KOSMOLOGI BATAK TOBA ASAL MULA KOSMOS, PERSOALAN RUANG & WAKTU, RELASI RUANG DAN WAKTU, DINAMIKA KOSMOS, DAN AKHIR KOSMOS. 1. Deskripsi Batak Toba
Suku bangsa Batak mendiami daerah pegunungan Sumatera Utara, mulai dari perbatasan Daerah Istemewa Aceh di Utara sampai ke perbatasan dengan Riau dan Sumatera Barat di sebelah Selatan. Selain daripada itu suku bangsa Batak mendiami dataran rendah yang berada di antara pegunungan dengan pantai Timur Daerah Sumatera Utara. Suku bangsa Batak Batak sebenarnya terdiri terdiri dari sub-sub yaitu: a. Batak Toba yang mendiami daerah tepi Danau Toba, Pulau Samosir, Dataran Tinggi Toba, Wilayah Silindung, daerah antara Barus dan Sibolga, daerah pegunungan antara Pahae dan Habinsaran. Dengan kata lain daerah induk batak Toba ialah daerah Kabupaten Tapanuli Utara sekarang. b. Batak Angkola/Mandailing mendiami daerah induk Angkola/Sipirok, Padang Lawas daerah Batang Toru, sebahagian dari Sibolga, daerah induk Mandailing, Ulu, Pakantan dan bagian Selatan Padang Lawas. Dengan kata lain daerah induk Batak Angkola/Mandailing adalah daerah Kabupaten Tapanuli Selatan. c. Batak Karo, mendiami daerah induk Dataran Tinggi Karo, Langkat, Hulu, Deli-Hulu, Serdang-Hulu dan sebagian dari daerah Dairi. d. Batak Simalungun, mendiami daerah induk Simalungun atau Daerah Kabupaten Simalungun termasuk Kodya Pematang Siantar. e. Batak Dairi, mendiami daerah induk Dairi atau Kabupaten Dairi. Adapun istilah dalam bahasa Batak Toba yaitu Huta yaitu Huta dan dan Partungkoan Partungkoan.. Huta merupakan kesatuan territorial yang dihuni oleh keluarga yang berasal dari satu marga (klen). Sedangkan Partungkoan ialah sebidang tanah tempat bersidang dekat pintu gerbang dari Huta, biasanya pertungkoan ini di tempat yang diteduhi oleh o leh pohon beringin atau pohon hariara. h ariara. Pohon tersebut sebagai penghubung antara dunia bawah dan dunia atas. Dimana Dimana Dunia ginjang (atas) (atas) adalah kerajaan dewa tertinggi, Ompu Mula Ompu Mula Jadi Na Bolon, Bolon, dan roh-roh leluhur yang sudah meninggal.
Sedangkan dunia toru (bawah) adalah tempat tinggal untuk para hantu dan setan (dalam bahasa Batak Toba disebut dengan parbeguan) parbeguan) yang diperintah oleh Naga Padoha, yakni: sang ular naga. Orang Batak Toba mempunyai konsepsi bahwa alam ini beserta segala isinya, diciptakan oleh Mulajadi oleh Mulajadi Na Bolon yang Bolon yang berada di langit yang ketujuh. Menurut kepercayaan orang batak Toba langit yang kita lihat itu terdiri dari tujuh lapis yang masing-masing lapisan mempunyai penghuni. Disamping pembagian pe mbagian langit tersebut, masyarakat Batak Toba membagi alam semesta ini atas tiga benua yaitu: Benua Bawah, Benua Tengah dan Benua atas yang masing – masing – masing dipegang tiga dewa yang di sebut Batara Guru (Tuan Pane Na Bolon), Batara sori (Tuan Silaon Na Bolon) atau Tri tunggal Dewa. Selain daripada Mulajadi Na Bolon, Masyarakat Batak Toba masih percaya bahwa masih ada tiga lagi dewa-dewa kecil seperti : a. Boras Pati Ni tano sebagai dewa penjaga tanah yang dilambangkan dengan biawak. b. Soniang Naga, sebagai penjaga laut dan danau. c. Debata Idup, sebagai penjaga kebahagiaan rumah tangga. Di samping percaya kepada dewa-dewa tersebut masyarakat Batak Toba percaya akan rokh (tondi) dan begu (hantu). Begu ini mempunyai hubungan dengan manusia yang masih hidup dalam dua hal yaitu: mendatangkan keselamatan dan mendatangkan mala petaka. Sistem pengetahuan Batak Toba tentang alam sekitar manusia adalah berupa pengetahuan tentang musim-musim, tentang sifat-sifat dan gejala-gejala alam, tentang binatang-binatang, pencipta alam, asal mula gerhana, dongeng-dongeng, mythos-mythos, folklore (cerita rakyat) kesusastraan dan sebagainya. Pengetahuan tentang alam sekitar manusia ini banyak diketahui masyarakat Batak pada zaman sebelum abad ke 20 ini. Mereka mengetahui musim hujan dan kemarau, sifatsifat alam dan ilmu bintang (Turnip dkk, 1977: 18).
2. Asal Mula Kosmos Batak Toba Kosmos berarti susunan atau ketersusunan yang baik (Anton Bakker, 1995: 39). Kosmos juga berarti alam semesta atau jagat raya. Membicarakan persoalan kosmologi Batak Toba tidak terlepas dari mitos sebagaimana ada pada tradisi kosmologi lain di Indonesia. Mitos-mitos tersebut berasal dari petua adat sejak zaman nenek moyang. Sehingga, terdapat beberapa macam cerita tentang asal mula kosmos yang apabila dipahami secara menyeluruh dapat menunjukkan keterkaitan satu sama lain. Batak Toba menggambarkan kisah kosmologinya melalui banyak dewa yang masingmasing memiliki tugas berbeda. Pertama menceritakan keadaan bumi ketika belum memiliki daratan. Bumi masih terdiri dari air dan belum terkena cahaya matahari. Setelah itu, Tuhan menciptakan seorang dewi bernama Sorimalamatabun atau Nan Tumpal Hamonangan yang memiliki perahu. Kisah dewi Sorimalamatabun yang membawa pohon dari langit kemudian menanamkannya di bumi melambangkan pohon sebagai tumbuhan yang dianggap sakral oleh masyarakat Batak Toba. Hal tersebut dapat dilihat pada setiap desa di wilayah Batak Toba yang menempatkan sejenis pohon Beringin di depan pintu gerbang desa. Kisah itu juga menunjukkan posisi pohon yang dianggap sakral karena dapat menghubungkan dunia atas dengan dunia bawah. Pohon dalam kisah itu perlahan akhirnya mati dan membentuk sebuah pulau. Ulat-ulat pada pohon itu akhirnya membentuk beberapa jenis hewan seperti hewan buas dan hewan peliharaan. Demikian mitos asal mula kosmos etnis Batak Toba.
3. Persoalan Ruang dan Waktu dalam Kosmologi
Salah satu persoalan yang menarik untuk dibicarakan di dalam konteks kosmologi adalah persoalan mengenai ruang, yang pada akhirnya juga mengarahkan manusia pada pemahaman mengenai ‘dimensi ruang yang lebih luas’ yaitu waktu. Dua persoalan tersebut bagaimanapun tidak dapat diabaikan begitu saja dalam pembahasan kosmologi karena kenyataan menunjukkan bahwa dalam kehidupannya, manusia selalu berada di dalam tempat dan waktu tertentu. Bakker menunjukkan hubungan erat antara manusia dan dunia tersebut sebagai kesatuan objektif dan kesatuan formal. Objektif dalam arti bahwa manusia hanya menemui dirinya sendiri dalam korelasinya dengan alam; sedangkan formal dalam arti bahwa refleksi mengenai kebersamaan manusia dan dunia adalah satu-satunya hal yang mungkin (Bakker, 1994: 28-29). Dilihat dari sistematika besar filsafat, kosmologi atau sering disebut dengan filsafat alam adalah salah satu bagian dari cabang filsafat ontologi yang secara umum memiliki kesamaan dalam hal keinginannya untuk mencari norma dan struktur mendasar bagi kesemestaan (Bakker, 1994: 5). Keterkaitan keduanya membawa implikasi yang mendalam karena dengan demikian, pandangan kosmologi suatu masyarakat akan sangat dipengaruhi oleh cara pandang masyarakat tersebut terhadap realitas secara keseluruhan, baik manusia, alam, maupun realitas adikodrati (misalnya Tuhan, ataupun dewa). Hal yang sama juga dapat dijumpai dalam kehidupan masyarakat Batak. Mereka memiliki kosmologi yang khas, meskipun dalam banyak hal menunjukkan identitasnya sebagai bagian dari kosmologi Indonesia yang dicirikan dengan koordinasi, komplementasi, dan harmoni (Bakker, 1994: 161). Corak kosmologi Batak sangat jelas, yaitu kosmologi spekulatif yang mungkin tidak cukup memuaskan ketika konsepsi dipertemukan dengan temuan-temuan dalam ilmu fisika dan astronomi. Kosmologi spekulatif, meskipun memiliki beberapa kelemahan, namun demikian tetap masih layak untuk dikaji karena bagaimanapun ada wilayah-wilayah yang justru bisa dijangkau oleh corak kosmologi spekulatif ini, yang dalam hal yang sama tidak mampu dijangkau melalui kajian yang empiris logis. Terlepas dari persoalan tersebut, bagaimana pun kajian ini akan memberikan kontribusi yang besar dalam upaya memetakan pemikiran filsafat Nusantara yang pada gilirannya akan membantu menginventarisasi local wisdom yang ada di Indonesia.
Beberapa pertanyaan pokok mengenai konsep ruang dan waktu dalam masyarakat Batak Toba adalah sebagai berikut: 1. Apakah masyarakat Batak berpandangan bahwa ruang dan waktu itu tunggal atau jamak?; 2. Bagaimana menjelaskan pluralitas sebagaimana yang dijumpai dalam kehidupan seharihari? Namun jika jamak, bagaimana menjelaskan hubungan antara ruang dan waktu yang satu dengan ruang dan waktu yang lain? 3. Apakah ada kemungkinan bagi penghuni suatu ruang untuk berpindah ke ruang yang lain (persoalan impenetrability) atau bahkan mungkin berada di dua atau lebih ruang yang berbeda pada waktu yang sama (persoalan multilokasi)?; 4. Bagaimanakah pengaruh dari konsepsi ruang dan waktu tersebut di dalam bidang yang lain?
4. Konsep Ruang dalam Masyarakat Batak Toba Konsepsi ruang dalam pemikiran masyarakat Batak bisa dipandang dari dua perspektif, yaitu ruang secara vertikal dan ruang secara horisontal. Pembagian ruang secara vertikal dibagi menjadi tiga ruang, yaitu banua ginjang, banua tonga, dan banua toru; sedangkan pembagian ruang secara horisontal adalah pembagian subruang di dalam salah satu ruang di atas, yaitu banua tengah. Maksudnya adalah bahwa banua tengah sebagai salah satu dari tiga ruang di dalam kosmos, masih dapat dibagi lagi secara horisontal ke dalam ruang-ruang yang lebih khusus. Pembagian ruang secara vertikal dalam pembahasan ini disebut dengan ruang teogoni, sedangkan pembagian dalam ruang banua tengah secara horisontal disebut dengan ruang antropogoni. Berdasarkan konsepsi mengenai ruang yang demikian ini, maka bisa disimpulkan bahwa masyarakat Batak memiliki konsepsi mengenai ruang yang berciri kejamakan. Dua dari tiga ruang dalam pandangan masyarakat Batak tersebut, yaitu bagian atas dan bagian tengah, bahkan terbagi lagi ke dalam beberapa subruang yang lebih khusus. Orang Batak menganggap bahwa kosmos atau alam terdiri atas 3 bagian atau ruang yang tersusun secara hierarkis vertikal, yaitu bagian paling atas yang disebut dengan Banua Ginjang (Benua Atas/Upperworld ); bagian di bawahnya yang disebut dengan Banua Tonga (Benua Tengah/ Middleworld ); dan bagian di bawahnya yang disebut dengan Banua Toru (Benua Bawah/Underworld ). Berkaitan dengan hierarki ketiga bagian di atas, ada hal yang perlu dipahami terlebih dahulu, yaitu bahwa Banua Ginjang bukanlah gambaran tentang surga, demikian juga bahwa Banua Toru itu bukanlah gambaran tentang neraka seperti misalnya dijumpai dalam konsep pemikiran agama Kristen, namun konsep mengenai ketiga ruang tersebut lebih merupakan sebuah konsep mengenai pembagian ruang yang masing-masing ruang ditempati oleh penghuni yang berbeda-beda.
Benua atas/ Banua Ginjang
Benua atas adalah bagian paling atas dan menjadi tempat dari Dewa tertinggi orang Batak yang disebut dengan Debata Mulajadi Na Bolon beserta para dewa lainnya, yang salah satu di antaranya adalah Batara Guru-Soripada-Mangalabulan. Debata Mulajadi Na Bolon adalah Tuhan yang dipercaya memiliki sifat kemahakuasaan dalam berbagai hal. Ia adalah pencipta dari ruangruang yang ada di dalam kosmos, termasuk menciptakan segala sesuatu yang ada di dalamnya (Sinaga, 1975: 87). Masyarakat Batak dengan demikian sudah memiliki konsep kreasionisme, dan keesaan Tuhan, sebagaimana dikemukakan sebagai berikut. “…bahwa suku Batak di jaman keberhalaan sudah percaya pada Allah Yang Esa yang disebut Mulajadi Na Bolon, yang menjadi awal dari segala yang ada; Dialah Yang Maha Tinggi, Allah yang oleh suku Batak dipercayai sebagai Allah dari segala ilah yang menjadikan langit bumi dan segala isinya, yang secara terus menerus memelihara hidup ini…Mulajadi Na Bolon berkuasa menjadikan yang ada dari yang tiada dan singgasananya berada di langit ketujuh” (Tobing, 1956: 4-7) Berdasarkan kutipan di atas sangat jelas bahwa masyarakat Batak memiliki konsepsi mengenai dunia atas yang hampir mirip dengan ajaran di dalam agama-agama samawi, seperti Kristen dan Islam. Debata Mulajadi Na Bolon dianggap bersemayam di langit teratas, dan bahkan ada konsepsi yang sama mengenai pohon kehidupan yang memuat nasib manusia. Terlepas dari kesamaan di atas, ada satu hal yang bisa dicatat di dalam pemikiran masyarakat Batak mengenai dunia atas di atas, yaitu bahwa mereka memandang ruang sebagai tempat yang memiliki penghuninya masing-masing. Hal yang sama juga dapat dijumpai dalam pemikiran mereka mengenai bagian dunia paling atas ( Banua Ginjang ) tersebut, yang dianggap terbagi menjadi 7 langit dengan penghuninya masing-masing, dan masing-masing penghuni ruang-ruang tersebut seakan tidak memiliki peluang untuk berpindah ke ruang yang lain. Semakin tinggi langit berarti semakin mendekati ‘alam kesucian’ karena jika dilihat dari kutipan di atas, semakin ke atas berari semakin mendekati tempat Debata Mulajadi Na Bolon beserta para dewa yang mengelilinginya. Mitos di atas merupakan sebuah upaya spekulatif masyarakat Batak di dalam upaya mereka untuk berusaha menjelaskan kejadian alam semesta beserta segala isinya. Berkaitan dengan mitos kejadian alam tersebut, ada satu hal yang perlu diperhatikan di sini
karena berkaitan dengan keberadaan manusia selanjutnya, yaitu mengenai keberadaan Si Boru Deak Parujar dan Raja Odap-odap, yang menjadi asal-usul terjadinya manusia sebagai penghuni dari banua tonga atau dunia tengah. Benua tengah/ banua tonga
Masyarakat Batak menganggap bahwa masing-masing bagian dunia memiliki penghuni yang berbeda-beda, dan bagian tengah atau banua tonga menjadi tempat bagi manusia. The middleworld and its structure naturally predominate being of more immediate interest to man (Sinaga, 1975 : 86). Benua tengah dengan demikian merupakan bagian dari kosmos yang secara khusus menjadi wilayah manusia. Sesuai dengan mitos yang dipercayai oleh orang Batak, manusia itu adalah keturunan dari dewa sendiri, yaitu dari putri dewa Batara Guru yang bernama Si Deak Parujar, anak dari Batara Guru, dengan suaminya yang bernama Raja Ihatmanisia, anak dari dewa Mangalabulan. Berdasarkan mitos, maka bisa disimpulkan bahwa manusia adalah penghuni banua tonga, atau dengan kata lain benua tengah adalah bagian dari kosmos yang secara khusus dipersembahkan kepada manusia. Banua tonga adalah dunia empiris sebagai menjadi tempat hidup manusia saat ini. Sebagaimana telah disinggung di atas, dunia tengah/banua tonga memiliki tatanan ruang tersendiri yang sangat berkaitan erat dengan keseimbangan kosmos secara keseluruhan. Ruang yang lebih rinci sebagaimana terdapat di dunia tengah ini, atau yang kemudian disebut dengan istilah ruang antropogoni, oleh masyarakat Batak disebut dengan istilah “ Desa na ualu”, yaitu “…derived from Sanskrit ‘desa’, in Indonesia was place, region” (Tobing, 1956: 127) yang berarti wilayah yang terdiri atas delapan. Maksudnya adalah bahwa ada 8 (delapan) sudut ruang, atau delapan wilayah di banua tonga, sebagaimana yang bisa dilihat di dalam pembagian arah mata angin pada kompas modern yang ada sekarang. Nama-nama dari delapan arah mata angin tersebut adalah purba (timur), agoni (tenggara), dangsina (selatan), nariti (barat daya), pastima (barat), manabia (barat laut), utara (utara) dan irisanna (timur laut). Berdasarkan pandangan Batak mengenai Desa na ualu tersebut maka bisa diketahui bahwa masyarakat Batak memiliki konsepsi mengenai arah mata angin yang berjumlah delapan, yang menurut Tobing merupakan simbol dari dunia tengah, dalam hal ini adalah Pulau Sumatera (Tobing, 1956: 127).
Masyarakat Batak, namun demikian, juga memiliki konsep yang lain mengenai ruang di banua tonga, di samping kedelapan penjuru mata angin yang telah disebutkan di atas. Konsep yang kedua berkaitan dengan arah mata angin tersebut terdiri atas empat arah mata angin, yaitu : Habinsaran (timur), Djae (selatan), Hasundutan (barat), dan Djulu (utara). Apabila dibandingkan dengan konsep yang pertama, sebenarnya konsep yang kedua tidak jauh berbeda karena konsep yang kedua hanya terfokus pada empat arah mata angin utama, yang sebenarnya juga terdapat di dalam konsep yang pertama. Perbedaannya hanyalah dalam hal nama untuk menyebut keempat arah mata angin utama tersebut. Dua konsep mengenai arah mata angin di dunia tengah ini namun demikian memunculkan pertanyaan karena tidak mungkin suatu konsep mengenai sesuatu muncul begitu saja tanpa alasan yang jelas. Benua bawah/ banua toru
Sesuai dengan namanya, benua bawah atau banua toru adalah bagian paling bawah dari dunia, dan menjadi tempat bagi Dewa Perusak ( primordial dragon/evil spirit / demons/ the dead ) dalam kepercayaan masyarakat Batak, yaitu Naga Padoha. Naga Padoha dengan demikian adalah dewa yang menjadi semacam ‘musuh’ bagi manusia karena ia selalu berusaha memusnahkan dunia tengah, dunia yang dihuni oleh manusia. Konsep mengenai Dewa Perusak ini oleh karenanya hampir mirip dengan konsepsi agama Hindu mengenai peran Syiwa, meskipun ada perbedaan dalam beberapa hal di antara keduanya. Jika di dalam Hindu, Syiwa adalah dewa yang merusak dalam rangk a keseimbangan alam, Naga Padoha lebih tampak sebagai ‘simbol kekuatan jahat’ yang tidak melakukannya sebagai ‘kekuatan penyeimbang’ dunia tengah, namun karena memang sejak awal ia memang sudah menghalangi pernciptaan dunia tengah dan menjadi ‘musuh atau pengganggu’ bagi kehidupan manusia. Dunia bawah di dalam kepercayaan masyarakat Batak ini oleh karenanya tidak dapat diabaikan begitu saja di dalam eksistensi kosmos atau alam semesta karena ia adalah penopang dari dunia-dunia yang ada di atasnya. Dunia atas menjadi tempat Debata Mulajadi Na Bolon, Tuhan dalam kepercayaan masyarakat Batak; dunia tengah adalah dunia manusia; dan dunia bawah adalah tempat dewa penghancur, yaitu Nada Padoha. Pembagian dunia dengan penghuninya ini menunjukkan bahwa masyarakat Batak memiliki konsep mengenai pembagian fungsi dari entitas alam. Ketiga
“banua” di atas bisa dikatakan tersungkup ke dalam suatu totalitas demi tercapainya harmoni kosmos yang senantiasa berkembang secara siklis dalam perputaran alam yang bersifat abadi. Kejamakan konsepsi ruang dalam masyarakat Batak ini tentu saja tidak lantas menyelesaikan persoalan ruang yang akan dijelaskan. Konsepsi ruang yang jamak tersebut justru menimbulkan pertanyaan baru berkaitan dengan bagaimana menjelaskan hubungan di antara ruang-ruang yang ada tersebut. Apakah masing-masing ruangan terpisah satu sama lain, atau semuanya terhubung dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain? Masyarakat Batak menjawab pertanyaan tersebut dengan mengatakan bahwa ruang-ruang yang ada tersebut memang saling terhubung, dalam arti menjadi satu kesatuan dalam kosmos yang luasnya tak terhingga. Sebagaimana dikatakan oleh Tobing, untuk menghubungkan benua atas, tengah, dan atas, beliau mengatakan bahwa “…the Toba Batak have a conception of a tree reaching from the underworld into the upperworld …(Tobing, 1956: 72). Kesatuan atau keterhubungan antara benua yang satu dengan benua yang lain, dengan demikian dianalogikan dengan pohon kosmos tersebut. Persoalan lain yang juga menjadi implikasi dari beberapa temuan mengenai pandangan tentang ruang dalam pemikiran masyarakat Batak di atas adalah persoalan yang oleh Anton Bakker disebut dengan persoalan impenetrability dan multilokasi. Impenetrability adalah persoalan mengenai kemungkinan bagi penghuni suatu ruang untuk berpindah ke ruangan yang berbeda, sedangkan persoalan multilokasi adalah persoalan mengenai kemungkinan bagi penghuni suatu ruang untuk berada pada ruang yang berbeda pada waktu yang sama. Berkaitan dengan persoalan impenetrability ada kesimpulan yang bisa diambil dari uraian yang telah dikemukakan di atas, yaitu bahwa kemungkinan untuk berpindah ke ruang yang lain merupakan hal yang mungkin bagi penghuni suatu ruang, terutama penghuni dunia atas, yaitu Debata Mulajadi Na Bolon beserta para dewa, dan penghuni dunia bawah, yaitu Naga Padoha. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, keduanya memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi dunia tengah: yang satu memberikan kekuatan positifnya, sedangkan yang kedua memberikan kekuatan negatifnya.
5. Konsep Waktu dalam Masyarakat Batak Persoalan mengenai ruang di dalam pembicaraan kosmologi biasanya melahirkan persoalan lain sebagai rangkaiannya, yaitu persoalan waktu. Persoalan tentang waktu muncul dalam pembahasan mengenai ruang karena ketika pengkosmos bereksistensi di dalam ruang, maka ia juga berarti berada di dalam waktu tertentu. Pertanyaan yang kemudian muncul tentu demikian: apakah hakikat waktu? Apakah ia adalah ruang dalam dimensi yang lain, atau ia merupakan sesuatu yang lain sama sekali dengan ruang? Dua pertanyaan tersebut bisa dikatakan merupakan pertanyaan mendasar mengenai waktu, namun demikian dalam pembahasan mengenai konsep waktu di dalam pandangan masyarakat Batak. Apakah benua atas, tengah, dan bawah memiliki waktunya sendiri-sendiri, atau ada satu waktu yang berlaku secara universal di semua benua tersebut? Konsepsi mengenai waktu yang bisa ditemukan secara eksplisit hanyalah konsep waktu yang berlaku di dunia tengah atau dunia manusia, yang disebut dengan “ porhalaan/parhalaan”. Porhalaan adalah ruas bambu yang diukir dengan tanda-tanda dan simbol-simbol. Dalam ukiran yang disebut dengan porhalaan tersebut dipampangkan mengenai dua konsepsi waktu yang ada di dalam pemikiran orang Batak, yaitu bulan dan hari. Porhalaan adalah konsepsi mengenai waktu yang digunakan oleh masyarakat Batak ketika akan melakukan suatu kegiatan penting, seperti panen hasil pertanian, upacara pernikahan, pembangunan suatu desa, dan upacara penting lainnya (Tobing, 1956: 124). Porhalaan dengan demikian merupakan konsep mengenai waktu yang menjadi referensi ketika akan melakukan kegiatan-kegiatan penting, sehingga bisa disamakan dengan primbon di Jawa misalnta, hanya dalam bentuk yang lebih sederhana, dalam arti bahwa pertimbangan yang dilakukan hanya mencakup bulan dan hari saja. Porhalaan tersebut biasanya diukir pada ruas pohon Bambu, dan digambarkan dalam bentuk tabel vertikal dan horisontal: tabel vertikal adalah gambaran tentang hari, sedangkan tabel horisontal adalah gambaran tentang bulan.
Porhalaan, namun demikian bukanlah pedoman waktu yang bisa diketahui atau terlebih lagi dipahami oleh semua orang Batak. Ada beberapa hal yang juga perlu diketahui mengenai porhalaan ini. Pertama, orang Batak bisa mengetahui kapan saat yang tepat atau tidak tepat untuk melakukan sesuatu ritual atau kegiatan tidak dengan membaca porhalaan oleh dirinya sendiri, melainkan dengan bantuan datu. Datu dengan demikian adalah satu-satunya pihak yang bisa memberikan rekomendasi kepada orang Batak untuk menggunakan atau tidak menggunakan suatu hari. Kedua, porhalaan bukanlah sebuah ‘pedoman ramalan’ yang sama bagi setiap datu, melainkan masing-masing datu memiliki porhalaan yang bisa saja berbeda. Ketiga, pengetahuan ‘istimewa’ yang dimiliki oleh seorang datu mengenai porhalaan, dengan demikian memunculkan pertanyaan penting: lalu dari mana datu bisa merumuskan porhalaan yang ia gunakan? Intinya adalah bahwa seorang datu mengetahui waktu-waktu di dalam porhalaan tersebut berdasarkan fenomena alam yang terjadi secara rutin di dalam kehidupan manusia sehari-hari. Mitos Batak, mengenai Pane Na Bolon, yang memiliki peran penting di dalam konsepsi waktu masyarakat Batak. Pane Na Bolon adalah salah satu makhluk yang ada di dalam mitologi masyarakat Batak, yang dipercaya menerima kutukan dari Debata Mulajadi Na Bolon untuk terus menerus mengelilingi banua tonga atau benua tengah, dan singgah untuk periode tertentu di setiap arah mata angin yang ada di dalam konsep ruang masyarakat Batak. Pane Na Bolon, dianggap menentukan baik buruknya nasib manusia karena saat yang baik atau saat yang tidak baik dalam porhalaan, ditentukan berdasarkan letak Pane Na Bolon ini. Ia diperintahkan untuk mengitari ruang dan waktu, yaitu mengitari delapan penjuru mata angin, selama 30 hari dalam 12 bulan. Setiap sekali dalam 3 bulan, Pane Na Bolon menempati satu ruang, dan kemudian berpindah ke ruang yang lain dan menempatinya selama 3 bulan berikut. Dia bergerak mengelilingi benua tengah dimulai dari timur, dan dalam kepercayaan orang Batak, ketika Pane Na Bolon menghadap ke timur, maka ruang antara timur dan barat adalah satu hal yang baik atau masa yang dapat memberikan keberuntungan. Sebaliknya, setiap orang yang menuju ke arah ruang timur, maka yang terjadi adalah ketidakberuntungan baginya karena hal itu dianggap sebagai sikap “menantang” Pane Na Bolon sehingga ia akan melepaskan kemarahannya (Tobing, 1956: 137). Apabila dalam suatu waktu dan untuk alasan yang sangat penting seseorang harus berada pada ruang-waktu tempat Pane Na Bolon berada, maka dia harus membuat suatu patung
pengganti berupa patung manusia, yang disebut “ parsili”, sebagai ‘kurban’, atau bahkan bisa saja menjadi penangkal kemarahan Pane Na Bolon.
6. Relasi Ruang dan Waktu Sesuai dengan mitos-mitos mengenai waktu dan ruang dalam pemahaman masyarakat Batak di atas, maka bisa disimpulkan bahwa relasi antara ruang dan waktu bisa disebut dengan totalitas, dengan kata lain masyarakat Batak memiliki konsep mengenai kesatuan ruang dan waktu (the unity of space and time). Kesatuan ini bisa dijelaskan demikian; pertama, ruang dan waktu berasal dari satu sumber yaitu dari ranting dan buah pohon kosmos Batak Hariara Sundung di Langit. Pohon kosmos Hariara Sundung di langit tumbuh kemudian memiliki ranting dan berbuah, dan proses itu berlangsung secara bersama; maka dapat dikatakan bahwa ruang dan waktu itu adalah satu. Kedua, ruang dan waktu dikuasai oleh dewa yang sama, yaitu Pane Na Bolon. Ketiga, melalui konsep pohon Hariara Sundung di langit dan Pane Na Bolon, maka ruang dan waktu bagi orang Batak dipahami sebagai konsep yang bersifat kualitatif dan konkret: kualitatif dalam arti waktu tersebut tidak dapat diukur; sedangkan konkret dalam arti waktu dipahami sebagai “waktu yang baik: atau “waktu yang tidak baik” untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (Tobing, 1956: 141). Hal yang sama juga berlaku dalam konsepsi tentang ruang. Ruang bukanlah sesuatu yang homogen dan dapat diukur, namun ia memiliki substansi. Setiap arah mata angin memiliki nilai karena mereka adalah kuasa-kuasa atau kekuatan yang tidak hanya dapat memberikan atau menimpakan penyakit atau kemiskinan, tetapi juga sebaliknya, menganugerahkan kehidupan yang baik atau kemakmuran. Setiap ruang memiliki makna atau arti tersendiri. Misalnya, sudut timur akan memiliki nilai yang lain dengan sudut barat, dan nilai-nilai ini sangat ditentukan oleh waktu, yaitu waktu ketika Pane itu sedang menghadap ruang yang mana. Relasi antara ruang dan waktu dengan demikian sangat berkaitan. Ruang dan waktu adalah dua hal yang saling mempengaruhi, oleh karenanya waktu dan ruang adalah satu bentuk dari kesatuan esensial. Ruang itu melekat dengan waktu, demikian juga sebaliknya.
7. Dinamika Kosmos dalam Kosmologi Batak Toba
Saat kita berbicara mengenai dinamika kosmos, yang harus diperhatikan adalah bagaimana kosmos mengalami dinamika. Batak toba yang memiliki konsep kosmologi akan coba kita analisis untuk menemukan dinamika kosmosnya. Untuk medapatkan jawaban tentang dinamika kosmos kita harus berangkat dari persoalan dalam dinamika kosmos. 1. Bagaimana kosmos mengalami Dinamika? Sinaga (1986:87) menyatakan bahwa di batak Toba dinamika kosmos (alam semesta) terjadi dengan perantara Mulajadi na Bolon. Mulajadi na Bolon adalah mempunyai daya mengada yang absolut dan dikomunikasikan secara relatif kepada ciptaan baru itu (kosmos) di mana manusia itu adalah satu unsur. Selain itu Sinaga juga menyebutkan bahwa orang Batak tradisional sesuai dengan ungkapan agama dari India: “kami harus mengikuti apa yang telah dilakukan oleh para dewa-dewi pada permulaan dunia”. “Sebagaimana telah ditetapkan oleh para dewata demikianlah harus dilakukan oleh manusia” (1986:95). Selain itu Bakara juga memberikan ceritanya tentang mitologi Batak yang menyangkut dinamika Kosmos. Certianya dituliskan seperti ini :
“Setelah Naga Padoha berhasil ditaklukkan, dan daratan di Banua Tonga ditata kembali oleh Siboru Deang Parujar. Atas perkenaan dan restu Ompu Mulajadi Na Bolon diberikan segala macam tumbuhan dan hewan untuk kehidupan di bumi ini dalam kotak dan disegel disampaikan ke Siboru Deang PArujar melalui Leang-leang Mandi. Siboru Deang Parujar membukanya, dari dalamnya ditaburkannya segala macam benih tanaman, pohon dan semak-semak, berbagai jenis hewan, reptile dan serangga, segala jenis burung, unggas dan ikan dilaut dan penuhlah bumi dengan segala makluk hidup berbagai jenis tanaman dan hewan. Banua Tonga dihuni dengan berbagai macam hewan dan ditumbuhi beraneka jenis tanaman.”
Dari konsep di atas kita bisa mengatakan bahwa dinamika kosmos terjadi karena adanya sang pencipta yaitu Mulajadi na Bolon, memberikan kuasanya ke kosmos untuk selanjutnya di laksanakan oleh manusia.
2. Apakah ada penggerak yang memungkinkan kosmos untuk mengalami dinamika? Penggerak yang memungkinkan kosmos untuk mengalami dinamika sudah pasti dewa tertinggi Mulajadi na Bolon. 3. Apakah penggerak dinamika itu berasal dari luar kosmos, atau dari dalam kosmos? Penggerak yang memungkinkan kosmos untuk mengalami dinamika, sudah pasti adalah sang dewa tertinggi Mulajadi na Bolon. Tetapi yang jadi persoalan adalah apakah Mulajadi na Bolon ini berada di dalam atau di luar kosmos. Jika kita merujuk pada kosmologi batak tentang konsep ruang dalam kosmos yang di bagi tiga bagian, yakni Banua Parginjang (dunia atas), Banua Tonga (dunia tengah), dan Banua Partoru (dunia bawah) sebagai kosmos. Maka Mulajadi na Bolon bisa dikatakan berada dalam kosmos, dan jawaban untuk pertanyaan di atas adalah; penggerak dinamika berasal dari dalam kosmos. 4. Apakah dinamika kosmos memiliki tujuan? Dinamika kosmos memiliki tujuan adalah untuk mengetahui perkembangan fase demi fase dalam kosmologi batak. Dalam penciptaan, usia ciptaan identik dengan adat, selagi ada adat maka ciptaan dapat bertahan, dan sekedar adat dilalap oleh ketidakketeraturan maka eksistensi ciptaan langsung terancam. Adat di sini begitu jauh melebihi kebiasaan dan ketertiban sehingga orang dapat berkata bahwa hakekat manusia tertuang sama sekali dengan adat. Sebab kepadanyalah bergantung kehidupan dan kematian. Proses penciptaan : 1. Kesadaran bahwa allah pencipta mulajadi na bolon telah ada sebelum adanya kosmos dan adanya pencipta kosmos 2. Bahwa tatkala dan sesudah penciptaan terjadi dua hal pada pihak mulajadi na bolon, a.bahwa mulajadi na bolon mengambil beda dan jarak dengan kosmos tercipta. Mulajadi na bolon tidak bisa diidentikan dengan kosmos. Sebab dia yang sama sekali lain.. 3. Daya mengada yang secara absolut terdapat pada mulajadi na bolon dikomunikasikan secara relatif kepada penciptaan baru, dimana manusia adalah satu unsur.
8. Akhir Kosmos
Masyarakat Batak meyakini bahwa kosmos sebelum penciptaan masih belum berbentuk, kosong dan penuh kegelapan. Ini merupakan ciri keadaan chaos, yakni ketidakteraturan. Dalam hal ini, Tuhan berperan (Mulajadi na Bolon) sebagai pengatur (Pengada Ilahi) yakni menciptakan langit dan bumi. Hal ini sesuai dengan ayat awal Alkitab Kejadian 1:1 “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi”. Kosmos yang berbentuk chaos dihadapai dengan adat, yakni kekuatan hidup yang mempertahankan hidup dan eksistensi dalam ada,yakni bersifat konstitutif dan secara mutlak normatif. Adat sangat berperan besar dalam kehidupan masyarakat Batak toba dalam mempertahankan keadaan kosmos. Oleh karena itu, dalam adat terdapat ketergantungan kehidupan atau kematian. Jika adat tidak dilaksanakan atau dilanggar seperti merusak alam, membunuh binatang di hutan sesuai kehendak sendiri,melanggar ajaran Tuhan – Mulajadi na Bolon (seperti dalam Alkitab) ,dll maka saat itu juga terjadi akhir kosmos. Akhir kosmos dalam masyarakat Batak Toba yang dibahas adalah akhir kosmos banua tonga (benua tengah). Akhir kosmos ini berbentuk keadaan berupa chaos, yakni ketidakteraturan seperti awal mula kehidupan. Artinya, chaos akan kembali seperti awal kehidupan kalau adat tidak dipertahankan dalam kehidupan masyarakat dan pada saat itu juga terjadi akhir kosmos atau kehancuran. Masyarakat Batak kuno pada mulanya menganut aliran animisme maupun dinamisme. Kemudian seiring berkembangnya zaman, masyarkat Hindu menyebarkan ajarannya di Indonesia,sehingga masyarakat Batak terpengaruh oleh
ajarannya, seperti bentuk bangunan
(tugu). Selanjutnya, penyebaran agama pun berkembang pesat di Indonesia. Masyarakat Batak akhirnya didominasi oleh agama Kristen,seperti tokoh Nomennsen. Oleh karena itu, akhir kosmos masyarakat Batak Toba
terpengaruh dari ajaran Alkitab,yakni kitab Wahyu pada
Perjanjian Baru. Wahyu merupakan surat terakhir dalam Alkitab Perjanjian Baru. Akhir kosmos dalam Wahyu tersebut berupa sangkakala yakni surat Wahyu ayat 8-11,berisi tentang kehancuran dunia dalam bentuk hujan,api,asap,dll. Kitab Wahyu merupakan salah satu kitab yang sulit untuk ditafsirkan karena selain memuat banyak simbol dalam penulisannya, kitab ini merupakan kitab nubuatan. Untuk memahaminya dibutuhkan ketelitian dan kecermatan. Oleh karena itu,
masyarakat Batak Toba tidak begitu luas atau teliti membahas akhir kosmos,yang jelas menurut masyarakat ini yang menjadi akhir kosmos,yakni chaos.
Kesimpulan
Kosmologi sebagai sebuah ilmu sejatinya ingin mencari apa yang berlaku di dunia ini. Mencari apa yang dianggap berlaku dari setiap tradisi masyarakat tertentu terhadap konsepsi kosmologinya. Keteraturan dan keharmonisan alam semesta di dalam masyarakat Batak, tidak bisa dilepaskan dari sebuah konsep ruang masyarakat Batak, konsep ruang masyarakat Batak sebenarnya mempunyai tiga bagian ruang diantaranya Banua Ginjang , yang disebut benua atas (upperworld ), Banua Tonga, yang disebut benua tengah (middleworld ) dan Banua Toru, yang disebut dengan benua bawah (underworld ). Di dalam masyarakat Batak, ruang itu memiliki makna (meaning ) yang sangat sakral bagi mereka. Masyarakat Batak menganggap bahwa dunia ini tercipta dari dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah. Ketiga ruang kosmos masyarakat Batak itulah yang kemudian tidak hanya akan melahirkan keselarasan alam semesta. Untuk menciptakan keselarasan kosmos bagi masyarakat Batak tidak hanya berpijak dari konsep ruang saja, akan tetapi, juga diperlukan konsep waktu sebagai upaya menjaga harmonisasi alam semesta, yakni dengan adanya ritual-ritual dari masyarakat Batak sehingga memiliki kesatuan yang integral atas konsep ruang dan waktu masyarakat Batak. Konsep waktu dalam masyarakat Batak disebut dengan ” porhalaan/ parhalaan”. Porhalaan adalah ruas bambu yang diukir dengan tanda-tanda dan simbol-simbol; dan ukiran porhalaan itulah yang menjadikan dasar penunjuk waktu dalam masyarakat Batak. Di dalam konsep waktu Batak ada dua kategori waktu yang penting, yakni hari dan bulan. Perlu ditegaskan kembali bahwa ukiran di “ porhalaan” bukan semacam kalender, akan tetapi, merupakan alat yang digunakan untuk melakukan ramalan bagi masyarakat Batak. Ruang bagi masyarakat Batak dilihat sebagai nilai yang dapat memberikan makna kesejahteraan, kemakmuraan atau mungkin, sebaliknya, ruang akan memberikan penderitaan dan kemiskinan terhadap masyarakat Batak. Sedangkan waktu, diidentikan dengan kosmik yang mampu memberikan petunjuk. Kesatuan antara ruang dan waktu bagi masyarakat Batak tidak bisa dipisahkan dengan Tuhan yang tertinggi yang menciptakan dunia ini.
DAFTAR PUSTAKA Bakker, Anton, 1994, Kosmologi dan Ekologi, Yogyakarta, Kanisius Tobing, Ph. O. Lumban, 1956, “The Structure of the Toba-Batak Believe in the High God” , Disertasi untuk Universitas Hassanudin Saragi, Daulat, 2007, “Dimensi Simbolis Patung Primitif Batak”, Disertasi, Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada Sinaga, A. Bongsu, 1975, “The Toba-Batak High God”, Disertasi untuk Katholieke Universiteit te Leuven Siswanto, Joko, 2005, Orientasi Kosmologi, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press http://risalah-filsafat.blogspot.com/2011/06/konsep-ruang-dan-waktu-masyarakat-batak.html oleh Reno Wikandaru
KOSMOLOGI BATAK TOBA
NAMA KELOMPOK: