BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Undang Undang Dasar 1945 menjamin hak setiap warga negara Indonesia untuk mendapatkan pendidikan. Perumusan yang demikian ini tampaknya menjadi keyakinan para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (the founding fathers) fathers) bahwa melalui pendidikan bangsa Indonesia akan dapat menjadi bangsa yang cerdas. Bangsa yang cerdas diyakini akan menghasilkan bangsa yang mampu berkompetisi dengan bangsa bangsa lain. Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani deklarasi “Education for All”. Berkaitan All”. Berkaitan dengan deklarasi ini dan sekaligus juga sebagai wujud keseriusan Indonesia mensukseskannya, maka Indonesia telah mencanangkan Wajib Belajar 9 Tahun. Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajardikdas) 9 Tahun, diperuntukkan bagi semua anak, tidak terkecuali anak-anak yang berkebutuhan khusus. Salah satu bentuk perhatian terhadap pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus didasarkan atas jaminan konstitusi UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga Negara memiliki kesempatan yang sama untuk berbicara, memperoleh pendidikan, kesejahteraan dan kesehatan. Saat ini diperkirakan di dunia lebih dari 100 juta anak-anak yang tidak bersekolah dan membutuhkan layanan pendidikan khusus. Kebutuhan akan pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan yang mampu mengakomodasi berbagai kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh setiap individu (ketidakberfungsian secara mental dan fisik), kultur minoritas, dan kelompok sosial
ekonomi
yang
dipinggirkan
(miskin,
diekploitasi,
terisolasi,dan
sebagainya). Hal yang paling menonjol diantara semua itu adalah pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, baik yang memiliki kecacatan secara fisik maupun mental. Selama ini layanan pendidikan dilaksanakan di lembaga-lembaga pendidikan secara terpisah (segregrasi) yang dinamakan Sekolah Luar Biasa
1
(SLB) yang memberikan layanan pendidikan secara khusus sesuai dengan tingkat dan jenis kelainannya. Menurut sejarahnya, pada awalnya pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus disatukan dengan anak-anak anak- anak pada umumnya “anak yang normal” yaitu dilayani secara integratif, seperti halnya anak normal lainnya, mereka mendapatkan kurikulum, guru, media, dan sarana-prasarana serta perlakuan layanan pembelajaran yang sama. Hal tersebut terjadi karena di sekolah aspek pendukung belum ada, seperti: tenaga ahli (ortopedagog, psikolog, psikiater, dokter) yang mampu memberikan pelakuan khusus kepada anak yang berkelainan. Hasil pendidikannya bisa dibayangkan, bahkan mereka bukan menjadi optimal perkembangan malahan semakin terpuruk keadaannya, mereka menjadi bahan olok-olokkan teman-temannya, karena tidak mampu menyelesaikan persoalan persoalan yang diberikan oleh gurunya. gurunya. Dalam kondisi demikian, pendidikan tidak membantu secara sosial dalam meningkatkan kesadaran akan kesamaan hak, perbedaan potensi secara individual diantara peserta didik. Memberikan pendidikan yang berkualitas untuk semua anak merupakan tantangan yang paling berat dan sekaligus merupakan isu sangat penting dalam dunia pendidikan. Pendidikan untuk Semua ( Education ( Education For All atau EFA) EFA ) merupakan inisiatif internasional yang diluncurkan di Jomtien Thailand pada tahun 1990 untuk membawakan manfaat pendidikan pada seluruh warga negara dan seluruh masyarakat. Pendidikan merupakan salah satu hak azasi manusia yang paling fundamental yang dilindungi dan dijamin oleh berbagai instrumen hukum internasional maupun nasional. UUD 1945 secara jelas dan tegas menjamin bahwa setiap warga Negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan, yang dipertegas dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, maupun dalam Peraturan Mendiknas No. 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Pendidikan inklusif merupakan suatu pendekatan pendidikan yang inovatif dan strategis untuk memperluas akses pendidikan bagi semua anak berkebutuhan khusus termasuk anak penyandang cacat. Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan inklusi juga dapat dimaknai sebagi satu bentuk reformasi pendidikan 2
yang menekankan sikap anti diskriminasi, perjuangan persamaan hak dan kesempatan, keadilan, dan perluasan akses pendidikan bagi semua, peningkatan mutu pendidikan, upaya strategis dalam menuntaskan wajib belajar 9 tahun, serta upaya merubah sikap masyarakat terhadap ter hadap anak berkebutuhan khusus. Pada konteks pendidikan luar biasa di Indonesia, pendidikan inklusi bukanlah satu-satunya cara mendidik disabled children children dengan maksud untuk mengantikan pendidikan segregasi, melainkan suatu alternatif, pilihan, inovasi, terobosan atau pendekatan baru disamping pendidikan segregasi yang sudah berjalan lebih dari satu abad. Sekalipun secara formal pendidikan inklusi di Indonesia baru dilaksanakan dalam satu dasa warsa terakhir, namun diyakini bahwa secara alamiah pendidikan inklusi sudah berlangsung sejak lama. Hal ini tidak lepas dari faktor-faktor filosofi, sosial, maupun budaya Indonesia yang sangat menghargai dan menjunjung tinggi kebihinekaan atau keberagaman. Faktor-faktor ini tentu dapat menjadi modal dasar bagi pengembangan penyelenggaraan pendidikan inklusi yang sekarang sedang digalakkan. Patut disyukuri bahwa sejak digulirkannya pendidikan inklusi di Indonesia, sambutan dan apresiasi masyarakat sangat luar biasa, sehingga implementasinya tumbuh dan berkembang cepat di berbagai pelosok negeri. Tidak salah jika UNESCO menilai bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif bagi ABK, Indonesia pada tahun 2007 menduduki ranking ke 58 dari 130 negara. Sayangnya, karena berbagi faktor, terutama kurangnya komitmen dan dukungan pemerintah, sehingga implementasinya belum menasional dan menyeluruh, sehingga ranking tersebut terus mengalami kemerosotan, pada tahun 2008 berada pada ranking ke 63 dan pada tahun 2009 berada pada ranking ke 71. Sekalipun sudah banyak sekolah yang mendeklarasikan sebagai sekolah inklusi, tetapi dalam implementasinya masih banyak yang belum sesuai dengan konsep-konsep yang mendasarinya. Bahkan, tidak jarang ditemukan adanya kesalahan-kesalahan praktek, terutama terkait dengan aspek pemahaman, kebijakan internal sekolah, serta kurikulum dan pembelajaran. Hal ini sekaligus menyiratkan bahwa dalam perjalanan menuju pendidikan inklusi (toward inclusive education), education), Indonesia masih dihadapkan kepada berbagai isu dan dan permasalahan yang kompleks yang harus mendapatkan perhatian serius dan disikapi oleh berbagai pihak yang terkait, khususnya pemerintah sehingga tidak 3
menghambat hakekat penyelenggaraan pendidikan inklusi itu sendiri. Berdasarkan hal di atas, makalah ini bermaksud untuk menelaah tentang konsep anak berkebutuhan khusus, pendidikan inklusi, kebijakan, dan implementasinya. B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas maka rumusan masalah dalam makalah ini yaitu sebagai berikut: 1.
Apa yang di maksud anak Berkebutuhan Khusus ( Children With Special Needs) dan Pendidikan Kebutuhan Khusus (Special Needs Education)?
2.
Apa yang di maksud Pendidikan Inklusif (Inclusive Education) ?
3.
Bagaimanakah pendidikan Inklusif Sebagai Proses Layanan Pendidikan Untuk Semua di indonesia?
4.
Bagaimanakah Model-Model Sekolah Inklusif di Indonesia?
5.
Bagimanakah Perkembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui tentang anak Berkebutuhan Khusus ( Children With Special Needs) dan Pendidikan Kebutuhan Khusus (Special Needs Education). 2. Untuk mengetahui tentang Pendidikan Inklusif (Inclusive Education). 3. Untuk mengetahui tentang pendidikan Inklusi Sebagai Proses Layanan Pendidikan Untuk Semua. 4. Untuk mengetahui tentang Model-Model Sekolah Inklusif di Indonesia. 5. Untuk mengetahui tentang Perkembangan Pendidikan Inklusi di Indonesia.
4
BAB II PEMBAHASAN
A. Anak Berkebutuhan Khusus ( Children With Special Needs) dan Pendidikan Kebutuhan Khusus (Special Needs E ducation)
Konsep pendidikan kebutuhan khusus dipengaruhi oleh pandangan humanistik. Menurut pandangan ini setiap individu anak memiliki perbedaan dalam perkembangan, latar belakang kehidupan, hambatan dalam belajar, dan anak akan memiliki kebutuhan khusus akan pendidikan yang berbeda satu sama lain. Hal seperti ini berlaku juga pada anak-anak penyandang ketunaan. Layanan pendidikan tidak didasarkan kepada label ketunaan anak, melainkan didasarkan pada hambatan belajar dan kebutuhan setiap individu anak. Oleh karena itu layanan pendidikan bagi anak penyandang ketunaan tidak harus di sekolah khusus, akan tetapi dapat dilayani disekolah reguler yang paling dekat dengan lokasi tempat tinggal anak yang bersangkutan. Cara pandang seperti ini yang melatarbelakngi munculnya gagasan pendidikan inklusif (UNESCO, 1994). Pada konsep pendidikan kebutuhan khusus, sangat menghindari penggunaan label ketunaan, akan tetapi lebih menonjolkan eksistensi anak sebagai individu yang memiliki kebutuhan-kebutuhan yang berbeda-beda. Pendidikan kebutuhan khusus (Special Needs Education), anak dilihat sebagai anak yang unik dan utuh, dan tidak dilihat apakah tuna atau tidak tuna, tetapi setiap anak memiliki hambatan belajar dan kebutuhan yang bersifat khusus. Pendidikan harus dapat memberikan layanan kepada setiap anak sesuai dengan hambatan belajar dan kebutuhannya. Oleh karena itu istilah yang digunakan adalah Anak Berkebutuhan Khusus (Children with Special Needs). 1. Anak Berkebutuhan Khusus (Children Wi th Special Needs)
Konsep anak berkebutuhan khusus (Children with Special Needs) memiliki makna dan spektrum yang lebih luas dibandingkan dengan konsep anak luar biasa (exceptional Children). Dengan kata lain istilah anak berkebutuhan khusus bukan pengganti atau penghalusan dari istilah anak penyandang ketunaan atau anak luar biasa, melainkan anak luar biasa atau penyandang ketunaan termasuk di dalamnya. Anak Berkebutuhan Khusus dapat dilihat dari dua sisi, pertama yang bersifat temporer dan kedua bersifat permanen. Anak berkebutuhan 5
khusus temporer adalah anak yang memiliki hambatan belajar yang diakibatkan oleh faktor dari luar anak itu dan bukan merupakan ketunaan. Seperti, anak-anak yang mengalami kesulitan dalam berkonsentrasi dan tidak dapat belajar karena trauma bencana alam, korban kerusuhan atau anak yang meperoleh perlakuan keras/kasar dari orang dewasa. Mungkin juga ada anak yang tidak bisa belajar karena faktor kemiskinan, faktor budaya dan bahasa (kedwibahasaan), atau mungkin ada anak yang mengalami hambatan akibat faktor pembelajaran di sekolah atau di rumah yang tidak tepat. Anak yang mengalami kebutuhan khusus temporer akan menjadi permanen apabila tidak mendapat layanan pendidikan yang tepat. Anak berkebutuhan khusus permanen adalah anak yang mengalami ketunaan (disabilities). Mereka memiliki hambatan belajar yang menetap akibat ketunaan yang dimilikinya. Pendidikan bagi mereka tidak dimaksudkan untuk menghilangkan ketunaannya melainkan menghilangkan hambatan belajar akibat dari ketunaan dengan cara mengkompensasikan. Sebagai contoh seorang yang kehilangan fungsi penglihatan, mengalami hambatan yang sangat besar dalam berkomunikasi secara tertulis dengan tulisan awas. Sebagai kompensasi dari kesulitan itu, digunakan fungsi perabaan dalam membaca dan menulis dengan menggunakan tulisan Braille. Dengan demikian seorang tunanetra dapat belajar secara optimal. Setiap anak berkebutuhan khusus memiliki hambatan belajar dan kebutuhan yang berbeda satu sama lainnya. Hambatan belajar yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus bisa disebabkan oleh faktor dari dalam diri anak itu sendiri, bisa karena faktor dari luar anak, atau bisa juga karena kombinasi dari keduanya. Untuk memahami hambatan belajar dan kebutuhan belajar setiap anak, dilakukan melalui sebuah proses yang disebut asesmen. Dalam konteks pendidikan kebutuhan khusus, asesmen harus menjadi kompetensi dasar seorang guru. 2. Pendidikan Kebutuhan Khusus (Special Needs E ducation) Sebagai
I lmu Pendidikan kebutuhan khusus adalah pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus baik yang bersifat temporer maupun yang bersifat permanen dan sangat fokus kepada hambatan belajar dan kebutuhan setiap anak secara individual (Miriam, 2001). Pendidikan kebutuhan khusus memandang anak sebagai individu 6
yang utuh, keragaman dan perbedaan individu sangat dihormati. Dilihat dari caranya memandang eksistensi anak, pendidikan kebutuhan khusus (Special Needs Education) berbeda sama sekali dengan pendidikan luar biasa (special education). Dalam pendidikan luar biasa yang menjadi pusat perhatian adalah label kecacatan anak, sedangkan dalam pendidikan kebutuhan khusus, yang menjadi pusat perhatian adalah hambatan belajar dan kebutuhan anak. Pendidikan kebutuhan khusus memiliki tiga fungsi yaitu: (1) Fungsi prevensi, yaitu usaha untuk mencegah timbulnya hambatan belajar (2) Fungsi intervensi, yaitu menangani hambatan belajar yang dialami oleh seorang anak dan (3) Fungsi kompensasi, yaitu menggantikan sesuatu yang tidak ada atau yang hilang dengan sesuatu yang masih dimiliki. Perubahan paradigma ini secara keseluruhan merupakan proses peningkatan mutu dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Setiap anak memiliki peluang yang sama untuk berkembang karena setiap anak akan mendapatkan layanan pendidikan sesuai dengan hambatan belajar dan kebutuhannya.Konsekuensi yang paling penting dari perubahan paradigma ini adalah pengakuan dan penghargaan akan adanya keragaman. Konsep ini menghasilkan upaya-upaya untuk membawa anak berkebutuhan khusus ke kehidupan masyarakat secara inklusif. B. Pendidikan Inklusif (I nclusive E ducation)
Pendidikan inklusif adalah sebuah konsep atau pendekatan pendidikan yang berusaha menjangkau semua orang tanpa kecuali (Supriadi, 2003). Semua anak memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh manfaat yang maksimal dari pendidikan. Hak dan kesempatan tersebut tidak dibedakan oleh keragaman karakteristik individu secara fisik, mental, sosial, emosional dan bahkan status sosial ekonominya. Pendidikan ini sejalan dengan filosofi pendidikan nasional Indonesia yang tidak membatasi akses peserta didik ke pendidikan hanya perbedaan kondisi awal dan latar belakangnya. Inklusipun tidak hanya bagi anak-anak berkebutuhan khusus, melainkan berlaku untuk semua anak. Gagasan pendidikan inklusif sejalan dengan kecenderungan global sejak satu dasawarsa terakhir, dimana-mana orang berbicara tentang perlunya dikembangkan perspektif pendidikan yang lebih inklusif, pendidikan yang tidak diskriminatif, pendidikan yang ramah untuk semua anak. Ini sejalan dengan isu7
isu hak asasi manusia (human right), hak-hak anak (childrent’ right), gerakan prokemanusiaan. Pendidikan yang memihak semua anak tersebut dinyatakan oleh UNESCO dalam deklarasi tentang pendidikan untuk semua (education for all). Penerapan konsep inklusi melalui pintu masuk pendidikan luar biasa, juga memiliki arti khusus, karena pada akhir-akhir ini telah terjadi perubahan pendidikan luar biasa dari pendekatan yang sifatnya segregartif menuju inklusif. Ini terepresentasikan pada terjadinya perubahan dari special education ke special needs education yang memiliki implikasi yang luas terhadap praktek pendidikan. Untuk itu, pendidikan inklusif merupakan strategi utama dalam menangani anakanak secara integrasi, Sapon-Shevin (O’Neil, 1995), mendefinisikan inclusion sebagai system layanan pendidikan luar biasa yang mempersyaratkan agar semua anak luar biasa bersama teman-teman seusianya. Prinsip dasar pendidikan inklusif adalah bahwa semua anak harus memperoleh kesempatan untuk besama-sama belajar dalam satu komunitas. Hal ini berarti bahwa sekolah umum harus dilengkapi untuk melihat dan menanggapi kebutuhan-kebutuhan pelajar yang beraneka ragam, termasuk mereka yang secara tradisional telah tersingkirkan, baik dari akses sekolah maupun peran serta setara di sekolah. Anak-anak berkelainan memiliki jumlah besar, bahkan jumlahnya diluar dugaan, walaupun demikian, secara mayoritas anak-anak berkelainan, memiliki kelainan yang tidak parah yang tidak terdiagnosa serta terlihat dengan mata. Anak-anak berkelainan termasuk mereka yang memiliki kesulitan dalam belajar, berbicara, dalam hal fisik, kognitif, pendengaran, penglihatan, dan emosional. Anak berkelainan memiliki kemungkinan lebih besar dibanding anakanak lainnya untuk tidak sekolah, atau keluar dari sekolah, atau keluar masuk sekolah. Penyusunan Laporan PBB mengenai Hak Asasi Manusia dan kecacatan tahun 1991 (UN Rapporter on Human Rights and Disabilities ) mengemukakan bahwa paling sedikit satu dari sepuluh orang di mayoritas Negara memiliki kelainan fisik, mental, atau indera (tunarungu, tunanetra). Angka sepuluh persen tersebut berarti anak-anak sekolah dasar di negara berkembang berjumlah 50-55 juta orang dimana kurang dari 5 persen diperkirakan mencapai sasaran program PUS (Pendidikan Untuk Semua) yaitu masuk ke sekolah dasar.
8
Pendidikan inklusif berarti bahwa sekolah dan guru harus mengakomodasi perbedaan individual di tengah-tengah layanan klasikal. Untuk itu, inklusifitas ini menguntungkan bagi sekolah, guru-guru, dan seluruh peserta didik. Karena dalam hal yang demikian terjadi saling memberi keuntungan dan kekuatan-kekuatan dibalik kekurangan-kekurangannya. Prinsip ini mengakui bahwa sekolah adalah komunitas pembelajar, pendidikan sebagai tujuan seumur hidup, dan sasaran akhir tercapainya warga Negara yang sehat dan produktif yang secara penuh ikut memberikan sumbangan pada kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya bangsa, masyarakat, dan keluarga. Persoalan lain yang banyak dipertanyakan terhadap pendidikan inklusif adalah mutu. Dalam kaitannya dengan strategi pengajaran dan pembelajaran, pendidikan
inklusif
di
ruang
kelas
menekankan
pengelompokan
multi-
kemampuan untuk pengajaran, dukungan teman belajar, pembelajaran kooperatif, penilaian dalam beberapa bentuk (misalnya, standar berdasar kurikulum), partisipasi aktif yang terpusat pada siswa dalam pembelajaran, pengakomodasian gaya pembelajaran yang beragam, dan pendekatan pemecahan masalah reflektif kritis terhadap kurikulum dalam pengajaran. Semua strategi ini merupakan praktek terbaik dalam pengajaran yang efektif bagi semua anak. Strategi-strategi ini tercermin dalam materi baru sumber pelatihan guru yang dibuat oleh UNESCO, dan digunakan secara luas dalam prgram-program pelatihan di berbagai negara. Pada skala besar, UNESCO meluncurkan program sekolah Inklusif dan dukungan masyarakat melalui sebuah proyek Global untuk memaksimalkan sumber daya manusia dan material demi mendukung pendidikan inklusif. Sejauh ini, 30 negara yang tersebar di berbagai belahan dunia yang terlibat. Berdasarkan aplikasi
yang
dikirimkan
dari
negara-negara
yang
berkomitmen
untuk
mengembangkan proyek Pendidikan Inklusif yang berkelanjutan, UNESCO memilih empat negara untuk difokuskan lebih lanjut termasuk India yang telah memulai sebuah proyek percobaan di sekolah-sekolah dasar dan menengah di Mumbai dan Chennai. Komisi ekonomi dan sosial Asia Pasifik atau ESCAP ( Economic and Social Commission of Asia and the Pasific ) telah mendukung pula beberapa proyek di India sebagai bagian dari program perdananya dalam bidang kecacatan. 9
Pelatihan guru intensif terfokus pada strategi pengajaran dan pembalajaran yang terpusat pada anak, dan menggabungkan praktek langsung dan sesi pengumpulan umpan balik. Sebagai bagian dari pelatihan tersebut, setiap sekolah ikut berpartisipasi dalam penyusunan proposal riset dan evaluasi untuk diterapkan. Dampak positif dalam hal perubahan sikap guru dan murid terhadap pengajaran dan pembelajaran, dan dalam prestasi murid didokumentasikan. Keberhasilan India memberi pengajaran yang cukup berarti. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan walaupun sudah ada kemajuan menuju Pendidikan Inklusif dan Pendidikan bagi Semua. Perampasan hak-hak asasi manusia dan ketidak setaraan yang menyolok dalam pemberian kesempatan masih menimpa anak-anak berkebutuhan khusus. Pengalaman negara-negara lain memberikan bukti yang kuat bahwa Pendidikan Inklusif harus menjadi prinsip penuntun untuk mencapai sasaran pembangunan melalui pendidikan untuk semua (education for all) Sesungguhnya Pendidikan Inklusif merupakan bagian dari peningkatan kualitas bangsa ke depan hari, dimana pendidikan yang dilakukan menghargai keberagaman potensi untuk saling memberikan keuntungan dalam optimalisasi setiap potensi, dan pada gilirannya kualitas bangsa akan meningkat C. Inklusif Sebagai Proses Layanan Pendidikan Untuk Semua
Sekolah inklusif pada hakikatnya adalah sekolah yang mengakomodasi semua anak tanpa menghiraukan kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik, etnik, budaya atau kondisi lain mereka. Hal ini termasuk anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus. Sapon-Shev in dalam O’Neil (1995) menyatakan bahwa pendidikan inklusif sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Dalam The Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education (1994), dinyatakan bahwa: Inclusive education means that : “ schools should accommodate all children regardless of their physical, intellectual, social, emotional, linguistic or other conditions. This should include disabled and gifted children, street and working children, children from remote or nomadic populations, children from linguistic, ethnic or cultural minorities and children from other disadvantaged or marginalised areas or groups.” 10
Pendidikan inklusif memiliki arti bahwa sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa menghiraukan kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik atau kondisi lain mereka. Hal ini termasuk anak cacat/berkelainan dan anak berbakat, anak jalanan dan anak pekerja, anak dari populasi terpencil dan pengembara, anak dari linguistik, etnik dan budaya minoritas dan anak-anak dari bidang kelemahan atau kelompok marginal lain.Menurut UNESCO (1994) menyatakan bahwa: “ At the core of inclusive education is the human right to education, pronounced in the Universal Declaration of Human Rights in 1949. Equally important is the right of children not to be discriminated against, stated in Article 2 of the Convention on the Right of the Child (UN, 1989). A logical consequence of this right is that all children have the right to receive the kind of education that does not discriminate on grounds of disability, ethnicity, religion, language, gender, capabilities, and so on”. Pendidikan inklusif merupakan inti dari hak asasi manusia untuk memperoleh pendidikan. Hal ini telah dinyatakan dalam Deklarasi Universal tentang hak asasi manusia di tahun 1949. Kesamaan kepentingan adalah hak anak untuk tidak didiskriminiasikan, dinyatakan dalam pasal 2 dari Konvensi tentang hak anak. Konsekuensi logik dari hak ini adalah bahwa semua anak mempunyai hak untuk menerima jenis pendidikan yang tidak mendiskriminasikan pada latar dari ketidakmampuan, etnik, agama, bahasa, jender, kapabilitas dan lain sebagainya. Sekolah inklusif sebagai sekolah yang mewujudkan hak azasi manusia
dalam
memperoleh
layanan
pendidikan
menjadi
tuntutan
implementasinya. Hal ini juga ditunjukkan pada peristiwa dan dokumen penting yang mendukung pelaksanaan pendidikan inklusif, antara lain sebagai berikut: Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948, yang menegaskan bahwa: “Setiap orang mempunyai hak atas pendidikan”, namun demikian anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus atau penyandang cacat sering direnggut hak fundamentalnya. Hal ini terjadi karena didasarkan atas asumsi bahwa anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus atau penyandang cacat tidak dipandang sebagai manusia secara utuh, oleh karena itu ada pengecualian dalam hak universalnya. Kelompok penyandang kelainan/berkebutuhan khusus atau disebut juga penyandang cacat telah melakukan lobi-lobi untuk memastikan 11
bahwa instrumen-instrumen hak asasi manusia ke sidang PBB berikutnya, menyebutkan pendidikan
secara khusus
eksplisit atau
kelompok
penyandang
anak
cacat,
berkelainan/berkebutuhan
tanpa
memandang
tingkat
keparahannya, memiliki hak yang sama atas pendidikan. Konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989, yang telah ditandangani oleh semua negara di dunia, kecuali Amerika Serikat dan Somalia; menyatakan bahwa pendidikan dasar seyogyanya wajib dan bebas biaya bagi semua (pasal 28). Seterusnya perlu diketahui bahwa Konvensi tentang Hak Anak PBB memiliki empat prinsip umum yang menaungi semua pasal lainnya termasuk pasal mengenai pendidikan, yaitu: (1) non-diskriminasi (pasal 2) yang menyatakan secara spesifik tentang penyandang kebutuhan khusus/penyandang cacat; (2) kepentingan terbaik anak; (3) hak untuk kelangsungan hidup dan perkembangan (pasal 6); dan (4) menghargai pendapat anak (pasal 12). Kesemua hak tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain, dan saling berhubungan. Meskipun dalam memenuhi hak atas pendidikan bagi anak berkelainan/berkebutuhan khusus atau penyandang cacat telah disediakan pendidikan di sekolah khusus/sekolah luar biasa, tetapi hal ini dapat melanggar hak mereka “diperlakukan secara nondiskriminatif”, dihargai pendapatnya dan hak untuk tetap berada dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Deklarasi Dunia Jomtien tentang Pendidikan untuk semua di Thailand pada tahun 1990, melangkah lebih jauh daripada Deklarasi Universal dalam pasal III tentang universalisasi akses dan mempromosikan kesetaraan. Dalam deklarasi tersebut dinyatakan bahwa terdapat kesenjangan pendidikan dan bahwa berbagai kelompok tertentu rentan akan diskriminasi dan eksklusi. Hal ini mencakup anak perempuan, orang miskin, anak jalanan dan anak pekerja, penduduk pedesaan dan daerah terpencil, etnik minoritas dan kelompok-kelompok lainnya, dan secara khusus disebutkan para penyandang cacat. Istilah inklusi tidak digunakan dalam Deklarasi Jomtien, tetapi terdapat beberapa pernyataan yang mengindikasikan pentingnya menjamin bahwa orang-orang dari kelompok marginal mendapatkan akses ke pendidikan umum (Sue Stubbs, 2002). Dalam Deklarasi Jomtien juga dinyatakan bahwa langkah-langkah yang diperlukan perlu diambil untuk memberikan akses ke pendidikan yang sama kepada setiap kategori penyandang cacat/kelainan sebagai bagian integral dari sistem pendidikan (Pasal II ayat 5). 12
Peraturan Standar PBB tentang Persamaan Kesempatan Bagi Penyandang Cacat tahun 1993, terdiri dari peraturan-peraturan yang mengatur semua aspek hak penyandang cacat. Selaras dengan Deklarasi Jomtien, peraturan ini mengfokuskan pada bidang pendidikan, antara lain pendidikan bagi anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus atau penyandang cacat harus merupakan bagian integral dari pendidikan umum. Peraturan Standar PBB menekankan bahwa Negara bertanggungjawab atas pendidikan bagi anak berkelainan/berkebutuhan khusus atau penyandang cacat dan harus: (1) mempunyai kebijakan yang jelas; (2) mempunyai kurikulum yang fleksibel; (3) memberikan materi yang berkualitas, menyelenggarakan pelatihan guru, dan memberikan bantuan yang berkelanjutan. Peraturan Standar PBB tersirat bahwa inklusi didukung dengan beberapa kondisi utama, yaitu harus didukung dengan sumber-sumber yang tepat dan dengan kualitas tinggi, jadi bukan pilihan yang murah. Program-program berbasis masyarakat dipandang sebagai dukungan yang penting dalam pendidikan inklusif; Pendidikan khusus tidak dikesampingkan, sebagai alternatif terutama bagi siswa tunarungu dan buta-tuli apabila pendidikan umum tidak memadai bagi mereka. Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus Tahun 1994, merupakan dokumen internasional utama tentang prinsip prinsip dan praktek pendidikan inklusif. Prinsip fundamental inklusi yang belum dibahas dalam dokumen sebelumnya dibahas dalam pernyataan dan kerangka aksi ini. Beberapa konsep inti inklusif yang tersirat dalam dokumen tersebut antara lain adalah: (1) anak-anak memiliki keberagaman yang luas dalam karakteristik dan kebutuhannya; (2) perbedaan adalah normal; (3) sekolah perlu mengakomodasi semua anak; (4) anak penyandang cacat/berkelainan seyogyanya bersekolah di lingkungan sekitar tempattinggalnya; (5) partisipasi masyarakat sangat penting dalam inklusi; (7) pengajaran yang terpusat pada anak merupakan inti inklusi; (8) kurikulum yang fleksibel disesuaikan dengan anak; (9) inklusi memerlukan sumber- sumber dan dukungan yang tepat; (10) inklusi penting bagi harga diri manusia dan pelaksanaan hak asasi manusia secara penuh; (11) sekolah inklusif memberikan manfaat bagi semua anak karena membantu menciptakan masyarakat yang inklusif; (12) inklusi meningkatkan efisiensi dan efektifitas biaya pendidikan. Pasal 2 memberikan argumentasi bahwa sekolah reguler dengan 13
orientasi inklusif merupakan cara yang paling efektif untuk membrantas sikap diskriminatif, menciptakan masyarakat yang terbuka, membangun masyarakat inklusif, dan mencapai pendidikan untuk semua. Lebih dari itu sekolah inklusif memberikan pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak dan meningkatkan efisiensi sehingga menekan biaya keseluruhan sistem pendidikan. Konferensi Pendidikan Dunia di Dakar, Senegal tahun 2000. Forum ini diselenggarakan untuk mengevaluasi pelaksanaan dasawarsa pendidikan untuk semua yang dideklarasikan di Jomtien Thailand pada tahun 1990. Hasil dari evaluasi tersebut dapat diketahui bahwa pendidikan untuk semua belum tercapai, maka waktu pelaksanaan perlu diperpanjang sampai tahun 2015. Hal ini mendapat kecaman dari komunitas non-Pemerintah. Ini berarti bahwa idealisme Pendidikan Untuk Semua belum dapat diwujudkan. Pada Forum Dakar pemerintah dan lembaga-lembaga internasional lainnya berjanji untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, sehat, inklusif, dan dilengkapi dengan sumber-sumber yang memadai, yang kondusif untuk kegiatan belajar dengan tingkat pencapaian yang didefinisikan secara jelas untuk semua (pasal 8). Kelebihan Konferensi Dakar antara lain adalah bahwa terdapat fokus yang lebih kuat untuk mengembangkan Rencana Aksi Nasi onal yang kokoh dan strategi regional untuk implementasi monitoring, yang merupakan kelemahan pada konferensi Jomtien; dan masalah kecacatan disebutkan secara spesifik di dalam beberapa dokumennya (Sue Stubbs, 2002:20). Tidak disebutkannya secara spesifik
tentang
anak
berkelainan/berkebutuhan
pendidikan
khusus
atau
penyandang cacat dalam Kerangka Aksi Dakar menggugah lembaga-lembaga yang mempromosikan pendidikan inklusif melakukan pertemuan antara UNESCO dan Kelompok Kerja Internasional untuk Penyandang Cacat dan Pembangunan, dan pada tahun 2001 diluncurkan Program Flagship untuk Pendidikan dan Penyandang Cacat. Tujuan Program Flagship tersebut adalah menempatkan isu kecacatan dengan tepat pada agenda pembangunan dan memajukan pendidikan inklusif sebagai pendekatan utama mencapai tujuan Pendidikan Untuk Semua /PUS (Situs web UNESCO EFA Flagship initiative). Deklarasi Bandung dilaksanakan pada 8-14 Agustus 2004 di Bandung Indonesia. Deklarasi tersebut berisi: (1) menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya mendapatkan kesempatan akses dalam segala 14
aspek kehidupan, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial, kesejahteraan, keamanan, maupun bidang lainnya, sehingga menjadi generasi penerus yang handal; (2) menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya sebagai individu yang bermartabat, untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi, pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan potensi dan kebutuhan masyarakat, tanpa perlakuan diskriminatif yang merugikan eksistensi kehidupan baik fisik, psikologis, ekonomis, sosiologis, hukum, politis maupun kultural; (3) menyelenggarakan dan mengembangkan pengelolaan pendidikan inklusif yang ditunjang kerjasama yang sinergis dan produktif antara pemerintah, institusi pendidikan, institusi terkait, dunia usaha dan industri, orang tua serta masyarakat. Selain peristiwa dan dokumen tersebut di atas, dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional BAB IV Bagian Kesatu Pasal 5 ayat (1) dinyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, dan pada Bagian Keempat Pasal 11 ayat (1) dinyatakan bahwa: Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskrimininasi. Oleh karena itu semua sekolah tentunya dapat menyelenggarakan pendidikan untuk semua warganegara tanpa kecuali. Berdasarkan kajian tersebut di atas, dapat ditegaskan bahwa pendidikan inklusif adalah sistem pendidikan dimana semua anak termasuk anak-anak berkelainan/berkebutuhan khusus memperoleh layanan pendidikan secara inklusif bersama-sama dengan anak-anak pada umumnya. Semua anak mempunyai hak untuk menerima jenis pendidikan yang tidak mendiskriminasikan pada latar dari ketidakmampuan, etnik, agama, bahasa, jender, kapabilitas dan lain sebagainya, termasuk anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus. Oleh karena itu sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa mengabaikan kondisi phisik, intelektual, social, emosional, linguistik atau kondisi lain mereka, termasuk anak cacat/ berkelainan dan anak berbakat. Sekolah inklusif adalah sekolah yang melaksanakan pendidikan inklusif mengakomodasi semua anak tanpa menghiraukan kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik atau kondisi lain mereka. Hal ini termasuk anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus dan anak berbakat, anak jalanan dan 15
anak pekerja, anak dari populasi terpencil dan pengembara, anak dari minoritas linguistik, etnik dan budaya dan anak-anak yang mempunyai kelemahan atau kelompok marginal lain. 1. Karakteristik Sekolah yang Bersifat Inklusif
Sekolah yang bersifat inklusif adalah sekolah yang ramah dan terbuka, yang ditandai hal-hal sebagai berikut : a) Tidak diskriminatif . Semua sekolah terutama TK dan SD memiliki potensi yang cukup untuk dikembangkan menjadi sekolah yang dapat menerima kehadiran semua anak tanpa kecuali. Hal ini dapat dibuktikan bahwa hampir di semua sekolah diketahui atau tidak, sudah menerima anak berkebuhan khusus terutama yang bersifat temporer. Ini berarti bahwa sekolah sudah memiliki perhatian dan pengakuan terhadap adanya keragaman dan perbedaan. Sekolah yang ramah danterbuka adalah sekolah yang tidak membeda-bedakan siswanya, yang paragurunya dapat mengatakan selamat datang kepada semua anak, di sinilah tempatkalian belajar dan di sini tempat yang nyaman dan menyenangkan. Betapa bahagianya anak-anak dan orang tuanya apa bila semua diperlakukan seperti itu.Apabila keadaan ini dapat dicapai, ada harapan bahwa semua anak akanmendapatkan untuk memperoleh pendidikan b) Mengakui dan Menghargai Keragaman Anak . Wujud nyata dari adanya pengakuan dan penghargaan terhadap keragaman anak, adanya proses pembelajaran yang fleksibel. Fleksibilitas dapat diwujudkan dalam bentuk penyesuaian antara isi kurikulum dengan hambatan dan kebutuhan belajar anak melalui pendekatan pembelajaran kooperatif. Hal ini memang tidak mudah untuk dilakukan, karena diperlukan keterampilan yang memadai dari seorang guru. Akan tetapi jika dapat diwujudkan akan sangat menguntungkan bagi perkembangan anak. Anak yang belajar lebih cepat dapat dilayani sesuai dengan kecepatannya, anak-anak yang rata-rata juga dapat dilayani dan anakanak yang mempunyai kebutuhan khusus dapat pula dilayani kebutuhannya. Bentuk lain dari adanya penghaargaan dan pengakuan terhadap perbedaan, dengan menciptakan atmosfir kelas yang merefleksikan adanya toleransi, penghargaan dan penerimaan antara guru dengan siswa, dan siswa dengan siswa, yang di dalamnya tidak ada celaan dan paksaan. Manakala atmosfir ini dapat dicapai, maka akan berkembang pada diri anak sikap percaya diri, 16
motivasi dan penghargaan terhadap orang lainyang berbeda. Belajar bagi anak akan merupakan sesuatu yang menyengakan. c) Lingkungan dan F asilitas yang Aksesibel . Aksesibilitas adalah kemudahan dan keleluasaan bagi semua anak untuk bergerak dan beraktivitas di lingkungan sekolah. Misalnya jika ada seorang anak yang tidak bisa berjalan diperlukan lingkungan yang memungkinkan anak itu bisa keluar masuk kelas dengan mudah. Di sekolah-sekolah kita pada umumnya tidak memiliki aksesibilitas yang baik, karena selalu berkaitan dengan biaya. Aksesibiltas yang ideal tentu sangat sulit untuk di kembangkan, tetapi bisa memulainya dengan hal-hal yang kecil yang bisa dilakukan oleh sekolah. Prinsip yang perlu diperhatikan guru/kepala sekolahdan orang tua dalam mengembangkan aksesibilitas lingkungan adalah aman,nyaman dan memberi kemudahan kepada semua orang untuk menggunakan fasilitas yang tersedia. 2. Sistem Pendukung Pendidikan Inklusif
Dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif diperlukan sistem pendukung, yang akan memberikan dukungan kepada guru, kepala sekolah dan orang tua dalammelayani anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah regular. Dalam konsep pendidikan inklusif system pendukung itu disebut Pusat Sumber (Resource Center).Pusat sumber berfungsi sebagi lembaga yang memberikan bantuan kepada sekolahregular dalam bentuk: a) Menyediakan guru pendidikan kebutuhan khusus yang profesional yang disebut guru kunjung. Guru kunjung akan membantu guru sekolah regular dalam penyusunan program pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus.dan dalam memecahkan masalah yang dihadapi. b) Menyelenggarakan pelatihan-pelatihan bagi guru sekolah regular, orang tua dan melakukan intervensi kepada anak berkebutuhan khusus tentang keterampilan yang sangat diperlukan, yang tidak diperoleh di sekolah regular. Misalnya keterampilan menulis braile dan keterampilan orientasi dan mobilitas bagi siswatunanetra. Diperlukan satu atau dua pusat sumber di setiap kabupaten/kota yang akan memberikan dukungan kepada sekolah regular dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif. Tanpa kehadiran pusat sumber sangat sulit pendidikan inklusif untuk diwujudkan. Sebagai konsekuensi dari hal-hal tersbut di atas, maka 17
harus terjadi perubahan budaya sekolah yang mendasar, yaitu dari budaya sekolah yangekslusif ke budaya sekolah yang ramah dan inklusif, atau disebut juga lingkungan inklusif ramah pembelajaran. D. Model-Model Sekolah Inklusif di Indonesia
Pelaksanaan sekolah inklusif di Indonesia mengacu pada pendapat Vaughn, Bos & Schumn dalam Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2007) yang mengemukan bahwa dalam praktek, istilah inklusi dipakai secara bergantian dengan istilah “mainstreaming” yang diartikan sebagai penyediaan layanan pendidikan yang layak bagi anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus sesuai dengan kebutuhan individualnya. Dengan demikian penempatan anak berkelainan harus dipilih yang paling bebas di antara alternatif layanan yang disediakan dan didasarkan pada potensi dan jenis serta tingkat kelainannya. Penempatan tersebut tidak permanen, tetapi sementara; dengan demikian siswa berkelainan dimungkinkan secara fleksibel pindah dari satu alternatif layanan ke alternatif lainnya, dengan asumsi bahwa intensi kebutuhan khususnya berubahubah. Filosofinya inklusi, tetapi dalam prakteknya menyediakan berbagai alternatif layanan yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan mereka. Model ini sering disebut dengan inklusi moderat. Mengacu pada pendapat Vaughn, Bos & Schumn dalam Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2007) penempatan anak berkebutuhan pendidikan khusus di sekolah inklusif di Indonesia dapat dilakukan dengan berbagai model, yaitu: (a) Kelas reguler “ Full Inclusion”; (b) Kelas reguler dengan cluster; (c) Kelas reguler dengan pull out ; (d) Kelas reguler dengan cluster dan pull out ; (e) Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian; (f) Kelas khusus penuh. Seterusnya dapat dikaji lebih lanjut tentang model sekolah inklusif di Indonesia yaitu sebagai berikut : 1) Kelas reguler “Full Inclusion” Anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus belajar bersama dengan anak lain di kelas reguler/inklusif sepanjang hari dengan menggunakan kurikulum yang sama dengan yang digunakan anak pada umumnya. 2) Kelas reguler dengan cluster Anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus belajar bersama dengan anak lain di kelas reguler/inklusif dalam kelompok khusus 18
3) Kelas reguler dengan pull out Anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus belajar bersama dengan anak lain di kelas reguler/inklusif, namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik/keluar dari kelas reguler/inklusif ke ruang bimbingan/ruang sumber untuk belajar dan mendapat layanan bimbingan dari Guru Khusus/Guru Pembimbing Khusus 4) Kelas reguler dengan cluster dan pull out Anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus belajar bersama dengan anak lain di kelas reguler/inklusif dalam kelompok khusus, dan dalam waktuwaktu
tertentu
ditarik/keluar
dari
kelas
reguler/inklusif
ke
ruang
bimbingan/ruang sumber untuk belajar dan mendapat layanan bimbingan dari Guru Khusus/Guru Pembimbing Khusus 5) Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian Anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus belajar dan mendapat layanan bimbingan dari Guru Khusus/Guru Pembimbing Khusus di dalam kelas khusus pada sekolah reguler/ inklusif; tetapi dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain di kelas reguler/inklusif 6) Kelas khusus penuh Anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus belajar dan mendapat layanan bimbingan dari Guru Khusus/Guru Pembimbing Khusus di dalam kelas khusus yang ada pada sekolah reguler/inklusif. Dalam model sekolah inklusif tersebut anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus tidak harus berada di kelas reguler/inklusif sepanjang hari untuk mengikuti semua mata pelajaran atau “inklusi penuh”; tetapi sebagian anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus dapat berada di kelas khusus/ruang sumber atau di ruang terapi untuk memperoleh bimbingan belajardari guru khusus/guru pembimbing khusus, dan terapi dari terapis; karena jenis dan tingkat kelainan yang cukup berat. Bagi anak berkelainan/ berkebutuhan pendidikan khusus yang jenis dan tingkat kelainannya tergolong berat; memungkinkan untuk lebih banyak waktunya berada di kelas khusus /ruang sumber yang ada pada sekolah reguler/inklusif. Bagi anak berkelainan/ berkebutuhan pendidikan khusus yang jenis dan tingkat kelainannya sangat berat, sehingga tidak memungkinkan belajar di sekolah reguler/inklusif dapat disalurkan ke sekolah khusus atau yang 19
disebut Sekolah Luar Biasa (SLB) atau Panti Rehabilitas/Sosial; dan atau sekolah rumah sakit “Hospital School”. Sekolah Inklusif dapat memilih model mana yang akan diterapkan secara fleksibel; artinya suatu saat dapat berganti model; karena pertimbangan berbagai hal, tergantung pada hal-hal yang antara lain adalah sebagai berikut: (1) Jumlah anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus yang dilayani; (2) Jenis dan tingkat kelainan anak; (3) Ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) termasuk Guru Khusus/Guru Pembimbing Khusus; dan (4) Sarana dan prasarana yang tersedia. E. Perkembangan Pendidikan Inklusi di Indonesia
Melihat perkembangan sekolah inklusif di Indonesia, perlu melihat dengan cermat komponen-komponen dari sekolah inklusif antara lain sebagai berikut: 1. Landasan pendidikan inklusif di Indonesia
a) Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan falsafah bangsa, dasar negara dan lima pilar sekaligus merupakan cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tungggal Ika. b) Landasan yuridis yang melandasi kebijakan pendidikan inklusi di Indonesia, yang antara lain adalah : (1) Undang-Undang Dasar 1945; (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat; (3) Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak; (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; (5) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor: 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan atau/bakat istimewa. Berdasarkan hasil kajian tersebut di atas, dapat disampaikan bahwa sebetulnya di Indonesia telah banyak landasan yang dapat digunakan sebagai dasar
pelaksanaan
pendidikan
inklusif,
namun
demikian
masih
banyak
permasalahan yang harus dipecahkan dan ini pekerjaan rumah yang harus bersama-sama iselesaikan dan mencari solusi yang tepat.
20
2. Tujuan Pendidikan Inklusif di Indonesia
Pendidikan inklusif di Indonesia diselenggarakan dengan tujuan: 1) Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhannya. 2) Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar. 3) Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah. 4) Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran. 5) Memenuhi amanat konstitusi/peraturan perundang-undangan:
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 ayat (1) yang menegaskan “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”;
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 ayat (2) yang menegaskan “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”;
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5 ayat (1) yang menegaskan “setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Pasal 51 yang menegaskan “anak yang menyandang cacat fisik dan atau mental
diberikan
kesempatan
yang
sama
dan
aksesbilitas
untuk
memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa”.
Peraturan menteri pendidikan nasional republik Indonesia (Permendiknas) nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.
3. Pendidikan Inklusi di Indonesia
Proses menuju pendidikan inklusif bagi anak luar biasa di Indonesia hakikatnya sudah berlangsung lama, yaitu sejak tahun 1960-an yang ditandai dengan berhasil diterimanya beberapa lulusan SLB Tunanetra di Bandung masuk ke sekolah umum, meskipun ada upaya penolakan dari pihak sekolah. Lambatlaun terjadi perubahan sikap masyarakat terhadap kecacatan dan beberapa sekolah 21
umum bersedia menerima siswa tunanetra. Selanjutnya, pada akhir tahun 1970-an pemerintah mulai menaruh perhatian terhadap pentingnya pendidikanintegrasi, dan
mengundang
Helen
Keller
International,
Inc.
Untuk
membantu
mengembangkan sekolah integrasi. Keberhasilan proyek ini telah menyebabkan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Pendidikan nomor 002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu bagi Anak Cacat. Sayangnya, ketika proyek pendidikan integrasi itu berakhir, implementasi pendidikan integrasi semakin kurang dipraktekkan, terutama di jenjang SD. Pada akhir tahun 1990-an upaya baru dilakukan lagi untuk mengembangkan pendidikan inklusif melalui proyek kerjasama antara Depdiknas dan pemerintah Norwegia di bawah manajemen Braillo Norway dan Direktorat PLB
(Tarsidi,
2007).
Sebagai
bentuk
komitmen
pemerintah
dalam
mengimpllementasikan pendidikan inklusif bagi penyandang cacar, pada tahun 2002 pemerintah secara resmi mulai melakukan proyek ujicoba di di berbagai 9 propinsi yang memiliki pusat sumber dan sejak saat itu lebih dari 1500 siswa berkelainan telah bersekolah di sekolah reguler, dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 6.000 siswa atau 5,11% dari seluruh jumlah anak berkebutuhan khusus. Sedangkan pada tahun 2007 meningkat menjadi 7,5% atau 15.181 siswa yang tersebar pada 796 sekolah inklusif yang terdiri dari 17 TK, 648 SD, 75 SLTP, dan 56 SLTA. Selanjutnya untuk mendorong implementasi pendidikan inklusi secara lebih luas, pada tahun 2004 di Bandung diadakan lokakarya nasional yang menghasilkan Deklarasi Bandung, yang diantara isinya menghimbau kepada pemerintah, institusi pendidikan, institusi terkait, dunia usaha dan industri serta masyarakat untuk dapat menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya mendapatkan kesamaan akses dalam segala aspek kehidupan, serta mendapatkan perlakuan yang manusiawi. Guna terus mengembangkan pendidikan inklusi pemerintah juga telah mengambil berbagai strategi, baik melalui diseminasi ideologi pendidikan inklusif, mengubah peranan SLB yang ada agar menjadi pusat sumber, penataran/pelatihan bagi guru-guru SLB maupun guruguru sekolah reguler, reorientasi pendidikan guru LPTK, desentralisasi dalam implementasi pendidikan inklusif, pembentukan kelompok kerja pendidikan
22
inklusi, samapai pada pembukaan program magister dalam bidang inklusi dan pendidikan kebutuhan khusus. Hasilnya pada kisaran tahun 2004-2007 muncul apresiasi dan antusiasme kuat di kalangan masyarakat untuk mengimplementasikannya. Misal, pada tahun 2005 cukup banyak sekolah regular yang mengajukan untuk menjadi sekolah inklusi, yakni 1200 sekolah, tetapi yang disetujui oleh pemerintah untuk dilaksanakan baru 504 sekolah, karena konsekuensinya pemerintah harus memberikan subsidi dan fasilitas lain penunjang proses pembelajaran (Sukadari, 2006). Meningkatnya implementasi pendidikan inklusi waktu itu, menjadikan Indonesia (menurut UNESCO) berada pada ranking ranking ke 58 dari 130 negara dalam implementasi pendidikan inklusi. Sayang ranking tersebut kemudian terus merosot dalam tahun-tahun berikutnya. Selanjutnya, Sunardi (2009) menjelaskan bahwa trend perkembangan pendidikan inklusif di Indonesia sejak tahun 2004 dapat ditabelkan sebagai berikut: Tabel 2.1 Trend pendidikan inklusif di Indonesia Berdasar Jumlah dan Siswa Tahun 2004-2007 Tahun Jumlah sekolah inklusif Jumlah siswa
2004
467
2.573
2005
504
6.000
2006
600
9.492
2007
796
15.181
23
Tabel 2.2 Jumlah Siswa berkelanian Yang Bersekolah Inklusif Berdasar Jenis Kelainan Pada Tahun 2007 Jeni Kelainan
Jumlah siswa
Tunanetra
345
Tunarungu
291
Tunagrahita
2277
Tunadaksa
266
Tunalaras
291
Autisme
230
Cacat ganda
45
Berkesulitas belajar
11428
Lainnya
32 Total
15.181
Data di atas menunjukkan bahwa sebagian besar sekolah inklusif di Indonesia (81,40%) adalah pada SD. Namun, bila dibandingkan dengan jumlah seluruh SD yang ada di Indonesia yaitu 144.567, maka jumlah seluruh SD inklusi di Indonesia sebenarnya baru mencapai 0,44%. Selanjutnya, dengan mengambil angka kasar jumlah penyandang cacat usia sekolah di Indonesia adalah 1,5 juta, maka jumlah anak berkelainan yang terlayani pendidikannya melalui sekolah inklusi sebenarnya baru mencapai 1 % dari seluruh populalsi yang ada. Namun dengan adanya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, yang didalamnya menegaskan bahwa setiap Pemerintah kabupaten/kota untuk menunjuk paling sedikit 1 (satu) SD dan 1 (satu) SMP pada setiap kecamatan dan 1 (satu) satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif, maka diyakini jumlah anak berkelainan dan jumlah sekolah penyelenggara inklusif di Indonesia akan semakin meningkat. 4. Kendala
Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional di Indonesia, sampai saat ini implementasi pendidikan inklusi masih dihadapkan kepada berbagai dilema yang
apabila
tidak
diantisipasi
melalui 24
kebijakan-kebijakan
khusus
memungkinkan dapat menghalangi perlakuan adil dan akses anak berkelainan untuk mengikuti pendidikan di sekolah reguler terdekat sehingga menghambat keberhasilan pelaksanaan pendidikan inklusi. Menurut Sunardi (2009), dilema tersebut meliputi: a) Sistem Penerimaan Siswa Baru, khususnya di tingkat pendidikan menengah dan atas yang menggunakan nilai ujian nasional sebagai kriteria penerimaan. Siswa hanya dapat diterima kalau hasil ujian nasionalnya memenuhi standar minimal yang telah ditetapkan oleh masing-masing sekolah. b) Diijadikannya pencapaian hasil ujian nasional sebagai criteria sekolah bermutu,
bukan
diukur
dari
kemampuannya
dalam
mengoptimalkan
kemampuan siswa secara komprehensif sesuai dengan keragamannya. c) Penggunaan label sekolah inklusi dan adanya PP. No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 41(1) tentang keharusan untuk memiliki tenaga kependidikan khusus bagi sekolah inklusi sebagai alasan melakukan penolakan masuknya anak berkelainan ke sekolah yang bersangkutan, yang ditandai dengan munculnya gejala “eklusivisme baru”, yaitu menolak anak berkebutuhan khusus dengan alasan belum memiliki tenaga khusus atau sekolahnya bukan sekolah inklusi d) Kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang ini belum mengakomodasi keberadaan anak - anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel). e) Masih dipahaminya pendidikan inklusi secara dangkal, yaitu semata-mata memasukkan anak disabled children ke sekolah regular, tanpa upaya untuk mengakomodasi kebutuhan khususnya. Kondisi ini dapat menjadikan anak tetap tereklusi dari lingkungan karena anak merasa tersisih, terisolasi, ditolak, tidak nyaman, sedih, marah, dan sebagainya. Pada hal makna inklusi adalah ketika lingkungan kelas atau sekolah mampu memberikan rasa senang, menerima, ramah, bersahabat, peduli, mencintai, menghargai, serta hidup dan belajar dalam kebersamaan. f) Munculnya label-label khusus yang sengaja diciptakan oleh pemerintah maupun masyasrakat yang cenderung membentuk sikap eklusifisme, seperti Sekolah Unggulan, Sekolah Berstandar Internasional (SBI), Sekolah Rintisan Berstandar Internasional (RSBI), sekolah favorit, sekolah percontohan, kelas akselerasi, serta sekolah-sekolah yang berbasis agama. Kondisi ini tentu dapat 25
berdampak kepada sekolah inklusi sebagai sekolah kelas dua (second class), karena menerima ABK sama dengan special school ( Imam Subkhan, 2009) g) Masih terbatasnya perhatian dan keseriusan pemerintah dalam mempersiapkan pendidikan inklusi secara matang dan komprehensif, baik dari aspek sosialisasi, penyiapan sumber daya, maupun uji coba metode pembelajaran, sehingga hanya terkesan program eksperimental (Cak Fu, 2005) . 5. Isu dan Permasalahan yang dihadapi
Sekalipun perkembangan pendidikan inklusi di negara kita cukup menggembirakan dan mendapat apresiasi dan antusiasme dari berbagai kalangan, terutama
para
praktisi
pendidikan,
namun
sejauh
ini
dalam
tataran
implementasinya di lapangan masih dihadapkan kepada berbagai isu dan permasalahan. Berdasarkan hasil penelitian Sunardi (2009) terhadap 12 sekolah penyelenggara inklusi di Kabupaten dan Kota Bandung, secara umum saat ini terdapat lima kelompok issue dan permasalahan pendidikan inklusi di tingkat sekolah yang perlu dicermati dan diantisipasi agar tidak menghambat, implementasinya tidak bias, atau bahkan menggagalkan pendidikan inklusi itu sendiri, yaitu: pemahaman dan implementasinya, kebijakan sekolah, proses pembelajaran, kondisi guru, dan support system. Salah satu bagian penting dari suppor system adalah tentang penyiapan anak. Selanjutnya, berdasar isu-isu tersebut, permasalahan yang dihadapi adalah sebagai berikut:
a. Pemahaman inklusi dan implikasinya 1) Pendidikan inklusif bagi anak berkelainan/penyandang cacat belum dipahami sebagai upaya peningkatan kualitas layanan pendidikan. Masih dipahami sebagai upaya memasukkan disabled children ke sekolah regular dalam rangka give
education
right
and
kemudahan
access
education,
and
againt
discrimination. 2) Pendidikan inklusi cenderung dipersepsi sama dengan integrasi, sehingga masih ditemukan pendapat bahwa anak harus menyesuiakan dengan sistem sekolah. 3) Dalam implementasinya guru cenderung belum mampu bersikap proactive dan ramah terhadap semua anak, menimbulkan komplain orang tua, dan menjadikan anak cacat sebagai bahan olok-olokan. 26
b. Kebijakan sekolah 1) Sekalipun sudah didukung denganvisi yang cukup jelas, menerima semua jenis anak cacat, sebagian sudah memiliki guru khusus, mempunyai catatan hambatan belajar pada masing-masing ABK, dan kebebasan guru kelas dan guru khusus untuk mengimplementasikan pembelajaran yang lebih kreatif dan inovatif, namun cenderung belum didukung dengan koordinasi dengan tenaga profesional, organisasi atau institusi terkait. 2) Masih terdapat kebijakan yang kurang tepat, yaitu guru kelas tidak memiliki tangung jawab pada kemajuan belajar ABK, serta keharusan orang tua ABK dalam penyediaan guru khusus.
c. Proses pembelajaran 1) Proses pembelajaran belum dilaksanakan dalam bentuk team teaching, tidak dilakukan secara terkoordinasi. 2) Guru cenderung masih mengalami kesulitan dalam merumusakan flexible curriculum, menentukan tujuan, materi, dan metode pembelajaran. 3) Masih terjadi kesalahan praktek bahwa target kurikulum ABK sama dengan siswa lainnya serta anggapan bahwa siswa cacat tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menguasai materi belajar. 4) Karena keterbatasan fasilitas sekolah, pelaksanaan pembelajaran belum menggunakan media, resource, dan lingkungan yang beragam sesuai kebutuhan anak. 5) Belum adanya panduan yang jelas tentang system penilaian. Sistem penilaian belum menggunakan pendekatan yang fleksibel dan beragam. 6) Masih terdapat persepsi bahwa system penilaian hasil belajar ABK sama dengan anak normal lainnya, sehingga berkembang anggapan bahwa mereka tidak menunjukkan kemajuna belajar yang berarti.
d. K ondisi guru 1) Belum didukung dengankualitas guru yang memadai. Guru kelas masih dipandang not sensitive and proactive yet to the special needs c hildren. 2) Keberadaan guru khusus masih dinilai belum sensitif dan proaktif terhadap permasalahan yang dihadapi ABK. 3) Belum didukung dengan kejelasan aturan tentang peran, tugas dan tanggung jawab masing-masing guru. 27
4) Pelaksanaan tugas belum disertai dengan diskusi rutin, tersedianya model kolaborasi sebagai panduan, serta dukungan anggaran yang memadai.
e. Sistem dukungan 1) Belum didukung dengan sistem dukungan yang memadai. Peran orang tua, sekolah khusus, tenaga ahli, perguruan tinggi-LPTK PLB, dan pemerintah masih dinilai minimal. Sementara itu fasilitas sekolah juga masih terbatas. 2) Keterlibatan orang tua sebagai salah satu kunci keberhasilan dalam pendidikan inklusi, belum terbina dengan baik. Dampaknya, orang tua sering bersikap kurang peduli dan realistik terhadap anaknya. 3) Peran SLB yang diharapkan mampu berfungsi sebagai resource centre bagi sekolah-sekolah inklusi di lingkungannya, belum dapat dilaksanakan secara optimal, baik karena belum adanya koordinasi dan kerja sama maupun alasan geografik. 4) Peran ahli yang diharapkan dapat berfungsi sebagai media konsultasi, advokasi, dan pengembangan SDM sekolah masih sangat minimal. 5) LPTK PLB dalam diseminasi hasil penelitian, penelitian kolaborasi maupun dalam implementasi terhadap hasil-hasil penelitaian belum dapat diwujudkan dengan baik. 6) Peran pemerintah yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam mendorong implementasi inklusi secara baik dan benar melalui regulasi aturan maupun bantuan teknis, dinilai masih kurang perhatian dan kurang proaktif terhadap permasalahan nyata di lapangan. 7) Kalaupun pemerintah saat ini sudah mengikutkan guru-guru dalam pelatihan atau memberikan bantuan yang sifatnya fisik atau keuangan, namun jumlahnya masih sangat terbatas dan belum merata. 8) Sekolah umumnya juga belum didukung fasilitas yang diperlukan untuk mendukung aksesibilitas dan keberhasilan pembelajaran secara memadai.
28
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dalam makalah ini yaitu sebagai berikut: 1)
Anak Berkebutuhan Khusus (Children With Special Needs) memandang bahwa anak dilihat sebagai anak yang unik dan utuh, dan tidak dilihat apakah tuna atau tidak tuna, tetapi setiap anak memiliki hambatan belajar dan kebutuhan yang bersifat khusus sedangkan Pendidikan Kebutuhan Khusus (Special Needs Educationadalah pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus baik yang bersifat temporer maupun yang bersifat permanen dan sangat fokus kepada hambatan belajar dan kebutuhan setiap anak secara individual
2)
Pendidikan Inklusif (Inclusive Education)sebuah konsep atau pendekatan pendidikan yang berusaha menjangkau semua orang tanpa kecuali.
3)
Pendidikan inklusi sebagai proses layanan pendidikan untuk semua pada hakikatnya adalah pendidikan yang mengakomodasi semua anak tanpa menghiraukan kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik, etnik, budaya
atau
kondisi
lain
mereka.
Hal
ini
termasuk
anak
berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus 4)
Sekolah inklusif di Indonesia dapat dilakukan dengan berbagai model, yaitu: (a) Kelas reguler “ Full Inclusion”; (b) Kelas reguler dengan cluster; (c) Kelas reguler dengan pull out ; (d) Kelas reguler dengan cluster dan pull out ; (e) Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian; (f) Kelas khusus penuh.
5)
Proses menuju pendidikan inklusif bagi anak luar biasa di Indonesia hakikatnya sudah berlangsung lama, yaitu sejak tahun 1960-an yang ditandai dengan berhasil diterimanya beberapa lulusan SLB Tunanetra di Bandung masuk ke sekolah umum, meskipun ada upaya penolakan dari pihak sekolah.
B. Saran
1) Anak yang menyandang kebutuhan pendidikan khusus harus memperoleh akses ke sekolah reguler yang harus mengakomodasi mereka dalam rangka pedagogi
yang
berpusat
pada
diri
kebutuhankebutuhan tersebut
29
anak
yang
dapat
memenuhi
2) Menetapkan mekanisme partisipasi yang terdesentralisasi untuk membuat perencanaan, memantau dan mengevaluasi kondisi pendidikan bagi anak serta orang dewasa penyandang kebutuhan pendidikan khusus 3) Mendorong dan memfasilitasi partisipasi orang tua, masyarakat dan organisasi para penyandang cacat dalam perencanaan dan proses pembuatan keputusan yang menyangkut masalah pendidikan kebutuhan khusus 4) Melakukan upaya yang lebih besar dalam merumuskan dan melaksanakan strategi identifikasi dan penanggulangan dini, maupun dalam aspek-aspek vokasional dari pendidikan inklusif 5) Demi
berlangsungnya
perubahan
sistemik,
menjamin
agar
program
pendidikan guru, baik pendidikan pradinas maupun dalam dinas, membahas masalah pendidikan kebutuhan khusus di sekolah inklusif.
30