BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pencemaran lingkungan merupakan isu yang paling menonjol saat ini, seiring dengan peningkatan jumlah pabrik yang bertujuan memenuhi kebutuhan penduduk
yang
semakin
hari
terus
bertambah.
Pabrik-pabrik
tersebut
menghasilkan limbah yang cukup besar dan bila tidak di kelola dengan baik dan bertanggung jawab maka akan memberikan efek negatif kepada lingkungan (Zhang et al ., ., 2013). Menurut Undang-Undang Lingkungan No. 4 Tahun 1982, pencemaran adalah masuknya atau di masukkannya makhluk hidup, zat, energi dan/ atau komponen lain ke dalam lingkungan, dan/atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau proses alam sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya (UU Republik Indonesia No. 4 tahun 1982). Pencemaran tanah semakin meningkat sejalan dengan kemajuan teknologi dalam perindustrian yang berada dalam kawasan pemukiman dan pertanian saat ini. Pencemaran tanah biasanya terjadi karena kebocoran limbah cair atau bahan kimia industri atau fasilitas komersial; penggunaan pestisida; masuknya air permukaan tanah tercemar ke dalam lapisan sub-permukaan; kecelakaan kendaraaan pengangkut minyak, zat kimia, atau limbah; air limbah dari tempat penimbunan sampah serta sert a limbah industri yang langsung la ngsung dibuang ke tanah secara tidak memenuhi syarat (illegal (illegal dumping ). ). Ketika suatu zat berbahaya/beracun telah mencemari permukaan tanah maka ia dapat menguap, tersapu air hujan dan/atau masuk ke dalam tanah. Pencemaran yang masuk ke dalam tanah kemudian terendap sebagai zat kimia beracun di tanah. Zat beracun di tanah tersebut dapat berdampak langsung kepada manusia ketika bersentuhan atau dapat mencemari air tanah dan udara di atasnya atasn ya (Simangunsong, 2009).
1
Oleh karena itu, perlu dilakukan tindakan pemulihan agar lingkungan yang telah tercemar dapat digunakan kembali dengan aman. Banyak teknologi yang digunakan untuk remediasi tanah yang tercemar. Cara kimia merupakan salah satu upaya pemecahan masalah remediasi tanah dengan menggunakan bahan-bahan kimia buatan. Pengolahan secara kimia memberikan proses cepat dan efisien sehingga dapat menghilangkan semua jenis polutan. Menurut Mulligan et al . (2001), teknologi remediasi secara kimia dapat dilakukan dengan Oksidasi Kimia, Soil Washing , Soil Vapor Extraction Extraction serta Stabilisasi dan Solidifikasi. Maka penelitian ini akan membahas mengenai kaitan tentang t entang teknologi remediasi tanah tercemar secara kimia.
1.2
Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini yaitu : 1. Menganalisis teknologi remediasi tanah tercemar menggunakan Oksidasi Kimia. 2. Menganalisis teknologi remediasi tanah tercemar menggunakan Soil Washing . 3. Menganalisis teknologi remediasi tanah tercemar menggunakan Stabilisasi dan Solidifikasi.
2
Oleh karena itu, perlu dilakukan tindakan pemulihan agar lingkungan yang telah tercemar dapat digunakan kembali dengan aman. Banyak teknologi yang digunakan untuk remediasi tanah yang tercemar. Cara kimia merupakan salah satu upaya pemecahan masalah remediasi tanah dengan menggunakan bahan-bahan kimia buatan. Pengolahan secara kimia memberikan proses cepat dan efisien sehingga dapat menghilangkan semua jenis polutan. Menurut Mulligan et al . (2001), teknologi remediasi secara kimia dapat dilakukan dengan Oksidasi Kimia, Soil Washing , Soil Vapor Extraction Extraction serta Stabilisasi dan Solidifikasi. Maka penelitian ini akan membahas mengenai kaitan tentang t entang teknologi remediasi tanah tercemar secara kimia.
1.2
Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini yaitu : 1. Menganalisis teknologi remediasi tanah tercemar menggunakan Oksidasi Kimia. 2. Menganalisis teknologi remediasi tanah tercemar menggunakan Soil Washing . 3. Menganalisis teknologi remediasi tanah tercemar menggunakan Stabilisasi dan Solidifikasi.
2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pencemaran Tanah
Tanah dikategorikan subur apabila mengandung cukup nutrisi bagi tanaman maupun mikroorganisme, dan dari segi fisik, kimia, dan biologi memenuhi untuk pertumbuhan tanaman tersebut. Tanah dapat mengalami kerusakan akibat adanya pencemaran (Wibisono, 2016). Pencemaran tanah merupakan keadaan di mana materi fisik, kimia, maupun biologi masuk dan merubah tata lingkungan alami tanah. Pencemaran i ni biasanya terjadi karena kebocoran limbah cair atau bahan kimia industri atau fasilitas komersial, penggunaan pestisida, masuknya air permukaan tanah tercemar ke dalam lapisan sub-permukaan, zat kimia, atau limbah. air limbah dari tempat penimbunan sampah serta sert a limbah industri yang langsung la ngsung dibuang ke tanah secara tidak memenuhi syarat (Amzani, 2012). 2.1.1 Sumber Pencemaran Tanah
Pencemaran tanah memiliki hubungan erat dengan pencemaran udara dan pencemaran air. Sumber pencemar udara dan sumber pencemar air pada umumnya umumnya juga merupakan sumber pencemar tanah. t anah. Sebagai contoh, gas-gas karbon oksida, nitrogen oksida, oksida belerang yang merupakan bahan pencemar udara yang larut dalam air hujan dan turun ke tanah dapat menyebabkan terjadinya hujan asam sehingga menimbulkan terjadinya pencemaran pada tanah. Air permukaan tanah yang mengandung bahan pencemar misalnya zat radioaktif, logam berat dalam limbah industri, sampah rumah tangga, limbah rumah sakit, sisa-sisa pupuk dan pestisida dari daerah pertanian, dan limbah deterjen, akhirnya dapat menyebabkan terjadinya pencemaran pada tanah daerah tempat air permukaan ataupun area tanah yang dilalui air permukaan tanah yang tercemar tersebut. Menurut Amzani (2012) apabila diklasifikasikan, maka pencemaran tanah dapat terjadi dikarenakan hal - hal berikut:
3
a. Pencemaran Langsung Pencemaran jenis ini misalnya biasanya terjadi karena penggunaan pupuk secara berlebihan, pemberian pestisida dan pembuangan limbah yang tidak dapat diuraikan seperti plastik, kaleng, dan botol. b. Pencemaran Melalui Air Air yang tercemar (mengandung bahan pencemar/polutan) akan mengubah susunan kimia tanah sehingga mengganggu kehidupan organisme yang hidup di dalam atau di permukaan tanah. c. Pencemaran Melalui Udara Udara yang tercemar akan menurunkan hujan yang mengandung bahan pencemar yang mengakibatkan tanah menjadi tercemar. Bahan-bahan kimia termasuk pestisida dan berbagai bentuk detergen disamping bermanfaat apabila dipergunakan secara berlebihan akan menimbulkan berbagai bentuk pencemaran terhadap lingkungan termasuk tanah.
2.1.2 Komponen – Komponen Bahan Pencemaran Tanah
Menurut Amzani (2012), komponen-komponen pencemaran tanah dapat dibedakan menjadi: a. Limbah Cair Merupakan segala jenis limbah dalam bentuk cair. Limbah ini berasal dari industri ataupun rumah tangga. Senyawa kimia dalam limbah cair akan masuk ke dalam pori – pori tanah. Limbah cair ini mudah menguap akibat pemanasan sehingga menimbulkan pencemaran udara. Selain itu, sapuan hujan akan membawa senyawa – senyawa limbah cair ke wilayah yang lebih luas. Dengan demikian, akan semakin banyak wilayah daratan yang akan mengalami kerusakan akibat dari pencemaran tanah. b. Limbah Padat Selain dalam bentuk cair, sampah rumah tangga ataupun industri dalam bentuk padatan yang dibuang ke tanah dengan sembarangan pun dapat menyebabkan berbagai masalah. Sampah padat organik dapat dengan mudah diuraikan oleh jamur atau bakteri. Namun, sampah padatan sintesis tidak dapat 4
diuraikan oleh dekomposer (bakteri dan jamur) pada suatu ekosistem sehingga hal ini akan membuat sampah – sampah tersebut menumpuk dan menimbulkan banyak masalah. Selain itu, peningkatan populasi manusia ikut meningkatkan jumlah pencemaran yang terjadi di tanah. 2.1.3 Dampak Pencemaran Tanah
Dalam Amzani (2012) dijelaskan bahwa dampak dari pencemaran tanah adalah sebagai berikut: a.
Dampak Pada Kesehatan Dampak pencemaran tanah terhadap kesehatan tergantung jalur masuk ke
dalam tubuh dan kerentanan populasi yang terkena. Kromium, berbagai macam pestisida dan herbisida merupakan bahan karsinogenik untuk semua populasi. Timbal sangat berbahaya pada anak-anak karena dapat menyebabkan kerusakan otak serta kerusakan ginjal. Paparan kronis (terus-menerus) terhadap benzena pada konsentrasi tertentu dapat meningkatkan kemungkinan terkena leukemia. Merkuri (air raksa) dan siklodiena dikenal dapat menyebabkan kerusakan ginjal dan mungkin tidak bisa diobati, PCB dan siklodiena dapat menyebabkan keracunan hati, Organofosfat dan karmabat dapat menyebabkan gangguan pada saraf otot. Ada beberapa macam dampak pada kesehatan seperti sakit kepala, pusing, letih, iritasi mata dan ruam kulit akibat paparan bahan kimia dan pada dosis yang lebih besar paparan bahan kimia tersebut dapat menyebabkan kematian. b.
Dampak Pada Lingkungan atau Ekosistem Dampak pada pertanian terutama perubahan metabolisme tanaman yang
pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan hasil pertanian. Hal ini dapat menyebabkan dampak lanjutan pada konservasi tanaman dimana tanaman tidak mampu menahan lapisan tanah dari erosi. Beberapa bahan pencemar ini memiliki waktu paruh yang panjang dan pada kasus lain bahan-bahan kimia derivatif akan terbentuk dari bahan pencemar tanah utama. Pencemaran tanah juga dapat memberikan dampak terhadap ekosistem. Perubahan kimiawi tanah yang radikal dapat timbul dari adanya bahan kimia beracun/berbahaya bahkan pada dosis yang
5
rendah sekalipun. Perubahan ini dapat menyebabkan perubahan metabolisme dari mikroorganisme endemik dan antropoda yang hidup di lingkungan tanah tersebut. Akibatnya bahkan dapat memusnahkan beberapa spesies primer dari rantai makanan, yang dapat memberi akibat yang besar terhadap predator atau tingkatan lain dari rantai makanan tersebut.
2.2 Remediasi
Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk menangani pencemaran tanah adalah remediasi. Remediasi dapat diartikan sebagai upaya untuk membersihkan permukaan tanah yang tercemar. Terdapat dua jenis remediasi tanah, yaitu in-situ (atau on-site) dan ex-situ (atau off-site). 1) In situ atau pembersihan on-site adalah pembersihan di lokasi lahan yang tercemar. Pembersihan ini lebih murah dan lebih mudah, terdiri dari pembersihan, venting (injeksi), dan bioremediasi. 2) Ex situ ataua pembersihan off-site dilakukan dengan penggalian tanah yang tercemar untuk kemudian dibawa ke daerah yang aman. Pada daerah aman tersebut, tanah akan dibersihkan dari zat pencemar. Caranya yaitu, tanah tersebut disimpan di bak/tanki yang kedap, kemudian zat pembersih dipompakan ke bak/tangki tersebut. Selanjutnya zat pencemar dipompakan keluar dari bak yang kemudian diolah dengan instalasi pengolah air limbah. Pembersihan off-site ini jauh lebih mahal dan rumit (Amzani, 2012). Remediasi yang diartikan sebagai perbaikan lingkungan secara umum diharapkan dapat menghindari resiko-resiko yang ditimbulkan oleh kontaminasi pencemar yang berasal dari alam ( geochemical ) dan akibat ulah manusia (anthropogenic).
6
2.2.1 Jenis-Jenis Teknologi Remediasi
Teknologi remediasi sendiri dapat dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu: a.
Remediasi Thermal Remediasi thermal merupakan salah satu jenis remediasi lingkungan yang menggunakan steam/penginjeksian uap panas untuk meningkatkan laju penguapan semi-volatil kontaminan sehingga kontaminan dapat dipisahkan dari padatan (biasanya berupa tanah, lumpur atau filter cake). Contoh teknologi remediasi thermal secara in situ, yaitu thermal treatment , sedangkan remediasi thermal ex situ menggunakan teknologi hot gas decontamination, incineration, pyrolysis, dan thermal desorption.
Gambar 2.1 Hot Gas Decontamination Sumber: http://www.frtr.gov/matrix2/section4/D01-4-22a.html
b.
Remediasi Fisik-Kimia Remediasi fisik merupakan proses pemulihan lingkungan menggunakan metode isolasi dan pewadahan ke tempat tertentu yang tercemar. Sedangkan remediasi secara kimia merupakan proses pemulihan lingkungan dengan menggunakan bahan-bahan kimia dalam prosesnya. Remediasi fisik dan
7
remediasi kimia sering digabungkan dalam meremediasi lingkungan dengan harapan hasil yang diperoleh akan semakin baik. Contoh teknologi remediasi fisik-kimia
secara in situ adalah chemical oxydation, electrokinetic
separation, soil flushing, dan soil vapour extraction. Sedangkan secara ex situ dapat
dilakukan
dengan
teknologi
chemical
extraction,
chemical
reduction/oxydation,dehalogenation, separation, dan soil washing. Selain itu terdapat pula jenis teknologi yang dapat digunakan untuk proses remediasi baik
secara
in
situ
maupun
ex
situ,
contohnya fracturing
dan
solidification/stabilization.
Gambar 2.2 Tipikal Soil Flushing System Sumber: http://www.frtr.gov/matrix2/section4/D01-4-6.html
c.
Remediasi Biologi Remediasi biologi dapat diartikan sebagai proses pemulihan lingkungan dengan menggunakan mikroorganisme, fungi, tanaman hijau atau enzim untuk menghilangkan kontaminan. Teknologi ini cenderung lebih efektif serta ramah terhadap lingkungan dan dari segi biaya dan kelestarian lingkungan, remediasi biologi lebih murah dan berwawasan lingkungan dibandingkan dengan metode pemulihan lingkungan baik secara fisika maupun kimiawi, namun metode ini membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan metode lainnya (Atlas dan Bartha, 1992). Contoh teknologi remediasi
8
secara biologi adalah untuk proses in situ dapat menggunakan bioventing, enhanced bioremediation, dan phytoremediation. Sedangkan untuk proses ex situ dapat menggunakan biopiles, composting, landfarming, dan slurry phase.
Gambar 2.3 Tipikal Bioventing System Sumber: http://www.frtr.gov/matrix2/section4/D01-4-1.html
Dalam melakukan remediasi ada beberapa hal yang perlu diketahui, yaitu: 1. Jenis pencemar (organik atau anorganik), terdegradasi atau tidak dan berbahaya atau tidak. 2. Banyaknya zat pencemar yang telah mencemari tanah tersebut 3. Perbandingan karbon (C), nitrogen (N), dan fosfat (P) 4. Jenis tanah 5. Kondisi tanah (basah, kering) 6. Lama zat terendapkan di lokasi tercemar 7. Kondisi pencemaran
9
BAB 3 PEMBAHASAN
3.1 Oksidasi Kimia a. Deskripsi
Teknologi oksidasi kimia merupakan teknologi yang menggunakan proses reaksi oksidasi kimiawi yang dapat menghasilkan radikal bebas untuk penghilangan
senyawa
kontaminan.
Oksidan
yang
digunakan
mampu
menyebabkan kerusakan kimia yang cepat dan menyeluruh dari bahan kimia organik beracun.
b. Jenis Polutan
Okisdasi kimia proses dapat mengakibatkan penghapusan efektif senyawa organik dan logam berat dalam tanah melalui kontak langsung antara kontaminan dan oksidan dalam waktu singkat ketika pengadukan dilakukan (Eve, 1998). Secara khusus, co-kontaminan, termasuk logam berat dan senyawa organik, dapat dihapus melalui aplikasi langsung dari agen penggalian dan/atau surfaktan baik berturut-turut atau bersamaan di dalam tanah. Khodadoust et al . (2005) meneliti efek dari oksidasi sekuensial menggunakan berbagai oksidan logam dan organik dari tanah lapangan co-terkontaminasi fenantrena, Pb, dan Zn. Mereka menemukan bahwa secara individu atau sekuensial penerapan oksidan logam dan surfaktan dapat mengoksidasi kontaminan logam dan organik masing-masing. Lo et al . (2012) menemukan bahwa ekstraksi berurutan HCl dan persulfat oksidasi oleh proses pengobatan Fe-EDDS dapat efektif menghilangkan kedua logam berat dan Polycyclic Aromatic Hidrokarbon (PAH) dari sedimen sungai.
c. Aplikasi
Oksidasi kimia umumnya dilakukan secara in situ atau disebut juga dengan ISCO ( In Situ Chemical Oxidation). ISCO telah diterapkan secara efektif untuk beberapa dekade untuk remediasi tanah dan akuifer. Kandungan mineral dalam
10
tanah dapat menjadi katalis alami sehingga menguntungkan untuk in situ remediasi tanah terkontaminasi di mana pH tidak dapat disesuaikan (Usman et al ., 2016).
d. Mekanisme
Oksidan kimia yang paling umum digunakan meliputi peroksida, ozon, dan permanganat (ITRC, 2005).
Ozon Gas ozon dapat mengoksidasi kontaminan langsung atau melalui pembentukan radikal hidroksil. Reaksi ozon yang paling efektif dalam sistem dengan pH asam. Reaksi oksidasi berlanjut dengan sangat cepat, kinetika orde semu pertama. Karena reaktivitas tinggi ozon dan ketidakstabilan, O3 diproduksi di tempat, dan membutuhkan poin pengiriman jarak dekat (mis, sumur sparging udara). Dalam dekomposisi ozon dapat menyebabkan oksigenasi bermanfaat dan biostimulation.
Peroksida Oksidasi menggunakan cairan hidrogen peroksida (H 2O2) di hadapan besi besi asli atau tambahan (Fe+2) menghasilkan Reagen Fenton yang menghasilkan radikal hidroksil bebas (OH-). Oksidan nonspesifik dapat dengan cepat menurunkan berbagai senyawa organik. Oksidasi Reagen Fenton adalah yang paling efektif di bawah pH sangat asam (misalnya, pH 2 sampai 4) dan menjadi tidak efektif dalam kondisi sedang sampai sangat basa. Reaksi sangat cepat dan mengikuti orde kinetika kedua.
Permanganat Stoikiometri reaksi permanganat (biasanya diberikan sebagai cair atau padat KMnO4, tetapi juga tersedia dalam garam Na, Ca, atau Mg) dalam sistem alam yang kompleks. Karena beberapa valensi dan bentuk mineral, Mn dapat berpartisipasi dalam berbagai reaksi. Reaksi dilanjutkan pada tingkat lebih lambat dibandingkan dua reaksi sebelumnya, menurut orde kinetika kedua. Tergantung pada pH, reaksi dapat meliputi kerusakan dengan transfer elektron
11
langsung atau radikal canggih oksidasi-permanganat reaksi gratis efektif pada rentang pH 3,5-12.
e. Efisiensi
Secara umum teknologi oksidasi kimia telah mampu mencapai efisiensi pemulihan yang tinggi, yaitu lebih dari 90% untuk alifatik tak jenuh (misalnya, trichloroethylene) dan senyawa aromatik (misalnya, benzena) dengan laju reaksi yang sangat cepat (kerusakan 90% per menit) (FRTR, 2001).
f. Kelebihan dan Kelemahan
Menurut FRTR (2001) dalam oksidasi kimia memiliki kelebihan untuk pengurangan massa di daerah sumber serta untuk pengolahan tanah. Potensi dalam oksidasi kimia termasuk reaksi yang cepat dan luas dengan berbagai kontaminan berlaku untuk banyak organik bio-recalcitrant dan lingkungan bawah permukaan. Namun teknologi oksidasi kimia juga memiliki keterbatasan antara lain : -
Kebutuhan untuk menangani sejumlah besar bahan kimia oksidator berbahaya karena permintaan oksidan dari bahan kimia organik target dan konsumsi oksidan yang tidak produktif formasi.
- Beberapa kontaminan tahan terhadap oksidasi. - Ada potensi efek merugikan sehingg perlu penelitian dan pengembangan lebih lanjut sedang berlangsung untuk memajukan ilmu pengetahuan dan rekayasa di oksidasi kimia situ dan untuk meningkatkan efektivitas kedua biaya keseluruhan.
g. Studi Kasus
Berikut studi kasus untuk teknologi oksidasi kimia di tanah yang dilakukan oleh Yoo et al . (2016) berjudul “Simultaneous application of chemical oxidation and extraction processes is effective at remediating soil Co-contaminated with petroleum and heavy metals”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki remediasi tanah co-contaminated dengan Tota Petroleum Hidrokarbon (TPH) dan
12
logam berat oleh chemical washing dan proses oksidasi menggunakan berbagai agen ekstrak dan oksidator. Proses ekstraksi dan oksidasi kimia untuk membersihkan logam berat dan hidrokarbon dari tanah memiliki efisiensi remediasi yang lebih tinggi dan waktu yang relatif lebih cepat dibandingkan proses perbaikan lainnya. Dalam ekstraksi batch/proses oksidasi, 3% hidrogen peroksida (H2O2) dan 0,1 M asam ethylenediaminetetraacetic (EDTA) dapat menghilangkan sekitar 70% minyak bumi dan 60% Cu dan Pb dalam tanah. Minyak bumi secara efektif teroksidasi oleh H 2O2 tanpa penambahan katalis apapun melalui pembubaran Fe oksida di tanah alami. Selanjutnya, logam berat terikat oxyhydroxides Fe-Mn dapat diekstraksi oleh logam-EDTA serta Fe-EDTA kompleksasi karena EDTA memiliki afinitas tinggi untuk logam. Namun, pengikatan Fe-EDTA yang kuat dapat menghambat oksidasi minyak bumi pada proses berurutan ekstraksi-oksidasi karena Fe telah dihilangkan selama proses ekstraksi dengan EDTA. Proses ekstraksi-oksidasi yang berurutan tidak secara signifikan meningkatkan ekstraksi logam berat dari tanah karena sebagian kecil dari logam berat tetap terikat bahan organik. Secara keseluruhan, simultan penerapan proses oksidasi dan ekstraksi mengakibatkan penghapusan yang sangat efisien dari kedua kontaminan. Pendekatan ini dapat digunakan untuk menghilangkan co-kontaminan dari tanah dalam waktu singkat dengan biaya yang sesuai.
3.2 Soil Washing a. Deskripsi
Soil washing merupakan teknologi yang memisahkan kontaminan yang terserap ke partikel tanah halus dari tanah massal dalam sistem berbasis air berdasarkan ukuran partikel. Air cucian dapat ditambah dengan agen dasar pencucian, surfaktan, penyesuaian pH, atau agen chelating untuk membantu menghilangkan organik dan logam berat. Tanah dan air pencuci dicampur dalam tangki atau unit perawatan lainnya dan biasanya dipisahkan menggunakan gravitasi menetap. Pendekatan soil washing dapat dibagi menjadi fisik (sifat-sifat kimia dari bahan yang tidak diubah untuk mencapai pemisahan), kimia
13
(berdasarkan penggalian polutan dari tanah atau melarutkan mereka), dan fisikakimia (kombinasi keduanya) (Dermont et al ., 2008).
b. Jenis Polutan
Kontaminan yang dapat diremediasi oleh soil washing mencakup semivolatile senyawa organik (SVOCs), minyak bumi dan res idual bahan bakar, logam berat, PCB, PAH, dan pestisida. Teknologi ini memungkinkan pemulihan logam dan dapat membersihkan berbagai kontaminan organik dan anorganik dari tanah (Urum et al ., 2003).
c. Aplikasi
Pada kondisi lapangan tidak mudah untuk memprediksi dikarenakan ada berbagai faktor yang harus dipertimbangkan bergantung pada jenis tanah. Soil washing ex situ biasa dilakukan dalam dua tahap (pencucian tanah dan perubahan dengan bahan organik) di bioreaktor, mirip dengan teknik yang dikembangkan untuk remediasi tanah dengan pestisida (Robles-González et al., 2012).
d. Mekanisme
Soil washing menggunakan liquid (biasanya air, sesekali dikombinasikan dengan pelarut) dan proses mekanik untuk menggosok tanah. Pelarut yang dipilih berdasarkan kemampuan mereka untuk melarutkan kontaminan tertentu dan efek terhadap lingkungan serta efek kesehatan bagi manusia. Proses ini memisahkan tanah halus (tanah liat dan lumpur) dari tanah kasar (pasir dan kerikil). Kontaminan cenderung akan mengikat dan menyerap partikel tanah yang lebih kecil (terutama liat dan lumpur), memisahkan partikel tanah yang lebih kecil dari yang lebih besar untuk mengurangi volume tanah yang terkontaminasi. Volume tanah yang lebih kecil yang berisi sebagian besar partikel tanah liat dan lumpur, dapat lebih diperlakukan oleh metode lain (seperti pembakaran atau bioremediasi) atau dibuang sesuai dengan baku mutu. Volume yang lebih besar dari tanah dianggap tidak beracun dan dapat digunakan sebagai backfill . Umumnya, soil washing sering dikombinasikan dengan teknologi lainnya (Khan et al ., 2004).
14
e. Efisiensi
Secara umum, soil washing ekonomis untuk tanah yang mengandung lumpur dan bahan organik (m/m) hingga 20 - 40%. Soil washing merupakan teknologi yang cocok untuk remediasi kontaminan organik dan anorganik dengan efisiensi removal kontaminan 80-90% (Honders et al ., 2003).
f. Kelebihan dan Kelemahan
Menurut Dermont et al . (2009) kelebihan soil washing fraksi bersih yang dihasilkan
lebih besar dapat kembali ke tanah untuk dapat terus digunakan.
Durasi prosesnya terdiri dari jangka pendek dan menengah. Selain itu soil washing juga dapat digunakan untuk pemulihan logam. Namun menurut FRTR (2001) soil washing memiliki kelemahan yang dapat membatasi penerapan dan efektivitas proses meliputi: - Campuran limbah yang kompleks (misalnya, logam dengan organik) membuat merumuskan cairan cuci sulit. - Konten humat tinggi di tanah mungkin memerlukan pre-treatment . - Aliran air akan memerlukan perawatan di demobilisasi. - Langkah remediasi tambahan mungkin diperlukan untuk mengatasi tingkat berbahaya larutan cuci yang tersisa di residual. - Kemungkinan akan sulit untuk menghapus zat organik yang teradsorbsi ke partikel tanah liat.
g. Studi Kasus
Berikut studi kasus untuk teknologi oksidasi kimia di tanah yang dilakukan oleh Boente et al . (2016) berjudul
“Soil washing optimization by means of
attributive analysis: Case study for the removal of potentially toxic elements from soil contaminated with pyrite ash”. Penelitian ini menjelaskan tentang soil washing untuk memisahkan unsur-unsur beracun, seperti As, Cu, Hg, Pb dan Sb, pada brownfield di Nitrastur yang terkena pembuangan abu pirit. Tujuan akhirnya adalah untuk melengkapi analisis pedological dan geokimia dalam rangka untuk menentukan sifat-sifat tanah. Selanjutnya, skala laboratorium untuk soil washing
15
dilakukan dengan tujuan untuk mengkonsentrat sebagian besar kontaminan menjadi sebagian kecil dari tanah yang diolah. Prosedur yang digunakan termasuk pemisahan gravitasi, pengujian cairan berat, hydrocycloning dan pemisahan magnetik basah dan kering. Klasifikasi ukuran butir terbukti efektif hanya untuk pengobatan ukuran di bawah 63 m. Hasil yang lebih baik diperoleh dengan pemisahan cairan berat, yang optimal di kebanyakan ukuran butir, kecuali fraksi tanah antara 1000 dan 2000 m, dan di bawah 63 m. Sebagai pemisahan magnetik, intensitas tinggi pemisahan magnetik kering cocok untuk pengobatan ukuran butir di atas 500 m dan memberikan hasil yang sama dengan yang dicapai dengan tes cairan berat dalam banyak kasus. Hasil percobaan dibandingkan melalui pendekatan baru analisis atributif, dan temuan menunjukkan bahwa prosedur pemisahan untuk polutan menghasilkan hasil yang berulang. Pemisahan oleh magnet terbukti paling sesuai untuk ukuran butir> 250 m, menjadi kurang efektif untuk ukuran partikel kecil. Dalam hal ini, pemisahan magnetik menguurangi semua kontaminan untuk semua ukuran butir diuji, kecuali satu tertimbun lumpur-clayed (<63 m, 37,62% dari material), di bawah yang RBSSLs untuk keperluan industri. Selanjutnya, tes cairan berat dilakukan dalam rangka untuk mempelajari yang tanggungan pemisahan gravitasi untuk tujuan pencucian tanah. Studi ini dibuktikan menjanjikan hasil, terutama untuk fraksi pasir sangat halus (63-500 m). Dalam hal ini, fraksi <63 m disajikan paling kesulitan sehubungan dengan pemisahan, mungkin karena pasukan gravitasi yang lebih rendah, yang tidak mampu untuk mengatasi kekuatan kental dalam kasus HLS dan kekuatan magnet yang lebih rendah yang melampaui kekuatan tarik dalam kasus basah- Hims. Demikian juga, hal ini organik dalam sampel juga disorot sebagai mungkin sumber kesalahan klasifikasi. Selain itu, tes juga membuktikan bahwa fraksi tailing tidak melebihi RBSSLs untuk kebanyakan kasus. Oleh karena itu penelitian ini menunjukkan bahwa bahan ini dapat dibuang langsung tanpa pengobatan sebelumnya. Mengingat temuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendekatan baru dari atributif analisis menawarkan hasil yang
16
koheren bila digunakan untuk menilai kinerja tes cuci untuk tanah dipengaruhi oleh polusi multikomponen. Selain itu, "keberhasilan skor" memberikan pelengkap informasi untuk mengevaluasi hasil, dengan mempertimbangkan ti dak hanya skenario yang berbeda dimaksud dalam RBSSLs tetapi juga kinerja pemisahan per elemen, yang mengatakan treatability dari setiap elemen. Metodologi yang dilaporkan dapat digunakan tidak hanya untuk tanah mencuci tujuan, tetapi juga untuk mendukung desain tanaman industri yang efisien, sehingga mengurangi pembuangan akhir sampah dan emisi sementara pada saat yang sama memaksimalkan output produk. 3.3 Stabilisasi dan Solidifikasi a. Deskripsi
Stabilisasi adalah proses penambahan suatu zat dan dicampur dengan limbah untuk meminimalkan kecepatan migrasi (perpindahan) limbah untuk mengurangi toksisitas dari limbah. Stabilisasi dapat digambarkan sebagai proses dimana seluruh atau sebagian kontaminan terikat dengan menambahkan media, pengikat, atau pengubah. Sedangkan solidifikasi adalah proses menggunakan aditif berdasarkan sifat fisis alami dari limbah (seperti yang ditentukan sebagai kriteria teknis dari kekuatan, tekanan, dan/atau permeabilitas) digunakan selama proses (Utomo, 2007). Tidak seperti teknologi perbaikan lainnya, teknologi S/S berusaha untuk menjebak atau melumpuhkan kontaminan dalam media "host" mereka (yaitu, bahan tanah, pasir, dan/atau bangunan yang mengandung mereka) bukan menghapusnya melalui kimia atau perlakuan fisik. pengujian pelindian biasanya dilakukan untuk mengukur imobilisasi kontaminan. Teknologi S/S dapat digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan metode lain untuk menghasilkan suatu produk atau bahan yang cocok untuk pembuangan tanah atau, dalam kasus lain, yang dapat diterapkan untuk penggunaan yang bermanfaat. Teknik-teknik ini telah digunakan baik sebagai langkah-langkah perbaikan final dan interim. Pengolahan jenis ini mencegah migrasi/penyebaran konstituen berbahaya ke lingkungan. Solidifikasi (transformasi lumpur semi-liquid menjadi bentuk
17
solid/padat) mengarah pada perubahan karakteristik fisik limbah. Pengolahan ini mencakup peningkatan kekuatan kompresi, penurunan permeabilitas, dan enkapsulasi konstituen berbahaya (Marinkovic et al., 2003). Peranan Aditif dalam proses stabilisasi, yaitu:
Memperbaiki cara penanganan dan karakteristik fisik l imbah
Mengurangi permukaan area yang dilalui dimana dapat memindahkan dan mengurangi kontaminan yang terjadi
Membatasi kelarutan dari berbagai polutan yang ada di limbah
Mengurangi toksisitas dari kontaminan
b. Jenis Polutan
Solidifikasi dan stabilisasi merupakan teknik yang secara luas diterapkan untuk remediasi limbah yang mengandung konstituen berbahaya misalnya, anorganik, termasuk radionuklida. Secara in-situ, kebanyakan teknologi S/S ini telah teruji efektivitasnya terhadap organik dan melumpuhkan sebagian anorganik di tanah yang terkontaminasi, lumpur, atau bahan tanah lainnya. Proses ini telah diuji pada berbagai VOC dan SVOCs, organik lainnya termasuk dioxin dan PCB, dan pada kebanyakan logam prioritas polutan dan radionuklida (Marinkovic et al., 2003) Sedangkan secara ex-situ polutan yang mampu direduksi adalah anorganik, termasuk radionuklida. Kebanyakan teknologi S / S telah efektivitas terhadap organik dan pestisida terbatas, kecuali vitrifikasi yang dapat menghancurkan sebagian besar kontaminan organik.
c. Aplikasi
Solidifikasi digunakan untuk mengubah limbah menjadi bentuk fisik yang sesuai dan tahan yang lebih kompatibel untuk penyimpanan, landfill , atau reuse yaitu bentuk padat yang memiliki interitas tinggi. Bentuk ini dapat diperoleh dengan atau tanpa fiksasi kimiawi (Goni et al., 2009). Stabilisasi dan solidifikasi merupakan salah satu teknik remediasi tanah secara in-situ dan ex-situ.
18
Penerapan teknologi ini sangat tergantung pada sifat fisik tanah. Ada banyak inovasi dalam stabilisasi dan solidifikasi. Sebagian besar inovasi yang ada adalah modifikasi dari proses yang telah terbukti mampu meremediasi tanah dan diarahkan
untuk
penerapan
pada
pencemara
berbahaya
dan
melibatkan
pengolahan limbah atau tanah yang tercemar (Arce et al., 2010).
d. Mekanisme
Solidifikasi menciptakan barrier antara komponen limbah dan lingkungan dengan mereduksi permeabilitas limbah dan/atau mengurangi luas area permukaan yang efektif untuk difusi (Meegoda et al., 2003). Prinsip kerja stabilisasi/solidifikasi adalah pengubahan watak fisik dan kimiawi bahan berbahaya dengan cara penambahan senyawa pengikat sehingga pergerakan senyawa-senyawa dapat dihambat atau terbatasi dan membentuk ikatan massa monolit dengan struktur yang kekar ( massive). Proses stabilisasi/solidifikasi berdasarkan mekanismenya dapat dibagi menjadi 6 golongan, yaitu: 1. Macroencapsulation, yaitu proses dimana bahan berbahaya dalam limbah dibungkus dalam matriks struktur yang besar 2. Microencapsulation, yaitu proses yang mirip macroencapsulation tetapi bahan pencemar terbungkus secara fisik dalam struktur k ristal pada tingkat mikroskopik 3. Precipitation, yaitu proses stabilisasi dengan menguapkan kontaminan dari limbah sehingga dapat lebih stabil limbah tersebut 4. Adsorpsi, yaitu proses dimana bahan pencemar diikat secara elektrokimia pada bahan pemadat melalui mekanisme adsorpsi 5. Absorbsi,
yaitu
proses
solidifikasi
bahan
pencemar
dengan
menyerapkannya ke bahan pemadat. Absorben yang biasa digunakan, yaitu tanah, abu terbang, semen, kapur, mineral lempung, serbuk gergaji, jerami, rumput kering 6. Detoxification, yaitu proses mengubah suatu senyawa beracun menjadi senyawa lain yang tingkat toksisitasnya lebih rendah atau bahkan hilang sama sekali
19
a) Mekanisme secara In-situ
In-Situ Vitrifikasi (ISV) In situ vitrifikasi (ISV) merupakan proses S/S yang menggunakan arus
listrik untuk melelehkan tanah atau bahan tanah lainnya pada temperatur yang sangat tinggi (1.600 ke 2.000°C atau 2.900 ke 3.650 °F) dan dengan demikian melumpuhkan sebagian anorganik dan menghancurkan polutan organik dengan pirolisis. Polutan anorganik dimasukkan dalam kaca vitrifikasi dan massa kristal. Uap air dan produk pirolisis hasil pembakaran organik ditangkap dalam hood , yang menarik kontaminan masuk ke dalam sistem offgas yang menghilangkan partikulat dan polutan lainnya dari gas. Produk vitrifikasi adalah kimiawi stabil, resapan tahan, kaca dan bahan kristal mirip dengan obsidian atau batuan basal. Proses menghancurkan dan / atau menghilangkan bahan organik. Radionuklida dan logam berat dipertahankan dalam tanah cair (Meegoda et al., 2003). Jangka waktu proses pengolahan secara in-situ pada teknologi S/S biasanya adalah jangka pendek hingga jangka menengah sedangkan in-situ proses ISV biasanya jangka pendek. b) Mekanisme secara Ex-situ
Bituminization Dalam proses bituminization, limbah yang tertanam di aspal cair dan
dikemas saat aspal mendingin. Proses ini menggabungkan aspal yang dipanaskan dan konsentrat dari bahan limbah, biasanya dalam bentuk bubur, dalam dipanaskan ekstruder yang berisi sekrup yang mencampur aspal dan limbah. Air menguap dari campuran untuk sekitar 0,5% kelembaban. Produk akhir dari proses ini adalah campuran homogen dari padatan ekstrusi dan a spal.
Aspal Emulsi Emulsi aspal berupa tetesan sangat halus aspal akan terdispersi dalam air
yang distabilkan oleh agen pengemulsi kimia. Emulsi dapat sebagai kation ataupun sebagai emulsi anionik. Proses aspal emulsi melibatkan penambahan aspal emulsi yang memiliki muatan yang tepat untuk cair hidrofilik atau limbah
20
semiliquid pada suhu kamar. Setelah pencampuran, istirahat emulsi, air dalam limbah dilepaskan, dan fase organik membentuk matriks terus menerus aspal hidrofobik sekitar padatan limbah. Dalam beberapa kasus, agen penetral tambahan, seperti kapur atau gipsum, mungkin diperlukan. Setelah diberikan waktu yang cukup untuk mengatur dan menyembuhkan, aspal padat yang dihasilkan memiliki sampah merata sepanjang itu dan kedap air.
Modifikasi Sulfur Semen Modifikasi sulfur semen menggunakan bahan termoplastik yang tersedia
secara komersil. Sangat mudah meleleh (127 - 149 °C (260 - 300 ° F)) dan kemudian dicampur dengan limbah untuk membentuk bubur cair homogen yang dibuang ke wadah yang cocok untuk pendinginan, penyimpanan, dan pembuangan. Berbagai perangkat pencampuran umum, seperti, mixer dayung dan pabrik pug, dapat digunakan. Suhu relatif rendah digunakan emisi batas sulfur dioksida dan hidrogen sulfida untuk diijinkan nilai ambang batas.
Polyethylene Ekstrusi Proses polyethylene ekstrusi melibatkan pencampuran binder polyethylene
dan bahan sampah kering menggunakan silinder dipanaskan mengandung sekrup pencampuran / transportasi. Dipanaskan, campuran homogen keluar silinder melalui output die ke dalam cetakan, di mana mendingin dan membeku. sifat polietilena ini menghasilkan sangat stabil, produk dipadatkan. Proses ini telah diuji pada limbah garam nitrat di pabrik skala, sehingga membentuk kelangsungan hidup, dan berbagai limbah lainnya di bangku dan pilot skala.
Pozzolan/ Portland Cement Portland terutama terdiri dari silikat dari bahan berbasis pozzolan seperti fly
ash, debu kiln, batu apung, atau terak tanur tinggi dan berbasis bahan semen seperti semen Portland. Bahan-bahan ini secara kimia bereaksi dengan air untuk membentuk matriks cementious padat yang meningkatkan penanganan dan karakteristik fisik sampah, juga meningkatkan pH air yang dapat membantu precipatate dan melumpuhkan beberapa kontaminan logam berat. agen mengikat pozzolan dan semen berbasis biasanya sesuai untuk kontaminan
21
anorganik. Efektivitas dari bahan pengikat ini dengan kontaminan organik bervariasi.
Radioaktif Solidifikasi Limbah Dalam
pemadatan
limbah
radioaktif
(Grouting /lainnya) pengobatan,
pembekuan aditif yang digunakan untuk membentuk seragam dan matriks stabil untuk merangkum materi limbah radioaktif. Rakitan meliputi pompa untuk cairan atau bubur, konveyor untuk lumpur atau padat, silo storage, menimbang pengumpan, pipa, mixer dan pembuangan atau penyimpanan.
Sludge Stabilisasi Proses stabilisasi lumpur adalah penambahan reagen, baik terak atau bahan
semen, untuk sludge untuk mengubah materi sehingga konstituen berbahaya dalam bentuk setidaknya ponsel atau beracun mereka. Endapan yang logam berat resapan atau kontaminan lainnya sering stabil untuk melumpuhkan konstituen berbahaya.
Fosfat larut Proses fosfat larut melibatkan penambahan berbagai bentuk fosfat dan alkali
untuk mengontrol pH serta untuk pembentukan molekul kompleks logam penerbangan murah kelarutan untuk melumpuhkan (insolubilize) logam pada rentang pH yang luas. Tidak seperti kebanyakan proses stabilisasi lainnya, proses fosfat larut tidak mengubah sampah menjadi, massa monolitik mengeras. Salah satu aplikasi dari fosfat larut dan kapur adalah dalam menstabilkan abu terbang dengan imobilisasi timbal dan kadmium dalam abu.
Vitrifikasi/Molten Kaca Vitrifikasi, atau kaca cair, proses metode pembekuan yang mempekerjakan
panas hingga 1.200 °C mencair dan mengkonversi bahan limbah ke dalam gelas atau kaca dan kristal produk lainnya. Suhu tinggi menghancurkan konstituen organik dengan sangat sedikit produk samping. Bahan, seperti logam berat dan radionuklida, sebenarnya dimasukkan ke dalam struktur kaca yang, umumnya, sebuah, bahan yang tahan lama yang relatif kuat yang tahan terhadap pencucian. Selain padat, bahan limbah dapat cairan, lumpur basah atau kering, atau bahan yang mudah terbakar. Borosilikat dan soda-kapur
22
adalah pembentuk kaca pokok dan memberikan matriks dasar dari produk vitrifikasi.
g. Faktor yang Berpengaruh
a)
Faktor-faktor yang dapat membatasi penerapan dan efektivitas S/S secara in-situ meliputi: 1. Kedalaman kontaminan dapat membatasi beberapa jenis proses aplikasi. 2. Penggunaan
masa
mempengaruhi
depan
kemampuan
situs
mungkin
untuk
"cuaca"
mempertahankan
bahan
dan
imobilisasi
kontaminan. 3. Beberapa proses menghasilkan peningkatan yang signifikan dalam volume (hingga dua kali lipat volume asli). 4. Limbah tertentu tidak sesuai dengan variasi dari proses ini. Studi treatability umumnya diperlukan. 5. Pengiriman reagen dan efektif pencampuran lebih sulit daripada untuk aplikasi ex situ. 6. Seperti semua dalam perawatan in situ, konfirmasi pengambilan sampel bisa lebih sulit daripada untuk perawatan ex situ. 7. Bahan dipadatkan dapat menghalangi penggunaan situs masa depan. 8. Pengolahan kontaminasi dibawah permukaan air mungkin memerlukan dewatering . b) Faktor-faktor yang dapat membatasi penerapan dan efektivitas proses S/S secara ex-situ meliputi: 1. Kondisi lingkungan dapat mempengaruhi imobilisasi jangka panjang kontaminan. 2. Beberapa proses menghasilkan peningkatan yang signifikan dalam volume (hingga dua kali lipat volume asli). 3. Limbah tertentu tidak sesuai dengan proses yang berbeda. Studi treatability umumnya diperlukan. 4. Organik umumnya tidak bergerak.
23
5. Efektivitas jangka panjang belum terbukti selama bertahun kombinasi kontaminan /proses.
e. Studi Kasus
Berikut merupakan salah satu contoh studi kasus berdasarkan penelitian Lei Wang dkk pada tahun 2014 yang berjudul “Green remediation and recycling of contaminated sediment by waste-incorporated stabilization/solidification”. Penelitian ini mengusulkan pendekatan remediasi hijau untuk meremediasi dan
mendaur
ulang
sedimen
yang
terkontaminasi
dengan
cara
stabilisasi/solidifikasi dengan penambahan limbah padat, yaitu fly ash dan untuk melihat penerapan daur ulang dari sedimen yang terkontaminasi serta kuat tekan uniaksial stabil/pemadatan blok sedimen akan diukur dan dibandingkan dengan standar ASTM. Dengan semakin meningkat jumlah sedimen yang terkontaminasi (sekitar 20-70%), maka 28-d comprasive kekuatan dari blok sedimen akan menurun lebih dari 10 MPa. Fly ash batubara lebih efektif daripada kapur dan tanah kerang sebagai bahan additive pada proses solidifikasi/stabilisasi ini terutama pada konten
sedimen
yang
rendah.
Analisis
mikroskopis
dan
spektroskopi
menunjukkan berbagai jumlah produk hidrasi (terutama kalsium hidroksida dan kalsium silikat hidrat) di fly ash batubara, menandakan adanya pengaruh reaksi pozzolan. Untuk memfasilitasi pemanfaatan limbah, cullet dari minuman botol kaca dan abu bawah dari pembakaran batubara dan pembakaran sampah yang ditemukan yang cocok untuk agregat kasar pengganti pada rasio penggantian 33%, di luar yang kuat tekan menurun demikian. Analisis intrusi merkuri porosimetry menunjukkan bahwa peningkatan total wilayah pori dan diameter pori rata-rata yang linear berkorelasi dengan penurunan kekuatan tekan karena pengganti limbah. Semua blok sedimen memenuhi kriteria penerimaan untuk digunakan kembali dalam hal logam pelindian. Hasil ini menunjukkan bahwa, dengan desain campuran yang tepat, sedimen terkontaminasi dan bahan limbah adalah sumber daya yang berguna untuk memproduksi unit batu non-beban atau mengisi bahan untuk keperluan konstruksi.
24
Contoh lain penerapan teknik ini, yaitu dalam pengolahan limbah yang mengandung logam berat seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Anastasiadou et al. (2012) yang menggunakan fly ash kemudian dilakukan sementasi. Limbah yang diolah mengandung logam berat Cr, Fe, Ni, Cu, Cd dan Ba. Dengan menggunakan teknik sementasi ini hasilnya aman untuk landfill ataupun digunakan sebagai material konstruksi karena pengikatan logam berat yang cukup kuat sehingga tidak mudah terlepas ke lingkungan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Coz et al. (2009) menunjukkan bahwa pencampuran sodium silicate pada materi semen dapat meningkatkan leachabilitas logam berat terutama Zn, dengan konsentrasi silikat 5-25% menghasilkan leachabilitas yang optimum pada materi semen. Voglar dan Lestan (2010) menyatakan bahwa sementasi dapat diterapkan untuk solidifikasi berbagai jenis logam berat yaitu Cd, Pb, Zn, Cu, Ni dan As. Pada penelitian mereka selanjutnya, Voglar dan Lestan (2011) menyatakan dalam jurnalnya bahwa formula solidifikasi paling efisien yaitu semen kalsium aluminat ditambah dengan acrylic polymer akrimal menghasilkan materi yang dapat mengikat sangat kuat terhadap logam berat antara lain Cd, Pb, Zn, Cu, Ni dan As sehingga materi tersebut dapat digunakan untuk landfill atau landcover. Kalsium sangat berperan dalam teknik sementasi, jenis kalsium yang sering digunakan antara lain
Calcium Silicate Hydrate, Calcium Hydroxide,
Calcium Sulfoaluminate (Meegoda et al., 2003). Kalsium berperan penting dalam teknik sementasi. Sementasi baik yang menggunakan Portlan cement (PC) atau cement kiln dust (CDK) memanfaatkan ikatan yang terbentuk antara Ca dengan As(III) dan As(V) untuk mengimobilisasi logam arsenit tersebut (Yoon et al., 2010). Penelitian dari Qian et al., (2008) membuktikan bahwa teknik sementasi dapat mengimobilisasi logam berat, terutama logam berat Zn dan Pb. Pada penelitian ini proses solidifikasi dilakukan dengan menggunakan fly ash dan calcium sulfoaluminate cement matrix sehingga imobilisasi logam berat yang efektif matrix semen. Ketidakadaan kalsium dalam materi dapat menurunkan pengikatan logam berat pada semen, atau yang disebut dengan dekalsifikasi
25
materi semen, dapat menurunkan luasan area pengikatan logam berat (Laforest dan Duchesne, 2007).
26
BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diperoleh, yaitu: 1. Teknologi oksidasi kimia merupakan teknologi yang menggunakan proses reaksi oksidasi kimiawi yang dapat menghasilkan radikal bebas untuk penghilangan senyawa
kontaminan.
Oksidan
yang digunakan mampu
menyebabkan kerusakan kimia yang cepat dan menyeluruh dari bahan kimia organik beracun. 2. Soil washing merupakan teknologi yang memisahkan kontaminan diserap ke partikel tanah halus dari tanah massal dalam sistem berbasis air berdasarkan ukuran partikel. 3. Stabilisasi dapat digambarkan sebagai proses dimana seluruh atau sebagian kontaminan terikat dengan menambahkan media, pengikat, atau pengubah. Sedangkan solidifikasi adalah proses menggunakan aditif berdasarkan sifat fisis alami dari limbah.
4.2 Saran
Sebaiknya remediasi secara kimia perlu dilakukan pengembangan dalam prosesnya sehingga dapat memaksimalkan hasil remediasi
27
DAFTAR PUSTAKA
Amzani, F. 2012. Pencemaran Tanah dan Penanggulangannya . Politeknik Negeri Lampung. Lampung. Anastasiadou, Kalliopi, Konstantinos Christopoulos, Epameinontas Mousios, Evangelos Gidarakos. 2012. Solidification/stabilization of fly and bottom ash from medical waste incineration facility . Journal of
Hazardous Materials 207 – 208 (2012) 165 – 170. Arce,
R.,
B.
Galán,
A.
Coz,
A.
Andrés,
J.R.
Viguri.
2010.
Stabilization/solidification of an alkyd paint waste by carbonation of waste-lime based formulations. Journal of Hazardous Materials 177
(2010) 428 – 436. Atlas, R.M. dan Bartha R. 1992. Hydrocarbon Biodegradation and Oil Spill Bioremediation. Adv. Microbial Ecol, 12, pp. 287-338.
Boente, C., Sierra, C., Rodríguez-Valdés, E., Menéndez-Aguado, J.M., dan Gallego, J.R.. 2016. Soil Washing Optimization by Means Of Attributive Analysis: Case Study for The Removal of Potentially Toxic Elements From Soil Contaminated with Pyrite Ash . Cleaner
Production. doi: 10.1016/j.jclepro.2016.11.007. Coz, A., A. Andrés, S. Soriano, J.R. Viguri, M.C. Ruiz, J.A. Irabien. 2009. Influence of commercial and residual sorbents and silicates as additives on the stabilisation/solidification of organic and inorganic industrial waste. Journal of Hazardous Materials 164 (2009) 755 – 761.
Dermont, G., Bergeron, M., Mercier, G., dan Richer-Laflèche, M. 2008. Soil Washing for Metal Removal: A Review Of Physical/Chemical Technologies And Field Applications . Hazard. Mater, 152, pp. 1 – 31.
28
________________________________________________________.
2009.
Metal-Contaminated Soils: Remediation Practices and Treatment Technologies. Pract. Period. Hazard. Toxic Radioact. Waste Manage, 12,
pp. 188-209. Eve, R.-R., 1998. Remediation of Petroleum Contaminated Soils: Biological, Physical, and Chemical Processes. CRC Press, Florida.
FRTR. 2001 . Remediation Technologies Screening Matrix and Reference Guide. Version 4.0 http://www.frtr.gov/matrix2/section4/4_
Goni, S., A. Guerrero and
A. Macías. 2009. Stabilization/Solidification Of
Municipal Solid Waste In Cemented Matrices . 1st Spanish National
Conference on Advances in Materials Recycling and Eco – Energy Madrid, 12-13 November 2009 S05-5. Honders, A., Maas, Th., dan Gadella, J.M. 2003. Ex-Situ Treatment Of Contaminated Soil – The Dutch Experience. Service Centre Ground,
Dutch Ministry of Spatial Planning and the Environment, Da Houten, The Netherlands. ITRC, 2005. Technical and Regulatory Guidance for In Situ Chemical Oxidation of Contaminated Soil and Groundwater . ITRC, ISCO
Team, Washington, DC. Khan, F.I., Husain, T., dan Hejazi, R. 2004. An Overview And Analysis Of Site Remediation Technologies. Environmental Management, 71, pp. 95 –
122. Khodadoust, A.P., Reddy, K.R., Maturi, K., 2005. Effect of Different Extraction Agents On Metal and Organic Contaminant Removal From A Field Soil. Hazard. Mater, 117, pp. 15-24.
29
Laforest,
Guylaine,
Josée
Duchesne.
2008.
Investigation
of
stabilization/solidification for treatment of electric arc furnace dust: Dynamic leaching of monolithic specimens. Cement and Concrete
Research. 37 (2007) 1639 – 1646. Lo, I.M.C., Tanboonchuy, V., Yan, D.Y.S., Grisdanurak, N., dan Liao, C.H. 2012. A Hybrid Approach for Pahs and Metals Removal from FieldContaminated Sediment Using Activated Persulfate Oxidation Coupled with Chemical-Enhanced Washing. Water Air Soil Poll., 223,
pp. 4801-4811. Marinković, Slobodanka, Aleksandra Kostić-Pulek, Svetlana Popov. 2003. Solidification/Stabilization of Power Plants Wastes- Potential Water Pollutants. Faculty of Mining and Geology. The University of Belgrade.
Belgrade, Serbia and Montenegro.
Meegoda, Jay N.; A. S. Ezeldin; Hsai-Yang Fang; and Hilary I. Inyang. 2003. Waste Immobilization Technologies. Practice Periodical Of Hazardous,
Toxic, And Radioactive Waste Management/January 2003. Qian G.R., J.Shi, Y.L. Cao,Y.F.Xu, P.C. Chui. 2008. Properties of MSW fly ash – calcium
sulfoaluminate
cement
matrix
and
stabilization/solidification on heavy metals . Journal of Hazardous
Materials 152 (2008) 196 – 203 Robles-González, I.V., Ríos-Leal, E., Sastre-Conde, I., Fava, F., RinderknechtSeijas, N., Poggi-Varaldo, H.M., 2012. Slurry Bioreactors with Simultaneous Electron Acceptors For Bioremediation of An Agricultural Soil Polluted with Lindane. Process Biochem, 47 (11),
pp. 1640 – 1648 Simangunsong,Y. 2009 . Evaluasi Tingkat Pencemaran Tanah Oleh Beberapa Logam Berat Di Desa Tanjung Morawa-B Kecamatan Tanjung
30
Morawa Kabupaten Deli Serdang . Jurusan Ilmu Tanah Universitas
Sumatra Utara. Undang-Undang Repulik Indonesia. 1982.
Ketentuan-Ketentuan
Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup No.4 Tahun 1982.
Urum, K., Pekdemir, T., dan Gopur, M.. 2003. Optimum Conditions for Washing of Crude Oil-Contaminated Soil with Biosurfactant Solutions. Process Safety and Environmental Protection: Transactions of
the Institution of Chemical Engineers, Part B 81(3), pp. 203 – 209. Usman, M., Hanna, K., dan Haderleina, S. 2016. Fenton Oxidation to Remediate Pahs In Contaminated Soils: A Critical Review Of Major Limitations
And
Counter-Strategies .
Science
of
the
Total
Environment, 569 – 570, pp. 179 – 190. Voglar, Grega E., Domen Lestan. 2010. Solidification/stabilisation of metals contaminated industrial soil from former Zn smelter in Celje, Slovenia, using cement as a hydraulic binder. Journal of Hazardous Materials 178 (2010) 926 – 933.
Wang, L., Daniel, C.W., Poon S. C. 2014. Green Remediation and Recycling of Contaminated
Sediment
by
Waste-incorporate
of
Stabilization/Solidification. Chemosphere.
Wibisono, A., 2016. Pencemaran Tanah. Jurusan Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Yoo, J-C., Lee, C., Lee, J-S., dan Baek, K. 2016. Simultaneous Application Of Chemical Oxidation and Extraction Processes Is Effective At Remediating Soil Co-Contaminated With Petroleum and Heavy Metals. Environmental Management, pp. 1-6.
31