REDUKSI KETERGANTUNGAN DALAM UPAYA PEMBERDAYAAN PENDIDIKAN NASIONAL MEWUJUDKAN GENERASI EMAS
Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Landasan Kependidikan Semester 1 Dosen Pengampu. Dr. Catharina Tri Anni
Oleh : SITI AROFAH / NIM. 0102514035 AGUS SAEFUDIN / NIM. 0102514057 SUYATNO / NIM. 0102514068
PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MANAJEMEN PEDIDIKAN KONSENTRASI KEPENGAWASAN SEKOLAH UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG DESEMBER 2014
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan banyak kenikmatan, utamanya nikmat iman, sehat, sempat dan diberi kekuatan tetap setia mengabdi pada bidang pendidikan untuk berperan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa naskah Makalah Kelompok Bab 14 Dependency Theory in Comparative Education yang kami breakdown menjadi makalah dengan judul “Reduksi Ketergantungan dalam pemberdayaan Pendidikan Nasional Mewujudkan Generasi Emas” dapat diselesaikan dengan baik dan sebagai bahan diskusi serta berbagi bagi kemajuan pendidikan di tanah air tercinta Indonesia ini. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Landasan Kependidikan dengan dosen pengampu Dr. Catharina Tri Anni. Banyak bantuan yang diberikan oleh berbagai pihak dalam penyusunan makalah ini, untuk itu disampaikan terima kasih kepada: 1. Dr. Catharina Tri Anni yang telah memberikan bimbingan dan banyak ilmu tentang landasan kependidikan kepada kami; 2. Teman-teman mahasiswa S2 Manajemen Pendidikan (Kepengawasan Sekolah) Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang yang merupakan mitra diskusi dan berbagi pengalaman yang luar biasa, bersama kami mempunyai mimpi untuk pendidikan Indonesia yang lebih baik lagi; 3. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang mendukung kami dalam menyelesaikan makalah ini. Semoga semua kebaikan yang telah diberikan mendapatkan imbalan pahala yang berlipat dari Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Penulis menyadari makalah ini masih banyak terdapat kekurangan untuk itu saran demi perbaikan sangat dinantikan. Penulis berharap semoga makalah ini membawa manfaat dan dapat menjadi media dalam berbagi bagi kemajuan pendidikan di Indonesia. Amin.
Semarang, Desember 2014 Kelompok Bab 14 1. Siti Arofah / NIM. 0102514035 2. Agus Saefudin / NIM. 0102514057 3. Suyatno / NIM. 0102514068
ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul .................................................................................... Kata Pengantar ................................................................................... Daftar Isi ............................................................................................. Daftar Gambar .................................................................................... Abstrak ...............................................................................................
Halaman i ii iii iv v
BAB I
PENDAHULUAN ................................................................... A. Latar Belakang ............................................................ B. Rumusan Masalah ...................................................... C. Tujuan ......................................................................... D. Manfaat ......................................................................
1 1 7 7 7
BAB II
KAJIAN TEORI ....................................................................... A. Teori Ketergantungan .................................................. B. Penerapan Teori Ketergantungan ................................ C. Generasi Emas Indonesia ............................................. D. Kerangka Berfikir ........................................................
9 9 13 16 18
BAB III
PEMBAHASAN ................................................................. A. Mewujudkan Generasi Emas Melalui Reduksi Ketergantungan ........................................................... B. Praksis Pendidikan Nasional yang dapat Mewujudkan Generasi Emas ............................................................. 1. Pergerakan Ki Hajar Dewantara ............................. 2. Pendidikan Karakter .............................................. 3. Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education) 4. Pendidikan untuk Mewujudkan Generasi Emas C. Hambatan yang Dihadapi Pendidikan Nasional dalam Rangka Mewujudkan Generasi Emas ........................... D. Solusi untuk Menghadapi Hambatan yang Dihadapi Pendidikan Nasional dalam Rangka Mewujudkan Generasi Emas .............................................................
19
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN ....................................................... A. Simpulan ..................................................................... B. Saran ...........................................................................
62 62 63
Daftar Pustaka
iii
19 28 30 34 39 50 53
57
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.
Gambar 2.
Kerangka Berfikir Reduksi Ketergantungan Dalam Upaya Pemberdayaan Pendidikan Nasional Untuk Mewujudkan Generasi Emas .......................................................................
Nilai-nilai Karakter Berlandaskan Budaya Bangsa ..........
iv
18 57
ABSTRAK REDUKSI KETERGANTUNGAN DALAM UPAYA PEMBERDAYAAN PENDIDIKAN NASIONAL MEWUJUDKAN GENERASI EMAS Oleh: Siti Arofah, Agus Saefudin, dan Suyatno
Tujuan penulisan karya tulis ini adalah memberikan penjelasan tentang: (1) upaya mewujudkan generasi emas Indonesia dengan mereduksi ketergantungan terhadap negara maju dengan memberdayakan pendidikan nasional, (2) praksis pendidikan nasional yang dapat mewujudkan generasi emas Indonesia (3) hambatan yang dihadapi oleh pendidikan nasional dalam rangka mewujudkan generasi emas, dan (4) solusi bagi hambatan-hambatan yang dihadapi oleh pendidikan nasional dalam rangka mewujudkan generasi emas. Mewujudkan generasi emas Indonesia dengan mereduksi ketergantungan terhadap negara maju dilakukan dengan memberdayakan pendidikan nasional pendidikan yang berjati diri dan berkarakter kebangsaan yang kuat. Praksis pendidikan nasional yang dapat mewujudkan generasi emas Indonesia diantaranya adalah: (1) penerapan prinsip pendidikan Ki Hajar Dewantara ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tutwuri handayani, (2) penerapan pendidikan karakter meliputi: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/ komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab, serta (3) penerapan pendidikan kecakapan hidup (life skill education). Hambatan yang dihadapi oleh pendidikan nasional dalam rangka mewujudkan generasi emas diantaranya adalah: tantangan diri sendiri, tantangan dari dalam negeri, dan tantangan global. Solusi bagi hambatan-hambatan yang dihadapi oleh pendidikan nasional dalam rangka mewujudkan generasi emas dimulai dengan memandang belajar secara benar. Guru dalam melakukan kegiatan pembelajaran berlandaskan pada empat pilar pendidikan menurut UNESCO, yaitu: learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Guru menanamkan karakter kewirausahaan pada peserta didik yang mengandung unsur eksplorasi rasa ingin tahu/inquiry, fleksibilitas berpikir, kreativitas, kemampuan berinovasi, tidak takut pada resiko dan memprioritaskan praktek di lapangan
Kata Kunci: reduksi ketergantungan, pendidikan nasional, generasi emas
v
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan nasional Indonesia adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan
kehidupan
bangsa,
bertujuan
untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Lebih lanjut disebutkan bahwa ada 6 (enam) prinsip penyelenggaraan pendidikan, yaitu: a. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. b. Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. c. Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
2
d. Pendidikan
diselenggarakan
dengan
memberi
keteladanan,
membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. e. Pendidikan
diselenggarakan
dengan
mengembangkan
budaya
membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. f. Pendidikan
diselenggarakan
dengan
memberdayakan
semua
komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Dari dasar legal formal ini jelas terlihat bahwa pendidikan nasional Indonesia berdaulat penuh dan bermuara pada mewujudkan manusia paripurna yang biasa disebut sebagi manusia seutuhnya. Manusia seutuhnya adalah manusia yang berkepribadian utuh yang dapat menyeleraskan, menyeimbangkan, dan menyerasikan aspek manusia sebagai makhluk individu, sosial, religius, bagian dari alam semesta, bagian dari bangsa-bangsa lain, dan kebutuhan untuk mengejar kemajuan lahir maupun kebahagiaan batin. Dengan demikian pendidikan bukan hanya mengasah kecerdasan intelektual semata, tetapi juga kecerdasan emosional dan spiritual. Lulusan paripurna yang tangguh seperti inilah yang senantiasa diupayakan untuk dicapai oleh pendidikan nasional. Pemerintah Indonesia telah mencangkan program “Generasi Emas Indonesia 2045” pada peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2012 oleh Menteri Pendidikan dan kebudayaan ketika itu Muhammad Nuh. Generasi emas adalah generasi bangsa yang kreatif, inovatif, produktif, mampu berpikir orde tinggi, berkarakter, cinta dan bangga menjadi bangsa Indonesia. Tepat pada tahun 2045 kedepan, Indonesia secara matematis 100 tahun terlepas dari belenggu penjajah. Ditahun tersebut Indonesia mengharap memiliki gold generation yang dapat membangun bangsa kearah yang lebih baik. Tahun 2012 ini hingga 2035 adalah masa menanam generasi emas tersebut. Oleh karenanya, dalam kurun waktu tersebut pemerintah dan segenap masyarakat terus menggalakkan program
3
pendidikan. Salah satu bukti keseriusan pemerintah ialah dengan penerapan Kurikulum 2013. Dalam kurikulum 2013 tak hanya aspek kognitif (transfer keilmuan) yang dikejar. Pemerintah juga mulai menekankan pentingnya pendidikan karakter (aspek afektif). Revolusi mental menjadi penting, sebab akhir-akhir ini nilai-nilai keluhuran bangsa semakin luntur. Aspek yang tak kalah juga harus mendapat perhatian ialah aspek psikomotorik. Keseimbangan antara 3 komponen ini adalah modal dasar dalam rangka menyongsong generasi emas indonesia 2045. Ketercapaian
penguasaan
akademik,
karakter
yang santun
dan
keterampilan yang mumpuni merupakan faktor kunci untuk menghasilkan manusia Indonesia yang memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompetitif. Dengan demikian harapan pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang menempati posisi 12 besar dunia pada 2025 dan 8 (delapan) besar dunia pada 2045 dalam pertumbuhan ekonomi dapat tercapai. Generasi emas hanya mungkin dicapai melalui pendidikan yang berkualitas. Pendidikan merupakan sebuah proses untuk membentuk manusia yang tidak hanya cerdas secara intelektual, mampu berpikir secara saintifik dan filosofis tetapi mampu mengembangkan potensi spiritualnya. Pendidikan seharusnya bukan semata-mata mengajarkan ilmu pengetahuan dan keterampilan namun juga mampu mengembangkan nilai-nilai religius pada peserta didik sehingga secara terus-menerus dapat melakukan pencerahan di dalam kalbunya. Pendidikan berkualitas hanya mungkin terjadi jika guru-guru juga berkualitas. Pendidikan tanpa guru, ibarat kebun tanpa pemiliknya. Guru, memiliki peran yang sangat strategis bagi dunia pendidikan. Karena dari semua komponen pendidikan yang ada seperti kurikulum, sarana prasarana, metode pengajaran, guru, siswa, orangtua dan lingkungan, yang paling menentukan adalah guru. Ada sebuah ungkapan bahwa have good teachers, will have good nations. Guru
4
memiliki kedudukan yang sangat mulia, dari merekalah tercipta generasi emas dengan peradaban manusia yang gemilang. Tantangan pendidikan di era informasi saat ini, mengharuskan guru untuk lebih kreatif, inovatif dan inspiratif dalam mendesain kegiatan pembelajaran yang bermutu untuk menyongsong generasi emas Indonesia Tahun 2045. Dengan jumlah penduduk lebih dari 240 juta jiwa, guru menjadi kunci utama keberhasilan sumber daya manusia yang tidak hanya produktif tetapi juga unggul dan religius. Ini juga tidak terlepas dari upaya pemerintah untuk bersinergi mencerdaskan anak bangsa. Peran guru yang tidak hanya mengajar, termaktub dalam UU No. 14 tahun 2005 yang menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Sedangkan hakikat guru menurut Ki Hajar Dewantara adalah ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani yakni di depan menjadi contoh jika di tengah membangkitkan hasrat belajar dan jika di belakang memberikan dorongan. Guru mempunyai peran yang strategis dalam upaya peningkatan mutu pendidikan nasional bagi kehidupan bangsa dan negara. Hal yang substantif dari peran guru dalam kegiatan pembelajaran adalah dengan memberikan teladan kepada para siswanya dalam pendidikan karakter. Sosok guru di manapun akan menjadi teladan bagi peserta didik, karenanya mereka memandang bahwa ia adalah kompas penunjuk jalan apabila tersesat. Seorang guru perlu menanamkan akhlak yang baik bagi muridnya, hal ini dapat dilakukan secara terus menerus seperti mengucapkam salam, menanamkan nilai-nilai kejujuran, berdoa di setiap memulai dan mengakhiri pekerjaan, membiasakan senyum, pembudayaan sikap santun, bersikap baik di dalam maupun di luar sekolah. Terlebih urgensi perubahan kurikulum 2013 lebih menitikberatkan pada
5
pembentukan sikap dan karakter yang baik pada setiap proses pembelajaran. Generasi emas Indonesia diharapkan mencerminkan manusia paripurna yang memiliki pengetahuan luas dan menjunjung tinggi nilainilai kemanusiaan dengan spirit religiusitas yang tinggi. Generasi emas diharapkan akan dapat membawa bangsa dan negara menjadi lebih beradab dan meningkat harkat hidup dan kesejahteraannya. Pendidikan nasional harus terus menerus ditingkatkan dari waktu ke waktu seiring perkembangan ilmun pengetahuan, teknologi dan seni. Pembangunan pendidikan diarahkan untuk mendukung pencapaikan tujuan berbangsa, yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat bangsa di dunia dalam melaksanakan pendidikan di segala bidang tidak dapat depaskan dari pengaruh dan pergaulan dengan bangsa-bangsa asing. Ditinjau dari teori ketergantungan maka sebagai negara berkembang sampai dengan saat ini kita masih tergantung pada negara-negara donor yang menanamkan investasi untuk membantu pembangunan. Hubungan internasional pada akhirnya menjadikan ketergantungan negara kita atas negara-negara maju. Pendidikan sebagai salah satu aspek pembangunan pun tidak dapat dilepaskan dari ketergantungan kita atas negara maju termasuk di dalamnya muatan mata pelajaran yang dipelajari juga dipengaruhi oleh kemajuan negara asing, terutama dalam bidang teknologi modern (high technology), sains, bahkan ilmu-ilmu sosial dan ilmu terapan lainnya. Implikasi dari ini semua menjadikan Bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib dari tingkat SMP hingga perguruan tinggi di samping bahasa asing lain yang banyak digunakan di Indonesia, seperti bahasa Jepang, mandarin, arab, dan korea.
6
Ketergantungan sebagai konsekuensi atas hubungan internasional dan pembangunan negara berkembang yang belum dapat lepas dari negara maju sampai dengan saat ini belum mampu mewujudkan kesejahteraan yang merata bagi seluruh warga negara Indonesia. Teori ketergantungan (dependency theory) menolak premis dan asumsi-asumsi yang diajukan oleh teori modernisasi yang menyatakan bahwa faktorfaktor non material sebagai penyebab kemiskinan, khususnya dunia ide atau alam pikiran. Teori ketergantungan dilandasi oleh strukturalisme yang beranggapan bahwa kemiskinan yang terdapat di negara-negara Dunia Ketiga yang mengkhususkan diri pada produksi pertanian adalah akibat dari struktur perekonomian dunia yang bersifat eksploitatif, dimana yang kuat (negara pusat/negara maju) melakukan eksploitasi terhadap yang lemah (negara-negara pinggiran/berkembang) sehingga surplus dari negara-negara Dunia Ketiga (negara pinggiran) beralih kenegara-negara industri maju (negara Pusat). Berdasarkan teori ketergantungan maka untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan yang adil dan merata bagi seluruh warga negara sudah seharusnya suatu negara harus berdaulat penuh dalam segenap aspek kehidupan berbangsa termasuk dalam pembangunan yang dilaksanakan. Reduksi terhadap ketergantungan penuh atas negara maju dalam pembangunan termasuk pendidikan merupakan keniscayaan untuk mewujudkan pembangunan yang menyejahterakan. Dari uraian di atas, menarik untuk kita kaji bagaimana reduksi terhadap ketergantungan atas negara maju dalam pembangunan terutama pendidikan nasional menjadi urgen dan strategis untuk mewujudkan generasi emas yang dicita-citakan untuk kemajuan negara tercinta Indonesia.
7
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana
mewujudkan
generasi
emas
melalui
reduksi
ketergantungan terhadap negara maju ? 2. Bagaimana praksis pendidikan nasional yang dapat mewujudkan generasi emas ? 3. Apa saja hambatan yang dihadapi pendidikan nasional dalam rangka mewujudkan generasi emas ? 4. Apa saja solusi bagi hambatan-hambatan yang dihadapi pendidikan nasional dalam rangka mewujudkan generasi emas ?
C. Tujuan Penulisan 1. Memberikan penjelasan tentang upaya mewujudkan generasi emas Indonesia dengan mereduksi ketergantungan terhadap negara maju dengan memberdayakan pendidikan nasional. 2. Memberikan penjelasan praksis pendidikan nasional yang dapat mewujudkan generasi emas Indonesia. 3. Memberikan penjelasan hambatan yang dihadapi oleh pendidikan nasional dalam rangka mewujudkan generasi emas. 4. Memberikan penjelasan solusi bagi hambatan-hambatan yang dihadapi oleh pendidikan nasional dalam rangka mewujudkan generasi emas.
D. Manfaat 1. Bagi stakeholder pendidikan diharapkan dapat memahami bahwa untuk mewujudkan generasi emas Indonesia melalui pendidikan diperlukan upaya yang serius dengan mereduksi ketergantungan terhadap negara maju dan lebih memberdayakan pendidikan nasional dengan segala potensi sumber daya yang ada. 2. Bagi kepala sekolah diharapkan dapat memiliki pemahaman tentang peran penting sekolah sebagai lembaga resmi pendidikan formal di
8
Indonesia agar dapat melayani secara prima dalam praksis pembelajaran yang bermakna dan menghasilkan lulusan paripurna sebagai generasi emas yang pada akhirnya akan menjadi pemimpin dan pelaksana pembangunan. 3. Bagi guru diharapkan dapat memahami peran strategis dan tugas mulia yang diemban untuk mewujudkan generasi emas Indonesia yang diharapkan dapat membawa kemajuan dan kesejahteraan sehingga kegiatan pembelajaran dilaksanakan secara maksimal untuk menggali dan mengoptimalkan potensi siswa sebagai pembelajar agar dapat menjadi manusia paripurna yang memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual yang tinggi sehingga dapat mewujudkan masyarakat madani Indonesia yang damai, sejahtera dan berkeadilan.
9
BAB II KAJIAN TEORI
A. Teori Ketergantungan Teori ketergantungan berusaha menjelaskan rintangan-rintangan yang dihadapi dalam pembangunan daerah-daerah dan Negara-negara miskin dan istilah “Dependency Theory” dipinjam oleh penulis (Harold J. Noah dan Max A Eckstein, 1988) dan digunakan dalam bidang pendidikan secara luas dan juga dipakai oleh para pekerja penelitian dalam studi tentang Pendidikan Komparasi secara khusus. Teori ketergantungan menentang kondisi dunia saat ini yang dianggap sebagai hasil dari dominasi negara-negara kaya terhadap negara-negara miskin serta dominasi dari kelompok-kelompok dan kepentingan-kepentingan penguasa terhadap kelompok-kelompok yang tidak memiliki kekuasaan dalam suatu negara. Ada empat istilah yang menjadi konsep teori utama dari teori ketergantungan, yaitu kelompok Negara-negara maju negara
dunia
ketiga/Negara-negara
pinggiran
(center), Negara-
(periphery),
dalam
kendali/dominasi (hegemoni), dan reproduksi (reproduction). Keempat istiliah tersebut dipakai untuk menjelaskan istilah yang saat ini dikenal sebagai “Wallerstein” atau suatu kekaisaran dunia terkait penggunaan kekuatan unilateral oleh Negara central/maju terhadap Negara-negara dunia ketiga/pinggiran dengan cara memaksa negara-negara dunia ketiga tersebut untuk mereproduksi secara sistematik nilai-nilai yang dipakai oleh Negaranegara maju. Dunia pendidikan merupakan obyek yang berperan aktif dalam mereproduksi nilai-nilai tersebut di mana para siswa diarahkan untuk mereproduksi nilai-nilai, tingkah laku dan ketrampilan yang disesuaikan untuk melayani kebutuhan kelompok Negara-negara maju. Hal ini menunjukkan bahwa penjajahan masih terus berlangsung namun bentuknya berbeda dengan penjajahan klasik, kolonialisasi saat ini menjelma dalam bentuk yang
10
lebih canggih, menyebar luas, tak terlihat namun menimbulkan dampak yang luar biasa yaitu penjajahan pikiran dan mental. Universitas
dan
Yayasan-yayasan
pendidikan,
badan-badan
pembangunan nasional maupun multilateral, para penerbit buku, serta organisasi-organisasi media masa, bahkan masyarakat industri
yang
memproduksi barang-barang mulai dari kendaraan sampai alat tulis hingga susu
formula
untuk
bayi
semua
dianggap
sebagai
alat
para
penguasa/penjajah. Para penjajah telah mengubah penjajahan fisik menjadi penjajahan mental. Di setiap Negara, terjadi eksploitasi Negara-negara maju terhadap Negara-negara dunia ketiga untuk menggunakan sekolah sebagaitempat untuk mereproduksi serangkaian nilai-nilai dan system stratifikasi yang menandakan masih berlangsungnya dominasi Negara-negara maju. Ada disiplin ilmu yang dianggap layak untuk diminati dan mendapatkan status yang legal di mata Negara-negara maju (TOEFL, IBT, dsb) sedangkan disiplin ilmu pengetahuan lainnya diabaikan, tidak diperhatikan bahkan dipaksakan untuk dihapus. Tujuan Negara-negara maju untuk mengendalikan pikiran negara-negara miskin sebagian besar telah tercapai. Rakyat (pendapat ini ditentang) tidak menyadari bahwa mereka sedang hidup dalam dunia gagasan-gasan dan nilai-nilai yang diciptakan untuk membuat mereka terusmenerus dalam perbudakan. Mereka juga tidak mengerti peran penting yang dimainkan sekolah-sekolah dalam memproduksi “perbudakan pikiran”. Dan memang, kejeniusan dari kesuksesan system tersebut terletak pada keahlian dari sistim tersebut untuk memperdaya mereka yang bersedia melayani dan mempercayai bahwa mereka dalam keadaan bebas padahal mereka sebenarnya sedang diperbudak. Kritik yang paling keras tertuju pada kurikulum, kumpulan pengetahuan yang dipilih dan ditransfer kepada para siswa. Negara-negara dunia ketiga, dikatakan, telah dipaksa atau terpikat untuk mengkopi kurikulum Negara-negara maju. Jadi meskipun telah terbebas dari penjajahan,
11
ketimpangan antara apa yang diajarkan dan apa yang dibutuhkan oleh para siswa di sekolah terus berlanjut. Contoh, pemanfaatan ilmu pertanian, pertanian berskala kecil, manajemen rumahtangga serta kesehatan diabaikan sebaliknya, perhatian malah diarahkan pada materi-materi akademik yang sifatnya abstrak/tidak aplikatif. Bahasa para penjajah masih digunakan sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan pengajaran, komunikasi, dan administrasi yang mengakibatkan “penjajahan” semakin berkelanjutan. Hingga pada akhirnya, teori ketergantungan secara alami membayangi teori reproduksi yang merupakan bagian dari ilmu sosiologi baru. Ilmu ini menganggap bahwa struktur dan isi dari ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu bentuk property, kekuasaan, dan gengsi. Ada suatu dinamika yang mengarahkan keyakinan masyarakat secara alamiah bahwa ilmu pengetahuan yang paling hebat yang harus dikuasai oleh umat manusia adalah ilmu pengetahuan yang dimiliki Negara-negara industri, keyakinan ini ditanamkan pada Negara-negara lemah yang sangat tergantung pada Negara industri, sehingga kedudukan Negara-negara lemah menjadi semakin direndahkan, mengangkat superioritas serta memperluas pemasaran pengetahuan dan produk-produk pengetahuan itu di Negara-negara lemah. Hal ini merupakan proses reproduksi yang didefiniskan perpanjangan dominasi suatu kelompok terhadap kelompok lainnya baik itu melalui dimensi ruang dan waktu. Terjemahan dari apa yang mulai disebut sebagai sebuah teori yang menjelaskan masalah-masalah permbangunan ekonomi hingga bidang pendidikan telah banyak berkembang. Diantaranya Teori Konflik Neo – Marxist, analisis ideology, studi tentang dinamika lembaga social dan aspekaspek teori pengkondisian psikologi telah di satukan untuk membentuk pandangan dunia yang mengedepankan rencana pendirian sekolah sebagai alat di mana Negara penguasa menjalankan nilai-nilai pada kelompok pekerja supaya bias mempertahankan status quo, dan hal ini secara dramatis dipraktekkan dalam Negara-negara di mana pendidkan disejajarkan dengan penjajahan internal.
12
Feire mengembangkan teori bahwa “para terjajah” bisa dibentuk menjadi penjajah seperti halnya setiap orang yang mempunyai keingina untuk menjadi majikan. Prospek perkembangan kebebasan yang sebenarnya dan otonomi individu buruk.
Bowles and Gritis sependapat dengan Feire
berpendapat bahwa sekolah mendisiplinkan siswa dalam pengabdian mereka melayani struktur kekuasaan yang muncul yang bisa dicapai melaui grading/angka-angka yang menunjukkan kualitas, lomba-lomba, hadiahhadiah serta hukuman yang merendahkan. Sistem pendidikan tidak memanusiakan manusia dengan cara merusak keaslian seseorang yang dibawa sejak lahir dan kreativitas seseorang. Bourdieu dan Passeron menyampaikan bahwa system pendidikan menekankan pada terjadinya konflik yang bahkan diasumsikan lebih mengancam
pencapaian
mutu
pendidikan.
Pengetahuan
ditentukan/dipaksakan oleh sekolah dan ketentuan/paksaan tersebut merupakan suatu bentuk kekerasan yang lakukan oleh kelompok yang kuat (guru, administrator, dan para pemuka masyarakat) tehadap kelompok yang lemah
(siswa,
menggunakan
kata-kata
berbahasa
Perancis
yang
dideskripsikan secara buruk dalam proses pembelajaran. Perencanaan pendidikan disalahkan sebagai alat yang secara eksplisit memperluas dan mengintensifkan ketergantungan. Dari beberapa teori tentang dependesi, kita bisa menyimpulkan Bahwa: 1. Teori
ketergantungan
dianggap
bisa
diterapkan
secara
global,
pendekatannya obyektif untuk memahami bagaimana Negara-negara miskin telah diperdaya dan dijadikan korban oleh penggunaan kekuasaan yang tidak terarah. 2. Teori ketergantungan memandang struktur dan isi pendidikan sebagai alat yang penting di mana Negara maju mengendalika pemikiran Negaranegara pinggiran, mereproduksi kondisi tersebut supaya bias tetap survive dan maju.
13
3. Teori ketergantungan dianggap menunjukkan bahwa proses pengendalian pikiran sangat kuat bahkan orang tua dan warganegara tidak mampu mengenali pendidikan terbaik yang seperti apa yang diminati anak-anak mereka, dan tidak berdaya untuk membuat pilihan-pilihan secara mandiri dalam menghadapi dominasi ideology yang tidak terbendung. 4. Para ahli teori ketergantungan cenderung menghindar bahwa kita bsa melihat kearah reformasi pendidikan dalam berbagai tingkatan pentingdemi perbaikan Negara dari semua aspek: penghancuran yang radikal dank eras terhadap kekuatan Negara-negara maju yang dominan diperlukan. 5. Teori ketergantungan menegaskan bahwa Negara-negara dunia ketiga mewakili pria baik yang dijadikan korban, dan mereka yang menjadi Negara maju dipandang sebagai laki-laki baik yang mengorbankan orang lain. 6. Teori
dependensi
mengklaim
bahwa
semakin
besar
tingkat
ketergantungan suatu Negara maka akan semakin besar kesulitankesulitan yang akan dihadapi oleh Negara itu dalam mendiirikan lembagalembaga pendidikan dan social yang efektif.
B. Penerapan Teori Ketergantungan Pandangan Altbach tentang universitas di Negara-negara dunia ketiga jika dikaitkan dengan konsep hubungan antara Negara-negara pinggiran (periphery) dengan Negara-negara maju (central): 1. Bisa
diklasifikasikan
sebagai
kelompok
dependen
(mengalamai
ketergantungan) baik sebagai pencipta maupun distributor ilmu pengetahuan. 2. ketiga tidak mendapatkan keuntungan sedikitpun dalam jaringan ilmu pengetahuan internasional. 3. Dianggap pasif karena berperan sebagai agen yang melayani Negaranegara industri untuk mempertahankan posisinya di dunia.
14
4. Konsep center-pheripery diterapkan di dunia universitas Pendidikan adalah suatu proses di mana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien. Pendidikan adalah suatu proses dimana suatu bangsa atau Negara membina dan mengembangkan kesadaran diri diantara individu-individu. Disamping itu pendidikan adalah suatu hal yang benar-benar ditanamkan selain menempa fisik,mental dan moral bagi individu-individu,agar mereka menjadi manusia yang berbudaya sehingga diharapkan mampu memenuhi tugasnya sebagai manusia yang diciptakan Allah Tuhan Semesta Alam, sebagai mahluk yang sempurna dan terpilih sebagai khalifah-Nya di muka bumi ini yang sekaligus menjadi warga negara yang berarti dan bermanfaat bagi suatu negara. Dalam konteks modern dan kontemporer, isitilah pendidikan senantiasa diletakkan dalam kerangka kegiatan dan tugas yang ditujukan bagi sebuah angkatan atau generasi yang sedang ada dalam masa-masa pertumbuhan. Oleh karena itu pendidikan lebih mengarahkan dirinya pada pembentukan dan pendewasaan pengembangan kepribadian manusia yang mengutamakan proses pengembangan dan pembentukan diri secara terus menerus (on going formation). Proses pembentukan diri terus-menerus ini terjadi dalam kerangka ruang dan waktu. Pendidikan dengan demikian mengacu pada setiap bentuk pengembangan dan pembentukan diri yang sifanya prosesual,yaitu sebuah kesinambungan yang terus-menerus yang tertata rapi dan terorganisasi, berupa kegiatan yang terarah dan tertuju pada strukturasi dan konsolidasi kepribadian serta kehidupan rasional yang menyertainya,secara personal, komuniter,mondial, dan sebagainya. Pendidikan menyangkut diri manusia. Manusia membutuhkan pendidikan yang bermutu dalam kehidupannya. Dalam Undang-undang Pendidikan Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 butir 1 dinyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk meuwujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
15
untuk
memiliki
kekuatan
spiritual
keagamaan,
pengendalian
diri,
kepribadian,kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Selanjutnya Pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Pendidikan adalah pemberdayaan bagi manusia didik dalam menghadapi dinamika kehidupan baik masa kini maupun masa yang akan datang, maka pemahaman tentang kemanusiaan secara utuh merupakan keniscayaan. Sebaliknya, jika pengertian dan pemahaman terhadap pendidikan kurang tepat tentu akan melahirkan konsep dan praktik pendidikan yang juga kurang proporsional. Pendidikan merupakan upaya memberdayakan peserta didik sebagai generasi emas untuk menjadi manusia Indonesia seutuhnya, yaitu yang menjunjung tinggi dan memegang dengan teguh norma dan nilai sebagai berikut: 1. Norma agama dan kemanusiaan untuk menjalani kehidupan sehari-hari sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa,mahluk individu,maupun sosial; 2. Norma persatuan bangsa untuk membentuk karakter bangsa dalam rangka memelihara keutuhan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 3. Norma kerakyatan dan demokrasi untuk membentuk manusia yang memahami dan menerapkan prinsip-prinsip kerakyatan dan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,dan bernegara; 4. Nilai-nilai keadilan sosial untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang merata dan bermutu bagi seluruh bangsa serta menjamin penghapusan segala bentuk deskriminasi dan bias gender serta terlaksananya pendidikan untuk semua dalam rangka mewujudkan masyarakat berkeadilan sosial. (Rencana Strategis Kemeterian Pendidikan
16
Nasional 2010-2014) Dengan demikian melalui proses pendidikan, peserta didik dituntun menjadi manusia yang makin beradab dan berakhlak. Adalah keliru apabila peserta didik yang diberi pendidikan justru menjadi manusia yang tidak beradab dan tidak berakhlak.
C. Generasi Emas Indonesia Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada sambutan Peringatan Hari Pendidikan Nasional pada tanggal 2 Mei 2012 menyatakan bahwa tema Hari Pendidikan Nasional Tahun 2012 adalah “Bangkitnya Generasi Emas Indonesia”. Karena pada periode tahun 2010 sampai 2035 bangsa kita dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Kuasa potensi sumber daya manusia berupa populasi usia produktif yang jumlahnya luar biasa. Jika kesempatan emas yang baru pertama kalinya terjadi sejak Indonesia merdeka tersebut dapat kita kelola dan manfaatkan dengan baik, populasi usia produktif yang jumlahnya luar biasa tersebut insya Allah akan menjadi bonus demografi (demographic dividend) yang sangat berharga. Generasi emas sebagai generasi penerus bangsa yang akan menentukan masa depan dan int depan diri dan bangsegritas bangsa Indonesia. Generasi emas adalah generasi yang memandang masa depan diri dan bangsanya,merupakan hal yang pertama dan utama. Generasi emas adalag generasi muda yang penuh optimisme dan gairah untuk maju dengan sikap dan pola pikir yang berlandaskan moral yang kokoh dan benar. Generasi emas adalah generasi dengan visi ke depan yang cemerlang,kompetensi
yang
memadai,
dan
dengan
karakter
yang
kokoh,kecerdasan yang tinggi, dan kompetitif, merupakan produk pendidikan yang diidam-idamkan. Peserta didik dalam setiap jenjang, jenis, dan jalur pendidikan merupakan individu yang sedang dalam masa-masa pertumbuhan dan perkembangan,sedang dalam proses pengembangan dan pembentukan diri secara terus menerus untuk menjadi generasi emas yaitu insan yang bekarakter, cerdas dan kompetitif.
17
Mengingat peliknya masalah lapangan pekerjaan seperti tidak imbangnya jumlah pelamar kerja dan lowongan kerja, banyaknya lulusan terdidik yang tidak terserap ke lapanga kerja, jumlah pengangguran terdidik yang semakin meningkat, maka dibutukan suatu disiplin ilmu yang yang diterapkan dalm institusi pendidikan yang mampu membentuk, menanamkan semangat/jiwa dan bersikap wirausaha supaya menghasilkan lulusan yang terampil sebagai pencipta lapangan pekerjaan. Kewirausahaan berasal dari kata wira yang berarti pejuang, manusia unggul, teladan, berbudi luhur, gagah berani dan berwatak agung, serta kata usaha yang bermakna perbuatan amal, bekerja, dan berbuat sesuatu.Richard Chantilon (1975) mendefinisikan kewirausahaan sebagai bekerja sendiri, lebih menenkankan pada bagaimana seseorang menghadapi resiko atau ketidakpastian. Menurut Harvey Leibenstein (1979) kewirausahaan mencakup kegiatan yang dibutuhkan untuk menciptakan perusahaan pada saat semua pasar belum terbentuk. Pendidikan yang berwawasan kewirausahaan adalah pendidikan yang menerapkan prinsip-prinsip dan metodologi kearah pembentukan kecakapan hidup (life skill) pada peserta didiknya melalui kurikulum yang dikembangkan di sekolah. Kerangka pengembangan kewirausahaan di kalangan pendidik sangat penting karena pendidik adalah agent of change yang diharapkan mampu menanamkan cirri-ciri, sifat, dan watak serta jiwa kewirausahaan bagi peserta didiknya dan bagi diri pendidik sendiri karena akan membentuk manusia yang berorientasi kerja yang lebih efisien, kreatif, inovatif, produktif, dan mandiri. Mien Uno (Agus Bastian 2012) mengatakan bahwa untuk menjadi calon wirausahawan yang handal dibutuhkan karakter unggul yang meliputi: pengenalan terhadap diri sendiri (self awareness), kreatif, mampu berpikir kritis, mampu memecahkan persoalan, dapat berkomunikasi, mampu membawa diri di berbagai lingkungan, menghargai waktu, empati, mau berbagi dengan orang lain, mampu mengatasi stress, bisa mengendalikan emosi, dan mampu membuat keputusan.
18
D. Kerangka Berfikir Penerapan pendidikan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari teori ketergantungan
karena
sebagai
negara
berkembang
membutuhkan
hubungan internasional dalam pelaksanaan pembangunan di segala bidang. Indonesia sebagai negara berkembang masih tergantung negara maju selaku negara donor yang memberikan pinjaman modal untuk pembangunan, serta dalam transfer ilmu pengetahuan dam teknologi. Reduksi terhadap ketergantungan negara maju harus dilakukan agar kita dapat mandiri dan berdaulat untuk membangun bangsa dan negara. Praksis pendidikan nasional yang diyakini dapat mewujudkan generasi emas Indonesia diantaranya: pergerakan Ki Hajar Dewantara, penerapan pendidikan karakter, dan kecakapan hidup. Diagram kerangka berfikir reduksi ketergantungan dalam upaya pemberdayaan pendidikan nasional untuk mewujudkan generasi emas ditunjukkan oleh gambar 1 berikut. Praksis Pendidikan Nasional Pergerakan Ki Hajar Dewantara Teori Ketergantungan Pendidikan Karakter
Generasi Emas Indonesia
Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill)
Gambar 1. Kerangka Berfikir Reduksi Ketergantungan Dalam Upaya Pemberdayaan Pendidikan Nasional Untuk Mewujudkan Generasi Emas
19
BAB III PEMBAHASAN
A. Mewujudkan Generasi Emas Melalui Reduksi Ketergantungan Kemunculan teori ketergantungan (dependency theory) merupakan perbaikan sekaligus antitesis dari kegagalan teori pembangunan maupun modernisasi dalam tugasnya mengungkap jawaban kelemahan dua kelompok di dunia, yaitu negara maju (negara pusat) dengan negara berkembang (negara pinggiran). Teori ketergantungan muncul di Amerika Latin yang menjadi kekuatan reaktif dari kegagalan yang dilakukan teori modernisasi. Dalam konsep berpikir teori ketergantungan, pembagian kerja secara internasional mengakibatkan ketidakadilan dan keterbelakangan bagi negara-negara berkembang. Dari sini pertanyaan yang muncul adalah mengapa pembagian kerja internasional harus diterapkan jika ternyata tidak menguntungkan semua negara ? Teori modernisasi menjawab masalah ini dengan menuding kesalahan pada negara-negara berkembang dalam melakukan modernisasi dirinya. Hubungan internasional dalam kontak dagang justru membantu negara-negara berkembang melalui pemberian modal, pendidikan, dan transfer teknologi. Teori ketergantungan menolak jawaban yang diberikan oleh teori modernisasi ini. Teori ketergantungan yang bersifat struktural ini berpendapat bahwa kemiskinan yang dialami negara dunia ketiga (negara pertanian) yang merupakan negara berkembang akibat dari struktur perekonomian dunia yang eksploitatif, dimana yang kuat melakukan penghisapan terhadap yang lemah. Surplus yang seharusnya dinikmati negara dunia ketiga justeru mengalir deras kepada negara-negara industri maju. Perkembangan teori ketergantungan selanjutnya sangat terkait dengan upaya memahami lingkar hubungan makro antar berbagai negara dalam proses pembangunan masyarakat. Analisis teori ketergantungan cukup futuristik untuk membahas globalisasi yang mencakup organisai perdagangan
20
nasional (World Trade Organization) yang mengatur produksi perusahaanperusahaan Multy National Corporation (MNC). Bahwa sebenarnya telah terjalin hubungan yang tidak adil antara negara berkembang dengan negara maju. Meskipun kelihatannya negara maju memberi suntikan dana dalam bentuk utang kepada negara berkembang, tetapi sebetulnya telah mencekik mereka
perlahan-lahan
dengan
membuat
tata
hubungan
ekonomi
internasional yang eksploitatif. Pendidikan sebagai bagian dari pembangunan masyarakat tidak daapat dipisahkan
dari
arah
perubahan
yang menggejala
seiring dengan
perkembangan jaman dan hubungan internasional. Dinamika orientasi pendidikan selalu berjalan beriringan dengan konsteks wilayah sosial-politik yang menauinginya sehingga pada praktik pendidikan terjadi perbedaan yang menajam antar negara. Negara maju dengan segala keberhasilan peradabannya tentunya sydah menghantarkan orientasi pndidikan yang menjadi satelit acuan penting bagi aktivitas pendidikan di negara berkembang. Sementara itu demi mengejar ketertinggalan, negara berkembang mencoba menyesuaikan perpaduan hukum perkembangan masyarakat dengan penerapan sistem pendidikannya. Pendidikan harus mampu melakukan analisis kebutuhan nilai, pengetahuan dan teknologi yang paling mendesak yang dapat mengantisipasi kesiapan masyarakat dalam menghadapi perubahan jaman. Pembahasan dan analisis mengenai perubahan sosial dan pendidikan tidak perna lepas dari modernisasi. Kata atau istilah modernisasi mempunyai banyak definisi namun tetap ada satu kepastian bahwa pengembangan aplikasi teknologi manusia menjadi muara kelahiran modernisasi. Suatu cara untuk menggambarkan hubungan perubahan dunia pendidikan dengan tumbuh kembangnya modernisasi perlu berangkat dari konsep deferensiasi. Dengan berkembangnya deferensiasi sosial, secara perlahan-lahan akan megubah fungsi dan sistem pendidikan agar berjalan sejajar dengan kecenderungan sosial tersebut. Proses yang mempengaruhi
21
tubuh pendidikan dapat digambarkan dengan pegamatan komparatif antara masyarakat modern dengan tradisional. Pada masyarakat tradisional proses pendidikan menyatu dengan fungsi-fungsi lain yang kesemuanya diperankan oleh institusi keluarga, sedangkaan pada masarakat modern proses pendidikan lebih banyak dipengaruhi oleh institusi di luar keluarga. Meskipun terdapat prbedaan karakter pendidikan yang cukup tajam dalam kedua tipe masyarakat tersebut, namun pada dasarnya masih tersimpan kemiripan fungsi pendidikan, yaitu
sama-sama
bertanggung
jawab
mentransmisikan
sekaligus
mentransformasikan perangkat-perangkat nilai budaya pada generasi penerusnya. Dengan demikian, keduanya sama-sama menopang proses sosialisasi dan menyiapkan seseorang untuk peran-peran baru.
Letak
perbedaannya, tanpa banyak perubahan di dalam fungsi pendidikan menjadi semakin besar dan kompleks. Menurut Faisal dan Yasik (1985) alur perkembangan diferensiasi pendidikan dapat diterangkan dalam 4 (empat) tingkatan, sebagai berikut: 1. Pendidikan pada masyarakat sederhana yang belum mengenal tulisan. Dalam kehidupan masyarakatnya mengembangkan pendidikan secara informal yang berfungsi untuk memberikan bekal keterampilanketerampilan mata pecaharian dan memperkenalkan pola tingkah laku yang sesuai dengan niai serta norma masyarakat setempat. Pada tingkatan ini, peran sebagai siswa dan guru secara murni ditentukan oleh ukuranukuran askriptif. Anak-anak menjadi siswa dilatarbelakangi oleh faktor usia mereka, sementara guru disimbolkan sebagai representasi orang tua yang memiliki derajat karisma serta kewibawaan untuk mendidik kaum-kaum muda. Spesifikasi peran para guru itu, juga ditentukan oleh jenis kelamin (yang wanita mengajarkan memasak sementara para laki-laki mengajarkan berburu). 2. Pada tingkatan yang lebih maju, sebagian proses sosialisasi teridentifikasi keluar dari batas keluarga, diserahkan kepada semua pemuda di masyarakat dengan bimbingan para orang tua yang berpengalaman atau
22
berkeahlian. Kurikulum pendidikan bukan semata-mata kumpulan dari latihan memperoleh keterampilan namun ditekankan juga soal-soal metafisik dan budi pekerti. Mengenai siapa yang berperan sebagai guru sudah mulai memperyimbangkan bakat dan pengalaman berguru yang pernah diperoleh. Dalam hubungan ini, sang guru bukanlah orang yang memiliki spesialisasi khusus sperti halnya spesialisasi-spesialisasi sekarang ini, namun para siswa dapat belajar banyak mengenai nilai-nilai kehidupan sebab guru dipandang sebagai sumber segala macam pengetahuan. 3. Dengan berkembangnya diferensiasi di masyarakat itu sendiri maka meningkat pula upaya seleksi sosial. Beberapa keluaga atau kelompok meningkat menjadi semakin kuat dalam segi kekuasaan maupun kekuatan ekonominya dibandingkan warga masyarakat yang lain. Mereka yang telah menempati posisi kuat itu, secara formal membatasi akses mengenyam pendidikan bagi seluruh warga masyarakat. Pertimbangan utama dalam menentukan siapa-siapa yang menjadi siswa terletak pada latar belakang kelas atau keturunan seseorang. Sedangkan seleksi para guru disamping disyaratkan memiliki tingkat pengetahuan yang lebih tinggi, juga diperhitungkan faktor kecerdasan dan bakatnya. Dari segi kurikulum sudah diperhitungkan kebutuhan-kebutuhan perkembangan zaman dengan memfokuskan perhatian pendidikan pada budi pekerti, hukum, teologi, kesenian serta bahasa. Guru masih berperan sebagai figur yang menguasai segala hal daripada sebagai spesialis dari suatu cabang pelajaran tertentu. 4. Pada tingkatan berikutnya hubungan antara pendidikan dengan masyarakat menjadi kian rumit dan semakin kompleks. Sejalan dengan arus industrialisasi dan kecenderungan diferensiasi sosial, maka spesialisasi peranan menjadi ciri istimewa masyarakat pada tingkaatan keempat ini. Di sini pendidikan sudah berjejang-jenjang begitu rupa, dan kualifikasi para pengajar sudah tersebar ke dalam bidang keahlian yang beragam pula. Dalam hubungan ini, sekolah mendapat beban-beban baru,
23
yaitu sebagai pusat pengajaran bagi masyarakat luas, sebaggai media seleksi sosial, serta berperan pula sebagai lapangan pekerjaan. Pesatnya arus diferensiasi serta spesialisasi selama dekade-dekade terakhir memicu beberapa perubahan dalam formasi pendidikan. Hal itu terjadi sebagai akibat dari mendesaknya permintaan masyarakat akan tersedianya tenaga-tenaga spesialis yang akan menopang bergulirnya roda kehidupan masarakat yang tengah bertumpu pada kekuatan industri produk massal. Dalam perkembangan ini, sistem pendidikan beranjak pesat menjadi institusi yang mempunyai kedudukan penting terutama dalam menopang perubahan sosial ekonomi. Pendidikan berkembang menjadi jembatan pretise dan status, selain juga tampil sebagai faktor utama mobilitas sosial, bak vertikal maupun horizontal, baik intra maupun antar genarasi. Dengan demikian, pendidikan adalah kunci emas untuk melaksanakan pembangunan dan pemberdayaan warga negara agar dapat mencapai tujuan bernegara, membangun peradaban melalui generasi unggul. Pendidikan nasional Indonesia dalam pelaksanaannya perlu menelaah pesan yang senantiasa relevan di segala zaman dari tokoh pendidikan kita, Ki Hajar Dewantoro. Pesannya, ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani yang berarti : di depan memberikan teladan, di tengah memberikan bimbingan, dan di belakang memberikan dorongan kepada generasi muda kita. Pendidikan merupakan sebuah proses untuk membentuk manusia yang tidak hanya cerdas secara intelektual, mampu berpikir secara saintifik dan filosofis tetapi mampu mengembangkan potensi spiritualnya. Pendidikan seharusnya bukan semata-mata mengajarkan ilmu pengetahuan dan keterampilan namun juga mampu mengembangkan nilai-nilai religius pada peserta didik sehingga secara terus-menerus dapat melakukan pencerahan di dalam kalbunya. Oleh karena itu, tujuan pendidikan adalah membentuk karakter manusia seutuhnya agar menjadi manusia yang bertaqwa,
menjadi
individu-individu
yang
muttaqin
dalam
rangka
24
melaksanakan tugas kemanusiaan sebagai pemimpin di muka bumi untuk mewujudkan peradaban yang bermartabat dan kedamaian. Pendidikan adalah sistem rekayasa sosial terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan, keharkatan, dan kemartabatan. Pendidikan mempunyai peran utama dalam menyiapkan generasi yang cerdas, yang memiliki tingkat kesejahteraan tinggi dengan tetap memegang teguh harkat dan martabat, baik sebagai individu maupun bangsa. Dengan memperhatikan bahwa sejak 2010 sampai 2035, kita memiliki populasi usia produktif yang sangat luar biasa besarnya. Jumlah itu pun akan menurun setelah 2035. Bonus demografi ini merupakan kesempatan emas untuk menyiapkan generasi emas yang akan menjadikan bangsa dan negara Indonesia sebagai negara maju dan sejahtera sebagaimana yang dicita-citakan para pendiri. Masa 30-an tahun tersebut tidaklah lama, kalau kita berbicara tentang generasi dan nasib bangsa. Karena itu, saatnya sekarang ini kita harus segera melakukan investasi besar-besaran di bidang sumber daya manusia. Dalam era globalisasi yang menisbikan sekat geografis dan kenyataan pembangunan bahwa tidak ada satu negara pun di dunia ini yang mampu hidup tanpa bantuan dengan negara lain maka karakter bangsa harus ditanamkan secara kuat pada seluruh warga negara terlebih pada siswa sekolah yang tengah bertumbuh dan belajar. Hubungan bilateral dan multilateral antar bangsa merupakan keniscayaan sebagai konsekuensi dari kehidupan masyarakat dunia. Kemajuan Ilmu pengetahuan, teknologi termasuk komputer dan informatika, serta perkembangan seni dan budaya menuntut setiap bangsa di dunia terutama negara berkembang untuk selalu meningkatkan sistem pendidikan agar tidak jauh tertinggal dari negara maju. Pendidikan suatu negara juga tidak mungkin dapat dilepaskan dari kemajuan dan perkembangan jaman. Dengan demikian pendidikan memiliki sifat dinamis. Pendidikan nasional Indonesia tidak mungkin sepenuhnya dapat lepas dari pengaruh perkembangan global ini. Ditinjau dari teori
25
ketergantungan memiliki arti bahwa kita sebagai bagian dari masyarakat dunia tidak mungkin dapat hidup sendiri. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dinamis juga harus diikuti dengan baik agar kita tidak tertinggal dan terbelakang. Ilmu-ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya yang dipelajari dalam kurikulum sekolah juga harus senantiasa mengikuti perkembangan jaman. Hal ini menuntut kepada stakeholder pendidikan untuk selalu belajar sepanjang hayat (long life education) agar sumber daya manusia semakin meningkat kualitasnya sehingga dapat menghadapi tantangan jaman yang selalu berubah. Kenyataan pembangunan juga menunjukkan bahwa kita masih tergantung dari negara maju yang merupakan negara donor dalam pembangunan nasional. Hubungan antar negara dalam segala bidang terutama pembangunan ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraan bangsa juga tidak dapat dilepaskan dengan negara lain. Dengan demikian, bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi internasional juga menjadi mata pelajaran wajib bagi seluruh siswa mulai dari pendidikan dasar, menengah hingga tinggi. Di tengah perkembangan dan ketidakmungkinan terlepas dari pergaulan dengan bangsa-bangsa di dunia maka pendidikan nasional Indonesia harus memiliki jati diri dan karakter yang kuat. Dunia pendidikan harus mampu membangun peradaban khas Indonesia untuk memberikan kontribusi dalam membangun peradaban baru dunia. Ibarat warna cahaya putih yang kalau diurai terdiri atas beberapa spektrum cahaya, salah satu spektrum itulah spektrum khas peradaban Indonesia. Sebagai bangsa besar, dengan modalitas yang sangat luar biasa, baik sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya kultural, maupun pengalaman dan kesempatan. Dengan memperhatikan segenap potensi dan kekayaan alam yang ada sesungguhnya Indonesia adalah negara besar dan melalui pendidikan harkat dan martabat bangsa dapat senantiasa ditingatkan. Sumber daya manusia pada era global memiliki peran penting dalam membangun kemajuan bagi bangsa dan negara. Hal ini berarti pendidikan merupakan pilar utama untuk
26
mewujudkan generasi emas yang tangguh, yaitu generasi paripurna yang memiliki kecerdasan intelektual tinggi dan kecerdasan emosional serta spiritual yang kuat sehingga mampu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi dirinya, keluarga, lingkungan dan pada tataran yang luas seluruh warga negara Indonesia. Pendidikan nasional yang berjati diri dan berkarakter kuat diharapkan dapat mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana amanah UUD 1945, yaitu: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum,
mencerdaskan
kehidupan
bangsa,
dan
ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pembangunan bangsa Indonesia dengan demikian bukan hanya untuk kesejahteraan warga negaranya saja tetapi mempunyai peran dalam membangun ketertiban dunia. Reduksi ketergantungan Indonesia terhadap negara-negara donor dipandang penting untuk membangun kedaulatan secara penuh dalam berbagai aspek pembangunan, meningkatkan harkat dan martabat bangsa dalam pergaulan internasional. Reduksi ketergantungan dalam pembangunan pendidikan di Indonesia dalam banyak hal prinsip telah dilaksanakan, misalnya: 1. Sebagian besar guru pada sekolah-sekolah di semua jenjang adalah warga negara Indonesia asli. Hal ini menunjukkan bahwa kita berdaulat penuh dalalm mendidik anak bangsa. 2. Bahasa Indonesia adalah bahasa pengantar resmi dalam kegiatan pembelajaran. 3. Buku dan modul pembelajaran disusun dalam Bahasa Indonesia sehingga siswa lebih mudah dalam memahami isi materi pembelajaran. 4. Banyak strategi pembelajaran yang khas Indonesia diterapkan dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa dalam hal pedagogik guru-guru dapat mengembangkan, menginovasi dan mengkreasi strategi pembelajaran yang lebih dapat diterima siswa dalam kegiatan pembelajaran yang berangkat dari budaya dan kearifan lokall.
27
5. Muatan mata pelajaran tentang nasionalisme, budaya dan kearifan lokal diajarkan kepada siswa untuk membangun karakter bangsa yang kuat dan bermartabat. Budaya lokal dan bahasa ibu pada tiap daerah diajarkan sebagai mata pelajaran muatan lokal sebagai upaya melestarikan dan mengembangkan kearifan lokal dan sosial. 6. Media pembelajaran dan alat bantu pembelajaran banyak yang dibuat dan dikembangkan merupakan karya asli ataupun pengembangan secara mandiri ataupun kelompok kerja guru-guru Indonesia. Dengan memperhatikan contoh-contoh di atas maka sesungguhnya pendidikan di Indonesia secara operasional dan teknis telah dapat dilaksanakan dengan mengandalkan sumber daya bangsa sendiri dan terlepas dari ketergantungan akan negara maju. Praktik pendidikan juga masih memilliki ketergantungan pada negara maju dalam beberapa aspek yang sampai saat ini kita belum memungkinkan untuk lepas, yaitu: 1. Mata pelajaran Bahasa Inggris merupakan mata pelajaran wajib dari jenjang pendidikan dasar, menengah hingga tinggi. Hal ini dikarenakan Bahasa Inggris adalah bahasa internasional dan palling banyak dipergunakan dalam hubungan dengan negara-negara lain di dunia sehingga mempelajari dan menguasainya merupakan prasyarat untuk berkembang. 2. Ilmu-illmu pengetahuan alam dan sosial yang diajarkan sebagian besar masih berkiblat pada teori-teori yang berasal dari negara maju. Mata pelajaran sains baik Fisika, Kimia, Biologi dan juga Matematika masih bergantung dari teori yang berasal dari negara maju. Demikian juga dalam kajian-kajian illmu sosial masih banyak yang mengacu pada teori yang berasal dari negara maju. 3. Ilmu-illmu teknologi dan rekayasa, teknik informatika dan komputer, illmu kimia, kedokteran, dan ilmu-illmu terapan hampir semuanya berasal dari
28
negara maju dan kita tinggal mempelajari dan menerapkannya dalam kegiatan pembelajaran. 4. Teknologi mutakhir baik otomotif, komputer dan perangkat elektronika dan sebagian besar perangkat modern (high technology) hampir semuanya juga berasal dari negara maju. Dari contoh di atas kita juga dapat melihat bahwa sampai dengan saat ini kita belum mampu mandiri dallam isi mata pellajaran yang berhubungan dengan ilmu-ilmu terapan dan teknollogi modern terhadap negara maju. Disadari sepenuhnya bahwa selama kita belum dapat mandiri dan masih tergantung dengan bangsa lain dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka selama itu pula kita tidak dapat lepas dari ketergantungan terhadap negara maju. Pembangunan pendidikan ke depan perlu memikirkan dan mengupayakan secara maksimal segenap potensi yang ada agar terjadi alih teknologi bahkan diharapkan cendikiawan kita mampu membangun tradisi belajar dan riset untuk membangun peradaban yang lebih baik bagi bangsa kita. Generasi emas ke depan harus dibekali dengan karakter nasionalisme yang kuat dan dibangun budaya belajar dan masyarakat berbudaya ilmu pengetahuan agar selalu meningkatkan diri dan terbentuk budaya riset dalam seluruh ilmu pengetahuan. Kemajuan pendidikan yang diimbangi dengan kemajuan ilmu pengetahuan diyakini dapat mengantarkan bangsa menuju pada kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh warga negara dan terwujud peradaban baru yang lebih damai dan membawa kebaikan bagi semua.
B. Praksis Pendidikan Nasional yang dapat Mewujudkan Generasi Emas Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional bab I, pasal I ayat (1) menyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan potensi siswa untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
29
Pandangan klasik tentang pendidikan pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat dijalankan pada tiga fungsi sekaligus; Pertama, menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat di masa depan. Kedua, mentransfer atau memindahkan pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan, dan Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup (survive) masyarakat dan peradaban. Awal dari praksis pendidikan dimulai dari keyakinan, bahwa manusia tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan sendirinya tanpa bantuan orang lain. Dari sejak seorang bayi lahir pada hakikatnya ia memerlukan perlakuan dan bantuan orang lain. Tanpa bantuan ibu atau orang dewasa lain yang mengasuhnya, bayi itu tidak akan dapat memilki kecakapan hidup yang bermanfaat bagi kelangsungan hidupnya kelak. Dari perspektif filosofis, keyakinan itu mengisyaratkan adanya pusat perhatian yang utama: manusia (human) dengan segala potensi kemanusiaannya (humanities) yang masih memerlukan proses pendidikan. Dengan berlandaskan pada keyakinan seperti ini berarti bahwa pendidikan haruslah diupayakan untuk membimbing, membantu, atau memperbaiki tingkah laku manusia ke arah tingkah laku yang selaras dengan norma-norma yang berlaku secara umum. Mendidik manusia menjadi manusia yang berkualitas baik bukanlah pekerjaan mudah, memerlukan pemahaman yang seksama pada hekekat kemanusiaan dan hakikat pendidikan. Pendidikan nasional kita mempunyai suatu keinginan mewujudkan generasi emas, dari sebelum kemerdekaan upaya-upaya ini sudah dilaksanakan, upaya upaya ini dapat kita dalam catatanan sejarah bangsa Indonesia. Gerakan gerakan praksis pendidikan di Indonesia dapat kita lihat dari perkembangan sejarah Indonesia. Pergerakan itu antara lain :
30
1. Pergerakan Ki Hajar Dewantara Konsepsi pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara diantaranya adalah “mendidik” yaitu memanusiakan manusia dalam hal ini berarti membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia (humanis). Dalam konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara ada 2 hal yang harus dibedakan yaitu sistem “Pengajaran” dan “Pendidikan” yang harus bersinergis satu sama lain. Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik). Sehingga ajaran yang dicetuskan oleh Bapak Pendidikan kita yaitu Bapak Ki Hajar Dewantara sangatlah penting untuk kita ulas dan ingat kembali. Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa di Yogyakarta pada tanggal 3 Juli 1922, bertujuan mengganti sistem pendidikan dan pengajaran Belanda dengan sistem baru berdasarkan kebudayaan sendiri. Untuk mewujudkan cita-citanya itu, maka diterapkan asas-asas pendidikan dan dasar-dasar. Asas pendidikan ini dikenal dengan asas 1922, sebagai berikut: a. Pasal pertama: Hak seseorang akan mengatur dirinya sendiri dengan mengingati tertibnya persatuan, dalam perikehidupan umum. Tertib dan damai itulah tujuan kita yang tertinggi. Tidak akan ada ketertiban jika tidak ada kedamaian. Sebaliknya tidak ada kedamaian selama orang dirintangi dalam mengembangkan hidupnya yang wajar. Tumbuh menurut kodrat merupakan syarat mutlak bagi pertumbuhan yang wajar, mengutamakan perkembangan diri menurut kodratnya. Oleh karenanya Ki Hadjar Dewantara menolak faham pendidikan dalam arti dengan sengaja membentuk watak anak melalui paksaan dan hukuman. Cara yang demikian disebut “Sistem Among”.
31
b. Pasal kedua: Dalam sistem ini maka pelajaran berarti mendidik anak menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya, dan merdeka tenaganya. Dengan demikian seorang guru atau pamong tidak hanya memberi pengetahuan yang perlu dan baik saja, tetapi juga harus mendidik kepada siswa untuk mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya untuk amal keperluan umum. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran Ki Hadjar Dewantara mengutamakan kemandirian pada diri peserta didik, yang dengannya peserta didik akan memiliki karakter mandiri. c. Pasal ketiga: tentang zaman yang akan datang, rakyat kita ada di dalam kebingungan. Sering kita tertipu oleh keadaan, yang kita pandang perlu dan laras untuk hidup kita, padahal itu adalah keperluan bangsa asing, yang sulit didapatnya dengan alat penghidupan kita sendiri. Demikianlah acapkali kita merusak sendiri kedamaian hidup kita. Lagi pula kita sering mementingkan pengajaran menuju terlepasnya pikiran, padahal pengajaran itu membawa kita kepada gelombang penghidupan yang tidak merdeka dan memisahkan orang-orang yang terpelajar dengan rakyatnya. Dalam zaman kebingungan ini seharusnyalah keadaan kita sendiri, kita pakai sebagai penunjuk jalan, untuk mencari penghidupan baru, yang selaras dengan kodrat kita dan akan memberi kedamaian dalam hidup kita. Pasal ini juga merupakan bagian penting dalam membangun karakter anak bangsa untuk menjadi manusia yang tidak kehilangan jati diri sebagai bangsa yang beradab. d. Pasal keempat: Dasar kerakyatan. Pengajaran yang hanya terdapat pada sebagian kecil rakyat Indonesia tidak berfaedah untuk bangsa, maka seharusnyalah golongan rakyat yang terbesar mendapat pengajaran secukupnya. Hal ini mengandung pengertian, bahwa memajukan pengajaran untuk rakyat umum atau kuantitas pendidikan
32
lebih baik daripada meninggikan pengajaran (kualitas) jikalau meninggikan pengajaran dapat mengurangi tersebarnya pengajaran. e. Pasal kelima: Untuk dapat berusaha menurut asas dengan bebas dan leluasa, maka kita harus bekerja menurut kekuatan sendiri. Walaupun kita tidak menolak bantuan dari orang lain, akan tetapi kalau bantuan itu akan mengurangi kemerdekaan kita lahir atau batin haruslah ditolak. Ini adalah wujud nyata karakter kemandirian. f. Pasal keenam: Keharusan untuk membelanjai diri sendiri segala usaha Taman Siswa. Usaha ini terkenal dengan “Zelbedruiping-systeem”. Hal semacam ini amat sukar, karena untuk dapat membelanjai diri sendiri tanpa menerima bantuan orang lain diperlukan keharusan untuk hidup sederhana. Ajaran ini merekomendasikan kepada kita untuk hidup sederhana, atau dengan kata lain, hidup sederhana sebagai bentuk karakter positif perlu terus ditradisikan. g. Pasal ketujuh: Dengan tidak terikat lahir atau batin, serta kesucian hati, berminat kita berdekatan dengan “Sang Anak”. Kita tidak meminta sesuatu hak, akan tetapi menyerahkan diri untuk berhamba kepada “Sang Anak”. Dengan kata lain, keikhlasan lahir dan batin untuk mengorbankan segala kepentingan kita kepada selamat bahagianya anak didik. Selain asas-asas tersebut, Taman Siswa juga memiliki dasar-dasar pendidikan sebagai lanjutan cita-cita Ki Hadjar Dewantara yaitu terkenal dengan sebutan Panca Darma, yaitu: (1) Kodrat alam, (2) Kemerdekaan, (3) Kebudayaan, (4) Kebangsaan, dan (5) Kemanusiaan (Muchamad Tauchid dan Ki Suratman, 1988: 16). Kodrat alam mengandung pengertian pada hakekatnya manusia sebagai makhluk tidak dapat terlepas dari kehendak hukum kodrat alam. Manusia akan mengalami kebahagiaan jika dapat menyatukan diri dengan kodrat alam yang mengandung segala hukum kemajuan. Dasar kemerdekaan mengandung arti, kemerdekaan sebagai karunia Tuhan
33
kepada semua makhluk manusia yang memberikan kepadanya “hak untuk mengatur dirinya sendiri”, dengan selalu mengingat syarat-syarat tertib damainya hidup bersama (masyarakat). Dasar kebudayaan mengandung pengertian, membawa kebudayaan kebangsaan itu kearah kemajuan dunia dan kepentingan hidup rakyat, lahir dan batin. Dasar kebangsaan memiliki maksud, tidak boleh bertentangan dengan kemanusiaan, malahan harus menjadi bentuk dan fitrah kemanusiaan yang nyata. Oleh karena itu tidak mengandung arti permusuhan dengan bangsa lain, melainkan mengandung rasa satu dengan bangsa sendiri, rasa satu dalam suka dan duka, rasa satu dalam kehendak menuju kepada kebahagiaan hidup lahir serta batin seluruh bangsa. Dasar kemanusiaan mempunyai maksud bahwa darma tiap-tiap manusia itu adalah mewujudkan kemanusiaan, yang berarti kemajuan manusia lahir dan batin yang setinggi-tingginya yang dapat dilihat pada kesucian hati seseorang serta adanya rasa cinta kasih terhadap sesama manusia dan terhadap makhluk Tuhan seluruhnya, yang bersifat keyakinan adanya hukum kemajuan yang meliputi alam semesta. Dalam
pelaksanaan
pendidikan,
Ki
Hadjar
Dewantara
menggunakan “Sistem Among” sebagai perwujudan konsepsi beliau dalam menempatkan anak sebagai sentral proses pendidikan. Dalam Sistem Among, maka setiap pamong sebagai pemimpin dalam proses pendidikan diwajibkan bersikap: Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, dan Tutwuri handayani (MLPTS, 1992: 19-20). Ing ngarsa berarti di depan, atau orang yang lebih berpengalaman dan atau lebih berpengatahuan. Sedangkan tuladha berarti memberi contoh, memberi teladan (Ki Muchammad Said Reksohadiprodjo, 1989: 47). Jadi ing ngarsa sung tuladha mengandung makna, sebagai among atau pendidik adalah orang yang lebih berpengetahuan dan berpengalaman, hendaknya mampu menjadi contoh yang baik atau dapat dijadikan sebagai “central figure” bagi siswa.
34
Mangun karsa berarti membina kehendak, kemauan dan hasrat untuk mengabdikan diri kepada kepentingan umum, kepada cita-cita yang luhur. Sedangkan ing madya berarti di tengah-tengah, yang berarti dalam pergaulan dan hubungannya sehari-hari secara harmonis dan terbuka. Jadi ing madya mangun karsa mengandung makna bahwa pamong atau pendidik sebagai pemimpin hendaknya mampu menumbuhkembangkan minat, hasrat dan kemauan anak didik untuk dapat kreatif dan berkarya, guna mengabdikan diri kepada cita-cita yang luhur dan ideal. Tutwuri berarti mengikuti dari belakang dengan penuh perhatian dan penuh tanggung jawab berdasarkan cinta dan kasih sayang yang bebas dari pamrih dan jauh dari sifat authoritative, possessive, protective dan permissive yang sewenang-wenang. Sedangkan handayani berarti memberi kebebasan, kesempatan dengan perhatian dan bimbingan yang memungkinkan anak didik atas inisiatif sendiri dan pengalaman sendiri, supaya mereka berkembang menurut garis kodrat pribadinya. Sistem pendidikan yang dikemukakan Ki Hadjar Dewantara juga merupakan warisan luhur yang patut diimplementasikan dalam mewujudkan generasi emas. Jika para pendidik sadar bahwa dengan mengimplementasikan: Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, dan Tutwuri handayani, merupakan salah satu langkah dalam mewujudkan generasi emas.
2. Pendidikan Karakter Terdapat berbagai rumusan dlam memaknai karakter maupun pendidikan karakter Rumusan tersebut antara lain: a. Character is the combination of personal qualities that make each person unique. Teachers, parents, and community members help children build positive characterqualities. For example, the six pillars of character are trustworthiness, respect,responsibility, fairness, caring, and citizenship. Character deals with how people think and behave
35
related to issues such as right and wrong, justice and equity, and other areas of human conduct (www.eduscapes.com). b. Character is attribute or a quality that defines a person. This means that you are defined by a certain set of habits, qualities or attitudes and these form the basis upon which you character is judged (www.indianchild.com) c. Character education is the development of knowledge, skills, and abilities that encourage children and young adults to make informed and responsible choices (www.eduscapes.com). d. Character education is the deliberate effort to help people understand, care
about,
and
act
www.goodcharacter.com).
upon
core
ethical
values
(Lickona,
Lebih lanjut Lickona mengemukakan:
“When we think about the kind of character we want for our children, it’s clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right— even in the face of pressure from without and temptation from within.” e. Character education is the development of knowledge, skills, and abilities that enable the learner to make informed and responsible choices. It involves a shared educational commitment that emphasizes the responsibilities and rewards of productive living in a global a diverse society (www.urbanext.illinois.edu) f. Character education is an umbrella term loosely used to describe the teaching of children in a manner that will help them develop variously as moral, civic, good,mannered, behaved, non-bullying, healthy, critical, successful, traditional, compliant and/ or socially-acceptable beings (wikipedia.com) g. Character education (CE) is everything you do that influences the character of the kids you (Elkin & Sweet, 2004) Dari berbagai pendapat tersebut secara sederhana dapat dirumuskan bahwa pada dasanya karakter menyangkut kualitas diri dan
36
keyakinan seseorang yang akan melandasi perilaku Sedangkan pendidikan karakter adalah upaya meningkatkan pengetahuan, ketrampilan maupun sikap yang dibutuhkan agar seseorang berperilaku sesuai dengan nilai-nilai luhur, norma, etika, maupun aturan yang berlaku. Pendidikan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (pasal 3). Hanya dalam kenyatan, justru banyak warga negara yang tidak berakhlak mulia (sejenis korupsi, penyalahgunaan narkoba, dan kekerasan), kurang mandiri (konsumtif), tidak bertanggung jawab, dan kasus lain yang justru bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional. Dari contoh Beberapa kasus di atas menunjukkan bahwa pendidikan kita belum mampu membangun karakter bangsa. Praksis pendidikan yang terjadi di kelaskelas tidak lebih dari latihan-latihan skolastik, seperti mengenal, membandingkan, melatih, dan menghapal, yakni kemampuan kognitif yang sangat sederhana, di tingkat paling rendah (Winarno Surachmad, dkk.: 2003: 114). Secara lebih ekstrim Helena Asri Sinawang (2008), mengatakan bahwa kecenderungan yang muncul, pendidikan dipersempit menjadi "persekolahan" yang kemudian dipersempit lagi dengan "pengajaran". Selanjutnya "pengajaran" dipersempit kembali dengan "pengajaran di ruang kelas" dan semakin sempit menjadi penyampaian materi kurikulum yang hanya berorientasi pada pencapaian target sempit ujian nasional (UN). Penyempitan seperti ini hanya mengarah pada aspek kognitif dan intelektual. Sedangkan unsur fundamental yang berakar pada nilai moral dari pendidikan itu sendiri terlupakan. Akibatnya pendidikan hanya menghasilkan manusia yang skolastik dan pandai secara intelektual namun kurang memiliki karakter utuh sebagai pribadi. Apa yang salah dengan
37
pendidikan sehingga setelah lebih dari enampuluh tahun Indonesia merdeka, pendidikan nasional belum mampu berfungsi menunjang tumbuhnya bangsa yang berkarakter? Selama masalah pendidikan dibiarkan mengelinding bebas, sehingga siapapun boleh dan berhak mengulas masalah pendidikan dengan versinya masing-masing tanpa landasan falsafah yang memadai, maka potret pendidikan kita akan semakin carut-marut. Pendidikan karakter di Indonesia dimulai sejak tahun ajaran 2011, seluruh tingkat pendidikan di Indonesia harus menyisipkan pendidikan berkarakter tersebut dalam proses pendidikannya. Ada 18 nilai-nilai dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa yang dibuat oleh Diknas. 18 nilai-nilai dalam pendidikan karakter menurut Diknas adalah: a. Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. b. Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. c. Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. d. Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. e. Kerja Keras Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
38
f. Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. g. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. h. Demokratis Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. i.
Rasa Ingin Tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
j.
Semangat Kebangsaan Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
k. Cinta Tanah Air Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. l.
Menghargai Prestasi Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
m. Bersahabat/Komunikatif Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
39
n. Cinta Damai Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. o. Gemar Membaca Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. p. Peduli Lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. q. Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. r. Tanggung Jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang
Maha
Esa.
(http://rumahinspirasi.com/18-nilai-dalam-
pendidikan-karakter-bangsa/)
3. Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skilll Education) Secara historis pendidikan sudah ada sejak manusia ada dimuka bumi ini. Ketika kehidupan masih sederhana, orang tua mendidik anaknya, atau anak belajar kepada orang tuanya atau orang lain yang lebih dewasa di lingkungannya, seperti cara makan yang baik, cara membersihkan badan, bahkan tidak jarang anak belajar dari lingkungannya atau alam sekitarnya. Anak-anak belajar bercocok tanam, berburu dan berbagai kehidupan keseharian. Intinya anak belajar agar mampu menghadapi
40
tugas-tugas kehidupan, mecari solusi untuk memecahkan dan mengatasi problem yang dihadapi sehari-hari. Sejak manusia menghendaki kemajuan dalam kehidupan, maka sejak itu timbul gagasan untuk melakukan pengalihan, pelestarian dan pengembangan kebudayaan melalui pendidikan. Maka dalam sejarah pertumbuhan masyarakat, pendidikan senantiasa menjadi perhatian utama dalam rangka memajukan kehidupan generasi demi generasi sejalan dengan tuntutan kemajuan masyrakat. Menurut keyakinan kita, sejarah pembentukan masyarakat dimulai sejak keluarga Adam dan Hawa sebagai unit kecil dari masyarakat besar umat manusia dimuka bumi ini. Dalam keluarga Adam itulah telah dimulai proses kependidikan umat manusia, meskipun dalam ruang lingkup terbatas sesuai dengan kebutuhan untuk mempertahankan kehidupannya. a. Landasan Historis Pendidikan Kecakapan Hidup Selanjutnya, dasar minimal dari usaha mempertahankan hidup manusia terletak pada orientasi manusia kearah tiga hubungan, yaitu: 1) Hubungan manusia dengan yang maha pencipta yaitu Tuhan sekalian alam. 2) Hubungan dengan sesama manusia. Dalam keluarga Adam, hubungan tersebut terbatas pada hubungan anggota keluarga. 3) Hubungan dengan alam sekitar yang terdiri dari berbagai unsur kehidupan, seperti tumbuh-tumbuhan, binatang dan kekuatan alamiah yang ada. Dari
tiga
prinsip
hubungan
inilah,
kemudian
manusia
mengembangakan proses pertumbuhan kebudayaannya. Proses ini yang mendorong manusia kearah kemajuan hidup sejalan dengan tuntutan yang semakin meningkat. Manusia sebagai makhluk Tuhan, telah dikaruniai Allah kemampuan-kemampuan dasar yang bersifat rohaniah
dan
jasmaniah, agar
mempertahankan
hidup
serta
dengannya manusia mampu memajukan
kesejahteraanya.
41
Kemampuan dasar manusia tersebut dalam sepanjang sejarah pertumbuhannya merupakan modal dasar untuk mengembangkan kehidupannya disegala bidang. Sarana utama yang dibutuhkan untuk mengembangkan kehidupan manusia tidak lain adalah pendidikan, dalam dimensi yang setara dengan tingkat daya cipta, daya rasa dan daya karsa masyarakat serta anggota-anggotanya.Oleh karena itu antara manusia dan tuntutan hidupnya saling berpacu berkat dari dorongan ketiga daya tersebut., maka pendidikan menjadi semakin penting. Bahkan boleh dikata pendidikan merupakan kunci dari segala bentuk kemajuan hidup umat manusia sepanjang sejarah. Pendidikan berkembang dari yang sederhana (primitive) yang berlangsung dari zaman dimana manusia masih berada dalam ruang lingkup kehidupan yang serba sederhana. Tujuan-tujuan pun amat terbatas pada hal-hal yang bersifat survival (pertahan hidup dari ancaman alam sekitar). Yaitu keterampilan membuat alat-alat untuk mencari dan memproduksi bahan-bahan kebutuhan hidup, beserta pemeliharaanya, serta disesuaikan dengan kebutuhannya. Akan tetapi ketika manusia telah dapat membentuk masyarakat yang semakin berbudaya dengan tuntutan hidup yang semakin tinggi, maka pendidikan ditujukan bukan hanya pada pembinaan keterampilan, melainkan kepada pengembangan kemapuan-kemampuan teoritis dan praktis berdasarkan konsep-konsep berfikir ilmiah,3 atau lebih jelasnya masalah kehidupan dan fenomena alam kemudian diupayakan dapat dijelaskan secara keilmuan. Persoalan pendidikan pada hakekatnya merupakan persoalan yang berhubungan langsung dengan kehidupan manusia dan mengalami perubahan serta perkembangan sesuai dengan kehidupan tersebut baik secara teori maupun secara konsep operasionalnya. Pendidikan merupakan salah satu unsur dari aspek sosial budaya yang
42
berperan sangat strategis dalam pembinaan suatu keluarga, masyarakat, atau bangsa. Kestrategisan peranan ini pada intinya merupakan suatu ikhtiar yang dilaksanakan secara sadar, sistematis, terarah dan terpadu untuk memanusiakan peserta didik serta menjadikan mereka sebagai khalifah dimuka bumi dengan berbekal kecakapan hidup. Manusia sebagai makhluk Tuhan, telah dikaruniai Allah kemampuan-kemampuan dasar yang bersifat rohaniah dan jasmaniah, agar dengannya manusia mampu mempertahankan hidup serta memajukan kesejahteraanya. Kemampuan dasar manusia tersebut dalam sepanjang sejarah pertumbuhannya merupakan modal dasar untuk mengembangkan kehidupannya disegala bidang.
b. Landasan Filosofis Pendidikan Kecakapan Hidup Pendidikan berjalan pada setiap saat dan disegala tempat. Setiap orang, baik anak-anak maupun orang dewasa akan mengalami proses pendidikan, lewat apa yang dijumpainya atau apa yang dikerjakannya. Walau tidak ada pendidikan yang sengaja diberikan, secara alamiah setiap orang akan terus belajar dari lingkungannya. Pendidikan sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan sistemasi dari proses perolehan pengalaman. Oleh karena itu secara filosofis pendidikan diartikan sebagai suatu proses perolehan pengalaman belajar yang berguna bagi peserta didik, sehingga siap digunakan untuk
memecahkan
problem
kehidupan
yang
dihadapinya.
Pengalaman belajar yang diperoleh peserta didik diharapkan juga mengilhami mereka ketika menghadapi problem dalam kehidupan sesungguhnya. Selama ini strategi pembelajaran dalam pendidikan formal didominasi oleh faham strukturalisme, obejektivisme, behavioristik. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Nurhadi dan Agus Gerrad Senduk bahwa dalam pembelajaran pendidikan formal hanya bertujuan siswa mengingat informasi yang faktual. Buku tek dirancang,
43
siswa membaca atau diberi informasi, selanjutnya terjadi proses memorisasi. Tujuan-tujuan pembelajaran dirumuskan secara jelas untuk keperluan merekam informasi. Pembelajaran dilaksanakan dengan mengikuti urutan kurikulum secara ketat. Aktivitas belajar mengikuti buku teks. Tujuan pembelajaran menekankan pada penambahan pengetahuan, dan seseorang dikatakan telah belajar apabila ia mampu mengungkapkan kembali apa yang telah dipelajarinya. Menurut faham konstruktivistik berbeda dengan faham klasik, pengetahuan itu adalah bentukan (konstruksi) siswa sendiri yang sedang belajar.5 Atau dengan kata lain, manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan cara mencoba memberi arti pada pengetahuan sesuai dengan pengalamnnya. Pengetahuan itu rekaan dan tidak stabil, oleh karena itu pengetahuan adalah konstruksi manusia dan secara konstan manusia mengalami pengalamanpengalaman baru, maka pengetahuan itu tidak pernah stabil. Oleh karena itu pemahan yang kita peroleh senantiasa bersifat tentatif dan tidak lengkap, pemahaman kita akan semakin mendalam dan kuat jika diuji melalui pengalaman-pengalaman baru. Dalam proses pembelajaran dan arahan guru hanya merupakan bahan yang harus diolah dan dirumuskan oleh siswa sendiri. Tanpa siswa sendiri aktif mengelola, mempelajari dan mencerna ia tidak akan menjadi tahu. Maka dalam hal ini pendidikan atau pengajaran harus membantu anak didik aktif belajar sendiri. Dan pengetahuan juga bisa dibentuk secara sosial (bersama). Vygotsky mengatakan bahwa pengetahuan anak dibentuk dalam kerjasama dengan teman lain. Hal ini terutama berlaku pada pembelajaran bahasa. Orang akan hanya bisa lebih maju dalam bidang bahasa bila ia belajar bersama orang lain. Maka, Vygotsky menekankan pentingnya dalam kerja sama, studi kelompok. Dalam studi kelompok itu siswa
44
dapat saling mengoreksi, mengungkapkan gagasan, dan saling meneguhkan. Peran guru atau pendidik dalam aliran konstuktivisme ini adalah sebagai fasilitator atau moderator. Tugasnya adalah merangsang, membantu siswa untuk mau belajar sendiri, dan merumuskan pengertiannya. Guru juga mengevaluasi apakah gagasan siswa itu sesuai dengan gagasan para ahli atau tidak, sedangkan tugas siswa adalah aktif belajar dan mencerna. Dengan dasar itu, pembelajaran,
pendidikan
harus
dikemas
menjadi
proses
mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru. Bentuk pembelajaran yang ideal adalah pembelajaran siswa yang aktif dan kritis. Siswa tidak kosong, tetapi sudah punya pengertian awal tertentu yang harus dibatu untuk berkembang. Maka modelnya adalah model dialogal, model konsistensi, model mencari bersama antara siswa dan guru. Maka, model pembelajaran yang baik adalah model demokratis dan dialogis. Siswa dapat mengungkapkan gagasannya, dapat mengkritik pendapat guru yang dianggap tidak tepat, dapat mengungkapkan jalan pikirannya yang lain dari guru. Guru tidak menjadi diktator yang hanya menekankan satu nilai satu jalan keluar, tetapi lebih demokratis. Maka model pendidikan yang membuat siswa bisu (budaya bisu) tidak zamannya lagi. Pendidikan yang benar harus membebaskan siswa tidak dijadikan penurut dan jadi robot, tetapi menjadi pribadi yang dapat berpikir, memilih, dan menentukan sikap. Landasan berfikir konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan kaum objektivis dalam hal tujuan pembelajaran. Kaum objektivis lebih menekankan pada hasil pembelajaran yang berupa pengetahuan.
Dalam
pandangan
konstruktivistik
starategi
45
memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu menurut faham konstruktivisme tugas guru adalah menfasilitasi proses tersebut dengan cara: 1) Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa. 2) Memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan 3) Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar. Pada
dasarnya
dalam
pandangan
konstruktivisme,
pengetahuan tumbuh dan berkembang melalui pengalaman, maka dalam hal ini ada empat konsep dasar Jean Piaget yang dapat diaplikasikan pada pendidikan dalam berbagai bentuk dan bidang studi, yang berimplikasi pada organisasi lingkungan pendidikan, isi kurikulum, dan urutan-urutannya, metode mengajar, dan evaluasi. Keempat konsep dasar tersebut adalah: (1) Skemata, (2) Asimilasi, (3) Akomodasi, dan (4) Ekuilibrium. 1) Skemata Manusia
selalu
berusaha
menyesuaikan
diri
dengan
lingkungannya. Manusia cenderung mengorganisasikan tingkah laku dan pikirannya. Secara sederhana skemata dapat dipandang sebagai kumpulan konsep atau katagori yang digunakan individu ketika ia berinteraksi dengan lingkungannya. Skemata ini berfungsi melakukan adaptasi dengan lingkungan dan menata lingkungan itu secara intelektual. Dalam hal ini Jean Piaget mengatakan bahwa skemata orang dewasa berkembang mulai skemata anak melalui proses adaptasi sampai pada penataan atau organisai. Dengan demikian, skemata adalah struktur kognitif yang selalu berkembang dan berubah. Proses yang menyebabkan adanya perubahan itu adalah asimilasi dan akomodasi.
46
2) Asimilasi Asimilasi dimaksudkan sebagai suatu proses kognitif dan penyerapan pengalaman baru, dimana seseorang memadukan stimulus atau persepsi kedalam skemata atau prilaku yang telah ada. Pada dasarnya asimilasi tidak mengubah skemata, tetapi mempengaruhi atau memungkinkan pertumbuhan skemata. Dengan demikian, asimilasi adalah proses kognitif individu dalam usahanya untuk mengadaptasi diri dengan lingkungannya. Asimilasi terjadi secara kontinyu, berlangsung terus menerus dalam perkembangan kehidupan intelektual anak. 3) Akomodasi Akomodasi
adalah
suatu
proses
struktur
kognitif
yang
berlangsung sesuai dengan pengalaman baru. Proses kognitif tersebut
menghasilkan
terbentukya
skemata
baru
dan
berubahnya skemata lama. Jadi pada hakikatnya akomodasi menyebabkan
terjadinya
perubahan
atau
pengembangan
skemata. Sebelum terjadi akomodasi, ketika anak menerima stimulus yang baru, struktur mentalnya menjadi goyah, beru seterusnya asimilasi dan akomodasi terjadi secara terus mnerus. Dengan demikian skemata berkembang sepanjang waktu bersama-sama dengan bertambahnya pengalaman. 4) Equilibrium (keseimbangan) Dalam proses adaptasi terhadap lingkungan, individu berusaha untuk mencapai struktur mental yang stabil. Stabil dalam artian bahwa terjadi keseimbangan antara proses asimilasi dan roses akomodasi. Seandainya hanya terjadi asimilasi secara kontinyu, maka yang bersangkutan hanya akan memiliki beberapa skemata yang global dan tidak mampu melihat perbedaan-perbedaan antara berbagai hal.
47
Dari faham konstruktivistik, proses pendidikan menekankan pada perkembangan intelektual yang dihasilkan dari interaksi antara individu
dengan
lingkungannya,
sehingga
kemudian
melalui
pengalaman tersebut pengetahuan akan tumbuh dan akan berkembang. Pendidikan sebagai sebuah sistem, pada dasarnya merupakan sistemasi dari proses pengalaman pendidikan. Oleh karena itu secara filosofis pendidikan diartikan sebagai proses perolehan pengalaman belajar yang berguna bagi peserta didik, dan pengalaman tersebut diharapkan mampu mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik sehingga siap digunakan untuk memecahkan problem kehidupan yang dihadapinya. Dengan alasan tersebutlah faham konstruktivime ini dijadikan landasan filosofis dalam pengembangan pendidikan kecakapan hidup (Life Skill).
c. Landasan Yuridis Pendidikan Kecakapan Hidup Dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengejar ketertinggalan di segala aspek kehidupan dan menyesuaikan dengan perubahan global serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa Indonesia melalui DPR dan Presiden pada tanggal 11 Juni 2003 telah mensahkan Undang-undang sistem pendidikan nasional yang baru, sebagai pengganti Undang-undang Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989. Undang-undang sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 yang terdiri dari 22 Bab dan 77 pasal tersebut merupakan salah satu aplikasi dari tuntutan reformasi. Perubahan mendasar yang dicanangkan dalam Undangundang sisdiknas yang baru tersebut antara lain adalah demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, peran serta masyarakat, tantangan globalisasi, kesetaraan dan keseimbangan, jalur pendidikan, dan peserta didik. Sehingga kemudian sistem pendidikan nasional diharapkan mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan,
48
peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai degan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Pendidikan kecakapan hidup adalah pendidikan yang memberi bekal dasar dan latihan yang dilakukan secara benar kepada peserta didik tentang nilai-nilai kehidupan sehari-hari agar yang bersangkutan mampu, sanggup, dan terampil menjalankan kehidupannya yaitu dapat menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya dimasa yang akan datang. Karena kecakapan hidup merupakan kemampuan, kesanggupan, dan keterampilan yang diperlukan oleh seseorang untuk menjalankan kehidupan dengan nikmat dan bahagia, serta mampu memecahkan persoalan hidup dan kehidupan tanpa adanya tekanan. Salah satu tujuan dari pendidikan kecakapan hidup adalah memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas, serta mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya di lingkungan sekolah, dengan memberi peluang pemanfaatan sumber daya yang ada di masyarakat, sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah, dengan mendorong peningkatan kemandirian sekolah, partisipasi dari stakeholders. Penyelenggaraan mendorong
pendidikan
pemberdayaan
kecakapan
masyarakat
dengan
hidup,
harus
memperluas
partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan (pasal 54 ayat 1). Masyarakat tersebut dapat berperanan sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan (pasal 54 ayat 2).14 Oleh karena itu masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan yang berbasis masyarakat, dengan mengembangkan
dan
melaksanakan
kurikulum
dan
evaluasi
49
pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standard nasional pendidikan (pasal 55 ayat 1 dan 2). Dari landasan yuridis tersebut jelas kiranya bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beraklak mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari pendidikan kecakapan hidup. Secara
eksplisit
pendidikan
kecakapan
hidup
mampu
memberikan manfaat pribadi bagi peserta didik dan manfaat sosial bagi masyarakat. Bagi peserta didik, pendidikan kecakapan hidup dapat meningkatkan kualitas berpikir, kualitas kalbu, dan kualitas fisik. Peningkatan
kualitas
tersebut
pada
gilirannya
akan
dapat
meningkatkan pilihan-pilihan dalam kehidupan individu, misalnya karir, penghasilan, pengaruh, prestise, kesehatan jasmani dan rohani, peluang,
pengembangan
diri,
kemampuan
kompetitif,
dan
kesejahteraan pribadi. Bagi masyarakat, pendidikan kecakapan hidup dapat meningkatkan kehidupan yang maju dan madani dengan indikator-indikator
adanya:
peningkatan
kesejahteraan
sosial,
pengurangan perilaku destruksif sehingga dapat mereduksi masalahmasalah sosial, dan pengembangan masyarakat yang secara harmonis mampu memadukan nilai-nilai religi, teori, solidaritas, ekonomi, kuasa dan seni.
50
4. Pendidikan untuk Mewujudkan Generasi Emas Kita semua menyadari, bahwa hanya melalui pendidikan bangsa kita menjadi maju dan dapat mengejar ketertinggalan dari bangsa lain,baik dalam bidang sains dan teknologi maupun ekonomi. Peran pendidikan penting juga dalam membangun peradaban bangsa yang berdasarkan atas jati diri dan karakter bangsa. Apapun persoalan bangsa yang dihadapi komitmen kita untuk melaksanakan pembangunan pendidikan sesuai dengan amanat konstitusi dan berbagai peraturan perundangan-undangan yang berlaku tetap dipegang. Komitmen ini direalisasikan dalam berbagai kebijakan dan program yang diarahkan untuk mencapai tujuan meningkatnya kualitas sumber daya manusia demi tercapainya kemajuan bangsa dan negara di masa depan, sebagaimana yang kita cita-citakan bersama. Ini menjadi bagian penting yang menentukan perkembangan pendidikan di Indonesia. Pendidikan adalah suatu proses di mana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien. Pendidikan adalah suatu proses dimana suatu bangsa atau negara membina dan mengembangkan kesadaran diri diantara individu-individu. Disamping itu pendidikan adalah suatu hal yang benar-benar ditanamkan selain menempa fisik,mental dan moral bagi individu-individu,agar mereka menjadi manusia yang berbudaya sehingga diharapkan mampu memenuhi tugasnya sebagai manusia yang diciptakan Allah Tuhan Semesta Alam,sebagai mahluk yang sempurna dan terpilih sebagai khalifah-Nya di muka bumi ini yang sekaligus menjadi warga negara yang berarti dan bermanfaat bagi suatu negara. Dalam konteks modern dan kontemporer, isitilah pendidikan senantiasa diletakkan dalam kerangka kegiatan dan tugas yang ditujukan bagi sebuah angkatan atau generasi yang sedang ada dalam masa-masa pertumbuhan. Oleh karena itu pendidikan lebih mengarahkan
dirinya
pada
pembentukan
dan
pendewasaan
51
pengembangan kepribadian manusia yang mengutamakan proses pengembangan dan pembentukan diri secara terus menerus (on going formation). Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada sambutan Peringatan Hari Pendidikan Nasional pada tanggal 2 Mei 2012 menyatakan bahwa tema Hari Pendidikan Nasional Tahun 2012 adalah “Bangkitnya Generasi Emas Indonesia”. Karena pada periode tahun 2010 sampai 2035 bangsa kita dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Kuasa potensi sumber daya manusia berupa populasi usia produktif yang jumlahnya luar biasa. Jika kesempatan emas yang baru pertama kalinya terjadi sejak Indonesia merdeka tersebut dapat kita kelola dan manfaatkan dengan baik, populasi usia produktif yang jumlahnya luar biasa tersebut insya Allah akan menjadi bonus demografi (demographic dividend) yang sangat berharga. Di sinilah peran strategis pembangunan bidang pendidikan untuk mewujudkan hal itu menjadi sangat penting. (Kemeterian Pendidikan dan Kebudayaan: Sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2012,Rabu,2 Mei 2012). Genarasi ini disebut sebagai generasi emas karena merupakan generasi penerus bangsa yang pada periode tersebut adalah sangat produktif, sangat berharga dan sangat bernilai, sehingga perlu dikelola dan dimanfaatkan dengan baik agar berkualitas menjadi insan yang berkarakter, insan yang cerdas, dan insan yang kompetitif, serta menjadi bonus demografi. Generasi emas sebagai generasi penerus bangsa yang akan menentukan masa depan dan int depan diri dan bangsegritas bangsa Indonesia. Generasi emas adalah generasi yang memandang masa depan diri dan bangsanya,merupakan hal yang pertama dan utama. Generasi emas adalag generasi muda yang penuh optimisme dan gairah untuk maju dengan sikap dan pola pikir yang berlandaskan moral yang kokoh dan benar. Generasi emas adalah generasi dengan visi ke depan yang cemerlang,kompetensi yang memadai, dan dengan karakter yang kokoh,
52
kecerdasan yang tinggi, dan kompetitif,merupakan produk pendidikan yang diidam-idamkan. Peserta didik dalam setiap jenjang,jenis,dan jalur pendidikan merupakan individu yang sedang dalam masa-masa pertumbuhan dan perkembangan,sedang dalam proses pengembangan dan pembentukan diri secara terus menerus untuk menjadi generasi emas yaitu insan yang bekarakter, cerdas dan kompetitif. Proses pembentukan diri terus-menerus (on going formation) ini terjadi dalam kerangka ruang dan waktu, melalui proses pendidikan bermutu. Dalam rangka menyiapkan bangkitnya generasi emas Indonesia diperlukan pembangunan pendidikan dalam perspektif masa depan, yaitu mewujudkan masyarakat Indonesia yang berkualitas,maju,mandiri,dan modern, serta meningkatkan harkat dan martabat bangsa.Keberhasilan dalam membangun pendidikan akan memberikan kontribusi besar pada pencapaian tujuan pembangunan nasional secara keseluruhan. Dalam konteks demikian,pembangunan pendidikan itu mencakup berbagai dimensi yang sangat luas,yaitu dimensi sosial, budaya, ekonomi dan politik. Pendidikan merupakan upaya memberdayakan peserta didik sebagai generasi emas untuk menjadi manusia Indonesia seutuhnya, yaitu yang menjunjung tinggi dan memegang dengan teguh norma dan nilai sebagai berikut: 1) Norma agama dan kemanusiaan untuk menjalani kehidupan seharihari sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa,mahluk individu,maupun sosial; 2) Norma persatuan bangsa untuk membentuk karakter bangsa dalam rangka memelihara keutuhan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 3) Norma kerakyatan dan demokrasi untuk membentuk manusia yang memahami
dan
demokrasi
dalam
bernegara; dan
menerapkan kehidupan
prinsip-prinsip
kerakyatan
dan
bermasyarakat,berbangsa,dan
53
4) Nilai-nilai
keadilan
sosial
untuk
menjamin
terselenggaranya
pendidikan yang merata dan bermutu bagi seluruh bangsa serta menjamin penghapusan segala bentuk deskriminasi dan bias gender serta terlaksananya pendidikan untuk semua dalam rangka mewujudkan masyarakat berkeadilan sosial. (Rencana Strategis Kemeterian Pendidikan Nasional 2010-2014)
C. Hambatan yang Dihadapi Pendidikan Nasional dalam Rangka Mewujudkan Generasi Emas 1. Tantangan Diri Sendiri Gunnar Myrdal menyebut kita sebagai negara yang lembek (soft state) dalam pengertian pemimpin–pemimpin dan masyarakatnya tidak mampu mengambil sikap yang tegas dan jelas terhadap suatu persoalan. Mochtar Lubis (1977) dalam buku Manusia Indonesia merangkum sifat–sifat jelek orang Indonesia seperti suka jalan pintas, pemalas, dan hipokrit. Membaca buku Lubis yang sangat keras ini seakan menemukan kebenaran dalam realitas sehari–hari. Adam Schwatz menyebut kita sebagai Nation in Waiting. Max Line menambahkan dalam bukunya “Bangsa Yang Belum Selesai”. Negeri jiran Malaysia menyebut tenaga kerja Indonesia disana sebagai “Indon” dalam makna yang merendahkan. Yang paling berat diantara semuanya adalah kecilnya rasa percaya diri dan mulai hilangnya harapan dari dada rakyat Indonesia, terutama ketika berhadapan dengan bangsa–bangsa asing. Kita mulai merasa bahwa Indonesia tidak akan bisa menjadi negara besar yang “setara” dengan Amerika Serikat, Cina, Jepang, maupun India. Kita masih berkutat pada persoalan “remeh-remeh” yang menguras tenaga, biaya, dan pikiran anak–anak bangsa. 2. Tantangan Dalam Negeri Berbeda dengan tantangan pertama yang bersifat kultural, tantangan kedua ini lebih merupakan persoalan struktural, kebijakan-kebijakan yang diambil oleh negara/pemerintah.
54
a. Korupsi adalah tantangan terberat. Praktik korupsi terjadi di semua level dan sektor. Dari level pusat hingga ke desa–desa. Dari sektor formal hingga non formal, ekonomi hingga non ekonomi, dan sektor– sektor yang kita pandang selama ini misalnya jauh dari korupsi seperti lembaga–lembaga keagamaan. Kita sudah memiliki aparat kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman untuk memberantasnya. Itu tidak cukup. Kita bangun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk itu. b. Kemiskinan masih tinggi. Angka pertumbuhan ekonomi tidak berbanding lurus dengan dengan kesejahteraan masyarakat. Ini berarti kue pertumbuhan ekonomi hanya tersirkulasi di kalangan elit ekonomi saja. Rasio Gini terus meningkat yang mengindikasikan semakin lebarnya jurang ketimpangan sosial. Pendidikan nasional yang belum diarahkan untuk menjadi instrumen kesejahteraan. Dengan alokasi 20% APBN, seharusnya pendidikan kita tidak mengalami hambatan yang berarti untuk mendidik rakyat Indonesia dengan tepat sehingga mereka dapat menjadi individu produktif yang menciptakan kesejahteraan. c. Birokrasi yang hingga kini belum direformasi secara sungguh–sungguh. Inefisiensi dan inefektivitas adalah gejala pokok birokrasi kita. Kewirausahaan yang kurang didukung oleh policy negara/pemerintah. Kecilnya jumlah pengusaha di Indonesia berbanding lurus dengan output ekonomi yang dihasilkan dan lapangan pekerjaan baru yang diciptakan. d. Konglomerasi menghalangi potensi–potensi muda untuk menjadi pengusaha yang mandiri dan sejati. e. Konflik sosial yang semakin menggejala di tengah masyarakat karena abainya negara. Pertikaian kelompok sosial keagamaan semakin menggerogoti
wibawa
berbangsa dan bernegara.
Pancasila
sebagai
perekat
kehidupan
55
f. Mafia hukum yang beroperasi dibalik tembok–tembok hukum kita, mengabaikan rasa keadilan, merusak tatanan dan moral aparat hukum, dan berimplikasi pada meluasnya perilaku korup. g. Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. h. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Apalagi pemerintah sedang gencar-gencarnya mengembangkan sekolah kejuruan/vokasional seolah-olah pendidikan dianggap sebagai “pabrik” yang menciptakan manusia siap pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi, dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Selain itu, sistem pendidikan yang topdown (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apaapa. Guru sebagai pemberi pengarahan. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru. Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya
56
berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa. Model pendidikan yang demikian menjadikan manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek ( wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Lembaga pendidikan belum dianggap sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain.
3. Tantangan Global Dunia berkembang semakin kencang dan berlari. Hegemoni Amerika Serikat yang sangat kuat pada abad XX dan awal abad XXI terlihat semakin pudar dengan naiknya Cina sebagai superpower baru. Tak butuh waktu lama bagi Cina. Sejak dipimpin oleh Deng Xio-ping tahun 1978, Cina mengambil langkah radikal dengan berpihak pada kapitalisme (tanpa demokrasi). Dalam waktu kurang dari tiga dekade, Cina berhasil menggeser Jepang sebagai ekonomi terbesar nomor dua di dunia setelah Amerika Serikat. Cina menyebutnya sebagai “Sosialisme ala Cina”, dimana kapitalisme diberi tempat tapi politik dikontrol sepenuhnya oleh Partai Komunis Cina. Diprediksi oleh banyak ahli, Cina akan mampu menggeser posisi ekonomi Amerika Serikat sebelum tahun 2050. Kini pengaruh Cina semakin masuk karena kebutuhannya yang tinggi terhadap pasokan sumberdaya alam mentah seperti gas, kayu, dan material lainnya untuk memenuhi industri Cina yang sedang berkembang pesat. Kita hanya “menjual alam”, tanpa mampu menjual hasil teknologi, buah dari industrialisasi.
57
D. Solusi untuk Mengatasi Hambatan yang Dihadapi Pendidikan Nasional dalam Rangka Mewujudkan Generasi Emas 1. Belajar hendaknya di pandang sebagai: a. suatu proses perubahan tingkah laku peserta didik b. sarana
untuk
menumbuh-kembangkan
seluruh
potensi
dan
kemampuan serta meningkatkan mutu atau prestasi yang ipeserta didik c. memanusiakan peserta didik d. mengedepankan keseimbangan pada penguasaan kognitif, afektif dan ketrampilan siswa. e. Proses yang menyenangkan, melayani semua jenis/tipe pembelajar, f. Mengembangkan proses berpikir ilmah g. Pemberdayaan siswa sebagai makhluk sosial sehingga perlu mengutamakan strategi pembelajaran cooperative learning. h. Sarana
bagi
pendidik
untuk
proses
terbentuknya
teraplikasikannya pendidikan karakter pada siswa diantaranya:
Gambar 2. Nilai-nilai Karakter Berlandaskan Budaya Bangsa
dan
58
2. Guru dalam melakukan pembelajaran harus mampu mengubah strategi pembelajaran yang berlandaskan berlandaskan paradigma learning yang ada dalam empat visi pendidikan menuju abad ke-21 versi UNESCO. Keempat visi pendidikan ini sangat jelas berdasarkan pada paradigma learning yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Paradigma belajar yang oleh UNESCO dipandang sebagai pendekatan belajar yang perlu diterapkan untuk menyiapkan generasi muda memasuki abad ke-21. Proses pembelajaran yang mengutamakan penguasaan “ways of knowing” atau “mode of inquiry” memungkinkan peserta didik untuk terus belajar dan mampu memperoleh pengetahuan baru. Karena itu hakikat dari “Learning to Know” adalah proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik menguasai teknik memperoleh pengetahuan dan bukan semata-mata memperoleh pengetahuan. Dalam belajar mengutamakan proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik terlibat dalam proses meneliti dan mengkaji. Ini berarti pendidikan berorientasi pada pengetahuan logis dan rasional sehingga leaner berani menyatakan pendapat dan bersikap kritis serta memiliki semangat membaca, mengkaji dan meneliti yang tinggi. Model pendekatan belajar seperti ini dapatlah dihasilkan lulusan yang memiliki kemampuan intelektual dan akademik yang tinggi dan dengan sendirinya akan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan. Jika pada “learning to know”, sasarannya adalah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga tercapainya keseimbangan dalam penguasaan IPTEK. Pada “learning to do”, sasarannya adalah kemampuan kerja generasi muda untuk mendukung dan memasuki ekonomi industri. “Learning to do” (belajar berbuat/hidup), aspek yang dicapai dalam visi ini adalah keterampilan seorang peserta didik dalam menyelesaikan problem keseharian
yang
berkaitan
dengan
kehidupan.
Pendidikan
dan
pembelajaran diarahkan pada “how to solve the problem”. Pendekatan belajar ini,mengandung makna atau berimplikasi pada pembelajaran yang
59
berorientasi pada paradigma pemecahan masalah yang memungkinkan peserta didik berkesempatan mengintegrasikan pemahaman konsep, penguasaan keterampilan teknis dan intelektual, untuk memecahkan masalah dan dapat berlanjut kepada inovasi danimprovisasi. Paradigma belajar
berdasarkan pemecahan masalah (problem-based learning)
berfokus pada penyajian suatu permasalahan, dan menawarkan kebebasan kepada peserta didik dalam proses pembelajaran. Melalui pembelajaran ini peserta didik diharapkan untuk terlibat dalam proses penelitian
yang
mengharuskan
peserta
didik
mengidentifikasi
permasalahan-permasalahan, mengumpulkan data dan menggunakan data tersebut untuk pemecahan masalah. Peserta didik akan terlibat sangat intensif, sehingga motivasi untuk terus belajar dan terus mencari tahu menjadi meningkat. 3. Peran guru berubah dari “guru” atau “ahli” menjadi fasilitator atau pembimbing. Problem-based learning mempunyai lima asumsi utama, yaitu: Permasalahan sebagai pemandu, Permasalahan menjadi kerangka berpikir bagi peserta didik dalam mengerjakan tugas, Permasalahan sebagai kesatuan dan alat evaluasi,
Permasalahan sebagai contoh,
Permasalahan sebagai sarana yang menfasilitasi terjadinya proses. Fokusnya pada kemampuan berpikir kritis dalam hubungannya dengan permasalahan. Permasalahan menjadi alat untuk melatih peserta didik dalam bernalar dan berpikir kritis. Permasalahan sebagai stimulus dalam aktivitas belajar Fokusnya pada pengembangan keterampilan pemecahan masalah dari kasus-kasus serupa. Pendidikan tidak hanya membekali peserta didik untuk menguasai IPTEK dan kemampuan bekerja serta memecahkan masalah,melainkan kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain yang berbeda dengan penuh toleransi, pengertian, dan tanpa prasangka. Pendidikan diarahkan dalam pembentukan peserta didik yang berkesadaran bahwa kita ini hidup dalam sebuah dunia yang global bersama banyak manusia dari berbagai bahasa dan latar belakang
60
etnik,agama dan budaya. Disinilah pentingnya pilar ketiga yaitu “learning to live together” (belajar hidup bersama). Pendidikan untuk mencapai tingkat kesadaran akan persamaan antar sesama manusia dan terdapat saling ketergantungan satu sama lain tidak dapat ditempuh dengan pendidikan yang menggunakan pendekatan tradisional,melainkan perlu menciptakan situasi kebersamaan dalam waktu yang relatif lama. Dalam hubungan ini,prinsip relevansi sosial dan moral sangat tepat. Suatu prinsip yang memerlukan suasana belajar yang secara “inherently” mengandung nilai-nilai toleransi saling ketergantungan, kerjasama, dan tenggang rasa. Ini diperlukan proses pembelajaran yang menuntut kerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Tiga pilar yaitu learning to know, learning to do, dan learning to live together ditujukan bagi lahirnya peserta didik yang mampu mencari informasi dan/atau menemukan ilmu pengetahuan,yang mampu melaksanakan tugas dalam memecahkan masalah, dan mampu bekerjasama, bertenggang rasa, dan toleran terhadap perbedaan. Hasil akhirnya adalah manusia yang mampu mengenal dirinya, menerima dirinya,
mengarahkan
dirinya,mengambil
keputusan
dan
mengaktualisasikan dirinya. Manusia yang mandiri yang memiliki kemantapan emosional, intelektual, moral, spiritual, yang dapat mengendalikan dirinya, konsisten dan memiliki rasa empati atau dalam kamus psikologi disebut memiliki kecerdasan emosional, kecerdasan intelektual, kecerdasan moral, dan kecerdasan spiritual. Inilah makna “learning to be”, yaitu muara akhir dari tiga pilar belajar. Pada masa sekarang ini “learning to be” menjadi sangat penting karena masyarakat modern saat ini sedang dilanda krisis kepribadian. Oleh karena itu melalui “learning to be” sebagai muara akhir dari tiga pilar belajar akan mampu membantu peserta didik dimasa depannya bisa tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang mantap dan mandiri,memiliki harga diri.
61
4. Pendidikan berbasis kewirausahaan Para peseta didik perlu dibekali dengan pendidikan kemampuan wira usaha yang handal yang meliputi diantaranya kemampuan soft skills yaitu kemampuan untuk bertingkah-laku secara personal dan interpersonal yang dapat mengembangkan dan memaksimalkan kinerja seseorang yang tercermin dalam kepribadian, sikap dan perilaku yang dapat diterima dalam kehidupan masyarakat; mata pelajaran dan pembentukan karakter kewirausahaan pada peserta didik yang mengandung unsur eksplorasi rasa ingin
tahu/inquiry,
fleksibilitas
berpikir,
kreativitas,
kemampuan
berinovasi, tidak takut pada resiko dan memprioritaskan praktek di lapangan.
62
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan 1. Mewujudkan generasi emas Indonesia dengan mereduksi ketergantungan terhadap negara maju dilakukan dengan memberdayakan pendidikan nasional pendidikan yang berjati diri dan berkarakter kebangsaan yang kuat. Reduksi ketergantungan dalam pembangunan pendidikan di Indonesia dalam banyak hal prinsip telah dilaksanakan, misalnya: sebagian besar guru adalah warga negara asli Indonesia, diterapkannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan pembelajaran, buku dan modul disusun dalam Bahasa Indonesia, diterapkannya strategi pembelajaran khas Indonesia, diajarkannya muatan mata pelajaran tentang nasionalisme, budaya dan kearifan lokal, serta media dan alat pembelajaran yang dibuat dan dikembangkan oleh guru sendiri. 2. Praksis pendidikan nasional yang dapat mewujudkan generasi emas Indonesia diantaranya adalah: (1) penerapan prinsip pendidikan Ki Hajar Dewantara ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tutwuri handayani, (2) penerapan pendidikan karakter meliputi: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/ komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab, serta (3) penerapan pendidikan kecakapan hidup (life skill education). 3. hambatan yang dihadapi oleh pendidikan nasional dalam rangka mewujudkan generasi emas diantaranya adalah: tantangan diri sendiri, tantangan dari dalam negeri, dan tantangan global. 4. solusi bagi hambatan-hambatan yang dihadapi oleh pendidikan nasional dalam rangka mewujudkan generasi emas dimulai dengan memandang
63
belajar sebagai: (1) suatu proses perubahan tingkah laku, (2) menumbuhkembangkan seluruh potensi peserta didik, (3) memanusiakan manusia, (4) mengedepankan keseimbangan kognitif, afektif, dan psikomotorik, (5) proses yang menyenangkan, (6) mengembangkan proses berpikir ilmiah, (7) pemberdayaan siswa sebagai makhuluk sosial, dan (8) sarana bagi pendidik untuk proses terbentuknya dan teraplikasikannya pendidikan karakter bagi siswa. Guru dalam melakukan kegiatan pembelajaran berlandaskan pada empat pilar pendidikan menurut UNESCO, yaitu: learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Guru menanamkan karakter kewirausahaan pada peserta didik yang mengandung unsur eksplorasi rasa ingin tahu/inquiry, fleksibilitas berpikir, kreativitas, kemampuan berinovasi, tidak takut pada resiko dan memprioritaskan praktek di lapangan.
B. Saran 1. Pemerintah selaku penentu regulasi sistem pendidikan yang diterapkan di seluruh wilayah Indonesia sudah seyogyanya mengeluarkan kebijakan pendidikan
yang
memberdayakan
pendidikan
nasional
dengan
mengoptimalkan segenap potensi dan sumber daya yang dimiliki Indonesia sehingga kita dapat mereduksi ketergantungan yang sangat terhadap negara maju. 2. Kepala sekolah hendaknya memiliki visi dan misi manajmenen dan kepemimpinan pendidikan yang efektif dengan senantiasa memberikan pelayanan prima bagi seluruh siswa sehingga siswa merasa senang belajar dan dapat mengoptimalkan segenap potensi diri yang dimilikinya. 3. Guru selaku ujung tombak pelaksanaan pembangunan pendidikan hendaknya memiliki loyalitas dan dedikasi yang tinggi dalam melaksanakan tugas profesionalnya mendidik siswa sehingga kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan akan mempunyai makna, menyenangkan, dan inovatif yang pada akhirnya dapat mewujudkan lulusan paripurna yang memiliki
64
kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual yang tinggi. Generasi muda yang saat ini tengah menempuh pendidikan pra sekolah, pendidikan dasar dan menengah saat ini pada akhirnya akan menjadi generasi penerus embangunan dan pemimpin masa depan. Guru mempunyai peran penting dan strategis dalam melaksanakan pendidikan dan pembelajaran berkualitas yang akan menentukan keberhasilan mewujudkan
generasi
emas
Indonesia
yang
diharapkan
dapat
mewujudkan tujuan bernegara, mewujudkan perdaban tinggi yang damai, sejahtera dan berkeadalian bagi seluruh rakyat Indonesia. 4. Bagi orang tua hendaknya lebih mengasihi dan menyayangi anaknya dengan secara aktif dalam mendidik anaknya secara baik karena pendidikan keluarga mempunyai peran yang utama dalam mewujudkan generasi emas Indonesia. Kepedulian orang tua terhadap anak akan berpengaruh terhadap keberhasilan anak dalam menempuh pembelajaran di sekolah. 5. Bagi masyarakat hendaknya mendukung pembangunan pendidikan dengan memberikan lingkungan yang kondusif dan menyenangkan serta memberi pengaruh yang positif bagi pengembangan segenap potensi siswa yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari masyarakat. Lingkungan masyarakat turut mempengaruhi perilaku belajar siswa yang menjadi warganya sehingga apabila semua warga masyarakat memiliki kepedulian yang tinggi dalam keberhasilan pendidikan warganya maka yakinlah bahwa generasi emas Indonesia akan segera terwujud secara nyata.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohamad. 2009. Pendidikan Nasional untuk Pembangunan Nasional: Menuju Bangsa Indonesia yang Mandiri dan Berdaya Saing Tinggi. Bandung: PT. Imperial Bhakti Utama. Depdiknas. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. 2010. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. 2005. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009. Menuju Pembangunan Pendidikan Nasional Jangka Panjang 2025. Jakarta: Depdiknas Depdiknas. 2010. Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014. Jakarta:Kemendiknas. Djati Sidi, Indra. 2003. Menuju Masyarakat Belajar:Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Jakarta: Paramadina Koesoema A, Doni. 2007. Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta:Grasindo Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara. Suryadi, Ace dan Budimansyah, Dasim. 2004. Pendidikan Nasional Menuju Masyarakat Indonesia Baru. Bandung: Ganesindo.Tilaar, H.A.R. 2002. Pendidikan untuk Masyarakat Indonesia Baru. Jakarta: Grasindo. Tilaar, H.A.R. 2009. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta. Zuchdi, Darmiyati. 2009. Humanisasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.