BAB I PENDAHULUAN
1.1 Maksud
Mendeskripsikan batuan metamorf secara megaskopis baik berupa warna, struktur maupun tekstur.
Menginterpretasikan
komposisi
keterdapatan
mineral
pada
batuan
metamorf.
Menginterpretasikan agen metamorfisme, protolith, fasies metamorfisme dan tipe metamorfisme.
Menginterpretasikan proses pembentukan batuan metamorf.
Menentukan penamaan batuan metamorf berdasarkan klasifikasi W. T. Huang (1962).
1.2 Tujuan
Mampu mendeskripsikan batuan metamorf secara megaskopis baik berupa warna, struktur maupun tekstur.
Mampu menginterpretasikan komposisi keterdapatan mineral pada batuan metamorf.
Mampu
menginterpretasikan
agen
metamorfisme,
protolith,
fasies
metamorfisme dan tipe metamorfisme.
Mampu menginterpretasikan proses pembentukan batuan metamorf.
Mampu menentukan penamaan batuan metamorf berdasarkan klasifikasi W. T. Huang (1962).
1.3 Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Pada acara praktikum pertama dilaksanakan pada : hari
: Selasa
tanggal
: 03 Juni 2014
waktu
: 16.00 – 17.30 17.30 WIB
1
tempat
: Ruang Seminar, Gedung Pertamina Sukowati Teknik Geologi, Universitas Diponegoro, Semarang
Pada acara praktikum kedua dilaksanakan pada : hari
: Jum’at
tanggal
: 06 Juni 2014
waktu
: 15.00 – 16.00 16.00 WIB
tempat
: Ruang Seminar, Gedung Pertamina Sukowati Teknik Geologi, Universitas Diponegoro, Semarang
2
tempat
: Ruang Seminar, Gedung Pertamina Sukowati Teknik Geologi, Universitas Diponegoro, Semarang
Pada acara praktikum kedua dilaksanakan pada : hari
: Jum’at
tanggal
: 06 Juni 2014
waktu
: 15.00 – 16.00 16.00 WIB
tempat
: Ruang Seminar, Gedung Pertamina Sukowati Teknik Geologi, Universitas Diponegoro, Semarang
2
BAB II DASAR TEORI
2.1 Pengertian Batuan Metamorf
Batuan
metamorf
adalah
batuan
yang
terbentuk
dari
proses
rekristalisasi di dalam kerak bumi yang secara keseluruhan atau sebagian besar terjadi dalam keadaan yang padat, yakni tanpa melalui fase cair, sehingga
terbentuk
struktur
dan
mineralogi
baru akibat
pengaruh pengaruh
temperatur (T) (200-650 oC) dan tekanan (P) yang tinggi.
2.2 Struktur Batuan Metamorf
Adalah kenampakan batuan yang berdasarkan ukuran, bentuk atau orientasi unit poligranular batuan tersebut. tersebut. . a. Struktur Foliasi Merupakan kenampakan struktur planar pada suatu massa. Foliasi ini dapat terjadi karena adnya penjajaran mineral-mineral menjadi lapisan-lapisan
(gneissoty), orientasi butiran ( schistosity), schistosity), permukaan
belahan planar (cleavage) cleavage) atau kombinasi dari ketiga hal tersebut. Struktur foliasi antara lain: 1. Slaty Cleavage Umumnya
ditemukan
pada
batuan
metamorf
berbutir
sangat halus (mikrokristalin) yang dicirikan oleh adanya adan ya bidang bidang
belah
planar
yang
sangat
rapat,
teratur
dan sejajar.
Batuannya disebut slate (batusabak).
Gambar 2.1 Struktur Slaty Cleavage
3
2. Phyllitic Stuktur ini hampir sama dengan struktur slaty cleavage tetapi terlihat rekristalisasi yang lebih besar dan mulai terlihat pemisahan mineral pipih dengan dengan mineral granular. granular. Batuannya Batuannya disebut phyllite (filit).
Gambar 2.2 Struktur Phyllitic
3. Schistosic Terbentuk
adanya
susunan
parallel
mineral-mineral
pipih,
prismatic atau lentikular (umumnya mika atau klorit) yang berukuran butir sedang sampai kasar. Batuannya disebut disebut schistosic (sekis).
Gambar 2.3 Struktur Schistosic
4. Gneissic/Gnissose Terbentuk
oleh adanya perselingan.,
lapisan
penjajaran
mineral yang mempunyai bentuk berbeda, umumnya antara mineralmineral granuler (feldspar dan kuarsa) dengan mineral-mineral tabular atau prismatic (mineral ferromagnesium). Penjajaran mineral ini umumnya tidak menerus melainkan terputus-putus. Batuannya disebut gneiss.
4
Gambar 2.4 Struktur Gneissic
b. Struktur Non Foliasi Terbentuk oleh mineral-mineral equidimensional dan umumnya terdiri dari butiran- butiran (granular). Struktur nonfoliasi yang umum dijumpai antara lain : 1. Hornfelsic/granulose Terbentuk oleh mozaik mineral-mineral equidimensional dan equigranular dan umumnya berbentuk polygonal. Batuannya disebut hornfels (batutanduk).
Gambar 2.5 Struktur Granulose
2. Kataklastik Berbentuk oleh pecahan/ fragmen batuan atau mineral berukuran kasar dan umumnya membentuk kenampakan breksiasi. Struktur kataklastik ini terjadi akibat metamorfosa kataklastik. Batuannya disebut cataclasite (kataklasit). 3. Milonitic Dihasilkan
oleh
metamorfosa kataklastik.
adanya Cirri
penggerusan struktur
ini
mekanik adalah
pada
mineralnya
5
berbutir halus, menunjukkan kenampakan goresan-goresan searah dan belum terjadi rekristalisasi
mineral-mineral
primer.
Batiannya
disebut mylonite (milonit).
Gambar 2.6 Struktur Milonitic
4. Phylonitic Mempunyai kenampakan yang sama dengan struktur milonitik tetapi umumnya telah terjadi rekristalisasi. Ciri lainnya adalah kenampakan kilap sutera pada batuan yang mempunyai struktur ini. Batuannya disebut phyllonite (filonit).
2.3 Tekstur Batuan Metamorf
a. Tekstur Berdasarkan Ketahanan Terhadap Proses Metamorfosa Berdasarkan ketahanan terhadap proses metamorfosa ini tekstur batuan metamorf dapat dibedakan menjadi : 1. Relict / Palimset /Sisa Merupakan tekstur batuan metamorf yang masih menunjukkan sisa tekstur batuan asalnya atau tekstur batuan asalnya nasih tampak pada batuan metamorf tersebut. 2. Kristaloblastik Merupakan tekstur batuan metamorf yang terbentuk oleh sebab proses metamorfosa itu sendiri. Batuan dengan tekstur ini sudah mengalami
rekristalisasi
sehingga
tekstur
asalnya
tidak
tampak.
6
b. Tekstur Berdasarkan Ukuran Butir 1. Fanerit bila butiran kristal masih dapat dilihat dengan mata. 2. Afanitit bila ukuran butir kristal tidak dapat dilihat dengan mata.
c. Tekstur berdasarkan bentuk individu kristal 1. Euhedral, bila kristal dibatasi oleh bidang permukaan bidang kristal itu sendiri. 2. Subhedral, bila kristal dibatasi oleh sebagian bidang permukaannya sendiri dan sebagian oleh bidang permukaan kristal di sekitarnya. 3. Anhedral, bila kristal dibatasi seluruhnya oleh bidang permukaan kristal lain di sekitarnya. Berdasarkan
bentuk
kristal
tersebut
maka tekstur batuan
metamorf dapat dibedakan menjadi : 1. Idioblastik , apabila mineralnya dibatasi oleh kristal berbentuk euhedral. 2. Xenoblastik / Hypidioblastik , apabila mineralnya dibatasi oleh kristal berbentuk anhedral.
d. Tekstur Berdasarkan Bentuk Mineral 1. Lepidoblastik , apabila mineralnya penyusunnya berbentuk tabular. 2. Nematoblastik , apabila mineral penyusunnya berbentuk prismatic. 3. Granoblastik , apabila mineral penyusunnya berbentuk granular, equidimensional, batas mineralnya bersifat sutured (tidak teratur) dan umumnya kristalnya berbentuk anhedral. 4. Granoblastik , apabila mineral penyusunnya berbentuk granular, equidimensional, batas mineralnya bersifat unsutured (lebih teratur) dan umumnya kristalnya berbentuk anhedral.
2.4 Tipe Metamorfisme
a. Metamorfosa regional / dinamothermal Metamorfosa regional atau dinamothermal merupakan metamorfosa yang terjadi pada daerah yang sangat luas. Metamorfosa ini terjadi pada
7
daerah yang sangat luas. Metamorfosa ini dibedakan menjadi tiga yaitu : metamorfosa orogenik, burial, dan dasar samudera (ocean-floor). 1. Metamorfosa Orogenik Metamorfosa
ini
terjadi
pada
daerah
sabuk
orogenik
dimana terjadi proses deformasi yang menyebabkan rekristalisasi. 2. Metamorfosa Burial Metamorfosa ini terjadi oleh akibat kenaikan tekanan dan temperatur
pada daerah geosinklin yang mengalami sedimentasi
intensif, kemudian terlipat. Proses yang terjadi adalah rekristalisai dan reaksi antara mineral dengan fluida. 3. Metamorfosa Dasar dan Samudera Metamorfosa ini terjadi akibat adanya perubahan pada kerak samudera di sekitar punggungan tengah samudera
(mid oceanic
ridges). Adanya pemanasan air laut menyebabkan mudah terjadinya reaksi kimia antara batuan dan air laut tersebut.
b. Metamorfosa Lokal Merupakan metamorfosa yang terjadi pada daerah yang sempit berkisar antara beberapa meter sampai kilometer saja. Metamorfosa ini dapat dibedakan menjadi : 1. Metamorfosa Kontak Terjadi pada batuan yang menalami pemanasan di sekitar kontak massa batuan beku intrusif maupun ekstrusif. Perubahan terjadi karena pengaruh panas dan material yang dilepaskan oleh magma serta oleh deformasi akibat gerakan massa. 2. Pirometamorfosa/ Metamorfosa optalic/ Kaustik/ Thermal. Adalah jenis khusus metamorfosa kontak yang menunjukkan efek hasil temperatur yang tinggi pada kontak batuan dengan magma pada kondisi volkanik atau quasi volkanik. Contoh pada xenolith atau pada zone dike. 3. Metamorfosa Kataklastik/ Dislokasi/ Kinematik/ Dinamik
8
Terjadi pada daerah yang mengalami deformasi intensif, seperti pada patahan. Proses yang terjadi murni karena gaya mekanis yang mengakibatkan penggerusan dan granulasi batuan. 4. Metamorfosa Hidrotermal/ Metasotisme Terjadi akibat adanya perkolasi fluida atau gas yang panas pada jaringan
antar
butir
atau
pada
retakan-retakan
batuan
sehingga
menyebabkan perubahan komposisi mineral dan kimia. 5. Metamorfosa Impact Terjadi akibat adanya tabrakan hypervelocity sebuah meteorit. Kisaran
waktunya
hanya
beberapa
mikrodetik
dan
umumnya
ditandai dengan terbentuknya mineral coesite dan stishovite. 6. Metamorfosa Retrogade/ Diaropteris Terjadi akibat adanya penurunan temperatur sehingga kumpulan mineral
metamorfosa
tingkat
tinggi
berubah
menjadi
kumpulan
mineral stabil pada temperatur yang lebih rendah.
Tabel 2.1 Hubungan Antara Tipe Metamorfisme dengan Agen yang Mempengaruhinya
Tipe Metamorfisme
Agen
Deskripsi
Kontak
Panas
Aureole sekitar intrusi batuan Beku
Burial (terpendam)
Panas, tekanan beban
Pada dasar batuan sedimen yang tebal
Dinamik
Tekanan langsung
Zona Patahan
Regional
Panas,tekanan beban,tekanan langsung dan fluida kimia aktif
Daerah yang luas, daerah pembentukan pegunungan
Retrogresif
Tekanan langsung dan fluida kimia aktif
Zona gerusan ( shear )
Tumbukan
Tekanan dan panas langsung
Kawah meteorit
2.5 Fasies Metamorfisme
Fasies metamorfisme adalah sekelompok batuan yang termetamorfosa pada kondisi yang sama yang dicirikan oleh kumpulan mineral yang tetap.
9
Gambar 2.7 Diagram Fasies Metamorf
Menurut Turner (1960), fasies metamorfisme secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian yakni fasies metamorfosa kontak dan fasies metamorfosa regional. 1. Fasies Metamorfosa Kontak a) Fasies Hornfels Albit-Epidot Pencirinya adalah adanya struktur relict atau sisa yang tidak stabil. Fasies ini terbentuk pada tekanan dan suhu yang relatif rendah. Penamaan fasies ini didasarkan pada dua kandungan mineral utamanya yakni albit (plagioklas) dan epidot (garnet). b) Fasies Hornfels Hornblende Fasies ini mempunyai ciri khusus yaitu tidak ditemukan klorit dan muncul untuk pertama kalinya mineral diopsid,
andradite, kordierit,
hornblende, antofilit, gedrit, dan cumingtonit. Fasies ini terbentuk pada tekanan yang rendah, tetapi dengan suhu yang sedikit lebih tinggi daripada fasies hornfels albit-epidot. c) Fasies Hornfels Piroksen Fasies ini oleh Winkler (1967) disebut fasies Hornfels K.Feldspar
–
Kordierit, karena kedua mineral tersebut muncul pertama kalinya di fasies ini. Fasies ini terbentuk pada suhu yang tinggi dan tekanan yang rendah. Mineral pencirinya adalah orthopiroksen. d) Fasies Sanadinit
10
Fasies sanadinit adalah salah satu fasies langka karena kondisi pembentukannya memerlukan suhu yang sangat tinggi, tetapi tekanannya rendah. Oleh karenanya, kondisi ini hanya bisa dicapai di sekitar daerah metamorfosa kontak tetapi dengan syarat suhu tertentu. Karena jika suhu terlalu tinggi, maka batuan bisa melebur.
2. Fasies Metamorfosa Regional a) Fasies Zeolit Fasies Zeolit adalah fasies metamorf tipe regional dengan derajat terendah, dimana jika suhu dan tekanan berkurang maka akan terjadi proses diagenesa. Pada batas diagenesa dan metamorfisme regional, akan terjadi pengaturan kembali mineral lempung, kristalisasi pada kuarsa dan K-feldspar, terombaknya mineral temperatur tinggi dan pengendapan karbonat. b) Fasies Prehnite- Pumpellyite Fasies ini terbentuk dengan kondisi suhu dan tekanan rendah, tetapi sedikit lebih tinggi daripada fasies Zeolit. Penamaan fasies ini berasal dari kandungan dua mineral dominan yang muncul yakni mineral prehnite (a Ca Al - phyllosilicate) dan pumpellyite (a sorosilicate). c) Fasies Greenschist (Sekis Hijau) Terbentuk pada tekanan dan temperatur yang menengah, tetapi temperatur lebih besar daripada tekanan. Nama fasies ini sendiri diambil dari warna mineral dominan penyusunnya yakni ada klorit dan epidot. Batuan yang termasuk dalam fasies ini bisa batusabak, filit, dan sekis. d) Fasies Blueschist (Sekis Biru) Terbentuk pada tekanan dan temperatur yang menengah, tetapi temperatur lebih kecil daripada tekanan. Nama fasies ini sendiri diambil dari warna mineral dominan penyusunnya yakni ada glaukofan, lawsonite, jadeite, dll. e) Fasies Amfibolit Fasies amfibolit terbentuk pada tekanan menengah dan suhu yang cukup tinggi. Batuan yang masuk dalam fasies ini adalah pelitik, batupasir-
11
feldspatik, basal, andesit, batuan silikat-kapur, batupasir kapuran dan serpih amfibolit. f) Fasies Granulit Fasies ini terbentuk pada tekanan rendah hingga menengah, tetapi pada suhu yang tinggi. Fasies ini adalah hasil dari metamorfosa derajat tinggi, merupakan metamorfosa yang paling bawah dari kelompok gneissic. g) Fasies Eklogit Fasies metamorf yang paling tinggi, terbentuk pada tekanan yang sangat tinggi dan suhu yang besar jauh di dalam bumi. Batuan ini biasanya sangat keras karena terbentuk pada kedalaman yang besar di dalam bumi.
2.6 Tata Nama dan Klasifikasi Batuan Metamorf Tabel 2.2 Identifikasian Batuan Metamorf berdasarkan W.T. Huang 1962
Tekstur
Foliasi
Komposisi
Tipe
Batuan Asal
Nama Batuan
Slaty
Mika
Regional
Mudstone
Slate
Phyllitic
Kwarsa, Mika, Klorit
Regional
Mudstone
Phyllite
Schistose
Kwarsa, Mika
Regional
Slate
Schist
Schistose
Amphibole, Plagioklas
Regional
Basalt or Gabbro
Amphibolite
Gneissic Banding
Feldspar, Mika, Kwarsa
Regional
Schist
Gneiss
Karbon
Kontak or Regional
Bituminous Coal
Anthracite Coal
Kwarsa, fragmen batuan
Kontak or Regional
Conglomerate
Metaconglomerate
Kalsit
Kontak or Regional
Limestone
Marble
Kwarsa
Kontak or Regional
Sandstone
Quartzite
Foliasi
Non Foliasi
12
BAB III HASIL DESKRIPSI
3.1 Batuan Nomor Peraga 217 Deskripsi Megaskopis
:
Jenis Batuan
: Batuan metamorf
Warna
: Putih Keabu-abuan
Struktur
: Non foliasi ( Hornfelsic)
Tekstur
Ketahanan Metamorfisme : Kristaloblastik
Ukuran Butir
: Fanerit
Bentuk Individu Kristal
: Anhedral, Xenoblastik
Bentuk Individu Mineral
: Granoblastik
Deskripsi Komposisi
Mineral kalsit (90%)
:
: Berwarna putih, bentuk anhedral, bersifat karbonatan, memiliki kilap kaca.
Silimanit (10%)
: Berwarnarna merah, kilap lemak, bentuk anhedral, transparansi opaque.
Petrogenesa
:
Berdasarkan dari hasil deskripsi batuan tersebut, yang mana memiliki struktur non foliasi, maka dapat diinterpretasikan bahwa agen metamorfisme berupa temperatur. Mineral indeks kalsit yang terdapat pada batuan tersebut diinterpretasikan merupakan penciri fasies hornfels yang terbentuk pada temperatur rendah hingga tinggi dan tekanan yang rendah. Dimana fasies hornfels dapat terbentuk pada tipe metamorfisme lokal dengan jenis metamorfime kontak yang dipengaruhi oleh suhu yang lebih dominan tinggi dibandingan dengan tekanan. Karena pengaruh temperatur yang tinggi akibat kontak intrusi batuan beku terhadap batuan, maka mineral-mineral di
13
sekitarnya
mengalami
rekristalisasi
atau
remineralisasi
hingga
termetamorfosa.
Gambar Batuan
:
Kalsit
Gambar 3.1 Batuan Nomor Peraga 217
Silimanit Nama Batuan
: Marmer (W. T. Huang, 1962)
14
3.2 Batuan Nomor Peraga 215 Deskripsi Megaskopis
:
Jenis Batuan
: Batuan metamorf
Warna
: Hijau
Struktur
: Foliasi (Schistosic)
Tekstur
Ketahanan Metamorfisme : Kristaloblastik
Ukuran Butir
: Fanerit
Bentuk Individu Kristal
: Subhedral, Hypidioblastik
Bentuk Individu Mineral : Nematoblastik
Deskripsi Komposisi
Mineral Klorit (70%)
:
: Warna hijau kehitaman, bentuk kristalin lentikular, transparasi opaque.
Mineral Kuarsa (30%)
: Warna putih susu, kilap kaca, bentuk equigranular, kekerasan 7, transparasi transparant.
Petrogenesa
:
Berdasarkan dari struktur yang terdapat pada batuan tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa agen metamorfisme batuan tersebut berupa tekanan. Mineral indeks klorit dan kuarsa yang terdapat pada batuan tersebut diinterpretasikan merupakan penciri dari fasies greenschist yang terbentuk pada
temperatur
sedang
dan
tekanan
sedang.
Fasies greenshcist
diinterpretasikan dapat terbentuk pada tipe metamorfisme regional dengan jenis metamorfisme burial. Karena pada daerah yang tersedimentasi mengalami pengaruh temperatur dan tekanan yang sedang pada peristiwa burial, maka mineral-mineral yang terdapat pada batuan tersebut akan mengalami proses rekristalisasi dan akan bereaksi antara mineral dengan fluida.
15
Gambar Batuan
:
Klorit
Gambar 3.2 Batuan Nomor Peraga 215
Kuarsa
Nama Batuan
: Schist (W. T. Huang, 1962)
16
3.3 Batuan Nomor Peraga 203 Deskripsi Megaskopis
:
Jenis Batuan
: Batuan metamorf
Warna
: Hitam
Struktur
: Foliasi (Gneissic)
Tekstur
Ketahanan Metamorfisme : Kristaloblastik
Ukuran Butir
: Fanerit
Bentuk Individu Kristal
: Subhedral, Hypidioblastik
Bentuk Individu Mineral
: Granuloblastik
Deskripsi Komposisi
Mineral Kuarsa (30%)
:
: Warna putih susu, kilap kaca, bentuk equigranular, kekerasan 7, transparasi transparant.
Mineral K – Feldspar (20%)
Mineral Mica (30%)
: Warna hitam, kilap kaca lembaran, bentuk prismatik, transparansi opaque
Petrogenesa
:
Berdasarkan dari struktur yang terdapat pada batuan tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa agen metamorfisme batuan tersebut berupa tekanan. Mineral indeks kuarsa, mica, dan K – feldspar, dimana dominan tersusun atas mica dan k – feldspar yang terdapat pada batuan tersebut diinterpretasikan merupakan penciri dari fasies granulite yang terbentuk pada temperatur tinggi (750°C - 880°C) dan tekanan tinggi (3
–
9 Kbar). Fasies granulite
diinterpretasikan terbentuk pada tipe metamorfisme regional. Dimana terbentuknya batuan tersebut diinterpretasikan pada daerah vulkanik arc, yang mana terdapat pengaruh suhu dan tekanan yang tinggi.
17
Gambar Batuan
:
Mica
K - Feldspar
Gambar 3.3 Batuan Nomor Peraga 202
Nama Batuan
Kuarsa
: Gneiss (W. T. Huang, 1962)
18
3.4 Batuan Nomor Peraga 207 Deskripsi Megaskopis
:
Jenis Batuan
: Batuan metamorf
Warna
: Hitam
Struktur
: Foliasi (Slaty Cleavage)
Tekstur
Ketahanan Butir
: Relict
Ukuran Butir
: Fanerit
Bentuk Kristal
: Subhedral, Hypidioblastik
Bentuk Mineral
: Lepidoblastik
Deskripsi Komposisi
:
Mineral Mica (90%)
: Warna bening, kilap kaca lembaran, cerat hitam, ukuran < 1 mm afanitik, bentuk prismatik, transparansi opaque.
Mineral Lempung
Petrogenesa
: Berwarna kecokelatan
:
Berdasarkan dari struktur yang terdapat pada batuan tersebut, maka dapat diinterpretasikan bahwa agen metamorfisme batuan tersebut berupa tekanan, karena bersifat dominan. Mineral indeks pada batuan tersebut yang terdiri dari mineral lempung diinterpretasikan merupakan penciri dari fasies zeolit yang terbentuk pada temperatur sekitar 250°C dengan tekanan 3 – 3,6 Kbar. Fasies zeolit diinterpretasikan dapat terbentuk pada tipe metamorfisme regional dengan jenis metamorfisme burial. Karena pada daerah yang tersedimentasi mengalami pengaruh temperatur dan tekanan yang sedang pada peristiwa burial, maka mineral-mineral yang terdapat pada batuan tersebut akan
mengalami proses rekristalisasi dan akan bereaksi antara
mineral dengan fluida. Disamping itu juga dapat terbentuk pada daerah subduksi, dimana pada daerah tersebut dipengaruhi oleh tekanan yang tinggi dengan suhu yang relatif sedang. 19
Gambar Batuan
:
Mineral Lempung
Mica
Gambar 3.4 Batuan Nomor Peraga 207
Nama Batuan
: Slate (W. T. Huang, 1962)
20
3.5 Batuan Nomor Peraga 15 Deskripsi Megaskopis
:
Jenis Batuan
: Batuan metamorf
Warna
: Hijau
Struktur
: Non Foliasi ( Hornfelsic)
Tekstur
Ketahanan Metamorfisme : Kristaloblastik
Ukuran Butir
: Fanerit
Bentuk Individu Kristal
: Subhedral, Hypidioblastik
Bentuk Individu Mineral : Granoblastik
Deskripsi Komposisi
:
Mineral Serpentin (80%) : Warna hijau metalik, bentuk granular, transparansi opaque.
Petrogenesa
:
Berdasarkan
struktur
pada
batuan
tersebut,
maka
dapat
diinterpretasikan bahwa agen metamorfisme-nya berupa suhu yang lebih dominan dibandingkan dengan tekanan. Batuan tersebut tersusun atas mineral serpentin yang merupakan mineral hasil alterasi hidrotermal mineral olivin. Dimana olivin merupakan penciri fasies hornfels yang terbentuk pada temperatur 250°C - 780°C dan tekanan rendah sekitar 0 – 1,7 Kbar. Dimana fasies hornfels terbentuk pada tipe metamorfisme lokal dengan jenis metamorfime kontak yang dipengaruhi oleh suhu yang lebih dominan tinggi dibandingan dengan tekanan. Karena pengaruh temperatur yang tinggi akibat kontak intrusi batuan beku terhadap batuan, maka mineral-mineral di sekitarnya
mengalami
rekristalisasi
atau
remineralisasi
hingga
termetamorfosa.
21
Gambar Batuan
:
Gambar 3.5 Batuan Nomor Peraga 15
Serpentine
Nama Batuan
: Serpentinit (Berdasarkan Komposisi)
22
3.6 Batuan Nomor Peraga 208 Deskripsi Megaskopis
:
Jenis Batuan
: Batuan metamorf
Warna
: Abu-abu kehiijauan
Struktur
: Foliasi ( Phyllitic)
Tekstur
Ketahanan Butir
: Kristaloblastik
Ukuran Butir
: Fanerit
Bentuk Kristal
: Euhedral, Idioblastik
Bentuk Mineral
: Nematoblastik
Deskripsi Komposisi
Mineral Klorit (30%)
:
: Warna hijau kehitaman, bentuk kristalin lentikular, transparasi opaque.
Mineral Kuarsa (30%)
: Warna putih susu, kilap kaca, bentuk equigranular, kekerasan 7, transparasi transparant.
Mineral Mica (40%)
: Warna bening, kilap kaca lembaran, cerat hitam, bentuk prismatik, transparansi opaque.
Petrogenesa
:
Berdasarkan struktur yang terdapat pada batuan tersebut, maka dapat diinterpretasikan bahwa tersusun atas struktur foliasi, yang mana proses pembentukannya dipengaruhi oleh tekanan yang dominan. Pada batuan tersebut tersusun atas mineral-mineral indeks berupa klorit, mica biotit, serta kuarsa. Berdasarkan keterdapatan mineral tersebut maka diinterpretasikan bahwa fasies metamorf tersebut berupa zeolit , yang mana memiliki suhu sekitar 200°C dengan tekanan sekitar 0 – 4 Kbar. Hal ini biasanya terjadi
23
didaerah metamorfisme burial, karena pada daerah ini memiliki suhu dan tekanan yang relatif sedang.
Gambar Batuan
:
Klorit
Gambar 3.6 Batuan Nomor Peraga 208
Mica Nama Batuan
Kuarsa
: Phyllite (W. T. Huang, 1962)
24
BAB IV PEMBAHASAN
Batuan
metamorf
adalah
batuan
yang
terbentuk
dari
proses
rekristalisasi akibat pengaruh temperatur (T) dan tekanan (P) yang tinggi. Batuan metamorf merupakan batuan yang berasal batuan induk, bisa batuan beku, batuan sedimen, maupun batuan metamorf sendiri yang mengalami metamorfosa. Pada praktikum kali ini, praktikan dikenalkan jenis-jenis batuan metamorf dengan menggunakan batuan peraga yang terdapat di laboratorium. Kemudian dilakukan deskripsi enam batuan secara megaskopis yang meliputi warna, struktur, tekstur, dan komposisi yang terdapat pada batuan beserta persen kelimpahan
mineral
penyusun
batuan.
Sehingga
dapat
diinterpretasikan
petrogenesanya dan penamaan batuannya melalui klasifikasi W. T. Huang (1962). Berikut ini merupakan pembahasan dari hasil praktikum Petrologi acara Batuan Metamorf.
4.1 Batuan Nomor Peraga 217
Secara megaskopis, batuan dengan nomor peraga nomor 217 memiliki warna putih keabu-abuan. Pada batuan tersebut memiliki struktur yang tersusun atas mineral-mineral yang terdiri dari butiran-butiran atau yang disebut struktur non foliasi. Tekstur pada batuan tersebut terdiri dari ketahanan metamorfisme, ukuran butir, bentuk individu ktistal dan bentuk individu mineral. Batuan dengan nomor peraga 217 memiliki ketahanan metamorfisme yang telah mengalami rekristalisasi atau yang disebut kristaloblastik, dimana pada batuan tersebut tidak menunjukkan adanya tekstur seperti batuan asalnya yang diakibatkan oleh proses metamorfisme yang telah sempurna. Ukuran butir pada batuan tersebut masih dapat diidentifikasi secara kasat mata atau disebut fanerit. Batuan tersebut memiliki bentuk individu kristal yang satu dengan yang lainnya, dimana batas antara bidang kristalnya tidak jelas atau yang disebut anhedral dengan bentuk kristal
25
berupa xenoblastik . Pada batuan tersebut tersusun atas bentuk individu mineral yang terdiri dari mineral penyusun berbentuk granular yang memiliki batas mineralnya bersifat sutured atau yang disebut bentuk granoblastik . Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diinterpretasikan bahwa batuan tersebut termasuk ke dalam batuan metamorf, karena memiliki struktur dan tekstur tertentu.
Sutured
Komposisi mineral penyusun batuan tersebut memiliki ciri-ciri khusus yaitu berwarna putih, memiliki bentuk butiran-butiran yang bersifat anhedral, bersifat karbonatan apabila ditetesi dengan menggunakan HCl, serta memiliki kilap kaca. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, maka dapat diinterpretasikan bahwa mineral penyusun batuan tersebut terdiri dari mineral kalsit dengan kelimpahan keterdapatan pada batuan sebesar 90%. Disamping itu juga tersusun atas mineral yang berwarna merah kecokelatan dengan bentuk anhedral, disebut pula mineral silimanit dengan kelimpahan sebesar 10%. Dapat diinterpretasikan bahwa terbentuknya mineral kalsit pada batuan tersebut dapat berasal dari semen karbonatan batugamping yang terakumulasi dan membentuk mineral kalsit. Disamping itu juga, dapat berasal dari cangkang-cangkang karbonatan yang terakumulasi berdekatan dengan lingkungan pengendapan batugamping di daerah laut dangkal. Batuan dengan nomor peraga 217 merupakan batuan ubahan akibat adanya proses perubahan tekanan dan suhu atau yang disebut proses
26
metamorfisme. Pada proses metamorfisme ini dikontrol oleh dua komponen utama yaitu suhu dan tekanan yang tinggi, dimana salah satu dari komponen ini akan mendominasi. Berdasarkan dari hasil deskripsi yang mana pada batuan tersebut memiliki struktur non foliasi, maka dapat diinterpretasikan bahwa agen metamorfisme batuan tersebut berupa suhu yang dominan. Sehingga pada batuan tersebut tidak terdapat penjajaran-penjajaran mineral, karena pada batuan tersebut mengalami proses pertumbuhan mineral (kristalisasi) secara intens yang mempengaruhi ukuran mineral batuan tersebut. Berdasarkan komposisi mineral yang terdapat pada batuan tersebut yaitu berupa mineral kalsit, maka dapat diinterpretasikan bahwa protolith batuan tersebut berasal dari batuan sedimen, yakni batugamping. Hal tersebut dapat diidentifikasikan berdasarkan ciri-ciri batuan tersebut yang bersifat karbonatan
maupun
berdasarkan
tabel
identifikasi
penamaan
batuan
Metamorf (W.T Huang, 1962). Dalam proses pembentukannya, batugamping yang telah mengalami proses sedimentasi kemudian akan mengalami penimbunan, yang kemudian batugamping ini terterobos oleh magma ataupun cairan hidrotermal yang melewatinya kemudian mengalami rekristalisasi batugamping yang akan menjadi marmer. Hal tersebut dipengaruhi oleh adanya kontrol panas yang dominan, sehingga mampu merubah susunan kimia batuan awalnya. Berdasarkan komposisi mineral penyusun pada batuan tersebut, yang terdiri dari mineral indeks berupa mineral kalsit, maka dapat diinterpretasikan batuan tersebut termasuk dalam fasies hornfels. Dimana pada fasies tersebut, mineral-mineral penyusun batuan akan terbentuk pada suhu yang tinggi sekitar 250°C - 780°C dengan tekanan yang rendah sekitar 0
– 1,7
Kbar.
Berdasarkan fasies tersebut, maka dapat diinterpretasikan bahwa batuan tersebut terbentuk akibat adanya proses metamorfisme kontak. Metamorfisme kontak merupakan metamorfisme yang terjadi akibat pemanasan batuan samping di sekitar intrusi batuan beku. Ketika batuan samping atau batuan yang berada di sekeliling zona intrusi tersebut terpanaskan, maka akan
27
menyebabkan mineral-mineral yang terkandung pada batuan samping te rsebut akan mengalami rekristalisasi. Berdasarkan dari pengamatan secara megaskopis yang meliputi struktur berupa non foliasi, maka dapat diinterpretasikan bahwa penamaan batuan tersebut yaitu marmer (W. T. Huang, 1962).
4.2 Batuan Nomor Peraga 215
Batuan dengan nomor peraga 215 dapat diinterpretasikan secara megaskopis memiliki warna hijau. Dimana pada batuan tersebut tersusun atas struktur planar yang mana terdiri dari penjajaran-penjajar an mineral atau yang disebut struktur foliasi. Tekstur pada batuan tersebut terdiri dari ketahanan metamorfisme, ukuran butir, bentuk individu ktistal serta bentuk individu mineral. Secara megaskopis, batuan dengan nomor peraga 215 memiliki ketahanan metamorfisme yang tidak menampakkan tekstur asalnya karena telah mengalami rekristalisasi atau yang disebut kristaloblastik . Ukuran butir pada batuan tersebut masih dapat diidentifikasi secara kasat mata atau disebut fanerit. Batuan tersebut memiliki bentuk individu kristal yang satu dengan yang lainnya, dimana batas antara bidang kristalnya kurang sempurna antara satu dengan yang lainnya atau yang disebut subhedral dengan bentuk kristal berupa hypidioblastik . Pada batuan tersebut tersusun atas bentuk individu mineral yang terdiri dari mineral-mineral penyusun berbentuk prismatik atau yang disebut bentuk nematoblastik . Berdasarkan dari hal tersebut, maka dapat diinterpretasikan bahwa batuan tersebut termasuk ke dalam batuan metamorf, karena memiliki struktur dan tekstur tertentu. Komposisi mineral penyusun batuan tersebut memiliki ciri-ciri berwarna hijau kehitaman dengan bentuk kristalin lentikular yang bersifat tidak dapat meneruskan cahaya. Disamping itu juga, terdapat mineral yang memiliki ciri-ciri berwarna putih susu dengan bentuk equigranular yang memiliki kekerasan 7 Skala Mohs. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka dapat diinterpretasikan bahwa pada batuan tersebut tersusun atas mineral berupa klorit dengan kelimpahan sebesar 70% serta mineral kuarsa dengan
28
kelimpahan keterdapatan pada batuan sekitar 30%. Dimana Klorit umumnya merupakan ubahan mineral primer yang berasal dari mineral biotit . Berdasarkan dari hasil deskripsi yang meliputi struktur berupa foliasi, maka dapat diinterpretasikan bahwa agen metamorfisme batuan tersebut berupa tekanan. Dimana tekanan lebih dominan dibandingkan dengan suhu. Akibat dari adanya proses tekanan yang tinggi, maka batuan tersebut diinterpretasikan
akan
mengalami
perubahan
bentuk
dengan
proses
diferensiasi. Proses diferensiasi tersebut disebabkan adanya perbedaan besar tekanan antara tekanan horizontal dan vertikal. Sehingga akan membentuk mineral-mineral pipih. Dilihat dari keterdapatan mineral serta besar ukuran mineralnya, maka dapat diinterpretasikan bahwa protolith pada batuan tersebut berasal dari sedimen maupun slate. Berdasarkan dari kehadiran mineral indeks berupa mineral klorit dan kuarsa. Maka dapat diinterpretasikan bahwa fasies metamorfisme batuan tersebut berupa greenschist . Dimana pada fasies greenschist , terbentuk pada temperatur yang sedang atau sekitar 200°C - 500°C dengan tekanan yang sedang pula sekitar 1
–
10 Kbar. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat
diinterpretasikan bahwa batuan tersebut termasuk ke dalam metamorfisme regional yang didominasi oleh tekanan. Dimana terbentuknya batuan tersebut berada pada daerah metamorfisme burial. Hal tersebut terbentuk akibat adanya proses vulkanisme gunungapi secara eksplosif yang mana akan mengeluarkan material-material vulkanik. Dimana material-material tersebut akan terendapkan dan terjadi kenaikan tekanan maupun temperatur. Hal tersebut disebabkan karena batuan yang ada di sekitarnya mengalami dorongan akibat pergerakan lempeng yang dinamis. Selain itu juga mengalami dampak dari temperatur yang berasal dari gesekan antar lempeng yang akan menghasilkan panas. Akibat adanya panas yang tinggi, maka akan mengakibatkan terbentuknya rekahan-rekahan, dimana rekahan tersebut akan terisi oleh aliran fluida dan akan mengakibatkan terlipatnya lapisan bataun tersebut.
29
Durasi pembentukan batuan tersebut diinterpretasikan memerlukan waktu yang lama. Pada awalnya mineral-mineral tersebut akan mengalami deformasi yang mengakibatkan perubahan bentuk dari bulat menjadi pipih. Setelah itu, akan mengalami proses orientasi mineral yang mana akan terjadi penjajaran mineral-mineral dari acak menjadi teratur. Kemudian pada tahap selanjutnya, mineral-mineral tersebut akan mengalami tahap segregasi. Dimana pada tahap tersebut terjadi proses pemilahan antara mineral yang memiliki densitas tinggi (mineral granular) dengan mineral densitas rendah (mineral pipih). Dimana mineral pipih tersebut akan bergerak ke atas, dan mineral granular akan bergerak ke bawah. Sehingga akan membentuk penjajaran mineral yang teratur. Berdasarkan dari pengamatan secara megaskopis yang meliputi struktur berupa foliasi, maka dapat diinterpretasikan bahwa penamaan batuan tersebut yaitu schist (W. T. Huang, 1962).
4.3 Batuan Nomor Peraga 203
Secara megaskopis, batuan dengan nomor peraga nomor 203 memiliki warna hitam. Pada batuan tersebut memiliki struktur yang tersusun atas mineral-mineral berupa penjajaran yang memiliki bentuk yang berbeda karena adanya perseligan antara mineral granular dengan mineral pipih atau yang disebut struktur foliasi dengan jenis gneissic. Hal tersebut dapat diindikasikan secara kasat mata tanpa melakukan pengamatan petrografis. Tekstur pada batuan tersebut terdiri dari ketahanan metamorfisme, ukuran butir, bentuk individu ktistal dan bentuk individu mineral. Batuan dengan nomor peraga 203 memiliki ketahanan metamorfisme yang telah mengalami rekristalisasi atau yang disebut kristaloblastik, dimana pada batuan tersebut tidak menunjukkan adanya tekstur seperti batuan asalnya yang diakibatkan oleh proses metamorfisme yang telah sempurna. Ukuran butir pada batuan tersebut masih dapat diidentifikasi secara kasat mata atau disebut fanerit. Batuan tersebut memiliki bentuk individu kristal yang satu dengan yang lainnya, dimana batas antara bidang kristal yang satu dengan yang lainnya
30
kurang sempurna dan kurang jelas atau yang disebut subhedral dengan bentuk kristal berupa hypidioblastik . Pada batuan tersebut tersusun atas bentuk individu mineral yang terdiri dari mineral penyusun berbentuk granular yang memiliki batas mineralnya bersifat unsutured atau yang disebut bentuk granuloblastik . Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diinterpretasikan bahwa batuan tersebut termasuk ke dalam batuan metamorf, karena memiliki struktur dan tekstur tertentu. Komposisi mineral penyusun batuan tersebut memiliki ciri-ciri khusus yaitu berwarna putih susu, memiliki bentuk equigranular, dengan kekerasan 7 skala Mohs. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, maka dapat diinterpretasikan bahwa mineral penyusun batuan tersebut terdiri dari mineral kuarsa dengan kelimpahan keterdapatan pada batuan sebesar 30%. Disamping itu juga tersusun atas mineral yang berwarna hitam dengan bentuk prismatik, atau disebut pula mineral mica dengan kelimpahan keterdapatan pada bataun tersebut sebesar 50%. Disamping itu pula tersusun atas mineral K – Feldspar dengan kelimpahan sebesar 20%. Batuan dengan nomor peraga 203 merupakan batuan ubahan akibat adanya proses perubahan tekanan dan suhu atau yang disebut proses metamorfisme. Pada proses metamorfisme ini dikontrol oleh dua komponen utama yaitu suhu dan tekanan yang tinggi, dimana salah satu dari komponen ini akan mendominasi. Berdasarkan dari hasil deskripsi yang mana pada batuan tersebut memiliki struktur foliasi, maka dapat diinterpretasikan bahwa agen metamorfisme batuan tersebut berupa tekanan yang dominan. Akibat dari
adanya
proses
diinterpretasikan
akan
tekanan
yang
mengalami
tinggi,
perubahan
maka bentuk
batuan dengan
tersebut proses
diferensiasi. Proses diferensiasi tersebut disebabkan adanya perbedaan besar tekanan antara tekanan horizontal dan vertikal. Sehingga akan membentuk mineral-mineral pipih. Berdasarkan komposisi mineral yang terdapat pada batuan tersebut yaitu berupa mineral kuarsa, K – Feldspar, dan mica, maka dapat diinterpretasikan bahwa protolith batuan tersebut berasal dari schist.
31
Hal tersebut berdasarkan tabel identifikasi penamaan batuan Metamorf (W.T Huang, 1962). Berdasarkan dari kehadiran mineral indeks berupa mineral kuarsa, K Feldspar
dan
kuarsa.
Maka
dapat
diinterpretasikan
bahwa
fasies
metamorfisme batuan tersebut berupa granulite. Dimana pada fasies granulite, terbentuk pada temperatur yang tinggi atau sekitar 750°C - 880°C dengan tekanan yang tinggi pula sekitar 3 – 9 Kbar. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diinterpretasikan bahwa batuan tersebut termasuk ke dalam metamorfisme regional yang didominasi oleh tekanan. Dimana terbentuknya batuan tersebut diinterpretasikan terbentukan berada pada daerah volkanic arc. Hal tersebut pada awalnya terbentuk akibat adanya penujam antara lempeng samudera dengan lempeng benua. Dimana lempeng samudera akan menujam ke bawah. Akibat dari proses penujaman tersebut, maka akan terbentuk rekahan-rekahan yang mana rekahan tersebut akan terisi oleh air. Pada saat mencapai kedalaman yang tinggi, maka akan terjadi proses dehidrasi atau kehilangan air. Sehingga akan membentuk titik-titik magma, yang memiliki densitas yang rendah. Akibat densitas yang rendah, maka titiktitik magma tersebut akan bergerak ke atas menuju daerah volkanic arc, yang mana terpengaruh oleh susu dan tekanan yang tinggi. Durasi pembentukan batuan tersebut diinterpretasikan memerlukan waktu yang lama. Pada awalnya mineral-mineral tersebut akan mengalami deformasi yang mengakibatkan perubahan bentuk dari bulat menjadi pipih. Setelah itu, akan mengalami proses orientasi mineral yang mana akan terjadi penjajaran mineral-mineral dari acak menjadi teratur. Kemudian pada tahap selanjutnya, mineral-mineral tersebut akan mengalami tahap segregasi. Dimana pada tahap tersebut terjadi proses pemilahan antara mineral yang memiliki densitas tinggi (mineral granular) dengan mineral densitas rendah (mineral pipih). Dimana mineral pipih tersebut akan bergerak ke atas, dan mineral granular akan bergerak ke bawah. Sehingga akan membentuk penjajaran mineral yang teratur. Setelah itu, mineral-mineral tersebut akan
32
mengalami perselingan antara mineral granular dengan mineral pipih dan akan mengalami proses rekristalisasi dan reorientasi. Berdasarkan dari pengamatan secara megaskopis yang meliputi struktur berupa foliasi, maka dapat diinterpretasikan bahwa penamaan batuan tersebut yaitu gneiss (W. T. Huang, 1962).
4.4 Batuan Nomor Peraga 207
Batuan dengan nomor peraga 207 dapat diinterpretasikan secara megaskopis memiliki warna hitam. Dimana pada batuan tersebut tersusun atas struktur planar yang mana terdiri dari penjajaran-penjajaran mineral atau yang disebut struktur foliasi dengan jenis slatycleavage. Hal tersebut disebabkan karena adanya penjajaran mineral yang teratur dan terdiri dari mineral halus. Tekstur pada batuan tersebut terdiri dari ketahanan metamorfisme, ukuran butir, bentuk individu ktistal serta bentuk individu mineral. Secara megaskopis, batuan dengan nomor peraga 207 memiliki ketahanan metamorfisme yang menampakkan tekstur asalnya karena belum mengalami proses rekristalisasi atau yang disebut relict . Ukuran butir pada batuan tersebut masih dapat diidentifikasi secara kasat mata atau disebut fanerit. Batuan tersebut memiliki bentuk individu kristal yang satu dengan yang lainnya, dimana batas antara bidang kristalnya kurang sempurna dan jelas antara satu dengan yang lainnya atau yang disebut subhedral dengan bentuk kristal berupa hypidioblastik . Pada batuan tersebut tersusun atas bentuk individu mineral yang terdiri dari mineral-mineral penyusun berbentuk tabular atau yang disebut bentuk lepidoblastik . Berdasarkan dari hal tersebut, maka dapat diinterpretasikan bahwa batuan tersebut termasuk ke dalam batuan metamorf, karena memiliki struktur dan tekstur tertentu. Komposisi mineral penyusun batuan tersebut memiliki ciri-ciri berwarna hitam, kilap kaca lembaran, cerat hitam, memiliki bentuk prismatik, serta tidak dapat meneruskan cahaya atau yang disebut transparansi opaque. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka dapat diinterpretasikan bahwa pada
33
batuan tersebut tersusun atas mineral berupa mica biotit dengan kelimpahan sebesar 90% serta tersusun oleh mineral lempung. Berdasarkan dari hasil deskripsi yang meliputi struktur berupa foliasi, maka dapat diinterpretasikan bahwa agen metamorfisme batuan tersebut berupa tekanan. Dimana tekanan lebih dominan dibandingkan dengan suhu. Akibat dari adanya proses tekanan yang tinggi, maka batuan tersebut diinterpretasikan
akan
mengalami
perubahan
bentuk
dengan
proses
diferensiasi. Proses diferensiasi tersebut disebabkan adanya perbedaan besar tekanan antara tekanan horizontal dan vertikal. Sehingga akan membentuk mineral-mineral pipih. Dilihat dari keterdapatan mineral serta besar ukuran mineralnya, maka dapat diinterpretasikan bahwa protolith pada batuan tersebut berasal dari sedimen maupun sedimen. Berdasarkan dari kehadiran mineral indeks berupa mineral mica dan lempung. Maka dapat diinterpretasikan bahwa fasies metamorfisme batuan tersebut berupa zeolit . Dimana pada fasies zeolit , terbentuk pada temperatur yang rendah atau sekitar 250°C dengan tekanan yang rendah pula sekitar 3 – 3,6 Kbar. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diinterpretasikan bahwa batuan tersebut termasuk ke dalam metamorfisme regional yang didominasi oleh tekanan. Dimana terbentuknya batuan tersebut berada pada daerah metamorfisme burial. Hal tersebut terbentuk akibat adanya proses vulkanisme gunungapi secara eksplosif yang mana akan mengeluarkan material-material vulkanik. Dimana material-material tersebut akan terendapkan dan terjadi kenaikan tekanan maupun temperatur. Hal tersebut disebabkan karena batuan yang ada di sekitarnya mengalami dorongan akibat pergerakan lempeng yang dinamis. Selain itu juga mengalami dampak dari temperatur yang berasal dari gesekan antar lempeng yang akan menghasilkan panas. Akibat adanya panas yang tinggi, maka akan mengakibatkan terbentuknya rekahan-rekahan, dimana
rekahan
tersebut
akan
terisi
oleh
aliran
fluida
dan
akan
mengakibatkan terlipatnya lapisan bataun tersebut. Disamping itu juga, batuan tersebut dapat diinterpretasikan terbentuk paza daerah zona subduksi. Dimana pada zona tersebut terjadi penujaman antara lempeng samudera
34
dengan lempeng benua. Dimana lempeng samudera akan menujam ke bawah. Akibat
adanya
pergerakan
lempeng-lempeng
tersebut,
maka
akan
menyebabkan kenaikan tekanan. Sehingga pada daerah tersebut terdapat rekahan-rekahan, yang mana rekahan-rekahan tersebut akan terisi oleh aliran air fluida. Sehingga pada zona tersebut memiliki tekanan yang tinggi dengan suhu yang rendah. Durasi pembentukan batuan tersebut diinterpretasikan memerlukan waktu yang cepat. Dimana pada awalnya mineral-mineral tersebut akan mengalami proses deformasi yang mengakibatkan perubahan bentuk dari bulat menjadi pipih. Setelah itu, mineral tersebut akan mengalami proses orientasi mineral yang mana akan terjadi penjajaran mineral-mineral dari acak menjadi teratur dan rapat. Berdasarkan dari pengamatan secara megaskopis yang meliputi struktur berupa foliasi, maka dapat diinterpretasikan bahwa penamaan batuan tersebut yaitu slate (W. T. Huang, 1962).
4.5 Batuan Nomor Peraga 15
Batuan nomor peraga nomor 15 termasuk dalam batuan metamorf karena memiliki struktur non foliasi berupa honnfelsic. Batuan tersebut secara megaskopis memiliki warna hijau. Hal tersebut dapat dilihat secara megaskopis atau kasat mata. Batuan ini diinterpretasikan memiliki tekstur berupa ketahanan metamorfisme yaitu kristaloblastik , yaitu batuan ini sudah tidak menunjukkan struktur atau tekstur seperti batuan asalnya dan terlihat seperti susunan kristalin, diakibatkan oleh proses metamorfisme yang sempurna. Kemudian ukuran butirnya berupa fanerit, karena ukuran butirnya dapat diamati langsung oleh kasat mata. Batuan tersebut memiliki bentuk kristal yang terdapat bidang batas yang kurang sempurna antara kristal yang satu dengan yang lainnya, atau yang disebut subhedral. Berdasarkan dari bentuk kristal tersebut, maka dapat diinterpretasikan batuan tersebut memiliki tekstur berupa hypidioblastik, karena bentuk kristalnya subhedral. Batuan tersebut diinterpretasikan memiliki bentuk mineral yang bentuknya prismatic
35
dengan batas mineralnya yang bersifat sutured
(tidak teratur) atau yang
disebut Granoblastik . Komposisi mineral penyusun batuan tersebut memiliki ciri-ciri berwarna hijau metalik dengan bentuk granular, yang memiliki transparansi yang tidak mampu menyerap dan tidak mampu meneruskan cahaya atau yang disebut opaque. Mineral serpentin pada umumnya terbentuk dari mineral olivin yang mengalami alterasi akibat adanya air meteorik. Berdasarkan komposisi
mineral
penyusunnya,
protolith
batuan
metamorf
ini
diinterpretasikan berasal dari batuan beku basa. Karena batuan ini memiliki komposisi serpentin yang dominan. Mineral serpentin tersebut berasal dari alterasi mineral olivin yang dominan berada di batuan beku basa. Serpentin merupakan salah satu dari mineral indeks pada batuan metamorfisme. Mineral indeks biasanya digunakan sebagai penciri suatu fasies metamorfisme. Karena kehadiran serpentin pada batuan ini, maka dapat diinterpretasikan bahwa batuan tersebut termasuk dalam fasies hornfels. Dimana pada fasies tersebut mineral-mineral yang terbentuk berada pada temperatur yang rendah hingga tinggi, berkisar antara 250° - 780°C dengan tekanan yang rendah berkisar antara 0 – 1,7 kbar. Berdasarkan dari struktur serta
komposisi
yang
terdapat
pada
batuan
tersebut,
maka
dapat
diinterpretasikan bahwa agen metamorfisme batuan tersebut berupa fluida. Tipe metamorfisme batuan metamorf didasarkan pada setting geologi dan agen metamorfisme. Batuan tersebut terbentuk pada tipe metamorfisme lokal karena memiliki komposisi berupa mineral serpentin akibat dari adanya alterasi
hidrotermal
yang
terjadi
pada
dasar
samudera.
Umumnya
metamorfisme dasar samudera terbentuk akibat peristiwa divergen antara lempeng samudera dengan lempeng samudera sehingga menghasilkan MOR ( Mid Oceanic Ridge). Pada saat proses divergen berlangsung, maka akan mengakibatkan penipisan pada lempeng samudera sehingga mempermudah pergerakan magma di mantel untuk menerobos lempeng samudera. Kemudian magma
yang
berhasil
menerobos
lempeng
samudera
tersebut
akan
memanaskan air di sekitar zona pemekaran tersebut (air meteorit). Air yang
36
memanas tersebut umumnya akan memanaskan batuan beku yang dihasilkan oleh zona pemekaran lantai samudera yang bersifat basa. Batuan beku basa memiliki mineral primer berupa olivin. Karena pada deret reaksi Bowen olivin terbentuk pada suhu yang sangat tinggi, sekitar 1000° - 1200°C, sehingga memiliki tingkat resistensi yang rendah. Akibatnya akan ditemukan banyak pecahan pada mineral olivin. Kemudian air meteorit tersebut akan masuk ke dalam celah-celah pecahan pada olivin. Sehingga akan terjadi pelarutan dan reaksi senyawa kimia antara air yang mengandung H 2O dengan senyawa kimia yang dimiliki oleh olivin, sehingga komposisi kimia dan karakteristik mineralnya akan terubah menjadi serpentin. Adanya agen fluida berfungsi sebagai katalis yang dapat mempengaruhi komposisi dengan pertukaran antara ion-ion. Sehingga komposisi yang terdapat pada batuan tersebut tidak terubahkan. Berdasarkan dari pengamatan secara megaskopis yang meliputi komposisi mineral berupa serpentine, maka dapat diinterpretasikan bahwa penamaan batuan tersebut yaitu serpentine (Berdasarkan Komposisi).
4.6 Batuan Nomor Peraga 208
Batuan dengan nomor peraga 208 dapat diinterpretasikan secara megaskopis memiliki warna abu-abu kehijauan. Dimana pada batuan tersebut tersusun atas struktur planar yang mana terdiri dari penjajaran-penjajaran mineral atau yang disebut struktur foliasi dengan jenis phyllitiic. Tekstur pada batuan tersebut terdiri dari ketahanan metamorfisme, ukuran butir, bentuk individu ktistal serta bentuk individu mineral. Secara megaskopis, batuan dengan nomor peraga 208 memiliki ketahanan metamorfisme yang tidak menampakkan tekstur asalnya karena telah mengalami rekristalisasi atau yang disebut kristaloblastik . Ukuran butir pada batuan tersebut masih dapat diidentifikasi secara kasat mata atau disebut fanerit. Batuan tersebut memiliki bentuk individu kristal yang satu dengan yang lainnya, dimana batas antara bidang kristalnya sempurna dan jelas antara satu dengan yang lainnya atau yang disebut euhedral dengan bentuk kristal berupa idioblastik . Pada batuan
37
tersebut tersusun atas bentuk individu mineral yang terdiri dari mineralmineral
penyusun
berbentuk
prismatik
atau
yang
disebut
bentuk
nematoblastik . Berdasarkan dari hal tersebut, maka dapat diinterpretasikan bahwa batuan tersebut termasuk ke dalam batuan metamorf, karena memiliki struktur dan tekstur tertentu. Komposisi mineral penyusun batuan tersebut memiliki ciri-ciri berwarna hijau kehitaman dengan bentuk kristalin lentikular yang bersifat tidak dapat meneruskan cahaya. Disamping itu juga, terdapat mineral yang memiliki ciriciri berwarna putih susu dengan bentuk equigranular yang memiliki kekerasan 7 Skala Mohs. terdapat pula mineral yang memiliki ciri-ciri berwarna gelap dengan bentuk prismatik yang memiliki kilap kaca lembaran serta bersifat opaque. Berdasarkan dari ciri-ciri tersebut maka dapat diinterpretasikan bahwa pada batuan tersebut tersusun atas mineral berupa klorit dengan kelimpahan sebesar 30%, mineral kuarsa dengan kelimpahan keterdapatan pada batuan sekitar 30% serta mineral mica dengan kelimpahan sebesar 40%. Dimana Klorit umumnya merupakan ubahan mineral primer yang berasal dari mineral biotit. Berdasarkan dari hasil deskripsi yang meliputi struktur berupa foliasi, maka dapat diinterpretasikan bahwa agen metamorfisme batuan tersebut berupa tekanan. Dimana tekanan lebih dominan dibandingkan dengan suhu. Akibat dari adanya proses tekanan yang tinggi, maka batuan tersebut diinterpretasikan
akan
mengalami
perubahan
bentuk
dengan
proses
diferensiasi. Proses diferensiasi tersebut disebabkan adanya perbedaan besar tekanan antara tekanan horizontal dan vertikal. Sehingga akan membentuk mineral-mineral pipih. Dilihat dari keterdapatan mineral serta besar ukuran mineralnya, maka dapat diinterpretasikan bahwa protolith pada batuan tersebut berasal dari sedimen. Berdasarkan dari kehadiran mineral indeks berupa mineral klorit, mica dan kuarsa. Maka dapat diinterpretasikan bahwa fasies metamorfisme batuan tersebut berupa zeolit . Dimana pada fasies zeolit , terbentuk pada temperatur yang sedang atau sekitar 200°C dengan tekanan yang sedang pula sekitar 0 –
38
4 Kbar. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diinterpretasikan bahwa batuan tersebut termasuk ke dalam metamorfisme regional yang didominasi oleh tekanan. Dimana terbentuknya batuan tersebut berada pada daerah metamorfisme burial. Hal tersebut terbentuk akibat adanya proses vulkanisme gunungapi secara eksplosif yang mana akan mengeluarkan material-material vulkanik. Dimana material-material tersebut akan terendapkan dan terjadi kenaikan tekanan maupun temperatur. Hal tersebut disebabkan karena batuan yang ada di sekitarnya mengalami dorongan akibat pergerakan lempeng yang dinamis. Selain itu juga mengalami dampak dari temperatur yang berasal dari gesekan antar lempeng yang akan menghasilkan panas. Akibat adanya panas yang tinggi, maka akan mengakibatkan terbentuknya rekahan-rekahan, dimana
rekahan
tersebut
akan
terisi
oleh
aliran
fluida
dan
akan
mengakibatkan terlipatnya lapisan bataun tersebut. Disamping itu juga, batuan tersebut dapat diinterpretasikan terbentuk paza daerah zona subduksi. Dimana pada zona tersebut terjadi penujaman antara lempeng samudera dengan lempeng benua. Dimana lempeng samudera akan menujam ke bawah. Akibat
adanya
pergerakan
lempeng-lempeng
tersebut,
maka
akan
menyebabkan kenaikan tekanan. Sehingga pada daerah tersebut terdapat rekahan-rekahan, yang mana rekahan-rekahan tersebut akan terisi oleh aliran air fluida. Sehingga pada zona tersebut memiliki tekanan yang tinggi dengan suhu yang rendah. Durasi pembentukan batuan tersebut diinterpretasikan memerlukan waktu yang lama. Pada awalnya mineral-mineral tersebut akan mengalami deformasi yang mengakibatkan perubahan bentuk dari bulat menjadi pipih. Setelah itu, akan mengalami proses orientasi mineral yang mana akan terjadi penjajaran mineral-mineral dari acak menjadi teratur dan rapat. Berdasarkan dari pengamatan secara megaskopis yang meliputi struktur berupa foliasi, maka dapat diinterpretasikan bahwa penamaan batuan tersebut yaitu phylit (W. T. Huang, 1962).
39
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Batuan nomor peraga 217 berwarna putih keabu-abuan, berstruktur non foliasi
(hornfelsic),
teksturnya
memiliki
ketahanan
metamorfisme
kristaloblastik , ukuran butir fanerit, bentuk kristal anhedral, dan bentuk mineralnya Granoblastik, agen metamorfismenya temperatur, terbentuk pada tipe metamorfisme kontak, nama batuan ini adalah Marmer (W. T. Huang, 1962).
Batuan nomor peraga 215 berwarna hijau, berstruktur foliasi ( schistosic), teksturnya memiliki ketahanan metamorfisme kristaloblastik , ukuran butir fanerit, bentuk kristal anhedral, dan bentuk mineralnya Nematoblastik, agen metamorfismenya temperatur dan tekanan, terbentuk pada tipe metamorfisme regional (orogenik), nama batuan ini adalah Schist (W. T. Huang, 1962).
Batuan nomor peraga 202 berwarna abu-abu, berstruktur foliasi ( gneissic), teksturnya memiliki ketahanan metamorfisme kristaloblastik , ukuran butir fanerit, bentuk kristal subhedral, dan bentuk mineralnya Nematoblastik, agen metamorfismenya tekanan, terbentuk pada tipe metamorfisme regional, nama batuan ini adalah Schist (W. T. Huang, 1962).
Batuan nomor peraga 203 berwarna hitam, berstruktur foliasi ( gneissic), teksturnya memiliki ketahanan metamorfisme kristaloblastik , ukuran butir fanerit, bentuk kristal subhedral, dan bentuk mineralnya Granuloblastik, agen metamorfismenya temperatur dan tekanan, terbentuk pada tipe metamorfisme regional, nama batuan ini adalah Gneiss (W. T. Huang, 1962).
Batuan nomor peraga 207 berwarna hitam, berstruktur foliasi ( slaty cleavage), teksturnya memiliki ketahanan metamorfisme relict , ukuran butir
fanerit,
bentuk
kristal
subhedral,
dan
bentuk
mineralnya
40
Lepidoblastik, agen metamorfismenya tekanan, terbentuk pada tipe metamorfisme regional, nama batuan ini adalah Slate (W. T. Huang, 1962).
Batuan nomor peraga 15 berwarna hijau, berstruktur non foliasi (hornfelsic), teksturnya memiliki ketahanan metamorfisme kristaloblastik , ukuran butir fanerit, bentuk kristal subhedral, dan bentuk mineralnya Granoblastik, agen metamorfismenya temperatur, terbentuk pada tipe metamorfisme kontak, nama batuan ini adalah Serpentinit (Berdasarkan Komposisi).
Batuan nomor peraga 208 berwarna abu-abu kehijauan, berstruktur foliasi ( phyllitic), teksturnya memiliki ketahanan metamorfisme kristaloblastik , ukuran butir fanerit, bentuk kristal subhedral, dan bentuk mineralnya Nematoblastik, agen metamorfismenya tekanan, terbentuk pada tipe metamorfisme regional,nama batuan ini adalah Phyllite (W. T. Huang, 1962).
5.2 Saran
Praktikan tidak lupa membawa larutan HCl untuk membedakan mineral tertentu sebagai tanda kandungan karbonatan pada komposisi mineralnya.
Praktikan tidak lupa membawa kamera dan alat pembanding untuk pengambilan gambar batuan peraga yang digunakan saat pengamatan megaskopis.
41