LAPORAN PRAKTIKUM IMUNOLOGI PERCOBAAN IV “PEMERIKSAAN RHEUMATHOID FACTOR (RF)”
NAMA
:CHIKA PRATIWI
NIM
:A201401004
KELOMPOK :I (SATU) DOSEN
:ROLLY ISWANTO, AMAK.,S.ST
PROGRAM STUDI D-IV ANALIS KESEHATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MANDALA WALUYA KENDARI 2017
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Dewasa ini perkembangan dan kemajuan yang pesat dalam segala macam bidang teknologi, khususnya imunologi serologi dan molekuler, dikembangkan untuk menerangkan dan menegakkan diagnosa berbagai macam penyakit. Salah satunya pemeriksaan Rheumatoid Faktor (RF) untuk mendiagnosa penyakit Rheumatoid arthritis. RF adalah imunoglobulin yang bereaksi dengan molekul IgG. Sebagaimana ditunjukkan namanya, RF terutama dipakai untuk mendiagnosa dan memantau rheumatoid arthritis. Semua penderita dengan Rheumatoid Arthritis (RA) menunjukkan antibodi terhadap IgG yang disebut faktor rheumatoid atau antiglobulin. Rheumatoid arthritis sendiri merupakan suatu penyakit sistemik kronis yang ditandai dengan peradangan ringan jaringan penyambung. Sekitar 8085% penderita RA mempunyai autoantibodi yang dikenal dengan nama Rheumatoid faktor dalam serumnya dan menunjukkan RF positif. Faktor ini merupakan suatu faktor anti-gammaglobulin. Kadar RF yang sangat tinggi menandakan prognosis buruk dengan kelainan sendi yang berat dan kemungkinan komplikasi sistemik.
1.2.Tujuan percobaan Untuk mengetahui uji RF serum pada sampel yang diperiksa dengan menggunakan metode Latex aglutinasi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Arthritis dan Cirinya Arthritis adalah istilah medis ntuk penyakit dan kelainan yang menyebaban pembengkakan atau radang atau kerusakan pada sendi. Arthritis sendiri merupakan keluarga besar inflammatory degenerative disease, di mna bentuknya sangat beragam, lebi dari 100 jenis arthritis. Ciri – ciri umumnya adalah kesulitan melakukan kegiatan sehari – hari (seperti naik tangga dan membuka pintu), kaku – kaku, rasa sakit pada send, rasa pegel linu, embengkakan di sekitar sendi dan rasa nyeri yang muncul setelah beristirahat atau berdiam diri beberapa waktu. Kadng kala pada beberapa jenis arthritis peradangan dapat mempengaruhi organ tubuh selain sendi, seperti otot, dan kulit. 2.2.Jenis – Jenis Arthritis Dari 100 lebih jenis arthritis yang ada, para ahli Arthritis menggolongkan menjadi beberapa golongan besar : a. Osteoarthritis b. Inflammatory arthritis, rheumatoid arthritis, ankylosing spondylitis, juvenile arthritis, polymyalgia rheumatica,n psoriatic rthritis, reactive arthritis, seronegative arthritis. c. Infections arthritis, hyme disease d. Rheumatica disease lain, gout e. Kondisi lain yang menyerupai arthritis : bausitis, campal tunnel syndrome, fibromylgia, tendonitis. Sebagaimna penyakit – penyakit serius lainnya seperti penyakit jantung dan kanker, arthritis juga terbentuk karena gabungan kompleks dari factor keturunan, biologis, dan lingkungan.
a. Faktor Keturunan Bila didalam keluarga ada tyang menderita Arthritis maka resiko menderitua arthritis menjadi lebih besar di banding dengan mereka yang tidak apalagi untuk kasus osteoarthritis dan rheumatoid arthritis. b. Faktor biologis Ini adalah istilah luas yang meliputi: umur, jenis kelamin, hormone, berat tubuh, keaktifan atau kegiatan sehari – hari, dan profil genetik. Beberapa dari faktor ini dapat di rubah, perpaduan dari keseluruhan faktor inilah yang membuat karakterisitik khusus untuk tubuh kita untuk rentan terhadap penyakit – penyakit tertentu, termasuk rentan terhadap arthritis. c. Faktor Lingkungan Istilah ini berbeda arti dengan lingkungan sehari – hari. Di dalam istilah kesehatan, lingkungan ini berarti apapun yang berada atau berasal dari luar tubuh, seperti diet, kecelakaan sendi terdahulu, infeksi yang pernah diderita, jenis pekerjaan yang pernah dilakukan, dan kegiatan di waktu senggang. Kesemuanya adalah faktor yang sangat mempengaruhi berkembangnya arthritis, terutama bila seara keturunan dan biologis kita mempunyai resiko tinggi. Mereka tyang bekerja di antor mengetik, menerima telepon dengan menjepit di sisi kepala sambil menulis, duduk sepanjang hari dengan posisi yang sama, atau hampir tak beranjak dari kursi untuk menjangkau notebook, atau telepon, mempuntyai resiko tyang tinggi untuk meneriuta muscle steun atau tegang otot atau salah urat yang bias terjadi berkali – kali dapat menjadi pencetus timbulnya arthritis. Namun ini adalah factor yang bias kita ubah menjadi lingkungan yang lebih ramah dalam menghinari arthritis. 2.3.Rheumatoid Arthritis Arthritis rheumatoid adalah penyakit sistemik, radang kronis terutama merusa sendi tulang dan kadang – kaddang juga merusak banyak jaringan dan organ – organ lainnya diseluruh tubuh. Lebih spesifik lagi penyakit ini ditandai oleh adanya sinovitis prodiferatif yang nonsupuratif, yang pada saatnya akan mengakibatkan kerusakan tulang rawan sendi dan arthritis kelumpuhan yang
progresif. Bila organ di luar sendi ikut terlibat. Contohnya kulit, jantung, pembuluh darah, otot paru. RA tidak hanya ada kemiripan dengan penyakit – pentyakit ini kadang – kadang di sebut sebagai “penyakit jaringan ikat“ (Robbins dan Kumar, 1995). Penyakit rheumatoid merupakan penyakit jaringan ikat yang paling sering ditemukan dan merupakan pentyebab yang penting dari ketidakmampuan bergerak. Meskipun gambaran utama adalah dekstruksi polliarthritis yang di tandai dengan infiltrasi dalam sinovial oleh limfosit, sel plasma dan makrofag. Penyakit merupakan efek multi system karenanya kemudian “ penyakit “ rheumatoid merupaka nama yang lebih baik dari rheumatoid “ Arthritis “ karena memberi penekanan bahwa penyakit ini melibatkan multi system (Underwood, 1999). AR merupakan suatu penyakit auto imun yang timbul pada individu – individu yang rentan setelah respon imun terhadap agen pencetus yang tidak di ketahui. Faktor pencetus mungkin adalah suatu bakteri, mycoplasma, virus yang menginfeksi sendi atau mirip dengan sendi secara antigen. Biasanya respon antibody awal terhadap mikroorganisme di perantai oleh IgG, walaupun respon ini berhasil menghncurkan mikroorganisme, namun individu yang mengdap AR mulai membentuk antibody lain, biasanya IgG atau IgM, terhadap antibody IgG semula. Antibody yang ditujukan komplemen tubuh ini sendiri ini di sebut Factor Rheumatoid (FR). FR menetap di kapsul sendi dan menimbulkan peradangan kronik dan destruksi jaringan. AR diperkirakan terjadi karena predisposisi genetik terhadap penyakit autoimun, wanita lebih sering terkena daripada pria (Corwin, 2003). Arthritis rheumatoid di sebabkan oleh keradangan berkepanjangan yang diakibatkan oleh proses imunologi yang terjadi pada sendi seperti halnya pada hampir semua penyakit autoimun, pencetus yang memulai reaksi imun tidak di ketahui dalam sebagian besar penderita, infeksi pencetus adalah Faringitis Streptococcus (sakit tenggorokan) (Robins dan Kumar, 1995). Reaksi imun humoral maupun yang di perantai sel, keduanya terlibat pada patogenesis arthritis Rheumatoid. Hampir semua pasien memiliki peninngkatan
kadar Imunoglobulin serum dan sebenarnya semua pasien memiliki suatu antibodi yang di sebut faktor rheumatoid atau RF yang ditujukan pada FC kepada IgG autolog. IgM merupakan keas immunoglobulin utama yang terdapat pada F, IgG dapat di identifikasi dalam serum sekitar 80 % pasien (penderita seropositif). Di samping IgM, aktivitas RRF juga dapat di temukan dalam hubungan dengan immunoglobulin IgG dan immunoglobulin IgA. Walaupun peranan yang tepat faktor rheumatoid IgM dalam sirkulasi untuk patogenesis suatu arthritis belum di definisikan, karena tidak di temukan di dalam sendi, terdapat korelasi antara titernya dalam serum dengan derajat gambaran klinis. Faktor Rheumatoid IgG sebaliknya, di temukan di alam rongga sendi yang sakiut dan diperlkirakan terlibat dalam patogenesis arthritis. Karena bentuk RF ini sendiri merupakan sebagai molekul IgG maka RF dapat berlaku baik sebagai antigen maupun anti bodi. Ini mengakibatkan pengelompokan diri dari molekul RF dan pembentukan kompleks imun yang dapat mengikat komplemen. Ini mengikuti rangkaian kejadian yang sangat umum terjadi pada hipersensitivitas tipe
III dan tipe Arthritis. Fagositosis suatu kompleks oleh
poliomorf yang di tarik, sel pelapis sinovia dan makrofag mengakibatkan pelepasan enzim lisosom temasuk protease dan koagenase yang netral. Enzim – enzim ini merusak pelapisan sinovia dan tentu saja tulang rawan sendi. Beberapa observasi mendukung mekanisme jejas sendi, kompleks IgG anti IgG secara tetap ditemukan pada ruang sinovia. Kompleks imun dapat di temukan dalam membran sinovia dan konsentrasi komplemen dalam cairan sinovia rendah. Faktor genetik mempengaruhi terjadinya rheumatoid arthritis (Robbins dan Kumar, 1995) Pemeriksaan
penunjang
tidak
banyak
berperan
dalam
diagnosis
rheumatoid namun dapat menyokong bila terdapat keraguan atau untuk melihat prognosis pasien, pada pemeriksaan laboratorium terdapat : 1. Test faktor rheumatoid biasanya bositif lebih dari 75 % pasien arthritis rheumatoid terutama bila masih aktif. Sisanya masih dapat dijumpai pada pasien lepra, tuberkulosis paru, sirosis hepatis, hepatitis infektiosa, lues, endocarditis bacterialis, penyakit kolagen, dan sarkadosis. 2. Protein C – reaktif biasanya positif.
3. LED meningkat. 4. Leukosit normal atau meningkat sedikit. 5. Anemia normositik hipokrom akbat adanya inflamasi yang kronik. 6. Trombosit meningkat. 7. Kadar albumin serum menurun dan globulin naik (FKUI, 2000). Diagosa RA dan sekitarna 75 % individu yang mengalami RA juga memiliki nilai RF yang positif. Kelemahan RF antara lain karena nilai RF positif juga terdapat pada kondisi penyakit auto imun lainnya, infeksi kronik dan bahkan terdapat pada 3 – 5 % populasi sehat (terutama individu usia lanjut). Oleh karena itu, adanya penanda spesifik dan sensitif yang timbul pada awal penyakit sangat di butuhkan. Anti – cyclic citrulinated antibodi (anti – CCP antibodi), merupakan penanda baru yang berguna dalam diagnosis RA. Walaupun memiliki keterbatasan, RF tetap banyak di gunakan sebagai penanda RA dan penggunaan RF bersama – sama anti CCP antibodi sangat berguna dalam diagnosis RA. Anti CCP IgG merupakan penanda RA yang baru dan banyak di gunakan dalam kondisi RA antara lain : a. Anti CCP IgG dapat timbul jauh sebelum gejala klinik RA muncul. Dengan adantya pengertian bahwa pengobatan sedini mungkin sangat penting untuk mencegah kerusakan sendi, maka penggunaan anti CCP IgG untuk diagnosa RA sedini mungkin sangat bermanfaat. b. Anti CCP IgG sangat spesifik untuk kondisi RA. Anti bodi ini terdeteksi pada 80 % individu RA dan memiliki spesifitas 98 %. Antibodi ini juga bersifat spesifik karena dapat menggambarkan resiko kerusakan sendi lebih lanjut. c. Anti CCP IgG dapat menggambarkan resiko kerusakan sendi lebih lanjut individu dengan nilai anti CCP IgG positif umumnya di perkirakan akan mengalami kerusakan radiologis yyang lebih buruk bila di bandingkan individu tanpa anti CCP IgG.
BAB III METODOLOGI 3.1.Waktu dan Tempat Praktikum Imunologi “Pemeriksaan Malaria” dilakukan pada hari Kamis, tanggal 21 Juni 2017 pukul 09.00 WITA sampai selesai bertempat di Laboratorium Klinik Terpadu Stikes Mandala Waluya Kendari. 3.2.Prosedur Kerja A. Pra analitik 1. Prinsip : Berdasarkan reaki imunologi antara rheumatoid factor didalam serum yang berhubungan dengan IgG yang dilekatkan pada partikel latex yang pembacaan hasilnya dalam bentuk aglutinasi yang dapat diamati secara langsung 2. Persiapan pasien : Tidak memerlukan persiapan khusus 3. Persiapan sampel : - Tes ini harus diujikan pada serum, jangan menggunakan plasma karena fibrinogen dapat mengakibatkan aglutinasi non spesifik pada partikel latex - Kontaminasi bakterial yang parah juga bisa mengakibatkan aglutinasi positif semu - serum lipemik secara tegas jangan diujikan karena kemngkinan reaksi non spesifiknya - Jika pngujiannya ditunda, maka spesimen harus disimpan dalam tempat dingin (kalau perlu dibekukan). 4. Alat dan bahan : -Pengaduk, tes slide, mikropipet -Reagen RF Latex -RF kontrol positif -RF kontrol negatif -Buffer (20x0 concentrate Tube tes , stopwatch dan pipet serologis
B. Analitik 1. Metode Kualitatif - Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan - Dikeluarkan kit reagen dan serum pada suhu kamar - Dicampur perlahan reagen latex RF, dikosongkan isi dropper kemudian diisi kembali, masukkan 1 tetes didalm glass side. Ditambhakan 1 tetes serum pasien yang telah diencerkan kedalam glass side. Dicampur keduanya dengan menggunakan ujung pipet - Dirotasi selama 3 menit untuk diamati aglutinasi makroskopik dengan pencahayaan tidak langsung - Masing-masing kontrol negatif dan positif dikerjakan sesuai seri dari serum tes - Dibandingkan reaksi dari serum tes terhadap RF positif dan negatif 2. Metode Kualitatif - Serum yang akan dititrasi dincerkan secara berturut (1:2, 1:4, 1:8, 1:16, dst) di dalam buffer glysine saline yang telah di encerkan - Dimasukkan kedalam 5 tabung atau lebih. Di lanjutkan pengenceran sampai hasil akhir dapat diperoleh - Dimasukkan masing-masing 1 tetes kontrol negatif dan positif kedalam slide. - Diulangi langkah 1-5 dari metode 1 , kecuali sampel-sampel baru ini akan digunakan :
Disiapkan 5 tabung reaksi
Diisi masing-masing tabung dengan buffer sebanyak 100 ml yang telah diencerkan 10x
Dimasukkan 100ml serum kedalam tabung
Dicampur kemudian dipindahkan 100 ml ketabung 2. Dikerjakan hal yang sama sampai tabung 4. Sampel darah tabung 4 dibuang 100 ml
Dikerjakan semua tabung seperti cara kualitatif
C. Pasca Analitik 1. Positif : terbentuk aglutinasi dari suspensi partikel latex 2. Negatif : tidak terbentuk aglutinasi dari suspensi partikel latex
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.Hasil Pengamatan
4.2.Pembahasan Dalam membantu menegakan diagnosa dan menentukan prognosa dari penyakit rheumatioid arthritis dapat digunakan rose – wealer atau dengan tes aglutinasi latex. Tes rose wealer atau aglutinasi latex adalah suatu tes aglutinasi pasif (suatu antigen yang larut yang di kaitkan pada partikel – partikel besar atau sel di camur dengan anti bodi terhadap antigen tersebut). Untuk menentukan adanya faktor rheumatoid (RF) didalam serum penderita rheumatoid arthritis. RF adalah suatu auto antibodi (IgG / IgM) yang di tujukan terhadap IgGU (anti IgG) dan terbentuk dalam stadium yang agak lanjut. Peyakit rheumatoid arthritis biasanya stelah menderita lebih dari setengah tahun. Walaupun faktor rheumatoid dapat berupa IgG maupun IgM tetapi di dallam tes rose wealer atau aglutinasi latexs, hingga IgM saja yang di tentukan. Antigen menyebabkan penyakit ini sampai sekarang belum diketahui dengan tepat oleh karena itu sering di sebut dengan antigen x. Namun belakangan ini sering di kemukakan bahwa ada hubungan tyang positif antara rheumatoid arthritis dengan infeksi oleh Epstein Barr Virus (EBV). Antigen x yang masuk ke dalam senai akan di proses oleh sel – sel immunokompeten dari synovia sendi sehingga merangsang pembentukan anti bodi terhadap antigen x tersebut. Antibodi yang di bentuk di dalam sendi ini terutama dari kelas IgG walaupun kelas – kelas antibodi yang lain juga terbentuk. Pada penderitapenderita rheumatoid arthrituis ternyata secara genetik di dapatkan adanya kelainan dari sel – sel limfosit I – supresornya sehingga tidak dapat menekan sel-
sel limfosit T–Helper dengan akibatnya timbulnya rangsangan yang berlebih pada plasma sehingga terbentuk antibodi yang berlebihan pula. Pada dalam jangka waktuyang lama hal ini dapat menimbulkan terjadinya auto antibodi yaitu yang di kenal sebagai faktor rheumatoid (IgG dan IgM – anti IgG). Umumnya faktor rheumatoid baru terbentuk setelah penderitua menderitua penyakit selama 6 bulan tetapi dapat pula terjadi lebih awal atau sesudah waktu yang lama. Sumber kesalahan yang terjadi pada tes aglutinasi late, adalah : 1. Hasil dari tes harus segera dibaca setelah di rotator, sebab dapat terjadi aglutinasi non spesifik bila campuran mengering. 2. Serum yang amat lipemik dapat memberi hasil tyang positif semu. 3. Botol reagensia harus ditutup engan rapat untuk mencegah penguapan dan auto flokulasi. 4. Reagensia harus di simpan dalam 4˚ C dan harus dikocok dengan baik se belum dipakai. 5. Pencampuran di rotator tidak boleh lebih dari 1 menit. Berdasarkan hasil praktikum yang di peroleh yaitu tidak terbentuk aglutinasi pada sampel serum pasien yang berarti bahwa hasilnya negatif tang artinya tidak terdapat faktor RF pada sampel pasien.
BAB V PENUTUP 5.1.Kesimpulan Berdasarkan praktikum yang dilakukan maka dapt disimpulkan bahwa hasil yang dapatkan pada pemeriksaan Rheumathoid Factor dari sampel pasien atas nama Chika Pratiwi yaitu positif, ditandai dengan terbentuknya aglutinasi pada slide sampel. 5.2.Saran Adapun saran yang dapat saya ajukan pada praktikum ini adalah diharapkan kepada instruktur laboratorium agar hadir tepat waktu.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1989. Serologi. Jakarta : Pendidikan Tenaga Kesehatan RI. Brooks, Geo. F, dkk. 2005. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 1. Jakarta : Salemba Medika. Corwin, J. Elizabeth.2000. Patofisiologi. EGC : Jakarta. FKUI. 1982. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 1 Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius. FKUI. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3 Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius. Handojo, indro. 1982. Diktat Kuliah FK Unair Serologi Klinik. Surabaya : Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran UNAIR. Handojo, Indro. 1982. Serologi Klinik. Surabaya : Fakultas Kedokteran. UNAIR. Kee, Joyce Lecever. 1997. Buku Saku Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik Edisi 2. Jakarta : EGC. Kresno, Siti Boerding. Imunologi Penuntun Praktikum Imunologi Serologi, Jakarta : FKUI. Price, A. Sylvia, dkk. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC. Robbins dan Kumar. 1995. Buku Ajar Patologi II Edisi 4. Jakarta : EGC. Sacher, Ronald A. Richard, A.Mc Pherson.2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium Edisi 2. Jakarta : EGC. Underwood, J.C.E.1999. Patofisiologi Umum dan Spesifik Edisi 2. Jakarta : EGC