LAPORAN PENDAHULUAN DI RUANG RAWAT INTENSIVE CARDIAC CARE UNIT SAKIT UMUM DAERAH Prof. MARGONO SOEKARJO
DIsusun Oleh :
M. Andri Priyanto
PROGRAM PROFESI NERS FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO 2016
LAPORAN PENDAHULUAN STEMI ANTERIOR A. Pengertian Coronary Artery Disease (CAD) atau penyakit jantung koroner adalah suatu keadaan akibat terjadinya penyempitan, penyumbatan atau kelainan pembuluh nadi koroner. Penyakit jangtung koroner diakibatkan oleh penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah koroner. Penyempitan dan penyumbatan ini dapat menghentikan aliran darah ke otot jantung yang sering ditandai dengan rasa nyeri. (Yenrina Krisnatul) Coronary Artery Disease (CAD) adalah penyakit arteri koroner yang meliputi berbagai kondisi patilogi yang menghambat aliran darah dalam arteri yang mensuplai jantung, biasanya disebabkan oleh arterosklerosis yang menyebab kan insufisiensi suplay darah ke miokard (Long, 1996). Coronary Artery Disease (CAD) dapat dikarakteristikan sebagai akumulasi dari plaq yang semakin lama semakin membesar, menebal dan mengeras di dalam pembuluh darah artery Gangguan vaskular yang membuat sumbatan dan penyempitan pembuluh darah coronary artery dan menyebabkan
berkurangnya aliran darah dan
supplay oksigen ke otot jantung disebut sebagai CAD. STEMI merupakan oklusi total dari arteri koroner yang menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan miokardium yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG. B. Etiologi Penyakit jantung koroner adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh penyempitan (althelosklerosis) pengerasan (oklusi) pembuluh darah koroner yang menyebabkan terjadinya gangguan aliran darah ke otot jantung. Adapun beberapa faktor yang menyebabkan CAD diantaranya :
1. Aterosklerosis yaitu mengerasnya pembuluh darah serta berkurangnya elastisitas pembuluh darah. Kerusakan dapat terjadi melalui mekanisme :
Lumen arteri yang menyempit dan menyebabkan berkurangnya aliran darah.
Oklusi pembuluh darah spontan karena adanya trombosis
Dinding arteri menjadi lemah, terjadi aneurisma kemudian ruptur dan terjadi perdarahan.
2. Spasme arteri koroner : yaitu suatu keadaan kekejangan pada dinding serat-serat otot. Dimana kontraksi pada serat-serat otot tersebut berubah menjadi cepat dan menyebabkan penyempitan yang tiba-tiba dari arteri koroner. 3. Trombosis : yaitu proses koagulasi dalam pembuluh darah yang berlebihan sehingga membentuk bekuan darah yang menghambat aliran darah dan lebih lanjut bisa menghambat aliran darah / menghentikan aliran darah . jika trombosis menyumbat pada arteri koroner maka bisa terjadi CAD. 4. Emboli : yaitu suatu penyumbatan pada pembuluh darah koroner oleh bekuan darah, lemak, atau udara. Pada umumnya emboli berasal dari thrombus dijantung yang terlepas dan menyumbat arteri koroner. 5. Arthritis : yaitu radang pada arteri yang bisa menyumbat aliran darah pada arterii koroner sehingga bisa menyebabkan CAD. C. Patofisiologi STEMI biasa terjadi ketika aliran darah koroner menurun secara tiba-tiba setelah oklusi trombotik dari arteri koroner yang sebelumnya mengalami atherosclerosis. STEMI terjadi ketika thrombus pada arteri koroner berkembang secara cepat pada tempat terjadinya kerusakan vascular. Kerusakan ini difasilitasi oleh beberapa faktor, seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid. Pada
sebagian besar kasus, STEMI terjadi ketika permukaan plak atherosclerotic mengalami ruptur sehingga komponen plak tersebut terekspos dalam darah dan kondisi yang mendukung trombogenesis (terbentuknya thrombus). Mural thrombus (thrombus yang menempel pada pembuluh darah) terbentuk pada tempat rupturnya plak, dan terjadi oklusi pada arteri koroner. Setelah platelet monolayer terbentuk pada tempat terjadinya ruptur plak, beberapa agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) menyebabkan aktivasi platelet. Setelah stimulasi agonis platelet, thromboxane A2 (vasokonstriktor local yang kuat) dilepas dan terjadi aktivasi platelet lebih lanjut. Selain pembentukan thromboxane A2, aktivasi platelet oleh agonis meningkatkan perubahan konformasi pada reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Ketika reseptor ini dikonversi menjadi bentuk fungsionalnya, reseptor ini akan membentuk protein adhesive seperti fibrinogen. Fibrinogen adalah molekul multivalent yang dapat berikatan dengan dua plateet secara simultan, menghasilkan ikatan silang patelet dan agregasi. Kaskade koagulasi mengalami aktivasi karena paparan faktor jaringan pada sel endotel yang rusak, tepatnya pada area rupturnya plak. Aktivasi faktor VII dan X menyebabkan konversi protrombin menjadi thrombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner seringkali mengalami oklusi karena thrombus yang terdiri dari agregat platelet dan benang-benang fibrin. Pada sebagian kecil kasus, STEMI dapat terjadi karena emboli arteri koroner, abnormalitas congenital, spasme koroner, dan berbagai penyakit sistemik, terutama inflamasi. Besarnya kerusakan myocardial yang disebabkan oklusi koroner tergantung pada: a) daerah yang disuplai oleh pembuluh darah yang mengalami oklusi b) apakah pembuluh darah mengalami oklusi total atau tidak c) durasi oklusi koroner d) kuantitas darah yang disuplai oleh pembuluh darah kolateral pada jaringan yang terkena e) kebutuhan oksigen pada miokardium yang suplai darahnya menurun secara tiba-tiba
f) faktor lain yang dapat melisiskan thrombus secara dini dan spontan g) keadekuatan perfusi miokard pada zona infark ketika aliran pada arteri koroner epikardial yang mengalami oklusi telah dikembalikan. D. Manifestasi klinis 1. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi a.
Usia 30-50 tahun
b.
Jenis kelamin
c.
Suku bangsa, penduduk Amerika kulit hitam lebih tinggi dari pada yang berkulit putih
d.
Riwayat penyakit jantung keluarga
2. Faktor yang dapat dimodifikasi a.
Merokok, lebih dari 20 batang/hari
b.
Hiperkoleterolemia, lebih dari 275 mg/dl
c.
Obesitas, lebih dari 20% dari berat badan ideal
d.
Hipertensi, lebih dari 160/ mmHg
e.
Diabetes Melitus, tes toleransi gula abnormal
f.
Inaktivitas fisik
g.
Stress
h.
Penggunaan kontrasepsi oral
i.
Menopause
j.
Kepribadian seperti kompetitif, agresif, ambisius
k.
Geografi, insidensi lebih tinggi pada daerah industri
E. Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan penunjang diagnostik yang dapat dilakukan adalah :
EKG EKG bermanfaat dalam mengidentifikasi infark miokard, terutama pada keadaan istirahat. Pada infark miokard menunjukan adanya gelombang ST. Penurunan atau datarnya gelombang T menunjukan adanya cedera, adanya gelombang Q menunjukan adanya nekrosis.
Gambaran lain dari adanya kelainan EGC mencakup perubahan gelombang ST – T non spesifik, lambatnya hantaran atrioventrikular dan intraventrikel menandakan adanya aterosklerotik koroner. Kelainan gambaran EKG yang menandakan Infark miokardium transmural ditandai dengan abnormal Q wave, disertai adanya ST-Elevasi
Echocardiogram
Lab CKMB, cTn, Mioglobin, CK, LDH
F. Penatalaksanaan Bila sudah pasti, maka kemungkinan pengobatan adalah sebagai berikut : 1. Pre Hospital Tatalaksana pra-rumah sakit. Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure). Sebagian besar kematian di luar RS pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana pra-RS pada pasien yang dicurigai STEMI :
Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis
Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi
Transportasi pasien ke RS yang memiliki fasilitas ICCU/ICU serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih
Terapi REPERFUSI Tatalaksana di IGD. Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang
dicurigai STEMI mencakup mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di RS dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.
2. Hospital a) Aktivitas Faktor-faktor yang meningkatkan kerja jantung selama masa-masa awal infark dapat meningkatkan ukuran infark. Oleh karena itu, pasien dengan STEMI harus tetap berada pada tempat tidur selama 12 jam pertama. Kemudian, jika tidak terdapat komplikasi, pasien harus didukung untuk untuk melanjutkan postur tegak dengan menggantung kaki mereka ke sisi tempat tidur dan duduk di kursi dalam 24 jam pertama. Latihan ini bermanfaat secara psikologis dan biasanya menurunkan tekanan kapiler paru. Jika tidak terdapat hipotensi dan komplikasi lain, pasien dapat berjalan-jalan di ruangan dengan durasi dan frekuensi yang ditingkatkan secara bertahap pada hari kedua atau ketiga. Pada hari ketiga, pasien harus sudah dapat berjalan 185 m minimal tiga kali sehari. b) Diet Karena adanya risiko emesis dan aspirasi segera setelah STEMI, pasien hanya diberikan air peroral atau tidak diberikan apapun pada 4-12 jam pertama. Asupan nutrisi yang diberikan harus mengandung kolesterol ± 300 mg/hari. Kompleks karbohidrat harus mencapai 50-55% dari kalori total. Diet yang diberikan harus tinggi kalium, magnesium, dan serat tetapi rendah natrium. c) Bowel Bedrest dan efek narkotik yang digunakan untuk menghilangkan nyeri seringkali menyebabkan konstipasi. Laksatif dapat diberikan jika pasien mengalami konstipasi 3. Farmakoterapi a) Nitrogliserin (NTG) Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan
oksigen dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh darah koroner yang terkena infark atau pembuluh darah kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung, dapat diberikan NTG intravena. NTG IV juga dapat diberikan untuk mengendalikan hipertensi dan edema paru. Terapi nitrat harus dihindarkan pada pasien dengan tensi sistolik <90 mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan. b) Morfin Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulangi dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mg IV. c) Aspirin Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada spektrum SKA. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg di UGD. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg. d) Beta-adrenoreceptor blocker Pemberian beta blocker intravena secara akut dapat memperbaiki hubungan supply-demand oksigen, menurunkan nyeri, menurunkan ukuran infark, dan menurunkan insiden ventricular aritmia. e) Terapi reperfusi Terapi reperfusi yaitu menjamin aliran darah koroner kembali menjadi lancar. Reperfusi ada 2 macam yaitu berupa tindakan kateterisasi (PCI)
yang berupa tindakan invasive (semi-bedah) dan terapi dengan obat melalui jalur infuse (agen fibrinolitik). G. Diagnosa keperawatan Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Boedihartono, 1994 : 17). Diagnosa keperawatan yang sering terjadi antara lain: 1. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap oklusi arteri koroner 2. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan pengembangan paru tidak optimal, kelebihan cairan di dalam paru akibat sekunder dari edema paru akut 3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama, konduksi elektri, penurunan preload/peningkatan tahanan vaskuler sistemik, otot infark, kerusakan struktural 4. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah, misalnya vasikonstriksi,hipovolemia, dan pembentukan troboemboli 5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen miokard dengan kebutuhan, adanya iskemia/nekrotik jaringan miokard, efek obat depresan jantung 6. Ansietas berhubungan dengan ketakutan akan kematian 7. Resiko
ketidakpatuhan
terhadap
program
perawatan
diri
berhubungan dengan penolakan terhadap diagnosis miokard infark.
yang
H. RENCANA KEPERAWATAN Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono, 1994 : 20). Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi ,1995 : 40). 1.
Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap oklusi arteri coroner Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam nyeri
berkurang Kriteria hasil:
Nyeri dada hilang/terkontrol
Mendemonstrasikan penggunaan teknik relaksasi
Klien tampak rileks,mudah bergerak Intervensi: 1. Kaji keluhan pasien mengenai nyeri dada, meliputi : lokasi, radiasi, durasi dan faktor yang mempengaruhinya. Rasional: Data tersebut membantu menentukan penyebab dan efek nyeri dada serta merupakan garis dasar untuk membandingkan gejala pasca terapi. 2. Berikan istirahat fisik dengan punggung ditinggikan atau dalam kursi kardiak. Rasional: Untuk mengurangi rasa tidak nyaman serta dispnea dan istirahat fisik juga dapat mengurangi konsumsi oksigen jantung. 3. Kaji ulang riwayat angina sebelumnya, nyeri menyerupai angina Rasional: Untuk membandingkan nyeri yang ada dari pola sebelumnya, sesuai dengan identifikasi komplikasi seperti meluasnya infark, emboli paru, atau pericarditis.
4. Anjurkan pasien untuk melaporkan nyeri dengan segera. Rasional : Untuk memberi intervensi secara tepat sehingga mengurangi kerusakan jaringan otot jantung yang lebih lanjut 5. Berikan lingkungan yang tenang, aktivitas perlahan, dan tindakan nyaman Rasional: Menurunkan rangsang eksternal 6. Bantu melakukan teknik relaksasi (napas dalam/perlahan,perilaku distraksi, visualisasi, bimbingan imajinasi. Rasional: Membantu dalam menurunkan persepsi/respon nyeri 7. Periksa tanda vital sebelum dan sesudah obat narkotik. Rasional: Hipotensi /depresi pernapasan dapat terjadi sebagai akibat pemberian narkotik. Dimana keadaan ini dapat meningkatkan kerusakan miokardia pada adanya kegagalan ventrikel 8. Kolaborasi dengan tim medis pemberian: Antiangina (NTG) Rasional: Untuk mengontrol nyeri dengan efek vasodilatasi koroner, yang meningkatkan aliran darah koroner dan perfusi miokardia. Penyekat β (atenolol) Rasional: Untuk mengontrol nyeri melalui efek hambatan rangsang simpatis, sehingga menurunkan fungsi jantung, TD sistolik dan kebutuhan oksigen miokard. Preparat analgesik (Morfin Sulfat) Rasional: Untuk menurunkan nyeri hebat, memberikan sedasi dan mengurangi kerja miokard. Pemberian oksigen bersamaan dengan analgesik Rasional: Untuk memulihkan otot jantung dan untuk memastikan peredaan maksimum nyeri (inhalasi oksigen menurunkan nyeri yang berkaitan dengan rendahnya tingkat oksigen yang bersirkulasi).
2.
Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama, konduksi elektri, penurunan preload/peningkatan tahanan vaskuler sistemik, otot infark, kerusakan structural Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam curah jantung adekuat Kriteria Hasil:
TD, curah jantung dalam batas normal
Haluaran urine adekuat
Tidak ada disritmia
Penurunan dispnea, angina
Peningkatan toleransi terhadap aktivitas Intervensi :
1. Pantau tanda vital: frekuensi jantung, TD,nadi Rasional: Untuk mengetahui adanya perubahan TD,nadi secara dini sehingga memudahkan dalam melakukan intervensi karena TD dapat meningkatkan rangsangan simpatis, kemudian turun bila curah jantung dipengaruhi. 2. Evaluasi adanya bunyi jantung S3,S4 Rasional: Untuk megetahui adanya komplikasi pada GJK gagal mitral untuk S3, sedangkan S4 karena iskemia miokardia, kekakuan ventrikel, dan hipertensi pulmonal /sistemik 3. Auskultasi bunyi napas Rasional: Untuk mengetahui adanya kongesti paru akibat penurunan fungsi miokard 4. Berikan makanan porsi makan kecil dan mudah dikunyah, batasi asupan kafein,kopi, coklat, cola Rasional: Untuk menghindari kerja miokardia, bradikardi,peningkatan frekuensi jantung.
3.
Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah, misalnya vasikonstriksi, hipovolemia, dan pembentukan tromboemboli Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam perfusi jaringan efektif Kirteria Hasil:
Kulit hangat dan kering
Nadi perifer kuat
Tanda vital dalam batas normal
Kesadran compos mentis
Keseimbangan pemasukan dan pengeluaran
Tidak edema dan nyeri Intervensi:
1. Observasi adanya perubahan tingkat kesadaran secara tiba-tiba Rasional: Untuk mengetahui adanya penurunan curah jantung 2. Observasi adanya pucat, sianosis, kulit dingin/lembab da raba kekuatan nadi perifer Rasional: Vasokontriksi sistemik diakibatkan oleh penurunan curah jantung 3. Observasi adanya tanda Homan, eritema, edema Rasional: Untuk mengetahui adanya trombosis vena dalam 4. Anjurkan klien untuk latihan kaki aktif/pasif Rasional: Menurunkan stasis vena, meningkatkan aliran balik vena dan menurunkan risiko tromboflebitis 5. Pantau pemasukan dan perubahan keluaran urine Rasional: Penurunan/mual terus menerus dapat megakibatkan penurunan volume sirkulasi, yang berdampak negatif pada perfusi dan fungsi organ 6. Pantau laboratorium, kreatinin, elektrolit Rasional: Indikator dari perfusi atau fungsi organ 7. Beri obat sesuai indikasi
Heparin: Untuk menurunkan resiko tromboflebitis atau pembentukan trombus mural
Cimetidine untuk menetralkan asam lambung dan iritasi gaster
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen miokard dengan kebutuhan, adanya iskemia/nekrotik jaringan miokard, efek obat depresan jantung Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
3x24 jam klien
menunjukkan peningkatan aktivitas secara bertahap Kriteria Hasil:
Klien dapat melakukan peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur dengan frekuensi jantung/irama jantung dan TD dalam batas normal
Kulit teraba hangat, merah muda dan kering
Intervensi : 1. Pantau frekuensi jantung, irama, dan perubahan TD sebelum, selama, dan sesudah beraktivitas sesuai indikasi Rasional: Untuk menentukan tingkat aktivitas klien yang tidak memberatkan curah jantung 2. Tingkatkan
istirahat,
batasi
aktivitas
pada
dasar
nyeri/respon
hemodinamik, berikan aktivitas senggang yang tidak berat Rasional: Menurunkan kerja miokard, sehingga menurunkan risiko komplikasi 3. Anjurkan pasien untuk tidak mengejan saat defekasi Rasional: Dengan mengejan dapat mengakibatkan manuver valsava sehingga terjadi bradikardi, menurunnya curah jantung, takikardi dan peningkatan TD 4. Jelaskan pola peningkatan bertahap dari tingkat akyivitas Rasional: Aktivitas yang maju memberikan kontrol jantung, meningkatkan regangan dan mencegah aktivitas berlebihan 5. Observasi gejala yang menunjukkan tidak toleran terhadap aktivitas
Rasional: Palpitasi, nadi tidak teratur, adanya nyeri dada atau dispnea dapat mengindikasikan kebutuhan perubahan program oalahraga atau diet
DAFTAR PUSTAKA Doengoes M. Nursing Care Plans, Guideline For Planning Patient care, third edition. F.A. Davis Company. Philadelphia 1993 Doengoes Merillynn. (1999) (Rencana Asuhan Keperawatan). Nursing care plans. Guidelines for planing and documenting patient care. Alih bahasa : I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati. EGC. Jakarta. Doengoes, M. E., Moorhouse, M. F., & Murr, A. C.. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th edition. The McGraw-Hill Companies, Inc. Guyton, Arthur C, Fisiologi manusia dan mekanisme penyakit, EGC Penerbit buku kedokteran, Jakarta, 1987. Kumar, Abbas, Fausto, Mitchel. 2007. Robbin’s Basic Pathology. Elsevier Inc. McCloskey, Joanne C,. Bulecheck, Gloria M. 1996. Nursing Intervention Classsification (NIC). Mosby, St. Louise. Muttaqin, A. 2009. Buku Ajar Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskular dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika. NANDA, Nursing Diagnosis : Definition and Classification (2015) Price, S. A., & Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC. Prince A Sylvia. (1995). (patofisiologi). Clinical Concept. Alih bahasa : Peter Anugrah EGC. Jakarta.