BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lahirnya agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW, pada abad ke-7 M, menimbulkan suatu tenaga penggerak yangluar biasa, yang pernah dialami oleh umat manusia. Islam merupakan gerakanraksasa yang telah berjalan sepanjang zaman dalam pertumbuhan danperkembangannya. Masuk danberkembangnya Islam ke Indonesia dipandang dari segi historis dan sosiologissangat kompleks dan terdapat banyak masalah, terutama tentang sejarahperkembangan awal Islam. Ada perbedaan antara pendapat lama dan pendapat baru.Pendapat lama sepakat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad ke-13 M dan pendapat baru menyatakan bahwa Islam masuk pertama kali ke Indonesia pada abad ke-7 M
Namun yang pasti, hampir semuaahli sejarah menyatakan bahwa daerah Indonesia yang mula-mula dimasuki Islamadalah daerah Aceh.Datan gnya Islam ke Indonesia dilakukan secara damai, dapat dilihat melaluijalur perdagangan, dakwah, perkawinan, ajaran tasawuf dan tarekat, serta jalurkesenian dan pendidikan, yang semuanya mendukung proses cepatnya Islam masukdan berkembang di Indonesia.
Kegiatan pendidikan Islam diAceh lahir, tumbuh dan berkembang bersamaan dengan berkembangnya Islam di Aceh. Konversi massal masyarakat kepada Islam pada masa perdagangan disebabkan olehIslam merupakan agama yang siap pakai, asosiasi Islam dengan kejayaan, kejayaanmiliter Islam, mengajarkan tulisan dan hapalan, kepandaian dalam penyembuhandan pengajaran tentang moral
Konversi massal masyarakatkepada Islam pada masa kerajaan Islam di Aceh tidak lepas dari pengaruhpenguasa kerajaan serta peran ulama dan pujangga. Aceh menjadi pusat pengkajianIslam sejak zaman Sultan Malik Az-Zahir berkuasa, dengan adanya sistempendidikan informal berupa halaqoh. Yang pada kelanjutannya menjadi sistempendidikan formal. Dalam konteks inilah, pemakalah akan membahas tentang pusatpengkajian Islam pada masa Kerajaan Islam dengan membatasi wilayah bahasan didaerah Aceh, dengan batasan masalah, pengertian pendidikan Islam, masuk danberkembangnya Islam di Aceh, dan pusat pengkajian Islam pada masa tiga kerajaanbesar Islam di Aceh.
Islam merupakan salah satua gama besar di dunia saatini. Agama ini lahir dan berkembang di Tanah Arab. Pendirinya adalah Nabi Muhammad SAW. Agama ini lahir salah satunyasebagai reaksi atas rendahnya moral manusia pada saat itu. Manusia pada saatitu hidup dalam keadaan moral yang rendah dan kebodohan (jahiliah). Merekasudah tidak lagi mengindahkan ajaran-ajaran nabi-nabi sebelumnya. Hal itumenyebabkan manusia berada pada titik terendah. Penyembahan berhala,pembunuhan, perzinahan, dan tindakan rendah lainnya merajalela. Islam mulai disiarkan sekitartahun 612 di Mekkah. Karena penyebaran agama baru ini mendapat tantangan darilingkungannya, Muhammad kemudian pindah (hijrah) ke Madinah pada tahun 622.Dari sinilah Islam berkembang ke seluruh dunia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Sejarah masuknya islam ke tanah melayu
2. Adab dan tradisi dalam kebudayaan melayu riau berkenaan dengan syariat islam
3. Nilai – Nilai Adab Melayu Riau Dalam Kebudayaan Melayu Riau
4. Sistem kemasyarakatan dalam kebudayaan melayu riau
5. Struktur kemasyarakatan dalam kebudayaan melayu riau
6. Tugas dan fungsi dari struktur kemasyarakatan dalam kebudayaan melayu riau
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah masuknya islam ke tanah melayu
Sejarah masuknya Islam di tanah Melayu (khususnya di Indonesia), selama ini masih banyak yang mengikuti alur teori Snouck Hugronje. Pelajaran sejarah kita di SD, SMP, SMA atau PT menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia abad ke-13 dan dibawa oleh para pedagang Gujarat. Karena telah berlangsung puluhan tahun pengajaran sejarah seperti itu, maka seolah-olah teori sejarah itu menjadi kebenaran. Padahal, teori masuknya Islam ke Indonesia abad ke-13 dan dibawa oleh para pedagang Gujarat, telah dibantah oleh para cendekiawan Muslim yang konsen terhadap sejarah.
Mereka sepakat menyatakan bahwa Islam masuk ke tanah Melayu-Indonesia pertama kali abad ke-7 dan dibawa langsung oleh para ulama (dan wirausahawan) dari jazirah Arab. Termasuk dalam deretan cendekiawan ini di antaranya adalah: Prof Dr Buya Hamka, Prof Dr Naquib al Attas, KH Abdullah bin Nuh, dan Prof Ahmad Mansur Suryanegara. Buya Hamka membantah bahwa Islam masuk ke Indonesia abad ke-13 dengan ditandai berdirinya kerajaan Samudera Pasai (1275). Menurut Hamka, apakah mungkin tiba-tiba berdiri sebuah kerajaan tanpa Islam menyebar terlebih dahulu di daerah itu di masa-masa sebelumnya? Hamka menunjukkan bukti bahwa Islam telah berkembang ke Pulau Sumatera di abad ke-7. Yaitu dengan ditemukannya komunitas Islam di Palembang pada abad itu.
Prof Ahmad Mansur dalam bukunya Api Sejarah dan Menemukan Sejarah, menyatakan bahwa pada masa Khalifah Muawiyah (661-750M), Islam menyebar di tanah Melayu. "Besar kemungkinannya bahwa Islam dibawa oleh para wirausahawan Arab ke Asia Tenggara pada abad pertama dari tarikh Hijriyah atau abad ke-7 M. Hal ini menjadi lebih kuat, menurut TW Arnold dalam The Preaching of Islam – Sejarah Da'wah Islam pada abad ke-2 H perdagangan dengan Sailan atau Srilangka sudah seluruhnya di tangan Bangsa Arab," terang Mansur.
Prof Mansur menambahkan, "JC Van Leur dalam bukunya Indonesian: Trade and Society, menyatakan bahwa pada 674 (M) di pantai Barat Sumatra telah terdapat perkampungan (koloni) Arab Islam. Dengan pertimbangan Bangsa Arab telah mendirikan perkampungan perdagangannya di Kanton pada abad ke-4. Perkampungan perdagangan ini mulai dibicarakan lagi pada 618 dan 626. Tahun-tahun berikutnya perkembangan perdagangan ini mulai mempraktikkan ajaran agama Islam. Hal ini memengaruhi pula perkampungan Arab yang terdapat di sepanjang jalan perdagangan di Asia Tenggara."
Ulama dan Wirausahawan Mansur mengkritik keras adanya upaya sebagian sejarawan yang menyatakan bahwa Islam baru masuk ke Indonesia setelah runtuhnya kerajaan Hindu Majapahit (1478) dan ditandai berdirinya Kerajaan Demak. "Sering didongengkan, keruntuhan Kerajaan Hindoe Madjapahit akibat serangan dari Kerajaan Islam Demak. Padahal realitas sejarahnya yang benar Keradjaan Hindoe Madjapahit runtuh akibat serangan Raja Girindrawardhana dari Kerajaan Hindoe Kediri pada tahun 1478 M," tulis Ahmad Mansur Suryanegara dalam "Api Sejarah".
Para cendekiawan Muslim juga menyatakan bahwa pembawa ajaran Islam ke tanah Nusantara (Melayu) adalah para ulama Islam dan wirausahawan Islam dari jazirah Arab. Menurut Buya Hamka, hal itu ditandai dengan berkembangnya mazhab Imam Syafii yang berkembang di Tanah Air. Sedangkan Gujarat, menurut Prof Mansur, banyak bermazhab Syiah.
Prof Al-Attas menyorot tajam ulah kebanyakan para sarjana Barat terhadap sejarah Islam di tanah Melayu. Menurut Attas, sarjana-sarjana Barat yang melangsungkan penilitian ilmiah terhadap sejarah dan kebudayaan Kepulauan Melayu-Indonesia telah lama menyebarkan faham yang tidak berdasarkan hujah tulen. Meski Van Leur sepakat dengan para cendekiawan Islam tentang awal masuk Islam ke Nusantara abad ke-7, tapi menurut al Attas, Van Leur menyesatkan peranan penting Islam di tanah Melayu. Van Leur mengatakan, Islam tiada membawa perubahan asasi dan tiada pula membawa suatu tamaddun yang lebih luhur daripada apa yang sudah ada. "Bawaan pemikiran sarjana-sarjana Belanda dari dahulu memang sudah mengisyaratkan kecenderungan ke arah mengecilkan Islam dan peranannya dalam sejarah Kepulauan ini. Kecenderungan itu juga tercermin misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hugronje pada akhir abad yang lalu," tulis Prof Attas.
Lantas, apa yang dibawa Islam di tanah Melayu ini? Al Attas menguraikan, para penyebar agama Islam, selain mendakwahkan kepercayaan ketuhanan, juga membawa peradaban tinggi, intelektualisme dan ketinggian budi insan di tanah Melayu. Prof Attas menunjukkan bukti bahwa dari tangan ulama-ulama Islam lahirlah budaya sastra, tulisan, falsafah, budaya buku dan lain-lain, yang tidak dibawa peradaban sebelumnya. Sebaliknya, Islam memang tidak meninggalkan kebudayaan patung (candi) sebagaimana kebudayaan pra Islam. Kembali mengutip al-Attas: "…Melayu sebagai bahasa pengantar, bukan saja digunakan dalam kesusasteraan epik dan roman, akan tetapi –lebih penting– juga dipakai dalam pembicaraan falsafah. Penggunaan Bahasa Melayu sebagai bahasa kesusasteraan dan falsafah Islam di kepulauan Melayu-Indonesia menambah dan meninggikan perbendaharaan katanya dan istilah-istilah khususnya dan merupakan salah satu faktor terutama yang menjunjungnya ke peringkat bahasa sastera yang bersifat rasional, yang akhirnya berdaya serta sanggup menggulingkan kedaulatan bahasa Jawa sebagai bahasa sastera Melayu-Indonesia," tulis Attas.
Prof al Attas, lebih jauh menyorot tentang adanya upaya-upaya ahli sejarah yang selalu mengkait-kaitkan perkembangan Islam di tanah Melayu dengan budaya India (Hindu). Memang diakui al-Attas bahwa budaya India memengaruhi budaya Jawa, di antaranya bukti adanya tulisan Jawa Kuno yang 'modelnya' mirip dengan tulisan India. Karena itu, menurutnya, merupakan keputusan yang mendalam ketika para ulama mengembangkan Bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar-pemersatu tanah Melayu (juga pemersatu di Indonesia). SUARA HIDAYATULLAH MEI 2010*Penulis buku "Imperialisme Baru". Kini, sedang melanjutkan program S3 di Malaysia
B. Adab dan tradisi dalam kebudayaan melayu riau berkenaan dengan syariat islam
Adat yang berlaku dalam masyarakat Melayu di Riau bersumber dari Malaka dan Johor, karena dahulu Malaka, Johor, dan Riau merupakan Kerajaan Melayu dan adatnya berpunca dari istana, Adat Melayu di Riau dapat dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu adat sebenar adat, adat yang diadatkan, dan adat yang teradat.
a. Adat Sebenar Adat
Yang dimaksud dengan "adat sebenar adat" adalah prinsip adat Melayu yang tidak dapat diubah-ubah.
b. Adat yang Diadatkan
"Adat yang diadatkan" adalah adat yang dibuat oleh penguasa pada suatu kurun waktu dan adat itu terus berlaku selama tidak diubah oleh penguasa berikutnya. Adat ini dapat berubah-ubah sesuai dengan situasi dan perkembangan zaman, sehingga dapat disamakan dengan peraturan pelaksanaan dari suatu ketentuan adat
c. Adat yang Teradat
Adat ini merupakan konsensus bersama yang dirasakan baik, sebagai pedoman dalam menentuhan sikap dan tindakan dalam menghadapi setiap peristiwa dan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Konsensus itu dijadikan pegangan bersama, sehingga merupakan kebiasaan turun-temurun. Oleh karena itu, "adat yang teradat" ini pun dapat berubah sesuai dengan nilai-nilai baru yang berkembang.
Adat-Istiadat Dalam Pergaulan Orang Melayu Di Riau
a. Tutur-Kata
Dalam bertutur dan berkata, banyak dijumpai nasihat, karena kata sangat berpengaruh bagi keselarasan pergaulan, "Bahasa menunjukkan bangsa". Pengertian "bangsa" yang dimaksud di sini adalah "orang baik-baik" atau orang berderajat yang juga disebut "orang berbangsa". Orang baik-baik tentu mengeluarkan kata-kata yang baik dan tekanan suaranya akan menimbulkan simpati orang. Orang yang menggunakan kata-kata kasar dan tidak senonoh, dia tentu orang yang "tidak berbangsa" atau derajatnya rendah.
b. Sopan-Santun Berpakaian
Dari pepatah "Biar salah kain asal jangan salah cakap" juga tercermin bahwa salah kain juga merupakan aib. Dalam masyarakat Melayu, kesempurnaan berpakaian menjadi ukuran bagi tinggi rendahnya budaya seseorang. Makin tinggi kebudayaannya, akan semakin sempurna pakaiannya. Selain itu, sopan-santun berpakaian menurut Islam telah menyatu dengan adat.
c. Adab dalam Pergaulan
Kerangka acuan adab dan sopan-santun dalam pergaulan adalah norma Islam yang sudah melembaga menjadi adat. Di dalamnya terdapat berbagai pantangan, larangan, dan hal-hal yang dianggap "sumbang". Pelanggaran dalam hal ini menimbulkan aib besar dan si pelanggar dianggap tidak beradab.
Tradisi
dari berasaskan mitos dan tujuan kepada tradisi sebagai sarana sosialisasi nilai-nilai dan solidaritas. Akulturasi Islam dan budaya Melayu Pelalawan berlangsung melalui proses gradual:
1) Tergesernya mantera dan tawar oleh do'a dalam sistem perobatan Melayu, sehingga menyadarkan orang Melayu Pelalawan untuk berkepercayaan tauhid kepada Allah SWT.
2) Tergesernya posisi pemimpin tradisional (pemangku adat, dukun, bomo, dan pawang) oleh ulama dalam struktur sosial orang Melayu Pelalawan sehingga institusi ulama berada pada posisi dominan.
3) Perubahan konsep dan sistem politik kerajaan Melayu Pelalawan dari kerajaan kepada kesultanan. Perubahan ini menimbulkan konsekuensi:
a) Raja atau sulţān adalah khalifah Allah, bukan penguasa mutlak;
b) Sulţān wajib memelihara institusi kesultanan sebagai institusi politik Islam dan berperan aktif dalam pengembangan wacana dan aktivitas kebudayaan;
c) sulţān tidak berwenang membuat hukum sendiri. Kewenangannya terbatas pada menafsirkan, memahami, menjabarkandan menerapkan Islam (al-Qur'an dan Sunnah Rasul);
d) Dalam membuat ketentuan hukum, menetapkan keputusan, atau menyelesaikan berbagai persoalan, sultan harus meruju' kepada sumber ajaran Islam dan meminta fatwa pada ulama. Keharusan ini menjadikan ulama berperan aktif dan strategis untuk mengakulturasikan Islam dan Kebudayaan Melayu Pelalawan. Perubahan konsep, sistem politik dan sistem hukum tersebut menjadikan Kerajaan Pelalawan sebagai Kerajaan Islam berbentuk Teokrasi Konstitusional, karena nilai-nilai Islam (syari'ah) menjadi dasar dalam berkehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakatnya. Meskipun Pelalawan tidak menyatakan diri sebagai kerajaan Islam, atau menyatakan Islam sebagai agama resmi kerajaan. Temuan penelitian ini memberi berbagai kontribusi baik secara akademik, empiris maupun praktis operasional. Secara akademik, kontribusi penelitian ini adalah:
C. Nilai – Nilai Adab Melayu Riau Dalam Kebudayaan Melayu Riau
Nilai-nilai Islam akan mendominasi dan mengakar kuat dalam sistem budaya suatu masyarakat apabila nilai-nilai Islam berakulturasi ke dalam budaya masyarakat melalui proses yang intensif, gradual, akomodatif, empatif, dan berkelanjutan, bukan frontal dan konfrontatif Dari sisi sosiologi, akulturasi Islam ke dalam suatu masyarakat dapat menjadikan Islam sebagai suatu identitas dan pengikat solidaritas suatu komunitas (spirit de corps), karena itu identitas dan solidaritas suatu komunitas tidak mutlak berdasarkan kesatuan etnis. Ia juga dapat juga terbentuk atas kesatuan aqidah. Kesatuan sosial inilah yang disebut dengan ummat
Dakwah islamiyah yang dilaksanakan dengan pendekatan cultural, akomodatif –empatik, menghasilkan respon yang positif-simpatik, dapat menekan intensitas konflik karena perbedaan sistem dan orientasi nilai, mengembangkan toleransi, saling menghormati, dan menerima kemajemukan keberagaman umat sebagai realitas historis dan manusiawi. Secara empiris, akulturasi Islam ke dalam budaya Melayu Palalawan, telah menjadikan Islam sebagai identitas kemelayuan orang Pelalawan, sehingga identitas kemelayuan tidak selamanya didasarkan pada faktor genetis, tapi juga dapat terbentuk atas dasar aqidah. Dengan demikian, "Melayu" adalah konsep terbuka yang dapat dimasuki siapa saja melalui koridor Islam. Sebaliknya kemelayuan orang Melayu akan hilang apabila tidak berbajukan Islam. Secara praktis operasional, penelitian ini memberi kontribusi bahwa orang-orang Melayu akan mencapai kemajuan apabila pandangan hidup mereka yang dogmatis-mistis ditransformasikan kepada pandangan hidup yang rasional empiris melalui transformasi pemikiran dan pemahaman mereka atas Islam dan nilai-nilai budayanya sendiri, sehingga keberagamaan dan keberbudayaan orang-orang Melayu menjadi lebih rasional.
D. Sistem kemasyarakatan dalam kebudayaan melayu riau
Jika pada mulanya suatu kampung di Riau didiami oleh mereka yang sesuku, maka pada perkembangn kemudian telah banyak penduduk baru yang bukan sesuku merupakan penduduk pendatang yang ikut berdiam di kampung tersebut. Datangnya penduduk baru mungkin disebabkan perkawinan dan ada pula disebabkan adanya mata pencaharian ditempat tersebut. Dengan demikian, masyarakat kampung tadi tidak terikat oleh karena kesatuan suku, tetapi dengan perkembangan baru itu, ikatan tersebut tidak lagi bersifat kesukuan, tetapi terikat karena kesatuan tempat tinggal dan kampung halaman.
Kampung-kampung tersebut dipimpin oleh seorang kepala kampung yang disebut "Penghulu" dan sekarang merupakan pamong desa yang dipilih berdasar peraturan pemerintah.
Disamping penghulu ini terdapat pula pimpinan bidang agama, yaitu "imam". Imam inilah yang mengurus segala persoalan yang menyangkut keagamaan, seperti menjadi imam mesjid, pengajian dan pelajaran agama, nikah/cerai/rujuk, pembagian warisan, pengumpulan zakat dan lainnya. Dengan demikian penghulu dengan didampingi oleh imam merupakan pimpinan kampung.
a. Pimpinan dalam kesatuan hidup setempat
Terdapat bermacam-macam sebutan untuk pimpinan dalam kesatuan hidup setempat. Pada mulanya struktur kesatuan hidup setempat berdasarkan kesukuan, maka pemimpin adalah kepala suku atau kepala hinduk. Gelar kepala suku atau kepala hinduk ini bermacam-macam, sebagai berikut:
1. Datuk = disamping menjadi kepala suku, sekaligus menjadi pimpinan territorial yang agak luas yang mencakup dan membawahi beberapa kepala suku dan hinduk-hinduk.
2. Penghulu, batin, tua-tua, jenang dan monti adalah gelar untuk kepala suku dan hinduk-hinduk.
Perkembangan kemudian menyebabkan pula perobahan batas-batas territorial, kalau pada mulanya territorial mengikuti suku, yaitu dimana suku tersebut menetap, maka lingkungan tempat tinggalnya itu menjadi daerah kekuasaannya. Tetapi keadaan ini kemudian berbalik, yaitu suku yang mengikuti territorial. Teritoir ini kemudian disebut "kampung", "rantau" atau "banjar". Mereka yang tinggal dalam lingkungan teritoir tadi mejadi penduduk kampung dan dengan sendirinya kampung ini mencakup beberapa kesukuan. Untuk kampung, rantau atau banjar ini diangkat seorang kepala kampung yang disebut "penghulu".
b. Hubungan sosial dalam kesatuan hidup setempat
Dikampung-kampung penduduk saling mengenal satu sama lain, karena masyarakat kampung memiliki rasa keterikatan antara satu sama lainnya masih kuat.
Kerukunan merupakan cirri khas dari masyarakat kampung-kampung tersebut. Adanya kerukunan ini bukan disebabkan karena paksaan dari luar berupa sangsi-sangsi hukuman yang keras, tetapi memang timbul dari hati nurani yang dipengaruhi oleh norma-norma yang hidup dimasyarakat itu.
Mulai dari gerak-gerik, sikap dan pembawaan dipengaruhi oleh faktor ini. Menghindarkan hal-hal yang dapat menimbulkan aib dan malu merupakan fakor pendorong untuk terus berbuat dan bersikap baik terhadao sesamanya dan perasaan yang demikian lebih kuat dibandingkan dengan perasaan berdosa. Segala tindakan harus dijaga supaya tidak menimbulkan "sumbang mata", "sumbang telinga", "sumbang adab". Secara keseluruhan haruslah dihindari hal-hal yang menyebabkan orang di cap sebagai seorang yang "tidak tau adat'.
Dengan demikian jelaslah, norma-norma yang bersifat lebih besar pengaruhnya, sehingga jarang dijumpai adanya pertikaian dan sengketa. Dalam
hal ini pengaruh kepemimpinan penghulu dan imam merupakan saham yang besar, sehingga pertikaian-pertikaian yang timbul segera dapat didamaikan.
c. Stratifikasi Sosial
Dasar-dasar stratifikasi sosial
Adapun masyarakat di saerah ini pada dasarnya terdiri dari dua golongan, yaitu golongan asli dan golongan penguasa. Sebelum adanya kerajaan Siak Sri Inderapura, kepala-kepala suku yang menguasai hutan tanah, "territorial" bernaung dibawah kerajaan Johor.
Setelah Raja Kecil yang dapat meduduki takhta Kerajaan Johor, terpaksa meninggalkan Johor dan terkhir membuka kerajaan baru di sungai Siak, maka kerajaannya dinamakan "Kerajaan Siak Sri Inderapura". Dengan keadaan yang baru ini, terjadilah pembagian golongan dalam masyarakat. Jika pada mulanya yang ada hanya kepala suku sebagai puncak dan anggota sukunya sebagai dasarnya, maka dengan adanya Sultan beserta keturunannya, terjadilah tingkatan sosial baru sebagai berikut:
1. Raja/Ratu dan Permaisuri yang merupakan tingkat teratas.
2. Keturunan Raja yang disebut anak Raa-raja, merupakan lapisan kedua,
3. Orang baik-baik yang terdiri dari Datuk Empat Suku dan Kepala-kepala suku lainnya beserta keturunannya merupakan lapisan ketiga,
4. Orang kebanyakan atau rakyat umum, merupakan tingkatan terbawah.
Adanya tingkatan sosial tersebut membawa konsekuensi pula dibidang adat istiadat dan tata cara pergaulan masyarakat. Makin tinggi golongannya semakin banyak hak-haknya. Keistimewaan dalam tata pakaian, tempat duduk dalam upaca-upacara menunjukan adanya perbedaan itu.
Perubahan dalam stratifikasi sosial
Perubahan ketata negaraan membawa perubahan pula dalam stratifikasi sosial ini. Saat ini ketentuan-ketentuan adat ini sudah tidak mengikat lagi dan pada umumnya sudah disesuaikan dengan alam demokrasi sekarang, sehingga perbedaan golongan tingkat ini sudah tidak kelihatan lagi dalam pergaulan. Pada waktu ini lebih diutamakan kepribadian, kedudukan dan keadaan materiel seseorang menurut ukuran sekarang.
Dalam upacara perkawinan misalnya, maka yang mempunyai kemampuan materiel, bisa memakai pakaian dan perlengkapan yang seharusnya dieruntukan bagi seorang Raja atau Sultan. Dalam upacar adat yang diadakan sekrang, yang dianggap tinggi adalah pejabat-pejabat pemerintah sesuai menurut kedudukannya sekarang, tidak lagi Datuk-datuk atau Tengku-tengku. Upacara adat sekarang sudah beralih fungsinya. Adanya pucara adat ini hanya sekedar menunjukkan identitas suuku bangsanya dengan kejayaannya dengan masa lampau.
E. Struktur kemasyarakatan dalam kebudayaan melayu riau
Masyarakat Melayu Riau pada dasarnya terdiri dari dua dua stratifikasi Sosial atau golongan, yaitu golongan masyarakat asli dan golongan penguasa atau bangsawan kesultanan. Meskipun demikian, struktur sosial orang Melayu Riau sebenarnya longgar dan terbuka bagi kebudayaan lain. Sehingga banyak orang Arab dan Bugis yang menjadi bangsawan.
Wan adalah gelar bangsawan bagi orang Arab dan raja adalah gelar kebangsawanan orang Bugis. Mereka juga mendapat kedudukan yang sangat tinggi (Sultan Siak dan Sultan-sultan Kerajaan riau-Lingga). Sedangkan, gelar bangsawan untuk orang Melayu adalah tengku.
Pada awalnya kepala-kepala suku yang menguasai hutan tanah, "territorial" bernaung di bawah kerajaan Johor. Namun setelah Raja Kecil dapat meduduki takhta Kerajaan Johor, terpaksa Keluarga kesultanan meninggalkan Johor dan membuka kerajaan baru di sungai Siak, maka kerajaannya dinamakan "Kerajaan Siak Sri Inderapura". Dalam keadaan yang baru ini, pembagian golongan dalam masyarakat Riau mulai berlaku.
Jika pada mulanya yang ada hanya kepala suku sebagai puncak dan anggota sukunya sebagai dasarnya, maka dengan adanya Sultan beserta keturunannya, terjadilah tingkatan sosial baru sebagai berikut: Raja/Ratu dan Permaisuri yang merupakan tingkat teratas. Keturunan Raja yang disebut anak Raja-raja, merupakan lapisan kedua. Orang baik-baik yang terdiri dari Datuk Empat Suku dan Kepala-kepala suku lainnya beserta keturunannya merupakan lapisan ketiga. Orang kebanyakan atau rakyat umum, merupakan tingkatan terbawah.
Adanya tingkatan sosial tersebut membawa konsekuensi pula dibidang adat istiadat dan tata cara pergaulan masyarakat. Makin tinggi golongannya semakin banyak hak- haknya, seperti; keistimewaan dalam tata pakaian, tempat duduk dalam upaca-upacara pun menunjukan adanya perbedaan itu.
Pada perkembangan kekinian, seiring dengan perubahan ketatanegaraan akhirnya berubah juga stratifikasi sosial ini. Saat ini ketentuan-ketentuan adat ini sudah tidak mengikat lagi dan pada umumnya sudah disesuaikan dengan alam demokrasi sekarang. Sehingga perbedaan golongan tingkat ini sudah tidak kelihatan lagi dalam pergaulan. Pada waktu ini lebih diutamakan kepribadian, kedudukan dan keadaan materiel seseorang menurut ukuran sekarang.
Dalam upacara perkawinan misalnya, bagi mereka yang mempunyai kemampuan materiel, bisa memakai pakaian dan perlengkapan yang seharusnya diperuntukan bagi seorang Raja atau Sultan. Dalam upacar adat yang diadakan sekarang, yang dianggap tinggi adalah pejabat-pejabat pemerintah sesuai menurut kedudukannya sekarang, bukan lagi Datuk-datuk atau Tengku-tengku. Upacara adat sekarang sudah beralih fungsinya. Adanya upacara adat ini hanya sekedar menunjukkan identitas suku bangsanya dengan kejayaannya dengan masa lampau.
Dengan demikian, perkembangan budaya dalam pemahaman nation atau negara Indonesia hari ini, tidak mengenal kasta, strata, jenis tertentu dalam masyarkat. Hal ini menunjukkan sisi egalitarian bangsa Indonesia dalam menyikapi ragam budaya, serta garis sejarah yang panjang di masing-masing daerahnya.
Dengan sifat egalitarian ini, sangat memungkinkan perbedaan yang ada bisa kita duduk sejajar dalam bermasyarakat meski berasal dari asal usul, golongan atau nenek moyang yang berbeda. Dan pentingnya pembelajaran adat dan budaya nenek moyang adalah untuk memahami makna filosofis yang terkandung bukan untuk memperdalam jurang pemisaha kebhinekaan kita.
F. Tugas dan fungsi dari struktur kemasyarakatan dalam kebudayaan melayu riau
Beberapa tugas dan fungsi struktur kemasyarakatan masyarakat melayu di beberapa daerah riau diantaranya adalah sebagai berikut. Kampar Dikabupaten kampar yang kita kenal sekarang, memiliki bentuk struktur kemasyarakatan yang beragam, sehingga mewarnai tugas dan fungsinya. Dikenal dengan istilah kenegrian, bentuk struktur kemasyrakatannya merupakan gabungan dari persukuan. Tetapi sebaliknya ada juga yang dikenal dengan hanya suku saja. Menurut Hendrik anak Abdulrahman (bahan-bahan untuk menyusun kitap khatam kaji doktoral, 2012), sebagai sebuah kumpulan dari persukuan, maka yang duduk dalam kenegerian tersebut adalah ketua-ketua suku. Sebagai contoh dalam masyrakat kecamatan kampar alias kenegerian kampar, dapat diterangkan sebagai berikut: Pucuk tertinggi kenegrian kampar: - Suku Domo ( domo tua ) bergelar datuk temenggung. Tugasnya menggurus keluar dan kedalam persukuan. Bertanggung jawap penuh terhadap kesukuan (pucuk tertinggi) - Suku Pitopang bergelar Dtuk Manjo Bosau. Tugasnya kedalam persukuan (dalam sistem pemerintahan sekarang, sama dengan sekda) Mereka dibantu oleh: - Suku Domo (mudo) bergelar Datuk Bijanso - Suku Melayu (tua) bergelar Datuk Baduku Tua - Suku Melayu (muda) bergelar Datuk Marajo Bosau - Suku Piliang bergelar Datuk Tiawan - Suku Kampai bergelar Datuk Paduko - Suku Bendang bergelar Datuk Somak Dirajo Catatan : struktur adat dalam setiap kenegrian berbeda-beda, sesuai dengan suku yang ada dalam negri tersebut suku: setiap suku memiliki struktur, yakini: - Penghulu : pucuk tertinggi dalam suku - Tungkek : wakil penghulu - Tuo Kampung : yang mengurus sosial masyarakat - Malin kebesaran : yang mengurus masalah agama - Dubalang : keamanan - Siompu : yang mengurus masalah perempuan
Kuantan dan sengingi: Kawasan kuantan dan sengingi yang kini masuk dalam admistrasi pemerintahan kabupaten kuantan sengingi semula merupakan kawasan kerajaan-kerajaan kandis yang bentuk struktur sistem kemasyarakatannya sekaligus berkaitan dengan fungsi maupun tugasnya, diperkirakan menggunakan sistem kerajaan pada abad ke-8. Pada gilirannya sistem ini menurut susunan suku dan koto-koto. Negri ini kemudian dikenal sebagai Negori Puluh Kurang Osu atau negeri terdiri atas 19 koto yang dipimpin oleh 19 Datuk dengan berkedudukan di koto-koto. Menurut Prof Suwardi MS (2010), koto-koto dikuantan dibagi menurut aliran Batang Kuantan (Sungai Indragiri) dan kawasan daratan sebagai beikut: - Empat koto yang berkedudukan di Lubuk Ambacang. Pemimpinya di sebut Datuk Patih; - Limo koto di tongah berkedudukan di kari dengan pemimpin yang disebut Datuk Lelo Budi; - Empat koto dihilir berkedudukan di inuman dipimpin oleh Datuk Temenggung; - Empat koto digunung dipimpin oleh Datuk Bendaro; - Satu koto di Lubuk Ramo, dipimpin oleh Datuk Timbang Tali; - Satu koto di Logas Tanah Darek berkedudukan dilogas Tanah Darat yang dipimpin oleh Datuk Rajo Ruhum, dan - Satu koto di Pangean berkedudukan di Desa Koto Tinggi Pengean yang dipimpin oleh Penghulu nan Barompek. Koto-koto itu kemudian membentuk federasi yang masing-masing dipimpin oleh Urang Godang ( orang besar ). Orang godang ini dipimpin salah seorang diantaranya, disbut Datuk Bisai, berkedudukan di Teluk Kuantan. Lain lagi di Sengingi. Di kawasan ini dua datuk dibedakan atas Raja Adat dari Pagaruyung dan Rajo Ibadat dari semanjung Melayu ( Malaysia sekarang ). Mereka disebut Datuk Nan Beduo, di sebut juga Urang Godang Antau. Mereka bertugas dan berfungsi sebagai pelaksana pemerintahan, mengatur kehidupan masyarakat sebagai pihak terkelola. Pekerjaan mereka untuk urusan adat dibantu oleh tujuh datuk. Jadi, jumlah datuk yang menjalankan tugas maupun fungsi pemerintahan dan adat berjumlah sembilan oarang, sehingga disebut Datuk yang Sembilan. Tujuh datuk berkedudukan dikoto-koto Tanjung Pauh (utara) dan logas (selatan), yaitu: - Datuk Bendaro Kali - Datuk Mangkuto Sinaro - Datuk Sinaro Nan Putiah - Datuk Besar - Datuk Maharajo Garang - Datuk Nyato - Datuk Jalelo –
Siak sri indrapura Kerajaan siak sri indrapura memiliki kawasan lebih luas di banding kerajaan-kerajaan yag pernah ada di kawasan melayu Riau. Secara harfiah dapat bermakna pusat kota raja yang taaat beragama, siak dalam anggapan melayu sangat bertali erat dengan agama islam. orang siak adalah orang-orang yang ahli agama islam. dalam bahasa sansekerta, sri berarti''bercahaya'' dan indera bermakna ''raja''. sedangkan pura berarti ''kota atau kerajaan''. Membandingkan dengan catatan Tome pires (1513-1515) belum mnyebutkan adanya nama siak antara kawasan arcat dan indragiri yang disebutnya sebagai kawasan pelabuhan raja minangkabau serta juga menyebutkan dari tiga raja minangkabau itu hanya satu raja yang telah masuk islam sehingga jika dikaitkan dengan pepatah minangkabau yang terkenal'' adat menurun syara' mendaki dapat bermakna masuknya islam ke dataran tinggi pedalaman minangkabau dari siak sehingga orang-orang yang ahli dalam agama sejak dahulu sampai sekarang masih tetap di sebut dengan orang siak. nama siak dapat merujuk pada sebuah klan dikawasan antara pakistan dan india, sihag atau asiag yang bermakna pedang. masyarakat ini di kaitkan dengan bangsa asli, masyarakat nomanden yang disebut oleh masyarakat romawi dan diidentifikasikan sebagai sakai oleh strabo seorang penulis geografi yunani. berkaitan dengan ini pada sehiliran sungai siak sampai hari ini masih dijumpai masyarakat asing yang dinamakan sebagai orang sakai. kerajaan siak sri indrapura Pernah menguasai daerah-daerah disumatra utara dan kalimanatan barat samapi pertengahan abad ke-19, kerajaan ini meninggalkan pengaruh yang amat besar pada wilayah provinsi riau sekarang seperti kota pekanbaru, kota dumai, kabupaten bengkalis, kabupaten meranti, kabupaten rokan hilir dan kabupaten siak sendiri. Sebagian palalawan dan kampar, pernah berada dalam kawasan kerajaan siak. Tidak diherankan apabila bentuk struktur dengan tugas dan fungsi sistem kemasyarakatan didaerah-daerah tersebut mengacu pada apa yang terjadi secara umum dalam kerajaan siak. awalnya kerajaan ini di dirikan di Buantan oleh raja kecik dari Pagaruyung yang bergelar Sultan Abdul Jalil pada tahun 1723,setelah sebelumnya tersingkir atas tahta kesultanan johor. Disisi lain, harus diakaui sistem kemasyarakatan dikawasan ini tidak terjadi secara otomatis begitu saja saat raja kecik membangun kekuatan baru di buantan setelah tersingkir dari johor awal abad ke-18. Sebab sebelumnya juga, dikawasan tersebut telah hidup suatu kerajaan yang cukup berpengaruh yakini gasip.
Dengan demikian, penataan pemerintahan dan kemasyarakatan yang dilakukan raja kecik pada tahun-tahun awal berkuasa, besar kemungkinan modifikasi dari sistem kemasyarakatan yang telah ada sebelumnya. Dalam melaksanakan pemerintahan, raja kecik membantu penasehat sultan atau disebut orang besar yakini: - Datuk Lima Puuh bergelar Sri Bijuangsa - Datuk Tanah Datar bergelar Sri Pekerma Raja - Datuk pesisir bergelar Maharaja Ketuangsa, dan - Datuk Laksmana Raja Dilaut Pembesar kerajaan lain yang membantu sultan adalah: - Panglima perang - Datuk Himba Raja - Datuk Bentara Kiri - Datuk Bentara Kanan, dan - Datuk Bendahara Untuk berhubungan langsung dengan masyarakat, di setiap daerah, pemerintah dibagi-bagai menjadi kepala suku yang bergelar penghulu, orang kaya, dan batin. Khusus penghulu, tidak memiliki tanah ulayat yang dalam pekerjaan dibantu oleh : - Sangko panghulu atau wakil penghulu - Malin penghulu, pembantu urusan kepercayaan, atau agama - Lelo penghulu, pembantu urusan adat sekaligus berfungsi sebagai hulubalang Adapun batin dibantu oleh: - Tongkat, urusan yang menyangkut kewajiban-kewajiban terhadap sultan - Monti, pembantu batin urusan adat - Antan-antan, pembantu batin yang sewaktu-waktu dapat dapat mewakili tongkat atau monti kalau keduanya berhalangan. Sekurang-kurangnya terdapat sepuluh perbatinan dan empat penghulu telah terwujud saat raja kecik mengembangkan kawasan ini menjadi kerajaan siak. Perbatinan dan kepenghuluan itu adalah sebagai berikut: - Perbatinan Gasip - Perbatinan Senapelan - Perbatinan Sejalen - Perbatinan Perawang - Perbatinan Sakai - Perbatinan Petalang - Perbatinan Tebing Tinggi - Perbatianan Senggoro - Perbatinan Merbau - Perbatinan Rangsang - Penghulu Siak Kecil - Perbatinan Siak Besar sistem nilai kemasyarakatan melayu Riau bersumber pada :
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dari makalah ini adalah sejauh mana pengetahuan seseorang terhadap kebudayaannya sendiri dipengaruhi oleh berberapa hal dan salah satunya adalah dirinya sendiri. Besar atau kecilnya nya rasa cinta dan bangga terhadap kebudayaannya itulah yang nantinya mencerminkan bahwa sejauh mana seseorang mengenali budayanya sendiri. Jika semakin kecil rasa kecintaannya maka jelaslah seseorang tersebut belum terlalu dekat dengan budaya sukunya sendiri, begitu juga sebaliknya.
Mengenali budaya sendiri khususnya melayu merupakan sebuah keharusan baginya yang mengaku melayu. Sedikit banyaknya pengetahuan kita mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan budaya melayu menjadikan kita secara tidak langsung mempelajari budaya itu sendiri. Seperti yang dikatakan para pakar bahwa seseorang yang mengaku melayu jikalau ia: 1. Berbahasa melayu, 2. Beradat-istiadat Melayu dan 3. Beragama Islam. Maka dari itu, ketiga hal inilah menjadi patokan ataupun barometer sejauh mana kita sudah menjadi bagian dari budaya itu sendiri khususnya budaya melayu.
B. SARAN
Penulis merekomendasikan pada semua lapisan masyarakat agar lebih memahami nilai-nilai yang terkandung didalam setiap kebudayaan masing-masing (disini:_budaya melayu riau). Semua orang pasti memiliki cara pandang yang berbeda-beda untuk mendeskripsikan bentuk kebudayaannya. Dan setiap orang memiliki cara masing-masing untuk mempertahankan dan memajukan kebudayaannya sendiri. Sebagai seorang melayu hendaknya lebih mengedepankan kembali apa-apa saja yang berkaitan dengan kebudayaan melayu, termasuk menanamkan diri sendiri rasa bangga dan cinta kepada budaya melayu itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Effendy, T. 1985. Kumpulan Ungkapan. Naskah yang belum diterbitkan, Pekanbaru.
Hoeve, I. B. van. 1984. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
Kerajaan Siak. 1901. Babul Qawa'id. Siak Sri Indrapura: Percetakan Kerajaan Siak Sri Indrapura.
Prins, J. 1954. Adat en Islamietische Plichtenleer In Indonesia. Bandung: W. Van Hoeve s'Gravenhage.
Sujiman, P. H. M. 1983. Adat Raja-raja Melayu. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Tonel, T. 1920. Adat-istiadat Melayu. Naskah tulisan tangan huruf Melayu Arab, Pelalawan.
Yayasan Kanisius. 1973. Ensiklopedi Umum. Yogyakarta: Kanisius