BAB I PENDAHULUAN
Efek luminisensi dapat muncul pada suatu garam logam tertentu. Luminisensi adalah suatu peristiwa terpancarnya cahaya dari sebuah bahan yang sebelumnya terkena radiasi. Efek luminisensi dapat dimanfaatkan dalam bidang radiologi yaitu untuk menambah respon fotografik pada film. Dalam hal ini bahan fluoresensi digunakan oleh lembar penguat yang ditempatkan secara kontak film dalam suatu wadah yang disebut kaset. Lembar penguat ini berfungsi untuk mengubah berkas sinar-X menjadi cahaya tampak dan akan berinteraksi dengan film membentuk bayangan laten. Kecepatan lembar penguat adalah kemampuan lembar penguat dalam mengubah energi sinar-X menjadi cahaya tampak. Kecepatan lembar penguat terbagi kedalam tiga tingkatan yaitu kecepatan rendah, kecepatan sedang,dan kecepatan tinggi. Pada kecepatan rendah jumlah penyinaran yang dibutuhkan banyak tetapi menghasilkan detil yang tinggi, pada kecepatan sedang diperoleh perbandingan yang baik antara kecepatan dan ketajaman. Pada kecepatan tinggi jumlah penyinaran yang diperlukan sedikit tetapi detil yang dihasilkan kurang, namun dapat digunakan dalam pemeriksaan radiografi dengan resiko ketidaktajaman akibat gerakan tinggi. Oleh karena itu pengaruh kecepatan penguatan lembar penguat untuk ketiga jenis yaitu kecepatan rendah, kecepatan sedang dan kecepatan tinggi terhadap densitas amat penting untuk diteliti. Adapun dalam penelitian ini dibatasi pada jenis kecepatan lembar penguat pada radiodiagnostik yang berbeda terhadap densitas. Densitas yang hampir sama pada lembar penguat jenis kecepatan rendah, sedang dan tinggi
1
BAB II PEMBAHASAN Luminisensi merupakan peristiwa penyerapan energi radiasi yang diikuti dengan terjadinya pancaran cahaya tampak dari suatu bahan. Peristiwa ini terjadi karena adanya elektron-elektron yang menyerap energi radiasi dan berpindah ke orbit yang lebih tinggi, sehingga bahan berada dalam keadaan tereksitasi. Ada 3 tipe dari metode Luminisensi yaitu : fluoresensi, fosforensi, chemiluminisensi. Salah satu jenis dari luminisensi adalah fotoluminisensi dimana suatu molekul yang pada permulaanya mengabsorbsi cahaya ultraviolet untuk mencapai suatu keadaan tereksitasi dan kemudian memancarkan cahaya ultraviolet atau cahaya tampak pada waktu kembali ketingkat dasar. Emisi dari cahaya ini dapat digambarkan sebagai fluoresensi atau fosforesensi, bergantung pada mekanisme yang mana electron akhirnya kembali kekeadaan dasar. Luminisensi dideteksi menggunakan HPLC dan CE (Capillary Electrophoresis).
2.1 TEORI FLUORESENSI DAN FOSFORESENSI A. FOSFORESENSI Fosforesensi, pemancaran kembali sinar oleh molekul yang telah menyerap energi sinar dalam waktu yang relatif lebih lama (10-4 detik). Jika penyinaran kemudian dihentikan, pemancaran kembali masih dapat berlangsung. Fosforesensi berasal dari transisi antara tingkat-tingkat energi elektronik triplet ke singlet dalam suatu molekul. Fosforesensi dapat menyimpan energi lebih lama, sehingga akan memancarkan cahaya (berpendar) lebih lama dari pada fluorosens. Pada fluorosens, setelah energi yang digunakan untuk mengeksitasi elektron dihilangkan (biasanya berupa sinar UV) maka zat fluorosens tidak akan dapat menyala dalam gelap. Dengan kata lain zat berfluororesensi hanya dapat terlihat menyala apabila dikenai dengan sinar ultraviolet di dalam gelap, dan tidak dapat berpendar ketika sinar ultravioletnya dimatikan. Hal ini berkaitan dengan cepat dan lambatnya elektron kembali ke orbital energi tingkat dasar, semakin cepat elektron kembali ke orbital maka semakin cepat pula hilang berpendarnya. Ditinjau dari ilmu kimia, suatu zat bisa menyala dalam gelap diawali dari akibat adanya eksitasi elektron yang terjadi di dalam zat tersebut karena menerima energi dari 2
luar (seperti terkena gelombang cahaya), kemudian saat elektronnya kembali ke orbital dasarnya, terjadi pelepasan energinya kembali (emisi) dalam bentuk gelombang yang tampak berupa cahaya/pendar. Proses yang terjadi pada zat yang dapat menyala dalam gelap dimulai eksitasi elektron yang melibatkan dua orbital dengan tingkat energi berbeda. Pada saat elektron tereksitasi, elektron berpindah dari orbital berenergi lebih rendah ke orbital yang berenergi lebih tinggi, yang merupakan reaksi yang non-spontan (dibutuhkan sejumlah energi aktivasi untuk menyebabkan sebuah elektron tereksitasi, misalnya terkenanya gelombang cahaya/elektromagnetik dengan energi sejumlah x kJ). Tereksitasinya elektron ini menyebabkan keadaan tidak stabil, sehingga menyebabkan elektron cenderung kembali ke keadaan orbital dasar elektron tersebut. Pada saat elektron yang tereksitasi kembali ke orbital asalnya (yang memiliki energi lebih rendah), energi sejumlah x kJ dilepaskan kembali. Energi yang dilepaskan ini berada dalam bentuk gelombang, yang panjang gelombangnya berada di range visible/tampak (10 nm – 103 nm), sehingga terlihat menyala di dalam gelap. Metode fluoresensi dan fosforesensi melibatkan penyerapan radiasi dan pengemisian radiasi yang umumnya lebih panjang gelombangnya atau lebih rendah energinya. Energi radiasi yang tidak teremisikan dalam bentuk radiasi kemudian diubah menjadi energi termal. Fluorosensi maupun fosforesensi berkaitan dengan perubahan energi vibrasi. Perbedaan antara kedua fenomena tersebut ialah dalam selang waktu antara penyerapan dan emisi. Pada fosforesensi, emisi terjadi pada waktu sekitar 10-3 detik setelah penyerapan sementara fluorosensi lebih cepat terjadi yaitu dalam waktu 10-6 – 10-9 detik setelah penyerapan.
B. FLUORESENSI Fluoresensi adalah pendaran sinar pada saat suatu zat dikenai cahaya. Hal ini karena sifat butir Kristal suatu zat jika mendapat rangsangan berupa cahaya akan langsung memancarkan cahayanya sendiri dan berhenti memancar jika rangsangan itu dihilangkan. Contoh rambu-rambu lalu lintas, beberapa jenis cat, dan stiker yang bersifat fluoresensi. Fluorensensi berarti juga kelihatan bersinar bila kena sinar.
3
Fluoresensi adalah proses pemancaran radiasi cahaya oleh suatu materi setelah tereksitasi oleh berkas cahaya berenergi tinggi. Emisi cahaya terjadi karena proses absorbsi cahaya oleh atom yang mengakibatkan keadaan atom tereksitasi. Keadaan atom yang tereksitasi akan kembali keadaan semula dengan melepaskan energi yang berupa cahaya (de-eksitasi). Fluoresensi merupakan proses perpindahan tingkat energi dari keadaan atom tereksitasi (S1 atau S2) menuju ke keadaan stabil (ground states). Proses fluoresensi berlangsung kurang lebih 1 nano detik sedangkan proses fosforesensi berlangung lebih lama, sekitar 1 sampai dengan 1000 mili detik. Fluoresensi dapat juga dikatakan sebagai emisi cahaya oleh suatu zat yang telah menyerap cahaya atau radiasielektromagnetik lain dari panjang gelombang yang berbeda. Dalam beberapa kasus, emisicahaya memiliki panjang gelombang yang lebih panjang, oleh karena itu energinya lebihrendah, dibandingkan dengan radiasi yang diserap. Namun, ketika radiasi elektromagnetik yang diserap sangat ketat, sangat mungkin bagi satu electron untuk menyerap dua foton, penyerapan dua foton ini dapat mengakibatkan emisi radiasi memiliki panjang gelombangyang lebih pendek daripada serapan radiasi.
2.2 Keadaan Eksitasi Menghasilkan Fluoresensi Dan Fosforesensi Elektron Spin Prinsip Larangan Pauli menyatakan bahwa tidak ada dua elektron dalam atom yang memiliki satu tempat yang sama dengan empat jumlah kuantum. Hal ini menunjukkan bahwa tidak lebih dari dua elektron yang dapat menempati orbital dan
keduanya harus bertolak
belakang dengan keadaan spin. Dalam keadaan ini, spin dikatakan berpasangan. Karena pasangan spin, sebagian besar molekular memperlihatkan ketiadaan medan magnetik dan disebut bersifat diamagnetik – yaitu tidak ditarik dan ditolak oleh medan magnetic statis. Sebaliknya, radikal bebas yang mengandung elektron yang tidak berpasangan memiliki momen magnetik dan tertarik pada medan magnetik; radikal bebas dikatakan bersifat paramagnetik.
4
Keadaan Eksitasi Singlet/Triplet Keadaan elektronik molekular dimana semua spin elektron berpasangan disebut keadaan singlet, dan tidak ada pembelahan tingkat energi elektronik yang terjadi ketika molekul itu terpapar pada medan magnetik. Keadaan dasar untuk radikal bebas, pada sisi lain, adalah keadaan doublet karena elektron ganjil dapat mengasumsikan dua orientasi dalam medan magnetik yang mengarahkan energi berbeda pada sistem. Ketika salah satu pasangan elektron dari molekul dieksitasi pada level energi yang tinggi, maka baik singlet atau triplet akan terbentuk. Dalam kondisi singlet yang dieksitasi, spin dari elektron yang dipromosikan masih berpasangan dengan elektron dasar. Dalam kondisi triplet, spin dari dua elektron menjadi tidak berpasangan dan dengan demikian harus disejajarkan. Keadan ini dapat ditujukkan sebagai berikut dimana tanda panah menunjukkan arahnya. Nomenklatur singlet, doublet dan triplet diturunkan dari pertimbangan multipolisitas spektroskopik di dalam perlunya ketiadaan pemikiran yang ada. Perlu dicatat bahwa keadaan triplet ini mempunyai energy sedikit lebih rendah dibandingkan dengan keadaan eksitasi singlet. Sifat-sifat molekul dalam triplet yang dieksitasi berbeda secara signifikan dari pada keadaan singlet. Misalnya, molekul adalah paramagnetikd alam kondisi tripolet dan diamagnetik dalam singlet. Waktu rata-rata dari keadaan triplet yang dieksitasi adalah berkisar dari 10-4 hingga beberapa detik, dibandingkan dengan lama rata-rata 10-5 hingga 10-8 s untuk keadaan singlet yang dieksitasi. Eksitasi yang dipengaruhi oleh radiasi dari molekul keadaan dasar hingga pada keadaan triplet yang dieksitasi memiliki probabilitas rendah dan absorpsi puncak terhadap proses yang memiliki beberapa golongan dari besaran yang kurang intensif dibandingkan dengan transisi singlet.
5
Figure 1:
Description of fluorescence origin.
F, fluorescence;
P,
phosphorescence; S, singlet; T, triplet; RD, radiationless deactivation; VR, vibrational relaxation; ISC, intersystem crossing; and E, energy.
Diagram Tingkat Energi untuk Molekul Fotoluminisensi
6
2.3 Proses Deaktivasi 1. Pengendoran vibrasi (vibrational relaxation), merupakan perpindahan energi vibrasi dan molekul yang tereksitasi. Hal ini terjadi akibat kelebihan energi vibrasi yang dimiliki akan segera dilepaskan sebagai akibat tabrakan-tabrakan antara molekul-molekul tersebut dengan molekul-molekul pelarut. Molekul yang tereksitasi kehilangan energi eksitasi vibrasionalnya (lewat tumbukan) menjadi keadaan vibrasional S2 dan terjadi sangat cepat (10-3) detik . 2. Konversi ke dalam (internal conversion), merupakan suatu perpindahan tingkat energi, yang mana suatu molekul akan pindah dari tingkat energi elektronik lebih tinggi ke tingkat elektronik yang lebih redah tanpa pemancaran sinar (S1 S1 atau T2 T1) 3. Konversi ke luar (exsternal conversion), merupakan perpindahan energi dari proses interaksi molekul-molekul lain, tidak ada pemancaran sinar dan energy yang dipindahkan adalah energy elektronik. 4. Lintasan antar sistem (intersystem crossing), merupakan pembalikan arah spin elektron yang tereksitasi, misalnya berubah dari singlet ke triplet atau sebaliknya, dapat mudah terjadi jika tingkat energi vibrasi dari S overlapping dengan tingkat energi vibrasi dari T dan terjadi pada molekul dengan berat molekul tinggi . 5. Fosforesensi, merupakan proses suatu molekul melangsungkan suatu transisi (emisi) dari tingkat triplet ke tingkat dasar dimana Pemancaran sinar dari T1 S0 .Waktunya lebih lama (10-4 detik) . Jika eksitasi dihentikan,fosforisensi masih dapat berlangsung.
2.4 Desain Instrumen Fluorometer Penyaring fotometer suatu alat yang sederhana, carahnya mudah
dilakukan menganalisis
kuantitatif fluorisensi seprti disebutkan sebelumnya, salah satu penyerapan dig unakan untuk membatasi panjang gelombang dari radiasi dan imisi. Umumnya fluorometer padat kasar atau tidak datar dan mudah digunakan. Gambar 15-6 adalah sebuah sekema dari tipe penyaring fluorometer yang memanfaatkan sebuah lampu merkuri untuk eksitasi fluorisensi dan sepasang tabung photomultiplayer. Sumber sinar dekat dibagi dengan sumber kedalam suatu sinar referen dan sinar sampel. Sinar referen dilemahkan oleh aparatur dis jadi intensitas keduanya sama dengan intensitas fluoresensi. Kedua 7
sinar melewati filter utama dengan sinar referensi yang kemudian direfleksikan
ketabung
multiplayer referensi. Sampel beam difokuskan pada sampel dengan sepasang lensa dan menyebabkan emisi fluoresensi radiasi yang dipancarkan melewati filter kedua dan kemudian difokuskan pada tabung multiplayer kedua. Keluaran listrik dari dua transduser dimasukkan kepembagi analog untuk menghitung rasio sampel untuk intensitas referensi, yang berfungsi sebagai fariabel analitis.
Spektrofluorometer Beberapa instrumen dari produk yang ditawarkan spektrofluorometer mampu memberikan eksitasi dan spektrum emisi. Desain optik dari salah satunya. yang memperkerjakan dua greting monokromator, yang dilihatkan pada gambar 15-7. Radiasi dari monokromator pertama adalah split bagian tenggan melewati referensi fluorensensi dan bagia lain untuk sampel. Dia menghasilkan radiasi fluoressensi. Setelah didespersikan oleh monokromator kedua, sehingga dideteksi oleh photomultiplayer kedua.
Gambar 15-6 A typical Fluorometer
8
Gambar 15-7 A Spectrofluorometer
Suatu instrumen seperti yang diperlihatkan pada gambar 15-7. Menghasilkan sinar yang sempurna untuk analisis kuantitatif, sinar emisi tidak akan diperoleh, oleh karena itu perlu dibandingkan dengan baik dengan sinar dari instrumen lainnya karena output keluaran tidak hanya tergantung intensitas fluoresen tetati juga karakteristik lampu, transduser, dan monokromator. semua karakteristik yang bertukar dengan panjang gelombang ddan berbeda dari instrumen ke instrumen. Sejumlah metode telah dikembangkan untuk memperoleh suatu sinar, yang mana adlah benar spektrum sinar fluoresen dibebaskan dari efek instrumental; banyak yang lebih cangih instrumen komersial yang menyediakan suatu arti untuk memperoleh spekta dengan benar.
Spektrofluorometer didasarkan pada Trasduser Array Prinsip yang lebih cangih diilustrasikan pada gambar 15-8a. Disini panjang dari sel sampel disinari dengan sinar eksitasi yang telah menghamburkan sepanjang sepanjang garis x y dengan suatu monokromator yag telah berotasi 90o berkenaan dengan celah keluarnya. Stranduser adalah suatu alat demisional cat caple yang memperlihatkan penghamburan sinar radiasi pada garis x dan y dalam. gambar 15-8b memperlihatkan sinar eksitasi untuk suatu mengeksitasi atau menduga suatu molekul. Gambar 15-8c memperlihatkan seluruh sinar luminance untuk senyawa ini, yang mana proyeksi isometrik, kadang-kadang disebut stack plot, dari keseluruhan sinar eksitasi dan emisi 9
dari seluruh senya yang diperoleh dengan pengaturan yang diperlihatkan pada gambar 15-8a. seluruh sinar dari jenis ini bisa diperoleh dalam suatu detik persekon atau lebih sedikit dan dari yang tertentu digunakan untuk analisis campuran senyawa dari fluoresen.
(a)
(c) Gambar 15-8 Sensor Fiber Optic Fluorescence Serat optik telah digunakan untuk menunjukkan bahwa beberapa analisis fluoresensi dapat dilakukan di berbagai daerah jauh dari sumber dan detektor. Di sini, radiasi dari sumber laser dibawa melalui serat optik dan fluoresensi dalam larutan sampel. Emisi fluoresensi kemudian kembali melalui serat yang sama ke detektor untuk pengukuran. Penerapan jenis perangkat telah diperpanjang untuk
analisis non fluorescing dengan memperbaiki bahan
indikator fluorescing ke akhir fiber tersebut..
2.5 Phosphorimeters Instrumen yang telah digunakan untuk mempelajari fosforesensi mirip dengan desain fluorometers dan spectrofluorometers hanya dianggap kecuali bahwa dua komponen tambahan wajib. Yang pertama adalah sebuah perangkat yang bergantian akan menyinari sampel dan setelah waktu
penundaan yang tepat, mengukur intensitas fosforisensi. Waktu penundaan
diperlukan untuk membedakan antara emisi fosforesensi berumur panjang dan emisi fluoresensi 10
hidup pendek, yang keduanya akan berasal dari sampel yang sama. Kedua instrumen mekanik dan elektronik memiliki aksesoris untuk pengukuran fosforisensi. Contoh dari satu jenis alat mekanis ditunjukkan pada Gambar 15-9.
Gambar 15-9 Biasanya, pengukuran fosforisensi dilakukan pada suhu nitrogen cair untuk mencegah degradasi output dengan penonaktifan tumbukan. Ini, seperti yang ditunjukkan pada gambar 159, labu Dewar dengan jendela kuarsa biasanya merupakan bagian dari phosphorimeter. Pada suhu yang digunakan, analisis ada sebagai zat terlarut dalam gelas atau pelarut padat. Suatu pelarut yang umum untuk tujuan ini adalah campuran dari dietileter, pentana, dan etanol.
2.6 Variable-variabel yang mempengaruhi fluoresensi dan fosforesensi yaitu : 1 Hasil kuantum (efisiensi kuantum, quantum yield) Merupakan bilangan yang menyatakan perbandingan antara jumlah molekul yang berfluoresensi terhadap jumlah total molekul yang tereksitasi. Besarnya quantum (ɸ) adalah : 0 ≤ ɸ ≤ 1. Nilai ɸ diharapkan adlah mendekati 1, yang berarti efisiensi fluoresensi sangat tinggi.
2.Pengaruh kekakuan struktur Fluoresensi dapat terjadi dengan baik jika molekul-molekul memiliki struktur yang kaku (rigid). Contoh fluoren yang memiliki efisiensi kuantum (ɸ) yang besar (mendekati 1) karena
11
adanya gugus metilen, dibandingkan dengan binefil yang memiliki efisiensi kuantum yang lebih kecil (sekitar 0,2).
3 Pengaruh suhu Bila suhu makin tinggi maka efisiensi kuantum fluoresensi makin berkurang. Hal ini disebabkan pada suhu yang lebih tinggi, tabrakan-tabrakan antar molekul atau tabrakan molekul dengan pelarut menjadi lebih sering, yang mana pada peristiwa tabrakan, kelebihan energy molekul yang tereksitasi dilepaskan ke molekup pelarut.jadi semakin tinggi suhu maka terjadinya konversi ke luar besar, akibatnya efisiensi kuantum berkurang.
4. Pengaruh pelarut Ada 2 hal yang perlu diperhatikan terkait dengan pengaruh pelarut pada fluoresensi, yaitu: a.
Jika pelarut makin polar maka intensitas fluoresensi makin besar.
b.
Jika pelarut mengandung logam berat (Br, I atau senyawa lain), maka interaksi antara
gerakan spin dengan gerakan orbital elektron-elektron ikatan lebih banyak terjadi dan hal tersebut dapat memperbesar laju lintasan antara sistem atau mempermudah pembentukan triplet sehinga kebolehjadian fluorosensi lebih kecil, sedangkan kebolehjadian fosforesensi menjadi lebih besar
5. Pengaruh ph pH berpengaruh pada letak keseimbangan antar bentuk terionisasi dan bentuk tak terionisasi. Sifat fluorosensi dari kedua bentuk itu berbeda. Sebagai contoh, fenol dalam suasana asam akan berada dalam bentuk molekul utuh dengan panjang gelombang antara 285-365 nm dan nilai ε = 18 M-1 cm-1 , sementara jika dalam suasana basa maka fenol akan terionisasi membentuk ion fenolat yang mempunyai panjang gelombang antara 310-400 nm dan ε = 10 M-1 cm-1 .
6.
Pengaruh oksigen terlarut Adanya oksigen akan memperkecil intensitas fluoresensi. Hal ini disebabkan oleh
terjadinya oksidasi senyawa karena pengaruh cahaya (fotochemically induced oxidation). 12
Pengurangan intensitas fluorosensi disebut pemadaman sendiri atau quenching. Molekul oksigen bersifat paramagnetik, dan molekul yang bersifat seperti ini dapat mempengaruhi dan mempermudah lintasan antara sistem sehingga memperkecil kemungkinan fluorosensi, sebaliknya memperbesar kebolehjadian fosforesensi.
7.Pemadaman sendiri dan penyerapan sendiri Pemadaman sendiri di sebabakan oleh tabrakan-tabrakan antar molekul zat itu sendiri. Tabrakan-tabrakan itu menyebabkan energi yang tadinya akan dilepaskan sebagai sinar fluorosensi ditransfer ke molekul lain, akibatnya intensitas berkurang. Salah satu proses pemadaman sendiri dapat ditulis sebagai berikut: Molekul analit tereksitas + pemadaman menjadi molekul analit berkeadaan dasar + pemadam+ energi
2.7 Instrumen Standardisasi Karena variasi intensitas sumber, sensitivitas transduser., dan variabel instrumental lainnya,
adalah
mustahil
untuk
mendapatkan
dengan
pemberian
fluorometer
atau
spektrofotometer persis bacaan yang sama untuk larutan atau seperangkat larutan dari hari ke hari. Untuk alasan ini adalah praktek umum untuk standarisasi instrumen dan menetapkan ke tingkat sensitivitas direproduksi. Standardisasi sering dilakukan dengan larutan standar dari fluorophore stabil. Reagen yang paling umum untuk tujuan ini adalah larutan standar quinine sulfat memiliki konsentrasi sekitar 10-5 M. Pada umumnya, bagus dengan radiasi pada 350 nm dan memancarkan radiasi dari 450 nm. Senyawa lain telah dijelaskan untuk daerah panjang gelombang lainnya. Perkin-Elmer Corperation menawarkan serangkaian enam standar fluoresensi dilarutkan dalam matriks plastik untuk memberikan blok yang solid stabil yang dapat digunakan tanpa batas waktu tanpa penyimpanan khusus. Dengan ini, instrumen yang mudah standar untuk daerah panjang gelombang yang akan digunakan untuk analisis.
2.8 Aplikasi dan Metode Fotoluminesen Metode fluoresensi danfosforesensi pada dasarnya berlaku untuk menurunkan rentang konsentrasi daripada absorbansi berdasarkan pengukuran spektrofotometri dan adalah salah satu 13
teknik analitis paling sensitif tersedia untuk para ilmuwan. Peningkatan sensitivitas timbul dari kenyataan bahwa parameter-konsentrasi terkait untuk fluorometry dan phosphorimetry F dapat diukur secara independen dari kekuatan sumber P0. Sebaliknya, pengukuran absorbansi memerlukan evaluasi dari kedua P0 dan P, karena absorbansi, yang sebanding dengan konsentrasi, tergantung dari metode fluorometric dapat ditingkatkan dengan meningkatkan P0 atau lebih memperkuat sinyal fluoresensi. Dalam spektrofotometri, sebaliknya, peningkatan hasil P0 dalam perubahan proporsional P dan oleh karena itu gagal untuk mempengaruhi A. Dengan demikian, metode fluorometri umumnya memiliki sensitivitas 1-3 kali lipat lebih baik daripada prosedur korespondensi absorbansi. Di sisi lain, ketepatan dan akurasi prosedur metode fotoluminesen ini biasanya lebih susah dari prosedur spektrofotometrik dengan faktor mungkin 2-5. Umumnya, metode fosforisensi kurang tepat daripada fluoresensi lainnya.
Penentuan Species Fluorometric Anorganik Metode fluorometri anorganik terdiri dari dua jenis. Metode langsung melibatkan pembentukan khelat fluorescing dan pengukuran emisi. Kelompok kedua didasarkan pada penurunan fluoresensi yang dihasilkan dari tindakan pendinginan zat yang ditentukan. Teknik yang terakhir paling banyak digunakan untuk analisis anion.
Kation yang Membentuk Kelat Fluorescing Dua faktor ini sangat membatasi jumlah ion logam transisi yang membentuk kelat fluorescing. Pertama, banyak dari ion-ion ini adalah paramagnetik; bagian ini meningkatkan tingkat intersystem berpindah ke triplet state. Deaktivasi oleh fluoresensi demikian tidak mungkin, meskipun fosfor dapat diamati. Faktor kedua adalah bahwa kompleks logam transisi yang ditandai dengan banyak tingkat energi yang berdekatan, yang meningkatkan kemungkinan penonaktifan oleh konversi internal. Ion Nontransition-logam kurang rentan terhadap proses penonaktifan di atas; itu untuk unsur-unsur yang aplikasi anorganik utama fluorometry dapat ditemukan. Perhatikan bahwa kation logam non transisi umumnya kurang warna dan cenderung membentuk kelat yang juga tanpa warna. Dengan demikian, fluorometry sering melengkapi spektrofotometri.
14
Reagen fluorometri Reagen fluorometri paling sukses untuk kation analisis memiliki struktur aromatik dengan dua atau lebih kelompok donor fungsional yang memungkinkan pembentukan khelatdengan ion logam. Struktur empat pereaksi umum mengikuti :.
Dipilih reagen fluorometri dan aplikasi mereka disajikan dalam tabel 15.2
15
2.9 Metode Fosforimetri Metode fosforensi dan fluoresensi cenderung saling melengkapi karena senyawa kuat fluoresensi menunjukkan pendar yang lemah dan sebaliknya. Selektivitas berpotensi lebih besar karena konversi triplet diperlukan, tetapi pengukuran lebih sulit (quenching tumbukan pada masalah RT dengan daya tahan lebih lama). Misalnya, di antara cincin hidrokarbon aromatik, mengandung atom yang lebih berat seperti halogen atau sulfur (fosforesensi kuat). Fosforimetri digunakan untuk penentuan berbagai spesies organik dan biokimia termasuk zat seperti asam nukleat, pyrine dan pyrimidin, enzim, hidrokarbon minyak bumi. Tidak dengan metode ini, bagaimanapun digunakan
secara luas sebagai fluorometri mungkin karena
kebutuhan untuk suhu rendah dan presisi umumnya lebih rendah dari pengukuran pendar. Disisi lain, selektivitas dari fosforesensi lebih besar. Alasannya adalah bahwa fosforesensi memerlukan penyeberangan antar sistem yang cepat untuk mengisi keadaan triplet tereksitasi yang pada gilirannya mengurangi konsentrasi tunggal.
2.10 Aplikasi dari Fluorimetri dan Fosforimetri untuk Mendeteksi Kromatografi Cairan Pengukuran fotoluminesen menyediakan metode penting untuk mendeteksi dan menentukan komponen sampel seperti yang muncul di akhir kolom elektroforesis kromatografi atau kapiler. 1.
Fluorosensi Suatu contoh senyawa fluoresen ialah fluoresein yang pernah di gunakan untuk menandai
pesawat terbang yang jatuh dilaut. Dalam larutan air dan dengan adanya cahaya fluoresein kelihatan merah dengan fluoresensi kuning-hijau yang kuat. Beberapa senyawa fluoresen, yang disebut pemutih optis digunakan sebagai pemutih tekstil. Senyawa ini adalah senyawa tak berwarna yang menyerap cahaya ultraviolet tepat diluar rentang panjang gelombang cahaya tampak,kemudian memancarkan cahaya biru-ungu pada pinggir spektrum cahaya tampak. Warna biru-ungu ini menutupi penguningan tekstil itu. Contoh rambu-rambu lalu lintas, beberapa jenis cat, dan stiker yang bersifat fluoresensi. Fluorensensi berarti juga kelihatan bersinar bila kena cahaya. Hal ini karena sifat butir Kristal suatu zat jika mendapat rangsangan berupa cahaya akan langsung memancarkan cahayanya sendiri dan berhenti memancar jika rangsangan itu dihilangkan.
16
Contoh aplikasi lainnya yaitu : –
Aplikasi dalam forensik: analisis tingkat jejak molekul kecil Contoh: LSD (lysergic acid diethylamide) spektrum yang diperoleh dengan Fouriertransform instrumen dan mikroskop, tetapi dengan tidak ada derivitization
–
Aplikasi biokimia: analisis protein, enzim, apa pun yang dapat dideteksi dengan fluorophore, triptofan (Trp), tirosin (Tyr), dan fenilalanin (Phe) residu secara alami fluoresen UV Contoh: molekul tunggal a-galaktosidase dari Escherichia coli (Ecb Gal) 1-foton eksitasi pada 266 nm.
–
Fluoresensi dalam Padat Bubuk padat dapat dianalisis menggunakan bedak dikemas di belakang kaca penutup kuarsa dan dipegang dalam posisi vertikal. Menghadap ke depan (tapi 30 °offset) geometri umumnya digunakan sebagai pengganti sudut kanan untuk mendapatkan sinyal maksimum karena sampel tidak dapat memancarkan ke segala arah.
Intensity x 107 (counts per second/mA)
Contoh: FL eksitasi dan spektrum emisi dari kristal diflunisal
2.
Emission scan with excitation at 340 nm
Excitation scan monitoring emission at 465 nm
1.8 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6
0.4 0.2 0.0 240
260
280
300
320
340
360
380
400
420
440
460
480
500
520
540
Emission wavelength (nm)
Fosforesensi Fosforesensi adalah sebuah proses di mana energi yang diserap oleh suatu zat yang relatif lambat dilepaskan dalam bentuk cahaya. Hal ini dalam beberapa kasus, seperti mekanisme digunakan untuk “glow-in-the-dark” bahan yang dikenakan oleh paparan cahaya. Tidak 17
seperti biasanya reaksi relatif cepat dalam tabung fluoresen biasa, materi posporesensiyang digunakan untuk menyerap energi materi dan menyimpan-nya untuk waktu yang lebihlama sebagai proses yang diperlukan untuk kembali memancarkan cahaya yang terjadi lebihsering.
Pengukuran Lifetime (waktu hidup) Awalnya dilakukan hanya untuk pendar karena lebih lambat dan lebih mudah untuk mengukur. Sekarang luminisen dipelajari untuk tingkat pendaran pada skala waktu fluoresensi turun dari 10-5 sampai 10-8 s. Menggunakan laser dari 70 sampai 100 x 10 (pico). Dengan jenis peralatan bisa menyalakan pertukaran antara kromofor pada protein. Pekerjaan seseorang di Ohio digunakan untuk mencari jarak antara atom pada molekul besar seperti protein. Sebenarnya cukup sulit untuk dilakukan, karena cahaya tidak dipotong rapi dan mematikan (lihat gambar 15-10), banyak matematika, banyak konvolusi fungsi, banyak ketepatan kurva. Dimana gambar 15-10 menunjukkan kurva dari percobaan tipe fluoresensi seumur hidup. Kurva A memberikan keluaran dari cahaya sebagai fungsi dari waktu, kurva B menunjukkan bagaimana
signal fluoresensi meluruh.Kurva B adalah suatu komposit dari
peluruhan dari cahaya dan peluruhan signal pancaran cahaya dari analit. Ketiga fluoresensi peluruhan signal C adalah diperoleh dengan konstribusi dari cahaya percobaan signal.
Gambar 15-10 Waktu hidup Fluoresensi
18
2.11 Chemiluminisen Aplikasi dari chemiluminisen untuk kimia analit merupakan bidang yang relatif baru serta tidak banyak spesies kimia yang dikenal. Tetapi perkembangannya semakin meningkat.
Fenomena chemiluminisen (CL) Chemiluminisen (CL) merupakan reaksi kimia menghasilkan molekul tereksitasi secara elektronik yang kemudian turun ke keadaan dasar memancarkan emisi. Dalam sistem biologis yang disebut bioluminisense kunang-kunang, ubur-ubur, bakteri, protozoa, krustasea (Dalam beberapa hewan tingkat tinggi sebenarnya adalah koloni bakteri yang hidup di dalam organisme yang lebih tinggi). Pertama kali ditemukan lebih dari 100 tahun yang lalu dengan beberapa senyawa-senyawa organik sederhana dengan formula: A + B → C* + D C* → C + hv Dimana C* mewakili keadaan tereksitasi spesies C. Untuk chemiluminisen, intensitas yang memancar panas ICL (emisi foton per detik) tergantung pada tingkat hasil reaksi (dCldt) dan chemiluminisense hasil kuantum ΦCL (emisi foton per molekul reaksi). Istilah yang terakhir adalah sama dengan produk dari eksitasi kuantum ΦEX (keadaan tereksitasi permolekul reaksi) dan hasil emisi kuantum ΦEM (foton per keadaan tereksitasi). Hubungan ini digambarkan dengan persamaan: 𝑑𝐶
𝑑𝐶
ICL = ΦCL 𝑑𝑡 = ΦEX ΦEM 𝑑𝑡
Sistem chemiluminisen (ICL) biasanya bernilai 0,01-0,2. Pengukuran chemiluminisen Sebuah bejana reaksi dan tabung foto untuk pengukuran sangat sederhana dan terdiri dari bejana reaksi yang sesuai dan tabung multiplier. Waktu garis kurva gambar 15-11 adalah naik karena pencampuran komponen peluruhan eksponensial sebagai reaksi akan menggunakan bahan awal. Untuk pengukuran kuantitatif menggunakan puncakl tertinggi atau signal terintregasi.
19
Gambar 15-11. Intensitas emisi chemiluminisen sebagai suatu fungsi dari waktu setelah pencampuran reagen 2.12 Aplikasi Analit dari chemiluminisen Biasanya teknik sensitivitas tinggi pada urutan ppb. Aplikasi analit dari chemiluminisen dilakukan dalam beberapa analisis, yaitu: Analisis gas Metode chemiluminisen untuk penentuan komponen gas awal yang membutuhkan sensitivitas tinggi untuk penentuan polutan atmosfer seperti ozon, oksida nitrogen dan senyawa belerang. Satu dari metode ini yang paling luas penggunaaannya adalah untuk penentuan nitrogen monoksida: 1) Oksida nitrat: NO dan NO2 melalui reaksi dengan O3 (untuk analisis pencemaran gas atmosfer) Analisis oksidan kuat atau spesies yang dapat menghasilkan oksidan kuat NO + O3 → NO2* + O2 NO2* → NO2 + hv (λ = 600 sampai 2800 nm) 2) Reaksi sulfur dioksida 4 H2 + 2SO2 ↔ S2* + 4H2O S2* → S2 + hv (λ = 384 dan 394 nm) Penentuan spesies anorganik Luminol (digunakan untuk deteksi darah)
20
Luminol
3-aminophthalate ion
Penentuan spesies organik Dengan asumsi konversi kuantitatif dengan enzim, substrat dapat ditentukan turun dari 10-100 nM, dengan H2O2. Deteksi substrat ini termasuk glukosa, kolesterol, kolin, asam urat, asam amino, aldehid dan laktat. Contohnya: uricase
Asam urat + O2
allantoin + H2O2 invertas e
Sukrosa + H2O
α-D-glukosa + fruktosa
Mutarotase
α-D-glukosa
β-D-glukosa Oksidasi Gulkosa
β-D-glukosa + O2
asam glukonat + H2O2
2.13 Analisa Kuantitatif Pada larutan dengan konsentrasi tinggi, sebagian besar cahaya diserap lapisan larutan yang paling dulu kontak dengan radiasi eksitasi, sehingga fluoresensi hanya terjadi pada bagian yang menyerap cahaya tersebut. Dengan demikian, pada analisis kuantitatif harus digunakan larutan yang encer (serapan tidak lebih dari 0,02) supaya dapat memenuhi persamaan fluoresensi: F = 2,3Io Qabc atau F = kc Keterangan: F = fluoresensi k = konstan = 2,3Ioabc Io = intensitas sumber cahaya
21
Q = efisiensi fluoresensi a = daya serap b = tebal larutan c = konsentrasi Hal-hal yang diperhatikan dalam analisa kuantitatif: 1. Konsentrasi Perlu larutan yang 10-100 kali lebih encer daripada analisa spektrofotometri. 2. Radiasi eksitasi Memerlukan cahaya monokromatik. Untuk eksitasi cahaya monokromatik sangat esensial, karena intensitas berubah-ubah sesuai dengan panjang gelombang. 3. Metoda iluminasi a. right angle method : mengukur fluoresensi yang tegak lurus radiasi eksitasi. Cara ini lebih umum dipakai karena alat yang dibuat untuk cara ini lebih ekonomis dan memberikan nilai blangko yang lebih kecil untuk cahaya terhambur dan fluoresensi dari dinding kuvet. b. frontal-method : mengukur fluoresensi pada sudut beberapa derajat dari arah radiasi eksitasi. Cara ini dipakai untuk larutan yang kurang transparan (opaque), larutan pekat atau zat padat, kromatrografi kertas atau KLT 4. Oksigen Merupakan zat pengganggu karena beroksidasi sehingga intensitas fluoresensi menurun (quenching). 5. pH Perubahan pH mempunyai efek yang nyata terhadap fluoresensi. 6. Fotodekomposisi Diperlukan sumber cahaya dengan intensitas tinggi sehingga penguraian zat yang diperiksa lebih besar. 7. Suhu dan kekentalan Perubahan suhu dan kekentalan menyebabkan perubahan frekuensi banturan molekulmolekul.
22
Beberapa kesalahan sering terjadi pada fluorometer dan fosforimeter: Efisiensi kuantum proses pendar-cahaya harus sama dengan reprodusibel. Jika efisiensi kuantum berkurang akan menyebabkan fenomena quenching. Atom-atom berat dan jenis-jenis paramagnetik berpengaruh terhadap ISC. Penyilangan antarsistem dan efisiensi kuantum terutama pada fluorometer seperti sifat paramagnetik O2 dapat menyebabkan quenching. Suatu pergeseran atau perubahan intensitas sumber cahaya dan posisi sel dapat menyebabkan kesalahan pengukuran, demikian juga efek yang dikenal dengan inner filter yang disebabkan oleh perbedaan intensitas pendar-fluor pada sisi kanan dan sisi kiri kuvet, akan mengakibatkan kesalahan pengukuran.
2.14 Kelebihan fluorometer dan fosforimeter dalam analisis kuantitatif Metode ini selektif dan tidak terjadi interferensi spektral. Interferensi ini bila timbul dapat diatasi dengan pemilihan panjang gelombang yang tepat baik pada eksitasi maupun pemendarannya. Metode ini sensitif. Pada fosforometer, resolusi waktunya cukup besar, karena panjangnya waktu hidup. Hal ini juga mengeliminasi penghamburan sampel. Tidak seperti fluorometer, fosforometer jarang digunakan dalam analisis kimia karena rumitnya peralatan. Untuk memperoleh hasil reprodusibel pada analisis fosforimeter, diperlukan pendinginan sampel dengan suatu campuran 5:2:2 dietileter, isopentana dan etanol, EPA.
23
BAB III KESIMPULAN Luminisensi merupakan penyerapan cahaya atau perpendaran yang terbagi atas tiga bagian yaitu fluoresensi, fosforesensi dan chemiluminisensi. Fluoresensi pada keadaan tereksitasi berumur pendek dikatakan singlet state (10-5 – 10-8 s) dan fosforesensi pada keadaan tereksitasi berumur panjang dikatakan triplet state (10-4 – 10 s). Fosforesensi digunakan pada glow in the dark, penunjuk arah/jarum jam, penunjuk /jarum pada kecepatan mobil, dan lain-lain. Fluoresensi digunakan pada rambu-rambu lalu lintas, beberapa jenis cat, dan stiker yang bersifat fluoresensi. Chemiluminisensi digunakan pada analisis gas, organic dan anorganik.
24
DAFTAR PUSTAKA L. B. McGown, K. Nithipatikom (2000): Molecular fluorescence and phosphorescence, Appl. Spectrosc. Rev. 2000, 35, 353-393. J. Cazes, Ed. Ewing’s Analytical Instrumentation Handbook, 3rd Edition, Marcel Dekker, 2005, Chapter 6. (Note: this is an updated version of the McGown article above). J. R. Lakowicz, Principles of Fluorescence Spectroscopy, 3rd Edition, Springer, 2006. D. H. Williams and I. Fleming, Spectroscopic Methods in Organic Chemistry, McGraw-Hill (1966). S. Das et al. “Molecular Fluorescence, Phosphorescence, and Chemiluminescence Spectrometry, Anal. Chem. 2012, 84, 597–625. M. E. Dias-Garcia, et al., “The triplet state: Emerging applications of room temperature phosphorescence spectroscopy,” Appl. Spectrosc. Rev., 2007, 42, 605–624. http://www.horiba.com/us/en/scientific/products/fluorescencespectroscopy/tutorialswebinars/basic-principles-of-fluorescence-spectroscopy/
25
26