BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dalam Hukum Islam diperintahkan untuk bekerja sekuat tenaga untuk
mencari rizki yang halal. Dalam menjalankan usahanya dilarang melakukan
transaksi riba dan dianjurkan untuk memanifestasikan sejumlah nilai-
nilai akhlaqul karimah seperti tolong-menolong. Prinsip At Ta'âwunadalah
salah satu prinsip dalam Hukum Islam. Prinsip tolong-menolong dalam
ketakwaan merupakan salah satu faktor penegak agama karena dengan tolong
menolong akan menciptakan rasa saling memiliki di antara umat sehingga akan
lebih mengikat persaudaraan. Selain itu secara lahiriah manusia adalah
mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendirian karena manusia butuh
berinteraksi dengan sesamanya. Dengan tolong-menolonglah seorang muslim
dapat dikatakan sebagai seorang muslim. Tolong-menolong yang dilakukan
tidak hanya dalam lingkup yang kecil seperti antara dua orang tapi juga
dalam sebuah perkumpulan yang besar termasuk dalam bisnis yang di dalamnya
ada transaksi pembiayaan.
Salah satu bentuk aplikasi prinsip tolong menolong adalah dalam
akad qardh, yakni Qardhul Hasan. Akad Qardh merupakan salah satu perwujudan
prinsip tolong menolong dalam praktek bank syariah. Perjanjian gardh adalah
perjanjian pinjaman. Perjanjian qardh, pemberi pinjaman (kreditor)
memberikan pinjaman kepada pihak lain dengan ketentuan penerima pinjaman
akan mengembalikan pinjaman tersebut pada waktu yang telah diperjanjikan
dengan jumlah yang sama ketika pinjaman itu diberikan. Qardh ul-
hasan merupakan perjanjian qardh untuk tujuan sosial. Adalah tidak mustahil
bagi suatu bank syariah yang terpanggil untuk memberikan pinjaman-pinjaman
kepada mereka yang tergolong lemah ekonominya untuk memberikan
fasilitasgardh ul-hasan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Qardhul Hasan?
2. Apa yang dimaksud dengan Al-Hiwalah/Hawalah ( pengalihan )?
3. Apa yang dimaksud dengan Al-Rahn ( Pinjaman dengan jaminan )?
4. Apa yang dimaksud dengan Akad Ju'alah?
5. Apa yang dimaksud dengan Charge Card dan Syariah Card?
6. Apa saja rukun dan syarat akad-akad tersebut?
7. Apa saja jenis-jenis akad tersebut?
8. Akad-akad tersebut jika dikaitkan dengan sistem perbankan?
3. Tujuan
1. Untuk mengetahui penjelasan tentang Qardhul Hasan dan unsur-
unsurnya.
2. Untuk mengetahui penjelasan tentang Al-Hiwalah/Hawalah (
pengalihan ).
3. Untuk mengetahui tentang Ju'alah, Charge Card, dan Syariah
Card.
4. Untuk mengetahui hubungan akad-akad tersebut dengan system
perbankan.
BAB II
PEMBAHASAN
1. QARDHUL HASAN
1. Pengertian Qardhul Hasan
Qardhul Hasan adalah pinjaman tanpa dikenakan biaya ( hanya wajib
membayar sebesar pokok utangnya).
Pinjaman uang seperti inilah yang sesuai dengan ketentuan syariah
(tidak ada riba). Pinjaman qardh bertujuan untuk diberikan pada orang yang
membutuhkan atau tidak memiliki kemampuan finansial,untuk tujuan sosial
atau untuk kemanusiaan.
Cara pelunasan dan waktu pelunasan pinjaman ditetapkan bersama antara
pemberi dan penerima pinjaman. Walaupun sifat utang ini sangat lunak tidak
berarti pihak yang berhutang dapat semaunya sendiri, karena dalam Islam,
utang yang tidak dibayar akan menjadi penghalang dia di hari akhir nanti
walaupun ia gugur dalam jihad di medan perang yang pahalanya sudah dijamin
bahkan rasul tidak bersedia menshalatkan jenazah yang masih memiliki utang.
2. Rukun dan Ketentuan Syariah
Rukun Qhardhul Hasan ada 3 yaitu :
1. Pelaku yang terdiri dari pemberi dan penerima pinjaman
2. Objek akad, berupa uang yang dipinjamkan
3. Ijab Kabul/serah terima
Ketentuan syariah, yaitu :
1. Pelaku, harus cakap hukum dan baliqh
2. Objek akad
a. Jelas nilai pinjamannya dan waktu pelunasannya.
b. Peminjam diwajibkan membayar pokok pinjaman pada waktu yang telah
disepakati, tidak boleh diperjanjikan akan ada penambahan atas
pokok pinjamannya. Namun peminjam dibolehkan memberikan sumbangan
secara sukarela.
c. Apabila memang peminjam mengalami kesulitan keuangan maka waktu
peminjaman dapat diperpanjang atau menghapuskan sebagian atau
seluruh kewajibannya. Namun jika peminjam lalai maka dapat
dikenakan denda.
3. Ijab Kabul/serah terima adalah pernyataan dan ekspresi saling
rida/rela di antara pihak-pihak pelaku akad yang dilakukan secara
verbal,tertulis,melalui korespondensi atau menggunakan cara-cara
komunikasi modern.
3. Perlakuan Akutansi Qardhul Hasan
Pelaporan qardhul hasan disajikan tersendiri dalam laporan sumber dan
penggunaan dana qardhul hasan karena dana tersebut bukan aset perusahaan.
Oleh sebab itu, seluruhnya dicatat dengan akun dana kebajikan dan dibuat
buku besar pembantu atas dana kebajikan berdasarkan jenis dana kebajikan
yang diterima atau yang dikeluarkan.
a. Bagi Pemberi Pinjaman
1. Saat menerima dana sumbangan dari pihak
eksternal, jurnal :
Dr. Dana Kebajikan-kas xxx
Kr. Dana Kebajikan-Infak/sedekah/hasil wakaf xxx
2. Untuk penerimaan dana yang berasal dari denda dan pendapatan non
halal,jurnal :
Dr. Dana Kebajikan-kas xxx
Kr. Dana Kebajikan-denda/pendapatan Non-halal
xxx
3. Untuk pengeluaran dalam rangka pengalokasian dana qardh hasan,jurnal :
Dr. Dana Kebajikan-Dana Kebajikan Produkstif xxx
Kr. Dana Kebajikan-Kas xxx
4. Untuk penerimaan saat pengembalian dari pinjaman untuk qardhul
hasan,jurnal :
Dr. Dana Kebajikan-kas xxx
Kr. Dana Kebajikan-Dana Kebajikan Produktif xxx
b. Bagi Pihak yan Meminjam
1. Saat menerima uang pinjaman, jurnal :
Dr. Kas xxx
Kr.Utang xxx
2. Saat pelunasan, jurnal :
Dr. Utang xxx
Kr.Kas xxx
1. AKAD AL-HIWALAH/HAWALAH ( PENGALIHAN )
2.2.1 Pengertian Al-Hiwalah/Hawalah ( Pengalihan )
Hawalah secara harfiah artinya pengalihan, pemindahan,perubahan warna
kulit atau memikul sesuatu di atas pundak.
Objek yang dialihkan dapat berupa utang atau piutang. Jenis akad ini
pada dasarnya adalah akad tabaruu' yang bertujuan untuk saling tolong
menolong untuk menggapai ridho Allah.
Jika yang dialihkan utang maka akad hawalah merupakan akad pengalihan
utang dari satu pihak yang berutang kepada pihak lain yang wajib menanggung
(membayar ) utangnya.
Secara teknis, pihak yang berutang ( muhil ) meminta pihak lain
(muhal'alaih) untuk membayarkan terlebih dahulu utangnya pada pihak lain
(muhal). Setelah akad hawalah dilakukan pihak yang berutang (muhil) akan
membayar kepada pihak yang telah menanggung utangnya (muhal'alaih) atau hak
penagihan berpindah menjadi hak muhal'alaih. Dalam hal ini pihak yang
mengambil alih utang harus yakin pihak yang diambil alih utangnya dapat
memenuhi kewajibannya di kemudian hari.
Jika yang dialihkan piutang maka akad hawalah merupakan akad
pengalihan piutang dari satu pihak yang berpiutang kepada pihak lain yang
berkewajiban menagih piutangnya.
Secara teknis, pihak yang berpiutang ( muhil ) meminta pihak lain
untuk mengambil alih (muhal'alaih) piutang yang dimilikinya,dengan
pengambil alihan ini pihak yang berpiutang akan menerima uang dari yang
mengambil alih piutang, sementara pihak yang berhutang (muhal) akan
membayar pada pihak yang telah mengambil alih piutang.
A. Landasan Hukum Hawalah
Imam bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah saw,bersabda,
مطل الغنى فاذا اتبع احدكم على ملي فليتبع
Artinya :" Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu
kezaliman. Yang mampu atau kaya, terimalah hawalah itu.
Sedangkan di dalam riwayat Imam At-Thabrani, redaksi haditsnya adalah
sebagai berikut:
مطل الغنى ظلم وإذا ااحلت على مليء فاتبعه
Sedangkan di dalam riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah, Redaksinya
adalah:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُم عَلَي مُلِيءٍ فَلْيَتَّبِعْ.
Adapula yang meriwayatkan dengan redaksi
مطل الغنى ظلم فإذا ااحيل على ملىء
Pada hadits tersebut, Rasulullah memberitahukan kepada orang yang
mengutangkan, jika orang yang berutang menghawalahkan kepada orang kaya
atau mampu, hendaklah ia menerima hawalah terseebut dan hendaklah ia
menagih kepada orang yang dihawalahkan (muhal alaih). Dengan demikian
haknya dapat terpenuhi.
Sebagian ulama berpendapat bahwa perintah untuk menerima hawalah dalam
hadits terseebut menunjukkan wajib. Oleh sebab itu, wajib bagi yang
mengutangkan (muhal) menerima hawalah. Adapun mayoritas ulama brpendapat
bahwa perintah itu menunjukkan sunnah. Jadi, sunnah hukumnya menerima
hawalah bagi muhal.
B. Rukun dan Syarat Hawalah
Dalam pelaksanaan, hawalah harus memenuhi rukun dan syarat sebagai
berikut
a. Orang yang memindahkan tanggungan utang (muhil).
b. Orang yang memberikan utang yang dipindahkan pelunasannya dari
orang yang berutang padanya secara langsung (muhal).
c. Orang yang dipindahkan tanggungan utang padanya (muhal alaih)..
d. Harta yang diutang yang dialihkan( muhal bih)
e. Shighat.
Ulama hanafiyah berpendapat, bahwa yang menjadi rukun hawalah adalah
ijab atau pernyataan dari pihak pertama atau muhil dan qabul atau
pernyataan menerima hawalah dari pihak kedua al muhal dan pihak ketiga al-
muhal alaih.
Syarat-syarat yang diperlukan pihak pertama (muhil):
1. Cakap melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baligh dan
berakal. Hawalah tidak sah bila dilakukan anak-anak meskipun ia sudah ia
mengerti (mummayiz), ataupun dilakukan orang gila.
2. Ada pernyataan persetujuan atau rida. Jika pihak pertama dipaksa
untuk melakukan hawalah maka akad itu tidak sah. Adapun persyaratan ini ini
berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian orang merasa keberatan dan terhina
harga dirinya, jika kewajibannya untuk membayar utang dialihkan kepada
pihak lain.
Syarat-syarat yang diperlukan oleh pihak kedua ( muhal) sebagai
berikut:
1. Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal
sebagaimana pihak pertama.
2. Ada persetujuan pihak kedua terhadap pihak pertama yang melakukan
hawalah. Persyaratan ini berdasarkan pertimbangan bahwa kebiasaan orang
dalam membayar utang berbeda-beda, ada yang mudah dan ada yang sulit
membayarnya, sedangkan menerima pelunasan utang itu merupakan hak pihak
kedua.
Syarat-syarat yang diperlukan oleh pihak ketiga (muhal alaih) adalah:
1. Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal
sebagaimana pihak pertama dan kedua.
2. Adanya pernyataan persetujuan dari pihak ketiga (muhal alaih). Hal
ini diharuskan karena tindakan hawalah merupakan tindakan hukum yang
melahirkan pemindahan kewajiban kepada pihak ketiga (muhal alaih) untuk
membayar utang kepada pihak kedua (muhal) , sedangkan kewajiban membayar
utang baru dapat dibebankan kepadanya, apabila ia sendiri yang berutang
kepada pihak kedua. Atas dasar itu, kewajiban itu hanya dibebankan
kepadanya, jika ia menyetujui akad hawalah.
3. Imam Abu Hanifah menambahkan syarat bahwa qabul atau pernyataan
menerima akad harus dilakukan dengan sempurnaoleh pihak ketiga didalam
suatu majelis akad.
Syarat-syarat yang diperlukan terhadap utang yang dialihkan (muhal bih)
adalah:
1. Yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk utang
piutang yang telah pasti.
2. Pembayaran utang itu mesti sama waktu jatuh tempo pembayarannya,
jika terjadi perbedaan waktu jatuh tempo pembayaran diantara kedua utang
itu, maka hawalah tidak sah.
3. Utang pihak pertama kepada pihak kedua maupun utang pihak ketiga
kepada pihak pertama mestilah sama jumlah dan kualitasnya. Jika diantara
kedua utang itu terdapat perbedaan jumlah, misalnya utang uang, atau
perbedaan kualitas misalnya utang dalam bentuk barang, maka hawalah itu
tidak sah.
C. Macam-macam Hawalah.
Dalam pelaksanaannya, hawalah ada dua yaitu hawalah muthalaqoh dan
muqayyadah.
1. Hawalah mutlaqoh adalah seseorang memindahkan utang pada yang lain
tanpa memberikan keterangan bahwa orang tersebut harus membayar
utangnya dari utang yang ada padanya.
2. Hawalah muqayyadah adalah seseorang memindahkan pembayaran utangnya
pada orang lain, dari utangnya yang ada pada orang tersebut.
Hawalah muthalaqoh tidak diperbolehkan oleh para ulama, kecuali ulama
hanafiyah, alasan ulama (tiga madzhab selain hanafiyah) yang melarang
hawalah semacam ini adalah karena orang yang dipindahkan pembayaran utang
(muhal alaih) tidak ada hubungannya dengan orang yang memindahkan utang
(muhil). Artinya ia tidak mempunyai kewajiban yang harus ditanggung dan
dibayarkan kepada muhil, sehingga jika hal ini terrjadi berarti bukan
hawalah, melainkan kafalah.
Ditinjau dari segi obyeknya hiwalah dibagi 2, yaitu :
1. Hawalah al-Haqq (pemindahan hak) Hawalah haqq adalah pemindahan
piutang dari satu piutang kepada piutang yang lain atau pemindahan hak
untuk menuntut hutang. Dalam hal ini yang bertindak sebagai muhil adalah
pemberi hutang dan ia mengalihkan haknya kepada pemberi hutang yang lain
sedangkan orang yang berhutang tidak berubah atau berganti, yang berganti
adalah piutang. Ini terjadi piutang A mempunyai hutang kepada piutang B.
2. Hawalah ad-Dain (pemindahan hutang) Hawalah ad-dain adalah
pemindahan hutang kepada orang lain yang mempunyai hutang kepadanya. Ini
berbeda dari hiwalah haqq, karena pengertiannya sama dengan hawalah yang
telah diterangkan di depan yakni yang dipindahkan itu kewajiban untuk
membayar hutang.
D. Beban Muhil Setelah Hawalah.
Dalam buku fiqh sunnah,Sayyyid Sabiq mengatakan bahwa apbila hawalah
berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil menjadi gugur, andai
kata muhal alaih mengalami kebangkrutan atau menbantah adanya hawalah atau
meninggal dunia maka pihak kedua (muhal) tidak boleh kembali lagi berurusan
dengan pihak pertama (muhil) karena memeng utangnya telah dihawalahkan.
Demikianlah pendapat jumhur ulama.
Berbeda dengan jumhur ulama, Abu Hanifah berpendapat bahwa dalam
keadaan muhal alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang
yang mengutangkannya (al muhal) boleh menagih utangnya lagi kepada pihak
pertama ( muhil). Sementara madzhab maliki berpendapat apabila muhil telah
menipu muhal ternyata muhal alaih adalah orang fakir yang tidak memiliki
sesuatu apapun untuk membayar , maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil.
Dalam kitab al-muwatta Imam Malik menulis bahwa orang yang menghawalahkan
utang kepada orang lain, kemudian muhal alaih mengalami kebangkrutan atau
meninggal dunia dan ia belum membayar kewajibannya, maka muhal tidak boleh
kembali kepada muhil.Perlu dikemukakan bahwa akad hawalah ini mempunyai
jangka waktu berlakunya.
Akad hawalah akan berakhir apabila :
1. Salah satu pihak yang sedang melakukan akad itu membatalkan akad
hawalah sebelum akad itu berlaku secara tetap. Dengan adanya
pembatalan akad itu pihak kedua kembali berhak menuntut pembayaran
utang kepada pihak pertama.
2. Pihak ketiga telah melunasi utang yang dialihkan itu kepada pihak
kedua.
3. Pihak kedua menghibahkan atau menyedahkan harta yang merupakan
utang dalam akad hawalah itu kepada pihak ketiga.
4. Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibannya untuk
membayar utang yang dialihkan itu.
5. Pihak kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang
mewarisi harta pihak kedua. Dalam hal ini tentu beban utang pihak ketiga
tersebut diperhitungkan dalam pembagian warisan.
E. Aplikasi Hawalah Dalam Dunia Perbankan.
Fikih kontemporer , khususnya dalam dunia perbankan, mengembangkan
konsep hawalah ini dalam beberapa bentuk, antara lain bilyet giro cek
bertempo. Dalam hal ini, kita cobntohkan seorang penulis buku yang
mendapatkan royalti dari sebuah penerbit. Ketika jatuh tempo membayar
royalti, penerbit memberikan giro yang berisi jumlah uang tertentu yang
bisa dicairkan antara penerbit dan bank. Dalam kasus ini, penerbit adalah
muhil, kemudian bank sebagai muhal alaih dan penulis sebagai muhal.
Kontrak hawalah dalam perbankan biasanya diterapkan pada hal-hal
berikut:
1. Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki
piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank,
bank lalu membayar piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak
ketiga itu.
2. Post dated check.
3. Bill discounting. Secara prinsip serupa dengan hawalah. Hanya
saja, dalam bill discounting, nasabah harus membayar fee, sedangkan
pembahsan fee tidak didapati pada akad hawalah.
2. Jenis Akad Hiwalah
Ditinjau dari segi objek akad, hiwalah dapat dibagi menjadi dua :
1. Apabila yang dipindahkan itu merupakan hak menagih piutang, maka
pemindahan itu disebut hiwalah al haqq (pemindahan hak)/anjak
piutang.
2. Apabila yang dipindahkan itu kewajiban untuk membayar utang, maka
pemindahan itu disebut hiwalah ad-dain (pemindahan utang).
Ditinjau dari sisi persyartan, hiwalah dapat dibagi menjadi dua :
1. Hawalah al-muqayyadah (pemindahan bersyarat) adalah hawalah dimana
muhil adalah pihak yang berutang sekaligus berpiutang kepada
muhal'alaih. Contoh : B (muhil) berutang kepada A (muhal) sebesar
dua juta rupiah, sedangkan B berpiutang kepada C (muhal'alaih) juga
sebesar dua juta rupiah. B kemudian mengalihkan piutangnya yang
terdapat pada C untuk A, sebagai ganti dari pembayaran utang B
kepada A.
2. Hawalah al-muthlaqah (pemindahan mutlak) adalah hawalah dimana muhil
adalah pihak yang berutang, tetapi tidak berpiutang kepada
muhal'alaih.
3. Rukun dan Ketentuan Syariah
Rukun hiwalah ada 3 yaitu :
1. Pelaku yang terdiri atas :
a. Pihak yang berutang atau berpiutang atau muhil
a. Pihak yang berpiutang atau berutang atau muhal
b. Pihak pengambil alih utang atau piutang atau muhal'alaih
2. Pelaku yang terdiri atas :
a. Adanya utang,atau
b. Adanya piutang
3. Ijab Kabul/serah terima
Ketentuan syariah, yaitu :
1. Pelaku
a. Baliq (dewasa) dan berakal sehat
b. Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya
dan rela (rida) dengan pengalihan utang piutang tersebut
c. Diketahui identitasnya
2. Objek penjaminan (makful bihi)
a. Bisa dilaksanakan oleh pihak yang mengambil alih utang atau
piutang
b. Harus merupakan utang/piutang mengikat,yang tidak mungkin hapus
kecuali setelah dibayar atau dibebaskan.
c. Harus jelas nilai,jumlah dan spesifikasinya
d. Tidak bertentangan dengan syariah
3. Ijab Kabul/serah terima adalah pernyataan dan ekspresi saling
rida/rela di antara pihak-pihak pelaku akad yang dilakukan secara
verbal,tertulis,melalui korespondensi atau menggunakan cara-cara
komunikasi modern.
Untuk membantu masyarakat yang ingin menghindari riba dengan
mengalihkan utang yang timbul dari transaksi non syariah yang telah
berjalan menjadi transaksi yang sesuai syariah. Dewan Syariah Nasional
mengeluarkan fatwa terkait dengan pengalihan utang ini dan memberikan
berbagai alternatif,yaitu:
Alternatif 1
1. LKS (Lembaga Keuangan Syariah) memberikan qardh kepada nasabah.
Dengan qardh tersebut nasabah melunasi kredit (utang) nya,
dengan demikian aset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi
milik nasabah secara penuh.
2. Nasabah menjual aset dimaksud (1) kepada LKS dan dengan hasil
penjualan itu nasabah melunasi qardhnya kepada LKS
3. LKS menjual secara murabahah, aset yang telah menjadi miliknya
tersebut kepada nasabah, dengan cara pembayaran secara
cicilan/diangsur.
Alternatif 2
1. LKS memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qardh tersebut
nasabah melunasi kredit (utang) nya,dan dengan demikian, aset
yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik nasabah secara
penuh.
2. Nasabah menjual aset dimaksud angka kepada LKS, dan dengan hasil
penjualan itu nasabah melunasi qardhnya kepada LKS.
3. LKS menyewakan aset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada
nasabah, dengan akad al ijarah al muntahiya bit tamlik.
Alternatif 3
1. LKS membeli sebagian aset nasabah, dengan seizin LKK (Lembaga
Keuangan Konvensional), sehingga dengan demikian terjadilah
syirkah al-milk antara LKS dan nasabah terhadap aset tersebut.
2. Bagian aset yang dibeli oleh LKS sebagaimana dimaksud angka 1
adalah bagian aset yang senilai dengan utang (sisa cicilan)
nasabah kepada LKK.
3. LKS menjual secara murabahah bagian aset yang menjadi miliknya
tersebut kepada nasabah, dengan pembayaran secara cicilan.
Alternatif 4
1. Dalam pengurusan untuk memperoleh kepemilikan penuh atas
aset,nasabah dapat melakukan akad ijarah dengan LKS
2. Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi kewajiban
nasabah dengan menggunakan prinsip al-qardh.
3. Akad ijarah sebagaimana dimaksudkan angka 1 tiddak boleh
dipersyaratkan dengan (harus terpisah dari) pemberian talangan
sebagaimana dimaksudkan angka 2.
4. Besar imbalan jasa ijarah sebagaimana dimaksudkan angka 1 tidak
boleh didasarkan pada jumlah talangan yang diberikan LKS kepada
nasabah sebagaimana dimaksudkan angka 2.
2.2.4 Perlakuan Akutansi Hiwalah (ED PSAK 110)
1. Akutansi Pihak yang Mengalihkan Utang / Muhil
Ketika pengambil alihan utang dimana muhal'alaih membayar utang
muhil pada muhal, jurnal :
Dr. Utang –A (muhal) xxx
Kr. Utang –B (muhal'alaih) xxx
Jika utang yang dialihkan harus dilunasi dalam jangka pendek maka
ujrah (fee) yang dibayarkan diakui pada saat terjadinya, Jurnal :
Dr. Beban hawalah xxx
Kr. Kas xxx
Jika utang yang dialihkan harus dilunasi dalam jangka panjang maka
ujrah (fee) yang dibayarkan diakui sebagai beban tangguhan, Jurnal :
Dr. Beban Tangguhan hawalah xxx
Kr. Kas xxx
Kemudian beban diakui melalui amortisasi beban tangguhan secara
garis lurus, jurnal :
Dr. Beban hawalah xxx
Kr. Beban Tangguhan Hawalah xxx
Biaya transaksi hawalah seperti biaya legal dan biaya administrasi
diakui sebagai beban pada saat terjadinya,jurnal :
Dr. Beban hawalah xxx
Kr. Kas xxx
Pelunasan utang oleh muhil pada muhal'aliah, jurnal :
Dr. Utang-B (muhal'alaih) xxx
Kr. Kas xxx
2. Akutansi Pihak yang Menerima Pengalihan
Utang/Muhal'alaih
Pada saat pembayaran kepada pihak muhal sebesar jumlah utang yang
diambil alih, jurnal :
Dr. Piutang – C (muhil) xxx
Kr. Kas xxx
Jika piutang dari muhil akan dilunasi dalam jangka pendek, jurnal :
Dr. Kas xxx Kr.
Pendapatan Hawalah xxx
Jika piutang dari muhil akan dilunasi dalam jangka panjang, ketika
muhal'alaih menerima feel ujrah sekaligus, jurnal :
Dr. Kas xxx
Cr. Pendapatan diterima dimuka xxx
Pendapatan diakui melalui amortisasi pendapatan diterima dimuka
secara proposional dengan jumlah piutang yang tertagih, jurnal :
Dr. Pendapatan diterima dimuka xxx
Cr. Pendapatan hawalah xxx
Ketika menerima pelunasan piutang, jurnal :
Dr. Kas xxx
Cr. Piutang C xxx
Pengungkapan entitas keuangan syariah mengungkapkan terkait pengalihan
utang, tetapi tidak terbatas pada :
a. Jumlah dan saldo utang yang dialihkan pada tanggal pelaporan
b. Persentase utang yang dialihkan terhadap total piutang
c. Kebijakan manajemen resiko atas utang yang dialihkan, dan
d. Kebijakan akutansi yang digunakan untuk utang yang dialihkan
2. AKAD AL-RAHN ( PINJAMAN DENGAN JAMINAN )
2.3.1 Pengertian Akad Al-Rahn
Secara harfiah adalah tetap,kekal,dan jaminan. Secara istilah rahn
adalah apa yang disebut dengan barang jaminan,agunan,cagar, atau
tanggungan.
Rahn yaitu menahan barang sebagai jaminan atas utang. Akad Rahn juga
diartikan sebagai sebuah perjanjian pinjaman dengan jaminan atau dengan
melakukan penahanan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman
yang diterimanya
Akad Rahn bertujuan agar pemberi pinjaman lebih mempercayai pihak yang
berutang. Apabila barang gadai dapat diambil manfaatnya, misalnya mobil
maka pihak yang menerima barang gadaian boleh memanfaatkannya atas seizin
pihak yang menggadaikan sebaliknya ia berkewajiban memelihara barang
gadaian. Untuk barang gadai berupa emas tentu tidak ada biaya pemeliharaan,
yang ada adalah biaya penyimpanan.
Pada saat jatuh tempo yang berhutang berkewajiban untuk melunasi
utangnya. Apabila ia tidak dapat melunasinya maka barang gadaian dijual dan
kemudian hasil penjualan bersih digunakan untuk melunasi utang dan biaya
pemeliharaan yang terutang, jika ada kelebihan maka selisih diserahkan
kepada yang berutang tetapi apabila ada kekurangan maka yang berutang tetap
harus membayar sisanya.
2. Pengertian Rahn Tajlisi
Selain akad rahn, MUI pada tahun 2008 mengeluarkan fatwa tentang
Fidusia / Rahn Tajlisi dalam rangka mengurangi kendala yang timbul
sehubungan masalah jaminan khususnya dalam masalah pemeliharaan dan
pemanfaatan jaminan.
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar
kepercayaan dengan ketentuanbahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan
tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Agar sesuai syariah maka akad rahn tajlisi harus memenuhi hal-hal
sebagai berikut :
a. Biaya pemeliharaan harus ditanggung oleh pihak yang menggadaikan,
namun jumlah biaya pemeliharaan tidak boleh dihubungkan dengan
besarnya pembiayaan
b. Pihak penerima gadai dapat menyimpan bukti kepemilikan sedangkan
barang yang digadaikan dapat digunakan pihak yang menggadaikan
dengan seizin dari penerima gadai.
c. Jika terjadi eksekusi jaminan, maka dapat dijual oleh pihak penerima
gadai tetapi harus dengan izin dari pihak yang menggadaikan sebagai
pemilik.
3. Rukun dan Ketentuan Syariah
Rukun Qhardhul Hasan ada 3 yaitu :
1. Pelaku yang terdiri atas pihak yang menggadaikan (rahin) dan pihak
yang menerima gadai (murtahin)
2. Objek akad berupa barang yang digadaikan (marhun) dan utang (marhun
bih).
3. Syarat utang adalah wajib dikembaikan oleh debitur
kepadakreditor,utang itu dapat dilunasi dengan agunan tersebut, dan
utang itu harus jelas (harus spesifik).
4. Ijab kabul/serah terima
Ketentuan syariah, yaitu :
1. Pelaku, harus cakap hukum dan baliqh
2. Objek yang digadaikan (marhun)
a. Barang gadai (marhun)
1) Dapat dijual dan nilainya seimbang
2) Harus bernilai dan dapat dimanfaatkan
3) Harus jelas dan dapat ditentukan secara spesifik
4) Tidak terkait dengan orang lain (dalam hal kepemilikan)
b. Utang (marhun bih), nilai utang harus jelas demikian juga tanggal
jatuh temponya
3. Ijab Kabul/serah terima adalah pernyataan dan ekspresi saling
rida/rela di antara pihak-pihak pelaku akad yang dilakukan secara
verbal,tertulis,melalui korespondensi atau menggunakan cara-cara
komunikasi modern.
2.3.4 Perlakuan Akutansi Rahn
A. Bagi Pihak yang Menerima Gadai (Murtahin)
Pada saat menerima barang gadai tidak dijurnal tetapi membuat tanda
terima atas barang.
1. Pada saat menyerahkan uang pinjaman,jurnal :
Dr. Piutang xxx
Kr. Kas xxx
2. Pada saat menerima uang untuk biaya pemeliharaan dan
penyimpanan,jurnal:
Dr. Kas xxx
Kr. Pendapatan xxx
3. Pada saat mengeluarkan biaya untuk biaya pemeliharaan dan
penyimpanan,jurnal :
Dr. Beban xxx
Kr. Kas xxx
4. Pada saat pelunasaan uang pinjaman, barang gadai dikembalikan dengan
membuat tanda serah terima barang,jurnal :
Dr. Kas xxx
Kr. Piutang xxx
5. Jika pada saat jatuh tempo, utang tidak dapat dilunasi dan kemudian
barang gadai dijual oleh pihak yang menggadaikan.penjualan barang
gadai, jika nilainya sama dengan piutang, jurnal :
Dr. Kas xxx
Kr. Piutang xxx
Jika kurang, maka piutangnya masih tersisa sejumlah selisih antara
nilai penjualan dengan saldo piutang.
B. Bagi Pihak yang Menggadaikan
Pada saat menyerahkan aset tidak dijurnal, tetapi menerima tanda terima
atas penyerahan aset serta membuat penjelasan atas catatan akutansi atas
barang yang digadaikan.
1. Pada saat menerima uang pinjaman,jurnal :
Dr. Kas xxx
Kr. utang xxx
2. Bayar uang untuk biaya peeliharaan dan penyimpanan,jurnal :
Dr. Beban xxx
Kr. Kas xxx
3. Ketika dilakukan pelunasan atas utang,jurnal :
Dr. Utang xxx
Kr. Kas xxx
4. Jika pada saat jatuh tempo, utang tidak dapat dilunasi sehingga barang
gadai dijual pada saat penjualan barang gadai, jurnal :
Dr. Kas xxx
Dr. Akumulasi penyusutan (apabila aset tetap) xxx
Dr. Kerugian (apabila rugi) xxx
Kr. Keuntungan (apabila untung) xxx
Kr. Aset xxx
5. Pelunasan utang atas barang yang dijual pihak yang
menggadai,jurnal :
Dr. Utang xxx
Kr. Kas xxx
3. AKAD JU'ALAH (HADIAH)
2.4.1 Pengertian Akad Ju'alah (hadiah)
Ju'alah berasal dari kata ja'ala yang memiliki banyak arti : jumlah
imbalan, meletakkan, membuat, menasabkan, menurut fiqih diartikan sebagai
suatu tanggung jawab dalam bentuk janji memberikan hadiah tertentu secara
sukarela terhadap orang yang berhasil melakukan perbuatan atau memberikan
jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan atau dihasilkan sesuai dengan yang
diharapkan.
Ju'alah dapat juga dianalogikan sebagai sayembara, imbalan, upah atau
perlombaan. Menurut Az-Zuhaili dalam maksum (2008), perbedaan antara akad
ju'alah dengan upah bekerja (ijarah dalam tenaga kerja) adalah :
1) Ju'alah diberikan jika pekerjaan telah selesai, sedangkan upah sesuai
dengan ukuran tertentu.
2) Ju'alah tidak dibatasi oleh waktu, sedangkan upah ditentukan batas
waktunya. Walaupun Mazhab hambali dan Syafii membolehkan menentukan
batas waktu.
3) Ju'alah tidak bisa dibayar dimuka, sedangkan upah bisa dibayar dimuka
4) Ju'alah dapat dibatalkan meskipun upaya telah dilakukan asalkan belum
selesai, sedangkan upah tidak dapat dibatalkan karena mengikat
5) Upah lebih luas ruang lingkupnya dari ju'alah.
2. Rukun dan Ketentuan Syariah
Rukun Ju'alah ada 4 yaitu :
1. Pihak yang membuat sayembara/penugasan (al
aqid/al ja'il)
2. Objek akad berupa pekerjaan yang harus
dilakukan (al maj'ul)
3. Hadiah yang akan diberikan(al ji'l)
4. Ada sighat dari pihak yang menjanjikan (ijab)
Ketentuan syariah, yaitu :
1. Pihak yang membuat sayembara: cakap hukum, baligh dan dapat juga
dilakukan oleh orang lain.
2. Objek yang harus dikerjakan :
a. Harus mengandung manfaat yang jelas
a. Boleh dimanfaatkan sesuai syariah
3. Hadiah yang diberikan harus sesuatu yang bernilai (harta) dan
jumlahnya harus jelas
4. Sah dengan ijab saja tanpa ada kalbu
2.4.3 Perlakuan Akuntansi Ju'alah
1. Bagi Pihak yang Membuat Janji
Saat membuat janji tidak diperlukan pencatatan apa pun karena belum
pasti hasil atas sayembara tersebut.
Setelah sayembara itu terpenuhi maka jurnal :
Dr. Beban ju'alah xxx
Kr. Kas/aset Nonkas Lain xxx
2. Bagi Pihak yang Menerima Janji
Saat medengar janji tidak diperlukan pencatatan apa pun karena belum
pasti hasil atas sayembara tersebut.
Setelah sayembara itu terpenuhi maka jurnal :
Dr. Kas/Aset Nonkas Lain xxx
Kr. Pendapatan ju'alah xxx
4. CHARGE CARD dan SYARIAH CARD
2.5.1 Pengertian Charge Card dan Syariah Card
Charge Card dan Syariah Card merupakan salah satu produk dari
perbankan syariah, sedangkan akad yang digunakan adalah kombinasi dari akad-
akad yang telah dijelaskan
Charge Card adalah fasilitas kartu talangan yang dipergunakan oleh
pemegang kartu (hamil al-bithaqah) sebagai alat bayar atau pengambilan uang
tunai pada tempat-tempat tertentu yang harus dibayar lunas kepada pihak
yang memberikan talangan (mushdir al-bithaqah) pada waktu yang telah
ditetapkan.
Syariah Card adalah kartu yang berfungsi sebagai kartu kredit yang
hubungan hukum (berdasarkan sistem yang sudah ada) antara para pihak
berdasarkan prinsip syariah.
Kedua jenis kartu tersebut merupakan pola pembiayaan seperti halnya
kartu kredit dan kartu debit di bank konvensional. Hanya saja, charge dan
syariah card tidk mengenakan bunga,tetapi mengenakan fee atas keanggotaan
dan transaksi yang dilakukan.
2.5.2 Rukun dan Ketentuan Syariah
Mengingat transaksi ini merupakan implementasi dari gabungan akad, maka
rukun dan ketentuan syariahnya akan merujuk pada rukun dan ketentuan
syariah dari akad kafalah, ijarah dan qardh hasan.
Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia no: 42/DSN-
MUI/V/2004 tentang Syariah Charge Card.
Menimbang :
a. Bahwa untuk memberikan kemudahan, keamanan, dan kenyamanan bagi nasabah
dalam melakukan transaksi dan penarikan tunai diperlukan charge card
b. Bahwa fasilitas charge card yang ada dewasa ini masih belum sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah.
c. Bahwa agar fasilitas tersebut dilaksanakan sesuai dengan Syari'ah, Dewan
Syari'ah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa mengenai hal tersebut
untuk dijadikan pedoman.
Mengingat :
1. Firman Allah SWT, antara lain:
QS. al-Ma'idah [5]: 1
"Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu...".
QS.Yusuf [12]: 72:
"Penyeru-penyeru itu berseru: 'Kami kehilangan piala Raja,. dan barang
siapa yang dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan
(seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya."
QS. al-Ma'idah [5]: 2:
"Dan tolong-menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
janganlah tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan pelanggaran..."
QS. al-Furqan [25]: 67
"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
herlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan
itu) di tengah-tengah antara yang demikian."
QS. Al-Isra' [17]:
"Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan
syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya."
QS. al-Isra' [17]: 34:
"Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggungan jawabannya."
QS. al-Qashash [28]: 26:
"Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, 'Hai ayahku! Ambillah ia
sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang
paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang
yang kuat lagi dapat dipercaya."
QS. al-Baqarah [2]: 275:
"Orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. Orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu
terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya."
QS. al-Baqarah [2]: 282:
"Hai orang yang beriman! Jika kamu bermu'amalah tidak secara tunai
sampai waktu tertentu, buatlah secara tertulis..."
QS. al-Bagarah [2]: 280:
"Dan jika ia (orang yang berhutang itu) dalam kesulitan, berilah
tangguh sampai ia berkelapangan..."
2. Hadist-hadist Nabi SAW, antara lain:
Hadis Nabi riwayat Imam al-Tirmidzi dari `Amr bin `Auf alMuzani, Nabi
s.a.w. bersabda:
"Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum kecuali perjanjian yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum
muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."
Hadis Nabi riwayat Imam Ibnu Majah, al-Daraquthni, dan yang lain, dari
Abu Sa'id al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:
"Tidak boleh membahayakan (merugikan) diri sendiri maupun orang lain."
Hadis Nabi riwayat Bukhari dari Salamah bin al-Akwa':
"Telah dihadapkan kepada Rasidullah s. a.w. jenazah seorang laki-laki
untuk disalatkan. Rasulullah bertanya, "Apakah ia mempunyai hutang?"
Sahabat menjawab, `Tidak'. Maka, beliau mensalatkannya. Kemudian
dihadapkan lagi jenazah lain, Rasulullah pun bertanya, Apakah ia
mempunyai hutang?' Mereka menjawab, `Ya'. Rasulullah berkata,
'Salatkanlah temanmu itu' (beliau sendiri tidak mau mensalatkannya).
Lalu Abu Qatadah berkata, `Saya menjamin hutangnya, ya Rasulullah'.
Maka Rasulullah pun menshalatkan jenazah tersebut."
Hadis Nabi riwayat Abu Daud, Tirmizi dan lbn Hibban:
"Za'im (penjamin) adalah gharinz (orang yang menanggung hutang)."
Hadis Nabi riwayat Abu Daud dari Sa'd Ibn Abi Waqqash, ia berkata:
"Kami pernah menyewankan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya;
maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan
memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak "
Hadis riwayat 'Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id al-
Khudri. Nabi s.a.w. bersabda:
"Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya."
Hadis Nabi riwayat Muslim, Nabi bersabda:
"Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia,
Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah
senantiasa menolong hanzba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya"
Hadis Nabi riwayat Jama'ah, Nabi bersabda:
"Penundaan (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu
kezaliman..."
Hadis Nabi riwayat Nasa'i, Abu Daud, Ibn Majah, dan Ahmad, Nabi
bersabda:
"Penundaan (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu, menghalalkan
harga diri dan memberikan sanksi kepadanya."
Hadis Nabi riwayat Bukhari, Nabi bersabda:
"Orang yang terbaik di antara kamu adalah orang yang paling baik dalam
pembayaran hutangnya."
Kaedah Fiqh, antara lain:
a. Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada
dalil yang mengharamkannya.
a. Kesulitan dapat menarik kemudahan.
b. Keperluan dapat menduduki posisi darurat.
c. Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu
yang berlaku berdasarkan syara' (selama tidak bertentangan dengan
syari'at).
Memperhatikan:
Pendapat fuqaha' antara lain dalam:
1. Kitab I'anah al-Thalibin, jilid 111/77-78 :
"(Tidak sah akad penjaminan [dhaman] terhadap sesuatu yang akan
menjadi kewajiban, seperti hutang dari akad qardh) yang akan
dilakukan.... Misalnya ia berkata: `Berilah orang ini hutang sebanyak
seratus dan aku menjaminnya.' Penjaminan tersebut tidak sah, karena
hutang orang itu belum terjadi. Dalam pasal tentang Qardh, pensyarah
telah menuturkan masalah ini --penjaminan terhadap suatu kewajiban
(hutang) yang belum terjadi dan menyatakan bahwa ia sah menjadi
penjamin. Redaksi dalam pasal tersebut adalah sebagai berikut:
`Seandainya seseorang berkata, Berilah orang ini hutang sebanyak
seratus dan aku menjaminnya. Kemudian orang yang diajak bicara
memberikan hutang kepada orang dimaksud sebanyak seratus atau
sebagiannya, maka orang tersebut menjadi penjamin menurut pendapat
yang paling kuat (aitjah).' Dengan demikian, pernyataan pensyarah di
sini (dalam pasal tentang dhaman) yang menyatakan dhaman (terhadap
sesuatu yang akan menjadi kewajiban) itu tidak sah bertentangan
dengan pernyataannya sendiri dalam pasal tentang qardh di atas yang
menegaskan bahwa hal tersebut adalah (sah sebagai) dhaman."
2. Kitab Mughni al-Muhtaj, jilid II: 201-202:
"(Hal yang dijamin) yaitu hutang (disyaratkan harus berupa hak yang
telah terjadi) pada saat akad. Oleh karena itu, tidak sah menjamin
hutang yang belum menjadi kewajiban... (Qaul qadim --Imam al-Syafl'i--
menyatakan sah penjaminan terhadap hutang yang akan menjadi
kewajiban), seperti harga barang yang akan dijual atau sesuatu yang
akan dihutangkan. Hal itu karena hajat --kebutuhan orang-- terkadang
mendorong adanya penjaminan tersebut."
2. Kitab al-Muhadzdzab, juz I Kitab al-Ijarah hal. 394:
"Boleh melakukan akad ijarah (sewa menyewa) atas manfaat yang
dibolehkan... karena keperluan terhadap manfaat sama dengan keperluan
terhadap benda. Manakala akad jual beli atas benda dibolehkan, maka
sudah seharusnya dibolehkan pula akad ijarah atas manfaat."
3. Kitab Fiqh al-Sunnah jilid 4/221-222 :
"Kafalah (jaminan) harta yaitu kajil (penjamin) berkewaj iban
memberikan jaminan dalam bentuk harta."
4. Pendapat Majma' al-Fiqh al-Islami & Hai'ah al-Muhasabah wa al-
Muraja'ah li-al-Mu'assasah al-Maliyah al-Islamiyah, Bahrain, al-Ma
'ayir al-Syar 'iyah Mei 2001: al-Mi'yar alSyar'i, nomor 2 tentang
Bithaqah al-Hasm wa Bithaqah alI'timan.
5. Pendapat Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional MUI pada hari Kamis, 07
Rabi'ul Akhir 1425 H. / 27 Mei 2004.
MEMUTUSKAN
Menetapkan FATWA TENTANG SYARIAH CHARGE CARD
Pertama: HUKUM
Penggunaan charge card secara syariah dibolehkan, dengan ketentuan-
ketentuan sebagai berikut:
Kedua: KETENTUAN UMUM
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:
a. Syariah Charge Card adalah fasilitas kartu talangan yang dipergunakan
oleh pemegang kartu (hamil al-bithaqah) sebagai alat bayar atau
pengambilan uang tunai pada tempat-tempat tertentu yang harus dibayar
lunas kepada pihak yang memberikan talangan (mushdir al-bithaqah) pada
waktu yang telah ditetapkan.
b. Membership Fee (rusum al-'udhwiyah) adalah iuran keanggotaan, termasuk
perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang kartu sebagai imbalan izin
menggunakan fasilitas kartu;
c. Merchant Fee adalah fee yang diambil dari harga objek transaksi atau
pelayanan sebagai upah/imbalan (ujrah samsarah), pemasaran (taswiq) dan
penagihan (tahsil aldayn);
d. Fee Penarikan Uang Tunai adalah fee atas penggunaan fasilitas untuk
penarikan uang tunai (rusum sahb alnuqud)
e. Denda keterlambatan (Late Charge) adalah denda akibat keterlambatan
pembayaran yang akan diakui sebagai dana sosial.
f. Denda karena melampaui pagu (Overlimit Charge) adalah denda yang
dikenakan karena melampaui pagu yang diberikan (overlimit charge) tanpa
persetujuan penerbit kartu dan akan diakui sebagai dana sosial.
Ketiga: KETENTUAN AKAD
Akad yang dapat digunakan untuk Syariah Charge Card adalah:
a. Untuk transaksi pemegang kartu (hamil cd-bithaqah) melalui merchant
(qabil al-bithaqahlpenerima kartu), akad yang digunakan adalah akad
Kafalah wal Ijarah.
b. Untuk transaksi pengambilan uang tunai digunakan akad al-Qardh wal
Ijarah.
Keempat:
1. Ketentuan dan batasan (dhawabith wa hudud) Syariah Charge Card :
a. Tidak boleh menimbulkan riba.
b. Tidak digunakan untuk transaksi objek yang haram atau maksiat.
c. Tidak mendorong israf (pengeluaran yang berlebihan) antara lain dengan
cara menetapkan pagu.
d. Tidak mengakibatkan hutang yang tidak pernah lunas (ghalabah al-dayn).
e. Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi
pada waktunya.
2. Ketentuan Fee:
a. Iuran keanggotaan (Membership fee)
Penerbit kartu boleh menerima iuran keanggotaan (rusum al-'udhwiyah)
termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang kartu sebagai
imbalan izin penggunaan fasilitas kartu.
b. Ujrah (Merchant Fee)
Penerbit kartu boleh menerima fee yang diambil dari harga objek
transaksi atau pelayanan sebagai upah/imbalan (ujrah samsarah),
pemasaran (taswiq) dan penagihan (tahsil al-dayn).
c. Fee Penarikan Uang Tunai
Penerbit kartu boleh menerima fee penarikan uang tunai (rusum sahb al-
nuqud) sebagai fee atas pelayanan dan penggunaan fasilitas yang
besarnya tidak dikaitkan dengan jumlah penarikan.
3. Ketentuan Denda
a. Denda Keterlambatan (Late Charge)
Penerbit kartu boleh mengenakan denda keterlambatan pembayaran yang
akan diakui sebagai dana sosial.
b. Denda karena melampaui pagu (Overlimit Charge)
Penerbit kartu boleh mengenakan denda karena pemegang kartu melampaui
pagu yang diberikan (overlimit charge) tanpa persetujuan penerbit
kartu dan akan diakui sebagai dana sosial.
Kelima : Ketentuan Penutup
a. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari'ah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
b. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di
kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan
disempurnakan sebagaimana mestinya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan.
Menurut terminologi hukum Islam akad adalah pertalian antara penyerahan
(ijab) dan penerimaan (qobul) yang dibenarkan oleh syariah yang menimbulkan
akibat hukum terhadap objeknya. Aplikasi dalam Perbankan Akad qard biasanya
diterapkan sebagai produk perlengkapan kepada nasabah yang telah terbukti
loyalitas dan bonafiditasnya, yang membutuhkan dana talangan segera untuk
masa yang relatif pendek. Nasabah tersebut akan mengembalikan secepatnya
sejumlah uang yang dipinjamnya itu. Hiwalah adalah memindahkan utang dari
tanggungan seseorang kepada tanggungan orang lain. Rukun hiwalah:
1. Muhil
2. Muhal
3. Muhal 'alaih
4. Utangmuhil kepada muhal
5. Utang muhal 'alaih kepada muhal
6. Sighat
Praktek hiwalah tidak hanya dilakukan oleh masyarakat pada umumnya
namun praktek ini juga diterapkan oleh Bank Syariah sebagai salah satu
bentuk pelayanan jasa dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan
dalam Fatwa DSN No. 12/DSN-MUI/IV/2000.
.
DAFTAR PUSTAKA
Nurhayati,Sri dan Wasilah.2013.Akuntansi Syariah Indonesia.SALEMBA
EMPAT:Jakarta
Sumber Internet:
http://hukum-islam.com/2014/06/konsep-dan-dalil-qardhul-hasan-pinjaman-
lunak/
https://sharianomics.wordpress.com/2010/11/17/definisi-jualah/
http://www.ekonomisyariah.org/konsultasi-detail/detail-konsultasi/1/40
https://viewislam.wordpress.com/2009/04/15/konsep-akad-hiwalah-dalam-fiqh-
muamalah/