LIMBAH PADAT PADA INDUSTRI BAJA
A. LIMBAH PADAT
Limbah industri baja berupa, limbah yang dihasilkan pabrik baja dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Limbah padat proses produksi : scrap : scrap dan slag 2. Limbah padat hasil pengelolaan air limbah industri : scale, : scale, slurry, dan sludge 3. Limbah padat hasil pengelolaan buangan gas/emisi udara : debu electric arc furnace.
SLAG EAF
SCALE SSP
SCRAP
Gambar 1. Jenis limbah baja yang dapat di daur ulang kembali menjadi baja
DEBU EAF
SLUDGE
SLURRY
Gambar 2. Jenis limbah baja yang tidak dapat di daur ulang kembali menjadi baja
Limbah padat pada industry baja terdapat 3 di letak yang berbeda , yakni :
1. Jenis limbah padat hasil pengelolaan buangan gas/emisi udara : debu electric arc furnace (EAF) dari billet steel plant (BSP) plant (BSP) dan slab dan slab steel plant plant (SSP (SSP I/II). 2. Jenis limbah padat hasil pengelolaan air limbah industri: sludge industri: sludge dari: direct reduction plant (DR plant (DR I, II, III) yang berasal dari water treatment plant (WTP) plant (WTP) dan wire rode mill (WRM), mill (WRM), berasal dari WTP.
3. Jenis limbah padat hasil pengelolaan air limbah industri: slurry dari: cold rolling mill (CRM), berasal dari WTP. b. proses dan diagram alir
Menurut Mulyowahyudi (2005), teknologi pengolahan besi menjadi baja dapat dipisahkan menjadi tiga macam. Masing-masing teknologi mempunyai karakteristik yang berbeda mengenai bahan baku, produk, dan bahan pendukung utama yang lain, sebagai berikut: 1. Direct Reduction (DR) DR adalah proses pembuatan besi dari bahan baku pellet (Fe2O3) menjadi DRI (direct reduced iron) dengan menggunakan bahan pembantu utama proses natural gas. Penggunaan bahan pembantu utama ini yang menjadi alasan utama pemilihan teknologi. Saat ini PT Krakatau Steel menggunakan teknologi HYL III. Bahan baku pellet PT Krakatau Steel seluruhnya diimport karena bijih besi local mengandung kadar Fe yang rendah dan tidak adanya industri pengolahan bijih besi menjadi pellet (pengkayaan dan pembuatan pellet). Perkembangan teknologi direct reduction terbaru sudah mampu mengolah bijih besi secara langsung melalui teknologi FINMET dan menggunakan bahan pembantu utama natural gas (NG) secara lebih hemat. Di masa mendatang, apabila supply sumber daya natural gas dapat berkembang dengan lebih baik, maka teknolog seperti FINMET merupakan pilihan yang direkomendasikan. 2. Blast Furnace Blast Furnace merupakan teknologi tertua dalam pembuatan hot metal dari bahan baku agglomerated ore dan menggunakan cooking coal . Cooking coal disini adalah batu bara dengan kandungan karbon tertentu yang digunakan sebagai bahan baku proses pembuatan hot metal . Dan cooking coal jenis ini yang tidak ada di Indonesia. Jenis teknologi blast furnace disajikan pada Tabel 4. 3. Direct Smelting Teknologi direct smelting merupakan teknologi terbaru dari pengolahan besi baja. Teknologi ini mampu memproduksi DRI langsung dari bijih besi dengan bahan pembantu utama batu bara. Batu bara yang dibutuhkan bukan batu bara dengan kadar/kualitas tertentu, tapi bisa menggunakan batu bara muda yang banyak terdapat di Indonesia. Bijih besi yang dibutuhkan pun tidak perlu yang berkadar tinggi, tapi bisa bijih besi kadar rendah yang juga banyak terdapat di Indonesia. Sampai saat ini teknologi ini masih terus dikembangkan untuk
disempurnakan dan belum banyak digunakan (skala komersial). Jenis teknologi direct smelting selengkapnya disajikan pada Tabel 5. C. DIAGRAM ALIR
D. BAHAN BAKU
Seperti yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, bahwa Sumberdaya baja, menurut Mulyowahyudi (2005), bahan baku industri baja domestik saat ini adalah pellet , disamping scrap. Bijih besi yang ada di Indonesia belum dapat digunakan langsung karena teknologi yang ada di Indonesia saat ini tidak bisa mengakomodasi, karena industri nasional yang mengolah bijih besi menjadi pellet belum ada. Bijih besi yang diproduksi di Indonesia semuanya berasal dari impor, meski terdapat bijih besi di Pulau Kalimantan yang disebut bijih besi laterit. Walaupun jumlahnya masih kecil, ada kekhawatiran, bahwa dimasa mendatang akan dilakukan eksplorasi dan eksploitasi bijih besi lokal secara besar-besaran dan di ekspor semuanya ke luar negeri. Padahal dengan mengolah sendiri ataupun
menggunakan bijih besi untuk industri nasional, nilai tambah yang didapat secara nasional akan jauh lebih besar karena akan membawa multiplier effect terdapat penciptaan kesempatan kerja, kegiatan ekonomi, dan sektor-sektor penunjang lainnya yang berujung pada kontribusi pembangkitan perekonomian nasional.