LAPORAN PENDAHULUAN DEPARTEMEN PEDIATRIK “BRONKOPNEUMONIA” Disusun untuk memenuhi tugas pada Mata Kuliah Clinical Study 2
Oleh: Kenny Maharani
135070201111016
Kelompok 6/Reguler 2/PSIK 2013
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017
BRONKOPNEUMONIA A. DEFINISI Pneumonia adalah suatu radang paru yang disebabkan oleh bermacammacam etiologi, seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing (Ngastiyah, 2000).
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus/bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution). Konsolidasi bercak berpusat disekitar bronkus yang mengalami peradangan multifokal dan biasanya bilateral (Putri, 2010). Bronkopneumonia adalah suatu peradangan pada parenkim paru atau alveoli yang disebabkan oleh virus,bakteri, jamur dan benda asing lainnya yang mengakibatkan tersumbatnya alveolus dan bronkeolus oleh eksudat (Budiyarti, 2007). B. FAKTOR RESIKO Faktor-faktor yang berperan dalam kejadian Bronkopneumonia adalah sebagai berikut: 1.
Faktor host (diri) a.
Usia Kebanyakan infeksi saluran pernafasan yang sering mengenai anak usia dibawah 3 tahun, terutama bayi kurang dari 1 tahum. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa
anak
pada
balita
lebih
rentan
terkena
penyakit
bonkopneumonia dibandingkan orang dewasa dikarenakan kekebalan tubuhnya masih belum sempurna. b.
Status Gizi Interaksi antara infeksi dan Kekurangan Kalori Protein (KKP) telah lama dikenal, kedua keadaan ini sinergistik, saling mempengaruhi, yang satu merupakan predisposisi yang lain. Pada KKP, ketahanan tubuh menurun dan virulensi phatogen lebih kuat sehingga menyebabkan keseimbangan yang tergangu dan akan terjadi infeksi, sedangkan salah satu determinan utama dalam mempertahankan keseimbangan tersebut adalah status gizi.
c.
Riwayat penyakit terdahulu Penyakit terdahulu yang sering muncul dan bertambah parah karena penumpukan sekresi yang berlebih yaitu influenza. Pemasangan selang NGT yang tidak bersih dan tertular berbagai mikrobakteri dapat menyebakan terjadinya bronkopneumonea.
2. Faktor Lingkungan a.
Rumah Rumah merupakan struktur fisik, dimana orang menggunakannya untuk tempat berlindung yang dilengkapi dengan fasilitas dan pelayanan yang diperlukan, perlengkapan yang berguna untuk kesehatan jasmani, rohani, dan keadaanan sosialnya yang baik untuk keluarga dan individu.
b.
Kepadatan hunian (crowded) Kepadatan hunian seperti luar ruang per orang, jumlah anggota keluarga, dan masyarakat diduga merupakan faktor resiko penularan pneumonia.
c.
Status sosioekonomi Kepadatan penduduk dan tingkat sosioekonomi yang rendah mempunyai hubungan yang erat dengan kesehatan masyarakat.
C. ETIOLOGI Menurut Bradley et.al. (2011), penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah: 1. Faktor Infeksi a.
Pada neonatus: Streptokokus group B, Respiratory Sincytial Virus (RSV).
b.
Pada bayi : 1)
Virus: Virus
parainfluensa, virus
influenza,Adenovirus,
RSV, Cytomegalovirus. 2) Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis,Pneumocytis. 3) Bakteri: Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza, Mycobacterium tuberculosa, Bordetellapertusis. c.
Pada anak-anak : 1) Virus : Parainfluensa, Influensa Virus,Adenovirus, RSV 2) Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia 3) Bakteri: Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosis
d.
Pada anak besar – dewasa muda : 1) Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis 2) Bakteri: Pneumokokus, Bordetella pertusis, M. tuberculosis
2. Faktor Non Infeksi. Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi : a.
Bronkopneumonia hidrokarbon : Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung (zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).
b.
Bronkopneumonia lipoid : Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan seperti palatoskizis, pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan.
Selain
faktor
di
atas,
daya
tahan
tubuh
sangat
berpengaruh
untuk
terjadinya bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.
D. EPIDEMIOLOGI Insiden penyakit pneumonia ini pada negara berkembang hampir 30% pada anakanak di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun. Dari data SEAMIC Health Statistic 2001, influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia
adalah
infeksi
saluran
napas
akut
termasuk
bronkopneumonia
dan
influenza (Fadhila, 2013). E. MANIFESTASI KLINIS Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-40 °C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnue, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit, anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif. Pada pemeriksaan fisik didapatkan, inspeksi : perlu diperhatikan adanya tahipnue, dispnue, sianosis sekitar hidung dan mulut, pernapasan cuping hidung, distensi abdomen, retraksi sela iga, batuk semula nonproduktif menjadi produktif, serta nyeri
dada pada waktu menarik napas. Palpasi : suara redup pada sisi yang sakit, hati mungkin membesar, fremitus raba mungkin meningkat pada sisi yang sakit, dan nadi mungkin mengalami peningkatan (tachicardia). Perkusi : suara redup pada sisi yang sakit. Auskultasi, auskultasi sederhana dapat dilakukan dengan cara mendekatkan telinga ke hidung/mulut bayi. Pada anak yang bronkopneumonia akan terdengar stridor. Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya daerah yang terkena. Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya kelainan. Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung halus sampai sedang. Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens) mungkin pada perkusi terdengar suara yang meredup dan suara pernafasan pada auskultasi terdengar mengeras. F.
PATOFISIOLOGI (Terlampir)
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK Menurut Mansjoer Arif (2000), pemeriksaan penunjang dari Bronkopnemonia adalah: 1.
Pemeriksaan
darah
menunjukkan
leukositosis
dengan
predominan
polimorfonuklear atau dapat ditemukan leukopenia yang menandakan prognosis buruk. Dapat ditemukan anemia ringan atau sedang. 2.
Pemeriksaan radiologi memberi gambaran bervariasi: Bercak konsolidasi merata para bronkopneumonia. Bercak konsolidasi satu lobus pada pneumonia lobaris. Gambaran pneumonia difus atau infiltrat interstisialis pada pneumonia stafilokokus.
3.
Pemeriksaan mikrobiologik, spesimen usap tenggorok, sekresi nasofaring, bilasan bronkus atau sputum, darah, aspirasi trakea, pungsi pleura atau aspirasi paru.
H. PENATALAKSANAAN MEDIS 1.
Penatalaksanaan medis Pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi, tetapi karena hal itu perlu waktu dan pasien perlu secepatnya, maka biasanya yang diberikan antara lain: a. Pennicillin 50000 unit/kg/BB/hari ditambah klorqmfenikol 80-90 mg/kg/BB/hari atau diberikan antibiotic yang mempunyai spectrum luas seperti ampicillin, pengobatan ini diteruskan sampai bebas demam 4-5 hari. b. Berikan oksigen dan cairan intravena.
c. Diberikan korelasi, sesuai dengan hasil analisa gas darah arteri. 2.
Penatalaksanaan terapeutik a. Menjaga kelancaran pernafasan. b. Istirahat. c. Nutrisi dan cairan. d. Mengontrol suhu. e. Mencegah komplikasi/gangguan rasa aman dan nyaman.
3.
Penatalaksanaan medis umum. a. Farmakoterapi
Antibiotik (diberikan secara intravena)
Ekspektoran.
Antipiretik.
Analgetik.
b. Terapi O 2 dan nebulisasi aerosol. c. Fisioterapi dada dengan postural. Menurut Mansjoer Arif (2000), penatalaksanaan medis bronkopneumonia adalah: 1.
Oksigen 1-2 liter
2.
IVFD dextrose 10%; NaCl 0,9%=3:1, +KClL 10mEq/500ml cairan.
3.
Jika sesak tidak terlalu hebat, dapat dimulai makanan enteral bertahap melalui selang nasogastrik dengan feading drip.
4.
Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal dan beta agonis untuk memperbaiki transfor mukosilier.
5.
Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit.
6.
Anti biotik sesuai dengan hasil biakan atau berikan: a. Untuk kasus bronkopneumonia community base:
Ampicilin 100mg/kgBB/hari dalam 4 hari pemberian.
Chloramfenikol 75 mg/kgBB/hari dalam 4 kali pemberian.
b. Untuk kasus bronkopneumonia hospital base: Cefotaxim 100mg/kgBB/Hari dalam 2 kali pemberian. Amikasin 10-15mg/kgBB/Hari dalam 2 kali pemberian.
I.
KOMPLIKASI Menurut Whaley & Wong (2006), komplikasi dari bronchopneumonia adalah : 1.
Atelektasis adalah pengembangan paru yang tidak sempurna atau kolaps paru yang merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau reflek batuk hilang
2.
Empyema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalm rongga pleura yang terdapat disatu tempat atau seluruh rongga pleura.
J.
3.
Abses paru adalah pengumpulan pus dala jaringan paru yang meradang
4.
Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial
5.
Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak
PENCEGAHAN 1) Pencegahan Primer (Budiarto, 2003) Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat agar tidak sakit. Secara garis besar, upaya pencegahan ini dapat berupa pencegahan umum dan pencegahan khusus. Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap kejadian
bronkopneumonia.
Upaya
yang
dapat
dilakukan
anatara
lain
(Notoatmodjo, 2007) : a. Memberikan imunisasi BCG satu kali (pada usia 0-11 bulan), Campak satu kali (pada usia 9-11 bulan), DPT (Diphteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali (pada usia 2-11 bulan), Polio sebanyak 4 kali (pada usia 2-11 bulan), dan Hepatitis B sebanyak 3 kali (0-9 bulan).. b. Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberika ASI pada bayi neonatal sampai berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi pada balita. c. Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan dan polusi di luar ruangan. d. Mengurangi kepadatan hunian rumah. 2)
Pencegahan Sekunder (Budiarto, 2003) Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah orang telah sakit agar sembuh, menghambat progesifitas penyakit, menghindari komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan sekunder meliputi diagnosis dini dan pengobatan yang tepat sehingga dapat mencegah meluasnya
penyakit dan terjadinya komplikasi. Upaya yang dilakukan antara lain (WHO, 2002) : a. Bronkopneumonia berat : rawat di rumah sakit, berikan oksigen, beri antibiotik benzilpenisilin, obati demam, obati mengi, beri perawatan suportif, nilai setiap hari. b. Bronkopneumonia : berikan kotrimoksasol, obati demam, obati mengi. c. Bukan Bronkopneumonia : perawatan di rumah, obati demam. 3)
Pencegahan Tersier (Budiarto, 2003) Pencegahan
ini
dimaksudkan
untuk
mengurangi
ketidakmampuan
dan
mengadakan rehabilitasi. Upaya yang dapat dilakukan anatara lain (WHO, 2002) : a. Memberi makan anak selama sakit, tingkatkan pemberian makan setelah sakit. b. Bersihkan hidung jika terdapat sumbatan pada hidung yang menganggu proses pemberian makan. c. Berikan anak cairan tambahan untuk minum. d. Tingkatkan pemberian ASI. e. Legakan tenggorok dan sembuhkan batuk dengan obat yang aman. f. Ibu sebaiknya memperhatikan tanda-tanda seperti: bernapas menjadi sulit, pernapasan menjadi cepat, anak tidak dapat minum, kondisi anak memburuk, jika terdapat tanda-tanda seperti itu segera membawa anak ke petugas kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA Bradley J.S., Byington C.L., et. al. 2011. The Management of Community-Acquired Pneumonia in Infants and Children Older than 3 Months of Age : Clinical Practice Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 53 (7): 617-630 Budiarto, Eko, Anggraeni, Dewi. 2003. Pengantar Epidemiologi. Jakarta : EGC. Budiyarti, Riaastafi. 2007. Asuhan Keperawatan pada An.S dengan Bronchopneumonia Diruang Eldewais RUSD Pandan Arang Boyolali. Tugas Akhir thesis. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Dewi, Ratna Isma. 2007. Asuhan keperawatan pada An.F dengan Gangguan Sistem Pernafasan :Bronkopneumunia Di Bangsal Edelweis RSUD Pandan Arang Boyolali. Thesis. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Fadhila, A. 2013. penegakan Diagnosis dan Penatalaksanaan Bronkopneumonia pada Pasien Bayi Laki-Laki Berusia 6 Bulan. Universitas Lampung : Medula. Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, ed. 3. Jakarta : FKUI. Ngastiyah. 2000. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC. Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Putri, Enda Silvia. 2010. Karakteristik Balita Penderita Bronkopneumonia Rawat Inap Di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2005-2009. Tugas Akhir. Universitas Sumatera Utara : Medan. Whaley & Wong. 2006. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik, ed. 2. Jakarta : EGC. WHO. 2002. Penanganan ISPA pada Anak Di Rumah Sakit Kecil Negara Berkembang. Jakarta : EG