KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Assalamu’alaikum wr. Wb.
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberi petunjuk dan kekuatan iman sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah ini yang berjudul ”DESERTIFIKASI”.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan tercurahkan pada Nabi besar Muhammad SAW. Makalah ini dibuat bertujuan untuk menyelesaikan tugas IPA Tak lupa kami ucapkan terimakasih kepada: 1. Allah SWT yang telah memberikan segala nikmat-Nya dalam melancarkan pembuatan makalah ini 2. Ibu Ririn Kobandaha yang telah memberikan tugas makalah ini selaku guru IPA 3. Orang tua kami yang selalu mendoakan langkah-langkah kami dalam menghadapi berbagai kegiatan. 4. Teman seperjuagan atas kerjasamanya dalam tugas ini. Semoga makalah ini dapat berguna bagi diri kami sendiri, teman-teman dan siapa saja yang ingin memanfaatkannya sebagai referensi keilmuan. Atas segala kekurangan dalam penulisan makalah ini dan kritik atau saran yang membangun maupun tidak sangat kami butuhkan agar dapat menyempurnakan makalah dilain waktu, dari lubuk yang paling dalam kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Wassalamu’alaikum Wassalamu’alaikum wr. Wb.
Kotamobagu, Februari 2018 Penyusun
Kelompok 2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Menurut The United Nations Confention To Combat Desertification (UNCCD) desertifikasi adalah degradasi lahan didaerah kering yang diakibatkan oleh faktorfaktor yang bervariasi, termasuk didalamnya adalah fariasi iklim dan aktifitas manusia. Kini dampak pemanasan global dan perubahan iklim dunia bukan lagi sekedar ancaman. Namun, anomali iklim tersebut sudah menjadi kenyataan yang menimpa kehidupan kelompok masyarakat lintas budaya di berbagai belahan dunia. Salah satu kelompok masyarakat yang paling rentan mengalami gangguan iklim
yang
kian
tak
menentu
tersebut
adalah
petani.
Sesungguhnya
ketidaknormalan iklim seperti kemarau panjang yang menimpa kita dewasa ini bukan hal baru karena di waktu lalu pun hal itu terjadi. Namun dalam perkembangannya dewasa ini, ketidak normalan iklim seperti kemarau panjang tersebut cenderung makin kerap terjadi dan krisis air makin meningkat. Akibat bencana
kekeringan,
para
petani
sawah
cendering
makin
tak
berdaya
menghadapinya. Hal tersebut antara lain disebabkan kian rusaknya ekosistem lokal dan telah pudar atau hilangnya berbagai strategi lokal dan kearifan ekologi petani sawah dalam mengelola lingkungannya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah yang dimaksud dengan desertifikasi 2. Apa penyebab dari desertifikasi 3. Bagaimana penanggulangan desertifikasi 4. Kasus-kasus desertifikasi di Indonesia
C. TUJUAN
1. Untuk menjelaskan mengenai definisi desertifikasi 2. Untuk menjelaskan penyebab terjadinya desertifikasi 3. Untuk menjelaskan cara penanggulangan desertifikasi 4. Untuk memberikan berbagai kasus-kasus nyata yang ada di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI DESERTIFIKASI
Desertifikasi berasal dari desert yang berarti gurun. Menurut The United Nations Confention To Combat Desertification (UNCCD) desertifikasi adalah degradasi lahan didaerah kering yang diakibatkan oleh faktor-faktor yang bervariasi, termasuk didalamnya adalah fariasi iklim dan aktifitas manusia. Sebagaimana dikutip dari IYDD ( International Year of Desert and Desertification) dalam buletin yang diterbitkan oleh GER (Global Education Room, South Australia ) desertifikasi berarti penambahan daerah gurun yang sudah ada dan dapat juga berarti proses dimana daerah luas yang sebelumnya subur dan produktif menjadi kering kerontang dan tidak dapat lagi digunakan untuk bercocok tanam. Sedangkan menurut kami, desertifikasi adalah kondisi dimana tanah kering karena kekurangan air yang disebabkan oleh perubahan iklim dan ulah manusia. Desertifikasi secara alamiah disebabkan karena erosi berat oleh tanah. Erosi adalah peristiwa pengikisan tanah yang disebabkan oleh faktor iklim (intensitas hujan, kecepatan angin, rentang suhu dan frekuensi badai), faktor biologi (tipe sedimen, tipe batuan, dan kemiringan lahan), faktor biologis (tutupan vegetasi lahan, makhluk yang tinggal yang di lahan tersebut dan tata guna lahan oleh manusia ). Tumbuhan yang dapat tumbuh di daerah yang tandus adalah : 1. Kacang tanah 2. Kacang mete 3. Pohon jati 4. Kaktus 5. Singkong 6. Akasia 7. Kurma
B. PENYEBAB TIMBULNYA DESERTIFIKASI
1. Lahan Kering Lahan kering adalah daerah yang tidak terkena air sama sekali dan juga daerah yang tidak dapat mengimbangi curah hujan dengan evaporasi. Lahan kering secara umum dimanfaatkan sebagai lahan penggembalaan, meskipun di negara-negara maju lahan sudah dijadikan sebagai lahan pertanian modern dengan dukungan sistem irigasi yang mencukupi. Indonesia termasuk salah satu negara yang memilikilahan kering berupa padang rumput dibagian timur wilayah negara ini.
2. Perubahan Pengubahan Lahan Peningkatan populasi manusia melibihi kapasitas daya dukung lingkungannya menyebabkan manusia semakin mengeksploitasi alam. Terjadinya perubahan yang besar-besaran pada pola penggunaan lahan dalam rangka pemenuhan kebutuhan manusia. Penggunaan lahan memberikan kontribusi terhadap perubahan iklim karena fluktasinya CO 2 atmosfer, akibatnya terjadi perubahan pola penutupan lahan. Tumbuhan-tumbuhan yang tahan terhadap kadar CO 2 yang tinggi sajalah yang dapat bertahan hidup. Sebaliknya, desertifikasi yang ditimbulkan oleh perubahan pola iklim lebih lanjut akan berdampak pada iklim dan dapat dideskripsikan utamanya pada perubahan penggunaan lahan dan penutupan lahan yang mendorong terjadinya degradasi lahan, penggembalaan berlebihan, pembakaran biomassa dan emisi ke atmosfer , konstribusi pertanian terhadap polusi udara, pembukaan hutan yang mempercepat erosi. Gangguan lahan karena antropogenikdan erosi, dan pengaruh irigasi pertanian pada kondisi permukaan tanah ekosistem lahan kering (Sivakumar; 2007). Menurut sivakumar, Desertifikasi lahan kering terancamnya produktifitas pangan jangka panjang dunia, termasuk tidak terdeteksinya produksi pangan, kelaparan, peningkatan biaya sosial, penurunan kuantitas dan kualitas suplai air bersih,
peningkatan
produktifitas tanah.
kemiskinan
dan
ketidakstabilan
politik,
penurunan
3. Perubahan Iklim Global Iklim global akhir-akhir ini mengalami perubahan yang drastis. Cuaca dan iklim berfluktasi dan berubah karena alam, dan juga karena ulah manusia. Perubahan karena manusia berpangkal dari pertambahan penduduk yang membawa konsekuensi bertambahnya jumlah energi secara langsung ke dalam udara, pembukaan tanah yang menyebabkan terjadinya perubahan permukaan bumi, pengotoran udara yang menyebabkan terjadinya perubahan energi yang menuju/keluar ke/dari permukaan bumi. Tipe dan kondisi permukaan bumi akan menentukan iklim disuatu tempat, karena permukaan bumi akan mempengaruhi jumlah dan keragaman pemanasan yang dihasilkan. Perbedaan pemanasan itu justru menjadi faktor pembentuk iklim karena distribusi panas yang tidak merata menjadi sebab langsung dari gerakan udara horizontal yang kita kenal sebagai angin, sedangkan gerakan udara horizontal yang kita kenal sebagai angin, sedangkan gerakan yang vertikal akan menciptakan awan presipitasi. Menurut Lavee et al (1998), perubahan iklim menyebabkan menurunnya ketersediaan air tanah dan akan lanjut menyebabkan perubahan vegetasi penutup tanah, akibatnya hanya vegetasi yang tahan kekeringan saja yang akan bertahan hidup. Vegetasi yang memiliki sistem perakaran
4. MENGATASI DESERTIFIKASI
Ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk mencegah dan mengembalikan tanah menjadi keadaan sebelumnya, yaitu: 1. Reboisasi, yaitu menaman pohon dari berbagai jenis tanaman , maka dalam beberapa tahun, daerah yang terkena efek desertfikasi akan kembali subur dan berfungsi layaknya sedia kala. 2. Penanaman tembok erosi, dengan menanam pohon besar disekitar are yang terkena dampak desertifikasi, maka hal ini akan mencegah dampak yang lebih buruk akibat erosi yang disebabkan oleh angin maupun air. 3. Penyuburan tanah, dengan menambah unsur hara dan pupuk dalam ta nah yang terkena desertifikasi, maka diharapkan tanah tersebut akan mampu menunjang tanaman diatasnya dan melebatkan hutan di daerah tersebut.
5. KASUS-KASUS YANG TERJADI TERKAIT DESERTIFIKASI
1. Kondisi Daerah Gunung Kidul Di indonesia terkenal dengan tanahnya yang subur, setidaknya dikalangan masyarakat indonesia itu sendiri. Berbagai tanaman tumbuh di indonesia. Meskipun demikian tidak semuanya wilayah di indonesia memiliki tanah yang subur. Ada beberapa daerah yang tanahnya berada pada kategori tanah tandus. Tinggal di wilayah yang tepat dilewati oleh garis katulistiwa memberikan banyak keuntungan. Sinar matahari yang cukup dan curah hujan yang juga cukup membuat tanah di negara ini tergolong sebagai tanah yang subur. Berbagai tumbuhan yang tidak ada di eropa, tumbuh subur disini sayangnya, memang tidak semua wilayah Indonesia bisa merasakan nikmatnya hidup diatas tanah yang subur. Ada beberapa masyarakat indonesia yang hidup di wilayah dengan keadaan tanah yang tidak bagus atau bahkan jelek sama sekali atau t anah tandus. Tanah tandus berkapur di gunung kidul merupakan salah satu contoh kasus desertifikasi yang berada di indonesia. Daerah ini kekurangan air pada setiap musim kemarau setiap tahunnya. Air bersih yang berwana bening dan tidak berbau adalah sesuatu yang sangat istimewa dan berharga sama dengan seekor kambing untuk setiap tanki bermuatan 6.000 liter. Banyak pihak yang dirugikan jika tanah dalam keadaan tandus. Terutama dan yang paling terlihat kesusahan adalah para petani. Digunung kidul, salah satu kabupaten yang terletak di Selatan Yogyakarta terdapat berbagai jenis tanaman yaitu singkong, pohon jati, jagung, kacang tanah dan kacang mete. Bukannya penduduk tidak ingin menanam jenis tanaman palawija, tapi jenis tanah gunung kidul yang tandus dan berkapur membuat petani tidak mempunyai banyak pilihan. Dengan kata lain, mereka terpaksa menanam tanaman-tanaman tersebut karena hanya tanaman jenis itulah yang dapat tumbuh di daerahnya. Memikirkan jalan lain dan memutar otak adalah hal lain yang harus dilakukan oleh para petani gunung kidul salah satu cara yang dilakukan petani untuk sedikit menyuburkan tanah tandusnya adalah dengan menanam kacang tanah. Kacang tanah dari gunung kidul cukup baik.
Selain kacang tanah, petani juga memanfaatkan kotoran ternak, sebagai pupuk kandang yang juga cukup bermanfaat bagi pembentukan unsur hara tanah. Pupuk kandang membantu para penati untuk sedikit untuk menyuburkan tanah dikampung mereka.
2. Kekeringan Dan Strategi Petani Sungguh malang nasib yang menimpa para petani sawah. Akibat musim kering 2007, dari Januari hingga bulan juli 268.518 hektar sawah mengalami kekeringan. Di Jawa Barat, hingga 31 Juli 2007, tercatat 17.331 hektar sawah terkena kekeringan dan 45.584 hektarterancam kekeringan. Konsekuensinya, ribuan hektar tanaman padi gagal dipanen petani. Banyak keluarga petani sawah kehilangan pendapatan dengan nilai kerugian mencapai juttaan rupiah per keluarga. Di Sukabumi Selatan, akibat kekeringan, banyak buruh petani sawah yang menganggur dan kehilangan sumber pendapatan mereka karena tidak punya pekerjaan lain di luar menjadi buruh tani (Kompas, 21/8/2007). Akibat bencana kekeringan, para petani sawah cendering makin tak berdaya menghadapinya. Hal tersebut antara lain disebabkan kian rusaknya ekosistem lokal dan telah pudar atau hilangnya berbagai strategi lokal dan kearifan ekologi petani sawah dalam mengelola lingkungannya. Pada masa silam, hingga akhir 1960-an, sebelum
ada Revolusi Hijau,
petani sawah di Jawa Barat mempunyai berbagai strategi dan kearifan ekologi dalam bercocok tanaman padi sawah. Misalnya,untuk menjamin keberhasilan bercocok tanam padi, para petani sawah pada setiap musimnnya senantiasa memilih macam-macam varietas padi lokal yang akan ditanam di lahan sawahnya. Dalam mengelola ekosistem sawah, untuk menghindari ancaman bahaya hama dan mengesifiensikan penggunaan air irigasi, mereka biasanya senantiasa menjaga kebersamaan untuk tanam dan panen padi. Untuk menjaga kebersamaan tersebut para petani biasanya mengembangkan berbagai strategi. Contohnya, petani memiliki lahan sawah di daerah pegunungan menanam padi lebih awal dibandingkan dengan mereka yang memiliki lahan sawah di daerah lembah.
Kendati wakti tanam sedikit berbeda, waktu panennya dapat bersamaan. Mengingat daratan tinggi memiliki udara dingi dan pencahayaan matahari kurang, biasanya umur padi lebih lama dibandingkan padi yang tumbuh rendah. Berdasarkan umur padi aneka ragam varietas padi lokal secara umum dibedakan petani menjadi dua golongan utama, yaitu pare biasa dengan umur panen sekitar 5-6 bulan dan pare bunar yang memiliki umur panen kurang dari 5-6 bulan.biasanya para petani memilih menanam macam-macam varietas pare hawara untuk berbagai kepentingan. Misalnya, pare hawara tersebut diselipselipkan di daerah yang kosong atau gagal ditanam padi. Jadi, kedati waktu tanam pare bunar terlambat, maka waktu panennya dapat bersamaan dengan varietas padi ditanam sebelumya. Masa tanam dan panen padi senantiasa diusahakan para petani sawah agar waktunya bersamaan. Sebab, menanam padi yang tidak guyub, lebih awal atau lebih lambat daripada petani umumnya, biasanya dianggap jelek oleh para petani karena rentan terhadap serangan hama. Selain itu, ketidak teraturan pola tanam padi kia sulit dalam pengaturan pemanfaatan air irigasi di usum halodo (musim kemarau). Sebab pada usum halodo pemberian air biasanya digilir dari sawah-sawah di daerah hulu hingga sawah di daerah hilir sungai. Pada masa silam, pengaturan air irigasi tersier di desa biasanya dilakukan oleh petugas ulu-ulu desa. Saat ini ada tendensi bahwa petani sawah kurang memiliki lagi informasi dan pengetahuan lokal yang mendalam tentang lingkungannya. Hal itu antara lain dikarenakan pada masa Revolusi Hijau mereka dipaksakan untuk bercocok tanam padi secara modern tanpa dilandasi kesesuaian dengan faktor-faktor ekologi lokal dan kesesuaian budaya setempat . Akibatnya, mereka mengadopsi tanaman padi baru, pare pendek, dengan penggunaan pupuk kimia sintetis dan pestisida. Pola tanam padi pun menjadi tidak teratur. Pada suatu hamparan sawah dapat ditemukan lahan sawah yang baru dicangkul, ditanami padi, usai panen padi, dan lain-lain. Akibatnya, sering ledakan hama dan kekurangan air pada musim kemarau. Selain itu dalam menghadapi kekeringan, petani sawah cenderung kian tak berdaya. Sebab, dalam menanam padi, mereka sangat tergantung pada varietas pare pendek yang dihasilkan dari suatu laboraturium modern, yang dirancang
khusus untuk ditanam di lahan sawah yang subur serta cukup air, pupuk kimia sintetis, dan pestisida. Padahal, kenyataannya kondisi ekologi sawah para petani sangat beraneka ragam. Maka usaha tani sawah makin dipengaruhi dan dibelenggu faktor-faktor eksternal. Sebagai contoh, mereka menjadi sangat tergantung pada pasokan benih padi, pupuk kimia sintetis, pestisida dan air irigasi yang semuanya di luar kendali petani sawah. Karea itu, tak mengherankan apabila kini terjasi kelangkaan pupuk dan pestisida hampir setiap musim tanam padi. Para petani sawah mengalami kesulitan air biasa, ditambah pula dengan seringnya terjadi becana kekeringan seperti tahun 2007. Hal tersebut membuat para petani sawah kian menderita. Sayangnya, bantuan konkret pemerintah terhadap para petani korban kekeringan tersebut tidak (belum) ada. Kini kesannya pemerintah malah lebih memperhatikan keselamatan nasib target produksi padi secara naional (makro) daripada
mempedulikan
nasib
petanikorban
kekeringan.
Kekerigan
menyebabkan kerugian jutaan rupiah bagi tiap keluarga korban tanpa ada kompensasi sedikitpun dari pemerintah.
3. Bencana merapi dan adaptasi warga Pada 26 Oktober 2010 sore Gunung Merapi di wilayah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta meletus. Demi keselamatan, sebagian besar penduduk yang bertempat tinggal di sekitar gunung diungsikan ketempat yang lebih aman. Gunung Merapi dikenal kerap meletus. Karena itu, tak mengherankan bila gunung tersebut dikenal sebagai salah satu gunung api paling aktif di dunia. Letusannya kadang-kadang dahsyatnya dan adakalanya ringan. Berdasarkan sejarah ekologi/lingkungan, Gunung Merapitercatat meletus pertama kali pada 1006 dan mengubur Candi Borobudur. Lantas, sejak 1548 hingga 1968 tercatat rata-rata 7,5 tahun sekali terjadi letusan Merapi. Tahun 1672 letusannya menyebabkan 3.000 korban jiwa. Pada 1930 letusan Merapi menyebabkan 1.367 jiwa meninggal, 2.410 ternak mati, 13 desa musnah, serta29 desa rusak sebagian. Selain itu, pada 1954 letusan Merapi menyebabkan 64 orang meninggal dan 57 luka-luka. Kemudian, tahun 1961 letusannya menyebabkan 5 orang meninggal, 19 ternak mati, dan sekitar 109 rumah hancur. Sementara itu, korban
jiwa akibat letusan Gunung Merapi, biasanya berbagai upaya dilakukan pemerintah, seperti program transmigrasi. Contohnya, pada 1961 tercatat 4.517 penduduk dari kawasan yang terkena bencana di transmigrasikan ke Sumatera. Lantas, pada bencaa letusan Merapi tahun 1994 pemerintah bermaksud pula memindahkan penduduk korban gunung api tersebut. Namun, mayoritas penduduk yang bermukim di lereng Merapi menolaknya. Pada umumnya hampir setiap
letusan Gunung Merapi menimbulkan
bahaya pada penduduk. Ketika gunung tersebut meletus, selain keluar magma, biasanya pula keluar awan panas yang oleh penduduk disebut wedhus gembel atau ampa-ampa. Wedhus gembel biasanya meluncur ke bawah lereng gunung dengan kecepatan 200-300 kilometer per jam dan temperature 200-300 derajat celsius. Awan panas
itu
lebih mengancam penduduk dibandingkan dengan
muntahan lava yang mengalir lebih lambat. Jadi, penduduk yang bermukim di lereng Gunung Merapi umumnya menyatakan bahwa sesungguhnya hanya dua bahaya Merapi, yaitu awan panas serta campuran abu dan air (lahar dingin) yang mengalir ke bawah lereng dengan cepat serta merusak harta benda dan jiwa. Contohnya, tahun 1994 letusan Gunung Merapi mengeluarkan awan panas yang bergerak cepat sejauh 6 KM ke bawah, ke bagian selatan lereng Merapi, mengikuti palung Sungai Boyong dan 4 KM ke bawah tenggara lereng, mengikuti palung Sungai Krasak. Penduduk yang bermukim dipuluhan desa di selatan dan tenggara lereng melarikan diri ke bawah lembah gunung. Bencana tersebut menyebabkan 46 orang meninggal di lapangan ataupun sesudahnya serta 4.452 orang diungsikan ke pengungsian. Meskipun demikian, faktor penyebabnya, penduduk lekat secara budaya dengan Merapi dilandasi mistik. Akan tetapi, penduduk lokal juga telah
menganalisis secara seksama resiko dan manfaat lingkungannya selain resiko yang akan dihadapi di kawasan transmigrasi. Mereka menyadari adanya peluang ditimpa bencana Merapi dengan berbagai konsekuensinya, termasuk korban jiwa dan harta. Namun, pada waktu yang sama, mereka juga telah memperoleh manfaat nyata, yaitu berbagai keuntungan sosial, ekonomi, dan budaya dalam mengelola dan adaptasi dengan lingkungan Merapi secara turun temurun.
Berdasarkan sejarah ekologi, sebelum abad ke-20 hampir semua penduduk pegunungan Jawa, tak terkecuali penduduk lereng Gunung Merapi, bertani dengan sistem ladang berotasi (disebut ngahuma di Sunda). Mereka menggarap lahan hutan (wono) secara berpindah-pindah hutan. Hal ini dimaksud untuk mengistirahatkan/memberakan (followed) lahan bekas ladang usai panen padi gogo agar kesuburannya pulih tanpa memberikan pupuk anorganik. Mereka juga mengembalakan ternak secara bebas di desa. Namun, sejalan dengan kebijakan pemerintah kolonial Belanda, lereng Merapi tidak saja dilihat bahaya letusan,tetapi juga digunakan untuk kepentingan koservasi tanah dari bahaya erosi. Konsekuensinya, penduduk harus mengubah sistem pertanian ladang di kawasan hutan deengan sistem tegalan menetap. Dengan sistem pertanian baru tersebut, petani harus memelihara ternak sapi di kandang dan menyabit rumput alang-alang dari lingkungan sekitarnya. Ketika musim hujan, biasanya penduduk cukup menyabit rumput di lahan-lahan sekitar desanya. Namun, pada musim kemarau mereka harus maik ke lereng sisi Gunung Merapi yang subur karena kelembabannya. Untuk menyabit rumput, penduduk perlu kerja intensif. Sebab, untuk menuju tempat menyabit rumput, penduduk perlu berjalak kaki 60-90 menit. Sementara itu, untuk menyabit 55-60 kg rumput butuh waktu sekitar satu jam. Populsi ternak sapi telah menjadi komponen utama penduduk di lereng Merapi, utamanya sebagai penghasil susu dan laku dipasarkan. Adapun kotorannya sangat berguna untuk pupuk organik di lahan pertanian aatupun padang rumput. Jadi, dalam kondisi letusan berkala Gunung Merapi yang ringan, kehadiran wedhus gembel dapat menguntungkan penduduk. Karena wedhus gembel secara rutin membakar rumput alang-alang, ketika musim hujan tiba, rumput alang-alang tersebut akan tumbuh subur. Itu sangat penting bagi sumber pakan ternak. Sayangnya, kini adaptasi penduduk untuk harmonis dengan dinamika Merapi yang sering meletus makin sulit diupayakan. Letusan gunung secara dahsyat. Misalnya, kian sulit diprediksi. Sebab, kini berbagai indikator di alam, seperti migrasi binatang liar yang biasa turun dari hutan ke dusun-dusun menjelang Merapi, kian Langka ditemukan. Binatang itu telah punah atau langka di alam.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Desertifikasi adalah kondisi dimana tanah kering karena kekurangan air yang disebabkan oleh perubahan iklim dan ulah manusia. Penyebab dari desertifikasi adalah lahan yang kering dan perubahan iklim global dan perubahan pengubahan lahan.
B. SARAN
Untuk mengatasi desertifikasi agar tidak mengalami kekeringan maka perlu diadakannya reoboisasi, membuat tembok erosi, dan penyuburan tanah dengan cara menambah unsur hara dan pupuk dalam tanah. Serta disarankan untuk menanam tanaman yang dapat tumbuh di daerah tandus seperti singkong, kacang tanah, kacang mete, akasia, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.slideshare.net/dwisekti1/desertifikasi
MAKALAH IPA “DESERTIFIKASI”
DISUSUN OLEH KELOMPOK 2 1. Anita Dolot 2. Fikri Kaat 3. Cindi Kadir 4. Rivandra Simbala 5. Finka Nabila Mokodompit KELAS : IX B