Lokawisata Baturaden (atau Baturaden saja) terletak di sebelah selatan Gunung Slamet memiliki udara sejuk dan cenderung bertambah dingin di malam hari. Selain memiliki panorama alam yang cantik, Baturaden juga memiliki banyak banyak legenda rakyat, salah satunya cerita lutung kasarung yang terkenal.
Baturraden terletak di sebelah utara kota Purwokerto tepat di lereng sebelah selatan Gunung Slamet.. Baturraden karena letaknya di lereng gunung menjadikan kawasan ini memiliki hawa Slamet yang sejuk dan cenderung sangat dingin terutama di malam hari. Baturraden juga merupakan daerah wisata yang banyak dikunjungi oleh wisatawan lokal, terutama pada hari minggu dan hari libur nasional. Kondisi tersebut menyebabkan banyak hotel banyak hotel dan vila didirikan di sini. Baturraden dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan pribadi maupun umum. Jar ak dari kota Purwokerto sekitar 15 km dan dapat ditempuh dalam waktu 15 menit dengan lalu lintas yang tidak terlalu terlal u padat. Apabila ingin menggunakan kendaraan umum wisatawan dapat naik angkutan kota dari terminal di Purwokerto dan turun di terminal lokawisata Baturraden. Jika ingin lebih praktis wisatawan dapat menggunakan taksi. Jika memutuskan untuk menggunakan kendaraan pribadi, sebaiknya hati-hati karena jalan yang menanjak dengan kemiringan sekitar 30 derajat. Baturraden adalah keindahan yang memancar dari lereng Gunung Slamet. Lokasi wisata yang berjarak hanya sekitar 15 km dari kota Purwokerto, Jawa Tengah Tengah ini, tak hanya menyimpan panorama alam yang molek, tetapi juga cerita rakyat tentang Raden Kamandaka, Kamandaka, atau Lutung Kasarung yang cukup akrab di masyarakat Indonesia. Selain akses yang mudah, area wisata ini juga menyediakan hotel dan aneka penginapan yang memadai. Di samping, bagi pecinta alam terbuka disediakan camping ground yang nyaman dan aman. Dan tanpa perlu khawatir akan kesulitan memperoleh makanan, karena di area ini cukup banyak pedagang yang yang menjajakan sate kelinci. Gunung Slamet dengan lereng-lerengnya yang landai, menawarkan panorama alam yang indah, udara yang segar dan diketinggiaan 1000 m
Begalan adalah satu dari sekian banyak tradisi yang diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat di wilayah Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Begalan menjadi bagian dari adat yang dilakukan dalam rangkaian resepsi pernikahan. Pelbagai makna makna dan pesan bagi masyarakat terkadung pada tradisi ini. Begalan berasal dari kata begal dalam dalam bahasa Banyumas yang memiliki arti rampok atau perampok. Begalan berarti perampasan atau perampokan di tengah jalan. Tradisi Begalan biasanya biasanya dilaksanakan dalam rangkaian resepsi pernikahan. Jika yang dinikahkan adalah anak pertama dengan anak pertama, anak terakhir dengan anak terakhir, anak pertama dengan anak terakhir, dan anak pertama yang perempuan. Pagelaran Begalan pada resepsi pernikahan dipercaya dapat membawa kebaikan bagi pasangan pengantin pengantin ketika kelak mereka menjalani kehidupan rumah tangga.
Begalan berasal dari kisah pada Adipati Wirasaba. Saat itu Adipati mempersunting putri dari Adipati Banyumas di hari sabtu pahing. Laiknya seorang laki-laki yang akan mempersunting seorang istri, Adipati Wirasaba bersama rombongannya membawa pernak pernik yang dibutuhkan dalam acara pernikahan. Di tengah perjalanan, rombongan Adipati Wirasaba bertemu dengan garong atau rampok yang di Banyumas disebut begal . Pertarungan pun tidak bisa dielakkan antara rombongan Adipati Wirasaba dengan begal. Pertarungan dimenangkan oleh rombongan Adipati Wirasaba dan rombongannya. Tempat terjadinya pertarungan kemudian diberi nama Sokawera, karena Adipati Wirasaba yang bertarung secara rawe-rawe rantas malang-malang putung. Kemudian rombongan itu beristirahat sebentar di tengah hutan sambil memeriksa barang bawaan, dan ternyata barang yang dibawa itu kurang (long dalam bahasa banyumas). Sehingga tempat tersebut diberi nama Pegalongan. Dan ketika di tengah perjalanan hendak menyeberangi sungai, rombongan itu menemukan mayat dari perampok yang bernama Suradilaga. Tempat ditemukannya mayat dari perampok yang bernama Suradilaga, kemudian diberi nama Cindaga. Lalu perjalanan dilanjutkan sampai di tempat acar a pernikahan, hingga pernikahan pun dapat terlaksana. Cerita singkat ini, merupakan bagian yang melatarbelakangi adanya tradisi begalan pada masyarakat Banyumas. Cerita ini juga terlihat dalam pementasan Begalan, yang diperankan oleh dua orang. Seorang berperan sebagai pembawa barang-barang (peralatan dapur) yang bernama Gunareka, dan seorang lagi bertindak sebagai pembegal/perampok yang bernama Rekaguna. Cerita ini juga dipercaya oleh sebagian masyarakat Banyumas yang masih memegang kuat adat dan tradisi untuk menghindari bepergian jauh pada hari sabtu pahing. Mereka percaya jika orang bepergian jauh pada hari sabtu pahing maka bisa celaka. Dalam pelaksanaan tradisi Begalan, seorang yang memerankan Gunareka akan membawa barang-barang yang dipikul. Barang-barang tersebut adalah peralatan dapur yang masingmasing alat memiliki makna dan pesan untuk pengantin pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Pesan dalam pelaksanaan begalan yang disimbolkan dengan alat-alat dapur
Cething Cheting adalah alat yang digunakan untuk tempat nasi yang terbuat dari bambu. Cething menjadi simbol bahwa manusia hidup di masyarakat sebagai mahluk sosial, melakukan semua hal sendiri tanpa bantuan orang lain dan lingkunganya.
Centhong Centhong adalah alat yang digunakan untuk mengambil nasi. Centhong terbuat dari bahan kayu atau dari bahan tempurung kelapa. Centhong menjadi simbol seorang yang sudah berumahtangga harus mampu mengoreksi diri. Harapannya ketika terjadi perselisihan antara suami istri mereka dapat menyelesaikan dengan baik, mengutamakan musyawarah mufakat sehingga terwujud keluarga yang sejahtera, bahagia lahir dan batin.
I rus
Irus adalah alat untuk mengambil dan mengaduk sayur yang terbuat dari kayu atau tempurung kelapa. Irus menjadi simbol orang yang sudah berumah tangga hendaknya tidak tergiur atau tergoda dengan pria atau wanita lain yang dapat mengakibatkan retaknya hubungan rumah tangga.
Siwur Siwur adalah alat untuk mengambil air yang terbuat dari tempurung kelapa utuh dengan diberi tangkai kayu atau bambu. Siwur menjadi simbol orang yang sudah berumah ta ngga harus dapat mengendalikan hawa nafsu dan jangan suka menabur benih kasih sayang atau perasaan cinta kepada orang lain. Siwur juga sering dimaknai oleh masyarakat banyumas sebagai kependekan kata dari Asihe aja diawur-awur (rasa cintanya jangan ditebar).
Kukusan Kukusan adalah alat untuk menanak nasi yang terbuat dari anyaman bambu berbentuk kerucut seperti gunung. Kukusan menjadi simbol bagi orang yang sudah berumah tangga agar berjuang untuk mencukupi kebutuhan hidup semaksimal mungkin.
Ilir Ilir adalah kipas yang terbuat dari anyaman bambu, biasanya berbentuk segi empat. Ilir menjadi simbol bagi seseorang yang sudah berkeluarga supaya bisa membedakan perbuatan baik dan buruk.
I an Ian adalah alat untuk menaruh nasi pada saat dikipasi dengan ilir. Ian terbuat dari anyaman bambu yang menjadi simbol atau melambangkan bumi dimana tempat kita berpijak. Selain alat-alat di atas, alat-alat yang biasa dibawa dalam begalan juga ada Saringan yang terbuat dari bambu. Saringan adalah simbol bahwa dalam kehidupan berumahtangga harus bisa menyaring isu atau kabar, baik kabar baik maupun kabar buruk dengan sikap. Wangkring juga menjadi alat pelengkap dalam tradisi Begalan. Wangkring atau pikulan terbuat dari bambu sebagai simbol dalam kehidupan berumahtangga harus bisa memikul tanggungjawab bersama sebagai suami dan istri. Menurut Hadi Suwito, salah satu pemeran Begalan di Kabupaten Banyumas , tradisi Begalan pada waktu sekarang telah mengalami modifikasi sesuai dengan perkembangan zaman. Hal itu disesuaikan dengan kondisi masyarakat kini yang sudah mulai kurang percaya terhadap tradisi atau adat orang Jawa, atau yang dikenal dengan “kejawen”. Modifikasi Begalan dilakukan untuk menjaga eksistensi dari tradisi yang sudah mulai pudar di masyarakat. Nilainilai Begalan tetap dipertahankan, walaupun kadang masyarakat sendiri tidak memahami sepenuhnya nilai yang terkandung di dalam sebuah tradisi.