D sen Pengampu Pengampu : JAYA JAYA MIHARJA MIHARJA MSI Di Susun Oleh Kelompok 5 Nama Mahas swa
NIM
ILHAM RIZK
2016.103 01.1.3339
ISNUL HAKI
2016.103 01.1.3323
SAIBUN
2016.103.01.1.3
Jurusan : PAI Smester : II ENDIDIKAN AGAMA ISLAM NURUL HAKIM KEDIRI INSTITUT AGAMA ISLAM NURUL HAKI 2017
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI……………………………………………………………………… i BAB I PENDAHULUAN…………………………… PENDAHULUAN………………………………………………………… …………………………… 1 A. Latar Belakang………...……………………………… Belakang………...……………………………………………… ……………… 1 B. Rumusan Masalah…………………………… ………………………...1 BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………… PEMBAHASAN………………………………………………………….... 2 A. Pengertian MUTLAQ dan MUQOYYD…………….………………… MUQOYYD…………….………………… 2 B. Kaidah Mutlaq dan Muqayyad…………………………………………. 4 C. Macem-Macem Mutlaq dan Muqayyad setatus hukum masing-masing.. 7 D. Membawa hukum Mutlaq kepada Muqayyad…………………………..7 E. Ketentuan hukumnya sendiri-sendiri tidak bisa dijadikan satu…………8 BAB III PENUTUP…………………………………… PENUTUP………………………………………………………………. …………………………. 9 3.1 Kesimpulan……………………………… Kesimpulan…………………………………………………………….. …………………………….. 9 3.2 Saran…………………………………… Saran…………………………………………………………………… ……………………………… 9 DAFTAR PUSTAKA…………………………… PUSTAKA…………………………………………………………… ………………………………....10 ....10
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Didalam pembahasan ushul fiqh merupakan kaidah yang penting untuk mempelajari ilmu fiqh, banyak topik-topik yang menjadi bahasan dalam ilmu ushul fiqh seperti: amar, nahi, ‘am, khas, mujmal, mutlak, muqayyad dan lain sebagainya. Di dalam pembahasan tentang mutlak dan muqayyad merupakan hal yang paling terpenting untuk dijelaskan karena seseorang yang tidak mengerti akan perbedaan dari masing-masing keduanya sehingga seseorang yang belajar ilmu fiqh dan dia tidak mengerti akan perbedaan dari mutlak dan muqayyad akan terjadi kesalahpahaman dalam mengartikansebuah ayat atau kitab lainnya. Hukum lafadz mutlak dan muqayyad merupakan pembahasan yang sangat penting seperti halnya seseorang yang memahami hadis yang berbunyi “sesesorang yang membunuh orang mukmin secara tidak sengaja maka dia harus memerdekakan hamba sahaya” di hadis ini banyak orang yang keliru pemahaman karena dia tidak memahami makna dari mutlak dan muqayyad. Sehingga mereka mereka memahami hamba sahaya yang mutlak artinya baik hamba yang kafir atau yang islam, sebenarnya pada keterangan tersebut di batasi artinya hamba sahaya yang muslim. Dan didalam pembahasan ushul fiqh yang banyak terjadi kesalahpahaman itu terletak pada pembahasan mutlak dan muqayyad. Memang pembahasan tersebut sangat sulit s ulit sehingga seseorang dalam memahami ayat tidak cukup memahami secara dhahir saja. akan tetapi harusmengetahui tentang mutlat dan muqayyad atau memahami tafsiran ayat tersebut. B. Rumusan Masalah 1. Pengertian Mutlaq Dan Muqayyad 2. Kaidah Mutlaq Dan Muqayyad 3. Macam- Macam Mutlak Dan Muqayad Dan Sestatus Hukum Masing-Maisng 4. Membawa Hukum Mutlaq Kepada Muqayyad 5. Ketentuan Hukumnya Sendiri-Sendiri Tidak Bisa Dijadikan Satu.
BAB II PEMBAHASAN MUTLAQ DAN MUQOYYAD
1. A. Pengertian Mutlaq menurut ushul fiqih adalah suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya. Misalnya: kata “meja”, “rumah”, “jalan”, kata-kata ini memiliki makna mutlak karena secara makna kata-kata tersebut telah menunjuk pada pengertian makna tertentu yang telah kita pahami,Beberapa pendapat para ualam tentang mutlak dan muqayyad: 1. Menurut Khudhari Beik, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang mencakup menc akup tanpa ikatan yang terpisah secara lafdzi. l afdzi. 2. Menurut Abu Zahrah, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap maudhu’ nya nya tanpa memandang kepada satu, banyak, atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa apa adanya. 3. Menurut Ibnu Subki memberikan definisi bahwa mutlaq adalah lafadz yang memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ikatan i katan apa-apa. Munurut bahasa yaitu tidak terikat sedangkan muqayyad kebalikan dari mutlak. Sedangkan menurut istilah adalah suatau kata yang menunjukan suatu materi dengan tanpa ikatan. ikatan Mutlaq . dan Muqayad itu sama dengan ‘am dan Khasa. Mutlaq adalah Lafaz yang menunjukan suatu hakikat tanpa suatu qayid (pembatas). Jadi ia hanya menunjukan kepada suatu individu tidak tertentu dari hakikat tersebut. Lapad mutlaq ini pada umumnya berbentuk nakirah dalam konteks kalimat positif. Misalnya lapadz ã7pt7s%u (seorang budak ) dalam ayat: ã Ì óstGsù 7pt7s%u (maka [wajib atasnya] memerdekakan seorang budak) ……(Al-Mujadalah ……(Al-Mujadalah [58]: 3). Peryataan ini di liputi pembebasan seorang budak yang mencakup segala jenis budak, baiki yang mukmin atau yang kafir. Lapdz “raqabah” adalah nakiroh dalam konteks positif. Karena itu pengertian ayat ini adalah, wajib atasnya memerdekakan seorang budak dengan jenis apapun juga. Juga seperti ucapan Nabi: “Tak ada pernikahan tanpa seorang wali.” (Hadist Ahmad dan empat imam). “Wali” di sini adalah mutlak, meliputi semua jenis wali baik yang berakal atau tidak. Oleh karena itu Ulama Ushul mendefinisikan mutlak dengan “suatu ungkapan dengan isim nakirah dalam kontek positif. Pengecualin isim nakirah dalam konteks negatif (nafi) karna nakirah dalam konteks negatif memeliki arti umum menyangkup semua individu yang termasuik jenisnya. Muqayad adalah lapadz yang menunjukan suatu hakikat dengan qayid (batasan), seperti kata-
kata “raqabah” yang dibatasi dengan “iman” dalam ayat: ã Ì óstGsù 7pt6s%u 7poYÏB÷s B (maka [henedaklah pembunuh itu] memerdekakan budak yang beriman). An Nisa’ [4]: 92). Para ulam berkata:”kapan saja ditemukan suatu dalil yang mengikat (menjadikan muqayad),maka yang mutlaq itu ditafsirkan denganya. Dan jika tidak ditemukan, maka juga
tidak. Tetapi yang mutlaq itu tetap pada kemutlakanya. Dan yang muqayad tetap pada maknanya. Karna Allah menurunkan firman-Nya kepada kita dengan Bahasa Arab.
B.
Kaidah Mutlaq dan Mukoyyad
Jika tempat pengambunganya hanya satu maka wajib di taqyidd. Jika tempat pengambungan lebih dari satu maka tidak wajib ditaqyyid. Apabila nash hukum datang dengan bentuk mutlaq dan pada sisi yang lain dengan bentuk muqayyad , maka menurut ulama ushul ada empat kaidah di dalamnya, yaitu: 1. Jika sebab dan hukum yang ada dalam mutlaq sama dengan sebab dan hukum yang ada dalam muqayyad. Maka dalam hal ini hukum yang ditimbulkan oleh ayat yang mutlaq tadi harus ditarik atau dibawa kepada hukum ayat yang berbentuk muqayyad. Contoh: a.
Ayat mutlaq:
Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:
(3:
)
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah daging babi…”
Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa terkecuali, karena lafadz “dam” (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal lain yang mengikatnya. Adapun sebab ayat ini ialah “dam” (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya bagi siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram. b. Ayat Muqayyad: Surat al-An’am ayat 145, dalam masalah yang sama yaitu “dam” (darah) yang diharamkan.
(145:
)
“ Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir”.
Lafadz “dam” (darah) dalam ayat di atas berbentuk muqayyad, karena diikuti oleh oleh qarinah atau qayid yaitu lafadz “masfuhan” (mengalir). Oleh karena itu darah yang diharamkan menurut ayat ini ialah “dam-an masfuhan” (darah yang mengalir). Sebab dan hukum antara ayat al-An’am ayat 145 ini dengan surat al-Maidah ayat 3 adalah sama yaitu masalah darah yang diharamkan. Berdasarkan kaidah bahwa “Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang mutlak sama dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka pelaksanaan hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad.” Dengan demikian hukum
yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah al-Maidah yakni darah yang yang diharamkan harus dipahami darah yang mengalir sebagaimana surat al-An’am ayat 145. 2. Jika sebab yang ada dalam mutlaq dan muqayyad sama sama tetapi hukum keduanya berbeda, maka dalam hal ini yang mutlaq tidak bisa ditarik kepada muqayyad. Contoh: a.
Ayat mutlaq :
Surat al-Maidah ayat 6 tentang tayammum, yaitu:
(6:
).…
.…
“Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah…”
Lafadz “yad” (tangan) dalam ayat di atas berbentuk mutlaq karena tidak ada lafadz lain yang mengikat lafadz “yad” (tangan). Dengan demikian kesimpulan dari ayat ini ialah keharusan menyapukan tanah ke muka dan kedua tangan, baik itu hingga pergelangan tangan atau sampai siku, tidak ada masalah. Kecuali jika di sana ada dalil lain seperti hadits yang menerangkan tata cara tayammum oleh Nabi yang memberikan contoh mengusap tangan hanya sampai pergelangan tangan. b.
Ayat Muqayyad:
Surat al-Maidah ayat 6 tentang wudhu’, yaitu:
(6:
)…
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…”
Lafadz “yad” (tangan) dalam ayat ini berbentuk muqayyad karena ada lafadz yang mengikatnya yaitu “ilal marafiqi” (sampai dengan siku). Maka berdasarkan ayat tersebut mencuci tangan harus sampai siku. Sebab dari ayat di atas adalah sama dengan ayat mutlaq yang sebelumnya yaitu keharusan bersuci untuk mendirikan shalat, akan tetapi hukumnya berbeda. Ayat mutlaq sebelumnya menerangkan keharusan menyapu dengan tanah, sedang ayat muqayyad menerangkan menerangkan keharusan mencuci dengan air. Maka ketentuan hukum yang ada pada ayat mutlaq tidak bisa ditarik kepada yang muqayyad . Artinya, ketentuan menyapu tangan dengan tanah tidak bisa dipahami sampai siku, sebagaimana ketentuan wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku. Dengan demikian ayat mutlaq dan muqayyad berjalan sesuai dengan ketentuan hukumnya sendiri-sendiri tidak bisa dijadikan satu. 3. Jika sebab yang ada pada mutlaq dan muqayyad berbeda, tetapi hukum keduanya sama, maka yang mutlaq tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad. Contoh ; a.
Mutlaq
Surat al-Mujadalah ayat 3 tentang kafarah dzihar yang yang dilakukan seorang suami kepada istrinya.
(3:
)…
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.”
Lafadz “raqabah” (hamba sahaya) dalam masalah dzihar ini ini berbentuk mutlaq karena tidak ada lafadz yang mengikatnya. Sehingga seorang suami yang sudah terlanjur men-dzihar istrinya istrinya dan ingin ditarik ucapannya, maka sebelum mencampurinya harus memerdekan hamba sahaya atau budak, baik yang beriman ataupun ataupu n yang tidak. b.
Muqayyad Surat an-Nisa’ ayat 92 tentang kafarah qatl (pembunuhan) (pembunuhan) yang tidak sengaja, yaitu
:
(92:
)
“dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.”
Lafadz “raqabah” (hamba sahaya) dalam ayat ini berbentuk muqayyad dengan diikat lafadz “mukminah” (beriman), maka hukumnya ialah keharusan untuk memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Karena sebabnya berbeda, satu masalah kafarah dzihar dan yang lain kafarah
qatl , walaupun hukumnya sama-sama memerdekakan hamba sahaya, namun tetap diamalkan sesuai dengan ketentuannya masing-masing. Ayat mutlaq berjalan berdasarkan kemutlaq-annya, sedang yang muqayyad berjalan berjalan berdasarkan kemuqayyadannya.
4. Jika sebab dan hukum yang yang ada pada mutlaq berbeda dengan sebab dan hukum yang ada pada muqayyad, maka yang mutlak tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad . Contoh: a.
Mutlaq
Masalah had pencurian pencurian yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 38 yang berbunyi :
(38:
)
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.”
Lafadz “yad” dalam ayat di atas berbentuk mutlaq, yakni keharusan memotong tangan tanpa diberi batasan sampai daerah mana dari tangan yang harus dipotong. b.
Muqayyad
Masalah wudhu’ yang dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 6, yaitu:
(6:
)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.”
Lafadz “yad” dalam ayat wudhu’ ini berbentuk muqayyad karena diikat dengan lafadz “ilal marafiqi” (sampai dengan siku). Ketentuannya hukumnya adalah kewajiban mencuci tangan sampai siku. Dari dua ayat di atas terdapat lafadz yang sama yaitu lafadz “yad”. Ayat pertama berbentuk mutlaq, sedangkan yang kedua berbentuk muqayyad. Keduanya mempunyai sebab dan hukum yang berbeda. Yang mutlaq berkenaan dengan pencurian yang hukumannya harus potong tangan. Sedangkan yang muqayyad berkenaan masalah wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku. Dari sini dapat disimpulkan bahwa yang mutlaq tidak bisa dipahami menurut yang muqayyad.
1. Macam- macam Mutlak dan Muqayad dan Setatus Hukum Masing-maisng Mutlak dan Muqayad memiliki bentuk aqliyah dan sebagai realitas bentukya kami kemukakan
berikut ini: 1. Sebab dan hukumnya sama, sepertu “puasa” untuk kafarah sumpah. Lpadz itu dalam qara’ah mutawatir yang tgerdapat dalam mushaf dan di ungkapkan secara mutlak: (Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah [dan kamu langgar])Dan ia muqayyad di batasi denag tatabu (berturut turut) dalam qira’ah Ibn Mas’ud ( Maka Maka kafarahnya puasa selam tiga hari berturut-turut). Dalam hal seprti ini, pengertian lapadz yang mutlaq dibawa kepada lapadz yang muqayyad (dengan arti ) yang di maksud lapadz mutlaq adalah sama dengan yang di maksud dengan lapadz muqayyad, karana sebab yang satu tidak akan menghendaki dua hal yang bertentangan.
Oleh karna itu seglong berpendapat bahwa puasa atiga hari tersebut harus di lakukan tiga hari berturu-turut.Maka dalam kasusu ini dipandang tidak ada mukoyyas hyang karana nya lapadz mutlaq dibawa kepadnya. 1. Sebab sama namun hukum bebeda, seperti kata “tangan” dalam wudhu dan tayamum. Membasuh tangan dalam wudhu di batasi sampai dengan siku Allah berfirman: ( Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku).
(Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu).
Dalam hal ada yang berependapat lapadz yang mutlaq tidak di bawa kepada lapad muqayyad karena berlainan hukumnya. Namun Al-Ghazali menukil dari mayoritas ulam Syafi’i bahwa mutlaq disi dibawa kepada muqayyad mengingat “sebab” nya sama sekalipun berbeda hukumnya. 1. Membawa Hukum Mutlaq kepada Muqayyad Apabila nash hukum datang dengan bentuk mutlaq dan pada sisi yang lain dengan bentuk muqayyad , maka menurut ulama ushul ada empat kaidah di dalamnya, yaitu: 1. Jika sebab dan hukum yang ada dalam mutlaq sama dengan sebab dan hukum yang ada dalam muqayyad. Maka dalam hal ini ini hukum yang ditimbulkan oleh ayat yang mutlaq tadi harus ditarik atau dibawa kepada hukum ayat yang berbentuk muqayyad. Contoh:
a)
Ayat mutlaq:
Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:
(3:
)
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah daging babi…”
Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa terkecuali, karena lafadz “dam” (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal lain yang mengikatnya. Adapun sebab ayat ini ialah “dam” (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya bagi siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram. b)
Ayat Muqayyad:
Surat al-An’am ayat 145, dalam masalah yang sama yaitu “dam” (darah) yang diharamkan.
(145:
)
“ Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir”.
Lafadz “dam” (darah) dalam ayat di atas berbentuk muqayyad, karena diikuti oleh oleh qarinah atau qayid yaitu lafadz “masfuhan” (mengalir). Oleh karena itu darah yang diharamkan menurut ayat ini ialah “dam-an masfuhan” (darah yang mengalir). Sebab dan hukum antara ayat al-An’am ayat 145 ini dengan surat al-Maidah ayat 3 adalah sama yaitu masalah darah yang diharamkan. Berdasarkan kaidah bahwa “Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang mutlak sama dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka pelaksanaan hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad.” Dengan demikian hukum
yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah al-Maidah yakni darah yang yang diharamkan harus dipahami darah yang mengalir sebagaimana surat al-An’am ayat 145. v Ayat mutlaq: Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:
(3:
)
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah daging babi…”
Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa terkecuali, karena lafadz “dam” (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal lain yang mengikatnya. Adapun sebab ayat ini ialah “dam” (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya bagi siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram. v Ayat Muqayyad: Surat al-An’am ayat 145, dalam masalah yang sama yaitu “dam” (darah) yang diharamkan.
(145:
)
“ Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir”.
Lafadz “dam” (darah) dalam ayat di atas berbentuk muqayyad, karena diikuti oleh oleh qarinah atau qayid yaitu lafadz “masfuhan” (mengalir). Oleh karena itu darah yang diharamkan menurut ayat ini ialah “dam-an masfuhan” (darah yang mengalir). Sebab dan hukum antara ayat al-An’am ayat 145 ini dengan surat al-Maidah ayat 3 adalah sama yaitu masalah darah yang diharamkan. Berdasarkan kaidah bahwa “Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang mutlak sama dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka pelaksanaan hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad.” Dengan demikian hukum
yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah al-Maidah yakni darah yang yang diharamkan harus dipahami darah yang mengalir sebagaimana surat al-An’am ayat 145. ketentuan hukumnya sendiri-sendiri tidak bisa dijadikan satu. Ayat mutlaq: Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:
(3:
)
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah daging babi…”
Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa terkecuali, karena lafadz “dam” (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal lain yang mengikatnya. Adapun sebab ayat ini ialah “dam” (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya bagi siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram. Ayat Muqayyad: Surat al-An’am ayat 145, dalam masalah yang sama yaitu “dam” (darah) yang diharamkan.
(145:
)
“ Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir”.
Lafadz “dam” (darah) dalam ayat di atas berbentuk muqayyad, karena diikuti oleh oleh qarinah atau qayid yaitu lafadz “masfuhan” (mengalir). Oleh karena itu darah yang diharamkan menurut ayat ini ialah “dam-an masfuhan” (darah yang mengalir). Sebab dan hukum antara ayat al-An’am ayat 145 ini dengan surat al-Maidah ayat 3 adalah sama yaitu masalah darah yang diharamkan. Berdasarkan kaidah bahwa “Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang mutlak sama dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka pelaksanaan hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad.” Dengan demikian hukum
yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah al-Maidah yakni darah yang yang diharamkan harus dipahami darah yang mengalir sebagaimana surat al-An’am ayat 145.
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN Mutlaq adalah suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya. Contoh: lafadz ” hamba sahaya/ raqabah ”. Muqayyad adalah lafadz yang menunjukan pada makna tertentu dengan batasan kata tertentu. Contoh: ” hamba sahaya yang mukmin/ muk min/ raqabah mu’minah” yang berarti budak mukmin bukan budak lainnya.. Kaidah Mutlaq adalah Lafadz mutlaq tetap dalam kemutlakannya hingga ada dalil yang membatasinya dari kemutlakan itu, sedangkan Kaidah Muqayyad adalah Wajib mengerjakan yang Muqayyad kecuali jika ada dalil yang membatalkannya. B.
SARAN
Sebagai mahasiswa diharapkan mampu memahami apa itu Mutlaq dan Muqoyyad, Didalam pembuatan makalah ini tentunya penulis memiliki banyak kekeliruan yang mungkin tidak disadari oleh penulis. Dari itu. Diharapkan kepada seluruh pembaca, jika menemukan kekeliruan dalam makalah yang kami buat ini, maka penulis berharap pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun, supaya penulis tidak lagi melakukan kesalahan yang sama. Dan demi mewujudkan karya-karya ilmiah yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA Al-Quran al-Karim Al-Mujiz fi Ushul Fiqh ma’a Mu’jam Ushul Ushul Fiqh oleh Muhammad Ubaidillah al-Is’adiy
Imam Jalaludin As –Syuthi,Samudra Ulumul Qur’an,Jilid 3, Surabaya ,Pt Bina Ilmu, 2007, hlm.129 Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islami. Bandung :AlMa’rif, 1993. Manna Kholil Al-Qattan, Studi Ilmu Quran,Bogor.Pustaka Lentera.2006. v http//:http://www.diyya.wordpress.com/ushulfiqh/html http//:http://www.diyya.wordpress.com/ushulfiqh/html..