, lamun wis tumêkeng jangji, yêkti mulih mring asale padha ILANG. Ketiga Guru semua, dengan hati panas menyahuti, Nyata kamu anak JALANG! Gatholoco menjawab seenaknya, Ucapanmu #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 43
benar tidak keliru, bapak ibu kakek dan buyut-ku, semua terkena mati, jika sudah sampai pada saatnya mati, pasti pulang keasalnya semua meng-HILANG! Terbiasa dihinia, membuat Gatholoco semakin cerdas dalam menghadapinya. Tidak marah, tidak membalas dengan kekasaran yang setimpal. Tetapi dengan cara dan kata-kata yang tetap lembut, tetapi menusuk hati dan kesadaran. Jika disebut gila, dia membalas dengan tak punya mata dan telingan (seperti lintah). Dia tidak memilih kata Asu misalnya, tetapi seperti lintah. Kata JALANG yang menunjukkan kerendahan asal-usul, orang tua, dijawab dengan santai, bahkan seolah kata JALANG didengar sebagai HILANG. Inilah sikap membodoh ala Gatholoco, tetapi positif bagi Gatholoco, dengan adanya makna baru dalam hinaan, mendorong pikiran positif serta tetap mempu berargumen dengan benar, bahwa semua manusia akan kembali ke asal, yakni HILANG. Ini artinya, mengendalikan emosi menjadi energi positif. Tetapi, apa itu akan bertahan lama? Sebab hardikan berikutnya jauh lebih menukik, Gatholoco dihardik soal ibunya.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 44
#16 KESAKSIAN PALSU Sungguh, para guru menghina Gatholoco lebih sadis. Jika sebelumnya disebut anak jalang, atau pada awal-awal serat disebut anak jin, maka kali ini hardikan yang juga umpatan “Turuk biyang”. Maaf, “turuk” itu dalam bahasa Indonesia ya Vagina. Kata itu memang untuk umpatan. Rupanya, kebiasaan masturbasi religi semakin memperparah nafsu untuk mengina orang lain. Sementara “biyang” ya pokok, asal, ya dari kata “biyung” atau ibu. Jadi umpatan “turuk biyang” seperti menyebut “anak vagina”. Duh, kotor sekali umpatan para guru ini kepada Gatholoco. Reaksi Gatholoco tetap saja mbodo. Sebutan itu seolah menjadi nasehat baginya, bahwa memang dirinya terlahir dari rahim/vagina bagi seorang ibu. Tetapi apakah demikian nyatanya, Gatholoco tidak berani bersumpah. Mengapa, sebab dia sendiri tidak mengetahui persis kejadian kelahirannya. Pengetahuan umum, bahwa setiap manusia terlahir melalui itu. Namun, seiring perkembangan teknologi kedokteran, tidak demikian. Manusia yang lahir melalui operasi cesar, tentu tidak bisa disebut demikian. Lagi-lagi umpatan bagii Gatholoco dijadikan alat atau inspirasi introspeksi, berhati-hati dalam bersikap. Para guru, bagi Gatholoco terlalu gegabah. Mengumpat dengan menyebut asal lahir dirinya. Padahal baru saja ketemu, menyaksikan peristiwa lahirnya saja tidak, tetapi hanya berdasar pengetahuan umum semata, padahal tidak pasti 100% demikian. Ibu atau bapaknya Gatholoco adalah orang yang layak paling tahu proses kelahiran dirinya, tetapi orang lain dengan mudah menilainya. #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 45
Cara pandang demikian, juga terjadi di banyak hal. Seseorang yang tidak mengetahui detail, hanya pengetahuan umum saja atau “gebyah uyah”, padahal ada hal-hal khusus bisa terjadi tetapi sudah berani memvonis seseorang. Apakah semua orang Indonesia itu ramah? Kan tentu tidak. Kebiasan memvonis semacam ini sebenarnya seperti memberi kesaksian palsu, seperti gugatan Gatholoco berikut: saikine sira bisa, nuduhake biyang-mami, wismane ana ngêndi, lawan sapa aranipun, amba-ciyute pira, duweke wong tuwa-mami, yen tau wêruh iku ujar ambêlasar. Terjemahan: sekarang kalian (yang baru bertemu denganku saat ini saja), telah berani menyatakan bahwa aku terlahir dari vagina ibu, jika memang benar kalian tahu pasti, dimanakah rumah ibu-Ku, lantas siapakah namanya, serta seberapa ukuran, milik (vagina) ibu-Ku? Jika tidak bisa menjawab nyata kalian telah bersaksi palsu!
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 46
#17 SIAPA AKU? Para guru yang menghina Gatholoco dengan sebutan “Turuk biyang” menandakan bahwa mereka menilai Gatholoco sebagai wujud Gatholoco yang dilihat saja. Hakikat Gatholoco juga hanya dipandang demikian. Dengan kata lain, Gatholoco yang kelihatan jelek dinilai jelek semuanya, padahal setiap manusia memiliki unsur Ilahi dalam dirinya. Ada Ruh yang sebenarnya merupakan pancaran Ilahi. Maka Gatholoco menjelaskan jika pandangan demikian adalah keliru. wujude Ingsun saiki, mujud dhewe tanpa lawan, Allah ora karya mami, anane raga-mami, gaweyanira Hyang Agung, duk aneng alam dunya, ana satêngahing bumi, lawan sira kala karya raganira. Terjemah: (Ketahuilah) bahwa, wujud-KU ini, berwujud dengan sendirinya dan tanpa tandingan, Allah tidak menciptakan-KU, namun ragaku ini, ciptaan Allah di dunia, ada ditengah bumi, seperti halnya mencipta raga kalian. Jawaban Gatholoco ini adalah pandangan, bahwa setiap diri manusia ada unsur alam dan Ilahi. Badan Gatholoco bisa rusak, tetapi AKU abadi, sebagai tempat mengabdi untuk segala sifat, baik dan buruk, menghidupi segalanya dalam kesatuan. AKU adalah Allah, ya Muhammad. Pandangan ini adalah memfokuskan pada sejatinya HIDUP, yang sejatinya menghidupi manusia, sejatinya tempat yang dituju oleh manusia dengan sifat baik dan buruk. AKU juga ada dalam diri Muhammad, ada dalam diri setiap manusia, meski penciptaan raganya bisa berbeda-beda.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 47
Para guru mengkritik pandangan Kesatuan seperti itu. Apa kuasa Gatholoco berani mengaku demikian? Gatoloc menjawab, bahwa menyadari wujud di dunia, mati, ada dan sirna, semua terjadi karena Ijin-NYA, Kehendak-NYA. Gatholoco tidak memiliki apa-apa. Wujud raga adalah wujud (adanya) HIDUP, untuk bisa mengenal Tuhan, bertindak atas Kehendak-NYA, ucapan, penglihatan, penciuman, pendengaran pada hakekatnya adalah milik-NYA. Tegas Gatholoco, aku ini buka apa-apa, tak memiliki apa-apa, kecuali “mung pangrasa duwek-mami” (hanya rasa memiliki saja), itupun jika atas kasih sayang-NYA. Andai saja tidak mendapatkannya, maka yang dimiliki adalah sepi, dan sepi itu kosong, tak ada apa-apa, seperti saat belum ada (wujud), tetap kosong, tidak tahu apa-apa.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 48
#18 TAKDIR Di saat Gatholoco menjelaskan bahwa AKU yang sejati abadi, tak pernah rusak, para guru memprotes. Seolah Gatholoco mengklaim bahwa dirinya menyatu (jazad/jisim) dengan Tuhan. Bagi Gatholoco, dalam diri manusia ada AKU yang tak bisa rusak karena kematian. Lalu, para guru menduga lagi,” kalau begitu, engkau tahu takdir?”. Gatholocopun menjawab:”Wêruh pisan pêsthine mring raganingwang” (bahkan aku tahu takdirku sendiri). Dilanjutkan dalam bait berikut: “Ingsun pêsthi awakingwang, wayah iki dina iki, jêjagongan lawan sira, mêngko gawe pêsthi maning, kang durung den lakoni, kanggone mêngko lan besuk, supaya aja salah, dadi ora kurang luwih, lamun salah ngrusak buku sastra angka” Terjemahan: Telah aku tetapkan sendiri, pada saat ini hari ini, duduk bertemu dengan kalian semua, nanti aku akan membuat takdir lagi, yang belum terjadi, untuk hari esok dan kelak, harus hati-hati dalam membuatnya, sehingga tidak kurang dan tidak lebih, jika salah (tidak hati-hati) bisa merusak kitab sastra angka. Takdir yang dijelaskan Gatholoco adalah kejadian yang ada dalam kendali manusia. Bahwa saya saat ini sedang menulis adalah takdir yang saya buat. Kemudian nanti minum kopi dan merokok adalah takdi-takdir berikutnya. Dan akibat dari perbuatan (takdir-takdir) yang saya buat saat ini bisa mempengaruhi takdir (kejadian) esok hari atau kelak kemudian hari. Artinya takdir yang demikian adalah sebab akibat. Jika #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 49
tidak hati-hati, maka perhitungan atas sebab akibat bisa rusak, tidak tercapai apa yang dikendaki. Inilah yang dimaksud oleh Gatholoco, mengenai takdir yang demikian. Namun ia tetap percaya bahwa masih ada takdir (kondisi, kejadian) dimana manusia tidak mampu mengendalikannya. Itulah takdir (kepastian) dari Hyang Widhi.Manusia tidak mudah membuat takdir yang mampu melampaui batas dualitas (senan-susah), membuat takdir yang benar-benar seimbang (lahir-batin). Oleh karena itu bagi Gatholoco, dalam membuat takdir (bertindak) harus dalam keadaan pikiran bahagia (positif), dengan kekuatan ini diharapkan akan mampu melampaui batas dualitas itu sendiri. Apapun hasilnya (akibat) dari takdir yang dibuat hari ini, di esok atau kelak hari tetap akan diterima dan mampu membuat takdir-takdir baru yang akan diseimbangkan dengan mudah nanti.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 50
#19 “SETAN” SEBAGAI ASAL MANUSIA Penjelasan Gatholoco soal takdir yang demikian gamblang, tidak menyadarkan akan kebenaran pendapat Gatholoco. Bahwa takdir manusia itu ada yang memang dibuat sendiri oleh manusia, namun ada yang memang menjadi urusan Hyang Widhi. Hukum sebab-akibat adalah jenis takdir yang hendaknya dijadikan patokan berhati-hati bersikap. Dasar suka Masturbasi Religius, merasa sok suci, maka para guru tetap saja menghardik Gatholoco. Kalah berdebat, tetap saja menyerang dengan segala cara. “Dasar anak setan”, demikian hardiknya (Guru tiga sarêng ngucap, Gatholoco sira iki, nyata kasurupan setan). Dihardik demikian, tidak membuat Gatholoco marah, tetapi sebaliknya dia menjawab dengan filosofis. Begini kira-kira jawabannya: “Memang benar asalku dari setan. Sebelum aku terlahir ke dunia, bahkan sampai aku hidup di dunia ini, setanku belum terpisah dari ragaku‟. Kata setan, dimaknai Gatholoco adalah “sesuatu yang putih”, karena berasal dari kata “seta” yang berarti “putih”. Apa itu? Ya, Sperma. Semua manusia membawa setan, artinya dia lahir karena ada unsur sperma dari ayah. Gatholoco yang laki-laki dia juga membawa sperma. Pemahaman kata “setan” seperti ini agak berlainan, ketika orang memahami “warna putih” sebagai bersih. Namun, ketika manusia masih membawa unsur “yang putih” itu sebenarnya dia membawa unsur setan. Jawaban Gatholoco semacam itu, menunjukkan betapa tenangnya dia ketika dihardik. Bahkan tudingan-tudingan yang #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 51
diarahkan menjadi sesuatu yang bermakna baru, menjadi inspirasi lain. Umpatan, hardikan yang bisa menusuk hati, dirubah menjadi kekuatan inspiratif bagi dirinya. Kata setan yang kemudian diarahkan pada makna sperma, menjadi sudut pandang penting dalam hal ini. Artinya, setiap manusia sebenarnya punya peluang sama, membawa setan dalam hidupnya. Gatholoco membalas kepada para guru. Jika dirinya adalah anak setan, dengan karma putih (sperma putih), maka Gatholoco menyebut para guru membawa karma hitam (sperma hitam). Sperma putih disebut setan, sperma hitam seolah bukan setan, padahal dia adalah kegelapan. Manusia lumrah, berasal sperma putih, dengan membawa potensi setan saja dihardik para guru, seolah-olah para guru bukan berasal dari sperma putih, tetapi dari sperma hitam. Merasa luar biasa, padahal itu berbahaya. Inilah yang disebut Gatholoco “Kama Irêng ingkang dadi, dene buntêt tanpa nalar”, “benih hitam, makanya bodoh tanpa nalar”. Sok suci, tetapi sebenarnya goblok.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 52
#20 PERUSAK AGAMA Para guru benar-benar marah menghadapi Gatholoco yang slengekan, melencengkan pembicaraan. Disebut JALANG ditanggapi soal HILANG (nyawa/mati), dihardik “turuk biyang”, menjawab dengan filsafat kelahiran, dihina kesurupan SETAN, dimaknai sebagai SPERMA (setan, dari seta=putih). Mereka menyebut Gatholoco sebagai perusak agama. Jawaban Gatholoco lagi-lagi bikin jengkel. Malah menantang. “Jika ingin membunuh, bunuh saja aku, tusuk jazadku, rusak bangkaiku, nanti kalian akan puas. Kalian bisa benar-benar mendapat kepuasan”. Bagi Gatholoco, dirinya bukanlah perusak agama. Baginya, adalah keselarasan antara lahir dan bathin, sambungnya rasa batin dan lahir. Apapun agamanya, jika bisa mencapai demikian, bisa diterima. Itulah yang disebut agama rasa, agama suci Gatholoco. Agama rasa adalah: “nuruti rasaning ati, rasaning badan lan lesan, iku kabeh sun-turuti, rasaning lêgi gurih, pêdhês asin sêpêt kêcut, pait gêtir sadaya” (Menuruti/memperhatikan semua rasa di hati, rasa badan, rasa lesan, semuanya, gurih, manus, pedas, kecut, sepet, pahit, getir dan sebagainya). Semua sangat dipehartikan. Gatholoco guru yang sebenarnya justru merusak Gatholoco menyebutnya “hanya sampai makanan, tidak dirasakan makanannya, #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
mengkritik, perilaku agama/sariat/sarak. di lisan”, andai saja “langsung ke anus” Page 53
(yèn mangan lêbokkên silit). Jika hanya demikian, maka “iku têtêp janma kang ngrusak ing sarak”. Dengan kata lain, banyak dalil hanya sampai pada lisan, penghiasa bibir, mempercantik lisan pendakwah, tetapi tidak sampai merasuk di rasa, ibarat seperti orang makan, dari mulut langsung ke anus, terbuang. Itulah perilaku sebenarnya yang dapat merusak agama/sariat. Dan ditandakan lagi: “patut sira tanpa budi | basa makna iku laras | sun laras ing têgêsnèki | nusul laras kang sêpi | mila sira dadya kumprung” Layak kalian tidak punyai budi pekerti, sebab cara beragamu demikian, tidak selaras antara lahir dan batin. Bagi Gatholoco, menelusuri agama sampai ke rasa, sampai ke rasa yang sunyi adalah usaha untuk menjaga agama itu sendiri.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 54
#21 SETAN BERWUJUD MANUSIA Para guru mengakhiri debatnya. Mereka sakit hati, karena jawaban Gatholoco yang dipandang ngawur, namun sebenarnya mengandung kebenaran. Mereka bersumpah untuk tidak mau bertemu dengan orang model Gatholoco. Sementara Gatholoco merasa prihatin, meski dalam hatinya ia merasa menang berdebat. Melihat kenyataan bahwa para guru yang sebelumnya dianggap memiliki wawasan luas, ilmu agama mendalam, namun dalam prakteknya sangat mudah memvonis orang lain, menghardik orang lain. Tidak ada budi pekerti dalam ucapannya maupun tindakannya. Ia bergumam: “Lamun wulange manusa, mêsthine pada mangrêti, mring duga lawan prayoga, aywa karêm karya sêrik, mulane kudu eling, eling marang Ingkang Asung, asung urip kamulyan, upayanên den kapanggih, yen pinanggih padhang têrang sagung nalar” Terjemahan: Andai, mereka benar-benar manusia, pastilah akan memahami, akan baik dan buruk, tidak suka gampang menghakimi sesama, oleh karenanya harus ingat kepada yang Maha Pemberi, yang memberikan kemuliaan hidup, carilah (Dia) hingga ketemu, jika telah ketemu akan terang benerang kesadaran ini. Gatholoco berkseimpulan, jika seseorang mengajarkan ilmu tanpa disertai budi pekerti, maka ia sebenarnya adalah setan yang berwujud manusia. Manusia yang sadar akan baik-buruk, sebenarnya ia menempuh jalan terang, itu juga berarti dia hidup yang sebenarnya. Manusia sejati ialah mereka yang #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 55
unggul, mampu melampaui dualitas (realitas duniawi), tidak seperti para guru itu yang buruk budi pekertinya. Siapapun mereka yang sudah mencapai terang, ia tidak akan mudah bermasturbasi religius, tidak mudah mencari kepuasan diri karena keunggulan ilmunya dan merendahkan orang (yang nampak) bodoh lainnya. Hanya setan-setan yang berwujud manusialah yang suka melakukan Gatholoco (masturbasi) semaca itu.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 56
#22 TUHAN YANG PEMARAH ATAU RAMAH? Para guru, sakit hati, merasa kalah berdebat. Kemudian menghadap kepada Kyai Kasan Besari. Singkat cerita, Gatholoco bersedia menghadap Kyai Kaji (Kasan Besari). Kyai Kasan Besar merasa mampu menghadapi Gatholoco, dibanding para guru lainnya, karena merasa menguasai berbagai ilmu, termasuk ilmu Jawa. Dialog sudah memasuki persoalan keselamatan, surga dan neraka. Kyai Kasan Besari menuturkan bahwa jiwa manusia muslim yang menuruti perintah Kanjeng Nabi, seperti shalat, zakat, puasa dan lainnya akan diterima oleh Hyang Widhi, masuk surga. Sementara yang tidak mau mengikuti panutan (Kanjeng Nabi), maka dia menjadi MUSUH TUHAN, kafir, masuk neraka. Sampai pada penjelasan ini, Gatholoco segera menyergah, dan berucap, “Gatholoco asru muwus, dene Ingkang Kuwasa, nganggo nyatru marang wong kapir sadarum, lamun sira tan pracaya, maring kudrating Hyang Widdhi”. Jika pemikiran Kyai Guru demikian, itu berarti konyol. Untuk apa Tuhan memusuhi orang kafir, itu berarti tidak percaya kepada Kuasa Tuhan. Gatholoco melanjutkan, “kamulah sesungguhnya yang menghina Tuhan! Membagi-bagi manusia menjadi umat Nabi (dan yang bukan umat Nabi), adanya sebutan kafir itu, siapa yang membuat? Lantas pula siapa yang menciptakan mereka, yang memberikan kemuliaan dan celaka, tiada lain juga Hyang Maha Suci. Jikalau Tuhan mempunyai musuh yang disebut kafir yang katanya murtad kepadaNYA, sebaiknya Dia tidak usah menciptakan, dan mentitahkan (orang kafir) hidup di dunia, sehingga Tuhan tidak repot-repot mempunyai musuh yang membuat Dia
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 57
marah-marah, jikalau memang demikian Allah-mu, tidak mempunyai Budi (Buddhi :Kesadaran)!”. Membagi-bagi, dengan vonis kafir, musuh dengan orang Islam, hanya pekerjaan sia-sia, yang mengadu domba. Sedangkan Tuhan yang diyakini dalam konsepsi Gatholoco tidak demikian, semua manusia diberi pilihan bebas memeluk agama, Tuhan yang bijaksana, tidak mudah marah-marah.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 58
#23 MALING DUNIA DAN AKHIRAT Penegasan Kyai Kasan Besari, bahwa semua jiwa orang muslim akan masuk surga,, sementara yang kafir masuk neraka. Pernyataan ini dipertanyakan oleh Gatholoco, dari mana dasarnya pernyataan itu? Apa melihat sendiri? Apa pernah mati, menyaksikan isi neraka dan surga? Kyai Kasan menjawab, itu semua berasal dari kitab suci yang dipelajari. Mendengar jawaban ini, Gatholoco ketawa, dan berkata, “sira santri kêparat, ngandêl marang daluwang mangsi bukumu, nurun bukune wong sabrang, dudu tinggalan naluri”. (Terjemahan: kamu ini santri keparat, percaya kok sama isi buku, njiplak bukunya orang asing, bukan buku/kitab naluri sendiri). Kitab berbahasa Arab, tidak mengkaji kitab yang sesungguhnya (kitab diri/nurani). Wawasannu itu semua kamu peroleh dari kitab sembarangan, hingga dangkal. Padahal kamu yakin berbekal wawasanmu itu kamu kelak, mati akan menghaturkannya kepada Gusti Allah, yakni yang memilikinya.Apa seperti itu akan diterima Allah? Sebab segalanya adalah milikNYA, seluruh pujian manusia, ucapan, dzikir, semuanya milik Hyang Agung, tetapi kamu akan mengembalikannya? Apa itu justru tidak berdosa? Kyai Kasan marah mendengar ulasan Gatholoco ini. “Kamu menghina kitab Rasul”, demikian bentaknya. Gatholoco menjawab, memang aku sudah sering menghina. Tetapi camkan baik-baik, setelah kamu membaca apa yang berbunyi/tertulis di kitab dari kertas, maka wujudkan dalam dirimu, rasakan dan hayati ayatnya yang sudah kau pelajari. Harusnya itulah yang kamu perhatikan. Bukan teks kitab suci #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 59
yang selalu kamu jadikan rujukan, harusnya amalmu sendiri yang melekat dalam diri itulah yang menjadi ayat pada dirimu sendiri. Tentu kamu akan salah lagi, jika tidak demikian, sebab kelak setelah mati, kamu akan membawa yang kamu cintai. Jika hanya bunyi tulisan ayat yang kamu cintai, maka hanya itu yang engkau bawa. Lantas apakah Tuhan akan menerima itu? Manusia sering melupakan kitab (ayat-ayat) yang ada dalam dirinya. Mencari kebenaran, nasehat dan pelajaran tidak mau memperhatikan apa yang sudah ada dalam dirinya. Ini diperparah dengan pengakuan-pengakuan bahwa amal yang dilakukan kelak di kemudian hari adalah miliknya (akibat hanya memahami teks semata). Kitab yang ada dalam diri manusia pada hakekatnya adalah milikNYA, Hyang Agung. Dengan demikian, tidak ada milik yang bisa dihaturkan kelak. Jika menyadari akan kitab diri, manusia akan menemukan bahwa dirinya, hidup di dunia ini hanyalah tinggal memakai, tidak memiliki apapun. Gatholoco menyebut manusia yang mengaku-ngaku kepemilikan ini adalah sebagai maling dunia dan maling akhirat, “yen mangkono sira kuwe, ora ngamungna neng dunya, olehmu dadi bangsat, aneng akherat dadi pandung, anggawa dudu duweknya”.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 60
#24 MENYEMBAH WAKTU (Pupuh V, bait 4-7) Benarkah orang yang rajin shalat itu pasti menyembah Allah? Tulisan berikut adalah ulasan Gatholoco yang menerangkan, yang terjadi tidak demikian adanya. Berikut saya kutip: “Tanpa gawe jungkar-jungkir, nêmbah salat madhep keblat, clumakclumik kumêcape, angapalake alip lam, têgêse iku lapal, angawruhana asalmu, urip prapteng kailangan” Terjemah: Engkau jungkir balik, menyembah, shalat menghadap kiblat, umak-umik membaca do‟a, membaca ayatayat suci, tak akan ada gunanya, sebab itu hanya lafal, hanya kalimat. Harusnya melalui shalat, engkau berusaha mengetahui asalmu, jika tidak demikian hidupnya tak akan dapat apa-apa, kehilangan segalanya. Orang sangat rajin shalat, magrib, subuh, duhur, asar dan isya‟. Bahkan setiap masuk waktunya, selalu mendahulukan shalat, bersegera menjalankannya. Tetapi ya hanya sebatas itu, sebatas mematuhi waktu saja. Jika pemahamannya hanya demikian, maka itu jelas salah pemahaman. Orang sangat mematuhi waktunya, tetapi lalai mencari yang disembah. Padahal, semua manusia diberi rasa, ibarat hidung yang mampu mencium berbagai bau. Hanya mengejar target waktu dan jumlah. Jadinya sepeti yang disampaikan Gatholoco: “mung mangeran marang wayah, tan mangeran Ingkang Gawe, lamun bêngi sarta awan, pijêr kêtungkul wayah, ora mikir mring awakmu”, hanya bertuhan waktu, tidak menyembah yang #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 61
membuat waktu, siang dan malam hanya sibuk dengan waktuwaktu shalat semata, tidak meneliti diri, tidak berusaha memahami darimana asal diri. Bukankah dalam gerakan shalat diajarkan untuk sujud, rukuk, berdiri dan duduk. Apakah hanya untuk demikian saja? Apakah seumur hidup pada akhirnya mengejar waktu? Tuhan, yang menciptakan manusia sudah membekali setiap manusia ada rasa wadag, ya itu rasul (utusan), cahaya hidup (ruh kehidupan), demikian pula gerak hati, ya Muhammad. Tiga perkara itu ada pada setiap manusia. Apakah tidak cukup modal itu? Manusia hanya punya “merasa” saja. Merasa ini, merasa itu, merasa memiliki ini, merasa memiliki itu. Melalui shalat, harusnya menyadarkan manusia untuk mengembalikan yang bukan miliknya kepada Pemilik sesungguhnya. Mendengar uraian demikian, Kyai Kasan membanting kethu (kopyahnya) dan marah, serta bertanya: kemana aku mengembalikannya? Bagaimana aku mengembalikannya? Gatholoco tertawa. Katanya ilmunya sundul langit, kitabnya segudang, menguasai banyak ilmu, bahkan ilmu jawa. Mengapa yang demikian saja masih bertanya? Apakah tidak punya mata?
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 62
#25 ARTI LIMA WAKTU SHALAT (Pupuh V, bait 14-30) Setelah kritik Gatholoco terhadap Kyai Kasan soal terjebaknya orang Islam menjalankan shalat lima waktu, yang berujung hanya taat pada waktu, menyembah waktu tanpa mengerti dan mengenal yang disembah, selanjutnya Gatholoco juga mengkritik pemahaman yang salah soal makna lima waktu (shalat wajib). Pemahaman tentang sejarah atau rahasia 5 waktu shalat yang sering diasosiasikan dengan para nabi, dimana shalat subuh dengan nabi Adam, Dhuhur nabi Ibrahim, Ashar nabi Yunus, Magrib nabi Isa, dan isya nabi Musa. Gatholoco mengajukan alasannya: “Sira iku santri blasar, mangka Nabi Muhammad, têtela Nabi Panutup, tunggule nabi sadaya”, (terjemah: Nabi Muhammad itu jelas nabi penutup, puncaknya para nabi), bagaimana sariatnya hanya sekedar mengulang sejarah nabi-nabi sebelumnya? Bukankah jumlah nabi/rasul juga lebih dari lima, mengapa yang lain tidak dijadikan dasar sariat? Jika hanya semata-mata karena sejarah, lantas buat apa shalat menjadi ibadah utama sebagai penyelamat manusia di dunia dan akherat? Gatholoco kemudian menguraikan, bahwa yang dimaksud shoalat subuh itu shalatnya nabi Adam, adalah ketahuilah bahwa di saat subuh, saat dunia ini gelap keadaannya tidak ada (adam), kosong, maka nabi Muhammad memerintahkan shalat subuh untuk mencari DIA yang ADA (lawan dari Adam). Usaha untuk mencari DIA yang Maha Kuasa, untuk mendapatkan penerang, kesadaran, keluhuran diri. Maka di saat terik matahari yang menggodok manusia, susah-senang. Itulah shalat dhuhur (luhur), mencari Hyang Maha Luhur, #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 63
untuk berusaha mencapai keluhuruan pribadi. Seiring turunnya surya, seiring dengan perkembangan manusia mulai meredup. Begitulah kehidupan, ada kadang di atas (puncak kejayaan), kadang di bawah (rendah, hina), itulah sejatinya mengingatkan waktu ashar (asor) manusia. Shala di waktu ashar adalah menjaga spirit manusia berusaha melampaui rintangan yang menghambat, menyadari kehinaan untuk tetap berusaha mencapai keluhuruan, terang benderang jiwa. Waktu masih berlanjut, kehidupan memasuki waktu surup, terbenam matahari, manusia diperintah shalat, agar terus berusaha mengetahui (sumurup) akan Hyang Maha Luhur, demikian pula tujuan utama manusia untuk tetap mencari penerangan jiwa yang sejati. Pada akhirnya manusia dan hidupnya sampai pada ujungnya, gelap kembali, membingungkan. Kanjeng Nabi memerintahkan untuk shalat, untuk menangisi nasib diri di saat akhir gelap kehidupan. “Nangisa”, menangislah, itulah waktu shalat isya‟, melalui proses menangis yang sungguh, memasuki relung jiwa yang gelap dan dalam, manusia tetap harus mencari cahaya kehidupan cahaya bulan (yang menerangi malam). Bulan adalah sasih, maka cahaya kasih itulah yang dicari. Shalat pada akhirnya menerbitkan bulan purnama dalam jiwa, rasa kasih sayang dalam diri pribadi. Mendengar uraiang Gatholoco seperti itu, Kyai Kasan heran dan bertanya, “dari mana penjelasan seperti itu?, apa kamu ngarang?”, Gatholoco menjawab, kitab BARUL KALBI, artinya samudra hati. Penjelasan itu bersumber dari keluasan hati yang menyamudra, tanpa batas. Lantas Kyai Kasan bertanya, “apa kamu menjalankan shalat?”, Gatholoco menjawab halus: “sêmbahyang langgêng tan pêgat”, (sembahyangku kekal tanpa putus).
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 64
#26 SHALAT TERUS, TANPA PUTUS (Pupuh V, bait 30-35) Ketika Gatholoco menjawab bahwa shalatnya “sembahyang langgeng tan pegat”, bukan berarti dia meninggalkan sariat shalat lima waktu. Pada tulisan #24&25 Gatholoco mengkritik sikap para santri yang sudah merasa menyembah Tuhan melalui rutinitas shalat lima waktu, yang dipatuhi hanya waktu saja, padahal mengenai waktu juga hanya sebentar (kira-kira 5 menit), sisanya dianggap tidak shalat. Dengan kata lain, waktu yang lebih banyak tidak menyembah Hyang Luhur. Itulah kritik sebenarnya Gatholoco kepada Kyai Kasan. Lupa pada tujuan mengenal Hyang Luhur, lupa pada waktu yang berjalan dari subuh sampai malam hari, yang kesemuanya adalah tanda-tanda untuk selalu mengingat kepada Hyang Luhur. Maka, Gatholoco menerangkan sembahyangnya yang tanpa putus: “Sujud-mami sujud eling, keblatku têngahing jagad, barêng napasku sujude, napasku mêtu mbun-mbunan, salatku mring Pangeran, mêtu saking utêkingsung, sêmbahyangku mring Hyang Suksma” Terjemah: sujudku adalah kesadaran, kibaltku/fokusku adalah pusat jagad, aku bersujud berbarengan dengan nafasku yang keluar dari ubun-ubun, shalatku kepada Tuhan keluar dari otakku, sembahyangku kepada Hyang Sukma. Penjelasan ini dapat dijabarkan demikian, bahwa kesadaran kepada Yang Maha Hidup adalah wujud dari sembahyang, mengikuti, taat dan patuh pada Dzat Hidup Sejati, Dia juga sebagai fokus utamanya. Gerakan bersujud (atau gerakan #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 65
lainnya) adalah bentuk dari ketundukan kepadaNYA, dalam setiap napas, saat demi saat, detik demi detik. Shalat, menyembah kepada Hyang Maha Hidup adalah puncak dari usaha keras (melalui olah daya fisik, batin dan pikir), yang kesemuanya tetap terkendali dalam kesadaran. Gatholoco hendak menegaskan bahwa, waktu shalat, sembahyang tidak dibatasi, meski ada saat-saat tertentu dengan nama tertentu. Ketika bekerja, makan, bermain dan sebagainya, hendaknya kesadaran mengikuti dan tunduk (bersujud) kepada Hyang Maha Hidup itulah shalat tanpa putus. Kesadaran akan Hyang Maha Hidup akan mendorong seseorang untuk terus bisa hidup dengan kesadaran sejati, mampu menghidupkan sekitarnya. Lebih lanjut Gatholoco mengatakan: “Ingkang mêtu lesan-mami, sêmbahyang mring Rasulullah, kang mêtu irungku kiye, ingkang Dzat pratandhanira, iku taline gêsang, kabeh saking napasingsun, sêbutku Allahu Allah” Jadi, yang keluar, berbagai aktivitas akibatnya adalah ucapanucapan yang terpuji, memuji, mengikuti Rasulullah, mengikuti nurani yang lurus. Yang keluar dari hidung, nafas adalah pertanda adanya hidup, itulah pengikat hidup, tanpanya semua mati. Aktivitas yang tidak mengikuti rasa sejati (rasul), maka sebenarnya adalah kematian. Sebaliknya yang mengikuti rasul (rasa sejati) dia secara otomatis, wiridnya adalah Allah, Allah. Shalat yang tanpa putus, dengan singkat dapat dikatakan adalah hidup yang bermanfaat, ucapannya, perilakunya adalah terpuji, mengikuti Rasulullah Muhammad, yang memang #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 66
terpuji, sebelum adanya langit dan bintang, bahkan sampai kelak. Gatholoco ingin mengembalikan bahwa shalat itu adalah ibadah yang total dan utuh. Tidak diputus-putus oleh waktu dan ruang. Ketika waktu shalat, seseorang bisa khusu, namun di saat tidak shalat kelakuannya kembali busuk. Ketika di ruang shalat (masjid atau langgar) demikian tunduk, tetapi keluar darinya suka kasak-kusuk dan hati hasud. Inilah poinnya, Gatholoco mengkritik pada santri yang merasa sudah shalat sempurna, tetapi ucapan dan perilakunya masih suka menghina, tidak menghargai hidup lainnya, tidak berguna. Jika demikian, mereka adalah sedang ngGatholoco, masturbasi, mencari puas dengan shalat yang sudah dilakukan.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 67
#27 PIDATO GATHOLOCO (Pupuh V, bait 36-46) Berikut ini adalah babak akhir perdebatan Kyai Besari dengan Gatholoco. Sanggahan Gatholoco tentang shalat telah membungkam kesombongan Kyai Kasan. Akhirnya Kyai Besari menyerah, dan berkata: “Sakala Kasan Bêsari, sidhakep kendêl kewala, puwara alon wuwuse, wus dadi prasêtyaningwang, kalamun bantah kalah, kabeh iki darbekingsun, sira wajib mengkonana”. Terjemah: Seketika Kyai Besari, bersedekap, diam, terdengar suaranya lirih, sudah menjadi janjiku, jika aku kalah berdebat, maka semua ini (milik Kyai Besari), kamu (Gatholoco) wajib memilikinya (mengelolanya). Kyai Besari rela lahir batin, mushola dan perabotannya, semua santrinya yang memang mau berguru kepada Gatholoco dipersilakan. Ia meminta Gatholoco mengajari ajaran yang utama. Kemudian, Kyai Besari pergi, mengembara, sedih, terlunta-lunta, malu, namun ia menyadari memang itulah suratan takdirnya. Gatholoco ditinggali 300 santri. Mereka duduk bersila menghadapnya. Kemudian, ia berpidato: “Wahai saudaraku semua, apabila dirimu ingin mendapat ketentraman, ingat-ingatlah kata-kataku, jangan meniru tingkah laku gurumu (Kyai Hassan Bashori), sewenangwenang kepada sesama. Tingkah yang demikian tidaklah patut, menghina sesama manusia, seluruh umat itu sama, pintar bodoh, tampan buruk, yang beruntung dan yang sengsara, kuli, petani, priyayi, lelaki maupun perempuan tiada beda. Sudah menjadi ketetapan Hyang Widdhi, tak bisa dirubah, takdir dari #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 68
setiap makhluk, oleh karenanya terimalah, jangan terus merasa tidak puas, hidup ini pasti bakal mati, hidup didunia selalu ingat. Jangan riya (Suka pamer) dan takabbur, senantiasa menganggap diri yang paling unggul, suka mencampuri urusan orang, suka sirik (hasud) dan gampang tersinggung, suka berbohong dan memfitnah, jahil suka selintutan dan gampang mengingini milik orang lain, suka menipu baik secara kasar maupun halus, seenaknya dan suka bertengkar. Jangan sesekali berlebihan, angkuh dan suka menuruti keinginan badani, jangan suka banyak makan dan banyak tidur, jalanilah secukupnya, sabarlah dan tawakallah, yang ramah dan jangan jadi pemarah, hargailah sesama manusia. Jangan membuat sakit hati, jangan membuat kecewa, jangan suka menakutnakuti dan mengagetkan, semua itu najis dan haram yang sesungguhnya! Itulah sesungguhnya yang disebut memakai pakaian dan memakan makanan sah (halal), dan itu pula jalan yang harus ditempuh oleh pelaku spiritual, tidak bisa dibuat sembarangan”. Sungguh indah pidatonya. Apakah anda pernah menemukan pidato yang mirip demikian?
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 69
#28 GELAP DAN TERANG (Pupuh VI, 3-5) Setelah para santri merelakan dirinya di ajar oleh Gatholoco, maka Gatholoco meminta mereka jua rela menganggap dirinya sebagai bapaknya. Kemudian Gatholoco mengajukan beberapa teka-teki yang perlu direnungkan dan untuk dicari jawabannya bagi masing-masing santri. Berikut ini adalah teka-teki yang diajukan: (1) Lamun bêngi ana apa (jika malam gelap ada apa?), (2) Yen awan ingkang ngêbêki, (jika siang yang meliputi), (3) Apa ingkang ora nana, (apa yang tidak ada) (4) Satuhune iya êndi (sesungguhnya dimana yang tidak ada itu? Teka-teki yang diajukan ini adalah sebuah dorongan kepada santri untuk mencari segala apa yang ada dibalik dari yang tampak. Jika, keadaan gelap, apakah benar-benar tidak ada segala sesuatunya? Atau ada sesuatu? Jikapun dalam keadaan terang benderan, apakah ada sesuatu yang sebenarnya menutupi terang benderang itu? Sesuatu itu sebenarnya ADA, namun dalam kelihatannya justru nampak tidak ada. Jika gelap gulita menjadi tidak bisa melihat apa-apa, padahal banyak sesuatu yang ada. Demikian sebaliknya, jika terang benderang yang nampak adalah yang terkena terang, namun sebenarnya ada sesuatu yang ADAnya bisa menutupi terang itu sendiri karena terangnya luar biasa. Artinya, Gatholoco mengajarkan untuk mencari sesuatu dibalik keadaan gelap dan terang, untuk tidak mudah terjebak adanya terang dan gelap. Sebab siang ini terang benderang, dan nampak banyak hal, namun ketika memasuki gelap, semuanya sirna, padahal sebenarnya ada. #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 70
Manusia diajari untuk melampau dualitas gelap dan terang, agar menemukan yang ADA sejati, yang tidak terpengaruh oleh gelap dan terang. Perilaku masturbasi para santri dan gurunya dalam bait-bait di pupuh I-V mencerminkan sikap yang tidak mampu melampaui dualitas ini. Pandangannya sangat tergantung pada kondisi gelap dan terang. Jika gelap, hatinya ikut gelap, jika terang hatinya ikut terang. Para maling melihat dengan jelas di saat gelap, namun banyak koruptor gelap mata di siang yang terang. Apa yang terlihat (karena sinar terang) langsung dinilai hanya karena wujud yang terlihat, tetapi tidak mampu melihat (cahaya) kebaikan dalam wujud itu. Sementara apa yang tidak terlihat (belum terlihat) diyakini pasti tidak adanya, padahal pasti ada sesuatu entah apa itu.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 71
#29 MENGENAL HIDUP SENDIRI (Pupuh VI, 4) Gatholoco pada dasarnya mengajarkan setiap pribadi mengenal hidupnya masing-masing. Mengenal, mencari, menemukan dan mengkajinya menjadi sesuatu yang sangat berharga, karena pada dasarnya setiap diri pribadi berasal dari Hyang Hidup Yang Mahaesa. Banyak teka-teki menyimpan ajaran disampaikan oleh Gatholoco dalam Pupuh VI ini. Berikut adalah beberapa ujarannya. Hidup itu jauh, tanpa jejak (doh tanpa wangen), dekat tetapi tidak bersentuhan (cedhak tan senggolan). Jika jauh melekat di benak (yen adoh katon gumawang), jika dekat tak dapat dilihat (yen cedhak datan kaeksi). Jika itu isi sesuatu ada semua, jika kosong benar-benar kosong. Anda atau saya, tentu merasakan diri ini hidup. Benar terasa, apakah melalui gerak gerik, apakah melalui nafas, apakah melalui detak jantung atau lainnya. Tapi tidak pernah bisa bersentuhan dengannya, sehingga terasa jauh sekali dari diri, padahal ia melekat, begitu dekat. Jika kelak kemudian mati, terasa jauh, namun anda bisa merasakan dekatnya dengan yang mati, terngiang, diangan atau dibenak melekat sangat kuat. Namun di saat masih hidup apakah itu nampak? Tentu tidak. Itulah hidup diri ini, hidup diri anda. Saya bisa merasakan banyak hal dalam hidup saya, apapun dari semua urusan yang ada pada diri. Hidup saya dengan demikian benar-benar penuh dengan segala urusan. Namun,
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 72
hidup ini juga kosong melompong, awang awung. Sebab wujud isi itu juga tidak nampak. Apa arti dari semua ini? Gatholoco mengajarkan bahwa sumber masturbasi religius, berasal dari merasa diri ini begini dan begitu, menilai orang lain begini dan begitu. Dan itu adalah akibat tidak mau mengenal hidup diri sendiri, yang sebenarnya juga tidak mampu dipahami dengan detail dan jelas. Terhadap hidup diri sendiri saja demikian, mengapa kemudian mudah meninggikan diri? Mudah menghina orang lain? Ketidaktahuan terhadap hidup diri, ketidakpahaman akan diri sendiri harusnya menyadarkan bahwa manusia itu bodoh. Tidak perlu menghina orang lain, siapa tahu dirinya sendiri adalah hina. Tidak perlu menyombongkan diri, siapa tahu dirinya tidak layak disombongkan. Terhadap hal vital, hidup sendiri saja tidak memahami, bagaimana merasa diri sendiri lebih hebat dari lainnya? Dengan kesadaran ini, apakah masih mau bermasturbasi religi?
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 73
#30 HIDUP ITU SAMA (Pupuh VI, 5-6) Dalam bait sebelumnya, Gatholoco menjelaskan bahwa Hidup itu sulit dikenali, dekat, tapi jauh, dekat juga susah dilihat. Ada, namun juga kosong. Dalam bait ke-5 juga masih menegaskan soal itu. “Sangat halus hingga tak bisa dijumput, sangat nyata tapi tak bisa dinyatakan, Sangat lebar namun juga sempit, sangat sempit tapi lebarnya melebihi semua yang lebar, ibarat bambu dibelah, apa isinya? (Bambu isinya ruang kosong, namun jika dibelah, lantas apa isinya? Kemanakah yang kosong tadi?:Bahkan apakah anda mengenal yang ada dihadapan? Demikianlah, ajaran Guru Gatholoco untuk berusaha keras mengenal Hidup diri pribadi. Mengapa? Sebab pada hakekatnya Hidup semua orang itu sama, berasal dari Yang Satu, keadaannya juga sama. Digambarkan, Yen lanang tan nduwe jalu (jika lelaki taka ada penis), Yen wadon tan duwe bêlik (jika perempuan tak ada vagina), Iya kene iya kana (di sana di sini), Iya ngarêp iya buri (ya di belakang ya di depan), Iya keri iya kanan (ya kiri ya kanan), Iya ngandhap iya nginggil (ya di atas ya dibawah). Wujud perempuan atau laki-laki hanyalah pakaian, hakekat hidup yang ada di dalamnya tidak berjenis kelamin, semua sama. Manusia dasarnya sama, itulah mengapa, ajaran untuk mengenal kesamaan diri ini menjadi sangat penting. Para guru begitu merendahkan Gatholoco, tatkala melihat wujudnya yang jelek, melihat pakaiannya yang kurang bagus, dan sebagainya. Padahal itu hanya wadag, wadah bagi jiwa yang sama.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 74
Hidup diri selalu menyertai, ikut ke mana saja, dan mengawasi di mana saja. Apa saja yang diperbuat oleh manusia, Hidupnya sendiri selalu mengawasi, mau di atas langit, di dasar samudra di mana saja. Sebab Hidup adalah saksi yang meliputi. Ia meliputi diri yang ditempati, ia mengelilingi diri yang diawasi. Jika demikian, pengawasan diri sebenarnya sudah lebih dari cukup bagi setiap diri manusia yang sadar. Ia bisa menjadi cermin dari sudut manapun, dari depan, belakang, atas bawah, kanan dan kiri. Bisa melihat keadaan diri secara menyeluruh. Tak akan ada secuilpun bagian diri yang tidak dikenali. Sehingga kelak, tak ada kesempatan untuk mengelak, sebab Hidup sudah meliputi semuanya, menemaninya secara utuh dalam setiap perjalanan manusia. Lantas masihkah butuh mlaikat untuk menakuti? Butuh neraka untuk jadi ancaman? Agar ingat kebaikan? Belum cukupkah Hidup itu sendiri menjadi sahabat sejati?
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 75
#31 INTROSPEKSI (Pupuh VI, 7) Soal Hidup, begitu banyak perlambang yang bisa diajukan, semuanya mengandung makna yang dalam. Guru Gatholoco mendorong para santri untuk terus menggali dan mengkaji dan mengenal Hidup masing-masing diri. Hidup, atau sebut saja Jiwa, itu bisa dikatakan sebagai jagad besar sekaligus kecil. Bisa disebut diam, namun begitu cepat bergerak. Begitulah Hidup yang bisa digambarkan dalam bentuk dualitas yang bertentangan. Baitane ngêmot laut (perahu yang memuat samudra), Kuda ngrap pandhêgan nênggih (kuda berlari namun dalam posisi diam), Tapaking kuntul ngalayang (jejak burung yang terbang), Pambarêp adhine ragil (anak pertama menjadi adik si ragil), si Wêlut ngêleng ing parang (belut tinggal di batu), Kodhok ngêmuli lengneki (katak menyelimuti rumahnya). Hidup, Jiwa manusia itu tidak nampak, berada dalam diri manusia. Namun ia mampu menanggung beban persoalan yang sedemikian banyak. Jiwa seorang presiden akan memuat persoalan yang jauh lebih besar ketimbang jiwa rakyat biasa. Jiwa manusia itu bisa nampak diam, tetapi ia begitu sibuk. Orang-orang yang berjiwa tenang bukan berarti jiwanya diam, mati, tetapi ia justru yang sibuk menenangkan diri, sibuk berperang dalam mengatasi lintasan hati, kegelisahan, berjihad meraih kembali Hidup yang sejati. Hidup, jiwa itu ibarat jejak burung terbang. Mana ada jejak kaki burung terbang? Yang paling mungkin ada dalah #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 76
bayangannya. Artinya, Hidup itu memang tidak nampak sama sekali, namun bayangannya tetap ada, meski itu sangat sulit dicari. Setiap diri harus belajar mengenal bayangannya sendiri. Lintasan-lintasan dalam hati adalah bentuk bayangan jiwa yang bergerak. Seperti diuraikan sebelumnya, bahwa Hidup itu sama dalam diri manusia. Ia bisa lebih dewasa dari wadagnya, ia bisa lebih kanak-kanak dari wujudnya. Jiwa orang-orang yang mau bersuci, akan menjadi jiwa yang tua, namun mereka yang tidak mau memperhatikannya, maka jiwanya, meski dia ada dalam diri orang dewasa, ia tetaplah kanak-kanak (adiknya si ragil). Jiwa, Hidup itu selain seperti bahtera yang meliputi samudra, ia juga seperti katak yang menyelimuti rumahnya. Bagaimana mungkin katak mampu menelan lubang tinggalnya? Katak tentu lebih kecil dari lubang hidupnya. Itulah gambaran jiwa yang sudah bersih, mampu terbang luas, mampu berlari kencang, dan juga mampu memahami dirinya sendiri. Mengetahui dirinya dari sudut luarnya. Ia tidak bodoh, seperti katak dalam tempurung, tetapi juga mampu melihat tempurungnya. Hidup ibarat belut yang tinggal di batu. Apa bisa? Ya, Jiwa manusia mampu menembus batas-batas yang tersulit sekalipun. Hati yang keras melebihi karang, akan mampu ditundukkan oleh Jiwa yang murni. Menajamkan kemampuan jiwa-jiwa penembus batas itulah yang harusnya dilakukan oleh para santri. Itulah perlambang-perlambang yang diajarkan Gatholoco untuk mengenal diri sendiri, mengenal hidup, jiwa yang ada #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 77
dalam setiap diri. Jika mampu demikian, ia tidak akan menjadi orang bodoh, yang sukanya menilai orang lain, tetapi justru mempunyai kemampuan baik menilai diri sendiri, mengetahui jejak-jejak jiwanya sendiri, buruk dan baik.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 78
#32 ENERGI SUPER DAHSYAT (Pupuh VI, bait 8) Memasuki bait 8 ini saya mencoba untuk membacanya dari kalimat paling akhir dari bait ini yang berbunyi: “Aneng ngêndi susuh angin?”. (Terjemah: dimanakah sarang/rumah angin?). Ah, ini tentu pertanyaan mengada-ada, mana ada angin memiliki rumah tinggal? Kayak burung saja, punya rumah (susuh). Tapi ini adalah pasemon (teka-teki) guru Gatholoco tentang Hidup, Jiwa. Kesemua pasemon yang diajukan adalah membahas mengenai ini. Namun, setiap pasemon ada sisi yang harus ditekankan. Itu menurut saya. Maka pada bait ini, kemudian saya mencoba memberi judul “energi super dahsyat”. Dalam lakon Bima Suci, muncul juga istilah Kayu Gung Susuhe Angin. Bima diperintah oleh guru Drona mencari susuhe angin. Ringkasnya, susuhe angin itu ya ruh, ya jiwa, sumber hidup. Angin, nafas adalah tali hidup,jika nafas putus maka jiwa dan wadag berpisah. Mati. Maka, susuhe angin itu ya Hidup itu sendiri. Dalam bait ini, guru Gatholoco mengingatkan bahwa, Hidup itu sumber energi luar biasa dahsyat, mengapa karena ia mampu mewujudkan dan mendorong perbuatn yang luar biasa. Itulah seperti yang digambarkan dalam bait 8: Wong bisu asru clathu (orang bisu berbicara), Jago kluruk jro ndogneki (ayam berkokok dalam telur), Wong picak amilang lintang (orang buta menghitung bintang), Wong cebol anggayuh langit (orang cebol menggapai langit), Wong lumpuh ngidêri jagad (orang lumpuh berkeliling dunia). Rangkaian perbuatan dalam bait ini luar biasa bukan? Jika mampu #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 79
menemukan susuhe angin, tentu perbuatan-perbuatan luar biasa semacam yang disebut dalam bait 8 ini tentu tidak mustahil. Ada orang bisu bisa berbicara. Jaman sekarang saja bisa dengan menggunakan bahasa isarat. Pernahkah anda dulu bagaimana munculnya bahasa isarat? Tentu diawali dengan jiwa yang murni, yang tulis, Hidup yang menghidupi orangorang bisu, membantu orang bisu untuk berbicara. Ayam berkokok dalam telur. Teknologi rongten saja bisa mendeteksi jenis kelamin manusia meski masih berusia beberapa minggu, apa ini tidak seperti itu? Orang buta bisa menghitung bintang? Atau membaca? Sudah lazim bukan saat ini? Orang lumpuh keliling dunia? Juga sudah terjadi saat ini. Lagi-lagi Hidup yang mampu menghidupi, jiwa yang mampu menjiwai lah yang menjadi energi luar biasa bagi kehidupan. Masihkah akan menyianyakan hidup diri hanya untuk kesombongan? Mencari kepuasan batin, merasa ini dan merasa itu, kemudian menghina sana dan menghardik sini? Hidup hanya untuk masturbasi religi. Mengapa tidak digunakan untuk kehidupan itu sendiri? Maka dalam kisah Bima Suci, iapun mampu menemukannya dan ia menjadi satria yang sangat sakti mandraguna.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 80
#33 SEMUA ADA DALAM DIRI (Pupuh VI, 9) Menyangkut bait 9 ini, sebelum saya uraikan, teringat kejadian beberapa tahun silam. Guruku, sebut saja begitu, memerintahkan aku mencari air untuk memadamkan api amarah istriku. Begini ceritanya. Hubungan saya dan istri, biasa sering cekcok, dan saya melihat kadar emosi istri saya lebih besar. Kemudian saya konsultasi pada guru. Jawabannya adalah: untuk memadamkannya, carilah air yang ada dalam istri saya itu. Waktu itu, akal saya langsung merespon, bagaimana bisa aku mencari air, dimana di situ aku melihat banyak api? Jika, tidak yang ada dalam diri istri, ya cari air yang ada dalam diri saya sendiri. Ini juga sama, bukankah saya juga lagi mengalami emosi? Nah, bait 9 kalimatnya berbunyi: Aneng ngêndi wohing banyu (dimana inti air?), Myang atine kangkung kuwi (di mana pusat batang kangkung), Golek gêni nggawa diyan (mencari api membawa lampu/api), wong ngangsu pikulan warih (orang mencari air, memikul air), Kampuh putih tumpal pêthak (kemben putih ditutup kain putih), Kampuh irêng tumpal langking (kemben hitam ditutup kain hitam). Mencari air ya di air, mencari api dengan api, mencari air membawa air, dan perlambang-perlambang lainnya. Ke semuanya adalah seperti mencari hati kangkung, ya kosong, karena ruang hampa dan isi itu kosong. Mencari putih dalam warna putih, mencari hitam dalam warna hitam.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 81
Mencari kedamaian hati, tidak di luar hati, mencari kesenangan hati, tidak di luar hati. Mencari petunjuk, carilah dalam diri. Bait ini mengajarkan, untuk selalu mengkaji dan mencari solusi ke dalam diri, bukan di luar diri manusia. Jika saya marah kepada istri saya, solusinya adalah melihat diri saya, di mana marah saya, bagaimana kemudian saya memadamkannya? Semua jawabannya ada dalam diri sendiri. Apakah anda termasuk orang yang suka menyalahkan orang lain? Atau selalu menyalahkan anak-anak ketika mereka berbuat salah? Atau para suami lebih mudah menimpakan kesalahan pada istri? Guru Gatholoco mengajarkan, sebelum menyalahkan pihak lain, siapa tahu ada salah dalam diri. Sebelum mempunyai air yang menyejukkan hati orang lain, apakah hati yang ada dalam diri sudah penuh dengan air kesejukan? Seperti dalam bait tersebut, berhati-hatilah. Bisa jadi anda atau saya sudah melihat warna hitam, tetapi bukan hitamnya kemben, tetapi penutup kemben yang hitam. Siapa tahu saya merasa mendapatkan api, padahal itu adalah "dian" lampu yang saya bawa sendiri, atau merasa sudah membawa air, padahal bukan air yang dicari. Belajarlah mencari hati (galih) batang kangkung, yang kosong, padahal ia ada sebagai isinya batang kangkung.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 82
#34 KESEMPURNAAN ILMU (Pupuh VI, bait 9,10) Kritik keras guru Gatholoco terhadap para santri dan kyai adalah kurang luasnya ilmu. Tidak mampu melihat pada sudut besarnya, maupun pada detailnya. Manusia, yang dilihatnya jelek, ansich hanya dilihat pada wujud jeleknya. Tidak dilihat pada konstruksi besar dari manusia itu sendiri, yang ternyata juga bisa terjadi pada seluruh manusia di jagad ini. Ada Hidup, ada Ruh yang suci dalam diri manusia, yang memiliki rahasia besar. Pun demikian, pelaku masturbasi religi seringkali suka “gebyah uyah”, tanpa meneliti rinci keadaan dirinya sendiri. Ketika memandang diri orang lain, nampak kecil, sehingga begitu teliti membelejeti keburukannya. Namun di saat melihat dirinya, seolah besar yang tak terjangkau untuk diteliti. Dalam bahasa pasemonnya, sindiran guru Gatholoco menyebut bahwa kesempurnaan ilmu seseorang itu ketika: Tumbar isi tompo iku (biji ketumbar yang kecil, tetapi berisi wadah, seperti wadah beras yang lebih besar), Randhu alas angrambati, mring uwit sêmbukan ika (pohon randu besar merambat pohon sembukan yang kecil), Sagara kang tanpa têpi (lautan tak bertepi), Pelaku masturbasi religi tidak mampu seperti biji ketumbar yang mampu mewadahi tempat yang lebih besar. Ini berarti tidak mampu mengenal jagad yang luas, pandangan dan wawasannya sempit sekali. Ia juga tidak mau memperhatikan yang kecil, detail pada diri sendiri, seperti merambatnya pohon randu yang besar pada sembukan yang kecil. Harusnya, orang yang sempurna ilmunya ibarat lautan tak bertepi. Luas sekali.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 83
Cobalah berlatih memperhatikan yang ada pada diri sendiri. Rambut irêng dadi pêthak, ingkang pêthak saking ngêndi (rambut yang asalnya berwarna hitam, kemudian berubah putih (beruban), warna hitam itu pergi kemana? Ketika lampu/sentir mati, ke mana perginya nyala api? Cobalah cari sampai ketemu, agar ilmu itu tidak sia-sia. Siapa saja yang mengetahui ini, ilmunya akan sempurna. Belajar pada hal-hal yang melekat pada diri, kejadian seharihari yang biasa akan melatih diri, menambah wawasan. Bisa jadi, anda atau saya tidak pernah bisa menemukan ke mana perginya warna hitam rambut setelah berubah uban, atau nyala api ketika lampu padam. Tetapi melatih mencari-cari hal-hal demikian akan mempertajam batin. Ini berarti mencari hal-hal yang nampaknya sia-sia, tetapi sebenarnya tidak sia-sia sama sekali. Manusia akan mengetahui bahwa yang ada bisa berubah, yang nampak bisa hilang. Yang terlihat bisa jadi esok atau nanti tidak terlihat. Perubahan adalah hukum pasti. Lantas, masihkah suka memvonis orang dengan kondisi di satu saat? Tidak percayakah bahwa esok atau lusa, seseorang itu berubah lebih baik atau lebih buruk? Lihatlah itu seperti lautan yang tak bertepi, entah bagaimana kelak kemudian hari perubahan itu terjadi. Tetapi satu hal, carilah perubahan dan kajilah perubahan itu. Dengannya akan menyempurnakan ilmu kalian.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 84
#35 SHALAT DA’IM (Pupuh VI, bait 12,13,14,15) Kesempurnaan ilmu itu ketika mau melihat lebih luas, detail dan mendalam. Itulah anjuran guru Gatholoco pada tulisan sebelumnya. Perlambang mencari nyala api ketika lampu padam, mencari warna hitam ketika berubah uban dan lainnya adalah sebuah permisalan. Namun pada prakteknya adalah mencari rasa sejati. Hidup, Jiwa, Hati itu laksana samudra. Ia bisa menerima sampah yang berserak, kadang sesekali burung bangau dan gagak datang, kemudian bangau hinggap di sampah, pergi diganti burung gagak. Itulah maksud bait 12 berikut: “Ingkang sarah munggeng laut, gagak kuntul saba sami, duk mencok si kuntul ika, si gagak ana ing ngêndi, gagak iku nulya têka, si kuntul mibêr mring ngêndi”. Hati manusia bisa penuh dengan sampah rasa tiap hari, bahkan tiap detik. Ia bisa berubah-ubah seperti bergantiannya datangnya gagak atau bangau. Bahkan sering tidak tahu ke mana perginya rasa itu. Kadang tiba-tiba muncul rasa senang, nyaman, namun segera terganti rasa gelisah atau susah yang tidak tahu sebab atau ujung pangkalnya. Selanjutnya, guru Gatholoco menasehati, “oleh karenanya harus bisa memahami, wahai kalian semua anak-anakku, seluruh perlambang ilmu sejati ini renungkanlah, jika bisa memahami akan menemukan kesejatian, sejatinya rasa, rasa sejati didalam samudera (hidup). Segala rahasia akan cepat tersingkapkan, benar-benar perhatikan ucapanku ini, dengan sepenuh pendengaran, serta sepenuh penglihatan kamu, tiada lagi kebenaran kedua yang menjadi sifatnya (sifat kebenaran sejati itu tunggal, tak mendua)”. Rasa sejati tidak ada was-was, #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 85
ragu atau bimbang. Jika demikian, maka tasbihmu adalah Zatullah. Pembersihan hati selalu dengan Allah, tak ada rasa selain dari itu. Bagaimana nasehat ini bisa dipraktekkan? Guru Gatholoco memberi nasehat singkat:”kang krasa yen datan mangan, den krasa yen minum nênggih, sêmbahyanga den karasa, den krasa Dzatullah kuwi”. Ketika lapar, benar-benar rasakan. Apa yang ada dalam benak ketika lapar? Langsung ingat makanan atau ingat Allah? Jika saat lagi haus, yang diingat air atau Allah? Demikian pula, di saat kenyang, apa yang terlintas di benak? Saat bergembira, apa yang hadir di benak? Apakah Allah (Rahsa kepada Allah?) atau lainnya. Latihan semacam ini sangat dianjurkan oleh guru Gatholoco. Andai semua aktivitas, semua gejolak rasa (seperti sampah yang berserakan) dalam hati, benak, hidup selalu menghadirkan Allah (rahsa kepada Allah), tentu itulah yang disebut eling terus menerus kepada Allah. Aktivitas kesadaran, aktivitas rahsa yang selalu diqiblatkan kepada Allah, kepada kemurnian rahsa dalam seluruh aktivitas, baik aktivitas lahiriah atau batin, atau akal, atau perasaan, itulah yang disebut oleh guru Gatholoco sebagai shalat da‟im, “langgeng tan pegat”.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 86
#36 MARTABAT TIGA (Pupuh VI, bait 16,17,18,19 dan 20) Dalam tulisan sebelumnya (#35) diuraikan mengenai makna shalat da‟im, yang pada intinya adalah kesadaran fokus melihat segala sesuatu pada ujungnya (qiblatnya) adalah Allah. Bagian ini mencoba menjelaskan mengenai kehendak hati, dimana nantinya akan dipakai untuk mendukung pelaksanaan shalat da‟im. Dalam Gatholoco disebut martabat, tingkatan. Maksudnya tingkatan dari niat itu sendiri, yakni martabat Kasdu, Takrul dan Takyin. Seperti ditulis dalam bait 16, “Martabate Kasdu kuwi, lawan Takrul Takyin ika, mangrêtine Kasdu kuwi”. Menurut saya, istilah ini tetap bersumber dari khazanah ilmu Islam, Fiqih khususnya. Yakni tentang niat, dimana terbagi dalam tiga bagian, yaitu qosdu (al fi‟li), ta‟arud (lil fardiyah) dan ta‟yin. Mari selanjutnya kita ikuti bait ke-17, “Pikarêpe niyat iku, ciptane ingkang dumadi, dene Takrul têgêsira, pamêkasing niyat nênggih, dumadine panggraita, mangrêteni ingkang Takyin”. (Terjemah : Maksud dari niyat, munculnya kehendak/mengada-kan, sedangkan Takrul artinya adanya wujud khusu dari ungkapan rasa (niyat), dan Takyin adalah mengerti. Saya akan mengajukan satu contoh kasus untuk membantu menguraikan ini. Sederhan, setiap hari bisa dilakukan. Saya akan mencicipi kopi yang saya seduh, tapi rasa manisnya yang saya fokuskan. Maka, proses mencicipi saya disebut memiliki makna, memiliki korelasi dengan shalat da‟im, maka saratnya adalah adanya niat yang dikasdu, niat yang saya sengaja. Tidak boleh, kemudian hati saya mencipta kehendak “mencicipi pahitnya kopi”. Jika ini terjadi, maka martabat pertama saya #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 87
sudah berbeda kiblatnya. Martabat/tahap berikutnya adalah mewujudkan itu dalam bentuk tindakan “mencicipi”, ini adalah bentuk pernyataan yang sudah jelas, maka martabat beriktunya adalah saya bisa merasakan, ...”oh ya kopi ini sudah manis” atau “kopi ini kurang manis”. Saya yakin betul dengan pembuktian ini, karena tidak sekedar dalam hati, tetapi sudah ada proses melakukan, mewujudkan niat dalam tindakan khusus. Kesalahan yang terjadi pada martabat kedua, jika kemudian yang saya lakukan adalah hanya membau asap kopi. Memang ini wujud cara membuktikan, tetapi sudah tidak pas. Seperti halnya menta‟arudkan niat shalat, maka menyatakan shalat subuh, atau dhuhur itu menjadi penting, tidak bisa digebyah uyah pokoknya shalat. Dalam praktek kehidupan yang lebih luas, bisa digambarkan sebagai berikut. Seseorang bekerja, diniatkan untuk menggembirakan anak dan istri. Namun dalam praktek ta‟arud (takrulnya), hasil kerjanya tidak diberikan kepada anak dan istri, manfaat kerjanya, anak dan istri tidak mendapat bagian, bahkan malah menambah beban atau menyusahkan. Itu artinya masih berkisar pada martabat kasdu, hanya angen-angen (cipta dumadi), belum menjadi “pamekasing niyat”, belum wujud bekas, tanpa jejak. Selanjutnya ketika sudah ada berbagai usaha, dari hasil kerja kerasnya kemudian diarahkan membahagiakan keluarga, misalnya memberi sandang, papan, makan dan sebagainya masih belum membahagian keluarga, maka dia sudah mencapai martabat takrul (ta‟arud). Melalui berbagai upaya itu dia semakin mengerti, bahwa jika cara A kurang, dengan cara B baru bisa tercapai, maka dia sudah membuktikan (takyin) dan benar-benar mengerti bahwa kerjanya adalah untuk kebahagiaan keluarganya.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 88
Jika memang hendak mengenal Allah, mengarahkan kiblat pandangan kepada Allah, maka akan menemukan banyak cobaan, masalah dan rintangan. Itu adalah proses takrul, proses pembuktian, proses mentauhidkan, memfokuskan kiblat. Maka dalam bait-bait berikutnya, tiga martabat itu digambarkan sebagai: “ingkang Kasdu kuwi Iman, ingkang Takrul iku Tohid, Kang Takyin Makrifat iku”. Apa maksudnya? Maksudnya adalah kehendak/kasdu dari niyat itu harus kuat, yakin itulah iman, tanpa keraguan. Kemudian dalam takrul sebagai tauhid, berarti harus mampu tenang dalam menghadapi berbagai goyangan, memilah dengan tenang lintasan-lintasan batin, kesadaran adanya bahwa adanya perubahan itu adalah tunggal adanya, dari DIA. Jika mampu dengan kuat dan yakin, dengan pembuktian-pembuktian bahwa semuanya itu adalah Hyang Esa saja, maka itulah takyin. Khoirihi wa syarrihi minallahi ta‟ala.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 89
#37 BERLATIH MERASA (Pupuh VI, bait 20-26) Apakah anda melihat tulisan saya ini? Atau anda merasa melihat tulisan saya ini? Jika membaca uraian menganai ajaran guru Gatholoco, maka apa yang dilakukan adalah merasa melihat. Manusia itu hanya memiliki rumangsa. Rasa itu sendiri pada hakekatnya adalah pada Hidup, pada Jiwa, yang semua bersumber dari Hyang Widhi. Seperti itulah yang dijelaskan dalam bait 20: “Gletheke paningal iku, pamyarsa pangucapneki, nyata angên-angênira, ingkang ngglethakakên Widdhi, myarsa ngucapkên pêsthinya, Allah tangala ngimbuhi”. Dengan demikian, maka “aku melihat tulisan” berubah menjadi “Allah yang memperlihatkanku pada tulisan”. Melatih makrifat, harus gigih meyakinkan diri atas hal demikian. Itu baik pada penglihatan, ucapan, pendengaran dan gerak diri. Wujud diri manusia, kalian itu benar-benar nyata adanya, Kasunyatan ADAnya DIA. Tak ada yang dipuji atau memuji. Sesungguhnya Tunggal ADAnya, tak ada dua, yang diam dan bergerak. Jangan ragu akan rahasia diri ini, apa yang kau ucapkan dan yang mengucapkan adalah Kasunyatan ADAnya Allah, Hyang Maha Suci itu sendiri. Maka, waspadalah dan ingatlah, bahwasanya tak ada yang lain kecuali Allah semata. Lantas apa jawabannya ketika ada pertanyaan: “Apa yang Hyang Widhi kehendaki dari kamu?”. Maka jawablah :”Menyadari Hyang Widhi itu sendiri”. Jika ada lagi pertanyaan: “siapakah yang, Mengucap dan Melangkah, Berdiam dan Bergerak ini semua?”, Maka jawabnya adalah: „yang mengucap adalah Hyang Sukma, yang #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 90
melangkah adalah Hyang Widhi, yang berdiam dan bergerak adalah DIA Yang Sulit Dicari”. Sekali lagi, ini adalah jawaban soal hakikat, bukan persoalan yang terlihat. Yang terlihat tentu seperti yang terlihat dengan kadar setiap manusia memiliki alat penghilatan. Demikian pula, memahaminya akan sesuai kadar pemahaman yang dipahami. Kebenarannya adalah Tunggal, yaitu Hakikatnya semua itu datangnya dari Hyang Widhi, Hyang Tunggal, Hyang Hidup, Hyang Sukma. Menjadi lebih bijak, adalah mampu membedakan, mana urusan yang Haq, dan mana yang sebenarnya pada batasan “merasa”. Itulah mengapa, para leluhur Jawa mengajarkan, “ojo rumangso iso, nanging isoo rumangsa”. Artinya, mengertilah bahwa pencapaian ilmu manusia itu adalah merasa, maka berlatihlah merasa yang tepat. Tapi, sekali-kali jangan merasa bisa ini dan itu, sebab yang bisa ini dan itu adalah Hyang Hidup itu sendiri.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 91
#38 MARTABAT PENGLIHATAN (Pupuh VI, bait 27,28) Penghlihatan yang dimaksud oleh guru Gatholoco bukanlah penglihatan mata biasa, tetapi penglihatan batin. Ketika ada sebuah pertanyaan diajukan, “berapa tingkatan penglihatan itu?”, maka jawabnya ada tiga. Berikut baitnya: “sarta lamun den takoni, pira Martabating Tingal, saurana tri prakawis, Tasnip ingkang kaping pisan, Insan Kamil kaping kalih, Kadil Kapri kaping têlu, Tasnip: Idhêp têgêsneki, Insan Kamil: Kang Sampurna, iku kaya Roh Ilapi, utawa Tasnip sêmunya, tingal luluh sampurnaning”. Penglihatan pertama adalah tasnip, yang berarti memilah, memilih, membuat klasifikasi. Kemampuan memilah ini menjadi hal mendasar dalam penglihatan. Ketika melihat diri sendiri, harus mampu, mana kelakuan yang baik dan kelakuan yang buruk. Demikian pula mengenali bisikan hati, yang bersumber dari nafsu, dari akal, atau dari hati yang jernih. Kesemuanya bisa bersumber dan terdengar dalam hati, dari satu tempat. Dalam tahap penglihatan ini, manusia masih sering menghadapai kondisi bingung, karena banyaknya informasi dan lintasan-lintasan hati yang hadir. Kemampuan membedakan, kemudian membuat kategorisasi, bahwa informasi atau lintasan seperti A masuk kategori penglihatan bohong, jika seperti B masuk kategori Benar, jika C masuk kategori masih perlu proses penjernihan lebih lanjut. Begitu seterusnya. Pada tahap berikutnya, di saat kemampaun membuat kategori sudah matang, maka dia akan memiliki kemampuan melihat yang sempurna (Kamil). Ia tenang, jernih seperti Ruh Idhofi #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 92
(Jauhar Awal, Nyawa, Materi Awal) diri manusia. Meski banyak informasi dan lintasan hati, namun kesempurnaan dalam pembedaan dan mengenal yang sejati sudah demikian sangat baik. Manusia sempurna, atau insan kamil dalam hal ini adalah adanya kemampuan melihat segala sesuatunya itu dengan jernih, seperti sucinya Nyawa, Ruh Idhofi yang belum berinteraksi dengan berbagai hal. Meski ia melihat potensi hewani, setani, manusiawi, ia tetap mampu melihat yang sesungguhnya, yang sejatinya berasal. Ketika tahap tasnip, manusia dituntut mampu mengenali potensi, nafsu, lintasan hati yang bersumber dari sisi hewani, setani, dan manusia alami. Ia dituntut mengenal dorongan seks, nafsu makan, nafsu beribadah, dan lain sebagainya. Pada tahap insan kamil, sudah melampaui itu, ia benar-benar melihat yang sejati, tidak terbelenggu oleh penglihatan kepada itu semua. Manusia sempurna (insan kamil) seperti ini akan tetap mampu bersabar dalam kondisi fisik yang nampak melelahkan, atau di saat lapar sekali, di saat nafsu birahi muncul dan sebagainya. Tahap ketiga adalah Kadil Kapri. Sebagian orang menerjemahkan sebagai pandangan-pandangan palsu. Ia adalah tahapan ketiga, dimana penglihatan itu sudah menentukan atau membuat batas terhadap hal-hal yang bisa ingkar. Sederhananya begini, bahwa insan kamil yang benarbenar kamil, pada akhirnya akan fokus, menanggalkan segala penglihatan yang dapat mengaburkan atau palsu (kufur). Ia tidak membiarkan petunjuk sejati itu hadir, tetapi ia berusaha kuat menghadirkan petunjuk sejati. Ia akan berusaha mengingkari hal yang ingkar itu sendiri. Hanya menetapkan pada pandangan kepada Hyang Sejati saja.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 93
#39 MODEL LELAKU (Pupuh VI, bait 29-32) Seperti dijelaskan dalam tulisan sebelumnya (#38) adanya tingkatan (martabat) penglihatan. Ada yang sudah benar-benar jelas penglihatan terhadap dirinya (Diri Sejati), yakni yang sudah mampu memutus pandangan. Jika demikian berarti orang tersebut mendapatkan wahyu. Oleh karena itu ada kedudukan yang berbeda didasarkan atas penglihatan atas kesejatian tersebut. Sebut saja perbedaan maqom (kedudukan) antara Nabi, Wali dan orang mukmin. Penglihatan Nabi (wahyu) itu sudah stabil, ajeg, tidak goyah. Sementara para wali dan mukmin masih di bawahnya. Bagian selanjutnya adalah membahas mengenai martabat riyadhoh (lelaku). Upaya untuk mencari kesejatian itu dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Seperti dalam bait berikut: “Dhingin kaya gêni iku, kaping kalih kaya angin, sêmune kang kaya brama, pênêt panase pribadi, têgêse sira mrih enggal, panrima kasuwen dening”. Dalam bait ini disebut ada dua kondisi lelaku, yaitu seperti api dan angin. Lelaku seperti api, maksudnya adalah usaha mencari inti panasnya diri, membasi panasnya diri, membasmi kegelapan batin. Dengan cara ini lelaku akan cepat mencapai tingkat kepasrahan. Dalam bahasa gampangnya, model lelaku api ini adalah upaya keras terhadap diri sendiri. Lelaku api juag berarti lelaku membakar. Jika muncul dorongan nafsu, lintasan hati yang mengajak ke arah kejahatan, maka seketika itu juga dibakar, dihanguskan, dihilangkan. Kata kunci dalam hal ini adalah disipling terhadap diri sendiri, #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 94
mampu menekan, membakar gejolak hati yang dapat menjerumuskan atau menghalangi pandangan batin mencari kesejatian. Misalnya, ketika terlintas kehendak ingin mabokmabokan seketika itu juga keinginan dibakar, entah dengan cara apa saja, bisa jadi dengan cara yang keras terhadap diri sendiri. Lelaku model angin, lebih menekankan pada kelembutan seperti angin. Ia bergerak, menyusuri ruang hampa, kemudian membelai setiap sisi ruang. Lelaku seperti ini berupaya menghadirkan rasa lembut yang sebenarnya sudah ada dalam diri. Ketenangan, kesejatian hidup sebenarnya sudah ada, namun perlu dihadirkan. Tidak perlu dicari ke mana-mana, sebab ia ada dalam diri. Ketika ada lintasan atau dorongan gejolak nafsu, maka usaha yang dilakukan adalah menghadirkan sisi lembut dari dalam diri lainnya. Nafsu tidak dilawan, tetapi memperkuat sisi lain dalam jiwa yang sebenarnya sudah dimiliki oleh setiap manusia. Jika muncul dorongan untuk marah, tidak ditahan untuk marah, tetapi lebih pada mendorong rasa kasih sayang yang jauh lebih besar dari dalam diri. Tentu, manusia tidak bisa hanya memilih salah satu dari dua model lelaku ini. Tetapi bagaimana menggunakan kedua model ini secara tepat. Di saat masih berlatih, di saat belum memiliki kesabaran yang besar, tentu menahan amarah, membakar amarah adalah upaya terbaik. Namun jika, sudah terbiasa, maka memperbesar rasa kasih sayang menjadi hal yang tepat dilakukan. Apakah anda menyayanginya?
ingin
membakar
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
nafsu
anda
atau
Page 95
#40 TINGKATAN BADAN (Pupuh VI, bait 32-34) Untuk mengenali diri sendiri, guru Gatholoco juga mengajarkan untuk mengenal kepada martabat badan, perubahan tingkatan badan jumegler. Ini berkaitan dengan membangun kesadaran, bahwa eksistensi fisik dalam sebuah kehidupan sosial maupun kehidupan yang lebih luas di dunia ini juga mempunyai arti penting. Oleh karena itu ia mengajukan pertanyaan: “pira Martabating Badan, saurana tri prakawis” berapa tingkatan badan?, maka jawabnya ada tiga perkara”. Jawabannya tetap menggunakan sanepan (perlambang), yaitu perubahan posisi bulan. Tingkatan pertama adalah seperti pada tanggal 4, kedua seperti tanggal 9 dan ketiga seperti tanggal 14. Meski dalam astronomi fase bulan dibagi lima, tetapi dalam hal pembelajaran ini tiga fase awal lah yang dijadikan ibarat untuk mengambil pelajaran. Mengapa demikian? Karena pelajaran ini mengajak manusia menyadari akan peran hidupnya, umurnya (fisiknya) sebagai khalifah, peran keTuhanan yang diemban di dunia. Fase pertama, tanggal 4 menunjukkan posisi bulan sabit (yang menurut saya sempurna sabitnya). Ini mengajarkan bahwa eksistensi manusia di dunia sebagai khalifah Tuhan masih samar. Jika dikaitkan dengan perubahan badan, manusia masih banyak mengikuti irama biologis semata. Dengan demikian, peran sebagai manusia masih seperti hewan yang juga menuruti kadar biologis besar. Menuju fase berikutnya, dipilih tanggal 9 (menurut saya, pembagian bulan sudah lebih dari 50%), ini berarti kehadiran manusia sudah muncul seperti #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 96
Pangeran. Seperti dalam bait disebut: “Kaya tanggal Sanga iku, luluh sirna têgêsneki, kahananira Pangeran”. (terjemahannya, seperti tanggal 9 itu maksudnya sifat-sifat bilogis sudah mulai tertutupi, tidak begitu menonjol, tetapi keadaan seperti Pangeran sudah muncul). Saya tidak menerjemahkan Pangeran sebagai Tuhan dalam hal ini, tetapi sudah ada kuasa, mengendalikan fisik/badan diri manusia. Badan sudah tidak sebagai pengendali, tetapi sudah mulai dikendalikan. Itulah maka disebut pangeran, yang sudah mulai memerintah. Meski demikian belum sempurna pengendaliannya. Fase terakhir adalah tanggal 14, yang merupakan awal bulan purnam, bulat utuh. Ini menggambarkan bahwa pengendalian diri benar-benar sempurna. Dalam bait disebut: “tanggal ping Patbelas kuwi, dene sasêjane sama, kaya Kang Ndadekkên nênggih. Wus tumêka wangênipun, têkane kawula kuwi, ora nêja yen dadiya, dadi Gusti kang sayêkti, nanging yêkti dadi uga”. Kondisi seperti ini, kehendaknya sudah bisa menuruti kehendak Sang Pencipta. Badan fisik diarahkan dan digunakan untuk menjadi hamba, untuk mengikuti perintah Gusti Sejati. Apa yang diharapkan oleh Tuhan, dilaksanakan oleh hamba. Keadaan perubahan badan sampai tahap ini adalah tahap yang sempurna. Fase empat dan lima sudan tidak perlu lagi. Tetapi bisa jadi, karena godaan setan, iblis pencapaian itu bisa melorot dan hilang musnah. Oleh karena itu, tetaplah pada tanggal 14 saja, dan dipertahankan.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 97
#41 TINGKATAN PEMIKIRAN (Pupuh VI, bait 36-37) Saya mencoba menerjemahkan “Pamanggih” sebagai “pemikiran”. Ini saya rujukkan kepada “pemikiran” dari diri. Dalam konteks mengenali diri yang sejati, maka “pemikiran” itu ibarat suara, ya suara yang muncul dari dalam diri, apakah terdengar lewat akal atau hati. Tetapi pada intinya dari dalam diri sendiri. Guru Gatholoco mencoba mengenalkan adanya macam-macam pemikiran yang berseliweran dalam akal atau hati (diri). Ada lima perlmbang untuk menggambarkannya sebagai berikut: “kang dhingin Klêthêking ati, ingkang kaping kalihira, Katêpêking lampah nênggih, Panjriting tangis ping tiga, Kêthuk nutu ping pat nênggih. Cleret Ngantih ping limeku, dene Panjriting wong nangis, lawan Klêthêking wardaya, myang Têpêking wong lumaris, tuhune iku pangucap”. Pertama adalah seperti “kletheking ati”. Perlambang ini menunjukkan pemikiran itu masih gelap, belum muncul. Kondisi hati atau pikiran yang kosong, tidak sedang berpikir apa-apa, mungkin dapat menggambarkan perlambang pertama. Kedua seperti “ketepek-ing lampah”, langkah kaki. Suara itu sudah mulai terdengar, tetapi lirih. Perlu kejernihan, keheningan memperhatikannya. Lintasan hati, atau pemikiran atau ide muncul masih samar-samar seperti langkah kaki. Ketiga adalah seperti “tangisan”. Ini berarti kadar kejelasan sudah mulai muncul. Dorongan hati atau lintasan hati atau ide mulai jelas terdengar, misalnya “aku ingin ini”. Namun suaranya masih tunggal. Yang keempat adalah seperti “kethuk nutu”, maksudnya seperti orang-orang sedang menumbuk lesung. Suaranya riuh, banyak suara, tidak hanya satu. Dalam #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 98
mengenali diri sendiri, seringkali kita berhadapan dengan pemikiranpemikiran atau lintasan hati seperti suara yang ramai sekali. Itulah gambaran yang keempat. Kelima atau terakhir adalah seperti “cleret ngantih”, seperti pelangi. Mari perhatikan, perlambang pertama dan kelima, tidak menggunakan perlambang suara, tetapi wujud, yakni gelap dan pelangi. Sementara lainnya adalah dengan perlambang suara. Ini menunjukkan bahwa mengenal pemikiran, ide, suara, lintasan dalam diri pada awalnya memang gelap, juga sekaligus tak terdengar. Pada puncaknya, meski tidak terdengar, tetapi terlihat begitu jelas, terang, dan berwarnawarni. Puncak pemikiran dalam diri adalah ketika, diri mampu melihat itu semua, tidak sekedar mendengar. Jauh lebih mengenalnya seperti kemampuan membedakan warna-warna pelangi yang memang berbeda. Jika suara, kelihatannya tidak berbeda, hanya keras dan lemah. Suara ketukan lesung memang beraneka rupa, tetapi iramanya masih kurang bervariasi. Orang-orang yang mampu mengenal diri lebih baik, biasanya mempunyai kemampuan membedakan ide, pemikiran dan lintasan hati diri sendiri, sejelas dan sejernih melihat pelangi yang memang berwarna-warni, tidak hanya melihat hitam atau putih saja. Jika hanya masih seperti “kletheking ati” ya gelap, ngawur, atau sudah mendengar langkah kaki, itu sebagai satusatunya suara kebenaran atau justru mengenal suara banyak, tapi belum mampu dibedakan. Pemikiran yang dipenuhi dengan pelangi akan membuat indah sekelilingnya.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 99
Jawablah terdiri dari lima perkara, yang pertama bagaikan Kegelapan hati, yang kedua bagaikan Suara langkah kaki, yang ketiga bagaikan Jerit tangis, yang keempat bagaikan Suara ketukan orang menumbuk padi (jaman dahulu untuk memisahkan padi dengan kulitnya, harus ditumbuk disebuah tempat yang namanya Lesung. Menumbuk padi dalam istilah orang Jawa disebut Nutu. Disaat aktifitas menumbuk padi ini, suara ketukannya akan terdengar indah berirama. Apalagi jika yang melakukan aktifitas lebih dari satu orang. Suara yang terdengar sangat khas. Suara ketukan menumbuk padi ini dikenal dengan sebutan gamelan Lesung.) Cleret Ngantih ping limeku, dene Panjriting wong nangis, lawan Klêthêking wardaya, myang Têpêking wong lumaris, tuhune iku pangucap, martanipun akir kadi. Dan bagaikan Pelangi yang kelima, maksud dari Jerit tangis, dan juga Kekotoran hati, serta Suara langkah kaki, sesungguhnya adalah lambang dari kegelisahan batin yang tak terucapkan, jika mampu menyadari hal ini maka pada akhirnya.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 100
#42 KOMPONEN RUHANI MANUSIA (Pupuh VI, bait 40-43) Guru Gatholoco kemudian mencoba mengajak para santri untuk mengenal tingkatan atau komponen ruhani manusia. Gatholoco membagi komponen ruhani manusia terdiri dari tiga, yaitu yang disebut “Dzating Roh Ilapi ika, kaping pindho Roh Jasmani, kaping têlu Tanpa Prenah, Tanpa Tuduh Tanpa Yekti”. Ini berarti ada yang disebut zat ruh idhofi, ruh jasmani dan Zat Yang Tanpa Arah, Tanpa Tempat dan Tanpa Jumleger. Ruh Idhofi itu mudahnya Nyawa, yang menguatkan hidup manusia, ia nampak pada nafas, sehingga ketika nafas terputus, biasanya menjadi pertanda bahwa manusia itu sudah mati. Yang kedua adalah ruh jasmani. Ruh jasmani berada dalam jasmani, yang diperkuat oleh ruh idhafi. Wujud dari ruh jasmani ada berbentuk nafsu dan rasa. Ketika salah satu anggota tubuh kita tidak berasa, ia biasa disebut mati rasa. Ini berarti ruh yang jasmani yang ada pada anggota tubuh tersebut, mati. Bisa jadi, seluruh jasmaninya tidak bergerak, menunjukkan ruh jasmaninya tidak ada, namun ruh idhafinya masih ada. Yang ketiga adalah, Zat/Ruh yang Tanpa Arah, Tanpa Tempat, Tidak Jumleger, tapi menjadi bagian dari manusia, setiap diri manusia. DIA lah Ruh Ilahi. Setiap manusia memiliki ketiganya. Nah wujud jumlegernya diri manusia itu adalah sebenarnya sebagai bukti nyata ADAnya DIA Yang Tanpa Tempat, Tanpa Arah itu tadi. Muhammad, sendiri dalam konteks ini bisa diartikan menjadi dua pengertian, seperti dalam baitu berikut:”Nabi Muhammad puniku, anênggih ingkang Majaji, Dzatullah Jasadi ika, kang Kakiki kang Majaji, loro-loroning atunggal, nyatane yen sira kuwi”. Nabi #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 101
Muhammad itu dapat dimaknai hakiki dan majazi. Yang majazi adalah Nabi Muhammad yang lahir di tanah Arab, sebagai manusia. Sementara yang hakiki adalah jauhar awal, ruh idhafi, hidup yang menjadi penguat hidup dan kehidupan makhluk di semesta. Orang biasa menyebutnya Nur Muhammad. Sementara DIA, Hyang Maha Hidup menjadi sumber hidup bagi keduanya, baik majazi dan hakiki. Demikian pula, Muhammad, baik yang majazi dan hakiki juga berada dalam diri manusia. Itulah mengapa, setiap manusia selalu berpotensi menjadi terpuji, dipuji dan memuji.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 102
#43 ANUGRAH SAHADAT (Pupuh VI, bait 44-45) Sahadat adalah anugrah. Begitulah guru Gatholoco menyebutnya. Banyak anugrah dalam hidup manusia. Salah satunya adalah anugrah yang berkaitan dengan Iman. Lebih spesifik, guru Gatholoco menyebutnya anugrah Sahadat. Jika, suatu saat ditanyakan ada berapa macamkah anugrah Sahadat? Maka, jawablah ada tiga macamnya. Seperti disampaikan dalam bait berikut: “Martabat Nugrahan iku, lamun sira den takoni, pira nugrahaning Sadat, saurana tri prakawis, iku ingkang ping sapisan, Ngêningake Iman-neki. Ping dwi Ngeningken Tyasipun, ana dene kang kaping tri, Nglampahake Panggaotan” Jenis pertama adalah anugrah dijernihkannya Iman, dalam hati. Pembagian ini, ingin menunjukkan bahwa ada tiga bagian diri manusia yang menerima anugrah Sahadat, yakni pertama adalah hati, yang di dalamnya menerima Iman, dan mampu menjernihkannya. Jenis yang kedua adalah diberi kemampuan menjernihkan pemikiran/kesadaran. Sahadat, kesaksian akan menjadi anugrah yang luar biasa, mana kala akal pikiran, kesadaran diberi kemampuan untuk berpikir jernih, lurus dengan kesaksiannya. Jenis yang ketiga adalah, anugrah mempraktekkan dalam kehidupan. Ini berarti, anggota badan menjadi alat pembuktian atas sahadat. Melalui ini, guru Gatholoco sebenarnya mengingatkan kepada para santri untuk dicamkan, bahwa Sahadat yang diucapkan itu belum menjadi sebuah anugrah, mana kala belum mampu merasuk dalam hati dalam menjernihkan iman, membersihkan pemikiran serta kemampuan mempraktekkan dalam #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 103
kehidupan. Ucapan sahadat, bisa-bisa menjadi laknat, bukan anugrah, karena dicap palsu. Hal kedua, yang perlu dicamkan adalah, bahwa keberhasilan dalam beriman, bersih pikira dan perbuatan yang menyepakati sahadat adalah benar-benar anugrah semata, tidak yang lain. Jika, dipandang sebagai prestasi atas jerih payah, manusia bisa jatuh pada “ngrumangsa” yang akhirnya melahirkan sikap masturbasi religius yang parah.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 104
#44 ANUGRAH SHALAT Jika mencermati uraian atau ajaran guru Gatholoco pada bagian-bagian sebelumnya, sebenarnya kebaikan yang dilakukan manusia itu adalah semata-mata anugrah dari Hyang Hidup, Gusti Allah Ta‟ala. Anda bisa mencermati salah satunya adalah pada #42 yang menerangkan tentang komponen ruh manusia. Di situ ada ruh idafi, ruh jasmani, dan ruh Yang Tanpa Arah, Tanpa Tempat. Di antara itu, paling hanya ruh jasmani yang bisa dikendalikan, itupun melalui perjuangan berat. Ruh Idafi, Nyawa, Hidup, atau Jauhar Awal, tidak bisa dikendalikan. Adakah manusia yang mampu menahan nyawanya melayang? Pergi meninggalkan jasadnya? Nah, shalat sebagai bentuk perbuatan ketundukan kepada Gusti Allah Ta‟ala, tentu tidak bisa dengan mudah dilakukan oleh manusia. Ruh jasmani yang dikendalikan bukan sebuah kekuatan yang pada asalnya mengajak shalat, tetapi lebih melayani kebutuhan jasmani. Oleh karena itu, guru Gatholoco membagi adanya anugrah Shalat itu ke dalam tiga bagian. Mereka disebut “Nugrahaning Salat nênggih, saurana tri prakara, Mêgat Karsa ingkang dhingin, Tinggal Cipta kalihipun, Amadhêp ingkang kaping tri”. Pertama adalah anurgah megat karsa, yakni memisah, memutus hubungan dengan kehendak yang bersumber dari pemenuhan jasmani (bersumber dari jasmani). Ini juga bisa dikatakan, bahwa anurgah shalat yang pertama adalah diberikannya kemampuan untuk terlepas dari kehendak jasmani semata. Shalat yang berkehendak untuk sehat jasmani, tentu dapat disebut sebagai tujuan yang salah sasaran. Kedua #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 105
adalah meninggalkan lintasan, pemikiran atau kesadaran jasmaniah yang justru dapat menenggelamkan manusia pada ide-ide jasmani, lupa pada pencarian kesadaran kesejatian. Ketiga adalah adanya kemantapan lahir batin. Ini tentu dapat dicapai ketika, dorongan-dorongan indrawi, kekuatan pemikiran yang kaya raya tidak menjadi penghalang, maka kemantapan hati akan dapat diraih. Sekali lagi, kondisi ketiganya semuanya adalah anugrah semata, bukan benarbenar atas kendali diri sendiri, sebab ada ruh idafi, ada DIA Yang Tanpa Arah dan Tempat.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 106
#45 GATHOLOCO BERKELANA (Pupuh VII 1-9) Memperhatikan kisah guru Gatholoco dalam serat ini, siapa yang tidak memujinya? Kemenangan-kemenangan berdebat ia raih. Pada akhirnya ia mampu mendapatkan pesantren dan santrinya hasil dari perang berdebat itu. Para santri dan kyai yang sebelumnya menghina dirinya, ditundukkan dalam perdebatan. Sekarang ia sudah menjadi guru di pesantren, santrinya 300 orang. Setelah tuntas sesi pertama memberi wejangan kepada anak santri, ia berkeliling ke beberapa tempat. Mengajak berdebat dengan para tokoh agama, cerdik pandai dan ahli tirakat. Semua mampu ia tundukkan. Namun, pada akhirnya ia jatuh pada sebuah perilaku yang menyimpang sariat, sekaligus tanpa merasa ia telah sombong. Jadi ia terkena pada dosa yang jelas maupun yang sama. Ini seperti cuplikan dalam bait: ”wus ndilalah kerasing Kang Maha Luwih, Gatholoco tyas kalimput, mengku takabur ing batos....” juga dalam bait berikut :”solah tingkah kumlungkung, ngrengkel nakal, remen nyrekal digung, watak edir ilmu sarak den pabeni, mila saya camyahipun..”. (Sudah menjadi kehendak Hyang Maha Lebih, hatinya dipenuhi dengan rasa sommbong, ... kelakuannya berlebihan, suka nakal dan melawan sariat, maka kesadarannya jatuh...). Dari bait ini, sudah disebutkan jelas, ia nanti akan melawan sariat, atau melanggar sariat, karena ia merasa sudah mampu menguasai ilmu batin yang demikian luas dan tinggi. Itupun disebabkan karena kesombongannnya, atas ilmu yang #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 107
diperoleh. Mengapa demikian? Setelah menang dengan lawanlawan debatnya, ia bertemu dengan lawan debat Rsi perempuan bernama Dewi Lupitwati, dari Indragiri. Ketika ia meninggal pesantrennya sebenarnya ia harus sudah siap behadapan dengan jagad yang luas, beraneka rupa. Dan itu disimbolkan oleh Indragiri, yaitu gunung indra, kumpulan selaksa indrawi, keindangan dunia. Di mana gunung itu dihuni oleh Rsi wanita dan para cantriknya yang semua wanita. Ya, wanita adalah jagad besar, jagad luas. Gatholoco, selama ini sibuk dengan mengenal diri sendiri. Bagaimanakah kemudian ketika ia harus berhadapan dengan jagad besar ini? Yang sebenarnya adalah jagad kecil juga? Nama Lupitwati adalah simbol dari kemaluan wanita, Vagina. Di situlah jantung dan inti dari indra lawan jenis Gatholoco. Lupit, jika diuraikan, menurut saya adalah “panggone aLU nyePIT” atau tempatnya alu (penis) dijepit. Gambaran ini sebenarnya sudah mengarahkan, bahwa yang ideal adalah ada “persetubuhan” antara jagad besar dan kecil, antara penis dan vagina. Tapi apakah yang terjadi demikian? Silakan ikuti serial-serial berikutnya.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 108
#46 MENGENAL PAYUDARA, MENGENAL JAGAD (Pupuh VIII, bait 7-18) Saya mencoba menceritakan yang pokok-pokok saja. Perjalanan Gatholoco ke indragiri, kemudian bertemu dengan wanitawanita cantik. Dewi Lupitwati mempunyai empat cantrik utama, yakni dewi Mlenuk Gembuk, Dudul Mendut, Rara Bawuk dan Rara Bleweh. Seperti disebutkan sebelumnya, tujuan utama Gatholoco adalah menantang berdebat. Perdebatan pertama Gatholoco dengan Dewi Mlenuk Gembuk. Saya lebih sreg jika nama ini sebagai sebutan untuk payudara, yang bentuknya memang menonjol montok dan empuk. Dalam bagian ini (Pupuh VIII), digambarkan bahwa pengenalan terhadap wanita, berfokus pada anggota badan sex. Untuk wanita utamanya adalah payudara dan vagina. Ibarat sebuah hubungan sex, seolah serat ini mengajarkan untuk menghampiri payudara dulu. Namun, jangan ini yang jadi perhatian kita. Mari kita ikuti teka-teki yang diajukan, sebab ini lah perlambang yang hendak diajukan. “ana wit agung siji, pang papat, godhongen rolas, kembange tanpa winilis, wohe amung kekalih, mung sawiji trubusipun, mubeng wolu pangiro”. (Terjemah: ada sebuah pohon besar, cabangnya empat, daunnya dua belas, bunganya tak terhitung, buahnya dua, akarnya satu, tetapi bercabang delapan). Guru Gatholoco yang sudah mafhum atas teka-teki yang diajukan, berlagak bego. Cengengas-cengenges. Seolah ingin terlihat lemah dihadapan para wanita. Lantas ia menjawab teka-teki yang diajukan. Beginilah jawabannya. Bahwa pohon besar itu adalah lambang jagad, dunia, kehidupan. Empat daun #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 109
melambangkan arah, dimensi ruang. Daun dua belas melambangkan waktu, yaitu 12 bulan (1 tahun), sedangkan akar satu itu adalah tahun yang sebenarnya 1, tetapi jumlahnya ada delapan (putaran windu). Ada tahun alip, ehe, dal, dan sebagainya. Buahnya ada 2 adalah perlambang matahari dan bulan. Bunga yang tak terhitung melambangkan bintang, benda-benda langit lainnya yang tak terhitung banyaknya. Ini adalah perlambang jagad, di mana manusia berada dan hidup, yakni ada dimensi ruang dan waktu, alam semesta. Jika, bagian sebelumnya yang memfokuskan pada diri Gatholoco, adalah sebuah proses pengenalan diri melalui diri sendiri (mulai ruhani, pemikiran, batin dan amalan), maka pada bagian berikut ini adalah mengenal yang ada di luar diri. Maka, mengenal jagad, di mana diri (manusia) ini tinggal adalah langkah awal. Alam semesta, benda, hewan, atau makhluk lain di jagad ini adalah pihak lain yang dapat dijadikan cermin, sandaran mengenal diri. Jika Gatholoco, lebih pada proses introspeksi, maka mengenal wanita, bercinta dengan wanita adalah perlambang mengenal diri melalui jagad ini. Inilah sebenarnya bercinta dalam konteks Gatholoco. Anda bisa mempelajari perilaku bintang, untuk kemudian didiskusikan dengan diri, mengenai kesamaan, perbedaan, dan sebagainya, yang berujung pada introspeksi diri. Begitu pula terhadap langit, bumi, matahari, bulan, waktu harian, bulan, tahun, arah dan sebagainya. Pertanyaan mendasarnya adalah apa manfaat mereka untuk pengenalan diri? Itulah foreplay yang diajukan oleh Gatholoco, melalaui Dewi Mlenuk Gembuk, payudara. Harapannya, klimaksanya adalah bersetubuh bukan? Mengenal jagad, sama persis mengenal diri, melihat jagad, sama juga melihat diri. #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 110
#47 SEPASANG BUAH DADA Teka-teki pertama dewi Mlenuk Gembuk sudah terjawab. Namun, masih ada satu teka-teki lagi yang diajukan olehnya. Begini teka-tekinya: "Ingsun ningali maesa, kathahe amung kêkalih, nanging têlu sirahira" (Aku melihat kerbau, berjumlah dua ekor, akan tetapi mempunyai kepala tiga buah). Nama Mlenuk Gembuk adalah simbolisasi payudara. Ada sepasang buah dada, payudara. Namun, ia, dewi Mlenuk Gembuk melihat ada dua kerbau, namun kepalanya tiga. Apa maksudnya? Ketika mengenal payudara, Mlenuk Gembuk, Gatholoco membabar pengenalannya akan jagad semesta. Berkaitan dengan ini, ingin ditegaskan bahwa dalam kehidupan di jagad ini, selalu berpasangan, dua buah satu pasang, seperti Mlenuk Gembuk, dua buah dada. Kerbau dalam konteks ini, dalam tradisi mistis Jawa sering diasosiasikan dengan kebaikan, kemuliaan. Kemudian, ia melihat dua kerbau, ini berarti bahwa kehidupan di jagad ini terlihat dua, yaitu baik dan buruk, susah dan senang, dan sejenisnya. Ini adalah satu realitas. Namun, seringkali realitas ini dilihat dalam konsepsi yang lain yakni adanya kepala tiga. Itulah yang dimaksud jawaban oleh Gatholoco, bahwa kepala dua kerbau adalah kepala berpasangan, kerbau jantan dan betina. Namun, ada kepala satu lagi, yakni kepala penis. Realitas berpasangan dalam kehidupan itu meliputi banyak hal, namun selalu saja ada bentuk lain dari kombinasi atau bukan keduanya. Misal saja, ada susah dan senang, namun ada juga kondisi bukan susah dan senang. Ini adalah realitas baru, sebuah sastra 23 (nanti akan ada realitas sastra 21, atau anda #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 111
bisa membaca sastra 21 pada bagian sebelumnya). Ada manusia yang bersifat baik dan buruk, tetapi sering kali yang terlihat bukan itu. Manusia itu yang mempunyai sifat baik dan buruk sekaligus. Itulah gambaran besar dari jagad semesta ini, penuh dengan sastra 23 (dua kerbau, berkepala tiga). Melalui teka-teki ini, guru Gatholoco ingin mengingatkan bahwa jagad semesta yang beraneka rupa isinya, ketika di dekati, di dalami akan muncul adanya dua buah (pasangan). Layaknya ketika orang baru melihat Mlenuk Gembuk saja dari luar, ketika di buka ada sepasang, dua buah Mlenuk Gembuk. Dan ternyata, bisa ada satu lagi Mlenuk Gembuk yang muncul, seperti kepala ketiga dari dua kerbau. Ini juga bisa diartikan, hendaknya manusia mencari dan mengenal kepala atau buah dada yang ketiga. Tidak hanya mengenal susah dan senang, atau baik dan buruk semata. Tapi akan banyak variasi yang muncul dalam melihat kehidupan dunia ini.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 112
#48 PUTING PAYUDARA, BELAJAR INTI (Pupuh VIII, Bait 19-28) Jika sudah mengetahui dan mengenal payudara, maka di manakah posisi sebenarnya saraf birahi berada? Apakah pada Mlenuk Gembuknya? Atau di tempat lain? Inilah kemudian dalam serat Gatholoco mengajukan cantrik kedua bernama Dudul Mendut. Ya, sesuatu dari Mlenuk Gembuk, yang jika didudul (disentuh dengan jari) kemudian Mendut (bergerak, bergoyang). Putinglah yang saya maksud dari nama Dudul Mendut. Bukankah, dalam merangsang wanita pada payudara, intinya, pusatnya ada di puting? Demikian pula, untuk lebih mengenal kehidupan dunia, anda diajari untuk memperhatikan berbagai inti, pusat perhatian dalam banyak hal. Dudul Mendut merangkumnya dalam sebuah teka-teki, berikut: a) Ing ngêndi prênahe Iman, di mana letaknya iman? b) ing ngêndi prênahe Buddhi, di mana letaknya budi? c) ing ngêndi prênahe Kuwat, di mana letaknya kuat? d) Ing ngendi prenahe wirang, di mana letaknya malu? e) apa Kang Luwih Pait, apa yang lebih pahit dari hal yang pahit? f) lan Ingkang Luwih Manis, apa yang lebih manis dari yang manis? g) Luwih Atos saking watu, apa yang lebih keras dari batu? h) apa kang Luwih Jêmbar ngungkuli jêmbaring bumi, apa yang lebih luas dari bumi? i) apa ingkang Luwih Dhuwur saking wiyat, apa yang lebih tinggi dari langit? j) Apa ingkang Luwih Panas, ngungkuli panasing gêni, apa yang lebih panas dari api? k) Luwih Adhêm saking toya, apa yang lebih dingin dari air?
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 113
l) Luwih Pêtêng saking wêngi, apa yang lebih gelap dari malam? m) êndi aran Ningali, Mana yang disebut melihat? n) lan êndi Kang Luwih Dhuwur, mana yang lebih tinggi? o) êndi Kang Luwih Andhap, mana yang lebih rendah? p) apa ingkang Luwih Gêlis, apa yang lebih cepat? q) akeh êndi Wong Gêsang karo Wong Pêjah, banyak mana orang hidup daripada yang mati? r) Wong Sugih lawan Wong Nistha, yang lebih banyak orang kaya atau miskin? s) Wong Jalu lawan Wong Estri, yang lebih banyak laki-laki atau perempuan? t) Wong Kapir lawan Wong Islam, yang lebih banyak orang kafir atau Islam? Demikianlah, Dudul Mendut mengajari untuk mempelajari berbagai inti dan persoalan mendasar dari banyak hal. Guru Gatholoco menjawab semua teka-teki yang diajukan: a) Iman itu ada di jantung (hati), (b) Budi itu ada di akal, (c) Kuat itu ada di Otot dan tulang, (d) Malu letaknya ada di mata (jika anda malu melihat, tutuplah mata anda) (e) yang lebih pahit adalah hidup dunia ini menurut mereka yang miskin, (f) bagi yang kaya, hidup dunia ini lebih manis, (g) yang lebih keras adalah hatinya orang sempit pemikirannya (h) apa yang lebih luas dari bumi adalah pandangan manusia, luasnya pandangan manusia, (I) yang lebih tinggi dari langit adalah cita-cita, keinginan, (j) lebih panas dari api adalah hatinya orang yang dipenuhi ambisi (k) yang lebih dingin dari air adalah hatinya orang sabar (l) yang lebih gelap dari malam adalah hati yang tidak memahami kitab suci, (m) yang disebut melihat adalah orang yang sudah melihat ilmunya Allah, (n) yang lebih tinggi adalah yang mempunyai budi, (o) yang lebih cepat itu kegembiraan, sedangkan yang lebih dekat itu
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 114
kesusaahan) (p) yang mati lebih banyak daripada yang hidup, karena mereka tidak mempunyai budi (q) banyak yang melarat, karena meski kaya harta, mereka bodoh tanpa kecerdasan dan kesadaran (r) banyak wanitanya, karena banyak laki-laki yang tidak memahami kesajatian wanita, meski laki-laki maka ia wanita (s) banyak kafirnya, karena tidak memahami intisari agama, tidak memiliki kesadaran atas agamanya. Demikianlah jawaban guru Gatholoco, dan telah mampu menundukkan kehebatan Dudul Mendut. Ini berarti, ilmu yang dimiliki Gatholoco memang luar biasa. Sekali lagi, dengan menghadapi Dudul Mendut, berarti manusia diajari untuk mengenal berbagai hal inti dalam kehidupan. Sebab untuk merangsan Mlenuk Gembuk, melalui Dudul Mendut adalah posisi yang pas, karena di situlah pusat saraf birahi Mlenuk Gembuk.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 115
#49 RARA BAWUK, UCAPAN DAN MISTERINYA (Pupuh VIII, Bait 28-32)
Bagian ini kita berpindah kepada organ sexual lain, yakni vagina. Ini diwakili, pertama oleh dewi Rara Bawuk. Saya sebut ini simbolisasi dari bagian luar dari Vagina, yakni ada bibir dan clitoris. Pembagian saya ini tentu ada maksudnya, yang saya sesuaikan dengan teka-teki yang diajukan. Berikut bait tekateki pertama, yang saya sebut mewakili bibir vagina. “Kabeh ingkang sipat gêsang, kang ana ing dunya iki, Pangucape Pirang Kêcap” (terjemah: Semua manusia yang hidup, yang ada didunia ini, berapakah banyak ucapan yang keluar dari mulut mereka?) Pernahkah anda mendengar ungkapan seperti ini, “dasar wanita, punya mulut dua”. Punya mulut satu saja, sudah banyak omongannya, apalagi dua. Mulut yang kedua itu ya vagina (Rara Bawuk). Nah, teka-teki yang diajukan oleh Rara Bawuk adalah berapa ucapan manusia hidup ini? Paham kan sekarang, relevansinya? Guru Gatholoco mengajukan jawabannya: “Ucape kang sipat gêsang, kang ana ing dunya iki, Pan Amung Salikur Kêcap, nora kurang nora luwih, dene sastra kang muni, pan iya amung salikur, kabeh ucaping jalma, kang ana ing dunya iki” (Ucapan yang hidup di dunia ini hanya 21, tidak lebih, tidak kurang, sementara sastra yang terucapa juga 21, semua ucapan makhluk di dunia ini”).
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 116
Semua tindakan, ucapan manusia dan makhluk itu ada 2, namun hakekatnya 1. Ada ucapan yang benar, ada yang salah, semua hakikatnya berasal dari Hyang Esa. Ketika mengenal Payudara (Mlenuk Gembuk dan Dudul Mendut), anda sudah diajari mengenal jagad dan aneka inti, posisinya. Melalui tekateki ini, anda dilatih lebih dalam lagi, untuk mengenal aneka rupa tindakan dan karya makhluk, khususnya manusia. Meski wujudnya beraneka rupa (dualitas), tetapi hakekatnya satu juga. Tindakan teman anda, tetangga anda, pasangan anda, bisa jadi membuat anda susah atau sebaliknya senang, tetapi harus dipahami bahwa itu semua juga berasal dari Hyang Satu. Ini sama saja ketika mengenali diri sendiri (secara Gatholoco, belum ketemu wanita/jagad), juga diajari bahwa rasa yang muncul dari diri, adalah realitas-realitas multi (sastra 2), namun hakikatnya bersumber dari satu (Hidup), yang melekat dalam diri. Mengenal Rara Bawuk, berarti menyadari bahwa dalam diri, yang ada diluar, maksudnya adalah pihak-pihak lain, harus dipahami sedemikian juga, sebagai sastra 21. Mengenal sastra 21, yang ada pada pihak lain, sama sulitnya yang ada dalam diri sendiri. Teka-teki kedua Rara Bawuk mengantar untuk memahaminya, yakni “LEKLU iku KeLiMIS”. Ini mirip singkatan (atau jarwo dhosok/kerta bhasa). Guru Gatholoco menjawab, “Têlek neng Alu lêsungan, yen Dicêkêl yêkti Amis, salawase durung ana, têlek ingkang mambu wangi”, maksudnya teLEK yang di aLU, ketika dipegang (ceKEL), baunya aMIS. Artinya, kotoran/tahi yang ada di ALU (pemukul lesung), jika dipegang berbau amis. Bukankah tahi/kotoran itu berbau amis/busuk? Pernahkah ada yang berbau wangi? Tentu tidak ada.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 117
Apa artinya, jika tahi itu dibiarkan saja, tidak dipegang ya bisa jadi tidak tercium. Kadang, orang bilang begini sambil mencium tangan untuk menguji, “ah... ini tahi...bau”. Artinya untuk mengenal ucapan-ucapan orang lain harus teliti, apakah itu ucapan busuk atau tidak. Apakah ucapan itu bermanfaat buat diri atau tidak? Itulah sebenarnya maksud dari teka-teki itu. Ini mirip juga dengan foreplay melalui clitoris (bagian dari Rara Bawuk). LEKLU KeLiMIS, itu bisa diuraikan, diceLEK, diuLU, diringKEL ambu aMIS. Benarkah baunya amis? Janganjangan baunya sangat khas yang tidak pernah muncul dari anggota badan lainnya. Tentu yang sudah punya pasangan bisa membuktikan ini. Jangan-jangan orang lain itu dikira punya niat amis/busuk, tetapi sebenarnya dia menyimpan aroma harum surga.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 118
#50 RARA BLEWEH, RAHASIA RASA (Pupuh VIII, Bait 33-38) Sebelum mengenal Rara Bleweh, perlu saya tegaskan lagi, bahwa mengenal wanita, secara spesifik mengenal organ sex dalam serat ini adalah simbolisasi dalam mengenal diri melalui pihak (orang lain). Artinya sebenarnya bukan soal sex itu sendiri, tetapi organ sex (atau sex) adalah simbolisasi dari bagian-bagian penting dalam mengenal orang lain (dunia lain). Dengan demikian, dapat membantu manusia mengenal diri lebih baik. Cantrik keempat adalah Rara Bleweh, simbolisasi dari lubang vagina, yang berlendir (maaf, jika ini terkesan porno). Maksudnya, pada tahap ini anda akan diajak untuk mengenal rasa dan rupa, seperti Rara Bleweh yang berlendir adalah wujud munculnya rasa birahi, sebuah tanda jika birahi sudah menggejolak. Melalui teka-teki yang diajukan ada soal rahsa yang akan diperkenalkan. Beginilah teka-tekinya,”Isine alam dunya, kabeh Ana Pirang Warni, lawan Pira Rasane lamun Pinangan”. (terjemah: ada berapa jumlah isi dan rasa seluruh dunia, jika dimakan?) Guru Gatholoco menjawab, jumlah isi dunia berjumlah sembilan (9). Ini adalah angka tertinggi dalam penghitungan. Ketika melebihi jumlah itu, maka akan kembali kepada angka awal, 1 lagi, demikian seterusnya. Sedangkan jumlah rasa ada delapan (8), yakni Manis, Gurih, Pahit, Getir, Pedas, Asin, Sepat dan Kecut. Lantas apa maksud ini semua. Bahwa manusia lain (orang lain yang disimbolkan wanita dan organ sexnya ini) semua pada umumnya, normalnya memiliki dan mengenal #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 119
rasa-rasa ini. Untuk mengenal diri lebih baik melalui orang lain, maka hendaknya juga merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Tidak bisa, bahwa asin hanya dirasakan oleh diri sendiri, sementara orang lain tidak. Orang lain bisa sakit hati, bisa kecut atau manis, itu sama halnya dengan rasa yang dimiliki oleh diri sendiri. Sementara jumlah 9 (songo), ini menandakan bahwa sebanyak jumlah isi dunia ini, pada dasarnya, ya kosong, ya ono. Artinya bisa ada, karena sebelumnya tidak ada. Sebanyak apapun, pada akhirnya juga muncul dan tenggelam. Sejarah masa lalu, atau masa depan, bisa jadi pengulangan saat ini atau rekonstruksi masa lalu. Anda bisa jadi bertemu orang yang menyebalkan hari ini, itu pun bisa juga bertemu lagi di kesempatan lain, setelah tidak bertemu dalam rentang waktu tertentu.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 120
#51 DIKOTOMI KEHIDUPAN (Pupuh VIII, Bait 34-41) Rara Bleweh masih mengajukan satu teka-teki lagi, menyangkut soal wujud kehidupan manusia. Jika sebelumnya (#NgajiGatholoco50) mengenalkan kepada isi dunia dan rasanya, pada bagian ini akan lebih memfokuskan pada karakter manusia itu sendiri. Begini teka-tekinya: “Sun andulu Wujudira, adêge Wolung Prakawis, Pikukuhe Raga Tunggal, Sipat Papat Keblat Kalih, Patbêlas Ingkang Keri, Kang Loro Tutup-tinutup, samya Manjêr Bandera, Kêkalih pating karingkih, lan badhenên, mangrêtine dadi paran”. (Terjemah: Aku menatap Wujudmu, terlihat Delapan Macam, Mewujud dalam Satu Raga, sifatnya empat, namun kiblatnya dua, ditambah Empat Belas macam yang sangat penting, Yang Dua sangat dirahasiakan, Karena keduanya tempat mengibarkan Bendera, Keduanya sangat sensitif, nah tebaklah, bagaimana maksudnya?). Manusia dalam kategori Gatholoco, artinya suka melakukan masturbasi religius, sebenarnya terlihat bukan sebagai manusia, namun sebagai hewan, anjing pula. Ini hanya sebuah simbolisasi. Mereka yang suka mencari kepuasan batin melalui menghina pihak lain, suka mendiskreditkan, mengkafirkan dan sejenisnya ibarat anjing yang sedang “genjik” (kawin). Anjing kawin itu biasanya saling adu pantat, sehingga kaki yang nampak menjadi delapan. Itulah jumlah delapan yang dimaksud dalam teka-teki. Yang diadu pantat, ini menunjukkan adanya pembedaan, dikotomi pandangan dan prinsip. Pelaku masturbasi religius suka sekali dengan dikotomi demikian. Jika tidak sama dengan dirinya, ya dianggap musuh, dianggap kafir atau sejenisnya. Meski #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 121
perbedaan pandangan itu bisa terjadi dan sangat memungkinkan terjadi, diibaratkan dengan 4 arah mata angin, yang beraneka rupa. Orang bisa berpendapat A, atau B, atau C atau seterusnya. Namun yang dilihat hanya dua kiblat saja. Itulah yang dimaksud dengan “sifat empat, kiblat dua”. Selalu lawan atau kawan sebagai pandangan. Padahal, jika mau belajar pada wujud raga manusia sendiri, kemungkinan berbeda itu sangat banyak, dilambangkan dengan 14 lubang. Itu adalah pintu masuk yang beragama, pintu masuk keragaman dalam diri manusia. Lubang-lubang tersebut adalah, mulut (1), mata (2), hidung (2), telinga (2). Jika dijumlah dua orang, maka menjadi 14. Ini masih berkaitan dengan dua anjing tadi, dua manusia. Ketika hidup bersama, maka akan menambah peluang untuk berbeda. Namun ada juga 2 lubang yang dirahasiakan, meski itu hidup bersama, yaitu anus dan farji (kemaluan). Artinya, bahwa meski ada sepasang kekasih, suami dan istri, pasti ada saja yang dirahasiakan, jumlahnya lebih sedikit, ketimbang yang tidak dirahasikan. Ini adalah wajar. Keduanya adalah sensitif, rapuh. Ketika orang kentut, ini sebenarnya menunjukkan adanya lubang anus. Banyak orang berusaha merahasiakan kentut. Banyak orang merahasiakan dosa, perbuatan buruk, sehingga yang nampak hanya perbuatan baik semata. Demikian pula farji, yang juga berfungsi mengeluarkan kotoran. Selalu dijaga kerahasiaannya. Kalau perlu pasangannya tidak boleh mengetahuinya. Namun demikian, keduanya juga berfungsi kebaikan. Bagaimana anus yang tidak berfungsi? Tentu sakit bukan? Demikian juga farji yang tidak berfungsi, juga demikian. Ini berarti, baik anus dan farji mampu membawa kebaikan dan keburukan. Ini lah yang dimaksud, adanya bendera dua buah yang dipasang dalam satu bilah. #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 122
Simbolisasi ini mengajarkan bahwa, ketika manusia sudah menyadari adanya perbedaan yang dikotomis bisa terjadi dalam hubungan, selanjutnya adalah pada pilihan manusia, apakah mau berbuat baik atau justru buruk. Apakah akan mengibarkan bendera kebaikan atau keburukan. Teka-teki Rara Bleweh sudah ditebak dengan tepat. Gatholoco menang. Namun, seperti pada akhir teka-teka itu, apakah Gatholoco akan memanfaatkan “gato” nya untuk kebaikan atau justru terjebak ke dalam sikap “ngGatholoco” lagi? Ini akan terjawab seiring dengan teka-teki akhir dari sang Rsi Guru Dewi Lupitwati dari Indragiri nanti.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 123
#52 DEWI LUPITWATI, MENGENAL PERNIKAHAN (Pupuh IX, 1-11) Memasuki bagian ini, adalah teka-teki terakhir dari para cantrik dan guru di padepokan Indragiri, yang semuanya adalah perempuan. Seperti sudah saya singgung sebelumnya, bahwa Gatholoco yang berkelana ke luar pondok, kemudian bertemu wanita adalah perlambang, upaya mengenal diri melalui orang lain dan jagad semesta di mana manusia hidup. Melalui Mlenuk Gembuk, Dudul Mendut, Rara Bawuk, Rara Bleweh, semua rahasia kehidupan manusia lain, jagad, dan isinya sudah dikenal, dikupas. Lantas bagaimana selanjutnya, apakah pengetahuan itu hanya sekedar pengetahuan? Atau setelah mengenal orang lain, setelah mengenal diri melalui pihak lain, apa yang hendak dilakukan. Inilah arah dari teka-teki guru Rsi Dewi Lupitwati. Teka-tekinya adalah sebagai berikut: “Badhenên ingkang dumunung, têgêse Wong Laki Rabi, lan têgêse Wadon Lanang, tegese Sajodho kuwi, Gatholoco saurira, Ora susah nganggo mikir”. (Tebaklah, apa yang dimaksud dengan wong Lanang (laki-laki), juga Wadon (wanita) dan perjodohan? Jawablah, tidak pake mikir segala). Guru Gatholoco segera menjawab ketiga pertanyaan itu. Yang disebut “wong Lanang” (laki-laki) adalah simbol dari kejelekan, dalam ungkapan, “ananingwang, rupane ala”. Sedangkan “wadon” dari kata “wadi” itu adalah “rahasia, juga bisa aib” atau dalam ungkapan Gatholoco, “panggonane wadi”. Jawaban ini jelas mengajarkan bahwa, manusia baik laki-laki atau wanita adalah tempatnya bersemayam kekurangsempurnaan, ada sifat jelek, aib dan sejenisnya. Lebih populer, manusia itu “tempat #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 124
salah dan lupa”. Jika sudah menyadari demikian, apakah kemudian mau hidup sendiri-sendiri? Atau merasa suci sendiri. Maka jawaban teka-teki yang ketiga adalah mengenai perjodohan sebagai berikut:”Mula Rabi aranipun, Wong Lanang Amêngku Estri, rahab ngrahabi sadaya, kang ala lawan kang bêcik, mula lanang aranira, aja nglendhot marang estri”. Yang dimaksud, pernikahan, perjodohan atau RABI itu adalah Rahab- ngrahaBI, saling berinteraksi, saling melengkapi. Jika ada satu pihak yang kurang baik, maka akan ditutupi oleh pihak lainnya. Demikianlah harusnya hidup bersama di jagad semesta ini. Tidak bisa merasa benar sendiri, tidak menang sendiri. Ketika orang sudah menikah, mereka seharusnya saling memperkuat, untuk menuju kebaikan bersama, bukan saling menyandarkan kesalahan kepada lain pihak. Itulah perjodohan sejati, saling ngrahabi. Dengan jawaban ini, dewi Lupitwati kalah. Artinya semua pihak di padepokan Indragiri kalah semua. Mereka mengaku kalah, dan siap jiwa raga untuk mengabdi, bahkan untuk dinikahi. Apakah lantas demikian yang terjadi? Ikuti seri berikutnya, yang terjadi adalah bukan keseimbangan seperti perjodohan, tetapi guru Gatholoco terpeleset dalam sikap kurang ajar.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 125
#53 MENELANJANGI, TETAPI TIDAK DISETUBUHI (Pupuh IX, 12-31) Ketika para dewi sudah menyerah dan pasrah, mereka juga siap diperistri, seperti perjanjian perdebatan sebelumnya. Mendengar kesanggupan ini, beginilah sikap Gatholoco: “Gatholoco sukeng kalbu, gumujêng sarwi mangsuli, Tuturira sun tarima, lan maneh wiwit saiki, sireku kabeh kewala, têtêp dadi garwamami” (Terjemah: Gatholoco gembira dalam hati, tertawa sembari berkata, Aku terima janjimu, dan mulai dari sekarang, kalian semuanya, akan ku ambil sebagai istriku). Apakah kemudian mereka benar-benar diperistri? Ternyata tidak. Guru Gatholoco meminta semua telanjang bulat. Jika mereka tidak menuruti, diancam sebagai istri yang tidak taat suami, akan dikutuk. Meski dengan berat hati, mereka menuruti. Mengapa mereka sampai ragu demikian? Karena kehendak guru Gatholoco hanya ingin membuktikan apakah mereka benar wanita atau tidak. “Samengko mrih gênahipun, manira arsa nontoni, mring prenah têtêngerira, wujude ingkang sajati, sireku pada lukara, supaya cêtha kaeksi” (Terjemah: Sekarang agar nyata, aku hendak melihat dengan mata kepalaku sendiri, kepada tempat tanda seorang wanita, wujudnya yang sesungguhnya, kalian semua bukalah busana kalian, agar jelas terlihat). Padahal asumsi mereka, setelah mereka kalah dan diperistri. Perintah bertelanjang tentu kaitannya dengan persetubuhan. Namun, rupanya itu hanya untuk sekedar melihat saja, sekedar untuk membedakan besar kecilnya payudara, besar kecilnya vagina (rara bawuk). Inilah sebenarnya, perilaku Gatholoco #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 126
yang disinggung pada tulisan sebelumnya (baca lagi #45). Muncul rasa sombong pada diri Gatholoco karena selalu menang berdebat. Setelah menang, tertawa dan menghina. Kepada para wanitapun demikian, ketika kalah, mereka ditelanjangi dan dibiarkan. Jangankan diperistri yang sesungguhnya, disetubuhi saja tidak, hanya sekedar dilihat, untuk sekedar tahu bentuknya saja. Perilaku ini pula yang menunjukkan bahwa Gatholoco sudah terjebak pada sikap melanggar sariat (seperti diungkap pada #45), menelanjangi para wanita. Jika kita simak perdebatan dengan para santri dan kyai sebelumnya, Gatholoco tidak pernah menunjukkan perilaku seperti ini, melawan secara fisik, memperlakukan buruk secara fisik. Jika toh melawan, itu perlawanan yang cerdas, meski terkesan kasar dan konyol. Tentu ini juga mempermalukan para wanita. Mereka terkesan dipermainkan. Setelah mereka telanjang, kemudian disuruh menutup kembali. Tidak di apa-apakan. Peristiwa ini sebenarnya memiliki perlambang bahwa, manusia bisa saja menang berdebat, menguasai ilmu diri, ilmu tentang jagad, ilmu tentang rasa, sastra 21, mampu melawan sastra 23 dan sebagainya, tetapi untuk apa itu semua. “Kalau sudah pandai itu semua, mau apa?” ini pertanyaan sederhana tetapi sangat penting dan mendasar. Guru Gatholoco menunjukkan bahwa ternyata setelah kemenangannya dari para kyai dan kemudian menguasai pesantren Cepekan, dia lupa diri, kepandaian dan keluasan ilmunya hanya untuk berdebat, menghina lawan, dalam simbol menelanjangi lawan. Alangkah baiknya jika yang terjadi adalah persetubuhan, perpaduan, bekerjasama dengan pihak lain dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Meski anda sudah mengenal betul orang lain, #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 127
lantas untuk apa? Apakah mau menghina atau mau mengajak hidup damai dan sejahtera bersama atau mau menghancurkannya? Mengenal kelebihan dan kekurangan orang lain, apakah akan membuat anda kemudian memuja atau mencacinya? Itulah pelajaran penting di ujung perdebatan guru Gatholoco dengan para wanita, sebagai simbol jagad semesta, simbol dari pribadi-pribadi lain.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 128
#54 NASEHAT BUAT PARA WANITA (Pupuh X, 1-10) Jika dalam perdebatan guru Gatholoco dengan para wanita padepokan Indragiri, bisa dimaknai dari sisi simbolik maupun apa adanya, namun dalam bait-bait berikutnya, adalah nasehat guru Gatholoco kepada para wanita, sebelum ia kembali ke pesantren Cepekan. Beginilah nasehatnya (yang sudah saya gubah): Hai, para wanita Jangan sampai engkau bertindak salah, Harus berpikir akan akibat (dari perbuatan) Hai para wanita Godaan begitu banyak menghampirimu Maka, pahamilah Jangan sampai engkau bertindak salah Itulah larangan terbesarmu, Berpikirlah akan akibat dari setiap perbuatanmu Hai, para wanita Jika engkau sudah salah, berbuat nista Sebenarnya kau jerumuskan dirimu sendiri, merusak dirimu Sampai dunia menangispun, sulit sekali mengembalikan Nama baikmu Hai, para wanita Engkau seringkali tak diperhitungkan Namun kau mampu mempesona siapa saja, hingga banyak yang melindungimu Seringkali engkau berusaha diperhatikan #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 129
Dengan tekad yang kuat, bahkan Kau mampu memenuhi segala aturan Namun ... Pikiranmu dan perbuatanmu bisa salah Jangan engkau berbuat yang tak ada gunanya Sebab bisa mendatangkan rasa malu saja Meski, engkau sebenarnya tak ingin menderita Atau tersiksa, Tapi karena kuasa Hyang Maha Kuasa bisa menghukummu, Sebab perbuatanmu Hai, para wanita Ingatlah, bahwa manusia hidup jangan gila hormat saja Meski engkau mampu bagai raja, yang bisa menguasai dunia Tapi, di dunia ini pasti ada yang miskin dan kaya Meski ia dari rakyat jelata Jika baik kata-katanya, maka ikutilah dia, sesuaikanlah kehendak hatimu Mengikutinya Pandai-pandailah engkau menyimpan rahasia Jangan sampai ketahuan orang lain Hai, para wanita Jika kalian bisa mematuhi nasehat ini, itu ibarat Engkau telah menempatkan ayah ibumu, leluhurmu ke dalam surga, selamanya Dan Para sahabatpun akan akrab kepadamu Tetapi, Jika engkau tergoda setan, itu semua bisa menyesatkanmu Hai, para wanita #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 130
Wanita cantik adalah mereka yang luas wawasannya, cerdas, menguasai banyak keahlian, Namun, jika salah dalam perbuatan, salah menggunakannya, bisa merusak semua badan Wanita utama adalah mereka yang baik perbuatannya, mereka yang berilmu di antara sesama Namun, jika tidak menghormati pria, akan akan mengecewakan, karena sikapnya itu
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 131
#55 ANUGRAH BUDDHI (Pupuh XI, 1-7) Perjalanan berkelana, mencari lawan debat guru Gatholoco sudah usai. Berakhir di padepokan indragiri, yang dihuni oleh para wanita. Tak ada satupun wanita yang diboyong, apalagi diperistri. Pada akhirnya ia kembali ke pesantren Cepekan, tempatnya mengajar. Para santri suka cita menyambutnya. Bahkan mereka meminta untuk mendapatkan wejanganwejangan baru lainnya. Kisah dengan para wanita memang tidak banyak dibahas, jika dibandingkan perdebatan dengan para santri dan kyai sebelumnya. Padahal mengenal wanita sebagai simbolisasi mengenal jagad semesta, mengenal lingkungan sekitar, mengenal manusia lain sangat penting. Pengembaraan yang diniatkan untuk mencari lawan debat semata, untuk merengkuh kepuasan menundukkan dan mempermalukan lawan, rupanya menghinggap juga pada guru Gatholoco (#NgajiGatholoco53 &45). Pupuh akhir (XI) ini seolah menunjukkan adanya kesadaran akan munculnya kesombongan dalam diri. Maka kembali ke padepokan adalah sebuah isarat, untuk kembali lagi mengkaji diri sendiri. Bahwa, mencapai kesadaran tertinggi, kesadaran hanya kepada Hyang Widhi semata tidaklah mudah. Bukan sebuah usaha dari manusia semata, tetapi itu semua adalah anugrah, ya anugrah dari Hyang Widhi sendiri. Dalam kesempatan di hadapan para santri, guru Gatholoco menyampaikan wejangan mengenai Anugrah Buddhi. Buddhi adalah kesadaran puncak, Buddhi adalah hanya Nyebud Hyang Widhi semata dalam kesadarannya. Dengan demikian maka anugrah buddhi itu dibagi tiga. “Nugrahaning Buddhi #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 132
iku, saurana Tri Prakawis, Cipta Ning kang kaping pisan, Panggraita kaping kalih, Sang Panyipta kaping tiga” (terjemah: anugrah buddhi itu ada tiga, pertama mencipta hening, kedua adalah merasa dan ketiga adalah Sang Pencipta). Apa maksudnya? Bahwa kesadaran puncak (Buddhi) itu adalah anugrah ketika seorang diri manusia mampu, pertama menciptakan keheningan dalam dirinya (hatinya), membuang segala hal yang dapat mengganggu hatinya sehingga mampu mendapat anugrah yang kedua, yakni mampu merasakan, mampu mengerahkan segala indrawinya berkonsentrasi dan berfokus, dan akhirnya memperoleh kesadaran akan adanya Sang Pencipta. Gampangnya, Buddhi itu adalah sadar bahwa diri manusia hanya memfokuskan pada Hyang Widhi semata, dalam segala bentuk perilaku. Apapun yang dilihat, meski melihat bunga, yang nampak adalah Hyang Widhi. Meski yang nampak adalah maling, ia hanya melihat Hyang Widhi. Orang yang mampu mencapai Buddhi seperti ini, tentuk ia akan menjadi manusia yang berbudi (berakhlak), sudah tidak terpengaruh dengan apa yang nampak, apa yang didengar, dan dirasakan. Semuanya Hyang Widhi semata. Dalam konteks ini, maka Buddhi, bukanlah soal agama Budha yang dibawa oleh MahaRsi Gautama. Tetapi adalah konsep kesadaran puncak yang tunggal kepada Hyang Widhi, yang dipahami oleh orang Jawa. Dalam pengertian Buddhi semacam ini, maka saya bisa memahami ledekan guru saya dulu, ketika menyebut diriku beragama Budha. Maksudnya, bukan agama Budha yang dikenal dan dijadikan nama agama di KTP, tetapi sebagai “nyeBUD/te Dhawa”, maksudnya terlalu banyak mengeluh, hanya nyebut-nyebut saja, tetapi tidak menyadari, tidak mampu hening dan wening melihat realitas. Melalui #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 133
pemahaman Buddhi seperti ini, maka anda akan mampu menangkap makna soal Sabdopalon Nayagenggong nagih janji, dimana ia bersumpah akan mengembalikan agama Buddhi di tanah Jawa.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 134
#56 ANUGRAH RUH DAN SEKARAT (Pupuh XI, bait 7-11) Wejangan guru Gatholoco selanjutnya adalah menyangkut ruh, ruhani manusia. Jika pada #42 anda dikenalkan berbagai tingkatan/rupa ruh yang ada dalam diri manusia, yang berjumlah tiga, yakni ruh idhafi, ruh jasmani dan ruh Zat Yang Tanpa Arah, Tanpa Tempat dan Tanpa Jumleger. Anugrah akan mengenali ruh-ruh tersebut, bukanlah semata-mata upaya manusia, namun sekali lagi, bahwa itu semua adalah anugrah dari Hyang Widhi semata. Oleh karena itu, guru Gatholoco mengingatkan adanya tiga anugrah ruhani, yaitu:” Kanugrahaning Roh kuwi, Sauranaiku Telu, ana dene ingkang dhingin, Urip Tan Kalawan Nyawa, ingkang kaping kalih kuwi, Ora Angen-Angen liyan, Allah Kewala kaping tri, Tan ana woworanipun, ingkang Wahdatilwujudi”. (Terjemah: anugrah ruh itu, jawablah ada tiga maca, yang pertama adalah Hidup tanpa nyawa, kedua adalah yang diingat hanya Allah, tidak yang lain, dan yang ketuga adalah tak bisa dibedakan, yakni wahdatul wujud”). Dalam diri manusia ada ruh jasmani, maka anugrah yang pertama adalah mampu mengenal hidup yang tanpa nyawa. Ini berarti ruha jasmani sudah mulai tidak berperan, ia sudah mengenal ruh idhafi, Hidup yang tanpa nyawa. Urusan jasmani sudah tidak begitu menjadi rasa yang utama. Ketika jasmani memanggil untuk diperhatikan, maka sudah tidak berpengaruh besar, maka kemudian meningkat pada anugrah selanjutnya. Anugrah berikutnya adanya kemampuan hanya menginga Allah semata. Rahsa yang muncul adalah mengingat Hyang Widhi. Selanjutnya adalah anugrah wahdatul wujud, #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 135
tidak bisa dibedakan antara yang dilihat dan melihat, antara yang menyembah dan disembah. Semua wujud, adalah WujudNYA semata. Ruh yang sudah mampu seperti ini adalah ruh yang mendapat anugrah luar biasa. Pemahaman mengenai anugrah ruh, juga berkaitan dengan dengan Buddhi sebelumnya (#NgajiGatholoco55). Jika sudah mencapai Buddhi yang luhur, maka ia hanya melihat WujudNYA semata, yang diingat hanya DIA, sementara suara ruh jasmani sudah tak terdengar lagi, yang ada adalah rahsa menyatu bersamaNYA. Anugrah ruh itu dalam konteks hidup, masih hidup di dunia. Bagaimana jika meninggal? Maka guru Gatholoco mengajarkan adanya anugrah sekarat (maut). “Nugrahan Sakarat pira, saurana Tri prakawis, kang dhingin Adhepanira, Idhep ingkang kaping kalih, Madhep ingkang kaping telu”. (Terjemah: anugrah kematian itu, jawablah ada tiga. Pertama Arahmu, kedua harapanmu dan ketiga siapa yang kau hadap). Jawaban ringkasnya adalah adhep, idhep dan madhep. Kematian akan menjadi anugrah, jika manusia tahu arah setelah kematian. Mau kemana ia setelah dari dunia ini. Mengetahui ini adalah sebuah anugrah. Selanjutnya, adalah anugrah idhep, harapan. Setelah mati harapan apa atau hasrat apa yang menyertai. Jika masih berhasrat kehidupan dunia, maka kematian menjadi sebuah belenggu. Manusia akan bersama yang ia harapkan/cintai. Anugrah ketiga adalah, mengetahui siapa yang akan dihadapi, akan menhadap siapa dia meninggal. Oleh karena para leluhur dulu selalu mengingatkan baik dalam hidup maupun kematian, untuk madhep manteb marang Gusti Kang Murba ing dumadi.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 136
#57 ANUGRAH IMAN, TAUHID DAN MAKRIFAT (Pupuh XI, bait 10-12) Pupuh XI, sebagai bagian akhir dari serat Gatholoco mengingatkan bahwa semua capaian keruhanian manusia itu adalah anugrah semata dari Hyang Widhi. Bagaimana tidak? Guru Gatholoco saja, yang demikiaan luas wawasannya, dalam ilmunya, mampu menundukkan lawan-lawan dalam perdebatan, toh masih dihinggapi rasa sombong. Demikianlah, pada akhirnya keimanan seseorang adalah sebuah anugrah. Guru Gatholoco mengingatkan anugrah iman itu ada tiga, seperti dalam bait berikut: “Nugrahaning Iman pira, saurana TriPrakawis, Sokur ingkang kaping pisan, Tawakal ingkang ping kalih, Sabar ingkang kaping telu”. (Terjemah: anugrah iman itu ada tiga, yaitu pertama diberi rasa bersyukur, kedua tawakal dan ketiga sabar”). Anda bisa jadi berusaha keras untuk bersyukur, namun berapa kali anda gagal? Lebih banyak gagalnya, dibandingkan berhasilnya. Nah, anugrah iman itu bisa berwujud stabilnya rasa bersyukur yang dimiliki. Demikian pula, mantapnya dalam menyerahkan diri kepada Allah (tawakal), serta kuatnya bersabar dalam berbagai keadaan. Anda bisa tawakal untuk urusan tertentu, katakanlah urusan belajar, tetapi apakah sama mantapnya tawakkal anda dalam urusan kebutuhan rumah tangga? Anda bisa bersabar menghadapi murid anda, apakah sekuat itu kesabaran anda menghadapi ulah istri/suami anda? Ketauhidan pun demikian. Ia bukan datang begitu saja, namun juga bukan bersandar sepenuhnya pada usaha. Anugrah Tauhid itu ada dua, seperti dalam bait: “pira Nugrahaning Tokid, #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 137
saurana Dwi Prakara, krana Tetep ingkang dhingin, Wadi kaping kalihira”. (Terjemah: ada berapa anugrah tauhid? Jawablah ada dua, yaitu pertama Tetap/teguh/kokoh dan kedua adalah Rahasia”.). Ketika anda sudah mengenal dan yakin bahwa Allah adalah Hyang Esa, apakah itu akan tetap teguh dan kokoh terus menerus? Jika anda memiliki keteguhan yang semakin kokoh, itu berarti anugrah dari Allah datang. Kedua, kekuatan anda menyelami banyak rahasia dalam ketauhidan, semakin anda kokoh menyelam rahasia itu, maka itulah bentuk anugrahnya. Mengapa? Karena bertauhid, berarti anda akan menemukan banyak aneka rupa misteri, semisteri Allah itu sendiri. Banyak rahasia kan dijumpa dalam perjalanannya. Kekokohan dan rahasia menjadi dua anugrah besar dalam tauhid manusia. Jika, sudah memperoleh kekokohan dalam menyelami rahasia, maka di situlah pintu makirat, pengenal yang mendalam pada Dia, Hyang Widhi semakin terbuka. Tapi, ingatlah bahwa makrifat anda, Hyang Widhi sendirilah yang menghadirkannya, yang menganurahinya. Guru Gatholoco menyebut ada satu anugrah makrifat, yaitu: “Ana Ing Kahananira, Anenggih Karsa:Rasaning, Rasa Wisesa Prayoga”. Artinya, anugrah itu ada pada keberadaan diri, yakni rasa, rasa sejati yang sempurna berkehndak kepada keluhuran. Anda akan makrifat, bukan karena anda tahu ini dan itu, tetapi ketika rasa sejati anda benar-benar terarah kepada keluhuran. Ini berarti juga meliputi aspek perilaku yang baik, yang utama. Makrifat itu bukan soal tahu, tetapi soal rasa sejati yang menjadi penggerak utama lelaku.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 138
#58 ANUGRAH KAROMAH (Pupuh XI, bait 12-15) Seringkali orang memahami keramat/karomah itu hanya dengan hal-hal di luar nalar atau logika. Padahal, keramat itu adalah kemuliaan. Derajat ini menunjukkan bahwa seseorang mempunyai derajat kedekatan dengan Hyang Widhi demikian dekat. Hingga, para pemilik derajat ini tentu mendapat kemuliaan, karena kedekatan tersebut. Guru Gatholoco mengingatkan bahwa keramat/karomah itu adalah anugrah, dan ini berarti tidak semata-mata disandarkan pada upaya atau apa yang dimiliki oleh manusia. Tetapi adanya peran Tuhan menjadi faktor penentu signfikan. “Martabate Kramat kuwi, Mangretine ana Telu, Karem Apngal Para Mukmin, Para Wali Karem Sipat, Karem Dzat Para Nabi”. Tingkatan anugrah karomah itu ada tiga, yakni yang melekat pada diri orang mukmin, disebut af‟al (perbuatan), kedua disebut sifat yang melekat pada para wali, dan dzat yang melekat pada diri para nabi. Hyang Widhi melimpahkan anugrah kemuliaan pada orang mukmin itu bisa terjadi. Apa yang diperbuat oleh orang mukmin yang demikian baik, kemudian Tuhan menganugrahkan kemuliaan karena perbuatan tersebut. Bisa jadi karena sedekah, membaca al qur‟an, menuntut ilmu dan sebagainya. Manusia seperti ini kemudian dikenal baiknya, mulianya karena adanya amal perbuatan yang dilakukan. Anugrah karomah macam ini masih menyimpan adanya „obah osik” atau perubahan. Kadang berbuat baik, di waktu lain tidak
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 139
demikian. Namun, banyaknya kebaikan itulah kemudian mendapat anugrah kemuliaan semacam ini. Meningkat yang lebih tinggi, adalah sifat. Kemuliaan itu sudah menjadi sifat, dan itulah milik para wali Allah. Amal perbuatan baik itu sudah menjadi sifatnya, sudah menjadi julukannya. Dalam hal ini konsistensi, keistiqomahan adalah kuncinya. Anugrah kemuliaan macam ini sudah melekat kuat pada diri, amal kebaikan itu sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan, sehingga mencegah amal perbuatan yang tidak baik. Ia akan sangat condong kepada amal kebaikan, kemudian dikuatkan, sehingga menjadi sifat yang dikenal. Kemuliaan milik para nabi itu sudah Dzat, artinya sudah melebur dalam diri dzat itu sendiri. Jangankan amal perbuatannya, dzatnya sendiri itu merupakan kebaikan itu sendiri. Anda tentu sudah sering mendengar kisah, bagaimana para nabi itu, sejak lahirnya membawa kebaikan bagi manusia lainnya. Padahal ia belum melakukan amal perbuatan yang seperti dilakukan oleh manusia kebanyakan. Sebut saja, kelahiran baginda Muhammad Shallahu alaihi wa sallama ternyata membawa berkah bagi seluruh alam, mulai dari malaikat, jagad dan masyarakat. Ketika masih kecil juga demikian. Kemuliaan itu sudah menjadi dzatnya, sudah menjadi bagian dari dirinya, baik dzat (fisik) dan perbuatannya. Bahkan setelah kewafatan para nabipun, kemuliaan itu akan tetap terjaga. Jika, anda mampu secara jernih memahami martabat anugrah karomah (kemuliaan) ini maka akan terbuka kesempatan untuk menyaksikan Yang Maha Mulia (Jalal), Maha Cantik (Jamal), Maha Sempurna (Kamal), Maha Kuasa (Kahar). Sehingga #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 140
keimanan anda akan semakin sempurna, jiwa anda akan damai, hidup dan kehidupan anda pun demikian akan merasakan kesempurnaannya. Itu karena anda tahu betul berbagai macam kemuliaan yang digelar Hyang Widhi di jagad semesta ini, yang menjadi penguat keimanan.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 141
#59 DI MANAKAH ALLAH? (Pupuh XI, bait 16-30) Ada berapa tingkatan nyawa itu? Guru Gatholoco mengajarkan untuk menjawab hanya satu, yakni ruh idhafi, ya hidup itu sendiri. Tak ada lainnya, tak bercabang tiga atau lainnya. Ya itu Hidup ini, hidupmu, hidupku. Lantas jika ada yang bertanya, di mana Allah? Jawablah, siapa yang bertanya seperti itu? Janganlah anda bingung, kemudian bertanya soal itu. Bukankah, hidupmu, keberadaanmu adalah (bukti) wujud Allah? Jika bukan, lantas siapakah diri anda? Apa yang anda ucapkan, dan yang mengucapkan adalah Allah sendiri. Tetapi, berhati-hatilah akan hal ini, jika tanpa didasari oleh pemahaman dengan kesadaran yang total. Resapilah dengan sungguh-sungguh bagaikan terserapnya air dalam tanah. Menusuk ke dalam relung pemahaman yang mendalam. Resapilah tiada henti, bagaikan siang dan malam, tanpa putus. Pandanglah dunia, bagaikan rintik hujan yang sambung menyambung. Segala perwujudan dunia ini dengan segala isinya, tiada lain adalah bukti Adanya Tuhan. Perhatikanlah semua isi dunia ini. Meski beraneka rupa, tetaplah sama, semuanya adalah wujud AdaNYA. Jadikanlah kesadaran totalmu itu bagaikan samudra, yang luas, dalam, meski banyak riak-riak gelombang, namun tetap tenang tak tergoyahkan. Yang melihat, hakikatnya adalah Tuhan, dan yang dilihat hakikatnya juga Tuhan, tiada dua adanya, tiada lagi ikrar yang bercabang, inilah kesempurnaan menyembah, kesempurnaan shalat, tahu arah menyembah, tahu arah berbakti yang #NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 142
sesungguhnya. Itulah kebenaran yang senyatanya. Mengetahui asal gerak hati, asal diamnya hati, asal pendengaran, asal ucapan, asal duduk dan berdiri, tahu benar siapa yang menggerakkan diri. Tahu asal tidur, tahu asal jaga, tahu asal makan, tahu asal minum, tahu asal membuang kotoran, tahu asal membuang air seni. Tahu asal kesenangan dan nafsu, tahu asal jiwa yang penuh kekuatan menahan hawa nafsu, tahu tempat selatan dan timur, utara barat sesungguhnya, tahu arah bawah, tahu arah atas yang sesungguhnya. Tahu arah tengah, tahu arah pinggir, tahu tujuan kematian, tahu tujuan hidup, tahu segala hal yang mewujud, yang bergerak dan yang berkelip-kelip ini semua. Tiada samar lagi mengetahui semuanya, semua wejanganku ini, wahai kalian semua ingat-ingatlah,oh anak muridku, jangan sampai ceroboh, harus memahami inti sari tulisan. Jikalau kalian sekarang sudah memahami, jagalah benar-benar, jangan gampang diucapkan dan pagarilah,jangan sembarangan diucapkan, harus memakai kira-kira dan tempat yang sesuai, jangan hanya asal bisa bicara. Dan lagi kalau bisa jangan sampai terdengar, kepada ahli Sarak (Syari'at), jika berbantahan dengan mereka akan sia-sia, sebab wejangan ini, tidak lagi membahas sarak (syari'at), akan tetapi membahas Sejatinya Ilmu. Yang tertata dan yang terjaga, tak ada lagi yang perlu diwejangkan, tentang hal ini semua, masukkan dalam batinmu masing-masing, sehingga kamu bisa membuktikannya sendiri, wahai kalian ahli Buddhi (Ahli hanya menyebut Hyang Widhi)!
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 143
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius
Page 144