MAKALAH SISTEM IMUN DAN HEMATOLOGI “ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GANGGUAN HIPERSENSITIVITAS/ALERGI”
DI SUSUN OLEH KELOMPOK IV: 1. YUDI OKTAVIANA 2. SIEN 3. ASRIANI
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN STIKES WIDYA NUSANTARA PALU TAHUN 2016/2017
KATA PENGANTAR
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu kami meminta kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GANGGUAN HIPERSENSITIVITAS/ALERGI” yang dapat selesai tepat pada waktunya. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas kelompok mata kuliah sistem imun dan hematologi. Dalam penyusunan makalah ini tak lupa pula kami berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik berupa bimbingan, dorongan do’a, serta kerja sama yang baik dari semua pihak.
Palu, Maret 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................. i KATA PENGANTAR............................................................................ ii DAFTAR ISI.......................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang............................................................................. 1 B. Tujuan Penulisan...........................................................................2 BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian..................................................................................... 3 B. Etiologi......................................................................................... 3 C. Tanda dan Gejala.......................................................................... 4 D. Patofisiologi.................................................................................. 5 E. Pathway........................................................................................ 6 F. Klasifikasi..................................................................................... 7 G. Terapi............................................................................................ 11 H. Diagnostik.................................................................................... 11 I. Pemeriksaan Penunjang................................................................ 12 BAB III ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian.................................................................................... 14 B. Diagnosa Keperawatan................................................................. 14 C. Intervensi...................................................................................... 15 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan.................................................................................. 20 B. Saran............................................................................................ 20
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut. Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi. Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas, yaitu timbulnya respon IgE yang berlebihan terhadap bahan yang dianggap sebagai alergen, sehingga terjadi pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi alergi, walaupun pada orang normal reaksi ini tidak terjadi. Apabila reaksi alergi ini berlangsung sangat berlebihan, dapat timbul syok anafilaktik. Histamin yang dilepaskan menimbulkan berbagai efek. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan pindahnya plasma dan sel-sel leukosit ke jaringan, sehingga menimbulkan bintul-bintul berwarna merah di permukaan kulit. Sementara rasa gatal timbul akibat penekanan ujung-ujung serabut saraf bebas oleh histamin. Kemudian kerusakan jaringan yang terjadi akibat proses inflamasi menyebabkan sekresi protease, sehingga menimbulkan rasa nyeri akibat perubahan fungsi. Efek lain histamin, yaitu kontraksi otot polos dan perangsangan sekresi asam lambung, menyebabkan timbulnya kolik abdomen dan diare. Selain itu, sekresi enzim untuk mencerna zat gizi, terutama protein, belum dapat bekerja maksimal, sehingga terjadi alergi pada makanan tertentu, terutama makanan berprotein. Ada alergi yang dapat membaik, karena maturitas enzim dan barier yang berjalan seiring dengan bertambahnya umur. Hal ini juga dapat terjadi akibat faktor polimorfisme genetik antibodi yang aktif pada waktu tertentu, sehingga menentukan kepekaan terhadap alergen tertentu. Secara umum, hasil pemeriksaan laboratorium normal. Terjadi eosinofilia relatif, karena disertai dengan penurunan basofil akibat banyaknya terjadi degranulasi. Eosinofil sendiri menghasilkan histaminase dan aril sulfatase. Histaminase yang dihasilkan ini berperan dalam mekanisme pembatasan atau regulasi histamin, sehingga pada pasien dengan kasus alergi yang berat, jumlah eosinofil akan sangat meningkat melebihi normal.
B. Tujuan Penulisan 1.
Tujuan Umum Agar mahasiswa diharapkan dapat mengetahui dan mengerti tentang asuhan keperawatan dengan gangguan hipersensitivitas.
2.
Tujuan Khusus Makalah disusun bertujuan agar : a.
Mahasiswa mengetahui pengertian hipersensitivitas
b.
Mahasiswa mengetahui Etiologi hipersensitivitas
c.
Mahasiswa mengetahui tanda dan gejala hipersensitivitas
d.
Mahasiswa mengetahui Patofisiologi hipersensitivitas
e.
Mahasiswa mengetahui pathway hipersensitivitas
f.
Mahasiswa mengetahui klasifikasi hipersensitivitas
g.
Mahasiswa mengetahui cara pemeriksaan, penatalaksanaan hipersensitivitas
h.
Mahasiswa mengetahui asuhan keperawatan pada hipersensitivitas
BAB II PEMBAHASAN
A. Defenisi Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya non imunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut alergen. B. Etiologi Faktor yang berperan dalam alergi makanan yaitu : 1. Faktor Internal a. maturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung,enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu. b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitifsasi alergen dini mulai janin sampai masa bayi dan sensitifsasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan setempat. c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan alergen bertambah. 2. Faktor Eksternal a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau beban latihan (lari, olah raga). b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya: ikan 15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll. c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat menimbulkan reaksi alergi.
C. Tanda dan Gejala Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik (parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit,diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera,dapatterjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit. Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi). Reaksi tipe II umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik, trombositopenia, eosinofilia dan granulositopenia. Manifestasi klinik hipersensivitas tipe III dapat berupa: 1. Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lain-lain. gejala sering disertai pruritis 2. Demam 3. Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi 4. Limfadenopati 5. kejang perut, mual 6. neuritis optic 7. glomerulonefritis 8. sindrom lupus eritematosus sistemik 9. gejala vaskulitis lain Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut seperti demam, sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofuratonin, nefritis intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga dapat merupakan manifestasi reaksi obat.
Adapun Gejala klinis umumnya : 1. Pada saluran pernafasan : asma 2. Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut 3. Pada kulit: urtikaria. angioderma, dermatitis, pruritus, gatal, demam, gatal 4. Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir
D. Patofisiologi Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh seseorang yang mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak gejala-gejala timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen akan mengenali alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal yaitu,: 1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel – sel radang misalnya netrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas. 2. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian histamin tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah. Saat mereka mencapai kulit, alergen akan menyebabkan terjadinya gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan pada kulit dan dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian
E. Pathway
ALERGEN
reaksi
Sel T aktif Merangsang sel B
Sitoksin
Mengaktifkan antibodi (Ig E)
Sel-sel radang natrofil dan eosinofil Radang
Pelepasan histamin,protease,prostglandine,dll dlm jumlah yg banyak
Kontraksi & spasme otot polos pd
Merangsang sel-sel parietal mlalui reseptor H2
bronchospasme
Meningkatkan sekresi HCL
Mual/Muntah
Deman
HIPERTERMI
Selekat pada sel Mast
Beredar dlm tubuh melalui pembuluh darah
Kulit: gatal,kemerahan,pruritus,urtika
KETIDAKEFEKTIFAN JALAN NAPAS
KERUSAKAN INTEGRITAS KULIT KEKURANGAN VOLUME CAIRAN
F. Klasifikasi 1. Hipersensitifitas tipe I Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 1530 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan eosinofil. Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi atau desensitization) untuk beberapa alergi tertentu. 2. Hipersensitifitas tipe II Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel. Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah: a. Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal), b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan c. Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).
3. Hipersensitifitas tipe III Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak. Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen kronis akan menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang dapat memicu terjadinya artritis atau glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi disebut juga sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga menginduksi timbulnya kompleks dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit yang diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan A. fumigatus yang menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt) dan spora Penicillium casei pada paru-paru pembuat keju. 4. Hipersensitifitas tipe IV Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat kronis (delayed type hipersensitivity, DTH). Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan waktu awal timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan histologis. Ketiga kategori tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tipe
Waktu Penampakan reaksi klinis
Kontak
Limfosit, diikuti 48-72 Eksim (ekzem makrofag; edema jam a) epidermidis
Histologi
Antigen dan situs Epidermal (senyawa organik, jelatang atau po ison ivy, logam berat , dll.)
Pengerasan Tuberkuli 48-72 (indurasi) n jam lokal
Limfosit, monosit, makrofag
Granulo ma
Antigen persisten atau Makrofag, epitheloid senyawa asing dalam dan sel raksaksa, tubuh fibrosis (tuberkulosis, kusta, etc.)
21-28 Pengerasan hari
Intraderma (tuberkulin, lepromin, dll.)
Mekanisme Berbagai Gangguan Yang Diperantarai Secara Imunologis Tipe 1
2
3
4
Mekanisme Imun Tipe Alergen mengikat silang Anafilaksis antibody IgE ® pelepasan amino vasoaktif dan mediatorlain dari basofil dan sel mast rektumen sel radang lain Antibodi IgG atau IgM berikatan dengan terhadap antigen pada permukaan sel antigen fagositosis sel target atau lisis jaringan sel target oleh komplemen atau tertentu sitotosisitas yang diperantarai oleh sel yang bergantung antibodi Penyakit Kompleks antigen-antibodi Kompleks mengaktifkan ® komplemen Imun menarik perhatian nenutrofil menjadikan pelepasan enzim lisosom, radikal bebas oksigen, dll Hipersensivitas Limfisit T tersensitisasi Selular pelepasan sitokin dan (Lambat) sitotoksisitas yang diperantarai oleh sel T
Gangguan Prototipe Anafilaksis, beberapa bentuk asma bronchial Anemia hemolitik autoimun, eritroblastosis fetalis, penyakit Goodpasture, pemfigus vulgaris Reahsi Arthua, serum sickness, lupus eritematosus sistemik, bentuk tertentu glumerulonefritis akut Tuberkulosis, dermatitis kontak, penolakan transplant
G. Pemeriksaan Penunjang Uji kulit: sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti susu, telur, kacang, ikan). Darah tepi: bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan. IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler. Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya. Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif. Biopsi usus: sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM. IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen ). Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus. Diit coba buta ganda (Double blind food challenge ) untuk diagnosa pasti H. Diagnostik Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah, misalnya : stenosis pilorik, Hirschsprung, defisiensi enzim, galaktosemia, keganasan dengan obstruksi, cystic fibrosis, peptic disease dan sebagainya. Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif, misalnya : bahan pewarna dan pengawet, sodium metabisulfite, monosodium glutamate, nitrit, tartrazine, toksin, fungi (aflatoxin), fish related (scombroid, ciguatera), bakteri (Salmonella, Escherichia coli, Shigella), virus (rotavirus, enterovirus), parasit (Giardia, Akis simplex), logam berat, pestisida, kafein, glycosidal alkaloid solanine, histamin (pada ikan), serotonin (pisang, tomat), triptamin (tomat), tiramin (keju) dan sebagainya. Reaksi psikologi I. Pencegahan Pencegahan pada Alergi terbagi tiga yaitu: 1. Pencegahan primer - Memberikan edukasi kesehatan tentang alergi. - Menentukan resiko alergi dengan mengidentifikasi penyakit alergi pada salah satu anggota keluarga. - Menghindari makanan yang dapat menyebabkan alergi. - Menghindari pajanan asap rokok. 2. Pencegahan sekunder - Mencegah gejala alergi tidak berulang dan menjadi berat dengan menghindari allergen.
-
Rajin kontrol ke dokter atau tenaga kesehatan yang lain. Istirahat yang cukup dan perbanyak minum air putih.
3. Pencegahan tersier - Terapi farmakologis. - Berikan pendampingan kepada salah satu anggota keluarga yang sedang mengalami alergi. J. Terapi Penanganan gangguan alergi berlandaskan pada empat dasar: - Menghindari allergen - Terapi farmakologis a. Adrenergik Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin, isoetarin, isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin, albuterol, metaproterenol, salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol dan fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat menimbulkan bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam, menghambat reaksi fase cepat maupun lambat terhadap alergen inhalen, dan menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam. b. Antihistamin Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada reseptor di berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai antagonis kompetitif mereka lebih efektif dalam mencegah daripada melawan kerja histamine. c. Kromolin Sodium Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini merupakan analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan otot polos. Obat ini tidak mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif unutk pengobatan asma akut. Kromolin paling bermanfaat pada asma alergika atau ekstrinsik. d. Kortikosteroid Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi. Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah pemberian peroral atau intravena yaitu penurunan eosinofil serta limfosit prrimer. Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal langsung yang meliputi pengurangan radang, edema, produksi mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig E mukosa. e. Imunoterapi Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang diperantarai Ig E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat pelepasan histamin dari basofil pada tantangan dengan antigen E ragweed in vitro. Leukosit individu yang diobati memerlukan pemaparan terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam
upaya melepaskan histamin dalam jumlah yang sama seperti yang mereka lepaskan sebelum terapi. Preparat leukosit dari beberapa penderita yang diobati bereaksi seolah-olah mereka telah terdesensitisasisecara sempurna dan tidak melepaskan histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed pada kadar berapapun f. Profilaksis Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti traneksamat, sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.
BAB III ASKEP HIPERSENSITIVITAS 1. Pengkajian A. Data Demografi B. Riwayat Kesehatan Sekarang a) Alasan masuk rumah sakit: b) Keluhan utama c) Kronologis keluhan C. Riwayat Kesehatan Masa Lalu D. Riwayat Kesehatan Keluarga E. Riwayat Psikososial dan Spiritual 2. Analisa Data 1.
2.
Data Subjektif a.
Sesak nafas
b.
Mual, muntah
c.
Meringis, gelisah
d.
Terdapat nyeri pada bagian perut
e.
Gatal – gatal
f.
Batuk
Data objektif a.
Penggunaan O2
b.
Adanya kemerahan pada kulit
c.
Terlihat pucat
d.
Pembengkakan pada bibir
e. Demam ( suhu tubuh diatas 37,5 C) 3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.1 Bersihan jalan napas, ketidakefektifan b.d respon imun hipersensitif, respon alergi; sistemik Batasan karakteristik: tanda-tanda vital, kontrol gejala, status pernapasan NOC Setelah dilakukan tindakan keperawtan selama ...x 24 jam diharapkan jalan napas efektif dengan kriteria: - Tanda-tanda vital dalam batas normal -
Tidak ada sumbatan pada jalan napas
-
Tidak terdapat tanda-tanda sianosis
-
Frekuensi pernapasan pasien normal
NIC -
Identifikasi alergi yang diketahui(misalnya; obat-obatan, makanan, serangga, lingkungan) dan reaksi yang tidak biasa
-
Monitor pasien mengenai paparan berikutnya terhadap agen yang diketahui dapat menyebabkan alergi dengan adanya gejala kemerahan, angioderma, urtikaria, batuk paroksimal, sesak napas, muntah, syok atau sianosis
-
Jaga pasien tetap dibawah pengawasan selama 30 menit setelah pengelolaan bahan yang diketahui dapat memicu alergi
-
siapkan obat-obatan untuk mengurangi atau meminimalkan respon alergi
-
kelola injeksi anti alergi sesuai kebutuhan
-
monitor pernapasan dan status oksigenasi
-
pertahankan oksigen tambahan seperti yang ditentukan
1.2 Hipertermi b.d keparahan infeksi Batasan karakteristik: status neurologi, tanda-tanda vital
NOC Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x 24 jam diharapkan demam berkurang dengan kriteria: - Suhu tubuh dalam batas normal -
Tidak pusing
-
Merasa nyaman
NIC -
Pastikan kepatenan jalan napas
-
Monitor tanda-tanda vital
-
Berikan oksigen sesuai kebutuhan
-
Longgarkan atau lepaskan pakaian pasien
-
Berikan metode pendinginan eksternal(misalnya, kompres dingin pada leher,, abdomen, kulit kepala, ketiak dan selangkangan serta selimut dingin) sesuai kebutuhan
1.3 Kekurangan volume cairan tubuh b.d keparahan mual/muntah,status nutrisi; asupan makanan dan cairan Batasan karakteristik : integritas jaringan; kulit dan membran mukosa NOC Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x 24 jam di harapkan volume cairan tubuh terpenuhi dengan kriteria : - Mual/ muntah hilang atau berkurang -
Intake/output seimbang
NIC -
Manajemen mual
-
Lakukan penilaian lengkap terhadap mual, termasuk frekuensi, durasi, tingkat keparahan, dan faktor-faktor pencetus, dengan menggunakan alat (pengkajian) seperti self-care journal, visual analog scales, rhodes index of Nausea and Vomiting (INV) form 2
-
Pastikan bahwa obat antiemetik yang efektif di berikan untuk mencegah mual bila memungkinkan
-
Identifikasi faktor-faktor yang dapat menyebabkan atau berkontribusi tehadap mual
-
Manajemen muntah
-
Kaji muntah terkait dengan warna, konsistensi, akan adanya darah, waktu, dan sejauh mana kekuatan emesis
-
Ukur atau perkirakan volume muntah
-
Berikan dukungan fisik selama muntah (misalnya membantu untuk membungkuk atau menopang kepala)
-
Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit
-
Dorong istirahat
-
Monitor efek manajemen mual dan muntah secara menyeluruh
1.4 Resiko gangguan intergritas kulit b.d respon alergi, respon imun hipersensitif Batasan karakteristik: integritas jaringan; kulit dan membran mukosa NOC Setelah di lakukan tindakan keperawatan selama...x 24 jam diharapkan jaringan kulit membaik dengan kriteria: - Rasa gatal berkurang atau hilang -
Alergi berkurang atau hilang
-
Tidak terdapat pruritus pada kulit
NIC -
Manajemen pruritus
-
Tentukan penyebab dari terjadinya pruritus (misalnya dermatitis kontak, kelainan sistemik dan obat obatan)
-
Berikan krim anti histamin sesuai dengan kebutuhan
-
Instruksikan pasien untuk meminimalisir keringat dengan menghindari lingkungan yang hangat dan panas
-
Manajemen alergi
-
Instruksikan pasien bagaimana merawat kemerahan, muntah, diare atau masalah masalah pernapasan yang berhubungan dengan paparan dari bahan yang membuat alergi
-
Instruksikan pasien untuk menyebabkan respon alergi
-
Diskusikan metode untuk mengontrol alergen dari lingkungan (misalnya debu, jamur dan serbuk sari)
mencegah
penggunaan
bahan
yang
1.5 Kesiapan manajemen kesehatan diri yang lebih baik Batasan karakteristik: perilaku patuh; pengobatan yang disarankan, partisipasi dalam keputusan perawatan kesehatan NIC -
Konsultasikan dengan pasien dan caregiver terkait persiapan perawataan di rumah
-
Pesan dan konfirmasi pemberian obat-obatan dan kebutuhan yang diperlukan
-
Siapkan informasi tertulis terkait pengobatan, bahan habis pakai, dan alat bantu yang diperlukan untuk digunakan oleh caregiver sesuai kebutuhan
-
Bantu pasien mengidentifikasi keuntungan dan kerugian dari setiap alternatif yang di ambil
-
Fasilitasi pengambilan keputusan kolaboratif
-
Jadilah sebagai penghubung antara pasien dan penyedia pelayanan kesehatan yang lain
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan Hipersensitivitas merupakan suatu reaksi hipersensitivitas biasanya tidak akan terjadi sesudah kontak pertama kali dengan sebuah antigen. Reaksi terjadi pada kotak-ulang sesudah seseorang yang memiliki predisposisi mengalami sensitisasi . Anafilaksis merupakan respon klinis terhadap suatu reaksi imunologi cepat (hipersensitivitas tipe 1). Anafilaksis adalah repon berlebihan system imun yang melibatkan seluruh tubuh. Tipe anfilaksia ada beberapa yaitu : Local, reaksi anafilaksis local biasanya meliputi urtikaria serta angioedema pada tempat kontak dengan antigen dan dapat merupakan reaksi yang berat tetapi jarang fatal. Sistemik, reaksi sistemik terjadi dalam tempo kurang lebih 30 menit sesudah kontak dalam system organ berikut ini : kardiovaskuler, respiratorius, gastrointestinal dan integument .
B.
Saran Hal – hal yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya hipersensitivitas. 1. Menghindari zat yang dicurigai sebagai allergen 2. Melakukan tes alergi dan melihat riwayat keluarga serta riwayat frekuensi serangan terjadi. 3. Menjaga kelembaban ruangan dengan mengatur sirkulasi angin dan udara 4. Menjaga kebersihan pakaian dan mengganti sprei sedikitnya seminggu sekali 5. Konsultasi dengan dokter dan melakukan tes alergi untuk mengetahui allergenallergen yang harus dihindari
DAFTAR PUSTAKA
-
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 3, Jakarta:EGC..
-
Carpenito LD.1995.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik. Jakarta: EGC.
-
Price & Wilson.2003.Patofisiologi konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Vol 2.Edisi P.Jakarta:EGC.
-
Emirzanur Wicaksono http://emirzanurwicaksono.blog.unissula.ac.id/2013/01/10/hipersensitivita s/. Hipersensitivitas. 2013
-
http://id.wikipedia.org/wiki/Hipersensitivitas