18
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konstitusi berasal dari bahasa Perancis constituer yang berarti membentuk. Maksudnya pembentukan, penyusunan, atau pernyataan akan suatu negara.
Konstitusi dalam bhs Latin, cume yg berarti "bersama dengan", dan statuere yang berarti "membuat sesuatu agar berdiri" atau "mendirikan, menetapkan sesuatu". Dalam bentuk pemerintahan kesatuan (Negara Kesatuan) biasanya mempunyai konstitusi yang sesingkat mungkin misalnya dalam pengaturan susunan (struktur) ketatanegaraan sudah cukup mengatur struktur legislatif, eksekutif, dan secara garis besar baik Ekstern maupun Intern lembaga itu sendiri.
KC Wheare mengartikan konstitusi biasanya digunakan paling tidak dalam dua pegertian. Pertama, kata ini digunakan untuk menggambarkan seluruh sistem ketatanegaraan suatu negara, kumpulan berbagai peraturan yang membentuk dan mengatur atau mengarahkan pemerintahan. Peraturan-peraturan ini sebagian bersifat legal, dan sebagian bersifat non-legal atau ekstra legal, yang berupa kebiasaan, saling pengertian, adat atau konvensi, yang tidak diakui oleh pengadilan sebagai hukum namun tidak kalah efektifnya dalam mengatur ketatanegaraan dibandingkan dengan apa yang secara baku disebut hukum. Di hampir semua negara, sistem ketatanegaraan berisi campuran dari peraturan legal dan non-legal ini, sehingga kita bisa menyebut kumpulan peraturan ini sebagai " Konstitusi ".
Keberadaan UUD 1945 sebagai konstitisi negara Indonesia yang selama ini disakralkan, dan tidak boleh diubah kini telah mengalami beberapa perubahan.Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945 itu pada hakekatnya merupakan tuntutan bagi adanya penataan ulang terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Atau dengan kata lain sebagai upaya memulai "kontrak sosial" baru antara warga negara dengan negara menuju apa yang dicita-citakan bersama yang dituangkan dalam sebuah peraturan dasar (konstitusi). Perubahan konstitusi ini menginginkan pula adanya perubahan sistem dan kondisi negara yang otoritarian menuju kearah sistem yang demokratis dengan relasi lembaga negara yang seimbang. Dengan demikian perubahan konstititusi menjadi suatu agenda yang tidak bisa diabaikan. Hal ini menjadi suatu keharusan dan amat menentukan bagi jalannya demokratisasi suatu bangsa.
Pada hakikatnya, manusia selalu hidup dinamis maka konstitusipun haruslah bersifat mengikuti perkembangan zaman dan melihat kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Karenanya perubahan konstitusi tidaklah sekedar merespon tuntutan zaman, apalagi sekedar memenuhi kepentingan politik, melainkan yang paling penting adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Dengan demikian, konstitusi tidak selalu dipahami sebagai alat untuk membatasi kekuasaan negara. Ini tentu saja dengan mendekatkan diri pada makna konstitusi yang lebih mendalam yakni ada dalam konstitusionalisme. Maka dari itu makalah ini dibuat untuk mengetahui implementasi konstitusi modern dan konstitusi visioner khususnya perkembangannya di Indonesia.
Rumusan Masalah
Bagaimana sejarah perkembangan konstitusi modern?
Bagaimana peranan konstitusi Indonesia sebagai konstitusi modern?
Bagaimana implementasi konstitusi modern di Indonesia sebagai konstitusi visioner?
Tujuan Penulisan
Mengetahui sejarah perkembangan konstitusi modern
Mengetahui peranan konstitusi Indonesia sebagai konstitusi modern
Mengetahui implementasi konstitusi modern di Indonesia sebagai konstitusi visioner
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1. Hakikat Konstitusi Modern
Konstitusi adalah suatu naskah atau dokumen yang didalamnya memuat keseluruhan peraturan-peraturan yang mengatur dengan mengikat dalam penyelenggaraan ketatanegaraan dalam suatu negara. Secara etimologi, istilah konstitusi berasal dari bahasa latin "constitutio, constituere" artinya dasar susunan badan, dan dari bahasa Prancis "constituer" yang berarti membentuk. Pada zaman dahulu, istilah pada konstitusi dipergunakan untuk perintah-perintah kaisar Romawi (yakni, constitutions principum). Kemudian, di italia difungsikan untuk menunjukkan undang-undang dasar "Diritton Constitutionale". Sedangkan Konstitusi dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah Grondwet (Fathoni, 2014).
Dalam wacana politik, kata "konstitusi" biasanya digunakan paling tidak dalam dua pengertian. Pertama, kata ini digunakan untuk menggambarkan seluruh sIstem ketatanegaraan suatu negara, kumpulan berbagai peraturan yang membentuk dan mengatur atau mengarahkan pemerintahan. Peraturan-peraturan ini sebagian bersifat legal, dalam arti bahwa pengadilan hukum mengakui dan menerapkan peraturan-peraturan tersebut, dan sebagian bersifat non-legal atau ekstra legal yang berupa kebiasaan, saling pengertian, adat atau konvensi yang tidak diakui oleh pengadilan sebagai hukum namun tidak kalah efektifnya dalam mengatur ketatanegaraan dibandingkan dengan apa yang secara baku disebut hukum (Wheare, 1996).
Dihampir semua Negara, sIstem ketatanegaraan berisi campuran dari peraturan legal dan non-legal ini, sehingga kita bisa menyebut kumpulan peraturan ini sebagai "Konstitusi". Peraturan-peraturan hukum itu mungkin juga terdapat dalam tata tertib dan peraturan yang dikeluarkan berdasarkan hak prerogratif, atau oleh pihak yang berwenang dalam hal perundang-undangan dan peraturan hukum itu terwujud dalam keputusan pengadilan, peraturan yang bersifat non-legal nampak dalam adat atau tradisi. Makna "Konstitusi" yang lebih luas merupakan makna yang lebih tua. Makna itulah yang Boling Broke maksudkan ketika dalam esainya One Parties, ia menulis: 'Yang kita maksud Konstitusi, jika kita ingin membicarakannya secara tepat dan pasti, adalah kumpulan hukum, istitusi dan adat kebiasaan yang berasal dari prinsip-prinsip nalar tertentu yang membentuk sIstem umum, yang dengan itu masyarakat setuju untuk diperintah' (Wheare, 1996).
Konstitusi modern dalam prakteknya disusun dan diterapkan karena rakyat ingin membuat permulaan yang baru, yang berkaitan dengan sistem pemerintahan mereka. Di banyak Negara konstitusi dianggap sebagai instrument yang digunakan untuk mengontrol pemerintahan. Konstitusi muncul dari keyakinan akan pemerintahan yang dibatasi (limited government). Tetapi masing-masing Negara berbeda dalam hal batasan-batasan apa yang hendak mereka tetapkan. Kadang-kadang konstitusi membatasi eksekutif atau lembaga-lembaga lokal dibawahnya, terkadang ia juga membatasi legislatif, tetapi hanya dalam kaitannya dengan amandemen terhadap konstitusi itu sendiri dan ada kalanya ia menetapkan batasan-batasan legislatif yang melampaui kewenangan ini dan melarangnya membuat hukum mengenai bidang-bidang tertentu atau menurut cara-cara tertentu atau dengan akibat-akibat tertentu. Tetapi, apapun sifat dan seberapa pun luasnya, pembatasan-pembatasan itu didasrkan atas keyakinan umum terhadap pemerintahan yang dibatasi dan terhadap penggunaan konstitusi untuk menetapkan pembatasan ini (Wheare, 1996).
Sifat pembatasan yang diperlakukan bagi pemerintahan, dan juga sejauh mana konstitusi berposisi lebih tinggi dari pemerintah, bergantung pada sasaran-sasaran yang hendak mereka lakukan tidak lebih dari sekedar meyakinkan bahwa konstitusi tidak dapat di ubah begitu saja atau secara sembarangan atau dengan alasan atau maksud tidak jelas, mereka ingin menegaskan bahwa dokumen penting ini tidak boleh diubah secara sembarangan, tetapi harus dengan sungguh-sungguh, dengan pembahasan dan pertimbangan yang matang dan dengan sadar (Wheare, 1996).
Pada abad ke-18, pengertian undang-undang dasar lebih diperluas, dengan memasukkan bermacam-macam peraturan negara (undang-undang, perjanjian, pengumuman, dan sebagainya), yang isinya dipandang penting untuk keadaan hukum dalam sesuatu negara. Kata "Undang-Undang Dasar" pada waktu itu mendapat pengertian yang tertentu, yakni perjanjian masyarakat yang tertulis dengan mana negara didirikan. Jadi Undang-Undang Dasar adalah undang-undang konstitusi yang mengkonstituir negara (Wheare, 1996).
2.2. Isi Konstitusi Modern
Konstitusi yang pada dasarnya tidak mempunyai watak konstitusional adalah ketetapan, yang dituangkan dalam Konstitusi Swiss (Pasal 25 his) pada 1893, yang melarang tukang daging melakukan penyembelihan binatang kecuali kalau binatang itu telah dipingsankan terlebih dahulu. Beberapa Konstitusi Modern berisi mengenai deklarasi tentang hak-hak rakyat, atau tentang tujuan-tujuan atau tentang tujuan pemerintah yang meski sedikit banyak terkait dengan studi tentang masalah konstitusi, tidak direduksi dan memang tidak dapat direduksi menjadi peraturan-peraturan hukum. Konstitusi yang ideal adalah bahwa ia mesti sesingkat mungkin dan yang singkat itu menjadi peraturan hukum. Yang perlu ditekankan adalah bahwa hak-hak tidak boleh dibatasi , kecuali berdasarkan undang-undang mereka berharap dihapuskan atau dikuranginnya pelaksanaan kekuasaan secara sewenang-wenang dalam negara. Wewenang yang absah harus ditegakkan untuk setiap pelanggaran hak. Dalam beberapa kasus , warga negara bisa menuntut di muka pengadilan hukum suatu tindakan eksekutif atau legislative dengan alasan bahwa tindakan itu melanggar hak-hak yang dijaminkan kepada mereka oleh Konstitusi. Tetapi ketika rumusan dalam Konstitusi sangat kabur dan bersyarat, dan ketika rumusan tersebut dipenuhi dengan muatan emosional atau politis, tugas yang dibebankan kepada para hakim tidak ubahnya tugas yang tidak dapat dijalankan oleh lembaga kehakiman tanpa terlibat dalam kontroversi (Wheare, 1996).
Di negara-negara yang eksekutifnya lebih berkuasa daripada konstitusi, dimana rakyat tidak bebas untuk mengorganisir diri mereka atau dimana mereka tidak punya pengetahuan dan kemampuan untuk membentuk opini publik, dimana rumusan konstitusi meskipun kadang-kadang kabur, tidak ditafsirkan oleh eksekutif tetapi oleh Pegadilan dan dimana opini public cukup berpengaruh dan terorganisir, maka deklarasi hak hanya akan menjadi isapan jempol belaka dinegara-negara yang eksekutifnya lebih berkuasa daripada konstitusi. Dengan demikian, konstitusi yang ideal sedikitnya harus tidak mengandung deklarasi hak, meskipun system hukum ideal harus mendefinisikan dan menjamin banyak hak. Hak tidak dapat dinyatakan dalam sebuah konstitusi kecuali dalam rumusan yang mutlak dan tak bersyarat, kecuali jika rumusan itu memang benar-benar tidak bermakna dan kita telah melihat banyak contoh mengenai hal ini (Wheare, 1996).
Konstitusi pada umumnya memiliki mukadimah. Tetapi meskipun suatu mukadimah benar dan tepat, perlu dicatat bahwa Konstitusi adalah pertama-tama, sebuah dokumen hukum. Ia dimaksudkan untuk menyatakan aturan-aturan hukum tertinggi. Karena itu, konstitusi harus membatasi pada pernyataan tentang hukum, buksn opini, aspirasi, petunjuk, dan kebijakan. Di samping itu, jika konstitusi ingin menyatakan aturan-aturan hukum dan jika khususnya aturan-aturan tersebut merupakan aturan hukum tertinggi, sehingga mengikat legislative, eksekutif, dan yudikatif dan ini merupakan maksud dari sebagian besar konstitusi. Sebagaimana kita telah ketahui maka aturan-aturan ini harus singkat, umum, dan mendasar. Pernyataan tentang aturan-aturan tersebut harus berhubungan dengan pokok masalah yang dijelaskan dan diatur dalam suatau aturan hukum. Akhirnya, bahasa yang digunakan meskipun bersifat umum dan luas, pada waktu yang sama harus menghindari bahasa yang rancu, emosional, dan tendensius. Dapat dikatakan bahwa konstitusi membangkitkan penghormatan, cinta, dan kepatuhan rakyat dalam suatu cara yang tidak dapat dilakukan oleh dokumen hukum(Wheare, 1996).
2.3. Kedudukan, Fungsi, dan Tujuan Konstitusi
Kedudukan Konstitusi
Kedudukan konstitusi dalam kehidupan ketatanegaraan pada suatu negara sangat penting karena menjadi ukuran kehidupan dalam bernegara dan berbangsa untuk mengetahui aturan-aturan pokok yang ditujukan baik kepada penyelenggara negara maupun masyarakat dalam ketatanegaraan. Kedudukan tersebut adalah sebagai berikut:
Sebagai hukum dasar
Dalam hal ini, konstitusi memuat aturanaturan pokok mengenai penyelengara negara, yaitu badan-badan/lembaga-lembaga pemerintahan dan memberikan kekuasaan serta prosedur penggunaan kekuasaan tersebut kepada badan-badan pemerintahan.
Sebagai hukum tertinggi
Dalam hal ini, konstitusi memiliki kedudukan yang lebih tinggi terhadap peraturan-peraturan yang lain dalam tata hukum pada suatu negara. Dengan demikian, aturan-aturan di bawah konstitusi tidak bertentangan dan harus sesuai dengan aturan-aturan yang terdapat pada konstitusi (Fathoni, 2014).
Tujuan Konstitusi
Tujuan-tujuan adanya konstitusi secara ringkas dapat diklasifikasikan menjadi tiga:
Konstitusi bertujuan untuk memberikan pembatasan sekaligus pengawasan terhadap kekuasaan politik
Konstitusi bertujuan untuk melepaskan kontrol kekuasaan dari penguasaan sendiri
Konstitusi bertujuan memberikan batasan-batasan ketetapan bagi para penguasa dalam menjalankan kekuasaannya (Fathoni, 2014).
Fungsi Konstitusi
Konstitusi memiliki fungsi yang berperan dalam suatu negara:
Konstitusi berfungsi membatasi kekuasaan pemerintah agar tidak terjadinya kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pemerintah agar hak-hak bagi warga negara terlindungi dan tersalurkan (konstitusionalisme)
Konstitusi berfungsi sebagai piagam kelahiran suatu negara (a birth certificate of new state)
Konstitusi berfungsi sebagai sumber hukum tertinggi
Konstitusi berfungsi sebagai alat yang membatasi kekuasaan
Konstitusi berfungsi sebagai identitas nasional dan lambang
Konstitusi berfungsi sebagai pelindung hak asasi manusia dan kebebasan warga suatu negara (Fathoni, 2014).
BAB III
PEMBAHASAN
Sejarah Perkembangan Konstitusi Modern
Konstitusi sudah lama dikenal sejak dari zaman Yunani sebagai suatu kerangka kehidupan politik yang memiliki beberapa kumpulan hukum. Tidak kurang dari 11 konstitusi pernah dimiliki oleh Kota Athena, Aristoteles sendiri berhasil mengoleksi 158 buah konstitusi dari beberapa negara. Pada masa itu, pemahaman tentang "konstitusi" hanyalah merupakan suatu kumpulan dari peraturan dan semata-mata hanya adat kebiasaan. Sejalan dengan perjalanan waktu, pada masa Kekaisaran Roma pengertian konstitusi (constitutionnes) telah banyak mengalami perubahan makna. Konstitusi adalah suatu kumpulan ketentuan serta peraturan peraturan yang dibuat oleh para kaisar, pernyataan pernyataan dan pendapat ahli hukum, negarawan, serta adat kebiasaan setempat selain Undang-Undang. Konstitusi Roma memiliki pengaruh yang cukup besar sampai pada Abad Pertengahan yang memberikan inspirasi bagi tumbuhnya paham nasionalisme dan demokrasi perwakilan. Kedua paham inilah yang merupakan cikal bakal munculnya paham konstitusionalisme modern, (Ubaedillah, 2015)
Selanjutnya, pada abad ke 7 (zaman klasik) lahirlah Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah. Piagam Madinah yang dibentuk pada awal masa klasik Islam (622 Masehi) merupakan aturan pokok tata kehidupan bersama di Madinah yang dihuni oleh bermacam golongan dan kelompok yaitu Kristen, Yahudi, Islam dan lainnya. Konstitusi Madinah berisikan tentang hak bebas berkeyakinan, kebebasan berpendapat, kewajiban di dalam hidup kemasyarakatan dan mengatur kepentingan umum dalam kehidupan sosial yang majemuk. Konstitusi Madinah ini merupakan satu bentuk konstitusi pertama di dunia yang telah memuat materi sebagaimana layaknya konstitusi modern dan telah mendahului konstitusi konstitusi lainnya di dalam meletakkan dasar pengakuan terhadap HAM (Hak Asasi Manusia). Secara keseluruhan Piagam Madinah mengandung 47 pasal. Nuansa persatuan sebagai sebuah komunitas majemuk yang berbeda satu dengan lainnya begitu kental pada Piagam Madinah. Pasal pertama, misalnya, yang berbunyi mengenai prinsip persatuan dengan pernyataan "innahum ummatan wahidatan min duuni al-naas" (sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, berbeda dari komunitas manusia yang lain). Makna umat di dalam pernyataan awal ini menunjukkan arti luas, tidak sebatas kelompok pengikut Nabi Muhammad yang berada di Madinah. Pada saat yang sama, pengertian umat pada piagam ini juga membedakan sifat solidaritas yang dibangun oleh Nabi Muhammad dari yang pernah ada sebelumnya, yaitu solidaritas yang didasarkan pada semangat kelompok yang sempit yang dikenal dengan sebutan kabilah (perkauman).
Menurut catatan Ahmad Sukardja, sebagaimana disarikan oleh Jimly Asshiddiqie, terdapat 13 kelompok masyarakat yang secara eksplisit terikat di dalam Piagam Madinah. Pada Pasal 44 ditegaskan bahwa "Mereka (para pendukung piagam) saling bahu-membahu di dalam menghadapi penyerang atas kota mereka yakni Yatsrib (Madinah)." Semangat saling membantu sebagai sebuah komunitas umat yang plural tampak terlihat pada bunyi Pasal 24 yang menjelaskan bahwa "kaum Yahudi memikul biaya bersama kaum mukminin selama di dalam peperangan." Ikatan persatuan ini semakin diperjelas dalam Pasal 25 yang menyatakan bahwa "kaum Yahudi dari Bani ' Awf adalah satu umat dengan kaum mukminin." Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum mukminin agama mereka. Kebebasan beragama ini juga berlaku bagi sekutu sekutu mereka dan diri mereka sendiri.
Hal yang menarik untuk dicermati di dalam konteks toleransi beragama di atas adalah perkataan "mereka" yang digunakan secara seragam baik bagi kelompok Yahudi maupun pengikut Nabi Muhammad SAW di Madinah. Prinsip kebersamaan di dalam perbedaan keyakinan ini dinyatakan lebih tegas dari rumusan Al-Quran yang terkenal tentang toleransi berkeyakinan yaitu "lakum diinukum walya dim" (bagimu agamamu dan juga bagiku agamaku) yang menggunakan subjek "aku" atau "kami" versus "kamu". Dalam Piagam Madinah digunakan kata "mereka", baik untuk orang Yahudi maupun orang Mukmin di dalam jarak yang sama. Sebuah semangat dan praktik toleransi yang sangat tinggi yang pernah dicontohkan Nabi Muhammad, selain menginklusifkan makna "umat" yang tidak sebatas pengikutnya semata. Semangat menjunjung hidup bersama di dalam kemajemukan yang tercermin dalam Piagam Madinah, yang menjadi penilaian ahli agama Robert N. Bellah di dalam mencontohkan bentuk pertama "negara bangsa modern" (modern nation state) pada masa Nabi Muhammad SAW.
Pada paruh kedua abad XVII, kaum bangsawan Inggris yang menang di dalam revolusi istana (The Glorious Revolution) telah mengakhiri absolutisme kekuasaan raja dan menggantikannya dengan sistem parlemen sebagai suatu pemegang kedaulatan. Akhir dari revolusi ini adalah deklarasi kemerdekaan 12 negara koloni Inggris pada tahun 1776, yang menetapkan konstitusi sebagai dasar negara yang berdaulat.
Pada 1789 meletus revolusi di Perancis, ditandai oleh ketegangan di masyarakat dan terganggunya stabilitas keamanan negara. Kekacauan sosial di Perancis ini yang memunculkan akan perlunya konstitusi. Maka, pada 14 September 1791 dicatat sebagai peristiwa diterimanya konstitusi Eropa pertama oleh Louis ke 16. Sejak peristiwa inilah sebagian besar negara-negara di dunia, baik monarki maupun republik, negara kesatuan maupun negara federal, yang sama sama mendasarkan prinsip ketatanegaraannya pada sandaran konstitusi. Di Perancis J. J. Rousseau dengan karyanya Du Contract Social, yang mengatakan bahwa manusia terlahir dalam keadaan bebas dan sederajat di dalam hak haknya, sedangkan hukum merupakan ekspresi dari kehendak umum (rakyat). Pandangan Rousseau ini sangat menjiwai hak hak dan kemerdekaan rakyat (De Declaratioan des Droit d I'Homme et Du Citoyen). Deklarasi inilah yang mengilhami pembentukan Konstitusi Perancis pada tahun 1791, khususnya yang menyangkut HAM (Hak Asasi Manusia). Setelah peristiwa ini, maka muncul kontitusi di dalam bentuk tertulis yang dipelopori oleh Amerika.
Konstitusi tertulis model Amerika tersebut kemudian diikuti oleh berbagai negara di Eropa, seperti Spanyol (1812), Norwegia (1814) dan Belanda (1815). Perlu dicatat bahwa konstitusi pada waktu itu belum menjadi hukum dasar yang penting. Konstitusi sebagai UUD sering kali disebut dengan "Konstitusi Modern" baru muncul bersamaan dengan perkembangan sistem demokrasi perwakilan. Demokrasi perwakilan muncul sebagai pemenuhan atas kebutuhan rakyat akan lembaga perwakilan (legislatif). Lembaga ini dibutuhkan sebagai pembuat UU untuk membatasi dan mengurangi dominasi para raja. Alasan inilah yang menempatkan konstitusi tertulis sebagai hukum dasar yang memiliki posisi lebih tinggi daripada raja.
3.2. Peranan Konstitusi Indonesia Sebagai Konstitusi Modern
Menurut K.C Wheare (1996) dalam bukunya yang berjudul Modern Constitutions, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan konstitusi modern ialah Konstitusi Tertulis, ia menganggap bahwa kata 'Konstitusi' menggambarkan hasil pemilahan aturan hukum yang lebih penting yang mengatur pemerintahan, yang termaktub dalam sebuah dokumen. Dalam pengertian ini, kebanyaan negara-negara di dunia mempunyai Kontitusi tertulis termasuk Indonesia.
Indonesia memiliki naskah yang di sebut dengan Konstutusi Modern yaitu Undang-Undang Dasar. Selain karena termasuk dalam konstitusi yang tertulis, Undang-Undang Dasar dibentuk dengan tujuan untuk membatasi kekuasaan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan oleh penguasa. Dalam UUD sendiri, pembagian kekuasaan dibagi menjadi:
Kekuasaan membuat peraturan perundangan (legislatif)
Kekuasaan melaksanakan peraturan perundangan (eksekutif)
Kekuasaan kehakiman (yudikatif).
Di dalamnya dimuat pula mengenai hubungan antar lembaga negara, menentukan pembatasan organ-organ negara, serta mengatur hubungan lembaga negara dengan warga negara.
Menurut K.C. Wheare, salah satu pengelompokan konstitusi dengan membedakan dalam proses mengamandemen, apabila diperlukan proses khusus dalam mengamandemen maka, termasuk dalam konstitusi yang kaku, sedangkan apabila tidak diperlukan proses khusus dalam mengamandemen maka, termasuk dalam konstitusi yang fleksible. Secara konseptual konstitusi Indonesia bisa dikategorikan sebagai konstitusi yang rigid, karena mekanisme atau prosedural kelembagaan untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945 adalah susah. Sulit dalam artian proses amandemen UUD 1945 secara eksplisit diatur dalam Pasal 37 UUD 1945 hasil amandemen tersebut dengan prasyarat yang banyak.
Konstitusi berpesan sebagai sebuah aturan dasar yang mengatur kehidupan dalam bernegara dan berbangsa maka sepatutnya konstitusi dibuat atas dasar kesepakatan bersama antara negara dan warga negara (MK, 2015), sebagaimana yang diutarakan oleh TIM KRHN (Komisi Revormasi Hukum Nasional) bahwa konstitusi sebenarnya tidak lain dari realisasi demokrasi dengan kesepakatan bahwa kebebasan penguasa ditentukan oleh warga masyarakat dan bukan sebalikanya. Oleh sebab itu, setiap pelanggaran atas konstitusi harus dipandang sebagai pelanggaran atas kontrak sosial.
Basis pokoknya adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang di ideal kan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu penting oleh warga masayarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara (Asshiddiqie, 2010).
K.C. Wheare (1996) menyebutkan bahwa pemerintahan yang konstitusional berarti lebih dari sekadar pemerintah menurut ketentuan-ketentuan konstitusi. Menutut aturan, ia berarti pemerintahan yang merupakan kebalikan dari pemerintahan yang sewenang-wenang, ia berarti pemerintah yang dibatasi oleh ketentuan-ketentuan konstitus, bukan pemerintahan yang hanya dibatasi oleh keinginan kemampuan orang-orang yang memegang kekuasaan. Tetapi sebelum mnyimpulkan bahwa suatu negara yang mempunyai konstitusi yang membatasi pemerintah, juga mempunyai pemerintah konstitusional, kita harus mengetahui bagaimana konstitusi dipraktekan, dan secara khusus mencermati apakah kebiasaan dan tradisi memperkuat atau memperlemah pembatasan konstitusi tersebut.
Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusioalisme dizaman modern (dalam Asshiddiqie, 2010) pada umumnya dipahami bersandar pada 3 elemen kesepakatan:
Kesepakatan tentang Tujuan atau Cita-Cita Bersama
Cita-cita bersama merupakan puncak abtraksi yang paling mungkin mencerminkan kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat dalam kenyataanya harus hidup di tenah pluralisme atau kemajemukan. Oleh karena itu, di suatu masyarakat untuk menjamin kebersamaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan perumusan tentang tujuan atau cita-cita bersama yang biasa disebut falsafah kenegaraan. Di Indonesia, dasar-dasar filosofis yang dimaksud itulah yang biasa di Sebut Pancasila, yang berarti lima sila untuk mewujudkan empat tujuan bernegara: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Kesepakatan tentang rule of the law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara.
Kesepakata ini sangat prinsipil, karena dalam setiap egara harus ada keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam konteks penyelenggaraan negara haruslah didasarkan rule of the law yang telah ditentukan. Dalam hal ini, hukum dapat dipandang sebagai suatu kesatuan sistem yang dipuncaknya terdapat pengertian mengenai hukum dasar yang tidak lain adalah konstitusi. Dari sinilah kita mengena adanya istilah constitutional state yang merupakan salah satu ciri penting di negara demokrasi modern. Oleh karena itu, kesepakatan tentang sistem aturan sangat penting, sehinga konstitusi sendiri dapat dijadikan perkara tertinggi dalam memutuskan segala sesuatu yang harus didasarkan atas hukum.
Kesepakatan tentang bentuk institusi dan prosedur ketatanegaraan
Dengan adanya kesepakatan tersebut, maka isi konstitusi dapat dengan mudah dirumuskan karena benar-benar mencerminkan keinginan bersama berkenaan dengan institusi kenegaraan dan mekanisme ketatanegaraan yang hendak dikembangkan dalam kehidupan negara berkonstitusi.
Keseluruhan kesepakatan tersebut, pada intinya menyangkut prinsip pengaturan dan pembatasan kekuasaan. Pada pokoknya prinsip konstitusionalisme modern sebenarnya menyangkut prinsip pembatasan kekuasaan atau lazim disebut sebagai prinsip limited government.
Implementasi Konstitusi Modern Di Indonesia Sebagai Konstitusi Visioner
Pengertian konstitusi di Indonesia secara sempit diartikan sebagai konstitusi yang berbentuk Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Konstitusi Indonesia tersebut disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Kehidupan ketatanegaraan di Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan sampai dengan sekarang telah mengalami beberapa periode yang didasarkan atas berlakunya UUD. Terbukti dalam kurun waktu tahun 1999-2002, UUD 1945 mengalami empat kali perubahan atau amandemen. Periode perubahan tersebut antara lain:
Periode 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949
(Penetapan Undang-Undang Dasar 1945)
Saat Republik Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, Republik yang baru ini belum mempunyai undang-undang dasar. Sehari kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 Rancangan Undang-Undang disahkan oleh PPKI sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia setelah mengalami beberapa proses.
Periode 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950
(Penetapan konstitusi Republik Indonesia Serikat)
Perjalanan negara baru Republik Indonesia ternyata tidak luput dari rongrongan pihak Belanda yang menginginkan untuk kembali berkuasa di Indonesia. Akibatnya Belanda mencoba untuk mendirikan negara-negara seperti negara Sumatera Timur, negara Indonesia Timur, negara Jawa Timur, dan sebagainya. Sejalan dengan usaha Belanda tersebut maka terjadilah agresi Belanda 1 pada tahun 1947 dan agresi 2 pada tahun 1948. Dan ini mengakibatkan diadakannya KMB yang melahirkan negara Republik Indonesia Serikat. Sehingga UUD yang seharusnya berlaku untuk seluruh negara Indonesia itu, hanya berlaku untuk negara Republik Indonesia Serikat saja.
Periode 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959
(Penetapan Undang-Undang Dasar Sementara 1950)
Periode federal dari Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat 1949 merupakan perubahan sementara, karena sesungguhnya bangsa Indonesia sejak 17 Agustus 1945 menghendaki sifat kesatuan, maka negara Republik Indonesia Serikat tidak bertahan lama karena terjadinya penggabungan dengan Republik Indonesia. Hal ini mengakibatkan wibawa dari pemerintah Republik Indonesia Serikat menjadi berkurang, akhirnya dicapailah kata sepakat untuk mendirikan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bagi negara kesatuan yang akan didirikan jelas perlu adanya suatu undang-undang dasar yang baru dan untuk itu dibentuklah suatu panitia bersama yang menyusun suatu rancangan undang-undang dasar yang kemudian disahkan pada tanggal 12 Agustus 1950 oleh badan pekerja komite nasional pusat dan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan senat Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 Agustus 1950 dan berlakulah undang-undang dasar baru itu pada tanggal 17 Agustus 1950.
Periode 5 Juli 1959 – sekarang
(Penetapan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945)
Dengan dekrit Presiden 5 Juli 1959 berlakulah kembali Undang-Undang Dasar 1945. Dan perubahan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Orde Lama pada masa 1959-1965 menjadi Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Orde Baru. Perubahan itu dilakukan karena Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Orde Lama dianggap kurang mencerminkan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen (MK, 2015).
Adanya konstitusi dalam kehidupan ketatanegaraan suatu negara merupakan suatu hal yang sangat penting, karena tanpa konstitusi bisa jadi tidak akan terbentuk sebuah negara yang maju. Konstitusi bagi negara Indonesia berfungsi sebagai pembatas kekuasaan negara, landasan penyelenggaraan negara, dan memberi suatu rangka dan dasar hukum untuk perubahan masyarakat agar menjadi lebih baik untuk ke depannya.
Konstitusi mempunyai posisi yang sangat penting dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Hal ini dikarenakan konstitusi menjadi ukuran bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, serta merupakan ide-ide dasar yang digariskan penguasa negara untuk mengemudikan tatanan negara. Konstitusi menggambarkan struktur negara dan sistem kerja yang ada di antara lembaga-lembaga negara. Konstitusi juga menjelaskan kekuasaan dan kewajiban pemerintah sekaligus membatasi kekuasaan tersebut agar tidak terjadi kesewenang-wenangan.
Konstitusi di Indonesia dewasa ini dirancang dengan mengedepankan struktur konstitusi yang progrsif serta visioner. Artinya konstitusi bukan hanya dijadikan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan benegara untuk saat ini, melainkan menilai jauh ke arah keberlangsungan negara di masa mendatang. Salah satu implementasi konstitusi Indonesia yang visioner adalah pada amandemen Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
Dalam pasal tersebut sebelumnya menyebutkan "Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat". Kemudian diamandemen menjadi "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya menurut Undang-Undang Dasar". Perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 ini merupakan tanda bahwa negara Indonesia menjadikan hukum sebagai panglima, karena penyelenggaraan kekuasaan negara haruslah didasarkan atas hukum (UUD), tidak lagi dipegang penuh oleh MPR. Membuktikan pula bahwa bagi negara rakyat benar-benar dijunjung sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara dengan tidak lagi diwakilkannya kedaulatan rakyat melalui lembaga pemerintahan.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
4.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Fathoni. (2014). Konstitusi: Pengertian, Jenis, Tujuan & Fungsi. Diakses dari: http://www.zonasiswa.com/2014/07/pengertian-konstitusi-lengkap.html
Asshiddiqie, J. (2010). Konstitusi dan Konstitusi Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika
Mahkamah Konstitusi. (2015). Sejarah Dan Perkembangan Konstitusi Di Indonesia. [online]. Tersedia; http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=11776#.WRBljfmGPIU. [8 Mei 2017]
Wheare, K.C. (1996). Konstitusi Konstitusi Modern (Modern Constitution). Bandung: Nusamedia