BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Batuk merupakan suatu ekspirasi yang eksplosive, merupakan mekanisme perlindungan normal untuk membersihkan tracheobronchial dari sekret dan benda asing. Batuk dapat terjadi dengan sengaja atau karena refleks. Batuk dimulai dengan inspirasi dalam diikuti dengan menutupnya glotis, relaksasi diafragma, dan kontraksi otot melawan penutupan glotis yang menyebabkan tekanan intratoraks meningkat . Ketika glotis terbuka, perbedaan tekanan yang besar antara saluran napas dan udara luar menghasilkan aliran udara yang cepat melewati trakea. Batuk membantu membuang mukus dan bahan-bahan asing. Saluran pernapasan dimulai dari rongga hidung sampai saluran – saluran kecil alveoli paru. Pada setiap saluran ini terdapat pembuluh darah. Umumnya penyebab terjadinya perdarahan sehingga terjadi batuk darah adalah karena robeknya lapisan saluran pernapasan sehingga pembuluh darah di bawahnya ikut sobek dan darah mengalir keluar. Adanya cairan darah kemudian dikeluarkan oleh adanya refleks batuk. Batuk darah adalah darah atau dahak bercampur darah yang dibatukkan yang berasal dari saluran pernafasan bagian bawah (mulai glotis ke arah distal). batuk darah adalah suatu keadaan menakutkan / mengerikan yang menyebabkan beban mental bagi penderita dan keluarga penderita sehingga menyebabakan takut untuk berobat ke dokter .biasanya penderita menahan batuk
karena
takut
kehilangan
darah
yang
lebih
banyak
sehingga
menyebabkan penyumbatan karena bekuan darah. batuk darah pada dasarnya akan
berhenti
sendiri
asal
tidak
ada
robekan
pembuluh
darah,berhenti sedikit-sedikit pada pengobatan penyakit dasar.Batuk darah merupakan suatu gejala atau tanda suatu penyakit infeksi. Volume darah yang dibatukkan bervariasi dan dahak bercampur darah dalam jumlah minimal hingga masif, tergantung laju perdarahan dan lokasi perdarahan.
1
Batuk darah atau hemoptisis adalah ekspektorasi darah akibat perdarahan pada saluran napas di bawah laring, atau perdarahan yang keluar melalui saluran napas bawah laring. Batuk darah lebih sering merupakan tanda atau gejala penyakit dasar sehingga etiologi harus dicari melalui pemeriksaan yang lebih teliti. Batuk darah masif dapat diklasifikasikan berdasarkan volume darah yang dikeluarkan pada periode tertentu. Batuk darah masif memerlukan penanganan segera karena dapat mengganggu pertukaran gas di paru dan dapat mengganggu kestabilan hemodinamik penderita sehingga bila tidak ditangani dengan baik dapat mengancam jiwa.
B. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini agar mahasiswa/i Stikes Papua Sorong dapat memahami mengenai haemaptoe dan penatalaksanaan gawat darurat pasien dengan haemaptoe
C. Manfaat
Manfaat pembuatan makalah ini adalah untuk menambah informasi, wawasan dan referensi mengenai haaemaptoe dan penatalaksanaan gawat darurat pasien dengan haemaptoe.
2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian
Hemaptoe adalah batuk darah yang terjadi karena penyumbatan trakea dan saluran nafas sehingga timbul sufokal yang sering fatal. Ini terjadi pada batuk darah masif yaitu 600-1000cc/24 jam. Batuk darah pada penderita TB paru disebabkan oleh terjadinya ekskavasi dan ulserasi dari pembuluh darah pada dinding kapitas.(Hood Al sagaff dkk:1995;85-86). Hemoptisis adalah darah atau dahak berdarah yang dibatukkan berasal dari saluran pernafasan bagian bawah yaitu mulai dari glottis kearah distal, batuk darah akan berhenti sendiri jika asal robekan pembuluh darah tidak luas , sehingga penutupan luka dengan cepat terjadi . (Hood Alsagaff, 1995, hal 301) Batuk
darah
adalah
suatu
keadaan
menakutkan/mengerikan
yang
menyebabkan beban mental bagi penderita dan keluarga penderita sehingga menyebabakan takut untuk berobat ke dokter . Klien menahan batuk karena takut kehilangan darah yang lebih banyak sehingga menyebabkan penyumbatan karena bekuan darah. Sebetulnya sudah ada penyakit dasar tetapi keluhan penyakit tidak mendorong berobat ke dokter. Batuk darah pada dasarnya akan berhenti sendiri asal tidak ada robekan pembuluh darah,berhenti sedikit-sedikit pada pengobatan penyakit dasar.
B. Anatomi Fisiologi
1. Anatomi dasar sistem pernafasan Sistem pernafasan pada dasarnya dibentuk oleh jalan atau saluran nafas dan paru-paru beserta pembungkusnya (pleura) dan rongga dada yang melindunginya. Di dalam rongga dada terdapat juga jantung di dalamnya. Rongga dada dipisahkan dengan rongga perut oleh diafragma. Saluran nafas yang dilalui udara adalah hidung, faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus dan alveoli. Di dalamnya terdapat suatu sistem yang sedemikian rupa dapat menghangatkan udara sebelum sampai ke alveoli. Terdapat juga suatu sistem pertahanan yang memungkinkan kotoran atau
3
benda asing yang masuk dapat dikeluarkan baik melalui batuk ataupun bersin. Paru-paru dibungkus oleh pleura. Pleura ada yang menempel langsung ke paru, disebut sebagai pleura visceral. Sedangkan pleura parietal menempel pada dinding rongga dada dalam. Diantara pleura visceral dan pleura parietal terdapat cairan pleura yang berfungsi sebagai pelumas sehingga memungkinkan pergerakan dan pengembangan paru secara bebas tanpa ada gesekan dengan dinding dada. Rongga dada diperkuat oleh tulang-tulang yang membentuk rangka dada. Rangka dada ini terdiri dari costae (iga-iga), sternum (tulang dada) tempat sebagian iga-iga menempel di depan, dan vertebra torakal (tulang belakang) tempat menempelnya iga-iga di bagian belakang. Terdapat otot-otot yang menempel pada rangka dada yang berfungsi penting sebagai otot pernafasan. Otot-otot yang berfungsi dalam bernafas adalah sebagai berikut : a.
interkostalis eksterrnus (antar iga luar) yang mengangkat masingmasing iga.
b.
sternokleidomastoid yang mengangkat sternum (tulang dada).
c.
skalenus yang mengangkat 2 iga teratas.
d.
interkostalis internus (antar iga dalam) yang menurunkan iga-iga.
e.
otot perut yang menarik iga ke bawah sekaligus membuat isi perut mendorong diafragma ke atas.
f.
otot dalam diafragma yang dapat menurunkan diafragma. Percabangan saluran nafas dimulai dari trakea yang bercabang menjadi
bronkus kanan dan kiri. Masing-masing bronkus terus bercabang sampai dengan 20-25 kali sebelum sampai ke alveoli. Sampai dengan percabangan bronkus terakhir sebelum bronkiolus, bronkus dilapisi oleh cincin tulang rawan untuk menjaga agar saluran nafas tidak kolaps atau kempis sehingga aliran udara yang mengalir dalam tubuh menjadi lancar.
4
Bagian terakhir dari perjalanan udara adalah di alveoli. Di sini terjadi pertukaran oksigen dan karbondioksida dari pembuluh darah kapiler dengan udara. Terdapat sekitar 300 juta alveoli di kedua paru dengan diameter masing-masing rata-rata 0,2 milimeter. 2. Fisiologi sistem pernafasan Peristiwa bernapas terdiri dari 2 bagian: a.
Menghirup udara (inpirasi) Inspirasi adalah terjadinya aliran udara dari sekeliling masuk melalui saluran pernapasan sampai keparu-paru. Proses inspirasi : volume rongga dada naik/lebih besar tekanan rongga dada turun/lebih kecil.
b.
Menghembuskan udara (ekspirasi) Tidak banyak menggunakan tenaga, karena ekspirasi adalah suatu gerakan pasif yaitu terjadi relaxasi otot-otot pernapasan. Proses ekspirasi : volume rongga dada turun/lebih kecil, tekanan rongga dada naik/lebih besar.
Proses pemenuhan oksigen di dalam tubuh terdiri dari atas tiga tahapan, yaitu ventilasi, difusi dan transportasi. a.
Ventilasi Merupakan proses keluar masuknya oksigen dari atmosfer ke dalam alveoli atau dari alveoli ke atmosfer. Proses ini di pengaruhi oleh beberapa factor: 1) Adanya kosentrasi oksigen di atmosfer. Semakin tingginya suatu tempat, maka tekanan udaranya semakin rendah. 2) Adanya kondisi jalan nafas yang baik. 3) Adanya kemampuan toraks dan alveoli pada paru-paru untuk mengembang di sebut dengan compliance. Sedangkan recoil adalah kemampuan untuk mengeluarkan CO² atau kontraksinya paru-paru.
b.
Difusi Difusi gas merupakan pertukaran antara O² dari alveoli ke kapiler paru-paru dan CO² dari kapiler ke alveoli. Proses pertukaran ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
5
1) Luasnya permukaan paru-paru. 2) Tebal membrane respirasi/permeabilitas yang terdiri atas epitel alveoli dan interstisial. Keduanya dapat mempengaruhi proses difusi apabila terjadi proses penebalan. 3) Pebedaan tekanan dan konsentrasi O². Hal ini dapat terjadi sebagaimana O² dari alveoli masuk kedalam darah secara berdifusi karena tekanan O² dalam rongga alveoli lebih tinggi dari pada tekanan O² dalam darah vena vulmonalis. 4) Afinitas gas yaitu kemampuan untuk menembus dan mengikat HB. c.
Transportasi Transfortasi gas merupakan proses pendistribusian O² kapiler ke jaringan tubuh dan CO² jaringan tubuh ke kaviler. Transfortasi gas dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 1) curah jantung (kardiak output), frekuensi denyut nadi. 2) kondisi pembuluh darah, latihan perbandingan sel darah dengan darah secara keseluruhan (hematokrit), serta elitrosit dan kadar Hb.
C. Etiologi
1. Bronkiektasis, hemoptisis yang terjadi dapat bervariasi, dari sputum bercampur darah hingga pengeluaran darah segar. Pasien biasanya mempunyai batuk kronik yang menghasilkan sputum (Khasnya berupa three layers sputum), sputum kental dan berbau. Pada pasien juga akan ditemui ronkhi, demam, penurunan berat badan , fatiq, malaise dan dispnue. 2. TB pulmonal, batuk dahak berdarah sering terjadi pada penyakit ini, dan hemoptisis masif dapat terjadi pada TB paru lanjut. Temuan pada sistim pernafasan berupa batuk kronik, dispnoe, pekak pada perkusi, peningkatan fremitus, dan dapat ditemukan suaran nafas amforik. Juga dapat ditemukan keringat malam, malaise, fatiq, demam, anoreksia, penurunan berat badan dan nyeri dada pleuritis.
6
3. Bronkitis kronik, gejala utamanya berupa batuk produktif selama minimal 3 bulan. Sering kali hal ini menyebabkan bercak darah pada sputum, sedangkan hemoragik masif jarang terjadi. Gejala lain yang dapat timbul berupa dispnoe, ekspirasi yang memanjang, wheezing, penggunaan otot nafas tambahan, barrel chest dan takipnoe. 4. Ca laring, hemaptoe terjadi pada kanker ini, tetapi yang menjadi gejala utamanya adalah suara serak. Temuan lain yang bisa didapatkan adalah disfagi, dispnoe, stridor, limfadenopati servikal dan nyeri pada leher. 5. Ca paru, ulserasi dari bronkus mengakibatkan hemoptisis sebagai gejala awal dari ca paru. Setelah itu, sebagai gejala lanjutan dapat ditemui adanya batuk produktif, dispnoe, anorexia, penurunan berat badan, wheezing dan nyeri di dada. 6. Pneumonia,
pada
pneumonia
pneumococcus
dapat
ditemukan
pinkish/rusty sputum, sedangkan pada pneumonia klebsiella dapat ditemukan dark-brown atau red currant-jelly sputum 7. Abses paru, 50% penderita abses paru menghasilkan sputum berdarah akibat ulserasi dari bronkus, nekrosis dan jaringan granulasi. Temuan lain yang bisa didapatkan seperti batuk produktif dengan sputum purulen yang berbau, demam menggigil, anoreksia, penurunan berat badan, sakit kepala, dispnoe dan nyeri dada yang sifatnya tumpul. 8. Bronkial adenoma, hemoptisis dapat terjadi pada 30% pasien, disertai dengan batuk kronik dan wheezing local 9. Ruptur aneurisma aorta, jarang terjadi, akibat ruptur dari aneurisma aorta ke dalam saluran trakeobronkial, yang dapat mengakibatkan hemaptoe dan kematian mendadak. 10. Udem pulmonal, udem paru kardiogenik ataupun non kardiogenik dapat mengakibatkan produksi sputum berdarah yang juga disertai dengan dispnoe, orthopnoe, anxietas, sianosis, ronkhi difus, gallop dan demam. Juga dapat terjadi takikardi, lethargi, aritmia, takipnoe dan hipotensi. 11. Hipertensi pulmonal, hemoptisis, dispnoe saat exercise, dan fatiq terjadi secara lambat pada pasien dengan hipertensi pulmonal. Juga terdapat nyeri
7
dada seperti pada angina pada saat exercise, nyeri dada dapat menjalar ke leher tetapi tidak ada penjalaran ke lengan. 12. Gangguan pembekuan darah, seperti trombositopeni dan DIC. Selain hemaptoe, pada penyakit seperti ini juga akan didapatkan perdarahan multisistim dan purpura pada kulit. 13. Kontusio pulmonal, terjadi akibat trauma tumpul thoraks 14. Penyebab lain, SLE, trauma akibat tindakan diagnostik (bronkoskopi, laringoskopi, biopsi paru)
D. Manifestasi Klinis
1. Didahului batuk keras yang tidak tertahankan 2. Terdengar adanya gelembung-gelembung udara bercampur darah di dalam saluran napas 3. Nyeri dada 4. Sesak napas 5. Batuk produktif 6. Rochi basah 7. hipertermi 8. Terasa asin / darah dan gatal di tenggorokan 9. Warna darah yang dibatukkan merah segar bercampur buih, beberapa hari kemudian warna menjadi lebih tua atau kehitaman 10. pH alkalis 11. Bisa berlangsung beberapa hari 12. Penyebabnya : kelainan paru
8
E. Patofisiologi
9
F. Komplikasi
1. Afiksia. 2. Syock hemoragic 3. Penyebaran ke sisi paru yang sehat
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium 1. Darah rutin : Hb, leukosit, Ht 2. Uji faal pembekuan darah 3. Kuman BTA, MO lain, jamur 4. Sitologi sputum Pemeriksaan Radiologis 1. Foto toraks PA dan lateral 2. CT Scan toraks Pemeriksaan angiografi dan scan perfusi paru 1. Melihat emboli paru 2. 15% kasus hemoptisis tidak diketahui penyebabnya a. idiopatik b. hemoptisis essential
H. Penatalaksanaan
Tujuan pokok terapi ialah : 1. Mencegah tersumbatnya saluran napas oleh darah yang beku 2. Mencegah kemungkinan penyebaran infeksi 3. Menghentikan perdarahan Sasaran-sasaran
terapi
yang
utama
adalah
memberikan
suport
kardiopulmaner dan mengendalikan perdarahan sambil mencegah asfiksia yang merupakan penyebab utama kematian pada para pasien dengan hemoptisis masif. Masalah utama dalam hemoptoe adalah terjadinya pembekuan dalam saluran napas yang menyebabkan asfiksi. Bila terjadi afsiksi, tingkat kegawatan hemoptoe paling tinggi dan menyebabkan kegagalan organ yang
10
multipel. Hemoptoe dalam jumlah kecil dengan refleks batuk yang buruk dapat menyebabkan kematian. Dalam jumlah banyak dapat menimbukan renjatan hipovolemik. Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah :
1. Terapi konservatif a. b.
Buka jalan nafas,gunakan tekhnik chinlift atau jaw thrust bila perlu Posisikan pasien untuk memaksimalakan ventilasi
c.
Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
d.
Lakukan fisioterapi dada bila perlu
e.
Keluarkan secret dengan batuk atau suction
f.
Auskultasi suara nafas,catat adanya suara tambahan
g.
Berikan bronkodilator bila perlu
h.
Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 ml per hari
i.
Monitor respirasi dan identifikasi pemberian O2
j.
Kolaboras pemberian oksigen dan obat – obatan sesuai dengan indikasi Airway Suction 1) Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning 2) Informasikan pada klien dan keluarga tentang suctioning 3) Minta klien nafas dalam sebelum suction dilakukan 4) Berikan O2 dengan menggunakan nasal
untuk memfasilitasi
suction nasotrakeal 5) Gunakan alat yang steril setiap melakukan melakukan tindakan 6) Anjurkan pasien untuk istirahat dan nafas dalam setelah catheter dikeluarkan dari nasotrakeal 7) Monitor status oksigen pasien 8) Ajarkan keluarga klien bagaimana cara melakukan suction 9) Hentikan suction dan berikan oksigen apabila oksigen apabila pasien menunjukkan bradikardi,peningkatan saturasi O2, dll. k.
Pemberian obat – obat penghenti perdarahan (obat – obat hemostasis), misalnya vit. K, ion kalsium, trombin dan karbazokrom.
l.
Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder.
11
m.
Pemberian cairan atau darah sesuai dengan banyaknya perdarahan yang terjadi.
n.
Pemberian oksigen.
Tindakan selanjutnya bila mungkin : 1) Menentukan asal perdarahan dengan bronkoskopi 2) Menentukan penyebab dan mengobatinya, misal aspirasi darah dengan bronkoskopi dan pemberian adrenalin pada sumber perdarahan.
2. Terapi definitif atau pembedahan. Reseksi bedah segera pada tempat perdarahan merupakan pilihan. Tindakan operasi ini dilakukan atas pertimbangan a. Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan pasien. b. Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka kematian pada perdarahan yang masif menurun dari 70% menjadi 18% dengan tindakan operasi. c. Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya hemoptoe yang berulang dapat dicegah. Busron (1978) menggunakan pula indikasi pembedahan sebagai berikut (4) : a.
Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24 jam dan dalam pengamatannya perdarahan tidak berhenti.
b.
Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan tetapi lebih dari 250 cc / 24 jam jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, sedangkan batuk darahnya masih terus berlangsung.
c.
Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan tetapi lebih dari 250 cc / 24 jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, tetapi selama pengamatan 48 jam yang disertai dengan perawatan konservatif batuk darah tersebut tidak berhenti.
12
Sebelum pembedahan dilakukan, sedapat mungkin diperiksa faal paru dan dipastikan asal perdarahannya, sedang jenis pembedahan berkisar dari segmentektomi, lobektomi dan pneumonektomi dengan atau tanpa torakoplasti. Penting juga dilakukan usaha-usaha untuk menghentikan perdarahan. Metode yang mungkin digunakan adalah : a.
Dengan memberikan cairan es garam yang dilakukan dengan bronkoskopi serat lentur dengan posisi pada lokasi bronkus yang berdarah. Masukkan larutan NaCl fisiologis pada suhu 4°C sebanyak 50 cc, diberikan selama 30-60 detik. Cairan ini kemudian dihisap dengan suction.
b.
Dengan menggunakan kateter balon yang panjangnya 20 cm penampang 8,5 mm.
Setiap pasien hemoptoe harus dirawat untuk observasi dan evaluasi lebih lanjut. Hal-hal ini yang perlu dievaluasi : 1. Banyaknya / jumlah perdarahan yang terjadi Saat terjadinya batuk dicatat dan setiap darah yang dibatukkan harus dikumpulkan dalam pot pengukur untuk mengetahui jumlah secara tepat dalam suatu periode tertentu (biasanya 24 jam). Jumlah darah yang dikeluarkan tidak selalu menggambarkan jumlah perdarahan yang terjadi karena mungkin saja sebagian darah tertinggal atau terjadi aspirasi dalam paru / saluran napas. 2. Pemeriksaan fisik Diperhatikan adanya insufisiensi pernapasan atau sirkulasi, berupa hipotensi sistemik / syok, penurunan kesadaran, takikardi, takipnea / sesak napas, sianosis, dan lain-lain. Bila ditemukan ronki basah difus di lapangan bawah paru perlu dicurigai telah terjadi aspirasi yang akan mengganggu pernapasan. Penatalaksanaan pasien hemoptisis bergantung dari beratnya perdarahan yang terjadi dan keadaan klinis (kecenderungan perdarahan untuk berhenti / bertambah, tanda-tanda asfiksia / gangguan fungsi paru). Bila tidak / kurang masif dapat ditangani secara konservatif yang bertujuan menghentikan
13
perdarahan yang terjadi dan mengganti darah yang hilang dengan tranfusi atau pemberian cairan pengganti. Langkah-langkah yang dilakukan adalah : 1. Menenangkan pasien sehingga perdarahan lebih mudah berhenti dan tidak takut membatukkan darah di saluran nafas. 2. Pasien diminta berbaring pada posis bagian paru yang sakit dan sedikit trendelenburg, terutama bila refleks batuknya tidak adekuat. 3. Jalan napas dijaga agar tetap terbuka. Bila ada tanda-tanda sumbatan, lakukan penghisapan. Bila perlu dipasang pipa endotrakeal. Pemberian oksigen hanya berarti bila jalan napas telah bebas hambatan. 4. Pemasangan jalur intravena untuk penggantian cairan atau pemberian obat intravena. 5. Transfusi darah dilakukan bila Ht turun di bawah nilai 25-30% atau Hb di bawah 10% sedangkan perdarahan masih berlangsung. Perdarahan yang masif dan mengancam jiwa memerlukan usaha agresif invasif, berupa bronkoskopi atau operasi sito. Indikasi pembedahan segera untuk hemoptisi masif adalah : 1. Bila batuk darah lebih dari 600 ml/24 jam dan dalam pengamatan tidak berhenti. 2. Bila batuk darah kurang dari 600 ml/24 jam tetapi lebih dari 250 ml / jam, kadar Hb kurang dari 10g% dan berlangsung terus. 3. Bila batuk darah kurang dari 600 ml/24 jam tetapi lebih dari 250 ml/24 jam, Hb lebih dari 10g% tetapi dalam observasi selama 48 jam perdarahan tidak berhenti.
14
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan, pendidikan, No. registrasi, diagnosa medis, dan tanggal masuk RS. 2. Keluhan Utama Biasanya pasien hemaptoe ditandai dengan sesak nafas, batuk dan berat badan menurun. 3. Riwayat Kesehatan a.
Riwayat kesehatan sekarang. Pada umumnya pasien hemaptoe sering panas lebih dari 2 minggu sering batuk yang disertai dengan darah, anorexia, lemah, dan berkeringat banyak pada malam hari.
b.
Riwayat kesehatan lalu. Pasien mempunyai riwayat tertentu seperti, penyakit jantung, TBC dan lain-lain.
c.
Riwayat kesehtan keluarga. Biasanya keluarganya mempunyai penyakit menular atau tidak menular
d.
Riwayat psikososial. Riwayat psikososial sangat berpengaruh dalam psikologis pasien dengan timbul gejala-gejala yang dialami dalam proses penerimaan terhadap penyakitnya, meliputi : perumahan yang padat, lingkungan yang kumuh dan kotor, keluarga yang belum mengerti tentang kesehatan.
4. Pola Fungsi Kesehatan a.
Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat Biasanya klien mempunyai kebiasaan merokok, penggunaan alkohol, dan kebiasaan olah raga.
15
b.
Pola nutrisi dan metabolisme Meliputi : nafsu makan menurun, diit khusus / suplemen, fluktuasi berat badan dan anoreksia.
c.
Pola eliminasi Biasanya klien tidak mengalami gangguan eliminasi
d.
Pola istirahat dan tidur Biasanya klien mengalami gangguan pola tidur / istirahat.
e.
Pola sensori dan kognitif Biasanya klien tidak mengalami gangguan pada indera
f.
Pola hubungan peran Meliputi : hubungan pasien dengan keluarga, dan masyarakat sekitar.
g.
Pola penanggulangan stress Meliputi : penyebab stres, koping terhadap stres, dan pemecahan masalah.
5. Pemeriksaan Fisik a.
Keadaan
umum
Keadaan penyakit, kesadaran, suhu meningkat, dan BB menurun. b.
Thorax Bentuk thorax pasien hemaptoe biasanya tidak normal (Barrel chest)
c.
Paru-paru Bentuk dada tidak simetris, pergerakan paru tertinggal, adanya whezing atau ronkhi.
d.
Jantung Didapatkan suara 1 dan suara 2 tambahan
e.
Abdomen Biasanya terdapat pembesaran limpha dan hati
6. Pemeriksaan Penunjang a.
X-foto 1) Di dapatkan pembesaran kelenjar para tracheal dengan atau tanpa adanya infiltrat. 2) Gambaran milier atau bercak kalsifikasi.
16
b.
Pemeriksaan sputum / Bakteriologis 1) Pemeriksaan sputum BTA memastikan diagnosis TB. 2) Pemeriksaan sputum dilakukan dengan cara pengambilan cairan di lambung dan dilakukan setiap pagi 3 hari berturut-turut yaitu sewaktu pagi – sewaktu.
c.
Pemeriksaan mantoox test 1) Sebagai standar dipakai PPO SIU atau OT 0,1 mg.
B. Diagnosa
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang kental atau darah. 2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan ketidakmampuan bernapas 3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi perfusi tidak adekuat. 4. Risiko Syok hemoragic berhubungan dengan batuk darah
C. Intervensi
1. Diagnosa 1 :Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang kental atau darah. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan kebersihan jalan nafas kembali efektif. Kriteria Hasil : a. b. c.
Mencari posisi yang memudahkan peningkatan udara Mendemonstrasikan batuk efektif. Menyatakan strategi untuk menurunkan kekentalan sekresi.
Rencana Tindakan : a.
Jelaskan pada klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan terdapat penumpukan sekret di saluran pernafasan. R:
Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
17
b.
Ajarkan kx tentang metode yang tepat pengontrolan batuk. R:
c.
Agar batuk terkontrol dan tidak menyebabkan kelelahan.
Anjurkan klien nafas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin. R:
d.
Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
Anjurkan klien melakukan pernafasan diafragma R:
e.
Untuk menurunkan frekwensi nafas.
Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk. R:
f.
Membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien.
Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian terapi R:
Menentukan pemberian terapi yang tepat pada klien.
2. Diagnosa
2
:
Pola
napas
tidak
efektif
berhubungan
dengan
ketidakmampuan bernapas. Tujuan: Setelah di lakukan tindakan keperawatan Pola nafas kembali efektif Kriteria Hasil : a.
Pernapasan klien normal (16-20x/menit) tanpa adanya penggunaan otot bantu napas.
b.
Tidak terdapat suara nafas tambahan atau wheezing.
c.
Status tanda vital dalam batas normal.
d. Nadi 60 - 100x /menit e.
RR 16-20 x/mnt
f.
Klien dapat mendemonstrasikan teknik distraksi pernapasan.
Intervensi: a.
Posisikan pasien untuk mengoptimalkan pernapasan ( posisi semi fowler) R:
Posisi semi fowler dapat memberikan kesempatan pada proses ekspirasi paru.
b.
Pantau kecepatan, irama, kedalaman pernapasan dan usaha respirasi. R:
Memantau pola pernafasan harus dilakukan terutama pada klien dengan gangguan pernafasan .
18
c.
Perhatikan pergerakan dada , amati kesimetrisan, penggunaan otototot bantu napas, serta retraksi otot supraklavikular dan interkostal. R:
Melakukan pemeriksaan fisik pada paru dapat mengetahui kelainan yang terjadi pada klien .
d.
Auskultasi bunyi napas, perhatikan area penurunan / tidak adanya ventilasi dan adanya bunyi napas tambahan. R:
Adanya bunyi napas tambahan mengidentifikasikan adanya gangguan pada pernapasan.
e.
Pantau peningkatan kegelisahan, ansietas, dan tersengal-sengal. R:
f.
Ansietas dapat memicu pola pernapasan seseorang.
Anjurkan napas dalam melalui abdomen selama periode distress pernapasan R:
a.
Teknik distraksi dapat merileksasikan otot – otot pernapasan.
Kolaborasi
dalam
pemberian
terapi
intravem
sesuai
anjuran
(kolaborasi dengan dokter) R:
Untuk memungkinkan dehidrasi yang cepat dan tepat mengikuti keadaan vaskuler untuk pemberian obat-obat darurat.
b.
Kolaborasi dalam pemberian oksigen melalui kanula nasal 4 L/menit selanjutnya sesuaikan dengan hasil PaO2. R:
Pemberian oksigen mengurangi beban otot-otot pernafasan.
3. Diagnosa 3: Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi perfusi tidak adekuat. Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pasien dapat mempertahankan pertukaran gas yang adekuat Kriteria hasil: a. Warna kulit normal b. Tidak terjadi dispnea. c.
Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat
d. GDA dalam rentang normal. e.
Bebas dari gejala distres pernapasan.
19
Intervensi: a.
Kaji dispnea, takipnea, bunyi pernapasan abnormal, peningkatan upaya respirasi, keterbatasan ekspansi dada dan kelemahan. R:
Wheezing
atau
mengi
indikasi
akumulasi
sekret/ketidakmampuan membersihkan jalan napas sehingga otot aksesori digunakan dan kerja pernapasan meningkat. b.
Evaluasi perubahan-tingkat kesadaran, catat tanda-tanda sianosis dan perubahan warna kulit, membran mukosa, dan warna kuku. R:
Akumulasi sekret dapat mengganggu oksigenasi di organ vital dan jaringan.
c.
Demonstrasikan/anjurkan
untuk
mengeluarkan
napas
dengan
bibir disiutkan, terutama pada pasien dengan fibrosis atau kerusakan parenkim. R:
Meningkatnya resistensi aliran udara untuk mencegah kolapsnya jalan napas.
d.
Anjurkan untuk bedrest, batasi dan bantu aktivitas sesuai kebutuhan R:
e.
Mengurangi konsumsi oksigen pada periode respirasi.
Monitor GDA R:
Menurunnya saturasi oksigen (PaO2) atau meningkatnya PaC02 menunjukkan perlunya penanganan yang lebih adekuat atau perubahan terapi.
f.
Instruksikan dan berikan dorongan pada pasien dengan pernapasan diafragmatik dan batuk efektif. R:
Teknik ini memperbaiki ventilasi dengan membuka jalan napas dan sputum.
g.
Berikan oksigen sesuai indikasi R:
Membantu mengoreksi hipoksemia yang terjadi sekunder terhadap hipoventilasi dan penurunan permukaan alveolar paru.
h.
Berikan bronkodilator sesuai yang diharapkan: 1)
Dapat dilakukan peroral, IV, rektal, atau dengan inhalasi
20
2)
Berikan bronkodilator oral, IV pada waktu yang berselingan dengan tindakan nebuliser
R:
Bronkodilator mendilatasi jalan napas
dengan membantu
melawan edema mukosa bronkial dan spasme muskular. Karena efek samping biasa terjadi pada tindakan ini, dosis obat disesuaikan dengan cermat untuk setiap pasien.
4. Diagnosa 4 : Risiko hipovolemik berhubungan dengan batuk darah Tujuan : Setalah dilakukan tindakan keperawatan batuk darah pasien Kriteria Hasil : a. b.
Tidak terjadi hemoragik syok Pasien tidak batuk darah
Rencana Tindakan : a.
Lakukan pendekatan pada pasien dan keluarga dengan komunikasi yang baik. R:
Diharapkan pasien dan keluarga kooperatif terhadap tindakan yang akan dilakukan.
b.
Berikan posisi ½ duduk R:
c.
Auskultasi paru sebelum dan sesudah batuk R:
d.
Untuk memenuhi kebutuhan darah pasien.
Observasi batuk klien R:
f.
Membantu mengevaluasi keefektifan batuk klien
Berikan terapi tranfusi darah R:
e.
Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
Untuk mengetahui perkembangan batuk klien.
Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian terapi R:
Menentukan pemberian terapi yang tepat.
21
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
Hemoptisis adalah darah atau dahak berdarah yang dibatukkan berasal dari saluran pernafasan bagian bawah yaitu mulai dari glottis kearah distal, batuk darah akan berhenti sendiri jika asal robekan pembuluh darah tidak luas sehingga penutupan luka dengan cepat terjadi . Batuk darah atau hemoptisis adalah ekspektorasi darah akibat perdarahan pada saluran napas di bawah laring, atau perdarahan yang keluar melalui saluran napas bawah laring. Batuk darah lebih sering merupakan tanda atau gejala penyakit dasar sehingga etiologi harus dicari melalui pemeriksaan yang lebih teliti.
B. Saran
1. Hendaknya mewaspadai terhadap droplet/ darah yang dikeluarkan oleh klien dengan TB paru karena merupakan media penularan bakteri tuberkulosis 2. Sebagai perawat hendaknya mampu memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan rencana keperawatan pada penderita hemaptoe
22
DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff Hood, Abdul Mukty, (1995). Dasar – Dasar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga University Press. Surabaya. Barbara Engram. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Vol. 1. Penerbit EGC. Jakarta. Carpenito, L.J., (1999). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2. EGC Jakarta. Mansjoer, Arif., et all. (1999). Kapita Selekta Kedokteran. Fakultas Kedokteran UI : Media Aescullapius Jakarta. Marylin E doengoes. (2000). Rencana Asuhan keperawatan Pedoman untuk Perencnaan /pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC.Jakarta. Soeparman, Sarwono Waspadji. (1990). Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Sylvia Anderson Price, Lorraine McCarty Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Klinis Proses - Proses Penyakit. EGC. Jakarta. Yunus Faisal. (1992). Pulmonologi Klinik. Bagian Pulmonologi FKUI. Jakarta.
23