[Type text]
MODUL ASESMEN DAN RENCANA TERAPI T ERAPI GANGGUAN PENGGUNAAN NARKOTIKA Edisi Revisi 2014
DIREKTORAT BINA KESEHATAN JIWA KEMENTERIAN KESEHATAN RI
1
[Type text]
TIM PENYUSUN
1. dr. Diah Setia Utami, Sp. KJ, MARS 2. Dra. Riza Sarasvita, MSi, MHS, PhD 3. dr. Satya Joewana, Sp. KJ 4. dr. Sandy Noveria, MKK 5. dr. Rahmi Handayani, Sp. KJ, MARS 6. dr. Prasetiyawan, Sp. KJ 7. dr. K. Siste, Sp. KJ 8. dr. Linna Juniar 9. dr. Herbet Sidabutar, Sp. KJ 10. 10. dr. Lucia Maya Savitri 11. 11. dr. Budi Raharjo. M. Epid 12. 12. dr. Lusy Levina 13. 13. dr. Edih Ed ih Suryono
2
[Type text]
TIM PENYUSUN
1. dr. Diah Setia Utami, Sp. KJ, MARS 2. Dra. Riza Sarasvita, MSi, MHS, PhD 3. dr. Satya Joewana, Sp. KJ 4. dr. Sandy Noveria, MKK 5. dr. Rahmi Handayani, Sp. KJ, MARS 6. dr. Prasetiyawan, Sp. KJ 7. dr. K. Siste, Sp. KJ 8. dr. Linna Juniar 9. dr. Herbet Sidabutar, Sp. KJ 10. 10. dr. Lucia Maya Savitri 11. 11. dr. Budi Raharjo. M. Epid 12. 12. dr. Lusy Levina 13. 13. dr. Edih Ed ih Suryono
2
[Type text]
MATERI DASAR 1 PERKEMBANGAN MASALAH GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA DAN KEBIJAKAN KEBIJA KAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA
I. DESKRIPSI SINGKAT
Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, dan bahan berbahaya lainnya merupakan suatu kajian yang menjadi masalah dalam lingkup nasional maupun secara internasional. Pada kenyataanya, kejahatan narkotika memang telah menjadi sebuah kejahatan transnasional yang dilakukan oleh kelompok kejahatan terorganisir (organized crime). Masalah ini melibatkan sebuah sistem kompleks yang berpengaruh secara global dan akan berkaitan erat dengan Ketahanan Nasional sebuah bangsa.Masalah gangguan penggunaan narkotika berkembang mengikuti trend, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah ketersediaan zat, kebutuhan masyarakat dan faktor penegakan hukum. New Psychoactive Substances (NPS) menjadi salah satu perhatian dunia karena maraknya peredaran dan kurangnya penelitian dan pemahaman terkait efek sampingnya. Pada tahun 1998, sesi khusus pada pertemuan sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bersepakat untuk bekerjasama dalam “memberantas atau mengurangi dengan signifikan” produksi narkotika illegal dan penyalahgunaannya pada tahun 2019. Hal ini tentu bukanlah target yang mudah dicapai. UNODC mencatat bahwa sebagian negaranegara di dunia ada yang telah mampu mengontrol situasi masalah narkotikanya dalam kurun waktu yang relatif singkat, namun sebagian besar justru tidak atau belum mampu mengontrol situasi tersebut. Perkembangan legislasi dan kebijakan terkait masalah Napza di Indonesia dalam upaya penanggulangan masalah gangguan Napza belakangan ini mengarah pada upaya untuk mendekriminalisasi pecandu Narkotika, dimana pecandu Narkotika diharapkan tidak lagi menjalani pemenjaraan, melainkan menjalani terapi dan rehabilitasi, baik medis, psikologis maupun sosial. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Narkotika No. 35/2009. Perubahan tersebut didasari oleh fakta bahwa kondisi kesehatan mereka yang mengalami ketergantungan NAPZA pada umumnya mengalami penurunan secara signifikan. Semangat untuk mempersepsikan pecandu dari sudut pandang penyakit tentu sejalan dengan pasal 4 Undang-Undang Kesehatan No. 36/2009, yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kesehatan”.
3
[Type text]
Undang-Undang Narkotika No. 35/2009 mengamanahkan dilakukannya proses wajib lapor pecandu narkotika ke Puskesmas, Rumah Sakit dan/atau lembaga rehabiltasi medis dan lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapat pengobatan dan perawatan. Untuk mendukung pelaksanaan wajib lapor ini disusunlah Peraturan Pemerintah tentang Wajib Lapor Pecandu Narkotika dan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Rehabilitasi Medis Pecandu, Penyalahguna dan Korban Penyalahgunaan Narkotika.Pelaksanaan proses wajib lapor ini memerlukan koordinasi antara instansiinstansi yang terkait dan dukungan dari masyarakat sehingga dapat mencapai hasil yang optimal II. TUJUAN PEMBELAJARAN
A. Tujuan pembelajaran umum: Pada akhir sesi, peserta mampu : Memahami perkembangan masalah gangguan penggunaan Napza dan kebijakan wajib laporpecandu narkotika di Indonesia B.
Tujuan pembelajaran khusus: Pada akhir sesi ini, peserta mampu: 1. Menjelaskan perkembangan masalah gangguan penggunaan Napza di kawasan global 2. Menjelaskan perkembangan masalah gangguan penguunaan Napza di kawasan regional. 3. Menjelaskan perkembangan masalah gangguan penggunaan Napza di kawasan nasional 4. Menjelaskan kebijakan wajib lapor pada UU Narkotika 5. Menjelaskan teknis wajib lapor 6. Menjelaskan Permenkes rehabilitasi medis 7. Menjelaskan kode etik 8. Menjelaskan peran dan fungsi petugas penerima wajib lapor
III. POKOK BAHASAN
Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan berikut: Pokok Bahasan 1. Epidemiologi dan perkembangan penggunaan narkotika dikawasan global
4
[Type text]
Pokok Bahasan 2. Pokok Bahasan 3. Pokok Bahasan 4. Pokok Bahasan 5. Pokok Bahasan 6. Pokok Bahasan 7. Pokok Bahasan 8.
Epidemiologi dan perkembangan penggunaan narkotika dikawasan regional Epidemiologi dan perkembangan penggunaan narkotika dikawasan nasional Kebijakan wajib lapor UU Narkotika Peraturan Pemerintah tentang Wajib Lapor Pecandu Narkotika Peraturan Menteri Kesehatan tentang Rehabilitasi Medis Pecandu Narkotika Kode etik dan medikolegal Peran dan Fungsi Petugas Penerima Wajib lapor
IV. URAIAN MATERI POKOK BAHASAN 1 : Epidemiologi dan perkembangan penggunaan narkotika dikawasan global
Berbicara masalah epidemi gangguan penggunaan narkotika tidak dapat terlepas dari masalah produksi dan peredarannya. Sejarah terkini mencatat bahwa hampir 74% konsumsi heroin di seluruh dunia disumbangkan oleh produksi opium yang berasal dari daerah Bulan Sabit Emas (Golden Crescent), terutama Afghanistan. Peringkat kedua adalah produksi opium dari daerah Segitiga Emas (Golden Triangle), yaitu Laos, Myanmar dan Thailand. Sementara itu negara pemasok kokain terutama berasal dari Amerika Latin, seperti Columbia dan Meksiko. UNODC pada tahun 2013 mencatat bahwa dari segi produksi : - Area pertanian tanaman opium global meningkat 15 % di tahun 2012 karena peningkatan di Afganistan dan Myanmar, namun produksi opium global mengalami penurunan sekitar 30% ( sekitar 5000 ton) - Area penanaman koka secara global di tahun 2011 juga mengalami penurunan sekitar 14% dari tahun 2007. Sukses atas pengendalian produksi opium (dan heroin) serta kokain tersebut harus dilihat pada konteks tantangan yang bersifat jangka panjang. Dalam 10 tahun belakangan ini peningkatan produksi narkotika justru mencolok pada ganja dan amphetamine-type stimulants (ATS) seperti shabu dan ecstasy. Masalahnya, pencatatan atas produksi zat-zat ini amatlah kompleks karena pada umumnya produksi dilakukan di dalam negeri negaranegara yang bersangkutan. Misalnya, produksi ganja di Aceh pada umumnya dikonsumsi 5
[Type text]
oleh masyarakat Indonesia sendiri. Kontrol atas peredarannya amat sangat bergantung pada upaya yang dilakukan oleh negara-negara tersebut. Peredaran gelap narkotika yang bersifat jarak jauh ( long-distance trafficking ) umumnya menyangkut zat jenis kokain dan heroin. Dalam skala yang jauh lebih kecil, termasuk pula resin ganja dan ecstasy. Penyitaan atas penyelundupan kokain secara global menunjukkan upaya yang relatif stabil. Penyitaan yang dilakukan pada wilayah Amerika Utara dan Eropa menunjukkan penurunan, namun penyitaan yang dilakukan di Amerika Selatan dan Amerika Tengah menunjukkan peningkatan. Peredaran melalui Afrika Barat yang meningkat diantara tahun 2004 – 2007 menunjukkan penurunan pada tahun 2008 – 2009, namun hal ini selalu patut dimonitor karena tren peredaran selalu menunjukkan perubahan dan selalu ada upaya untuk membuat jalur-jalur baru. Penyitaan atas peredaran produk-produk opium mengalami peningkatan, terutama pada negara-negara tetangga Afghanistan, yaitu Pakistan dan Republik Iran. Sementara itu melacak peredaran ATS menjadi lebih kompleks karena sifat produksinya yang umumnya bersifat lokal. Namun demikian dari laporan negara-negara anggota PBB, tercatat adanya penyitaan ATS yang sangat tinggi sejak tahun 2006. Penyitaan atas daun ganja secara global meningkat pada periode 2006 – 2008, terutama di Amerika Selatan. Penyitaan resin ganja yang meningkat pada 2008 terutama tercatat di regional Timur Tengah, dan juga Eropa dan Afrika.
Zat psikoatif baru (NPS) saat ini juga menarik perhatian dunia. NPS didefinisikan sebagai senyawa bentuk tunggal atau sediaan berupa campuran yang marak disalahgunakan dan belum diatur dalam Konvensi Internasional, tetapi memiliki efek yang sama dengan obat yang diatur. NPS mengalami peningkatan, yang sebelumnya sebanyak 166 di tahun 2009 menjadi 251 di pertengahan tahun 2012. Jenis – Jenis NPS : Sintetik
6
[Type text]
Cannabinoid (23%), Penethylamine(23%), Sintetik Katinon (18%) Trypthamine (10%), Plant-based substances(8 %), Piperazine (5% ). UNODC memperkirakan antara 167 juta hingga 315 juta orang di dunia dunia yang berusia 15 – 64 tahun di dunia pernah menggunakan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya setidaknya sekali di tahun 2011. Sebagian dari populasi pengguna ini sekitar 10 – 13% diantaranya mengalami masalah medis, psikologis dan sosial. Sayangnya, hanya sekitar 12 – 30% dari jumlah ini yang pernah menerima terapi dan rehabilitasi. Pada pengguna Napza suntik, estimasi yang menderita HIV sebesar 11,5%, Hepatitis C sebesar 51% dan Hepatitis B sebesar 8,4 % .Secara global, narkotika jenis ganja adalah yang paling banyak disalahgunakan, dimana sekitar 129 hingga 190 juta orang menggunakannya. Ranking kedua adalah jenis zat amfetamin, kemudian diikuti oleh kokain dan opiat (mis. heroin). Persoalan pada banyak negara, terutama di negara berkembang adalah kurang tersedianya data-data yang akurat terkait dengan penggunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya. Oleh karenanya data secara internasional (global) lebih sering bersifat estimasi, karena minimnya data yang dapat dijadikan patokan untuk melihat besaran masalah yang diakibatkan gangguan penggunaan NAPZA. Salah satu sumber data yang dapat diandalkan adalah data yang berasal dari fasilitas layanan terapi dan rehabilitasi. Sekalipun mungkin tidak menggambarkan besaran masalah yang ada, tetapi dapat menunjukkan kecenderungan persoalan penyalahgunaan narkotika yang terjadi pada suatu negara.
7
[Type text]
POKOK BAHASAN 2 : Epidemiologi dan perkembangan penggunaan narkotika dikawasan regional
Penanggulangan dan pemberantasan bahaya NAPZA bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Banyak negara yang cukup kesulitan bahkan nyaris kewalahan dalam menangani tindak kejahatan narkotika ini. Dalam lingkup Asia Tenggara sendiri, negaranegara yang tergabung dalam ASEAN telah menunjukkan sikap yang sama dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, dengan merumuskan kesepakatan untuk mempercepat menjadikan Asean bebas narkoba. Untuk mencapai hal tersebut, oleh ACCORD ( Asean and China Cooperative Operations in Response to Dangerous Drugs ), telah disusun empat pilar sebagai pokok kegiatan sebagai berikut : 1. Secara proaktif membangkitkan kesadaran dan mendorong peran masyarakat dalam menangkal penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. 2. Membangun kesepakatan bersama dan bertukar pengalaman terbaik dalam upaya pencegahan. 3. Mempertegas penegakan hukum dan peraturan melalui kerjasama yang lebih baik dalam pengawasan dan peningkatan kerjasama aparat penegak hukum, serta peninjauan pembuatan undang-undangyang berlaku. 4. Menghapus persediaan narkotika gelap dengan mendorong program-program pengembangan alternatif dalam membasmi penanaman gelap narkotika. Sejak awal tahun 2000, penggunaan zat jenis amfetamin (ATS) marak di berbagai negara di Asia Tenggara, yaitu pada negara-negara Cambodia, China, Indonesia, Laos, 8
[Type text]
Myanmar, Filipina dan Thailand. Produksi ATS umumnya dilakukan di dalam negeri, seperti yang tercatat di China, Myanmar dan Indonesia. Penyitaan beberapa pabrik ATS rumahan dengan kapasitas produksi hingga ribuan kilogram setiap bulannya menunjukkan tingginya kebutuhan yang juga mencerminkan tingginya potensi penyalahgunaan. Salah satu zat yang digunakan untuk memproduksi metamfetamin adalah efedrin, yang banyak diselundupkan dari China dan India. Sementara itu penggunaan zat jenis opiat, khususnya heroin, tetap memiliki pangsa pasar yang tetap di wilayah ini. Pengguna NAPZA suntik masih menyumbang angka penularan HIV yang cukup tinggi pada banyak negara di Asia. Walaupun demikian, jenis zat yang paling banyak disalahgunakan di wilayah Asia Tenggara adalah ganja. POKOK BAHASAN 3 : Epidemiologi dan perkembangan penggunaan narkotika di kawasan nasional
Letak geografis negara Republik Indonesia sebagaimana tergambar di dalam peta dunia terbentang di antara dua benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia serta dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik yang keduanya memiliki posisi silang yang sangat strategis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Indonesia mempunyai kedudukan penting ditengah-tengah lalu lintas dunia international. Namun demikian, permasalahan letak dan kedudukan ini selain memberikan dampak positif, pada kenyataanya dapat pula memberikan dampak negatif. Peredaran gelap narkotika dan obatobatan terlarang lainnya adalah salah satu bentuk dampak negatif dari keberadaan Indonesia pada posisi geografisnya. Kontrol atas masuknya berbagai jenis NAPZA ke Indonesia menjadi lebih sulit. Pengaruh sosial budaya juga sulit dibendung mengingat tamu asing dapat masuk dari berbagai belahan nusantara ini. Penyalahgunaan dan peredaran gelap NAPZA merupakan suatu keprihatinan global. Kejahatan narkotika telah menjadi sebuah kejahatan transnasional yang dilakukan oleh kelompok kejahatan terorganisir (organized crime). Masalah ini melibatkan sebuah sistem kompleks yang berpengaruh secara global dan akan berkaitan erat dengan ketahanan nasional sebuah bangsa. Hal ini karena kecenderungan peningkatan penyalahgunaan NAPZA pada kelompok usia produktif. Di Indonesia sendiri, masalah penyalahgunaan NAPZA tidak pernah mereda, sekalipun jenis zat yang digunakan menunjukkan perbedaan dari waktu ke waktu. Secara resmi pemerintah awalnya mencatat masalah penyalahgunaan NAPZA dari laporan yang diberikan oleh Kementerian Kesehatan, khususnya Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) dan berbagai panti rehabilitasi sosial yang berada dalam tanggungjawab Kementerian Sosial. Pada tahun 70an jenis zat yang marak disalahgunakan dan menggiring 9
[Type text]
penggunanya mencari pertolongan medis, adalah zat morfin / heroin. Tahun 80an berubah menjadi barbiturat yang kemudia diikuti oleh golongan benzodiazepin. Penggunaan kedua jenis zat tersebut biasanya dikombinasi dengan penggunaan alkohol. Sempat terjadi trend penggunaan obat-obat yang mengandung Ephedrin sebagai obat asma, walaupun hal ini hanya berlangsung singkat. Tahun 90an menjadi awal dari penggunaan ekstasi yang kemudian diikuti oleh masuknya heroin. Penggunaan heroin dengan cara suntik memicu cepatnya penularan HIV di Indonesia, dimana prevalensi HIV di kalangan pengguna NAPZA suntik berkisar 50%. Sekitar tahun 1998 mulai marak penggunaan metamfetamin (shabu). Sejak tahun 2002 penyalahgunaan heroin tidak menunjukkan peningkatan pengguna baru yang berarti, namun penggunaan zat jenis amfetamin, baik ekstasi maupun metamfetamin (shabu) justru semakin meningkat. Saat ini shabu dan ektasi menjadi zat nomor 2 yang terbanyak disalahgunakan setelah ganja. Diluar zat-zat tersebut diatas, penyalahgunaan ganja sudah dilakukan semenjak tahun 1960an hingga saat ini. Data tentang penggunaan kokain dan ketamin sangat sedikit. Pada pertengahan tahun 2000 sampai sekarang tercatat adanya penyalahgunaan Buprenorfin, alprazolam, DMP, trihexyphenidyl, krokodil, YABA, katinona dan metkatinona. Indonesia sendiri adalah produsen ganja sejak awal abad ke 20 dan ganja yang berasal dari Aceh adalah salah satu dari yang berkualitas baik di dunia. Sediaan heroin berasal dari segitiga emas dan tidak berasal dari dalam negeri. Sementara konsumsi metamfetamin sejak tahun 2000 tampaknya dipenuhi oleh produksi dalam negeri, terbukti dari laporan penyitaan dan penggerebekan laboratorium-laboratorium klandestin di Indonesia memproduksi metamfetamin dalam jumlah yang besar.
10
[Type text]
Survei yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia pada tahun 2011 menunjukkan bahwa estimasi penyalahguna NAPZA adalah sebesar 3.7 juta hingga 4.7 juta orang, atau sekitar 2,2% dari total seluruh penduduk Indonesia berusia 10-59 tahun di tahun 2011. Dari sejumlah penyalahguna tersebut, terdistribusi atas 27% coba pakai, 45% teratur pakai,27% pecandu bukan suntik, dan 2% pecandu suntik. Penelitian juga menunjukkan bahwa jenis zat utama yang disalahgunakan di seluruh Indonesia adalah ganja, diikuti dengan penggunaan amfetamin, benzodiazepin dan heroin . Penyalahguna Narkoba kebanyakan berada pada kelompok umur 20 – 29 tahun. Penyalahgunaan narkoba pada kelompok pekerja (70%) lebih tinggi dibandingkan kelompok pelajar/mahasiswa (22%). Menurut jenis kelamin, laki-laki (88%) jauh lebih besar dari perempuan (12%). Data BNN tahun 2012 menyatakan jumlah pecandu yang mendapatkan terapi dan rehabilitasi sebanyak 14.510 orang. Sedangkan hasil proyeksi menunjukan kerugian biaya ekonomi akibat penyalahgunaan narkoba meningkat dari Rp.32,4 trilyun di tahun 2008 menjadi Rp.57,0 trilyun di tahun 2013. Berbagai upaya baik berupa pencegahan, pemberantasan maupun penanggulangan permasalahan peredaran gelap Narkotika dan obat-obatan terlarang lainnya telah dilakukan oleh segenap elemen bangsa ini. Sebut saja upaya pembaharuan undang-undang 11
[Type text]
tentang Narkotika dari UU Nomor 22 tahun 1997 menjadi UU Nomor 35 tahun 2009. Undang-undang terbaru itu diyakini dapat memberikan efek jera yang diiringi harapan semakin berkurangnya jumlah penyalahgunaan Narkotika dan obat-obatan terlarang lainnya di Indonesia.
Pokok Bahasan 1. KEBIJAKAN WAJIB LAPOR UNDANG-UNDANG NARKOTIKA NO. 35 TAHUN 2009
Upaya penanggulangan masalah gangguan penggunaan Napza dilakukan secara komprehensif melalui 3 pilar yaitu supply reduction , demand reduction dan harm reduction. Salah satu upaya pengurangan permintaan adalah terapi dan rehabilitasi. Dari data yang tersebut di atas menunjukkan masih rendahnya jumlah pecandu yang mencari pertiolongan medis. Faktor penyebab rendahnya pencarian pertolongan medis antara lain adalah terkait kultur, adanya stigma dan diskriminasi yang dihadapi oleh para pecandu Narkotika. Pandangan masyarakat bahwa perilaku ketergantungan Narkotika adalah amoral, membentuk anggapan bahwa untuk dapat pulih yang diperlukan adalah hanya dengan meningkatkan iman dan taqwa para pecandu. Kriminalisasi atas penggunaan Narkotika juga semakin mempertegas pandangan ini, sehingga di mata masyarakat, para pecandu perlu ‘dihindari’ dan ‘disingkirkan’. Pandangan serupa tidak saja dimiliki oleh masyarakat, melainkan juga para petugas kesehatan. Pemahaman bahwa adiksi Napza adalah suatu penyakit otak belum sepenuhnya dipahami dan diterima oleh petugas kesehatan. Akibatnya, sikap yang terbentuk dalam menghadapi pasien pecandu cenderung negatif. Stigma dan diskriminasi sudah barang tentu menghambat pecandu Narkotika untuk mencari pertolongan. Hal lain yang berperan dalam perilaku mencari perawatan medis adalah minimnya ketersediaan dana untuk mengakses layanan kesehatan. Kita semua tentu memahami bahwa pola penggunaan Narkotika yang kronis secara perlahan akan menurunkan sumber daya seseorang, termasuk sumber daya finansial. Banyak dari mereka tidak lagi memiliki kemampuan untuk mengakses layanan kesehatan. Terlebih jaminan kesehatan masyarakat tidak selalu mudah diakses. Semua kondisi di atas ini berkontribusi atas rendahnya perilaku mencari perawatan kesehatan pada para pecandu Narkotika. Melihat rendahnya persentase cakupan pecandu Narkotika yang mengakses layanan kesehatan dan mengingat perubahan perilaku tidak dapat mudah dilakukan pada Lapas/Rutan, maka dirasakan perlu untuk mendorong para pecandu Narkotika untuk lebih 12
[Type text]
mengakses layanan Terapi Rehabilitasi. Salah satu caranya adalah dengan mewajibkan mereka untuk melaporkan diri guna memperoleh layanan terapi rehabilitasi Gangguan penggunaan Napza. Pecandu Narkotika atau keluarga dari pecandu yang masih di bawah umur diharapkan melaporkan diri pada fasilitas kesehatan sehingga dapat dilakukan proses asesmen dan penyusunan rencana terapi untuk perubahan perilaku yang signifikan.
Kebijakan Wajib lapor tertuang dalam pasal 55 Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, yang berbunyi sebagai berikut :
(1) Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan atau perawatan melalui rehablitasi medis dan rehabilitasi sosial (2) Pecandu Narkotika yang sudah culup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh kelurganya kepada kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan atau perawatan melalui rehablitasi medis dan rehabilitasi sosial Sekalipun terkesan menjadi “kewajiban”, namun filosofi dari wajib lapor ini adalah untuk meningkatkan cakupan intervensi medis dan sosial bagi para pecandu dan untuk mengidentifikasi masalah sedini mungkin. Program ini juga mempertimbangkan hak azasi pecandu Narkotika, sehingga proses wajib lapor juga tetap mempertahankan azas konfidensialitas dan memperlakukan pecandu Narkotika sebagai klien / pasien yang sungguh-sungguh membutuhkan terapi terkait perilaku ketergantungan Narkotikanya. Program wajib lapor mau tidak mau juga mendesak fasilitas kesehatan / lembaga rehabilitasi sosial untuk siap dalam melayani pecandu Narkotika. Keengganan petugas kesehatan/sosial dalam melakukan penatalaksanaan Gangguan penggunaan Napza dapat diminimalisasi, sebab melakukan penolakan untuk merawat dapat dianggap sebagai pelanggaran Undang-undang. Diharapkan program wajib lapor dapat meminimalisasi stigma / diskriminasi yang selama ini dialami pecandu Narkotika. Melalui program wajib lapor, pecandu Narkotika diharapkan setidaknya memperoleh konseling dasar terkait perilaku ketergantungan Narkotikanya, memperoleh 13
[Type text]
informasi yang diperlukan untuk meminimalisasi risiko yang dihadapinya dan memperoleh rujukan untuk perawatan lanjutan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan yang bersangkutan. Dengan demikian program wajib lapor diharapkan dapat berperan serta dalam penanggulangan dampak buruk yang seringkali dialami pecandu Narkotika.. Manfaat wajib lapor diharapkan tidak saja dirasakan oleh para pecandu Narkotika, melainkan juga bagi masyarakat secara umum dan pemerintah secara khusus. Program wajib lapor pecandu Narkotika untuk kepentingan rehabilitasi medis dan sosial dapat mendukung agenda pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) yang ke 6, yaitu pengendalian HIV/AIDS, Malaria, dan TB.
Pokok Bahasan 2. PERATURAN PEMERINTAH TENTANG WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA A. Definisi
Wajib Lapor adalah kegiatan melaporkan diri yang dilakukan oleh Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur atau keluarganya, dan/atau orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur kepada Institusi Penerima Wajib Lapor untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
B. Tujuan
Pengaturan Wajib Lapor Pecandu Narkotika bertujuan untuk: a. memenuhi hak Pecandu Narkotika dalam mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial; b. mengikutsertakan orang tua, wali, keluarga, dan masyarakat dalam meningkatkan tanggung jawab terhadap Pecandu Narkotika yang ada di bawah pengawasan dan bimbingannya; dan
14
[Type text]
c.
C.
memberikan bahan informasi bagi Pemerintah dalam menetapkan kebijakan di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika.
Penyelenggaraan Wajib Lapor
Wajib Lapor Pecandu Narkotika dilakukan di Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL). IPWL adalah pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medisserta lembaga rehabilitasi sosial yang ditetapkan oleh Pemerintah IPWL harus memenuhi persyaratan: 1. ketenagaan yang memiliki keahlian dan kewenangan di bidang ketergantungan Narkotika. Tenaga tersebut sekurang-kurangnya memiliki : - pengetahuan dasar ketergantungan narkotika; - keterampilan melakukan asesmen ketergantungan narkotika; - keterampilan melakukan konseling dasar ketergantungan narkotika; dan - pengetahuan penatalaksanaan terapi rehabilitasi berdasarkan jenis narkotika yang digunakan. 2.
sarana yang sesuai dengan standar rehabilitasi medis atau standar rehabilitasi sosial yang masing-masing ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan dan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.
IPWL wajib melakukan asesmen yang meliputi aspek medis dan aspek sosial terhadap Pecandu Narkotika untuk mengetahui kondisi Pecandu Narkotika. Asesmen dilakukan dengan cara : 1. Wawancara meliputi riwayat kesehatan, riwayat penggunaan narkotika, riwayat pengobatan dan perawatan, riwayat keterlibatan pada tindak kriminalitas, riwayat psikiatris,serta riwayat keluarga dan sosialPecandu Narkotika. 2. Observasi meliputi observasi atas perilaku Pecandu Narkotika baik verbal maupun non verbal 3. Pemeriksaan fisik dan psikis terhadap Pecandu Narkotika
15
[Type text]
Hasil asesmen tersebut dicatat padarekam medis yang bersifat rahasia dan merupakan dasar dalam rencana rehabilitasi terhadap Pecandu Narkotika yang bersangkutan. Kerahasiaan hasil asesmen dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Selanjutnya Rencana rehabilitasi yang telah disusun berdasarkan hasil asesmen harus disepakati oleh pecandu Narkotika, orang tua, wali, atau keluarga Ppecandu Narkotika dan pimpinan IPWL. Pecandu Narkotika yang telah melaporkan diri atau dilaporkan kepada IPWL diberi kartu lapor diri setelah menjalani asesmen. Kartu lapor diri tersebut berlaku untuk 2 (dua) kali masa perawatan. Yang dimaksud dengan “masa perawatan” adalah suatu layanan program rencana terapi dibuat berdasarkan hasil asesmen yang komprehensif yang sesuai dengan kondisi klien dengan jenis gangguan penggunaan Narkotika dan kebutuhan individu/klien/Pecandu Narkotika dengan program yang dijalankan mengikuti program yang tersedia di layanan, dengan waktu minimal 1 (satu) sampai 6 (enam) bulan sesuai dengan Standar Pelayanan Terapi dan Rehabilitasi Gangguan Penggunaan Narkotika yang ditetapkan Menteri. Standar Pelayanan Terapi dan Rehabilitasi Gangguan Penggunaan Narkotika, antara lain meliputi: pelayanan detoksifikasi, pelayanan gawat darurat, pelayanan rehabilitasi (model: terapi komunitas, minnesota, model medis), pelayanan rawat jalan non rumatan, pelayanan rawat jalan rumatan, dan pelayanan penatalaksanaan dual diagnosis.
Berdasarkan rencana rehabilitasi yang telah disepakati, IPWL melakukan rangkaian pengobatan dan/atau perawatan guna kepentingan pemulihan Pecandu Narkotika. Bila IPWL tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pengobatan dan/atau perawatan tertentu sesuai rencana rehabilitasi atau atas permintaan Pecandu Narkotika, orang tua, wali dan/atau keluarganya, maka IPWLharus melakukan rujukan kepada institusi yang memiliki kemampuan tersebut. PP ini juga mengatur untuk Pecandu Narkotika yang sedang menjalani pengobatan dan/atau perawatan di rumah sakit, fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, lembaga rehabilitasi medis dan lembagarehabilitasi sosial serta terapi berbasis komunit as (therapeutic community) atau melalui pendekatan keagamaan dan tradisional tetap harus melakukan wajib lapor kepada IPWL.
16
[Type text]
D. Pelaporan, Monitoring dan Evaluasi
IPWL wajib melaporkan mengenai informasi Pecandu Narkotika kepada Kementerian terkait melalui tata cara pelaporan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya Kementerian terkait memberikan informasi ke BNN yang menyelenggarakan sistem informasi pecandu narkotika. Informasi yang dilaporkandalam bentuk rekapitulasi data. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan Wajib Lapor dilaksanakan oleh kementerian terkait dan BNNyang meliputi: a. penerapan prosedur Wajib Lapor; b. cakupan proses Wajib Lapor; dan c. tantangan dan hambatan proses Wajib Lapor. Pecandu Narkotika yang telah selesai menjalani rehabilitasi dilakukan pembinaan dan pengawasan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial dan Badan Narkotika Nasionaldengan mengikutsertakan partisipasi masyarakat. Pokok Bahasan 3 PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG REHABILITASI MEDIS PECANDU, PENYALAHGUNA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
Undang-Undang No. 35 tahun 2009 mengamanahkan penyusunan Permenkes tentang Rehabilitasi Medis. Pada tahun 2011 telah diterbitkan Permenkes No 2415/MENKES/PER/XII/2011 tentang Rehabilitasi Medis Pecandu, Penyalahguna dan Korban Penyalahgunaan Narkotika.Permenkes ini mengatur mengenai fasilitas, penyelenggaraan, pelaporan, pembinaan dan pengawasan rehabilitasi medis. A. Fasilitas rehabilitasi medis Rehabilitasi medis dilaksanakan di fasilitas rehabilitasi medis yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat meliputirumah sakit, puskesmas atau lembaga rehabilitasi tertentu yang menyelenggarakan rehabilitasi medis. Lembaga rehabilitasi medis tertentu meliputi: 1. lembaga rehabilitasi NAPZA milik Pemerintah atauPemerintah Daerah; dan 2. klinik rehabilitasi medis NAPZA yang diselenggarakan oleh masyarakat.
17
[Type text]
Rumah sakit atau puskesmas yang menyelenggarakan rehabilitasi medis ditetapkan oleh Menteri. Penetapan rumah sakit milik pemerintah daerah atau masyarakat dan puskesmas sebagai penyelenggara rehabilitasi medis dilakukan setelah mendapatkan rekomendasi dari pemerintah daerah. Sedangkan Lembaga rehabilitasi tertentu yang menyelenggarakan rehabilitasi medis wajib mendapatkan izin dari Menteri. Fasilitas rehabilitasi medis mempunyai kewajiban:
1. menyelenggarakan rehabilitasi medis sesuai standar profesi, standar pelayanan dan standar prosedur operasional; 2. melaksanakan fungsi sosial; 3. berperan serta dalam jejaring dan melaksanakan fungsi rujukan; 4. melaksanakan serangkaian terapi dan upaya pencegahan penularan penyakit melalui penggunaan narkotika suntik; 5. menyusun standar prosedur operasional penatalaksanaan rehabilitasi sesuai dengan modalitas yang digunakan dengan mengacu pada standar dan pedoman penatalaksanaan medis. 6. melakukan pencatatan dan pelaporan dalam penyelenggaraan rehabilitasi medis. B. Penyelenggaraan Rehabilitasi Medis 1. Rehabilitasi medis dapat dilaksanakan melalui rawat jalan dan/atau rawat inap sesuai dengan rencana rehabilitasi yang telah disusun dengan mempertimbangkan hasil asesmensesuai dengan standar dan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri. 2. Pelaksanaan rawat jalan meliputi: a. intervensi medis antara lain melalui program detoksifikasi, terapi simtomatik, dan/atau terapi rumatan medisserta terapi penyakit komplikasi sesuai indikasi; dan b. intervensi psikososial antara lain melalui konseling adiksi narkotika, wawancara motivasional, terapi perilaku dan kognitif ( Cognitive Behavior Therapy ) , dan pencegahan kambuh. 3. Pelaksanaan rawat inap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. intervensi medis antara lain melalui program detoksifikasi, terapi simtomatik, dan terapi penyakit komplikasi sesuai indikasi; b. intervensi psikososial antara lain melalui konseling individual, kelompok, keluarga, dan vokasional; c. pendekatan filosofi therapeutic community (TC) dan/atau metode 12 (dua belas) langkah dan pendekatan filosofi lain yang sudah teruji secara ilmiah.
18
[Type text]
Proses pemulihan pecandu, penyalahguna dan korban penyalahgunaan Narkotika yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional harus bekerjasama dengan Rumah Sakit dan Puskesmas yang ditetapkan oleh Menteri. Fasilitas rehabilitasi medis dalam menyelenggarakan pelayanan rehabilitasi medis wajib membuat rekam medis yang dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. Selain itu terkait mediko legal maka pelayananrehabilitasi medis harus memperoleh persetujuan (informed consent )sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.Fasilitas rehabilitasi medis dilarang menggunakan kekerasan fisik dan kekerasan psikologis/mental dalam melaksanakan pelayanan rehabilitasi medis. Terkait pembiayaan yang sering menjadi masalah implementasi di lapangan maka salah satu pasal dalam Permenkes ini menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas biaya pelaksanaan rehabilitasi medis bagipecandu, penyalahguna dan korban penyalahgunaan Narkotika yang tidak mampu sesuai peraturan perundang-undangan. Selain itu Pemerintah juga bertanggung jawab atas biaya pelaksanaan rehabilitasi medis bagipecandu, penyalahguna dan korban penyalahgunaan Narkotika yang yang telah diputus oleh pengadilan.
1.
2.
3.
4. 5.
Penyelenggaraan Rehabilitasi Medis Terkait Putusan Pengadilan : Rehabilitasi medis terhadap pecandu, penyalahguna dan korban penyalahgunaan narkotika yang telah diputus oleh pengadilan diselenggarakan di fasilitas rehabilitasi medis milik pemerintah yang telah ditetapkan oleh Menteri. Rehabilitasi medis terhadap pecandu, penyalahguna dan korban penyalahgunaan narkotika yang telah diputus oleh pengadilan dilaksanakan melalui tahapan:program rawat inap awal; program lanjutan; dan program pasca rawat. Program rawat inap awal dilaksanakan selama minimal 3 (tiga) bulan untuk kepentingan asesmen lanjutan, serta penatalaksanaan medis untuk gangguan fisik dan mental. Program lanjutan meliputi program rawat inap jangka panjang atau program rawat jalan yang dilaksanakan sesuai standar prosedur operasional. Pelaksanaan program lanjutan dengan program rawat jalan hanya dapat dilaksanakan untuk pecandu, penyalahguna dan korban penyalahgunaan narkotika yang telah diputus bersalah oleh pengadilan dengan pola penggunaan rekreasional (penggunaan narkotika hanya untuk mencari kesenangan pada situasi tertentu dan belum ditemukan adanya toleransi serta gejala putus zat) dan jenis narkotika 19
[Type text]
6. 7.
amfetamin, dan ganja, dan/atau berusia di bawah 18 tahun. Program rawat jalan dilaksanakan sekurang-kurangnya 2 (dua) kali seminggu dengan pemeriksaan urin berkala atau sewaktu-waktu. Program pasca rawat meliputi rehabilitasi sosial dan program pengembalian kepada masyarakat.
Penyelenggaraan Rehabilitasi Medis Terhadap Pecandu, Penyalahguna dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang sedang Menjalani Proses Penyidikan, Penuntutan, dan Persidangan Pengadilan adalah sebagai berikut :
1.
3.
Penetapan rehabilitasi medis terhadap pecandu, penyalahguna dan korban penyalahgunaan narkotika yang sedang menjalani proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan pengadilan dilakukan oleh tim dokter yang terdiri dari dokter dari fasilitas rehabilitasi medis dan rumah sakit kepolisian. Diselenggarakan di fasilitas rehabilitasi medis milik pemerintah yang memenuhi standar keamanan tertentu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Sesuai standar dan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
C.
Pelaporan
2.
Fasilitas rehabilitasi medis wajib melakukan pelaporan dalam bentuk rekapitulasi data secara berkala kepada Menteri melalui mekanisme sistem pelaporan mengikuti sistem informasi kesehatan nasional.Rekapitulasi data yang telah dilaporkan dapat diakses oleh pihak yang berkepentingan dalam pengembangan kebijakan dan program baik lembaga pemerintah maupun masyarakat. D. Pembinaan dan Pengawasan Pembinaan dilakukan oleh Menteri Kesehatan dan Kepala Dinas Kesehatan untuk 1. Pembinaanuntuk meningkatkan kemampuan fasilitas rehabilitasi medis dilakukan oleh Menteri dan Kepala Dinas Kesehatan sedangkan 2. Pembinaan dalam rangka peningkatan kemampuan fasilitas rehabilitasi medis juga dilakukan oleh BNN, berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan dan Pemerintah Daerah. 3. Pengawasan dilakukan guna menjamin kualitas penyelenggaraan rehabilitasi medis.
20
[Type text]
4. Dalam melakukan kegiatan pembinaan dan pengawasan Menteri dapat membentuk suatu tim dengan melibatkan unsur Pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota melalui kepala dinas kesehatan/kepala biro NAPZA, organisasi profesi di bidang kesehatan, BNN Provinsi/Kabupaten/Kota atau organisasi kemasyarakatan terkait lainnya. 5. Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Menteri dapat mengambil tindakan administratif kepada fasilitas rehabilitasi medis, berupa: a. teguran lisan; b. teguran tertulis; atau c. pencabutan izin.
Pokok Bahasan 4 KODE ETIK DAN ASPEK MEDIKOLEGAL WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA
Petugas penerima wajib lapor dalam menjalankan tugasnya tetap terikat pada kode etik sesuai profesi masing-masing. Profesi dalam bahasa Latin berarti ’mengumumkan kepada dunia luar’ (Bond, 2005). Seseorang dapat dianggap profesional apabila ia –dengan sumpahnya- kepada publik bertanggungjawab atas apa yang dikerjakannya, sesuai dengan aturan dan prinsip-prinsip yang berlaku, yang umumnya dikeluarkan oleh ikatan profesi. Menjalankan tindakan sesuai dengan aturan dan prinsip adalah upaya menjaga kode etik yang berlaku. Seorang dokter pada lembaga penerima wajib lapor tetap harus mematuhi Kode Etik Kedokteran Indonesia.Beberapa Prinsip Etika Kedokteran yaitu : • • • •
Beneficiency : : mengutamakan kepentingan pasien Autonomy : : menghormati hak pasien dalam mengambil keputusan Non-Malefeciency : : tidak memperburuk keadaan pasien Justice: tidak mendiskriminasikan pasien, apapun dasarnya.
Tujuan etik didasari oleh filosofi kemanusiaan, dimana setiap tindakan profesional hendaknya dilandasi oleh pertimbangan yang kuat tentang hak azasi manusia. Secara rinci, tujuan etik adalah:
21
[Type text]
1. Menyediakan dasar bertindak yang adekuat untuk melindungi masyarakat dari berbagai kemungkinan dampak buruk yang terjadi akibat malpraktik atau perilaku yang salah dari profesional. 2. Menjadi acuan untuk identifikasi perilaku yang disadari ataupun tidak disadari, yang secara potensial dapat mengakibatkan kerugian bagi diri sendiri maupun orang lain
Petugas penerima wajib lapor harus menjaga profesionalisme, apalagi terkait dengan undang-undang No. 35/2009 tentang narkotika yang menyebutkan orang yang mengetahui adanya gangguan penggunaan Napza namun tidak melaporkan kepada pejabat berwenang dapat dikenakan sanksi pidana. Hal ini bisa menempatkan petugas kesehatan pada situasi dilematis dalam menjaga kerahasiaan pecandu yang melakukan wajib lapor. Dalam pelaksanaannya petugas kesehatan penerima wajib lapor harus : 1. Mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien 2. Bertanggung jawab dan bebas dari konflik kepentingan manapun. 3. Senantiasa meningkatkan kompetensinya yaitu pengetahuan dan keterampilan tentang gangguan penggunaan Napza sesuai dengan perkembangan ilmu terbaru. 4. Menjaga kerahasiaan pecandu Narkotika. Pada situasi khusus ada kalanya petugas penerima wajib lapor membuka tentang data pecandu narkotika pada pihak yang berwajib untuk kepentingan hukum. 5. Menjaga hubungan profesional antara petugas itu sendiri baik kepada pimpinan atau bawahannya dan kepada pecandu Narkotika yang melakukan wajib lapor, serta terhadap lintas sektoral terkait. 6. Bersedia melakukan rujukan bila institusi yang menerima wajib lapor tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan pengobatan/perawatan yang sesuai dengan rencana terapi yang telah disepakati antara petugas dengan pecandu narkotika yang melaporkan diri. Mengingat pasien dengan gangguan penggunaan Napza yang kerap berhubungan dengan tindak kriminalitas maka tak jarang petugas kesehatan, dalam hal ini dokter sebagai profesi yang tersumpah diminta keterangan sebagai ahli. Keterangan ahli dapat diberikan secara lisan maupun tertulis. Keterangan ahli secara lisan bisa diberikan pada saat sidang di pengadilan maupun pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam satu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu menerima jabatan atau pekerjaan. Keterangan ahli secara tertulis adalah surat
22
[Type text]
keterangan dari ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya. Pokok Bahasan 5 PERAN DAN FUNGSI PETUGAS
Sampai saat ini kompetensi tenaga kesehatan dilayanan terapi dan rehabilitasi masih sangat terbatas baik dari sisi ketenagaannya maupun keterampilan petugas dalam penatalaksanaan pasien dengan gangguan penggunaan Napza dan pemahaman yang benar tentang gangguan penggunaan Napza. Selain hal diatas aksesibilitas pecandu narkotika yang mencari pertolongan medis masih kurang karena masih adanya stigma dan diskriminasi yang dihadapi pecandu narkotika dari masyarakat dan petugas kesehatan sendiri. Pada pelatihan ini diharapkan petugas mengetahui peran dan fungsi mereka nantinya dalam melaksanakan proses wajib lapor yang terdiri dari : 1.
Melakukan asesmen klinis Instrumen yang digunakan dalam melakukan asesmen untuk wajib lapor ini sesuai dengan yang terdapat dalam lampiran peraturan menteri yang ditetapkan. Penting bagi petugas untuk dapat menentukan atau meninjau besar atau beratnya masalah penggunaan Narkotika yang dialami pecandu. Dari asesmen ini juga petugas mampu mengidentifikasi perilaku penggunaan narkotika mereka, serta menemukan batasbatas masalah kesehatan akibat efek penggunaan narkotikanya.
2.
Menegakkan diagnosa Sesuai dengan asesmen yang telah dilakukan di awal proses penerimaan pecandu narkotika.
3.
Menyusun rencana terapi dan rujukan Rencana terapi disusun dengan mempertimbangkan hasil pemeriksaan awal dan diagnosis yang diperoleh berdasarkan hasil asesmen. Tidak semua institusi wajib lapor memiliki modalitas terapi yang lengkap, pada layanan yang tidak tersedia perawatan khusus maka petugas tersebut wajib untuk melakukan rujukan ke tempat lain sesuai dengan dengan kebutuhan pecandu narkotika narkotika tersebut. tersebut. Tidak jarang jarang pecandu narkotika yang datang tidak murni hanya dengan masalah Napzanya saja tapi juga banyak diantara mereka dengan masalah dual diagnosis atau triple diagnosis yang tentunya membutuhkan penanganan lebih khusus. 23
[Type text]
4.
Melakukan rehabilitasi medis minimal sesuai dengan rencana terapi yang ditentukan. Dalam rehabilitasi minimal ini diharapkan juga dapat dipergunakan pada layanan dasar seperti di puskesmas, tidak hanya dalam bentuk rawat inap, tapi juga bisa melalui rawat jalan.
5.
Melakukan monitoring dan evaluasi dari penyelenggaraan proses wajib lapor
Peran dan fungsi petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan sebagai petugas penerima wajib lapor merupakan kontribusi yang penting oleh karena itu dibutuhkan beberapa kriteria dalam memberikan layanan terapi dan rehabilitasi gangguan penggunaan Napza. Petugas kesehatan penerima wajib lapor idealnya juga memenuhi beberapa kriteria lainnya seperti magang di pusat layanan terapi rehabilitasi gangguan penggunaan Napza baik rawat inap maupun rawat jalan dan mempunyai motivasi untuk memberikan layanan bagi pasien yang mengalami gangguan penggunaan Napza.
DAFTAR PUSTAKA Kep Menkes No. 996/MENKES/SK/VIII/2002 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sarana Pelayanan Rehabilitasi Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAPZA
Kep Menkes No. 486/MENKES/SK/IV/2007 tentang Kebijakan & Rencana Strategi Penanggulangan Penyalahgunaan NAPZA Permenkes No. 269 tahun 2008 tentang Rekam Medis Kep Menkes No. 421/MENKES/SK/III/2010 tentang Standar Pelayanan Terapi dan Rehabilitasi Gangguan Penggunaan NAPZA Permenkes No. 2415 tahun 2011 tentang Rehabilitasi Medis Pecandu, Penyalahguna dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Sarasvita, R. and A. Anwar. (2002). Kilas Balik 30 Tahun RS Ketergantungan Obat. Jakarta: RSKO Marc Stauch and Kay Wheat. (2005 ). Text, Cases and materials on Medical Law third edition 24
MI-1
25
[Type text]
MATERI INTI 1 KETERGANTUNGAN NARKOTIKA
BAB I. DESKRIPSI SINGKAT Dalam masalah ketergantungan narkotika banyak terdapat istilah untuk suatu obyek atau kondisi yang sama atau hampir sama, misalnya narkoba, napza dan narkotika. Sebaliknya satu istilah bisa mempunyai pengertian yang berbeda karena sudut pandang yang
berbeda,
misalnya
istilah
ketergantungan
(dependence)
dapat
diartikan
ketergantungan fisik dan tidak ada kaitannya dengan penyalahgunaan (abuse), tetapi ada pula yang mengartikan sebagai adiksi, yaitu penggunaan yang tak terkendali. Narkotika dalam buku panduan ini meliputi berbagai zat psikoaktif yang secara farmakologik sangat berbeda namun menurut Undang-Undang yang berlaku sama-sama termasuk narkotika.Untuk memahami bagaimana mekanisme terjadinya interaksi narkotika dan otak di mana narkotika itu berpengaruh sehingga bisa terjadi toleransi, gejala putus narkotika dan ketergantungan, dibahas secara singkat patofisiologi ketergantungan. Masalah ketergantungan narkotika merupakan suatu masalah yang sangat kompleks termasuk di dalamnya terdapat aspek moral, psikologis, sosial, kultural, medis dan biologis. Oleh karena itu dalam modul ini dibahas berbagai pendekatan terhadap masalah ketergantungan narkotika dan berbagai macam faktor kontributifnya.
BAB II. TUJUAN PEMBELAJARAN A. Tujuan Pembelajaran Umum Pada akhir sesi ini peserta mampu menjelaskan pengetahuan dasar ketergantungan narkotika. B. Tujuan Pembelajaran Khusus Pada akhir sesi ini, peserta mampu 1. menjelaskan
berbagai
terminologi
yang
berkaitan
dengan
ketergantungannarkotika. 2. menyebutkan berbagai jenis narkotika menurut PPDGJ III 26
[Type text]
3. menyebutkan penggolongan narkotika menurut UU RI Nomor 35 2009tentang Narkotika
tahun
4. menjelaskan patofisiologi ketergantungan narkotika 5. menjelaskan narkotika.
faktor-faktor
kontribusi
pada
terjadinya
ketergantungan
6. menjelaskan berbagai pendekatan terhadap masalah ketergantungan narkotika.
BAB III. POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan sebagai berikut: Pokok Bahasan 1. Terminologi. Pokok Bahasan 2. Pokok Bahasan 3.
Klasifikasi zat psikoaktif menurut PPDGJ III. Penggolongan narkotika menurut UU RI nomor 35 tahun 2009
tentang Narkotika Pokok Bahasan 4. Patofisiologi ketergantungan narkotika 4.1. Anatomi otak 4.2. Fisiologi neurotransmiter & reseptor 4.3. Perubahan neurobehavioral Pokok Bahasan 5.
Faktor-faktor kontribusi
5.1. Faktor genetik 5.2. Faktor risiko tinggi 5.3. Faktor lingkungan keluarga 5.4. Faktor lingkungan sekolah 5.5. Faktor lingkungan sosial Pokok Bahasan 6. Pendekatan terhadap masalah ketergantungan narkotika 6.1. Pendekatan moral. 6.2. Pendekatan psikososiokultural. 6.3. Pendekatan penyakit. 6.4. Pendekatan biopsikososial.
27
[Type text]
BAB IV. URAIAN MATERI Pokok Bahasan 1 : TERMINOLOGI
Narkotika. Menurut Undang Undang RI nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika, yang disebut narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang tersebut diatas. Penggolongan zat atau tanaman kedalam jenis narkotika tidak sejalan dengan terminologi dalam farmakologi. Salah satu hal yang mendasari adalah dari besaran masalah penggunaannya. Narkotika berasal dari kata Yunani narkotikos yaitu obat apa saja yang menginduksi tidur. Narkotika sering diartikan untuk lingkup yang lebih sempit, yaitu sebagai opioda dan dalam konteks legal seperti pada undang-undang tersebut di atas sebagai senyawa yang sering disalahgunakan dan bersifat adiktif. Psikotropika. Menurut Undang Undang RI nomor 5 tahun 1997 tentang psikotropika, yang dimaksud psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat dan meyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Zat Psikoaktif. Istilah psikoaktif dipakai dalam buku International Classification of Diseases edisi 10 (ICD 10) dan dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi III (PPDGJ III). Zat psikoaktif adalah zat yang bekerja pada susuanan saraf pusat secara selektif sehingga dapat menimbulkan perubahan pada pikiran, perasaan, perilaku, persepsi maupun kesadaran (Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif, Joewana, EGC, 2004). Napza. Akronim dari Narkotika, Psikotropika,Zat Adiktif lain. Akronim ini banyak digunakan oleh jajaran Kementerian Kesehatan. Narkoba. Akronim dari Narkotika dan Bahan adiktif lain. Akronim ini disukai oleh jajaran penegak hukum. 28
[Type text]
Opium. Dalam bahasa Yunani opos, artinya getah ( juice), maksudnya getah dari kotak biji tanaman Papaver somniferum (pohon candu). Opiat. Semua senyawa yang berasal dari produk yang terdapat dalam opium, baik yang alami seperti morfin, kodein dan tebain, maupun yang semi-sintetik seperti heroin. Opioda. Semua senyawa yang mempunyai fungsi dan sifat farmakologis seperti opiat, jadi metadon. Zat Psikedelik (Psychedelic agent ). Senyawa yang dapat menimbulkan gangguan persepsi seperti halusinasi, ilusi dan waham, termasuk di dalamnya adalah senyawa halusinogenik yaitu senyawa yang dalam dosis kecil menimbulkan gangguan persepsi, pikiran, perasaan, akan tetapi pengaruhnya terhadap daya ingat dan orientasi minimal Club drug. Zat yang banyak digunakan di klub-klub (allnite dance) seperti ecstasy, LSD, PCP, ketamin. Ketergantungan zat (termasuk narkotika) memiliki dua pengertian: 1) sesuai dengan yang tertera pada ketentuan umum UU No. 35/2009 tentang Narkotika dan 2) sesuai dengan pengertian ilmiah. Ketergantungan narkotika menurut UU tersebut adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi / atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas. Sedangkan menurut pemahaman ilmiah, ketergantungan zat (termasuk narkotika) terjadi karena penggunaan zat berulang kali secara teratur sehingga terjadi toleransi dan gejala putus zat. Keadaan ini dapat terjadi sekalipun penggunaannya bertujuan terapeutik. Ketergantungan ini mudah disembuhkan. Karena pada saat putus zat timbul gejala fisik, maka sering disebut ketergantungan fisik . Pada tahun 1987, American Psychiatric Association (APA) menggunakan istilah ketergantungan zat bagi penggunaan zat yang tak terkendali dan lazim disebut sebagai adiksi. Istilah adiksi ditinggalkan karena mengandung konotasi negatif bagi pasien. Penyalahgunaan Zat. Menurut PPDGJ II atau DSM III, penyalahgunaan zat adalah pola penggunaan zat yang bersifat patologis paling sedikit 1 bulan lamanya sehingga menimbulkan hendaya dalam fungsi sosial atau pekerjaan.Yang dimaksud dengan 29
[Type text]
penggunaan yang patologis misalnya sampai terjadi intoksikasi sepanjang hari, tidak mampu mengendalikan atau menghentikan penggunaan tersebut, ada usaha untuk abstinensi berulang kali, terus menggunakan zat tersebut walaupun mengetahui bahwa penggunan zat tersebut menyebabkan eksaserbasi penyakit fisik akibat zat tersebut. Yang dimaksud paling sedikit 1bulan, tidak harus setiap hari dalam 1 bulan tetapi cukup sering sehingga menimbulkan hendaya fungsi sosial dan pekerjaan.Yang dimaksud dengan hendaya fungsi sosial misalnya tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai anggota keluarga, mengalami masalah hukum akibat menggunakan zat. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat psikoaktif ( ICD 10, PPDGJ III ) adalah kelompok gangguan mental yang berkaitan dengan penggunaan zat psikoaktif, jadi bukan suatu diagnosis. Dalam kelompok gangguan mental ini terdapat 8 kondisi klinik yaitu: intoksikasi akut, penggunaan yang merugikan, sindroma ketergantungan, keadaan putus zat, keadaan putu zat dengan delirium, gangguan psikosis akibat zat, sindroma amnestik akibat zat, gangguan psikosis residual dan onset lambat akibat zat. Intoksikasi akut : suatu kondisi yang timbul akibat penggunaan zat psikoaktif sehingga terjadi gangguan kesadaran,fungsi kognitif,persepsi, afek, perilaku atau fungsi dan respons psikofisiologis lainnya. Penggunaan yang merugikan: suatu pola penggunaan zat psikoaktif yang menyebabkan terganggunya kesehatan, dapat berupa gangguan kesehatan fisik maupun gangguan kesehatan mental. Sindroma ketergantungan : adalah sindroma yang terdiri paling sedikit 3 dari yang berikut ini: (1) adanya keinginan yang kuat untuk menggunakan zat psikoaktif, (2) ganguan dalam mengendalikan perilaku penggunakan zat psikoaktif, (3) adanya gejala putus zat, (4) toleransi, (5) preokupasi terhadap zat psikoaktif, (6) tetap menggunakan zat psikoaktif walaupun menderita gangguan yang nyata akibat zat psikoaktif yang digunakannya. Keadaan putus zat : kumpulan gejala yang timbul sebagai akibat berhenti atau mengurangi jumlah zat psikoaktif yang biasa digunakan secara cukup teratur dan sering dalam jumlah yang banyak. Keadaan putus zat dengan delirium: sama dengan putus zat tersebut di atas tetapi disertai delirium,dapat diserta kejang atau tanpa kejang.
30
[Type text]
Gangguan psikotik akibat zat psikoaktif : psikosis yang muncul pada waktu menggunakan zat psikoaktif yang menetap lebih dari 48 jam dan berlangsung paling lama 6 bulan. Ketergantungan psikis atau ketergantungan emosional atau habituasi : suatu keadaan bila berhenti menggunakan zat psikoaktif tertentu yang biasa digunakan akan mengalami kerinduan yang sangat kuat untuk menggunakan zat tersebut walaupun tidak mengalami gejala fisik. Toleransi : adalah suatu keadaan ketika untuk memperoleh efek yang sama dari suatu zat psikoaktif, makin lama makin dibutuhkan dosis yang makin banyak. Toleransi silang : keadaan di mana seseorang yang toleran terhadap satu jenis zat psikoaktif, juga toleran terhadap zat psikoaktif lain yang sifat farmakologiknya sama. Contoh toleransi silang antara alkohol dan obat tidur. Adverse tolerance: suatu keadaan di mana untuk memperoleh efek suatu zat makin lama makin dibutuhkan jumlah yang lebih sedikit. Contoh: pada penggunaan ganja, sebab adanya efek kumulatif dari zat psikoaktif dalam ganja ( THC ).
Istil ah Gaul
Para pengguna zat psikoaktif merupakan suatu subkultur yang biasanya mempunyai bahasa gaul tersendiri. Bahasa gaul ini bisa berbeda untuk setiap daerah dan senantiasa mengalami perubahan, artinya yang lama sudah tidak digunakan lagi, sebaliknya muncul istilah gaul yang baru. Berikut ini disajikan beberapa istilah gaul yang umum dan masih sering terdengar dengan tujuan agar petugas kesehatan lebih mudah membentuk rapport.
-
Acid / Elsid : adalah LSD, sejenis zat halusinogenik. Amper : amplop Bokul : beli Cimeng : ganja, gele, budha stick Cucau, ngive: menggunakan putau dengan cara menyuntik ke dalam urat darah, intravena.
- Putau, pete, etep: heroin dalam peredaran ilegal, isinya tidak murni heroin. - Gau : satuan berat, khususnya untuk putau. - Giting : intoksikasi, mabok, beler 31
[Type text]
-
Insul, Spidol: alat suntik, spuit, syringe. Linting:ukuran jumlah, untuk ganja.
-
Pil gedek : ekstasi
Ngedrag: menggunakan putau dengan cara inhalasi asap putau yang dibakar. Ngelem : mengonsumsi inhalansia seperti lem,minyak cat, aseton. Ngubas: nyabu, mengonsumsi sabu-sabu/ SS atau susu/ Ubas (metamfetamin) Nyepet : mengonsumsi putau dengan cara menyuntik = ngive = cucau. Pakau, Wakap : paka(u)w, intoksikasi putau Paket : satuan jumlah putau. Parno: sedang mengonsumsi sabu-sabu, intoksikasi metamfetamin Pedau : sedang mengonsumsi putau. Pil koplo = pil anjing: sedatin, sejenis obat tidur. Riv: rivotril : obat anti kejang. kejang. Sakau, Wakas : saka(u)w, sakit karena putau, sindroma putus opioida Seperempi : seperempat (gau) Setengki : setengah (gau) Syut: satu syut = satu isapan
Pokok Bahasan 2 :KLASIFIKASI ZAT PSIKOAKTIF MENURUT PPDGJ III Dalam buku PPDGJ III atau ICD 10, zat psikoaktif dikelompokkan menjadi sebagai berikut: 1. Alk Alko ohol, hol, yaitu itu se semua minum inuman an ya yan ng me mengand gandu ung eta etan nol se seperti erti bir, ir, wis wisk ki, vod vodka, 2. brem, tuak, saguer, ciu, arak. 3. Opioida, termasuk di dalamnya adalah candu, morfin, heroin, petidin, kodein, metadon. 4. Kanabinoid, yaitu ganja atau marihuana, hashish. 5. Sedatif dan hipnotik, misalnya nitrazepam, klonasepam, bromazepam. 6. Kokain, yang terdapat dalam daun koka, pasta kokain, bubuk kokain. 7. Stimulan lain, termasuk kafein, metamfetamin, MDMA. 8. Halusinogen, misalnya LSD, meskalin, psilosin, psilosibin. 9. Tembakau yang mengandung zat psikoaktif nikotin. 10. 10. Inhalansia atau bahan pelarut yang mudah menguap, misalnya minyak cat, lem, aseton.
Pokok Bahasan 3 : PENGGOLONGAN NARKOTIKA MENURUT UNDANG-UNDANG RI NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA 32
[Type text]
Dalam Undang-undang ini, narkotika dibedakan menjadi 3 golongan, tanpa memperhatikan struktur molekul maupun khasiat farmakologiknya.
-
Golongan I : o
Dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan
o
Dalam jumlah terbatas, narkotika golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan ( pasal 8 ).
o
-
Termasuk narkotika golongan I adalah opium, heroin, kokain, ganja, metakualon, metamfetamin, amfetamin, MDMA, STP, fensiklidin.
Golongan II : o Berpotensi tinggi menyebabkan ketergantungan dan digunakan dalam pengobatan sebagai pilihan terakhir. o
-
Termasuk dalam golongan ini adalah morfin,petidin, metadon.
Golongan III: o
Berpotensi ringan menyebabkan ketergantungan dan digunakan dalam terapi.
o
Termasuk dalam golongan ini adalah kodein, bufrenorfin.
Pokok Bahasan 4 : PATOFISIOLOGI 1.1. Ana Anatom tomi Ota Otak k Manusia cenderung mengulangi pengalaman atau sensasi yang menyenangkan dan menghindari pengalaman yang tidak menyenangkan. Bagian otak yang mencatat pengalaman atau sensasi yang menyenangkan disebut brain reward system, system, yang meliputi NucleusAccumbens NucleusAccumbens
(Nac),
VentralTegmentalArea VentralTegmentalArea
(VTA),
LocusCoeruleus LocusCoeruleus
(LC),
(PAG), amygdala, medial fore-brain bundle yang berisi serabut PeriaqueductalGrey (PAG), dopaminergik dari Nac dan VTA ke korteks pra-frontal.
1.2. Fisiologi neurotransmiter neurotransmiter dan reseptor
33
[Type text]
Stimulus pada otak dijalarkan secara elektrik di dalam sel otak (neuron) dan secara kemikal dari satu neuron ke neuron lain pada celah sinaps dengan perantaraan neurotransmiter. Ada banyak jenis neurotransmiter, antara lain dopamin, serototin, epinefrin, norepinefrin, asetilkolin, endorfin dan enkefalin. Dalam hal adiksi neurotransmiter yang paling penting penting berperan adalah dopamin (neurotransmiter (neurotransmiter kenikmatan). Neurotransmiter, narkotika dan zat psikoaktif lain berpengaruh pada kerja otak melalui reseptor yang terdapat pada sinaps dan dinding sel saraf. Di dalam otak terdapat senyawa endogen yang berkaitan dengan rasa nyaman termasuk menghilangkan rasa nyeri dan kecemasan seperti endorfin endorfin (= morfin), anandamida (= marihuana/ THC), dopamin (= kokain, amfetamin), asetilkolin (= nikotin). 4.3.Perubahan Neurobehavioral Setiap jenis narkotika dan zat psikoaktif lainnya memengaruhi kinerja neurotransmiter tertentu sehingga terjadi perubahan perilaku (menjadi lebih aktif atau menjadi lamban), perasaan (euforia), proses pikir (lebih cepat atau lebih lamban), isi pikir (waham), persepsi (halusinasi), dan kesadaran (menurun atau lebih siaga). Bila zat psikoaktif yang dikonsumsi berlebih dapat terjadi intoksikasi akut sampai overdose. overdose. Bila pemakaian narkotika berlangsung lama maka akan terjadi toleransi, artinya reseptor menjadi kurang responsif terhadap narkotika itu sehingga untuk timbulnya sensasi (euforia) seperti semula diperlukan jumlah yang lebih banyak (toleransi seluler). Toleransi juga bisa terjadi karena metabolisme narkotika oleh hepar menjadi lebih cepat (toleransi metabolik). Secara Secara psikologis orang yang menerima kenaikan kenaikan gaji beberapa beberapa kali lipat akan merasa sangat senang pada mulanya, tetapi setelah beberapa bulan kenaikan itu makin kurang dirasakan sebagai sesuatu yang menggembirakan. Demikian pula orang yang semula cukup menikmati efek euforik dengan1 linting ganja, secara psikologis ingin menambah rasa euforik dengan menambah jumlah linting ganja (toleransi behavioral). Bila seseorang telah lama menggunakan morfin atau opioida pada umumnya, maka produksi endorfin dalam tubuh orang itu akan berkurang. Bila pada suatu saat orang itu menghentikan atau mengurangi jumlah morfin morfin yang dikonsumsinya, maka tubuh orang itu akan kekurangan morfin / endofin, yang secara klinis akan bermanifestasi dalam bentuk gejala putus opioida.
Pokok Bahasan 5: FAKTOR-FAKTOR KONTRIBUSI 34
[Type text]
Faktor kontribusi meliputi faktor etiologik (yang sebenarnya
belum diketahui
dengan pasti), faktor konstitusi, faktor peluang dan faktor pencetus, dari yang bersifat genetik, psikologik, maupun sosial dan kultural.
5.1.Faktor genetik . Penelitian
pada
pengguna,
penyalahguna
dan
ketergantungan
kokain
dengan
membandingkan angka konkordan antara kembar monozigot dan kembar dizigot memperlihatkan perbedaan yang signifikan Pengguna Penyalahguna Ketergantungan Monozigot 54% 47 35% Dizigot 42% 8 0% Terbukti faktor genetik juga berperan dalam terjadinya ketergantungan ganja, psikostimulan (ecstasy, metamfetamin) dan opioida. 5.2. Faktor risiko tinggi Anak dengan ciri–ciri berikut termasuk kelompok risiko tinggi menjadi ketergantungan narkotika di kemudian hari:
Hiperaktif
Tidak tekun
Sulit memusatkan perhatian
Mudah kecewa dan menjadi agresif atau destruktif
Mudah murung
Cenderung makan berlebihan
Merokok mulai pada usia dini (saat masih di SD)
Sadis (terhadap saudara atau hewan piaraan)
Sering berbohong, mencuri dan melanggar tata tertib
Memiliki taraf kecerdasan perbatasan
Remaja dengan ciri-ciri berikut termasuk kelompok risiko tinggi: 35
[Type text]
Identitas jender kabur
Sedih atau cemas
Mempunyai kecenderungan melawan norma yang berlaku
Memliki sifartidak sabar yang menyolok
Sering melakukan perbuatan yang mengandung risiko berbahaya
Kurang religius
Motivasi belajar lemah
Kurang berminat kepada kegiatan positif (olah raga, kesenian, dll)
5.3 Faktor lingkungan keluarga
Ada anggota keluarga, terutama orangtua yang mengonsumsi narkotika
Keluarga yang disharmonis
Orangtua yang terlalu mengatur anak
Orangtua yang kurang komunikatif dengan anak
Orangtua yang terlalu menuntut anak untuk berprestasi
Orangtua yang terlalu sibuk dan kurang perhatikan anak
5.4 Faktor lingkungan sekolah
Sekolah yang tidak tertib dan tidak menegakkan disiplin dengan baik.
5.5 Faktor lingkungan sosial
Masyarakat yang anomik.
Mudah diperolehnya narkotika.
Pokok Bahasan 6: BERBAGAI PENDEKATAN TERHADAP MASALAH KETERGANTUNGAN NARKOTIKA Masalah ketergantungan narkotika merupakan masalah yang sangat rumit, bukan sematamata masalah kesehatan atau medis, tetapi juga merupakan masalah moral,hukum, psikologis, sosial, kultural dan pendidikan, yang terkait satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu dalam masalah ketergantungan narkotika terdapat berbagai pendekatan. Berikut ini disampaikan beberapa pendekatan yang patut diketahui. 6.1.Pendekatan Moral 36
[Type text]
Pendekatan ini berpendapat bahwa adiksi adalah konsekuensi dari pilihan pribadi seseorang. Pilihan itu merupakan pilihan yang menimbulkan masalah walaupun sebenarnya orang itu mampu melakukan pilihan lain yang tidak menimbulkan masalah. Pendekatan ini dianut oleh banyak agama dan penegak hukum. Intoksikasi dinilai sebagai suatu dosa oleh beberapa agama dan konsumsi alkohol dilarang oleh agama tertentu (Muslim, Mormon). Kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang mengalami adiksi adalah dibawah kehendaknya, bukan karena penyakit.
6.2. Pendekatan Psiko-sosio-kultural Pendekatan model ini berpendapat bahwa adiksi terjadi karena faktor eksternal seperti budaya, keluarga, teman, atau karena faktor psikologik. Model ini tidak sependapat dengan model penyakit dan menunjukkan bahwa di kalangan bangsa Cina dan bangsa Yahudi, prevalensi alkoholisme rendah, sebab pada kedua kebudayaan tersebut konsumsi alkohol dalam jumlah yang wajar tidak dilarang, tetapi penggunaan berlebihan dilarang. Pada kedua kebudayaan tersebut, anak muda mengonsumsi alkohol dalam konteks sosial atau seremonial bersama sama orang dewasa. Di kalangan orang Amerika keturunan Irlandia prevalensi alkoholime tinggi karena mengonsumsi jumlah banyak alkohol dapat diterima dalam kebudayaan mereka. 30% anak dari orangtua yang alkoholik juga menjadi alkoholik dan hanya 10 % anak dari orangtua yang peminum alkohol dalam jumlah moderat menjadi alkoholik. Pada keluarga yang ikatan emosionalnya lemah, keluarga yang kaku, atau keluarga yang terlalu moralistik mengakibatkan keturunannya
cenderung menjadi
alkoholik. Adiksi terjadi sebagai akibat adanya masalah psikologis yang mendasarinya, misalnya kecewa, sedih dan kecemasan. Menurut
pendekatan
ini,
tidak
semua
pola
penggunaan
narkotika
termasuk
penyalahgunaan. Experimental user adalah mereka yang menggunakan narkotika atau zat psikoaktif lain sekedar untuk memenuhi rasa ingin tahu saja, yang biasanya dipicu oleh tawaran orang lain (kawan). Sebagian besar experimental user berhenti sampai pada keinginan untuk mencoba saja.
37
[Type text]
Recreational user adalah sebagian dari experimental user yang di kemudian hari menggunakan narkotika atau zat psikoaktif lain dengan tujuan sosialisasi, tidak beda dengan orang yang menikmati kopi, merokok atau minum bir pada saat berkumpul bersama sama teman-temannya. Situational user adalah mereka yang menggunakan narkotika atau zat psikoaktif lain untuk menghilangkan rasa tidak nyaman seperti rasa nyeri, kecewa, cemas dan depresi. Abuser adalah mereka yang menggunakan narkotika atau zat psikoaktif lain secara patologis paling singkat 1 bulan lamanya sehingga menimbulkan gangguan fungsi sosial atau pekerjaan (lihat istilah penyalahgunaan pada pokok bahasan terminologi) Compulsive dependent user adalah mereka yang sudah mengalami ketergantungan (lihat istilah ketergantungan pada pokok bahasan terminologi) 6.3. Pendekatan Penyakit Model ini pertama kali dikemukakan oleh Jellinek (1960) berkaitan dengan terjadinya alkoholisme. Pendapat ini didukung dengan penelitian pada biokimia otak, di mana pada adiksi terjadi perubahan kimiawi di otak sama seperti pada penyakit kronis lain : diabetes, asma dan hipertensi. Model ini berpendapat bahwa adiksi adalah penyakit primer, bukan disebabkan karena adanya gangguan jiwa lain. Pendekatan ini banyak mendapat kritik, antara lain ialah bahwa jumlah sampel dalam penelitian Jellinek sangat sedikit.Model ini mendatangkan profit dan secara politis berhasil sebab meluas kepada masalah lain yang juga dianggap sebagai penyakit seperti eating problem, child abuse, judi, shopping addiction, ketegangan pra-menstruasi, compulsive love affair. Kelebihan model penyakit adalah menghilangkan stigma
terhadap penderita adiksi,
memberi peluang untuk terapi dan rehabilitasi dan kesempatan terbuka untuk melakukan penelitian terhadap adiksi. Kelemahan model penyakit adalah bahwa pasien menjadi merasa tidak bertanggung jawab atas perbuatan kriminal atau kekerasan terhadap orang lain sebab perbuatannya diakibatkan karena penyakitnya. Sebaliknya bila seorang penderita adiksi tidak mengalami masalah pekerjaan, keuangan maupun kriminal tidak dianggap sebagai seorang penderita adiksi sehingga tidak dianjurkan berobat sebab tidak memperlihatkan gejala klasik seorang dengan adiksi.
38
[Type text]
6.4. Pendekatan Biopsikososial Para pakar dalam adiksi saat ini berpendapat bahwa adiksi adalah suatu sindroma multivariat, artinya terdapat berbagai pola penggunaaan zat psikoaktif yang bersifat disfungsional, yang dialami oleh orang dengan berbagai tipe kepribadian,dengan berbagai akibat yang berbeda-beda, dengan prognosis yang berbeda-beda serta membutuhkan intervensi terapeutik yang berbeda pula.
Daftar referensi 1. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia ( PPDGJ ) II, Departemen Kesehatan RI, 1985. 2. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia ( PPDGJ ) III, Departemen Kesehatan RI, 1993. 3. The ICD 10 Classification of Mental and Behavioural Disorders, WHO, 1992. 4. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif, Satya Joewana, EGC, 2004. 5. Substance Abuse: Information for School Counselors, Social Workers, Therapists and Counselors, 4th ed, Fisher & Harrison ,Allyn &Bacon Publ., 2009. 6. 4 Undang-Undang Bidang Hukum dan Sosial Budaya, CV Eko Jaya, Jakarta, 2009.
39
[Type text]
MATERI INTI 2 ASESMEN DAN DIAGNOSIS KETERGANTUNGAN NARKOTIKA
BAB I : DESKRIPSI SINGKAT Gangguan penggunaan narkotika/NAPZA secara umum, merupakan suatu masalah kompleks yang meliputi aspek fisik, psikologis dan sosial. Untuk menentukan besaran masalah pada diri seseorang, diperlukan asesmen klinis secara komprehensif, dimana hasil asesmen ini merupakan dasar untuk menentukan intervensi atau rencana terapi yang sesuai untuk individu yang bersangkutan. Dari segi terminologi, asesmenketergantungan narkotika/NAPZA adalah suatu proses mendapatkan informasi menyeluruh pada individu dengan gangguan penggunaan narkotika/NAPZA, baik pada saat awal masuk program, selama menjalani program dan setelah selesai program. Asesmen dilakukan dengan cara observasi, wawancara maupun pemeriksaan fisik. Dalam mengobservasi klien, asesor/terapis perlu mendengarkan dengan seksama respons yang diberikan klien, baik yang bersifat verbal (apa yang dikatakan), maupun yang bersifat non verbal (bahasa tubuh, mimik muka, intonasi suara, dan lain-lain). Seringkali apa yang 40
[Type text]
dikatakan bukan hal yang sungguh-sungguh dialami oleh klien. Untuk itulah seorang asesor/terapis perlu terlatih dalam membaca bahasa tubuh klien.Dalam melakukan wawancara,
teknik
bertanya
dengan
pertanyaan
terbuka
perlu
dikuasai
oleh
asesor/terapis.Setiap informasi yang diberikan oleh klien merupakan faktor baru yang perlu ditambahkan untuk memperoleh gambaran tentangklien secara utuh. Sementara itu pemeriksaan fisik dilakukan untuk melengkapi informasi tentang klien, baik pemeriksaan umum seperti tekanan darah, nadi dan suhu badan, maupun pemeriksaan penunjang lainnya yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi klien (misalkan, urinalisis, laboratorium lain, radiologi, dan sebagainya). Untuk mendapatkan hasil asesmen yang komprehensif digunakan berbagai instrumen yang sudah terstandarisasi dan dilakukan oleh petugas yang sudah terlatih. Mengingat bahwa asesmen adalah salah satu syarat yang sangat penting dalam penegakan diagnose dan menentukan tindak lanjut terapi untuk klien, maka diperlukan suatu pemahaman tentang masalah gangguan penggunaan narkotika/NAPZA dan ketrampilan berkomunikasi dari petugas kesehatan.
BAB II : TUJUAN PEMBELAJARAN A. Tujuan pembelajaran umum: Pada akhir sesi, peserta mampu : Melakukan asesmen dan diagnosis ketergantungan Napza
B. Tujuan pembelajaran khusus: Pada akhir sesi ini, peserta mampu: 1. 2. 3. 4.
Menjelaskan pengertian dan tujuan asesmen Menjelaskan pertanyaan dan komponen yang penting dalam asesmen klinis Menjelaskan jenis instrumen yang sering digunakan dalam skrining dan asesmen Menjelaskan langkah-langkah asesmen dan prinsip-prinsip penegakan diagnosis ketergantungan Napza 5. Menjelaskan tujuan pengisian formulir 6. Menjelaskan prosedur pengisian formulir 41
[Type text]
7. Mampu melakukan wawancara sesuai dengan pertanyaan didalam formulir 8. Mampu melakukan pengisian formulir
BAB III. POKOK BAHASAN Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan berikut: Pokok Bahasan 1. Pengertian dan tujuan asesmen klinis Pokok Bahasan 2. Komponen klinis dalam asesmen dan kaitannya dengan rencana terapi Pokok Bahasan 3. Jenis instrumen dalam skrining dan asesmen Napza Pokok Bahasan 4. Persiapan dalam melaksanakan asesmen klinis dan prinsip penegakkan diagnosis Pokok Bahasan 5. Tujuan pengisian formulir Pokok Bahasan 6. Prosedur pengisian formulir Pokok Bahasan 7. Teknik wawancara dan pengisian formulir
BAB IV. URAIAN MATERI POKOK BAHASAN 1 : PENGERTIAN DAN TUJUAN ASESMEN KLINIS Dalam menentukan diagnosis gangguan penggunaan narkotika/NAPZA ada dua langkah yang bisa dilakukan, yang pertama adalah skrining dengan menggunakan instrumen tertentu. Tujuan skrining ini hanya untuk mendapat informasi adakah suatu faktor risiko dan atau masalah yang terkait dengan penggunaan narkotika. Sedangkan untuk mendapatkan gambaran klinis dan masalah yang lebih mendalam dilakukan asesmen klinis yang bertujuan untuk : 1. Menginisiasi komunikasi dan interaksi terapeutik 2. Mendapat gambaran klien secara lebih menyeluruh dan akurat 3. Meningkatkan kesadaran tentang besar dan dalamnya masalah yang dihadapi oleh klien terkait penggunaan narkotika 4. Membangun diagnosis 5. Memberikan umpan balik 42
[Type text]
6. Memotivasi perubahan perilaku 7. Menyusun rencana terapi
Skrining umumnya diterapkan pada kasus-kasus dimana dibutuhkan informasi cepat terkait penggunaan narkotika/NAPZA, seperti pelaksanaan urinalisis disertai wawancara singkat pada siswa atau karyawan yang diduga mengalami masalah gangguan penggunaan narkotika/NAPZA. Skrining umumnya menjadi bagian awal dari proses asesmen. Skrining dapat dilakukan oleh pihak-pihak non kesehatan (misalnya, kepolisian, sekolah, tempat kerja, dan sebagainya) sebagai langkah awal, dan selanjutnya akan dilakukan proses rujukan kepada fasilitas layanan kesehatan (fasyankes). Pihak fasyankespun dapat melakukan skrining, terutama untuk pasien / klien pada poliklinik umum atau spesialis yang diduga mengalami gangguan penggunaan NAPZA sebagai penyulit atas proses kesembuhan penyakitnya. Sesuai dengan tujuannya, asesmen dilakukan untuk memperoleh gambaran klien secara lebih menyeluruh (komprehensif).Penyedia layanan terapi rehabilitasi NAPZA harus melakukan asesmen untuk setiap klien yang datang, bukan sekedar skrining. Hal ini sangat diperlukan mengingat hasil asesmen menjadi alat bantu dalam menyusun rencana terapi dan menegakkan diagnosa. Selain itu asesmen yang dilakukan secara berkala (misalkan, setiap 6 bulan) dapat membantu memperoleh gambaran hasil terapi rehabilitasi terhadap diri klien. Yang tidak kalah pentingnya adalah hasil asesmen merupakan dokumen otentik resmi yang dapat menjadi dasar bagi petugas kesehatan dalam memberikan keterangan bagi penegak hukum apabila klien tertangkap tangan karena menggunakan NAPZA.
POKOK BAHASAN 2 : KOMPONEN KLINIS DALAM ASESMEN DAN KAITANNYA DENGAN RENCANA TERAPI Komponen penting yang perlu dinilai dalam asesmen meliputi empat kelompok besar, yaitu : 43
[Type text]
a.
Riwayat penggunaan narkotika lengkap
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan status mental
Pemeriksaan penunjang/laboratorium
Riwayat Penggunaan narkotika
-
Riwayat penggunaan narkotika (misal ; usia pertama kali pakai, zat yang digunakan, perubahan yang drasakan, riwayat toleransi, overdosis, percobaan untuk berhenti, keinginan menggunakan dan sugesti)
-
Riwayat pengobatan (misal ; pengobatan yang dilakukan sebelumnya, metode pengobatan yang pernah dicoba, hasil dari pengobatan yang telah dilakukan)
-
Riwayat psikiatris (misal ; diagnosis psikiatrik, pengobatan yang telah dijalani, hasil pengobatan)
-
Riwayat keluarga (misal ; penggunaan narkotika dalam keluarga, riwayat medis dan psikiatrik keluarga)
-
Riwayat Medik (misal ; sistem pengobatan yang diterima, riwayat trauma dan pembedahan sebelumnya, riwayat seksual, pengobatan saat ini dan lampau, riwayat nyeri)
-
Riwayat Sosial (misal ; kualitas lingkungan dalam pemulihan, lingkungan tempat tinggal keluarga, penggunaan narkotika pada lingkungan pendukung)
-
Riwayat legal (misal ; dalam urusan polisis, pernah dipenjara, menunggu putusan pengadilan)
-
Kesiapan berubah (misal ; pemahaman masalah penggunaan narkotika pada klien, tahapan perubahan klien, ketertarikan klien untuk oengobatan saat ini, pengobatan secara sukarela atau dipaksa)
b. Pemeriksaan Fisik
-
Kondisi umum (keadaan umum, tanda-tanda vital)
-
Perilaku (tanda-tanda intoksikasi) 44
[Type text]
-
Keadaan kulit (basah, kemerahan, bekas suntikan, peradangan, kekuningan, dll)
-
Mata, Telinga, Hidung dan Tenggorokan (warna conjunctiva, pupil mata, pembengkakan mucosa, septum nasi, rhinitis dan lain-lain)
-
Saluran pencernaan (Hepatomegali)
-
Paru dan Jantung
-
Reproduksi pria dan wanita
-
Neurologi (sensori, refleks patologis, fungsi saraf lainnya)
c. Pemeriksaan Status Mental (Dalam bentuk Checklist)
-
Penampilan umum
-
Perilaku dan interaksi dengan asessor
-
Pembicaraan
- Aktivitas motorik -
Mood dan afek
-
Persepsi (halusinasi)
-
Proses pikir
-
Isi pikir (ide-ide bunuh diri, menyakiti orang, waham)
-
Pemahaman diri (insight)
-
Kemampuan menilai
-
Motivasi untuk berubah
-
Fungsi kognitif (orientasi, daya ingat, konsentrasi, intelegensia)
-
Karakteristik kepribadian
-
Mekanisme defensif
d. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan ini merupakan bagian penting dari asesmen klinis pada klien ketergantungan narkotika, meskipun hasil pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya tidak tidak dapat memberikan diagnosis namun berbagai hasil pemeriksaan laboratorium atau penunjang lain berguna bagi pengembangan rencana terapi yang komprehensif. Beberapa pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan untuk klien dengan gangguan penggunaan narkotika, antara lain : 45
[Type text]
Pemeriksaan darah dan urin rutin
Tes Fungsi Hati (setidaknya SGOT dan SGPT)
Tes HIV melalui VCT atau PITC
Hepatitis B dan C
Serologi untuk Infeksi Menular Seksual
Tes untuk jenis zat (Toksikologi)
Tes kehamilan untuk klien wanita
Apabila secara klinis ada indikasi untuk melakukan pemeriksaan lainnya maka dapat dilakukan pemeriksaan Rongent Foto Thorax, EKG atau EEG dan pemeriksaan penunjang lain yang lebih canggih seperti CT scan atau MRI.
KAITAN ASESMEN DENGAN RENCANA TERAPI a. Pertanyaan Dalam Asesmen Saat memulai asesmen, asesor perlu memahami beberapa pertanyaan yang penting agar tidak terjadi kesalahan dalam menyimpulkan apa yang sebenarnya menjadi masalah bagi klien dan bagaimana mengatasi masalah tersebut. Beberapa daftar pertanyaan ini dapat dipertimbangkan saat kita melakukan asesmen klinis : 1.
Apa yang dianggap suatu masalah bagi klien?
2.
Apa yang menjadi tujuan klien dalam terapi?
3.
Apa saja dukungan yang tersedia
yang dapat dipilih oleh klien untuk
mencapai tujuan klien? 4.
Hambatan apa saja yang mungkin menghalangi tujuan tersebut?
5.
Cara apa saja yang mungkin dilakukan untuk mengatasi hambatan yang akan dihadapi? 46
[Type text]
6.
Apakah individu dapat menyelesaikan fase krisis dalam kehidupannya? Dan bagaimana dampaknya terhadap efikasi diri klien?
7.
Apa saja kekuatan dan sumber daya yang dimilki oleh klien dalam mencapai tujuan klien?
8.
Dukungan luar apa saja dari luar klien yang membantu klien untuk mencapai tujuan terapi?
9.
Apa jalan yang terbaik yang bisa digunakan klien baik kekuatan klien sendiri maupun dukungan sumber daya luar?
10.
Apa keinginan klien untuk melakukan sesuatu yang berbeda?
Salah satu model yang bisa digunakan dalam merencanakan program terapi bagi klien adalah dengan melihat tahapan perubahan perilaku sesuai dengan teori Prochaska dan DiClemente (1986) dan Davidson, dkk (1991). Meyakini waktu yang tepat untuk melakukan intervensi merupakan salah satu kunci kesuksesan tercapainya program. Meskipun klien masih dalam tahap ambivalens/kebimbangan ,ketrampilan terapis dapat mendorong klien untuk menerima suatu intervensi. b.
Karakteristik asesor
Agar diperoleh hasil asesmen yang akurat, diperlukan hubungan yang baik atau terapeutik antara asesor/terapis dengan klien. Beberapa sikap dan ketrampilan yang sebaiknya dimiliki oleh asesor antara lain: 1. Kemampuan interpersonal yang baik: bersikap hangat, ramah, menghargai dan empati 2. Ketulusan dalam menolong klien 3. Mampu memberikan afirmasi 4. Memberikan dukungan 5. Mampu menjadi pendengar yang baik melalui teknik “reflective listening” 6. Mampu memberikan pertanyaan terbuka dan menggali jawaban klien tanpa menginterogasi
47
[Type text]
Sikap tubuh sebagaimana yang dipersyaratkan dalam melaksanakan konseling juga merupakan salah satu alat untuk membina hubungan yang baik dengan klien. c.
Rencana Terapi Multivariat
Hasil asesmen adalah dasar untuk menentukan intervensi atau rencana terapi bagi klien. Hal yang perlu diketahui bahwa dalam mengembangkan suatu rencana terapi tidak mudah, perlu melihat berbagai faktor yang akan mempengaruhi rencana terapi tersebut. Setiap faktor berperan dalam mempengaruhi masalah gangguan penggunaan Napza yang kompleks pada klien, penting untuk menentukan rencana terapi secara individualis sesuai dengan kebutuhan klien dengan berdasarkan hasil asesmen yang akurat. Dibawah ini beberapa hal yang dapat menjadi petunjuk agar rencana terapi dapat berhasil dilaksanakan, yaitu : a.
Bersifat individual
b.
Mengembangkan kolaborasi dengan klien
c.
Isu tentang kerahasiaan harus dipegang teguh
d.
Menjaga dan fokus yang jelas terhadap agenda terapi
e.
Pemahaman yang luas oleh klien tentang bagaimana memperoleh informasi untuk asesmen dan wawancara klinis tentang semua yang terkait dengan masalah gangguan penggunaan NARKOTIKA
f.
Hindari berprasangka buruk tentang stereotipi pengguna NARKOTIKA
g.
Sensitif dalam mempertimbangkan isu-isu terkait perbedaan setiap orang baik dalam diagnosis dan juga terapi
h.
Jelaskan abstinen bukan merupakan satu-satunya tujuan terapi
i.
Menerima bahwa berbagai variabel akan menjadi gelombang masalah pada klien gangguan pengguna NARKOTIKA yang kompleks
j.
Menyediakan berbagai modalitas terapi
Asemen harus mencari pemahaman sebagai berikut : (1). Apa arti narkotika bagi klien? (2). Manfaat apa yang diperoleh mereka menggunakan narkotika? (3). Apakah penggunaan NARKOTIKA menciptakan masalah bagi klien?. Dengan melihat 48
[Type text]
penggunaan
NARKOTIKA
merupakan
suatu
masalah,
pendekatan
yang
komprehensif akan meningkatkan kualitas hidup klien.
POKOK BAHASAN 3 : JENIS INSTRUMEN DALAM SKRINING DAN ASESMEN NAPZA Pengenalan beberapa instrumen untuk Skrining Gangguan Penggunaan narkotika : 1.
ASSIST (Alcohol, Smoking, and Substance Involvement Screening Test )
2.
CAGE (Cut down, Annoyed, Guilty, Eye opener)
3.
TWEAK (Tolerance, Worried, Eye opener, Amnesia, Cut down)
4.
AUDIT ( Alcohol Use Disorders Identification Test )
5.
DAST 10 ( Drug Abuse Screening Test )
6.
CRAFFT (Car driven, Relax, Alone, Forget, Family and Friends, Trouble)
7.
ASI (Addiction Severity Index)
Skrinin g
Target Populasi
Jumlah domai n
Informasi yang diperoleh
Tatanan (paling sering)
Tehni
ASSIST (WHO)
-Orang dewasa -Sudah divalidasi dalam berbagai budaya dan bahasa termasuk di Indonesia
8
Tingkat bahaya penggunaan, dampak buruk, atau ketergantungan penggunaan NARKOTIKA (termasuk NARKOTIKA suntik)
Puskesmas
Wawancar
CAGE
Dewasa dan remaja >16 tahun
4
-Tingkat bahaya minum alkohol -Menanyakan kebutuhan untuk berhenti minum alkohol, tanda dan gejala ketergantungan serta
Puskesmas
a
Wawancar a
dan
mengisi sendiri 49
[Type text]
Skrinin g
Target Populasi
Jumlah domai n
Tatanan (paling sering)
Tehni
-Risiko minum alkohol saat hamil. Berdasar instrumen CAGE. -Menanyakan ttg banyaknya minum alkohol dan toleransinya, ketergantungan alkohol serta masalah yang ditimbulkan
Puskesmas,
Mengisi
Organisasi
sendiri,
wanita
wawancara
Identifikasi masalah penggunaan dan ketergantungan alkohol. Dapat digunakan sebagai pra skrining untuk identifikasi skrining penuh dan intervensi singkat.
-Berbagai
Mengisi
tatanan
sendiri,
Informasi yang diperoleh
masalah yang timbul terkait dengan minum alkohol
TWEAK
AUDIT (WHO)
DAST-10
CRAFFT
Wanita Hamil
5
-Dewasa dan dewasa muda -sudah divalidasi oleh berbagai bangsa dan budaya
10
Dewasa
10
Dewasa muda
dan
lain-lain.
dan komputeris asi
-AUDIT
C-
Puskesmas (3 pertanyaan)
6
wawancara dan komputeris asi
Untuk mengidentifikasi masalah penggunaan NARKOTIKA pada tahun sebelumnya
Berbagai
Mengisi
tatanan
sendiri,
Untuk identifikasi penggunaan alkohol dan NARKOTIKA, perilaku berisiko dan konsekuensi penggunaan
Berbagai
Wawancar
tatanan
a
wawancara
50
[Type text]
Skrinin g
Target Populasi
Jumlah domai n
Informasi yang diperoleh
Tatanan (paling sering)
Tehni
ASI
Dewasa
7 Aspek dengan item berbed a untuk tiap aspek
Sebagai asesmen dan dapat sebagai informasi follow up atau rencana intervensi sesuai tingkat keparahan ketergantungan klien
Berbagai
Wawancar
tatanan
a
POKOK BAHASAN IV : PERSIAPAN DALAM MELAKSANAKAN ASESMEN KLINIS DAN PRINSIP PENEGAKAN DIAGNOSIS A. PERSIAPAN DALAM MELAKSANAKAN ASESMEN KLINIS Penyakit kecanduan (adiksi) adalah suatu penyakit otak, dimana zat aktif mempengaruhi area pengaturan perilaku. Sebagai akibatnya, gejala dan tanda utama dari penyakit adiksi adalah perilaku. Berbeda dengan kebanyakan penyakit lainnya, pada adiksi, morbiditas dari penyakit ini berawal dari pencitraan diri (self-image, self respect, self-concept, sense of self-efficacy dan bahkan adanya gejala-gejala psikiatrik sering merupakan bukti awal dari penyakit), kepada hubungan interpersonal (keluarga, teman dekat serta hubungan sosial), kegemaran atau hobi, status finansial, aspek hukum, prestasi sekolah atau pekerjaan, dan akhirnya kepada kerusakan organ atau fisik. Sehingga mengapa proses asesmen merupakan aspek penting dari pendekatan penyakit adiksi. Asesmen mengungkap banyak hal yang hampir sama dengan yang dilakukan dalam skrining, namun dilakukan dengan lebih mendalam dan penekanan pada area masalah yang didapat selama skrining. Tujuan asesmen adalah untuk mengembangkan rencana terapi dan untuk menentukan waktu dan program atau layanan spesifik yang dapat diterapkan. Dengan asesmen dapat dikembangkan rencana penatalaksanaan individual atau rencana manajemen kasus dan untuk memilih berbagai tipe metode layanan terapi yang cocok untuk partisipan. Tahapan untuk asesmen meliputi riwayat penggunaan narkotik, pola penggunaan saat ini, riwayat kesehatan mental dan gejala saat ini, riwayat 51
[Type text]
dan status kriminalitas, dan area fungsi psikososial lain, defisit dari ketrampilan saat ini, dan tipe penatalaksanaan dan layanan dukungan yang dibutuhkan. Asesmen terhadap klien adalah suatu ketrampilan klinis dasar dan salah satu landasan dari perawatan klien yang berkualitas. Asesmen yang berkualitas menghubungkan diagnosis dengan penatalaksanaan awal, memastikan akurasi dari diagnosis awal, dan mengidentifikasi perawatan yang paling efisien dan efektif. Asesmen sangat penting dalam menangani klien gangguan penggunaan narkotika demikian juga untuk penyakit medik atau psikiatrik lainnya. A.1. PENEMUAN KASUS DAN SKRINING Informasi klinis yang rutin sendiri akan dapat mengidentifikasi klien dengan masalah narkotika. Beberapa klien mungkin dengan suka rela mengakui bahwa masuknya klien ke rumah sakit berhubungan dengan penyalahgunaan narkotik atau alkohol (misalnya “dok, saya abis pakaw jadi saya jatuh terkena kepala”). Pada keadaan yang lain, penyakitnya jelas berhubungan dengan gangguan penggunaan narkotik (misalnya, delirium tremens atau luka tembak akibat tembakan polisi saat dikejar karena masalah ganja) atau terdokumentasi di catatan medik. Pada keadaan-keadaan tersebut, tidak perlu dilakukan pertanyaan skrining tambahan. Pada penemuan kasus secara klinis masih mempunyai keterbatasan, misalnya klinisi bahkan dapat gagal untuk mengenali klien-klien dengan keadaan intoksikasi akut. Tes narkotika dalam tubuh yang dilakukan dapat dijadikan skrining awal yang penting untuk mendeteksi gangguan penggunaan narkotik diantara klien dengan kondisi akut. Sensitivitas, spesivisitas dan nilai prediktif dari toksikologi sebagai marker untuk gangguan penggunaan narkotika pada klien yang dirawat belum diteliti dengan baik. Hasil tes narkotika dapat sulit diinterpretasi karena sering hanya mendeteksi penggunaan yang baru saja, dan sering tidak mudah untuk membedakan antara penggunaan legal atau tidak legal, dan terdapat beberapa keterbatasan dari uji tersebut. (misalnya, banyak opioid yang tidak bereaksi silang dengan uji urin opiat yang biasanya standar untuk uji morfin). Untuk kepastian adanya zat yang memang ilegal harus dilakukan uji konfirmasi dengan menggunakan alat Gas Chromatography Mass Spectrometry (GCMS) Resep klien yang dapat dilihat dari farmasi / apotik dapat dijadikan informasi mengenai jenis obat dan dosis yang diberikan pada klien.
52
[Type text]
Jika informasi klinis atau hasil dari asesmen menyatakan suatu diagnosis gangguan penggunaan
narkotika,
dibutuhkan
informasi
tambahan
untuk
menentukan
adanya“keinginan untuk berubah” pada klien. Beberapa klien dapat mengatakan dengan jujur keadaannya (misalnya, dok, saya mempunyai masalah narkotika), sementara yang lain menunjukkan penyangkalan yang kuat dari masalahnya. Keparahan dari gangguan penggunaan narkotikaklien dapat bervariasi dari “masalah penggunaan” kepada “penyalahgunaan atau ketergantungan”. Oleh karena itu, intervensi klinis yang sesuai juga dapat bervariasi dari suatu “sesi konseling singkat” sampai merujuk pada “pengobatan gangguan penyalahgunaan yang berat”. Hasil asesmen klinis yang menyatakan klien ketergantungan narkotika atau alkohol harus segera dirujuk untuk dapat segera ditangani keadaan putus zatnya. Riwayat dari penggunaan psikotropika legal atau ilegal harus menjadi perhatian karena keadaan gejala putus zat dapat membahayakanhidupnya. Pada klien dengan ketergantungan multiple drug dapat terjadi reaksi yang sinergi sehingga memperberat efek toksisitas narkotika satu dengan narkotika atau zat lainnya, misalnya menggunakan heroin dicampur dengan obat penenang dapat terjadi penekanan pernafasan. A.2. ASESMEN AWAL Asesmen bisa didahului oleh skrining, dan saat awal masuknya klien dalam program. Dengan waktu berjalan akan nampak adanya gejala putus zat pada klien. Asesmen awal sering dilakukan pada dua sampai empat minggu pertama, untuk selanjutnya proses asesmen lanjutan tetap harus dilaksanakan dan perlu memperhatikan masalah-masalah baru yang muncul atau informasi baru yang didapat selama penatalaksanaan. Contohnya, adanya kekerasan fisik atau seksual yang sering tidak dilaporkan sampai individu merasa lebih nyaman dalam mengungkap informasi yang sensitif terhadap konselor dan petugas partisipan lainnya. Relaps yang muncul selama masa pengobatan, perubahan dalam rencana kehidupan atau pekerjaan, dan masalah baru lainnya sering terungkap oleh tim selama pengobatan, dapat dimodifikasi dengan membuat suatu rencana terapi yang disesuaikan dengan ketersediaan penyedia layanan yang berhubungan untuk memfokuskan pada masalah tersebut. A.3. MOTIVATIONAL INTERVIEWING Miller dan Rollnick (1991) mengembangkan suatu teknik wawancara alternatif yang langsung, sering konfrontatif, secara umum digunakan untuk asesmen penyalahgunaan narkotika yang dinamakan sebagai motivational interviewing (MI). Tujuan dari MI adalah untuk menggali pandangan klien menghadapi permasalahannya, menyokong 53
[Type text]
perubahan dengan menghindari label, menyatakan bahwa yang bertanggung-jawab untuk target pengobatan dan pembuat keputusan terletak pada klien. Terapis dengan hati-hati melengkapi seluruh asesmen, mendiskusikan hasilnya dengan klien sehingga rencana terapi dapat dimulai dengan suatu upaya kolaborasi dengan klien. Mengikat klien dengan cara ini akan memberikan hasil yang positif. Miller dan Rollnick memperkenalkan proses MI berikut ini dengan pendekatan client-centered untuk melakukan asesmen pada individu dengan penyalahgunaan narkotika dan masalahmasalah adiksi. 1. Prasyarat untuk berubah adalah bukan dengan menerapkan label seperti “pecandu” 2. Pengobatan adalah pilihan pribadi 3. Yang bertanggung-jawab untuk berubah adalah individu itu sendiri 4. Resistensi harus dipandang sebagai suatu hubungan oleh karena pengaruh dari sikap terapis atau sikap terhadap individu 5. Mendorong perencanaan terapi yang kolaboratif 6. Memandang “ambivalensi” versus “penyangkalan” sebagai suatu masalah pengobatan utama Hal yang paling mendasar, dan kadang-kadang paling mengungkap dari asesmen adalah observasi dari individu dan atau orang yang paling signifikan atau keluarga. Selama asesmen perlu diperhatikan komunikasi verbal maupun nonverbal, sikap, dan secara keseluruhan status mental untuk menghasilkan sejumlah hipotesis yang relevan untuk motivasi dan pilihan-pilihan terapi.
B. PRINSIP PRINSIP PENEGAKKAN DIAGNOSIS Penegakan diagnosis merupakan suatu proses yang menjadi dasar dalam menentukan rencana terapi selanjutnya. Pada awal asesmen seringkali banyak informasi yang belum dapat digali baik disebabkan oleh karena kondisi klien yang dibawah pengaruh narkotika atau juga akibat ketrampilan asesor dalam melakukan wawancara yang masih terbatas. Beberapa prinsip dalam menegakkan diagnosis bagi pengguna narkotika, antara lain : 1. Diagnosis tidak selalu dapat diperoleh pada asesmen awal 54
[Type text]
2. Diperlukan informasi tambahan dari keluarga atau orang yang mengantar 3. Yakinkan klien dalam kondisi sadar penuh tidak dibawah pengaruh narkotik, sehingga tidak mengacaukan informasi yang diperoleh 4. Asesmen perlu dilakukan berulang, karena diagnosis bisa saja berubah setelah dilakukan pemeriksaan ulang (mis ; adanya dual diagnosis yang belum terlihat pada asesmen awal) 5. Pemeriksaan tes narkotika pada kondisi akut dapat membantu diagnosis 6. Perlu diperhatikan area-area lain yang terkait dengan penggunaan narkotika untuk menjadi perhatian dalam rencana terapi Oleh karena sering terjadi komorbiditas penyalahgunaan narkotika dengan masalah kesehatan mental, maka sangat penting untuk mendapatkan riwayat penggunaan narkotika yang akurat. Untuk mengenali hubungan diantaranya, apakah hal tersebut akibat dari pengobatan diri sendiri, atau dari mekanisme coping yang buruk yang berhubungan dengan diagnosis psikiatrik, atau gejala-gejala mood/perilaku yang berhubungan dengan stimulasi atau depresan susunan saraf pusat, maka perlu melihat pada penggolongan diagnosis menurut DSM-IV. Hubungan antara penyalahgunaan narkotika dengan gangguan kepribadian atau gangguan mood atau gangguan cemas pada orang dewasa, dan dengan gangguan pemusatan perhatian dan gangguan mood pada remaja adalah sering terjadi. Pada banyak kasus penyalahgunaan narkotika tidak akan terdiagnosis jika asesmen tidak menjadi bagian dari setiap evaluasi kesehatan mental. Adapun seluruh zat yang dimaksud dalam DSM-IV, kategori gangguan penggunaan zat berhubungan dengan suatu keadaan intoksikasi yang patologis, zat tersebut bervariasi apakah keadaan patologis berhubungan dengan keadaan putus zat atau hilangnya pengaruh zat dalam tubuh. Dalam sistem DSM-IV, klien yang mengalami intoksikasi atau putus zat bersamaan dengan gejala psikiatrik tetapi tidak memenuhi kriteria untuk suatu pola sindrom spesifik dari gejala (misalnya depresi) didiagnosis dengan intoksikasi zat atau putus zat, kemungkinan bersamaan dengan ketergantungan atau penyalahgunaan. Komorbiditas atau disebut sebagai dual-diagnosis adalah diagnosis dari dua atau lebih gangguan psikiatrik pada satu klien. Suatu survey dalam komunitas yang besar melaporkan bahwa 76% laki-laki dan 65% perempuan dengan diagnosis penyalahgunaan atau ketergantungan zat mempunyai diagnosis gangguan psikiatrik. 55
[Type text]
Komorbiditas yang paling sering terjadi mengenai penyalahgunaan dua macam zat, biasanya alkohol dan zat lainnya. Diagnosis psikiatrik lainnya umumnya berhubungan dengan penyalahgunaan zat adalah gangguan kepribadian antisosial, fobia (dan gangguan cemas lainnya), gangguan depresi berat, dan gangguan distimia. Secara umum, zat yang paling potensial dan berbahaya mempunyai angka komorbiditas yang tinggi. Contohnya, komorbiditas gangguan psikiatrik lebih sering pada pengguna opioid dan kokain dari pada mariyuana. KRITERIA DIAGNOSIS UNTUK INTOKSIKASI SESUAI DSM IV A. Perkembangan dari suatu sindrom zat spesifik yang reversibel disebabkan karena penggunaan yang baru. (catatan: zat yang berbeda dapat memperlihatkan sindrom yang sama atau identik) B. Secara klinis, perubahan perilaku dan psikologik maladaptif yang signifikan disebabkan karena efek dari zat didalam sistem saraf pusat (misalnya, agresif, mood yang labil, gangguan kognitif, daya nilai terganggu, fungsi pekerjaan atau sosial terganggu) dan berkembang selama atau segera sesudah penggunaan zat C. Gejala-gejala tersebut bukan disebabkan oleh karena suatu kondisi medis umum dan tidak diperhitungkan untuk suatu gangguan mental lainnya. KRITERIA DIAGNOSIS UNTUK PUTUS ZAT SESUAI DSM-IV A. Perkembangan dari suatu sindrom zat spesifik disebabkan karena penghentian (atau pengurangan) penggunaan zat yang berat dan lama. B. Sindrom zat spesifik secara klinis menyebabkan penderitaan atau gangguan yang signifikan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau area penting lainnya. C.
Gejala-gejala tersebut bukan disebabkan oleh karena suatu kondisi medis umum dan tidak diperhitungkan untuk suatu gangguan mental lainnya.
KRITERIA DIAGNOSIS KETERGANTUNGAN ZAT SESUAI DSM-IV 56
[Type text]
Suatu pola penggunaan zat yang maladaptif, secara klinis mengarah pada gangguan atau penderitaan yang signifikan, diperlihatkan dengan 3 atau lebih dari item dibawah ini, muncul kapanpun selama periode 12 bulan. (1) Toleransi, ditentukan oleh berikut ini: (a) Kebutuhan yang jelas untuk meningkatkan sejumlah zat untuk mendapatkan efek yang diinginkan atau intoksikasi. (b) Secara jelas efeknya berkurang jika penggunaan dilanjutkan dengan jumlah zat yang sama (2) Putus zat, ditunjukkan oleh berikut ini: (a) Karakteristik sindrom putus zat (merujuk pada Kriteria Diagnosis Putus Zat Spesifik A dan B). (b) Menggunakan zat yang sama (atau berhubungan dekat) untuk mengurangi atau menghindari gejala putus zat (3) Zat sering digunakan dalam jumlah besar atau selama periode yang lebih lama dari yang diharapkan (4) Terdapat suatu keinginan yang kuat atau upaya yang tidak berhasil untuk mengurangi atau mengontrol penggunaan zat (5)
Sejumlah besar waktu digunakan untuk aktivitas mencari zat (misalnya mengunjungi berbagai dokter atau perjalanan jarak jauh), menggunakan zat, atau pulih dari efek zatnya.
(6) Aktivitas-aktivitas sosial, pekerjaan, atau rekreasional penting lain ditinggalkan atau dikurangi karena penggunaan zat. (7) Penggunaan zat diteruskan walaupun telah mengetahui dirinya telah mempunyai permasalahan fisik atau psikologik berulang atau menetap yang disebabkan atau dieksaserbasi oleh zat (misalnya, terus menggunakan kokain walaupun mengetahui kokain menyebabkan depresi atau terus minum alkohol walaupun mengetahui bahwa luka lambungnya diperberat oleh konsumsi alkohol).
57
[Type text]
Tentukan jika:
-
Dengan ketergantungan fisiologik : terbukti dari toleransi atau putus zat (diperlihatkan dengan adanya item 1 atau 2)
-
Tanpa ketergantungan fisiologik : tidak ada bukti toleransi atau putus zat (tidak diperlihatkan dengan adanya item 1 atau 2)
Tentukan perjalanan penyakitnya:
-
Remisi total awal: minimal 1 bulan - kurang dari 12 bulan, tidak memenuhi kriteria ketergantungan atau penyalahgunaan.
-
Remisi parsial awal: minimal 1 bulan - kurang dari 12 bulan, memenuhi satu atau lebih kriteria ketergantungan atau penyalahgunaan, tetapi tidak memenuhi semua kriteria ketergantungan.
-
Remisi total berkelanjutan: tidak memenuhi kriteria ketergantungan atau penyalahgunaan selama periode 12 bulan atau lebih.
-
Remisi parsial berkelanjutan: tidak memenuhi semua kriteria ketergantungan atau penyalahgunaan selama periode 12 bulan atau lebih, akan tetapi memenuhi satu atau lebih kriteria ketergantungan atau penyalahgunaan.
-
Dalam terapi agonis: jika individu dalam pengobatan agonis yang diresepkan, dan tidak memenuhi kriteria ketergantungan atau penyalahgunaan untuk golongan pengobatan minimal selama 1 bulan terakhir (kecuali toleransi atau putus zat dari agonis) demikian pula untuk yang menggunakan parsial agonis atau suatu antagonis.
-
Dalam lingkungan terkontrol: jika individu berada dalam lingkungan dimana akses zat atau alkohol yang dikontrol terbatas, dan tidak memenuhi kriteria ketergantungan atau penyalahgunaanuntuk minimal 1 bulan (misalnya dalam tahanan dengan supervisi bebas zat yang ketat, therapeutic communities, unit rumah sakit tertutup)
POKOK BAHASAN 5 :TUJUAN PENGISIAN FORMULIR Formulir ini merupakan interview yang relatif singkat dan merupakan adaptasi dari rangkaian pertanyaan dalam instrument ASI ( Addiction Severity Index ) atau Indeks 58
[Type text]
Keparahan Adiksi. Sebagaimana diketahui bahwa ASI merupakan instrument yang sudah semi-terstruktur dan dirancang untuk memberikan informasi penting tentang aspek-aspek kehidupan klien yang dapat memberi kontribusi pada sindrom penyalahgunaan zat. Dalam pelaksanaannya, penting sekali diingat bahwa klien memahami tujuan dari interview. Interview ini merupakan sebagai langkah pertama dalam pemahaman rentang keseluruhan masalah untuk mana klien yang melaksanakan wajib lapor dan membantu menyusun untuk rencana rehabilitasi medik yang sesuai dengan kebutuhan klien. Rehabilitasi medik yang dimaksud adalah terapi yang ditujukan untuk masalah penggunaan zatnya dan kondisi medis lain yang terkait. Pewawancara harus memperkenalkan dirinya sendiri dan secara singkat menyatakan bahwa ia ingin mengajukan beberapa pertanyaan berkenaan dengan rencana untuk terapi. Pewawancara juga harus menambahkan bahwa interview akan sungguhsungguh bersifat rahasia, dan bahwa informasi tidak akan keluar dari setting terapi. Catatan: Hal ini harus ditekankan kembali di sepanjang interview. Pewawancara kemudian harus menggambarkan disain interview, menekankan ke tujuh area masalah potensial. Area ini adalah: Medis, Pekerjaan/Dukungan, Zat/Alkohol, Legal, Keluarga/Sosial, dan Psikiatris. Penting juga pewawancara menekankan sifat alamiah dari kontribusi klien. Misalnya, pewawancara harus menyatakan: “Kami telah memperhatikan bahwa ketika seorang klien mempunyai masalah zat,ternyata banyak masalah lain yang signifikan seperti medis, pekerjaan, keluarga, dll. Oleh karena itu, saya akan mengajukan beberapa pertanyaan yang mungkin terkait dengan masalah penggunaan zat anda saat ini.....” Klien sebaiknya dipersiapkan untuk berkonsentrasi pada tiap area secara independen. Berkenaan dengan hal ini penting supaya klien tidak mengacaukan masalah di area tertentu dengan kesulitan yang dialami di area lain, seperti mengacaukan masalah psikiatris dengan masalah akibat efek langsung dari intoksikasi zat. Pewawancara dapat memperkenalkan tiap pergantian area pertanyaan, misalnya : “Kami telah berbicara dengan anda tentang masalah medis anda, sekarang saya akan mengajukan beberapa pertanyaan tentang pekerjaan atau dukungan lain yang mungkin anda miliki. POKOK BAHASAN 6 : PROSEDUR PENGISIAN FORMULIR Skala Penilaian Klien Hal penting bahwa klien mengembangkan kemampuan untuk mengkomunikasikan sejauh mana ia telah mengalami masalah di tiap area terpilih, dan sejauh mana ia merasa
59
[Type text]
terapi untuk masalah ini adalah penting. Perkiraan subyektif adalah penting keikutsertaan klien dalam asesmen kondisi dirinya.
untuk
Untuk menstandarkan asesmen ini digunakan sebuah skala 5 poin (0-4) bagi klien menilai keparahan masalah mereka dan sejauh mana mereka merasa terapi penting untuk mereka. 0 1 2 3 4
tidak sama sekali ringan sedang berat sangat berat
Bagi beberapa klien mampu menggambarkan kondisinya dengan menggunakan skala ini, namun pada beberapa kasus penting juga untuk membujuknya menggunakan bahasa mereka sendiri dalam mengungkapkan pendapatnya daripada memaksa menentukan sebuah pilihan dari skala. Penilaian klien akan luas atau parahnya masalahnya di satu area harus tidak didasarkan pada persepsinya akan masalah-masalah lain. Pewawancara harus berusaha untuk mengklarifikasi masing-masing penilaian sehingga satu area masalah yang terpisah, dan memfokuskan periode waktu pada 30 hari sebelumnya. Jadi, penilaian harus dibuat berdasarkan masalah aktual saat ini, bukan masalah potensial. Jika seorang klien melaporkan tidak ada masalah selama 30 hari sebelumnya, lalu sejauh mana dia telah diganggu oleh masalah-masalah itu harus 0 dan pewawancara harus menanyakan sebuah pertanyaan penegasan sebagai pemeriksaan pada informasi sebelumnya.Contoh penegasan yang dapat diungkapkan : ” Karena anda telah mengatakan anda tidak mempunyai masalah medis dalam 30 hari terakhir, dapatkah saya mengasumsikan bahwa pada saat ini anda tidak merasakan kebutuhan untuk terapi medis apapun?
Klarifikasi Selama wawancara diupayakan untuk klarifikasi mengenai pertanyaan-pertanyaan dan respons-respons yang dianggap perlu sekali untuk menghasilkan wawancara yang valid. Untuk memastikan kualitas informasi, pastikan maksud dari tiap pertanyaan jelas bagi klien. Cara mengajukan pertanyaan tidak perlu persis seperti ditulis, dapat menggunakan penyusunan kata-kata sendiri ( paraphrasing) atau sinonim yang sesuai .
60
[Type text]
Di sebuah kasus dimana klien tampak mempunyai kesukaran dalam memahami banyak pertanyaan, mungkin bermanfaat untuk tidak melanjutkan interview. Dalam hal ini jauh lebih baik untuk menunggu sehari atau lebih agar klien pulih dari kebingungan awal, efek disorientasi dari penyalahgunaan zat akhir-akhir ini daripada mencatat respons yang membingungkan. Demikian juga pada klien yang dalam kondisi putus zat atau intoksikasi maka proses wawancara dapat ditunda sampai kondisi stabil. Jika klien merasa tidak nyaman memberikan sebuah jawaban, maka klien dapat menolak untuk menjawab. ”Tolong jangan memberikan informasi yang tidak akurat!”. Maka beri tanda silang di depan nomor pertanyaan.
Penilaian oleh Pewawancara Penilaian yang diperoleh pewawancara pada tiap-tiap area masalah individual dapat berguna secara klinis. Penting diingat bahwa penilaian dalam tiap area didasarkan hanya pada respons terhadap pertanyaan obyektif dan subyektif di dalam area itu dan bukan informasi ekstra yang diperoleh di luar wawancara. Untuk meningkatkan reliabilitas dan perkiraan, semua pewawancara harus mengembangkan sebuah metode sistematis yang umum untuk memperkirakan keparahan dari tiap masalah. Untuk tujuan interview ini, keparahan akan diberi definisi sebagai kebutuhan untuk terapidimana saat ini tidak ada; atau untuk sebuah bentuk tambahan atau jenisterapi dimana sekarang ini sudah menerima beberapa bentuk terapi. Penilaian ini harus didasarkan pada jumlah, lama, dan intensitas simtom di dalam satu area problem. Berikut adalah petunjuk umum untuk penilaian; 0 – 1 Tidak ada masalah nyata, terapi tidak diusulkan 2 – 3 Masalah ringan, terapi mungkin tidak diusulkan 4 – 5 Masalah sedang, beberapa terapi diusulkan 6 – 7 Masalah sungguh-sungguh ada, terapi diperlukan 8 – 9 Masalah ekstrim, terapi mutlak diperlukan Adalah penting untuk dicatat bahwa penilaian ini dimaksudkan sebagai perkiraan sejauh mana beberapa bentuk intervensi efektif diperlukan tanpa memperhatikan apakah 61
[Type text]
terapi itu tersedia atau bahkan yang belum ada. Misalnya, seorang klien dengan TB paru aktif akan memerlukan sebuah penilaian keparahan 9, menunjukkan bahwa terapi memang sepenuhnya diperlukan. Klien yang menunjukkan sedikit simtom masalah dapat dinilai dengan taraf keparahan masalah yang rendah. Penilaian keparahan yang sangat tinggi harus menjadi indikasi yang berhubungan dengan kebutuhan tinggi untuk terapi.
Prosedur Perolehan Penilaian Keparahan Langkah 1 : Dapatkan sebuah rentang skor (dua poin) yang paling baik menggambarkan kebutuhan klien akan terapi pada saat ini berdasarkan data obyektif saja 1. Bentuklah sebuah gambaran kondisi klien berdasarkan aitem obyektif. 2. Formulasikan sebuah rentang perkiraan – kira-kira.
Langkah 2: Pilihlah satu poin di dalam rentang di atas menggunakan hanya data subyektif di seksi itu. 1. Jika klien menganggap masalah sungguh-sungguh dan merasa terapi adalah penting, pilih poin yang tinggi di dalam rentang itu. 2. Jika klien menganggap masalah kurang serius dan menganggap kebutuhan untuk terapi kurang penting, pilihlah penilaian yang rendah.
POKOK BAHASAN 7 : TEKNIK WAWANCARA DAN PENGISIAN FORMULIR Teknik Interview yang Dianjurkan: Penting buat klien untuk memahami tujuan dilakukannya asesmen dalam wajib lapor sehingga mendorong kesungguhan klien untuk menjawab tiap pertanyaan. Klien akan lebih terbuka untuk menjawab pertanyaan jika pertanyaan diajukan dalam cara yang langsung dan tidak konfrontasional. Pewawancara dapat hanya membaca pertanyaan seperti ditulis atau dapat dengan cara yang lebih efektif menguraikan dengan kata-kata sendiri sehingga memperoleh informasi yang diinginkan.
Pertanyaan Tambahan:
62
[Type text]
Pertanyaan tambahan adalah pertanyaan yang tidak muncul dalam formulir wajib lapor. Pertanyaan tambahan mungkin memberikan informasi yang menolong untuk memahami masalah klien sepenuhnya karena pertanyaan dalam formulir ini sangat minimal untuk memulai sebuah rencana terapi. Kadang-kadang, menanyakan banyak pertanyaan tambahan di bagian pertama dari seksi masalah menolong wawancara untuk mengalir lebih alamiah.
63
[Type text]
Bagian kepala kuesioner :
Tanggal Kedatangan
: Cantumkan tanggal-bulan-tahun kedatangan pasien
Nomor rekam medik
: Cantumkan nomor rekam medik pasien atau nomor barcode bila sudah tersedia
Nama
: Cantumkan nama lengkap sesuai dengan tanda identitas diri pasien ( KTP ) atau identitas lain serta sama dengan nama yang tertulis dalam status rekam medis. Untuk anak dibawah umur maka identitas sesuai dengan yang diberikan oleh orang tua atau wali anak tersebut, dan lampirkan identitas orangtua atau wali anak.
Alamat tempat tinggal
: Cantumkan alamat terakhir pasien atau alamat tujuan setelah pasien selesai terapi. Bila pasien tidak memiliki tempat tinggal tetap, cantumkan alamat dimana pasien paling sering tinggal
Telepon/HP
: Cantumkan nomor telepon rumah atau telepon genggam pasien atau nomor telepon keluarga/teman terdekat yang dapat dihubungi oleh petugas
Usia
: Cantumkan usia saat tanggal kedatangan
Jenis Kelamin
: Cantumkan jenis kelamin laki-laki atau perempuan, sesuai yang terlihat
1.
InformasiDemografis : 1. Status perkawinan: Cantumkan kode status perkawinannya pada kotak yang diarsir sebelah kanan, sesuai kondisinya saat ini. Misalkan pasien menjadi sudah menikah, maka tulis angka 2 di kotak yang diarsir sebelah kananya. 2. Riwayat pendidikan: Cantumkan kode pendidikan terakhir yang pernah ditempuh pada kotak yang diarsir sebelah kanan, sebagaimana pencatuman kode perkawinan di atas.
Catatan Skala Penilaian Pasien: Pada pertanyaan tentang Status Medis hingga Status Psikiatrik, terdapat skala penilaian pasien pada sebelah kiri masing-masing domain. Skala penilaian pasien wajib diisi dengan cara bertanya pada pasien setiap asesmen untuk masing-masing domain selesai dilakukan. Hal ini didasari pertimbangan bahwa pendapat pasien merupakan masukan yang penting. Tanyakan pada pasien, seberapa pentingnya ia membutuhkan terapi terkait kondisi medisnya. Mintalah pasien untuk memberi nilai sebagai berikut; 0 = Tidak membutuhkan sama sekali 1 = Agak membutuhkan 2 = Cukup membutuhkan 3 = Membutuhkan 4 = San at membutuhkan
64
[Type text]
2.
Status Medis : Cantumkan kapan wawancara tentang status medis pasien dilakukan. Mohon diingat bahwa wawancara mungkin saja dilakukan tidak bersamaan dengan tanggal kedatangan pasien. 1. Riwayat rawat inap yang tidak terkait masalah Narkotika: Cantumkan jenis penyakit, tahun rawat dan lamanya perawatan (dalam hari). Yang dimaksud disini adalah jumlah hari menginap di rumah sakit karena masalah medis, misalnya karena penyakit typhus, demam berdarah, kecelakaan, atau perawatan medis lainnya, termasuk over dosis dan delirium tremens. Tidak termasuk: detoksifikasi atau bentuk lain terapi rehabilitasi alkohol dan napza; perawatan kejiwaan; atau perawatan karena kelahiran anak secara normal (tanpa komplikasi) Catatan: elaborasi jawaban pasien secara rinci, dengan menanyakan tahun ketika perawatan terjadi, kejadian lain dalam kehidupan pasien pada waktu itu, untuk setiap perawatan. Informasi tambahan membuat proses wawancara lebih mengalir sebagai sebuah percakapan. Selain itu juga membantu kita melihat kemungkinan keterkaitan masalah medis dengan waktu-waktu pemakaian Napzanya. Catatlah keterangan ini di bagian yang kosong dari formulir tersebut.
2. Riwayat penyakit kronis: Cantumkan penyakit kronis yang diderita pasien terutama yang memerlukan perawatan berkesinambungan (misal: pengobatan, pengaturan diet, ketidakmampuan untuk menjalankan kegiatan normal). Beberapa contoh dari penyakit kronis adalah: hipertensi, diabetes, epilepsi, cacat fisik atau penderita HIV yang telah membutuhkan terapi Anti Retroviral (ARV). 3. Saat ini sedang menjalani terapi medis? Catat kode jawaban pasien pada kotak yang diarsir sebelah kanan pertanyaan. Jenis terapi medis: Cantumkan bila pasien saat ini dalam program terapi tertentu, terkait kondisi medis apa dan jenis terapi medis yang dijalani saat ini, misalnya pengobatan insulin karena kondisi diabetis.
4. Status kesehatan: Tanyakan apakah pasien pernah menjalankan tes HIV, Hepatitis B dan C? Tulis kode jawaban pada kotak yang diarsir sebelah kanan pertanyaan. Apabila pasien tidak keberatan, tanyakan bagaimana hasilnya.
65
[Type text]
3.
Status Pekerj aan/Dukung an Hidup :
Cantumkan kapan wawancara tentang status pekerjaan/dukungan hidup pasien dilakukan. Mohon diingat bahwa wawancara mungkin saja dilakukan tidak bersamaan dengan tanggal kedatangan pasien. 1. Status pekerjaan: Tanyakan apakah pada saat sekarang pasien mempunyai kegiatan atau pekerjaan tertentu. Tulislah kodenya dikotak yang diarsir. Eksplorasi informasi tambahan dimana dia bekerja dan sudah berapa lama dia menjalani pekerjaan tersebut. Tuliskan info tambahan di bagianbagian yang kosong. Bila tidak ada pekerjaan/kegiatan, langsung ke nomor 4. 2. Bila bekerja, pola pekerjaan: Pewawancara harus menentukan pekerjaan yang paling mewakili kondisi pasien saat ini. Pekerjaan penuh waktu adalah yang teratur, ≥ 35 jam/minggu. Pekerjaan paruh waktu dimana pasien mempunyai jadwal kerja ≤ 35 jam /minggu, tapi teratur dan terus menerus. Yang dimaksud dengan pekerjaan tidak tentu adalah pekerjaan dimana jumlah jam kerja kurang dari 35 jam/minggu, tetapi tidak memiliki jadwal tetap. Bila terdapat waktu yang sama untuk lebih dari satu kategori, catatlah yang paling mewakili situasi saat ini. 3. Kode pekerjaan: Pilihlah kode pekerjaan sesuai dengan pekerjaan pasien sehari-hari. Tentukan jenis pekerjaan pasien masuk kelompok yang mana ( kategori Holingshead) dan beri tanda dengan dilingkari. 4. Ketrampilan teknis yang dimiliki: Tanyakan pasien tentang pendidikan teknis formal atau pelatihan yang pernah mereka ikuti dan dapat dituliskan dalam aplikasi pekerjaan (curiculum vitae). 5. Adakah yang memberi dukungan hidup bagi anda? Tulis kode sesuai jawaban pasien di kotak yang diarsir. Yang dimaksud dukungan hidup adalah pemberian uang, tempat tinggal, makanan, biaya pengobatan/perawatan secara teratur dari berbagai sumber, kecuali institusi (mis. yayasan). Catatan : Pasien yang tinggal dengan orang tua diatas usia 18 tahun, dianggap juga menerima dukungan hidup, setidaknya dari segi tempat tinggal dan/atau makanan). 6. Bila ya, siapakah? Tuliskan pemberi dukungan hidup bagi pasien, seperti orangtua, keluarga, teman saudara, dan bukan sebuah institusi
66
[Type text]
Kategori Holingstead 1. Eksekutif pengambil keputusan tertinggi, profesional utama, pemilik perusahaan besar 2. Manajer bisnis ukurang menengah; profesi (mis. dokter, perawat, apoteker, pekerja sosial profesional, guru, psikolog, dll 3. Tenaga administratif, penyelia (supervisor, pemilik perusahaan kecil (mis. perusahaan roti, show room mobil kecil, dll), dekorator, aktor, agen perjalanan, dll 4. Klerk, sales, teknisi, bisnis kecil (kasir bank/teller, petugas pembukuan, juru gambar, pencatat waktu, sekretaris) 5. Manual terlatih (biasanya dalam menjalankan tugas, perlu menerima pelatihan), misalnya tukang roti, tukang cukur, montir, juru masak, montir, tukang cat, penjahit, dll) 6. Semi-terlatih, mis. pembantu rumah sakit, tukang cat, pelayan, pelayan, supir, dll 7. Tidak terlatih (pembantu, penjaga, buruh, tukang parkir, dll)
DAFTAR ZAT YANG UMUM DIGUNAKAN:
Alkohol : Heroin : Metadon: Opiat:
Bir, anggur (wine), liquor, grain (metil alcohol),sopi,tuak,ciu Smack,H,Horse,Brown Sugar Dolophine, LAAM Opium, Fentanyl, Buprenorphine, pereda nyeri -Morfin, Dilaudid, Demerol, Percocet, Darvon, dll. Barbiturat: Nembutal, Seconal, Tuinal, Amytal, Pentobarbital, Secobarbital, Fenobarbital, Fiorinal, Doriden, dll. Sed/Hip/: Benzodiazepin = diazepam, lorazepam, chlordiazepoxide,oxazepam Trankuil clorazepate, flurazepam,triazolam,alprazolam, meprobamat, Lain-lain = Kloral Hidrat, Quaaludes Kokain: Kristal Kokain, Free-Base Cocaine, Crack, Rock,dll. Amfetamin/: Monster, Crank, Benzedrine, Dexedrine, methylphenidate/, Stimulan Preludin, Metamfetamin, Speed, Ice, Crystal,Khat Kanabis: Marijuana, Hashish,Pot,Bango Igbo, Indian Hemp, Bhang, Charas, Ganja, Mota, Anasha Halusinogen: LSD (Acid), Meskalin, Psilocybin (Mushrooms), Peyote, PCP, MDMA,Ekstasi, Angel Dust Inhalan: Nitrous Oxide (Whippits), Amyl Nitrite (Poppers), Lem, Solvents, Gasoline, Toluene, Etc. Zat-zat lain yang juga disalahgunakan di Indonesia adalah dekstrometrofan, triheksifenidil (THP), gama-hidroksibutirit asid (GHB), ketamin, dan beberapa zat lain yang tidak dapat digolongkan pada jenis zat-zat di atas, karena lebih sebagai prekursor (bahan dasar). Apabila klien menggunakan zatzat yang tidak dapat digolongkan pada golongan besar di atas, silakan ditulis pada bagian yang kosong di sekitar domain riwayat penggunaan Napza.
67
[Type text]
4.
Status Penggun aan Narkotika :
Cantumkan kapan wawancara tentang status penggunaan narkotika pasien dilakukan. Mohon diingat bahwa wawancara mungkin saja dilakukan tidak bersamaan dengan tanggal kedatangan pasien. D1 – D11. Pertanyaan tentang status penggunaan narkoti ka terdi ri d ari 3 kompo nen: - Penggunaan 30 hari terakhir Tanyakan apakah pasien menggunakan zat terkait (D1 – D12) dalam 30 hari terakhir atau sebulan terakhir. Bila ya, berapa harikah dalam sebulan lalu pasien menggunakannya. Penekanan adalah pada jumlah hari, bukan dosis harian. Tuliskan jawaban pasien dalam format dua digit. Misalkan 8 hari, maka ditulis 08 pada kolom-kolom jawaban -
Penggunaan sepanjang hidup (dalam tahun) Mencatat periode penggunaan tetap Napza. Yang dimaksud penggunaan tetap adalah: frekuensi 3 kali atau lebih tiap minggunya; penggunaan hanya dua hari seminggu atau tidak tentu, tetapi selalu dalam kondisi mabuk berat atau menimbulkan problem pekerjaan, sekolah, atau kehidupan keluarga minum alkohol sesekali tetapi setiap kali minum dalam frekuensi terus menerus hingga menimbulkan intoksikasi berat. Perhitungan waktu menggunakan ” half rule time” yaitu enam bulan ke bawah dihitung 0 (nol) tahun dan enam bulan atau lebih dihitung 1 (satu) tahun.
-
Cara pakai Terdapat lima cara pakai Napza, yaitu: Oral (kode 1); Nasal/suppositoria/sublingual (kode 2); Dirokok (kode 3); Suntik intra muskular (kode 4) dan Suntik intravena (kode 5).
Tulislah kodenya pada kotak cara pakai. Risiko penggunaan dicerminkan dari kode yang ada. Semakin besar nilai kodenya, semakin berisiko. Bila pasien menggunakan dua cara, misalnya oral (kode 1) dan suntik intravena (kode 5), maka yang ditulis dalam kotak cara pakai adalah kode 5. Namun demikian pewawancara diharapkan menulis catatan penggunaan lainnya pada bagian yang kosong. Catatan: Penting menanyakan riwayat semua jenis zat (dari D1 hingga D12) yang pernah digunakan tanpa memperhatikan masalah saat ini (misal, pengguna alkohol mungkin menggabungkan zat dengan minum alkohol; seorang pengguna kokain mungkin tanpa menyadari akan masalah minum alkohol). Sebagai informasi tambahan tanyakan Kuantitas penggunaan tiap hari, perkiraan jumlah uang yang dihabiskan untuk zat perhari dan bagaimana pola penggunaannya (hanya pada akhir minggu, misalnya). D12. Zat Multipel Untuk mencatat informasi tentang kombinasi penggunaan zat. Dalam 30 hari terakhir, tanyakan berapa hari pasien menggunakan lebih dari satu macam zat termasuk alkohol. Dalam penggunaan sepanjang hidup tanyakan pasien berapa lama ia secara tetap (umumnya 3 kali per minggu selama satu bulan atau lebih) menggunakan lebih dari satu zat per hari termasuk alkohol.
68
[Type text]
13. Jenis zat u tama yang disalahgun akan: ........................................... Pewawancara harus menentukan zat utama yang disalahgunakan berdasarkan tahun-tahun penggunaan, seringnya terapi, riwayat jumlah mengalami Delirium Tremens (DTs) atau Ovedosis. Jika informasi memberikan tidak ada indikasi yang jelas tentang masalah zat, lalu tanyakan pada pasien apa yang ia anggap adalah masalah zat utama (pilih dari kelompok zat di atas : D1 – D12) 14. Pernahkah menjalani terapi rehabil itasi?
Tulis kode pilihan pasien pada kotak diarsir sebelah kanan 15. Jenis terapi rehabili tasi yang dij alani Catat riwayat pasien menjalani program terapi rehabilitasi: misalkan detoksifikasi; program terapi rumatan metadon; program terapi rumatan buprenorfin; rehabilitasi rawat inap jangka pendek; rehabilitasi rawat inap jangka panjang; AA/NA, dan lain-lain. 16. Pernahkah mengalami overdosi s? Tulis kode pilihan pasien pada kotak diarsir sebelah kanan 18. Waktu overdosi s
Catat kapan hal tersebut terjadi 19. Cara penanggul angan overdosi s: Tulis kode pilihan pasien pada kotak diarsir sebelah kanan
5.
Status Legal :
Berapa kali kah dalam hidup anda ditangkap dan dituntut dengan hal berikut Catatlah jumlah penangkapan dengan tuduhan resmi (tidak selalu harus berakibat pemenjaraan) yangdialami pasien sepanjang hidupnya, untuk masing-masing jenis tindakan yang tertera pada nomor 1 hingga 14. Misalkan, pasien mengalami penangkapan karena pemalsuan resep sebanyak 10 kali sepanjang hidupnya. Maka, tuliskan dalam format dua digit pada kotak di sebelah kanannya Catatan: Jangan masukkan kejahatan remaja (sebelum usia 18), kecuali jika pengadilan mengadili pasien sebagai orang dewasa, yang terjadi dalam kasus kejahatan yang sangat serius . 15. Berapa kali tuntutan di atas berakibat vonis hukuman? Catatlah berapa kali penangkapan dan penuntutan pada poin 1 – 14 berakibat pada vonis hukuman. Dalam hal ini termasuk denda, masa percobaan, penundaan hukuman dan juga hukuman yang memerlukan penahanan. Tuntutan untuk pembebasan bersyarat dan/atau pelanggaran masa percobaan dianggap vonis hukuman.
69
[Type text]
6.
Riwayat Keluarga : 1. Dalam situasi seperti apakah anda tinggal 3 t ahun belakangan?
Tulislah kode pilihan pasien pada kotak yang diarsir sebelah kanan. Pilihan menggambarkan dalam situasi apa pasien hidup selama 3 tahun terakhir. Bila terdapat berbagai situasi, pilihlah yang paling mewakili periode 3 tahun terakhir. Jika jumlah waktu atas masing-masing situasi kurang lebih sama, pilihlah situasi yang paling terakhir. 2. Apakah anda hidup dengan seseorang yang mempuny ai masalah penyalahgun aan zat sekarang ini?
Tulislah kode pilihan pasien pada kotak yang diarsir sebelah kanan. Apabila jawabannya tidak, dapat langsung bertanya pertanyaan nomor 4. 3. Jika ya, siapakah mereka?
Tulislah kode pilihan pasien pada kotak yang diarsir sebelah kanan. Catatan: perjelas hubungan pasien dengan orang yang menggunakan zat (ayah/ibu,abang/kakak/adik, suami/istri/pasangan, keluarga,lainnya) 4. Apakah anda memiliki kon fli k serius dalam berhubungan dengan:
Yang dimaksud dengan konflik serius adalah suatu hubungan yang buruk, mencakup . hambatan komunikasi yang serius, ketidakpercayaan, tidak adanya saling pengertian, kebencian atau rasa permusuhan. Tulislah kode 1 untuk ya dan kode 0 untuk tidak pada kolom waktu berikut ini: 30 hari terakhir:
Tanyakan apakah pasien mengalami konflik dengan pihak-pihak yang tertera pada pilihan no 1 sampai 9, dalam 30 hari terakhir atau sebulan terakhir. Sepanjang hidup: Tanyakan apakah pasien sebelumnya mengalami konflik dengan pihak-pihak yang tertera pada pilihan no 1 sampai 9, sepanjang hidupnya. Bila pasien menjawab ya untuk 30 hari terakhir, tidak berarti otomatis ia mengalami konflik yang sama sepanjang hidupnya. Atau sebaliknya, apabila ia mengalami konflik sepanjang hidupnya, belum tentu ia mengalaminya dalam 30 hari terakhir.
70
[Type text]
7.
Status Psikiatris : Apakah anda pernah mengalami hal-hal beri kut ini (yang tidak merupakan akibat l angsung dari p enggunaan zat):
1 – 9 : Tulislah kode 1 untuk ya dan kode 0 untuk tidak pada kolom waktu berikut ini: 30 hari terakhir: Tanyakan apakah pasien mengalami kondisi yang tertera pada pilihan no 1 sampai 9, dalam 30 hari terakhir atau sebulan terakhir. Sepanjang hidup: Tanyakan apakah pasien sebelumnya mengalami kondisi yang tertera pada pilihan no 1 sampai 9, sepanjang hidupnya. Bila pasien menjawab ya untuk 30 hari terakhir, tidak berarti otomatis ia mengalami situasi tersebut sepanjang hidupnya. Atau sebaliknya, apabila ia mengalami situasi tertentu sepanjang hidupnya, belum tentu ia mengalaminya dalam 30 hari terakhir.
Pemeriksaan Fisik :
Tuliskan kondisi fisik pasien (tekanan darah, nadi, pernapasan dan suhu) sesuai pemeriksaan yang dilakukan. Untuk pemeriksaan sistemik, terdiri dari a. Sistem pencernaan : inspeksi bentuk abdomen, ada luka atau skar; palpasi perbagaan otot perut, hati, limpa, adanya massa, asites; auskultasi bunyi usus b. Sistem Jantung dan Pembuluh Darah :inspeksi bentuk thorax, kemungkinan adanya tanda sianosis; palpasi daerah precortex; auskultasi frekuensi denyut jantung. c. Sistem Pernapasan: inspeksi bentuk thorax, jenis pernapasan, retraksi iga; palpasi krepitasi; perkusi; auskultasi suara napas d. Sistem Saraf Pusat: tes sensorik rangsang nyeri atau panas ekstremitas atas dan bawah; tes motorik ada tidaknya parese atau plegia; tes keseimbangan. e. THT dan Kuli t: apakah ada penurunan pendengaran, cairan telinga, membran timpani utuh / tidak; bagaimana kondisi hidung; kondisi tenggorokan; kondisi kulit apakah ada rash, erupsi, skar, tato, atau kelainan kulit lain. Hasil Urinalisi s:
Melalui prosedur skrining, tuliskan hasil urinalisis untuk masing-masing jenis zat yang diperiksa dengan kode 1 untuk hasil positif dan kode 0 untuk hasil negatif pada kotak yang diarsir sebelah kanan.
71
Kesimpulan:
Buatlah kesimpulan tentang pasien untuk masing-masing domain yang ada dengan mempertimbangkan hasil asesmen dan pendapat subyektif pasien dalam skala penilaian. Penilaian dapat berkisar pada satu hingga tiga nilai, bergantung pada pertimbangan pewawancara: 0-1: Tidak ada masalah yang berarti, pasien tidak membutuhkan intervensi / bantuan 2-3: Ada sedikit masalah, tetapi intervensi / bantuan tidak terlalu penting 4-5: Masalah tergolong sedang, dibutuhkan beberapa intervensi 6-7: Masalah serius, dibutuhkan intervensi / terapi / bantuan 8-9: Masalah sangat serius, pasien sangat membutuhkan intervensi / terapi /
72
MATERI INTI 3 PENATALAKSANAAN TERAPI DAN REHABILITASI
DESKRIPSI SINGKAT
Masalah Gangguan penggunaan narkotika merupakan problema kompleks yang penatalaksanaannya melibatkan banyak bidang keilmuan (medik dan non-medik). Penatalaksanaan seseorang dengan ketergantungan narkotika merupakan suatu proses panjang yang memakan waktu relatif cukup lama dan melibatkan berbagai pendekatan dan latar belakang profesi. Gangguan penggunaan narkotika merupakan masalah bio-psikososio-kultural yang sangat rumit sehingga perlu ditanggulangi secara multidisipliner dan lintas sektoral dalam suatu program yang menyeluruh (komprehensif) serta konsisten. Gangguan penggunaan narkotika pada pasien jarang ditemukan berdiri sendiri melainkan terdapat bersama dengan gangguan lain (komorbiditas) seperti depresi atau ansietas, yang dapat terjadi karena kondisi predisposisi ataupun sebagai akibat penggunaan narkotika dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan pola penggunaan narkotika itu sendiri, khususnya penggunaan dengan cara suntik, dapat membuat seseorang menderita penyakit penyulit (komplikasi) seperti infeksi HIV/AIDS, Infeksi Menular Seksual (IMS), hepatitis B atau C dan lain-lain Ada dua hal yang harus ikut menjadi pertimbangan dalam memberikan terapi dan rehabilitasi 1.terkait dengan kompetensi fasilitas kesehatan ( lihat buku tentang clinical patyway ) Fasilitas kesehatan di Indonesia dikategorikan menjadi PPK 1 , PPK 2, dan PPK 3. Walaupun demikian pada saat ini setiap kategori belum tentu mempunyai kompetensi yang sama sebab sumberdaya yang dimiliki belum merata. Secara garis besar PPK 1 dapat melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan psikiatrik, penatalaksanaan gawat darurat untyuk menjaga agar tanda-tanda vital dalam batas normal, mengatasi keadaan gaduh gelisah, selanjutnya bila perlu merujuk ke PPK 2 atau PPK 3. , misalnya bila terdapat ide bunuh diri atau terdapat komplikasi medik yang memerlukan rawat inap. Beberapa PPK 1 dapat memberikan layanan terapi rumatan metadon., PPK 2, selain memiliki kommpetensi PPK 1 dapat merawat inap pasien dengan komplikasi medik yang memerlukan perawatan inap. Misalnya bila terdapat ide bunuh diri atau komplikasi medik berat, intervensi psikososial, serta dapat melakukan pemeriksaan penunjang. PPK 3, selain memiliki kompetensi PPK 2 / 1, juga dapat memberikan intervensi psikososial yang lebih
73
bervariasi/ lengkap ( CBT, MET / MI, terapi perilaku, terapi kognitif, terapi kelompok ,terapi keluarga ). 2. terkait dengan Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN ). Percobaan Bunuh Diri sejauh ini tidak mendapat penggantian biaya perawatan dan pengobatan dalam program JKN. Adiksi sebagai penyakit otak sering terdapat bersamasama dengan penyakit lain baik fisik maupun psikiatrik. Gangguan ini juga belum jelas dapat penggantian biaya perawatan dan pengobatan dalam program JKN. Selain itu, dalam program JKN hanya pasien rawat inap yang tergolong berat yang dapat penggantian biaya perawatan dan pengobatan. Modul ini diharapkan menjadi acuan bagi penerima wajib lapor pecandu narkotika pada institusi yang telah ditetapkan oleh pemerintah untuk dapat melakukan penatalaksanaan terapi dan rehabilitasi sesuai dengan kemampuan fasilitas kesehatan yang dimiliki
TUJUAN PEMBELAJARAN A. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu melakukan penatalaksanaan terapi dan rehabilitasi ketergantungan narkotika sesuai dengan kemampuan fasilitas kesehatan yang dimiliki ketergantungan narkotika ( kalimat / kata warna biru diusulkan dihapus ) B. Tujuan Pembelajaran Khusus
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Menjelaskan prinsip dan konsep dasar proses terapi. Menjelaskan berbagai jenis modalitas terapi pada pasien ketergantungan narkotika. Menjelaskan terapi pasca detoksifikasi (rehabilitasi). Menjelaskan tentang harm reduction. Menjelaskan teknik peningkatan motivasi. Menyusun rencana terapi.
BAB III. POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN
Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan sebagai berikut: Pokok bahasan 1. prinsip dan konsep dasar proses terapi Pokok bahasan 2. berbagai jenis modalitas terapi pada pasien ketergantungan narkotika 74
Pokok bahasan 3. terapi pasca detoksifikasi (rehabilitasi) Pokok bahasan 4. harm reduction Pokok bahasan 5. teknik meningkatkan motivasi Pokok bahasan 6. rencana terapi
URAIAN MATERI POKOK BAHASAN 1 PRINSIP DASAR TERAPI
Tujuan terapi ketegantungan narkotika: 1. Abstinensia atau penghentian total penggunaan narkotika Tujuan terapi ini tergolong sangat ideal. Sebagian besar pasien ketergantungan narkotika tidak mampu atau kurang termotivasi untuk mencapai tujuan ini. 2. Pengurangan frekuensi dan keparahan relaps. Pelatihan relapse prevention program, cognitive behavior therapy , opiate antagonist maintenance therapy merupakan beberapa alternatif untuk mencapai tujuan terapi ini. 3. Memperbaiki fungsi psikologi dan fungsi adaptasi sosial Tujuan utama terapi ini agar dampak buruk akibat ketergantungan narkotika dapat dikendalikan dan pasien dapat meneruskan kebiasaannya yang positif. Terapi substitusi rumatan metadon merupakan pilihan untuk mencapai sasaran terapi golongan ini.
KONSEP DASAR PROSES TERAPI 1. Tidak ada satu bentuk terapi yang sesuai untuk semua individu. Masing-masing pasien ketergantungan narkotika memerlukan jenis terapi yang sesuai dengan kebutuhannya. 2. Kebutuhan guna mendapatkan terapi harus selalu tersedia sepanjang waktu, karena pasien ketergantungan narkotika tidak mempunyai pendirian yang stabil.
75
3. Terapi yang efektif harus mampu memenuhi banyak kebutuhan individu, tidak hanya semata-mata karena kebutuhan menggunakan narkotika. 4. Rencana pelayanan dan terapi seorang individu harus dinilai secara kontinyu dan sewaktu-waktu perlu dimodifikasi guna memastikan bahwa rencana terapi telah sesuai dengan perubahan kebutuhan orang tersebut. 5. Mempertahankan pasien dalam periode terapi yang adekuat merupakan sesuatu yang penting guna menilai apakah terapi efektif atau tidak 6. Konseling dan terapi perilaku merupakan komponen kritis sebagai bagian penting terapi ketergantungan narkotika 7. Medikasi merupakan elemen penting pada terapi kebanyakan pasien ketergantungan narkotika 8. Seorang pasien ketergantungan narkotika yang secara bersama-sama juga menderita gangguan mental harus mendapatkan terapi untuk kedua-duanya secara integratif 9. Detoksifikasi hanya merupakan taraf permulaan terapi ketergantungan narkotika dan kalau dianggap sebagai satu-satunya cara maka hanya mendatangkan sedikit keberhasilan terapi. 10. Terapi yang dilakukan secara sukarela tidak menjamin menghasilkan suatu bentuk terapi yang efektif 11. Kemungkinan penggunaan narkotika kembali selama terapi berlangsung harus dimonitor secara kontinyu 12. Program terapi harus menyediakan assesment untuk HIVAIDS, Hepatitis B dan C, Tuberkulosis dan penyakit infeksi lain serta harus dilakukan konseling untuk membantu pasien ketergantungan narkotika memodifikasi atau merubah tingkah lakunya, agar tidak menyebabkan dirinya atau diri orang lain pada posisi yang berisiko mendapatkan infeksi. 13. Pemulihan dari ketergantungan narkotika merupakan proses jangka panjang dan sering membutuhkan episode terapi berulang-ulang
POKOK BAHASAN 2 Berbagai jenis modalitas terapi pada pasien ketergantungan narkotika
1. Terapi detoksifikasi (terapi gejala putus narkotika). Detoksifikasi merupakan langkah awal proses terapi ketergantungan opioida dan merupakan intervensi medik jangka singkat.
76
Tujuan terapi detoksifikasi adalah: Untuk mengurangi, meringankan atau meredakan keparahan gejala- gejala putus opioda.
Untuk mengurangi keinginan, tuntutan dan kebutuhan pasien untuk “mengobati dirinya sendiri” dengan menggunakan zat-zat ilegal. Mempersiapkan untuk proses terapi lanjutan yang dikaitkan dengan modalitas terapi lainnya, seperti: therapeutic community , berbagai jenis terapi rumatan atau terapi lain. Menentukan dan memeriksa komplikasi fisik dan mental, serta mempersiapkan perencanaan terapi jangka panjang.
2. Terapi pasca detoksifikasi (lihat pokok bahasan 3) 3. Harm Reduction Program (lihat pokok bahasan 4) 4. Dual Diagnosis Treatment Program Dual diagnosis adalah istilah klinis untuk penyebutan diagnosis ganda atau multiple pada pasien ketergantungan narkotika dan terdapat bersama-sama dengan gangguan psikiatri lain secara independen. Pasien-pasien dengan kombinasi ketergantungan narkotika dan gangguan psikiatri membutuhkan terapi khusus, dan guna mempersiapkan dirinya dalam program pemulihan yang sesuai dan adekuat.
5. Penatalaksanaan komorbiditas penyakit fisik (HIV/AIDS, Hepatitis, Tuberkulosis, dll) Gangguan penggunaan narkotika pada pasien jarang ditemukan berdiri sendiri melainkan terdapat bersama dengan gangguan lain (komorbiditas atau co-occurant disease ). Penggunaan narkotika dengan cara suntik, dapat membuat seseorang menderita penyakit penyulit (komplikasi) seperti HIV/AIDS, Infeksi Menular Seksual (IMS), hepatitis B atau C dan lain-lain. Sesuai dengan konsep dasar proses terapi, program terapi harus menyediakan asesmen untuk HIV / AIDS, Hepatitis B dan C, Tuberkulosis dan penyakit infeksi lain serta harus dilakukan konseling untuk membantu pasien ketergantungan narkotika memodifikasi atau merubah tingkah lakunya, agar tidak menyebabkan dirinya atau diri orang lain pada posisi yang berisiko mendapatkan infeksi. 6. Penatalaksanaan kedaruratan medik dan psikiatrik yang terjadi akibat ketergantungan narkotika 77
Seringkali kondisi kedaruratan medik dan psikiatrik yang terjadi akibat ketergantungan narkotika perlu mendapatkan prioritas utama untuk diatasi, misalnya pasien ketergantungan narkotika dengan percobaan bunuh diri harus diatasi terlebih dulu depresinya yang menjadi penyebab percobaan bunuh diri. .Pasien ketergantungan narkotika yang psikotik harus diobati terlebih dulu sehingga gejala dapat dikuasai. Termasuk kedaruratan medik yang terjadi akibat Gangguan penggunaan narkotika dan zat adiktif lain adalah: Overdosis Intoksikasi akut Keadaan putus zat Keadaan putus zat dengan delirium
Gangguan psikotik / Gangguan psikotik residual / onset lambat Gaduh gelisah Gangguan cemas/panik
Depresi berat dan percobaan bunuh diri
Overdosis Overdosis akibat penggunaan narkotika dan zat adiktif lain apapun adalah kondisi medik yang berat dan dapat berakibat fatal. Oleh karena itu harus dirawat inap. Terapi overdosis adalah simptomatik dengan tujuan menjaga agar sistem kardiovaskuler dan respirasi tetap berfungsi normal. Selain daripada itu bertujuan agar tidak terjadi kejang serta pasien sadar kembali. Untuk overdosis opioida dapat diberikan antagonis opioida yaitu naloxone dan untuk overdosis benzodiazepin dapat diberikan flumazenil. Intoksikasi akut Intoksikasi akut adalah kondisi yang timbul akibat penggunaan narkotika / zat adiktif lain sehingga terjadi gangguan kesadaran, fungsi kognitif, persepsi, afek, perilaku, atau fungsi dan respons psikofisiologik lainnya.Pada saat terjadi intoksikasi akut narkotika / zat adiktif lain pasien akan mengalami euforia sehingga pasien tidak datang berobat kecuali dipaksa oleh keluarga atau penegak hukum.Intoksikasi narkotika dan zat adiktif dapat membahayakan karena dapat terjadi agresivitas, impulsivitas, agitatif kecuali intoksikasi akut tembakau yang jarang terjadi. Intoksikasi akut kokain, amfertamin, dan beberapa jenis halusinogen dapat menyebabkan kejang, tekanan darah naik, gangguan irama jantung, hipertermia, dehidrasi. Secara umum, intoksikasi akut dapat dikategorikan kondisi medik sedang, kecuali intoksikasi tembakau termasuk kondisi medik ringan. Pada intoksikasi kafein terjadi gangguan irama jantung, agitasi Pada intoksikasi PCP dapat terjadi kejang. 78
Inti. Oleh karena itu pasien dengan intosikasi akut sebaiknya dirawat inap kecuali intoksikasi akut tembakau. Keadaan Putus Zat / Keadaan putus Zat dengan delirium Keadaan putus zat adalah kondisi klinis yang terjadi bila seseorang mengurangi atau mengehntikan penggyunaan narkotika atau zat adiktif lain setelah ia menggunakan zat tersebut berulang kali biadanya untuk waktu yang lama dan / atau dalam jumlah yang banyak. Bila disertai delirium maka disebut Keadaan putus zat dengan delirium. Keadan putus alkohol dan keadaanputus sedativa-hipnotika dapat disertai kejang, agitasi, hipotensi postural serta delirium,oleh karena itu sebagai kondisi medik yang berat maka harus dirawat inap. Keadaan putus kokain, amfetamin ( met-amfetamin, MDMA ) dapat disetai agitasi dan ide bunuh diri. Oleh karena itu tergolong kondisi medik berat dan karenanya harus dirawat inap. Keadan putus tembakau dan keadaan putus ganja pada umumnya termasuk kondisi medik ringan, oleh karenanya tidak perlu rawat inap. Keadaan putus opioda bukan keadaan yang gawat tetapi pasien menderita antara lain karena rasa nyeri seluruh badan. Pasien ini tidak harus diirawat inap, tetapi bila pasien menghendaki dirawat inap maka sebaiknya dirawat inap Pada Keadaan putus kafein dapat terjadi depresi atau iritablitas sehingga perlu dirawat inap Gangguan psikotik Gejala psikotik yang muncul pada waktu atau dalam waktu dua minggu penggunaan narkotika / zat adiktif lain, berlangsung paling sedikit 48 jam dan lamanya tidak lebih dari 6 bulan Bila disertai agresivitas harus dirawat inap Penatalaksanaan Gangguan psikotik residual atau onset lambat sama dengan penatalaksanaan gangguan psikotik akibat zat Gaduh gelisah Pasien gaduh gelisah harus dirawat inap karena kemungkinan akan mengganggu ketertiban umum. Gangguan cemas / panik Ganguan cemas / panik pada umumnya tidak memerlukan rawat inap
79
Depresi berat dan Percobaan Bunuh Diri Pasien dengan Depresi berat dan Percobaan Bunuh Diri harus dirawat inap .
POKOK BAHASAN 3 Terapi Pasca Detoksifikasi (Rehabilitasi)
1. Program terapi rumatan (rawat jalan) a.
Metadon Sejak tahun 1960an di Amerika dan Eropa penggunaan metadon sebagai suatu substitusi opioida yang bersifat agonis dan long acting adalah terapi baku untuk pasien-pasien ketergantungan opioda. Kelemahan terapi metadon:
b.
Harus datang ke fasilitas rumatan metadon sekali sehari Dapat terjadi overdosis, ketergantungan metadon dan kemungkinan peredaran ilegal metadon.
Naltrekson Farmakoterapi rumatan dapat dilakukan dengan naltrekson yang dikenal dengan istilah Opamat-ED (Opiate Antagonist Maintenance Therapy ) yang harus diberikan bersama dengan konseling.
c.
Bufrenorfin
Bufrenorfin adalah partial agonis opioida, yang diberikan secara sublingual. Pada dosis tinggi bufrenorfin bersifat antagonis d.
Kombinasi bufrenorfin dan naltrekson
Kombinasi ini juga diberikan secara sublingual. Lebih aman sebab bila disalahgunakan dengan cara menyuntikkan maka efek naltrekson akan bekerja lebih dulu sehingga akan timbul gejala putus zat
80
2. Residential treatment (rawat inap) a.
General hospital based program Rehabilitasi dilaksanakan di rumah sakit yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Program rehabllitasi di rumah sakit umum pada umumnya adalah rehabiltasi fisik atau medik, yaitu mengobati penyakit komorbiditas dan pemulihan kondisi fisik
b. psychiatric hospital Rehabilitasi dilaksanakan di rumah sakit jiwa yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Program rehabilitasi yang ada adalah rehabilitasi mental yaitu mengobati gangguan jiwa lain yang terdapat bersamasama dengan Gangguan penggunaan narkotika/ zat adiktif lain ( dual diagnosis ). c. Rumah sakit khusus untuk gangguan penggunaan narkotika Misalnya Rumah Sakit Ketergantungan Obat di Jakarta mempunyai fasilitas IGD, unit rawat inap detoksifikasi, unit rawat inap untuk rehabiloitasi, unit pasien dengan diagnosis ganda, terapi rumatan metadon 3. Pemulihan Adiksi Berbasis Komunitas. Rehabilitasi dilaksanakan di fasilitas rehabilitasi yang diselenggarakan oleh masyarakat baik yang residensial maupun yang non-residensial. Terapi yang diberikan pada program rehabilitasi berupa: 1. Terapi penyakit komplikasi sesuai indikasi (penatalaksanaan medis untuk fisik dan mental) 2. Intervensi psikososial antara lain melalui konseling adiksi narkotika, wawancara motivasional, terapi kognitif dan perilaku (Cognitive Behavior Therapy ), dan pencegahan kambuh.
POKOK BAHASAN 4 : HARM REDUCTION Harm reduction adalah suatu kebijakan atau program yang ditujukan untuk menurunkan konsekuensi kesehatan, sosial dan ekonomi yang merugikan sebagai akibat penggunaan narkotika tanpa kewajiban abstinensia dari penggunaan narkotika.
81
Beberapa program harm reduction : 1. Syringe Exchange Program Tersedianya tempat penukaran semprit dan jarum suntik bekas dengan yang steril. Atau Atau terse tersedi dian anya ya semp semprit rit dan jarum jarum sunti suntik k ster steril il tanp tanpa penu penuk karan aran dengan dengan sempr semprit it dan jarum jarum suntik bekas. 2. Methadone Maintenance Treatment Program (MMTP) MMTP telah dikembangkan sejak tahun 60an sebagai suatu cara untuk mengurangi angka kriminalitas, konsekuensi sosial yang merugikan dan infeksi HIV/AIDS. 3. Education, Outreach Program And Bleach Kits Ini adalah suatu program edukasi membersihkan jarum suntik yang sudah dipakai untuk mencuci-hamakan jarum bekas. 4. Tolerance Areas Tolerance areas adalah suatu tempat yang diperkenankan untuk melakukan kebiasaan menggunakan menggunakan narkotika narkotika melalui suntikan tanpa mendapatkan mendapatkan hukuman. hukuman. Cara tersebut memerlukan koordinasi dan pengawasan yang ketat.
5. Kawasan Bebas Asap Rokok kawasan bebas asap rokok merupakan tempat-tempat atau gedung-gedung yang tidak diperkenankan orang untuk merokok.
POKOK BAHASAN 5 : TEKNIK MENINGKATKAN MOTIVASI
Terapi untuk meningkatkan motivasi disebut dengan Motivational Enhancement Therapy (MET). (MET). Elemen utama dari MET adalah Wawancara Motivational ( Motivational Interview ). ). Konsep utama MET: 1. Ambivalensi Ambi Ambival valen ensi si ada adala lah h sala salah h satu satu bent bentuk uk ganggu ganggua an per peras asa aan, an, dala dalam m satu satu saat saat yang yang sam sama mempunyai perasaan yang saling bertentangan. Misalnya pada satu saat seorang pasien merasa sangat ingin berhenti menggunakan putauw, namun pada saat yang sama ia juga merasakan adanya keinginan besar untuk menggunakan putaw.
82
2. Reflective Listening Reflective listening adalah semua pernyataan atau ucapan terapis yang ditujukan kepada pasien untuk menunjukkan bahwa terapis betul-betul memahami apa yang dikatakan oleh pasien. 3. Open-Ended Questions Open ended questions ended questions mengundang pasien untuk memberikan jawaban yang bersifat menerangkan. Untuk mengembangkan timbulnya motivasi seorang terapis harus ended questions. menggunakan open ended questions
POKOK BAHASAN 6 : RENCANA TERAPI
Rencana terapi merupakan merupakan salah salah satu bekal bekal untuk berhasilnya suatu terapi. terapi. Renc Rencana ana tera terapi pi dibuat berdasarkan hasil asesmen komprehensif komprehensif yang sesuai dengan kondisi kondisi pecandu narkotika dengan jenis gangguan penggunaan narkotika dan kebutuhan pecandu narkotika, antara lain meliputi:
Pelayanan detoksifikasi. pelayanan gawat darurat. pelayanan rehabilitasi (model: terapi komunitas, minnesota, model medis). pelayanan rawat jalan non rumatan. pelayanan rawat jalan rumatan.
pelayanan penatalaksanaan dual diagnosis/ komorbiditas
rujukan untuk pengobatan atau perawatan tertentu.
Rencana terapi disusun dengan mempertimbangkan hasil pemeriksaan awal dan diagnosis yang diperoleh berdasarkan hasil asesmen. Tidak semua institusi wajib lapor memiliki modalitas terapi yang lengkap. Pada layanan yang tidak tersedia perawatan khusus maka petugas tersebut wajib untuk melakukan rujukan ke tempat lain sesuai dengan kebutuhan pecandu narkotika narkotika tersebut. Salah satu model yang bisa digunakan dalam rencana terapi bagi pecandu narkotika adalah dengan melihat tahapan perubahan perilaku sesuai dengan teori Prochaska dan DiClemente (1986) dan Davidson, dkk (1991). Selanjutnya rencana terapi yang telah disusun berdasarkan berdasarkan hasil asesmen harus disepakati oleh pecandu narkotika, orang tua, wali, atau keluarga pecandu narkotika dan pimpinan institusi penerima wajib lapor.
83
Melalui program wajib lapor pecandu narkotika diharapkan setidaknya memperoleh konseling dasar terkait perilaku ketergantungan narkotikanya. Melalui program ini juga diharapkan pecandu narkotika memperoleh informasi yang diperlukan untuk meminimalisasi risiko yang dihadapinya dan memperoleh rujukan untuk perawatan lanjutan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan yang bersangkutan. Melalui program ini pula pecandu narkotika mendapatkan pengobatan dan atau perawatan melalui rehablitasi medis dan rehabilitasi sosial. Rehabilitasi medis dapat dilaksanakan melalui rawat jalan dan/atau rawat inap sesuai dengan rencana terapi yang telah disusun. Rehabilitasi rawat inap dimulai dengan program rawat inap selama 3 (tiga) bulan untuk kepentingan asesmen lanjutan, serta penatalaksanaan medis untuk gangguan fisik dan mentalnya. Pelaksanaan rehabilitasi dilanjutkan dengan program rawat inap jangka panjang atau dialihkan pada program rawat jalan. Pelaksanaan rehabilitasi lanjutan dengan program rawat jalan hanya dapat dilaksanakan untuk terpidana dengan pola penggunaan rekreasional atas jenis narkotika amfetamin, ganja dan benzodiazepin, dan/atau berusia di bawah 18 tahun. Pelaksanaan rehabilitasi lanjutan yang dilakukan dengan rawat jalan mewajibkan pecamdu narkotika untuk datang pada lembaga rehabilitasi sesuai ketentuan yang berlaku dan dilakukan pemeriksaan urin sewaktu-waktu Sesuai dengan konsep dasar proses terapi, rencana terapi seorang pecandu narkotika harus dinilai secara kontinyu dan sewaktu-waktu perlu dimodifikasi guna memastikan bahwa rencana terapi telah sesuai dengan perubahan kebutuhan orang tersebut.
84
DAFTAR PUSTAKA
1. 2. 3. 4. 5.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 422/MENKES/SK/III/2010 tentang Pedoman Penatalaksanaan Medik Gangguan Penggunaan Napza. Modul Pelatihan Teknis Medis Penanggulangan Penyalahgunaan Napza Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat Kep Menkes No. 486/MENKES/SK/IV/2007 tentang Kebijakan & Rencana Strategi Penanggulangan Penyalahgunaan NARKOTIKA Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III, Departemen Kesehatan RI, 1993 Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders 5 th edition,American Psychiatric Association, 2013.
85
MATERI INTI 4 KONSELING DASAR ADIKSI NAPZA
DESKRIPSI SINGKAT Masalah adiksi Napza melibatkan aspek fisik, psikologik dan sosial. Oleh karena itu dalam penatalaksanaannya harus bersifat komprehensif dengan memberikan farmakoterapi dan intervensi psikososial. Konseling merupakan salah satu jenis intervensi psikososial. Konseling merupakan suatu dialog interaktif antara terapis dan klien yang berdasarkan pada hubungan kolaborasi antara konselor dan klien yang membantu klien untuk menyadari adanya masalah dalam perilaku penggunaan Napza. Konseling melibatkan berbagai keterampilan konselor, teknik mengajar, dan dukungan emosional yang membantu seseorang menuju kemandiriannya, mengembangkan keterampilan dalam menghadapi masalah, mengembangkan fungsi sosial, dan menjadi pengambil keputusan yang baik. Untuk memberikan konseling secara profesional, maka terapis harus mengetahui prinsip dasar konseling dan penerapannya dalam keterampilan tersebut untuk memberikan terapi yang komprehensif terhadap klien. TUJUAN PEMBELAJARAAN A. Tujuan Pembelajaran Umum Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu melakukan konseling dasar adiksi. B. Tujuan Pembelajaran Khusus 1.
Menjelaskan cara membangun hubungan klien - konselor
2.
Menjelaskan tahap-tahap perubahan perilaku dan wawancara motivasional
3.
Menjelaskan dan menerapkan teknik dasar konseling Napza
4.
Menjelaskan dan menerapkan teknik mengatasi resistensi
POKOK BAHASAN Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan sebagai berikut: Pokok bahasan 1. Membangun hubungan klien - konselor Pokok bahasan 2. Tahap perubahan perilaku & wawancara motivasional Pokok bahasan 3. Teknik dasar konseling Napza Pokok bahasan 4. Teknik mengatasi resistensi
86
URAIAN MATERI POKOK BAHASAN 1 : MEMBANGUN HUBUNGAN KLIEN - KONSELOR Konseling dalam tata laksana gangguan penggunaan Napza (GPN) merupakan intervensi psikososial yang sangat penting. Berbagai penelitian terdahulu menunjukkan bahwa konseling berhubungan secara signifikan dengan perubahan perilaku positif pada orang dengan gangguan penggunaan Napza. Ada banyak jenis konseling yang dapat diterapkan pada klien dengan GPN, seperti misalnya konseling individual, pasangan, keluarga, marital, vokasional, dan lainnya. Salah satu yang mendasar adalah konseling gangguan penggunaan Napza yang lebih dikenal sebagai konseling adiksi Napza. Prinsip dasar konseling ini sama dengan prinsip dasar konseling secara umum. Yang berbeda adalah fokus masalah yang diangkat pada umumnya berkisar pada masalah gangguan penggunaan Napza. Konseling merupakan proses membantu seseorang untuk belajar menyelesaikan masalah interpersonal, emosional dan memutuskan hal tertentu, yang merupakan proses yang dinamis berdasarkan hubungan kolaboratif. Tugas konselor adalah memberdayakan klien melalui berbagai teknik: Memfasilitasi Mengajarkan Mendukung Tujuan konseling adalah: 1. Membantu kemampuan klien untuk mengambil keputusan yang bijaksana dan realistik. 2. Menuntun perilaku klien agar mampu mengemban konsekuensinya. 3. Memberikan informasi dan edukasi.
Hasil konseling sangat tergantung pada hubungan antara klien dengan konselor. Pertemuan antara konselor dan klien akan tergantung dengan situasi dan kenyamanan yang dirasakan oleh klien sehingga penting bagi konselor untuk membuat klien merasa nyaman sehingga klien percaya dan konselor dapat memberikan informasi yang dibutuhkan tentang diri klien. Hubungan konselor dan klien perlu bersifat terapeutik, hingga dapat memfasilitasi suatu perubahan perilaku. Konselor perlu bertindak sebagai seorang fasilitator yang memfasilitasi identifikasi masalah yang dialami klien, potensi yang dimiliki, alternatif jalan keluar serta strategi perilaku yang perlu ditampilkan. Membangun hubungan baik dalam konteks konseling membutuhkan karakter khusus, yaitu: 87
1.
Bersikap hangat: ramah, menjabat tangan (sesuai konteks), menyambut klien secara wajar, mempersilakan duduk, senyum dan bersahabat
2.
Mampu menjadi pendengar yang baik: mendengarkan apa yang dikatakan klien, baik secara verbal maupun non verbal, memberi penguat bicara, tidak menyela perkataan
3.
klien kecuali memang diperlukan. Mampu memahami apa yang dirasakan klien (berempati): konselor mencoba merasakan apa yang dirasakan klien. Menerima perasaan klien yang subyektif yang ditunjukkan dengan ekspresi wajah, respons verbal maupun bahasa tubuh konselor yang adekuat.
4.
Tidak bersikap menghakimi ( judgmental ): tidak mengambil kesimpulan secara cepat atas apapun yang diutarakan atau ditampilkan klien, menghargai klien dengan segala atribut yang ada padanya.
5.
Bertanggungjawab: konselor mematuhi janji pertemuan, memberitahu klien apabila berhalangan, melakukan pencatatan dan menyimpan segenap informasi yang diperoleh dengan baik sesuai aturan yang berlaku.
6.
Tulus: konselor bersikap terbuka dan sungguh-sungguh dalam membantu klien. Tidak didasari oleh agenda lain selain keinginan untuk menolong atau memfasilitasi perubahan pada diri klien.
7.
Fleksibel: konseling tidak bisa dijalankan secara kaku. Topik-topik yang telah direncanakan konselor berdasarkan identifikasi yang sebelumnya dilakukan dapat berubah sewaktu-waktu seiring dengan berjalannya proses konseling.
Hubungan baik konselor – klien harus dipertahankan dalam konteks hubungan profesional, agar fungsi konseling tetap berjalan secara optimal. Ruang lingkup batasan hubungan konselor – klien meliputi:
Menetapkan batasan perilaku: hindari hubungan ganda (dual relationship), baik dari sisi: o Sosial: misalnya, menjalin hubungan asmara, menganggap klien sebagai anak o Finansial: misalnya, meminjam atau memberikan uang, membuat bisnis bersama klien, dan sebagainya. Dalam situasi dimana hubungan ganda tidak dapat dihindari, upayakan untuk meminimalisasi keterlibatan konselor. Misalnya, sudah terlanjur berbisnis bersama, upayakan agar mengalihkan pelaksanaan bisnis tersebut pada orang lain. Mengklarifikasi berbagai harapan dan memberikan aturan tentang peran konselor Melindungi konselor, klien dan mitra kerja lainnya
POKOK BAHASAN 2 : TAHAP PERUBAHAN PERILAKU & WAWANCARA MOTIVASIONAL Psikolog James O. Prochaska, John C. Norcross dan Carlo C. DiClemente menulis dan meneliti tentang bagaimana orang berubah selama lebih dari 20 tahun. Mereka 88
mengembangkan sebuah model dari proses perubahan. Kesiapan untuk berubah dan dinamik dari tahap-tahap perubahan dikembangkan oleh Prochaska, Norcross, dan Diclemente (1994); Mereka mengidentifikasi enam tahap perubahan: precontemplation, . Konselor contemplat ion, pr epar ation , acti on, mai nt enance, dan r ecycli ng dan r elapse tidak hanya perlu untuk memahami tahap kesiapan, tapi harus mengetahui bagaimana berespons secara tepat untuk memfasilitasi individu bergerak ke sebuah tahap kesiapan yang lebih tinggi. Tahap perubahan dapat dideskripsikan dalam model diagram dibawah ini:
Relaps
Maintenance
Action
Pre-
Contemplation
Determination/
A. Tahap pra-perenungan (Precontemplation). Di tahap pertama ini terdapat penyangkalan
atau kurangnya kesadaran akan
kebutuhan untuk berubah. Di tahap pra-perenungan, klien tidak mempunyai pikiran untuk berhenti dari penyalahgunaan Napza, klien menggunakan penyangkalan sebagai mekanisme pertahanan diri yang paling utama. Pada saat ini biasanya klien menolak berbicara tentang masalah yang dimilikinya atau tidak merasa perlu konseling kesehatan. Precontemplation merupakan taraf kesiapan paling rendah untuk berubah. Pada tahap ini, strategi paling baik adalah memberikan informasi, membentuk
89
hubungan baik dan menciptakan keragu-raguan tentang perilaku penggunaan Napzanya.
Tugas konselor menghadapi klien di tahap pra-perenungan: 1. Konselor dapat memberi informasi tentang efek ketergantungan Napza, bahaya yang berhubungan dengan ketergantungan Napza. 2. Konselor membangkitkan keinginan klien untuk sebuah gaya hidup yang berbeda, mengidentifikasikan hambatan untuk pemulihan dan membantu klien untuk mengidentifikasi cara untuk memperkuat harga diri (self esteem). . B. Tahap Perenungan (Contempalation) Di tahap ini biasanya klien memiliki kesadaran bahwa perilaku penggunaan Napzanya mungkin bermasalah. Iapun mungkin mempertimbangkan untuk menerima atau menolak perubahan perilaku dalam mengatasi masalahnya tersebut. Pada tahap ini dapat dilakukan proses mendengar aktif pada klien dan mengidentifikasi hal-hal yang bersifat positif dan negatif dari perubahan yang akan dibuat. Sebuah pertanyaan yang dianjurkan pada tahap ini adalah: “apakah perubahan perilaku yang akan dilakukan sungguh-sungguh bermanfaat?”. Tugas konselor menghadapi klien di tahap perenungan: 1. Memelihara proses perubahan dengan memberikan dukungan. 2. Memberikan umpan balik, melakukan konfrontasi dengan ramah, lemah lembut, humor 3. Memberikan penghargaan (reward ) untuk perjuangan dan keberhasilan klien.
C. Tahap persiapan (Preparation) Pada tahap ini keputusan untuk berubah biasanya telah diambil klien, sehingga diperlukan adanya suatu persiapan. Klien tidak hanya mengakui adanya masalah dan kebutuhan untuk melakukan sesuatu terhadap masalah tersebut, tetapi ia juga memutuskan untuk berubah dan mulai membuat rencana untuk berubah. Tugas konselor menghadapi klien di tahap persiapan: 1. Membantu klien untuk melakukan perubahan. 2. Mengidentifikasi hambatan yang ada. 3. Membantu klien untuk perencanaan perubahan.
90
D. Tahap aksi (Acti on ) Tahap aksi merupakan permulaan dari proses pemulihan. Di tahap aksi ini individu secara aktif terlibat di dalam proses perubahan, dan mengambil langkah pertama ke arah pemulihan. Pada tahap ini,
klien dapat bekerjasama dengan konselor untuk
mengevaluasi, merencanakan, dan mengimplementasikan sebuah rencana konseling. Tugas utama konselor adalah mendukung usaha-usaha perubahan dan menguatkan komitmen dan keterlibatan klien. Sebuah pertanyaan mendasar untuk diajukan pada tahap ini adalah: “Apakah yang akan anda lakukan?”. Selama tahap aksi, dapat terjadi kekambuhan, namun hal ini biasa terjadi. Tugas konselor menghadapi klien di tahap aksi: a. Membantu klien untuk mematuhi rencana terapi b. Membantu klien mengidentifikasikan berbagai kekuatan yang dimiliki klien, mengidentifikasi masalah yang dihadapi dan mengembangkan berbagai strategi untuk mengatasi masalah tersebut.
E. Tahap Mempertahankan ( Maintenance) Di dalam tahap mempertahankan, klien mempelajari perilaku yang dapat mendukung mereka untuk bebas dari penggunaan Napza yang merugikan. Klien diajak untuk memiliki keterampilan dalam menghadapi masalah yang dihadapi sehari-hari sehinggan hal ini dapat mendukung mereka untuk mempertahankan perubahan. Keterampilan yang diberikan termasuk untuk mempertahankan pekerjaan dan mengembangkan hubungan-hubungan yang akan mendukung kepulihan. Tugas konselor menghadapi klien di tahap mempertahankan: 1. Mengidentifikasi berbagai situasi berisiko tinggi yang dapat menggiring kekambuhan 2. Memfasilitasi ketrampilan yang diperlukan dalam memecahkan masalah, komunikasi efektif, hubungan interpersonal yang sehat Sebuah pertanyaan dasar pada tahap ini adalah: “Apa yang dapat menolong anda ketika menghadapi masalah itu?”. Tahap mempertahankan tidak mempunyai batas waktu khusus, karena terus berlangsung selama hidup klien. F. Kekambuhan ( Recyli ng an d Rela pse ). Kekambuhan berarti bahwa hasil perubahan belum menetap karena individu terlibat di dalam situasi risiko tinggi dimana kekambuhan tidak dapat dihindarkan, misalnya karena tidak mendapatkan dukungan sosial. Situasi berisiko ini membuat klien 91
tergelincir kembali pada tahap yang lebih rendah, biasanya kembali pada tahap perenungan. Selama tahap ini klien memiliki ambivalensi untuk mencoba lagi. Tugas konselor bila terjadi kekambuhan: 1. Membantu klien untuk menghadapi ambivalensi 2. Mengevaluasi komitmen untuk berubah, mengidentifikasi dan mengatasi hambatan yang ada. Sebuah pertanyaan penting untuk diajukan di tahap ini adalah: ”Apakah tujuan dari perubahan saat ini?” .
WAWANCARA MOTIVASIONAL Miller dan Rollnick (1991) mengembangkan suatu teknik wawancara motivasional yang secara umum digunakan untuk asesmen penyalahgunaan Napza. Proses wawancara motivasional dilakukan dengan pendekatan client-centered yang bertujuan untuk membantu seseorang menggali dan mengatasi ambivalensi penggunaan Napzanya. Dasar dari wawancara motivasional adalah memahami tahapan perubahan perilaku pada klien dan kapan serta bagaimana mereka masuk ketahapan perubahan selanjutnya. Wawancara motivasional ini sangat berguna pada tahap perubahan prekontemplasi dan kontemplasi, walaupun begitu dapat pula diterapkan pada setiap tahap perubahan perilaku. Tujuan dari wawancara motivasional adalah untuk menggali pandangan klien menghadapi permasalahannya, menyokong perubahan dengan menghindari label, menyatakan bahwa yang bertanggung-jawab untuk target terapi dan pembuat keputusan terletak pada klien. Prinsip wawancara motivasional : 1.
Mengekspresikan empati Suatu gambaran bahwa konselor menerima klien apa adanya, dapat memahami klien dengan permasalahannya, tidak memberikan suatu label kepada klien (misal: alkoholik, jungkie, dll).
2.
Membangun ketidakcocokan/kesenjangan (develop discr epancy) Memotivasi perubahan perilaku klien dengan menggambarkan perbedaan antara penyalahgunaan Napza beserta permasalahan yang berhubungan dengan perilaku mereka saat ini.
3.
Menghindari argumentasi 92
Menerima ambivalensi klien sebagai sesuatu yang wajar / normal. Ambivalensi dan kesenjangan yang muncul dapat menimbulkan perdebatan yang tidak nyaman bagi klien. Jangan menyerang klien atas penggunaan Napza dan permasalahannya, tetapi gali pengetahuan klien tentang risiko terkait perilakunya dan bantu klien memahami secara akurat konsekuensi negatif dari penggunaan Napzanya.
4.
Dukungan keyakinan diri Konselor memberikan dukungan bahwa klien mampu merubah perilaku mereka dalam penggunaan zatnya. Hal ini merupakan motivator penting dan mengingatkan klien untuk bertanggungjawab dalam memilih dan mengadakan perubahan personal.
5.
Ketrampilan khusus Ketrampilan ini bertujuan untuk mendorong klien mau berbicara, menggali ambivalensi dan menjelaskan alasan mereka untuk mengurangi atau berhenti dari penggunaan Napzanya. a. OARS
Open ended questions (pertanyaan terbuka) Affirmations (penegasan)
Reflective Listening (mendengarkan dengan cara merefleksikan)
Summarizing (membuat kesimpulan)
b. Berbicara mengenai perubahan Ada empat kategori penting dalam membicarakan perubahan:
Mengenali kerugian bila tetap menyalahgunakan Napza
Mengenali manfaat bila tidak menyalahgunakan Napza
Menyampaikan optimisme tentang perubahan
Menyampaikan tujuan untuk perubahan
STRATEGI MEMOTIVASI SESUAI TAHAPAN PERUBAHAN Tahapan Perubahan Klien Precontemplation : Klien : Belum mempertimbangkan untuk berubah atau tidak punya keinginan untuk
Strategi Memotivasi yang Sesuai (1) Bina hubungan baik, minta persetujuan, bangun kepercayaan. (2) Bangkitkan keragu-raguan atau fokuskan pikiran klien tentang penyalahgunaan zatnya melalui: 93
berubah. Belum mengkhawatirkan pola penggunaan narkobanya, berapa jumlah dan frekuensi yang mereka konsumsi. Tidak mau menerima dan
- Eksplorasi kejadian yang membawa klien
-
tidak mengetahui seberapa seriusnya masalah yang
-
ditimbulkan atas penggunaan narkobanya dan mereka
-
masuk dalam pengguna berisiko.
-
-
Cont empl ati on : Klien mengenali dan mempertimbangkan kemungkinan untuk mengubah perilaku, namun masih ambivalen dan belum memiliki kepastian. Faktor ekstrinsik lebih banyak mendominasi pemikiran mereka untuk berubah.
Pr epar ati on : Klien memiliki komitmen dan mempunyai rencana untuk
berobat atau hasil dari pengobatan yang sebelumnya. Timbulkan persepsi klien tentang masalah yang ada terkait penggunaan narkoba. Jelaskan informasi faktual tentang risiko penggunaan narkoba. Sediakan umpan balik personal tentang asesmen yang diperoleh. Eksplorasi tentang keuntungan dan kerugian penggunaan narkoba. Bantu untuk intervensi lain yang bermakna. Uji adanya kesenjangan antara persepsi klien dengan persepsi orang lain tentang masalah perilaku. Tunjukkan perhatian dan biarkan pintu selalu terbuka untuk klien.
Menormalisasi sikap ambivalen. Bantu klien untuk berubah melalui : - Hubungkan manfaat dan kerugian tetap menyalahgunakan napza dan bila berhenti menggunakan napza - Ubah motivasi intrinsik maupun ekstrinsik. - Kaji nilai-nilai personal klien dan hubungannya dengan perubahan. - Yakinkan klien bebas memilih, bertanggung jawab, dan mampu memberdayakan diri sendiri untuk berubah. a. Dorong klien memberdayakan diri dan bangkitkan harapan mereka tentang pentingya terapi b.Simpulkan pernyataan motivasi diri.
Perjelas tujuan dan strategi klien untuk berubah. Berikan beberapa menu untuk berubah atau 94
berubah dalam waktu dekat namun masih belum jelas apa yang akan dilakukan. Klien sudah menemukan resolusi dan membuat pernyataan yang dapat bertujuan untuk memotivasi dirinya sendiri.
mendapatkan terapi Dengan persetujuan klien, berikan pendapat atau saran Negosiasi kontrak rencana perubahan perilaku Pertimbangkan kendala yang ringan dalam perubahan. Bantu klien dapatkan daftar untuk dukungan sosial. Eksplorasi harapan dari rencana terapi dan peran klien dalam perubahan perilaku. Identifikasi apa yang sebelumnya telah dikerjakan dan siapa yang dapat diajak bekerjasama di masa datang. Bantu klien untuk menghadapi kendala dalam masalah keuangan, perawatan anak, transportasi, atau kendala yang lainnya.
(1) Dukung klien dalam menjalani proses Acti on : Klien secara aktif telah pemulihan. mengambil satu langkah untuk (2) Dukung upaya perubahan melalui berubah tetapi belum mencapai langkah-langkah kecil tetapi realistis kestabilan. dikerjakan (3) Kenali kesulitan-kesulitan klien pada tahap awal perubahan. (4) Bantu klien untuk mengenali situasi risiko tinggi melalui analisis fungsional dan kembangkan strategi yang untuk menghadapi situasi tersebut. (5) Bantu klien memperoleh penguatan baru untuk perubahan positif. (6) Bantu klien untuk mengkaji kekuatan keluarga dan dukungan sosial.
Main tenan ce : Klien sudah mencapai tujuan awal seperti abstinensia dan sekarang bekerja untuk dapat mempertahankannya.
Bantu klien untuk mengidentifikasi kegiatan yang terkait dengan kondisi bebas zat Dukung perubahan gaya hidup klien. Afirmasi kemampuan klien untuk lepas dari masalah dan kemampuan memberdayakan diri. Pertahankan kontak untuk dukungan. Bantu klien menerapkan dan menggunakan strategi untuk terhindar dari kekambuhan.
95
Slip dan kambuh : Klien mengalami gejala-gejala kembali menggunakan narkoba dan harus mengatasi konsekuensinya dan memutuskan apa yang akan dilakukan selanjutnya.
Kembangkan rencana untuk “lari dari api” agar tidak menggunakan narkoba kembali. Tinjau tentang rencana jangka panjang klien
Bantu klien untuk masuk kembali dalam lingkaran perubahan dan puji keinginannya untuk melakukan perubahan positif. Eksplorasi makna dan kenyataan dari kekambuhan sebagai kesempatan untuk belajar. Bantu klien untuk memperoleh strategi alternatif dalam memecahkan masalah. Pertahankan kontak untuk dukungan.
POKOK BAHASAN 3 : PRINSIP DASAR KONSELING Kriteria Konseling
Fokus pada masalah klien.
Percakapan dua arah.
Terstruktur: menyambut, membahas, membantu menetapkan pilihan, mengingatkan.
Bertujuan membantu klien untuk mengenal dirinya, memahami permasalahannya, melihat peluang dan mencari alternatif penyelesaiannya.
Memerlukan kemampuan melakukan komunikasi interpersonal.
Dilakukan dalam suasana yang menjamin rasa aman dan nyaman.
Lama dan frekuensi konseling Proses konseling hendaknya dijalankan dengan durasi waktu 30 hingga 60 menit. Upayakan untuk selalu memulai konseling dengan mengulas apa yang telah diperoleh pada sesi sebelumnya dan sejauh mana keterampilan baru telah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Klien sebaiknya diberitahu bila waktu konseling akan habis. Proses konseling yang optimal dilakukan minimal 8 kali pertemuan untuk setiap klien. Pada klien yang memiliki masalah personal yang kompleks dapat dilakukan sesi konseling hingga 20 kali pertemuan atau lebih, tergantung pada kompleksitas yang dialami dan karakteristik klien itu sendiri. Jarak antara satu sesi dengan sesi lain idealnya 1 minggu.
Keterampilan dasar dalam konseling meliputi: 96
Mendengar aktif Mengajarkan
I. Mendengar secara aktif. Konselor yang baik memang harus dapat menjadi pendengar, namun tidak secara pasif. Kemampuan untuk mendengar disini harus bersifat aktif yang akan mendorong klien untuk berbagi informasi baik secara verbal maupun ekspresi non verbal. Mendengar aktif berarti kemampuan untuk mendengar apa yang dikatakan oleh klien baik secara verbal maupun non verbal, memahaminya dan mengkomunikasikan pemahaman itu dengan menunjukkan empati kepada klien. Mendengar secara aktif juga dapat memberikan respon yang tepat kepada klien, yaitu: a. Membangun dan mempertahankan hubungan baik (rapport ) b. Membantu klien merasa lebih dekat. c. Membantu klien untuk mengekspresikan perasaan. d. Menciptakan pengetahuan yang saling mendukung antara klien dengan konselor. Seorang konselor tidak serta merta mampu mendengarkan klien secara aktif. Ketrampilan mendengar aktif harus dilatih. Adapun faktor-faktor yang menjadi penghambat mendengar aktif diantaranya adalah:
Bersikap reaktif secara emosional Berpikir bagaimana merespons klien sementara klien masih berbicara Memberikan perhatian pada berbagai hal yang ada di sekitar kita Adanya sikap praduga yang ada dalam pikiran kita Berpikir tentang masalah kita sendiri Melamun
Adapun bagian mendengar aktif adalah sebagai berikut: 1. Hadir Kehadiran artinya konselor menunjukkan ekspresi kesadaran dan ketertarikan apa yang dikomunikasikan oleh klien baik verbal maupun non verbal. Jadi konselor memperhatikan komunikasi verbal dan non verbal dari klien dan mengkomunikasikan kembali kepada klien. Hadir membantu konselor untuk memahami klien lebih baik dengan mengobservasi secara lebih hati-hati. Hadir membantu klien untuk menjadi relaks dan nyaman, merasa bebas mengekspresikan ide-ide dan perasaannya, dapat mempercayai konselor sehingga membuat klien memiliki peranan yang lebih aktif. Kehadiran dapat ditandai oleh: a. Kontak mata dan ekspresi wajah yang sesuai. 97
b. Mempertankan postur yang relaks dengan menggunakan gerakan tangan dan bahu. c. Secara verbal memberikan dukungan atas perkataan klien dengan memberikan kata-kata seperti “um-hmm” atau “ya” atau dengan mengulang kata kunci. d. Melakukan observasi pada bahasa tubuh klien.
2. Parafrase Parafrase dilakukan dengan mengucapkan kembali isi dari pernyataan klien dengan menggunakan kata-kata yang mirip diucapkan oleh klien. Tujuan dari parafrase adalah mengkonfirmasi kepada klien bahwa konselor mengerti apa yang dikatakan oleh klien. Parafrase dapat membantu konselor untuk: a. Memperjelas persepsi tentang pernyataan klien. b. Menggarisbawahi isu penting. Sedangkan untuk klien, parafrase membuat klien: a. Mengerti bahwa konselor memahami apa dikatakan oleh klien. b. Mengklarifikasi pernyataan klien. c. Fokus pada apa yang penting dan berkaitan. Parafrase memungkinkan konselor untuk melakukan verifikasi terhadap persepsi mereka akan pernyatan klien yang menjadi fokus dari isu sehingga membuat klien dapat menceritakan lebih lanjut.
3. Refleksi perasaan Refleksi perasaan adalah ekspresi konselor terhadap perasaan klien, baik verbal maupun non verbal. Konselor mencoba mengetahui emosi klien dan merespon untuk menunjukkan pemahaman tentang kondisi emosi klien. Konselor menggunakan tehnik merefleksikan perasaan, mengekspresikan perasaan klien yang terlihat dari pernyataan verbal dan non verbal. Pada refleksi perasaan, elemen yang menjadi fokus adalah emosi klien. Refleksi perasaan membantu konselor untuk: a.
Memahami apakah konselor sudah memahami emosi klien.
b.
Membawa masalah yang ada pada klien tanpa klien merasa terpaksa.
Refleksi perasaan membantu klien untuk: a. Mengetahui bahwa konselor memahami perasaannya. 98
b. Meningkatkan kesadaran tentang perasaan klien. c. Mempelajari hubungan antara perasaan dan perilaku. Secara teknis, refleksi perasaan juga disebut sebagai mendengar reflektif. Ada 3 tipe refleksi: 1. Refleksi sederhana: mendengarkan isi pembicaraan klien dan mengamati
perilaku klien. Sangat bermanfaat untuk membina hubungan baik. Contoh A: - Klien: “saya belum ingin berhenti dalam waktu dekat” - Konselor: “jadi anda belum siap untuk tidak pakai napza saat ini” Contoh B: - Klien: “sekarang ini saya udah ngerasa lebih enak, tapi saya nggak tau apa istri saya udah bisa mempercayai saya sekarang ini” - Konselor: “tampaknya perasaan anda campur aduk, di satu sisi fisik merasa lebih baik, tetapi di sisi lain merasa sangsi dengan hubungan anda dengan istri anda” 2. Refleksi yang diamplifikasi: menambahkan atribut pada refleksi sederhana
tetapi tidak dalam bentuk yang sarkastik. Mohon hati-hati untuk tidak menggunakan bentuk refleksi ini pada tahap awal dan hati-hati apabila klien merasa lebih buruk. Contoh A: - Klien: “saya tahu saya buat salah, tapi tuntutan orangtua kan juga nggak masuk akal” - Konselor: “hmm...sepertinya anda tidak bisa menerima tuntutan apapun” - Klien: “wah bukan gitu...saya nerima kalo saya harus berhenti, tapi orangtua tuntutannya kan lebih dari itu, gak realistis, bikin males....”
3. Refleksi dua sisi: menerima apa yang diucapkan klien, tetapi juga
mengutarakan apa yang pernah dikatakan klien sebelumnya. Bentuk refleksi ini juga tidak sesuai pada tahap-tahap awal konseling. Contoh A: - Klien: “kenapa sih harus berhenti? Orang kalo nggak pernah coba-coba make tuh gampang tua, gak menikmati hidup”
99
- Konselor: “sebentar....jadi menurut anda dengan make itu artinya bagian dari cara menikmati hidup ya?. Tapi minggu lalu anda bilang bahwa anda capek dan merasa menyia-nyiakan waktu dengan kehidupan kayak begini”
4. Rangkuman Rangkuman merupakan bagian dimana konselor dan klien menyatukan bersamasama apa yang sudah dibicarakan, meyakinkan bila klien sudah memahami isi sesi dengan baik, dan menyiapkan klien untuk berpindah dari suatu tahapan perubahan ke tahapan perubahan selanjutnya.
Rangkuman membantu konselor untuk: a. Fokus pada isi sesi yang sudah berlangsung. b. Melakukan konfirmasi persepsi dari klien. c. Fokus pada satu isu sambil meningkatkan pemahaman masalah lainnya. d. Terminasi sesi secara logik. Sedangkan untuk klien, rangkuman berguna untuk: a. Melakukan klarifikasi apa yang mereka maksud. b. Memahami bahwa konselor mengerti dengan kondisi klien. c. Memiliki keinginan untuk berpindah dari suatu tahap perbahan ke tahap perubahan selanjutnya.
II. Mengajarkan klien Mengajarkan suatu keterampilan baru membutuhkan waktu dan praktek untuk setiap orang. Konselor harus dapat mengenali kesulitan klien dalam mengubah pola perilaku penggunaan Napza, khususnya dalam keadaan putus zat. Penggunaan Napza dalam jangka panjang juga akan menganggu fungsi neurokognitif, yaitu meliputi gangguan perhatian dan memori, yang mempengaruhi proses belajar suatu keterampilan baru. Oleh karena itu pengulangan setiap sesi diperlukan sesuai dengan kebutuhan. Pengulangan dilakukan oleh konselor dengan menyatakan kembali informasi dan mempraktekan keterampilan yang diperlukan klien dalam mengontrol penggunaan Napza. Mempelajari keterampilan baru membutuhkan waktu dan praktek. Proses pembelajaran seringkali membutuhkan kesalahan untuk kemudian dikenali kesalahan
100
itu dan menjadi referensi yang lebih baik dalam pematangan keterampilan. Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh konselor adalah: 1. Mempraktekan merupakan komponen yang penting dalam pembelajaran. Dalam proses pembelajaran seringkali terjadi kesalahan, sehingga penting untuk membuat perubahan berdasarkan kesalahan yang terjadi dan kemudian dicoba lagi sampai terbentuk keterampilan yang diinginkan. 2. Konselor harus menyediakan banyak kesempatan bagi klien untuk mempraktekan keterampilan tersebut, baik dalam maupun luar sesi. Pada setiap sesi harus memberikan kesempatan klien untuk berlatih, meninjau kembali ide-idenya, meningkatkan perhatian dan mendapatkan umpan balik dari konselor. Hal yang dapat dilakukan lagi adalah memberikan pekerjaan rumah sehingga klien akan semakin dapat meningkatkan keterampilan tersebut. 3. Praktek akan berguna apabila klien melihat ada nilai tambah dan kegiatan yang nyata. Klien tidak akan melatih keterampilan dan melakukan tugas rumah tanpa mereka memahami mengapa keterampilan itu dapat membantu mereka pulih dari ketergantungan Napza. Konselor harus secara konstan menekankan bagaimana pentingnya klien berlatih keterampilan baru yang baik dan alasan mengapa ia harus melakukan hal itu. a. Memberikan alasan yang rasional dan jelas kepada klien tentang tugas-tugas atau latihan di rumah yang harus dikerjakan merupakan hal yang penting. Banyak klien yang keluar dari sesi konseling karena tidak tahu pentingnya melakukan hal itu. b. Klien akan melakukan praktek keterampilan baru atau tugas rumah apabila mereka mengetahui manfaat keterampilan baru untuk mereka. Jadi pada sesi pertama, konselor harus menekankan manfaat praktek yang harus dikerjakan di luar sesi. Ketika klien memberikan informasi maka konselor harus menggunakan informasi tersebut untuk memotivasi mereka dengan memberikan umpan balik yang membangun dengan fokus pada klien tentang: a. Gaya klien dalam menghadapi masalah. b. Menggunakan sumber-sumber yang tersedia. c. Melihat kelemahan dan kelebihan klien. Dalam memberikan umpan balik konselor:
101
1. Menjelaskan bahwa bila klien mempraktekan keterampilan baru tesebut maka secara langsung akan meningkatkan kesejahteraan mereka. 2. Menjelaskan pada klien mengenai monitoring tugas. Penjelasan dapat dilakukan secara sederhana, yaitu dengan memperlihatkan secara singkat pemahaman tentang kosnep dasar pengobatan, tingkat kemampuan kognitif, fleksibilitas, pemahaman tentang perilaku klien, motivasi, mekanisme koping, impulsivitas, kemampuan verbal, dan kondisi emosional 3. Konselor harus mengekplorasi pembelajaran apa yang didapatkan oleh klien dari penerapan tugas tersebut. Hal ini akan membantu konselor untuk memilih topik di sesi selanjutnya. 4. Konselor dapat memberikan pujian terhadap hal-hal yang sudah dilakukan oleh klien walaupun hal kecil, karena dengan dukungan seperti itu maka klien akan tertarik untuk kembali menerapkan tugas tersebut. 5. Kegagalan dapat disebabkan oleh banyak faktor, misalnya rasa putus asa atau klien tidak melihat manfaat dari keterampilan tersebut. Konselor harus mengeksplorasi kesulitan yang dihadapioleh klien dan membantu mereka dalam menghadapi kesulitan tersebut.
POKOK BAHASAN 4: TEKNIK MENGATASI RESISTENSI Klien yang berada pada tahap pra-perenungan ( precontemplation) dan perenungan (contemplation) atau bahkan saat mengalami kekambuhan, seringkali menampilkan sikap resisten atau “melawan” yang umumnya hadir dalam bentuk-bentuk berikut ini:
Mendebat (arguing) Menyela / menginterupsi Menyangkal Mengabaikan
Dalam proses konseling, sikap-sikap di atas sangat umum terjadi. Untuk itu konselor perlu mencermati timbulnya resistensi klien dan tidak terjebak pada perdebatan panjang dengan klien. Perdebatan tidak dapat lagi dianggap sebagai konseling, bahkan menjadi kontraproduktif dalam perubahan perilaku. Resistensi adalah tanda bahwa konselor perlu merubah arah dengan lebih mendengarkan klien secara hati-hati. Prinsip dasar dalam mengatasi resistensi adalah:
-
Hindari argumentasi Tidak bersikap menghakimi dan tetap menghargai klien Mendorong klien untuk tetap mengemukakan pendapatnya dan bertahan dalam proses perubahan 102
Strategi untuk mengatasi resistensi disebut sebagai “bergulir dengan resistensi” (rolling with resistance). Adapun tekniknya adalah sebagai berikut:
-
Mendengar reflektif
-
Memindahkan fokus pembicaraan: alihkan energi dan perhatian klien dari yang awalnya hanya memikirkan hambatan dan tantangan, menjadi lebih memperhatikan potensi dan kekuatan yang dimiliki
-
Menyetujui dengan berputar: menyetujui apa yang dikatakan klien tetapi dengan sedikit “memutar” isinya agar diskusi dapat berjalan lebih lanjut. Serupa dengan refleksi yang teramplifikasi.
-
Mengubah kerangka pikir: tawarkan interpretasi baru dan positif dari informasi negatif yang disediakan klien. Terimalah validitas persepsi klien seberapapun subyektifnya, tetapi di saat yang bersamaan, tawarkan persepsi baru pada klien agar dapat ia pertimbangkan.
-
Menekankan pilihan personal dan kontrol personal: kembali ingatkan klien bahwa diri merekalah yang paling bertanggungjawab dalam membuat pilihan. Bangunlah efikasi diri (keyakinan diri klien untuk mampu membuat keputusan).
103
DAFTAR PUSTAKA •
American Psychiatric Association.1994. Diagnostic and statistical manual of mental disorders. 4 th..ed. Washington D.C: Author.175-191;175-272.
•
Asian Centre for Certification and Education of Addiction Professional (ACCE) Colombo Plan Curricula 4 Counseling, Colombo Plan, 2012.
•
Departemen Kesehatan R.I. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik.1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III).
•
Doweiko, Harold E, Concepts of Chemical Dependency (6th Ed.), Brooks/Cole, CA 93950 USA, 20029
•
Groth-Marnat, Gerry, 2003. Handbook of Psychological Assesment. New York: Van Nostrand Reinhold Company. Inc. 638.
•
Meier, S.T. & Davis, S. R. 2001. 4th.ed. The Elements of Counseling. United Kingdom: Brooks/Cole. Thomson Learning. .:58-59).
•
Turning Point Alcohol and Drug Centre, Inc.2001. Training Handbook. Stages of Change.Fitzroy Vic 3065
•
Ivey, A.E.; Ivey, M.B.; Smeke-Morgan, L.1997. Coun sel in g an d Psychot her apy. A Multi cult ur al Per septi ve . Boston: Allyn & Bacon.50-88;380-403.
•
Panduan konseling adiksi bagi petugas kesehatan, Depkes, 2010
•
Marsh A, Dale A. Addiction Counselling. IP Communication. Melbourne. 2006
104
MATERI INTI 5 SISTEM RUJUKAN
DESKRIPSI SINGKAT Sistem rujukan pelayanan kesehatan merupakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal dan dilakukan secara rasional. Menurut tata hu bungannya , sistem rujukan terdiri dari : rujukan internal dan rujukan eksternal.
Rujukan Internal adalah rujukan horizontal yang terjadi antar unit pelayanan di dalam institusi tersebut. Misalnya dari jejaring puskesmas (puskesmas pembantu) ke puskesmas induk
Rujukan Eksternal adalah rujukan yang terjadi antar unit-unit dalam jenjang pelayanan kesehatan, baik horizontal (dari puskesmas rawat jalan ke puskesmas rawat inap) maupun vertikal (dari puskesmas ke rumah sakit umum daerah). Rujukan eksternal juga dapat dilakukan dari unit pelayanan kesehatan kepada lembaga rehabilitasi sosial. Sehubungan dengan penatalaksanaan wajib lapor, institusi–institusi yang ditunjuk oleh
Kementrian Kesehatan yaitu rumah sakit umum, rumah sakit jiwa, RSKO, puskesmas, rehabilitasi medis diharapkan dapat memberikan Pelayanan untuk gangguan ketergantungan Narkotika dengan kondisi klinis tertentu sesuai sarana, prasarana yang tersedia.
TUJUAN PEMBELAJARAN A. Tujuan Pembelajaran Umum Peserta mampu menjelaskan proses rujukan. B. Tujuan Pembelajaran Khusus 1. Peserta mampu menjelaskan sistem rujukan. 2. Peserta mampu mengidentifikasikan fasilitas kesehatan dan fasilitas sosial rujukan layanan narkotika . 3. Peserta mampu mengisi formulir rujukan. 105
POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN Pokok bahasan 1 : Sistem rujukan Pokok bahasan 2 : Fasilitas kesehatan dan fasilitas sosial rujukan layanan narkotika Pokok bahasan 3 : Formulir rujukan
URAIAN MATERI POKOK BAHASAN 1 : SISTEM RUJUKAN Dalam melaksanakan program pengobatan diperlukan suatu sistem rujukan yang berfungsi di antara berbagai tingkat layanan kesehatan yang berbeda. Klien perlu dirujuk apabila terdapat kondisi klinis yang sulit diatasi baik secara fisik maupun psikiatris. Sistem rujukan untuk pengguna narkotika lebih kepada fasilitas yang tersedia di suatu layanan bukan karena klien memerlukan tindakan atau intervensi yang lebih canggih. Dalam merujuk klien yang perlu diperhatikan adalah rumah sakit yang kita jadikan rujukan memang menyediakan layanan untuk kasus narkotika karena kadangkala rumah sakit menolak bila mengetahui klien yang dikirim adalah pengguna narkotika. Untuk itu setiap rumah sakit maupun puskesmas sebaiknya mempunyai informasi mengenai layanan kesehatan yang bersedia menerima klien dengan penggunaan narkotika seperti misalnya Rumah Sakit Jiwa (RSJ), Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) ataupun RSU. Apabila klien yang dirujuk sudah mendapatkan perawatan di RSU atau RS Jiwa/RSKO dan kondisi klinis sudah stabil maka RS yang menjadi rujukan dapat mengirim kembali ke rumah sakit awal/puskesmas yang mengirim agar pengobatan bisa berlanjut. Dengan kata lain sistem rujukan ini dapat terjadi secara timbal balik. Sistem rujukan harus menjamin bahwa kepindahan klien dari satu tempat layanan ke tempat layanan yang lain tidak mengalami hambatan dan kerumitan demi kelangsungan pengobatan maksud dari hambatan dan kerumitannya apakah administrasi atau yg lainnya.
Tata Cara Rujukan Rujukan dapat dilakukan secara vertikal dan horizontal. Rujukan vertikal adalah rujukan yang dapat dilakukan antar pelayanan kesehatan yang berbeda tingkatannya, seperti dari puskesmas ke RS atau sebaliknya, sedangkan rujukan horizontal merupakan rujukan antara pelayanan kesehatan dalam satu tingkatan, misalnya seperti 106
antara puskesmas atau antara RS. Rujukan horizontal dilakukan apabila fasilitas kesehatan atau IPWL asal tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan modalitas terapi yang dibutuhkan pasien atau karena keterbatasan fasilitas, peralatan, ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap. Sesuai dengan Pasal 11 Permenkes No.1 tahun 2012 tentang sistem rujukan pelayanan kesehatan perorangan, menyebutkan bahwa setiap fasilitas kesehatan wajib melakukan rujukan apabila pasien memerlukannya, kecuali dengan alasan yang sah dan mendapat persetujuan pasien dan keluarganya, alasan yang sah adalah pasien tidak dapat ditransportasikan atas alasan medis, sumber daya atau geografis. Pada saat melakukan rujukan petugas harus memberikan penjelasan terlebih dahulu dan harus mendapatkan persetujuan dari pasien atau keluarganya. Penjelasan yang diberikan petugas minimal meliputi : 1. Diagnosis dan terapi dan/atau tindakan medis yang diperlukan 2. Alasan dan tujuan dilakukan rujukan 3. Risiko yang timbul apabila rujukan tidak dilakukan 4. Transportasi rujukan 5. Risiko atau penyulit yang dapay timbul selama dalam perjalanan
Proses rujukan mengikuti mekanisme sebagai berikut: a. Sebelum melakukan rujukan lakukan pertolongan pertama dan/atau stabilisasi kondisi pasien sesuai indikasi medis b. Institusi penerima wajib lapor melakukan kontak komunikasi terlebih dahulu dengan institusi rehabilitasi medis atau rehabilitasi sosial yang dimaksud guna kesiapan penerimaan . c. Institusi penerima wajib lapor membuat surat rujukan kepada institusi rehabilitasi medis / rehabilitasi sosial tersebut. d. Institusi rehabilitasi medis atau rehabilitasi sosial yang dituju memberi konfirmasi penerimaan klien kepada institusi penerima wajib lapor.
Kriteria Klien berdasarkan tempat rujukan 1. Klien Gangguan Penggunaan narkotika Yang Dapat Dirawat di Puskesmas :
Kondisi klien dalam keadaan intoksikasi.
Kondisi klien putus zat ringan maupun sedang.
Tidak memiliki kondisi komorbiditas fisik dan atau psikiatrik yang berat. 107
Tidak mengalami penurunan kesadaran yang berat.
2. Klien Gangguan Penggunaan narkotika Yang Dapat Dirawat di RSU:
Kondisi klien dalam keadaan intoksikasi.
Kondisi klien putus zat ringan sampai berat.
Memiliki kondisi komorbiditas fisik dan atau psikiatrik yang berat.
Mengalami penurunan kesadaran yang berat (bila tersedia fasilitas ICU)
Merujuk Standar Terapi dan Rehabilitasi Gangguan Penggunaan Napza yang dalam proses revisi, maka berbagai jenis terapi gangguan penggunaan Napza yang dapat dilakukan pada pusat pelayanan kesehatan adalah: 1. Pusat Pelayanan Kesehatan tingkat I -
kegawatdaruratan (penanganan awal sebelum dirujuk)
-
Terapi simtomatik
-
Rawat jalan rumatan
-
Asesmen dan Konseling dasar adiksi pada PPK I yang sudah mendapatkan pelatihan khusus yang terakreditasi dan sertifikasi
-
Pemeriksaan penunjang (rapid test Napza, Darah Perifer Lengkap, Screening faktor risiko, Rapid Test HIV)
2. Pusat Pelayanan Kesehatan Tingkat II -
kegawatdaruratan (penanganan awal sebelum dirujuk)
-
Terapi simtomatik
-
Rawat jalan rumatan
-
Asesmen dan Konseling dasar adiksi pada PPK I yang sudah mendapatkan pelatihan khusus yang terakreditasi dan sertifikasi
-
Pemeriksaan penunjang (rapid test Napza, Darah Perifer Lengkap, Screening faktor risiko, Rapid Test HIV)
-
Detoksifikasi
-
Konseling dasar dan psikoterapi
-
rawat inap jangka pendek
-
penanganan pasien dengan komorbiditas fisik 108
-
Pemeriksaan penunjang (Rapid Test Napza 5 zat, Kimia Darah, Thorax Photo, Screening faktor risiko, Rapid Test HIV, Psikotest)
3. Pusat Pelayanan Kesehatan Tingkat III -
kegawatdaruratan (penanganan awal sebelum dirujuk)
-
Terapi simtomatik
-
Rawat jalan rumatan
-
Asesmen dan Konseling dasar adiksi pada PPK I yang sudah mendapatkan pelatihan khusus yang terakreditasi dan sertifikasi
-
Pemeriksaan penunjang (rapid test Napza, Darah Perifer Lengkap, Screening faktor risiko, Rapid Test HIV)
-
Detoksifikasi
-
Konseling dasar dan psikoterapi
-
rawat inap
-
integrated dual diagnosis treatment
-
rehabilitasi dan pasca rehab
-
penanganan pasien dengan komorbiditas fisik
-
Pemeriksaan penunjang (ELISA, Rapid test HIV, Serologi: (Hep-C, Hep-B), EKG, EEG, Rontgen Thorax, Kimia Darah: (Fungsi Hati, fgs ginjal, GD, UL, DPL, elektrolit), Mikrobiologi, Psikotest)
109
Di bawah ini bisa di lihat alur rujukan pada pengguna narkotika
POKOK BAHASAN 2 : FASILITAS KESEHATAN DAN FASILITAS SOSIAL RUJUKAN LAYANAN NARKOTIKA Kemampuan layanan Sehubungan dengan PP wajib lapor, pecandu narkotika melaporkan dirinya pada tempatfasilitas kesehatan yang sudah ditentukan yaitu pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), rumah sakit dan atau lembaga rehabilitasi medis yang ditentukan oleh menteri dan rehabilitasi sosial yang ditentukan oleh menteri sosial. Hingga saat ini semua institusi tersebut merupakan milik pemerintah, semua IPWL harus memenuhi persyaratan ketenagaan dan memiliki keahlian dan kewenangan di bidang gangguan penggunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (Narkotika). Fasilitas 110
rehabilitasi medis yang tidak mampu memberikan pelayanan yang dibutuhkan oleh pecandu narkotika harus melakukan rujukan. Tidak semua puskesmas akan menjadi tempat wajib lapor bagi pengguna narkotika. Hanya puskesmas yang berada di kantong-kantong pecandu narkotika saja yang akan menjadi tempat wajib lapor. Ada dua level puskesmas yang menjadi tempat wajib lapor. (1) tempat wajib lapor yang melayani rehabilitasi ketergantungan lewat program terapi rumatan metadon (PTRM), dan (2) puskesmas tempat wajib lapor yang hanya menjadi tempat konseling saja. Untuk mendukung keberhasilan proses wajib lapor perlu dibentuk jaringan kerjasama atas dasar saling menghormati dan menghargai baik antara layanan baik secara horizontal maupun vertikal. Sistem rujukan untuk klien gangguan penggunaan narkotika perlu suatu koordinasi. Koordinasi tersebut menjadi bagian dan tanggung jawab Kementrian Kesehatan /Kementrian Sosial/ BNN/Pusdokkes pada kelompok kerjanya yang sebaiknya melibatkan Dinas Kesehatan Provinsi, Rumah Sakit Umum, RSJ, puskesmas, klien sendiri, organisasi berbasis keagamaan dan LSM setempat. Kemitraan di tingkat kabupaten/ kota meliputi:
Dinas kesehatan setempat yang bertanggung jawab atas pelayanan medis
Layanan klinik di RSU, RSJ seperti rawat inap dan rawat jalan
Puskesmas yang di tunjuk untuk rawat jalan
Rehabilitasi medis dan sosial yang ditunjuk
Kelompok pengguna narkotika dan dukungan sebaya
Organisasi masyarakat,keagamaan dan LSM terkait
Unsur pemerintah setempat
Kapasitas Ketersediaan layanan rehabilitasi dalam jajaran /dukungan kemenkes: 1. Rehabilitasi rawat jalan, rawat inap dan detoksifikasi:
RSKO dan 16 RSJ di beberapa provinsi ( kecuali NTT, papua barat, maluku utara, Gorontalo, sulawesi barat, Banten,kepulauan Riau) rehabilitasi ini mencakup rawat jalan jangka pendek maupun rawat jalan jangka panjang, Rehabilitasi yang di selenggarakan oleh BNN / Kemensos.
111
2. Program terapi rumatan metadona ( 91 klinik di 17 provinsi):
Tersedia di DKI,Jabar,Jateng, DIY, Jatim , Banten, Bali, Sulsel, Kalbar, Kaltim, Jambi, Pekan Baru, Sumut, Kep Riau, Lampung, Sumbar, Sumsel.
RSKO, 7 RSJ , 26 RSU, 48 Puskesmas, 9 lapas /rutan
Kemudahan akses Tempat dan lokasi rehabilitasi medis dan sosial serta mempunyai sarana pelayanan yang memadai sesuai dengan kebutuhan pasien, mudah dijangkau oleh masyarakat dan dapat memanfaatkan tehnologi dan informatika adalah yang diharapkan dari tempat tempat rujukan wajib lapor.
Pokok bahasan 3 : FORMULIR RUJUKAN Surat pengantar rujukan harus memuat identitas pasien, hasil pemeriksaan (anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang) yang telah dilakukan, diagnosis kerja dan terapu dan/atau tindakan yang telah diberikan. Khusus pada proses wajib lapor, pasien yang sudah dilakukan asesmen maka rencana terapi yang akan dijalankan oleh pasien atau yang sudah dijalankan pasien harus dicantumkan.
112
DAFTAR PUSTAKA
1. 4 macam sistem rujukan kesehatan, Putu Sudaryasa 2. Pedoman pengembangan jejaring layanan,dukungan, perawatan dan pengobatan HIV dan AIDS ,depkes 2007 3. Pedoman Penatalaksanaan Medik Gangguan pengunaan Napza, kepmenkes no 442 /2010 4. Permenkes No.1 tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan 5. PP pelaksanaan wajib lapor narkotika tahun 2010 6. SKN ,Azrul Anwar 7. Formulir rujukan ,RSKO 8. Peranan kementrian kesehatan dalam kebijakan nasional rehabilitasi penyalah guna NARKOTIKA,dr Supriyanto, Sp P MARS 9. Kepmenkes no 421 /2010 tentang pelayanan dan terapi rehabilitasi Napza
113
MATERI INTI 7 PENCATATAN DAN PELAPORAN
DESKRIPSI SINGKAT Pencatatan dan pelaporan dalam rangka penerapan wajib lapor, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari isi rekam medis pecandunarkotika. Oleh karena itu, alur pencatatan dan pelaporan terkait wajib lapor mengikuti kaidah danaturan Rekam Medis baik di Rumah Sakit ataupun Puskesmas. Rekam medis adalah keterangan baik yang tertulis maupun terekam tentang identitas, anamnesa, pemeriksaan fisik, laboratorium, diagnosa, segala pelayanan dan tindakan medik yang diberikan kepada klien dan pengobatan baik yang dirawat inap, rawat jalan maupun yang mendapatkan pelayanan gawat darurat Rekam medis juga merupakan kompilasi fakta tentang kondisi kesehatan dan penyakit seorang klien yang meliputi :
Keadaansakitsekarangdanwaktulampau Pengobatan yang telah dan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan professional secara tertulis. Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Peraturan
Menteri Kesehatan No 269/2008 tentang Rekam Medis menyatakan bahwa informasi tentang identitas, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan harus dijaga kerahasiaannya oleh dokter, dokter gigi, petugas kesehatan tertentu, petugas pengelola dan pimpinan fasilitas kesehatan. Informasi tersebut di atas dapat dibuka dalam hal : 1. 2. 3. 4. 5.
Untuk kepentingan kesehatan pasien Memenuhi permintaan aparatur hukum dalam rangka penegakkan hukum atas perintah pengadilan Permintaan atau persetujuan pasien sendiri Permintaan institusi atau lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan Untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan audit medis sepanjang tidak menyebutkan identitas pasien Permintaan rekam medis sebagaimana tersebut diatas disampaikan secara tertulis
kepada pimpinan fasilitas kesehatan. Institusi wajib lapor akan mengeluarkan kartu lapor pecandu narkotika apabila petugas sudah selesai melaksanakan proses asesmen dan penyusunan rencana terapi yang disepakati oleh petugas dan pasien. Petugas kesehatan juga tetap melakukan pengawasan dalam bentuk pendampingan dan pemberian motivasi secara berkesinambungan agar 114
proses pemulihan bagi pecandu narkotika dapat bertahan. Pengawasan ini tidak hanya menjadi tanggung jawab petugas kesehatan saja, tapi hendaknya juga dilakukan oleh pihakpihak terkait lainnya serta masyarakat. Mengingat pasien dengan gangguan penggunaan Napza yang kerap berhubungan dengan tindak kriminalitas maka tak jarang petugas kesehatan, dalam hal ini dokter sebagai profesi yang tersumpah diminta keterangan sebagai ahli. Keterangan ahli dapat diberikan secara lisan maupun tertulis. Keterangan ahli secara lisan bisa diberikan pada saat sidang di pengadilan maupun pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam satu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu menerima jabatan atau pekerjaan. Keterangan ahli secara tertulis adalah surat keterangan dari ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya.Rekam Medis sesuai dengan Pasal13 Permenkes 269/2008, dapat dijadikan alat bukti dalam proses penegakan hukum, disiplin kedokteran dan kedokteran gigi dan penegakkan etika kedokteran dan etika kedokteran gigi. Oleh karena itu pencatatan hasil asesmen (yang merupakan bagian dari rekam medis) harus mencantumkan segala informasi yang diperlukan dan dibuatsecaraotentik (diantaranya mencantumkan tanggal pelaksanaan dan tanda tangan pelaksananya). Rumah Sakit dan Puskesmas menyampaikan laporan dalam periode tertentu ke dinas kesehatan dan Kementerian Kesehatan sesuai dengan aturan yang berlaku. Data ini merupakan data penting yang termasuk dalam Sistem Informasi Kesehatan. Untuk mempermudah pencatatan dan pelaporan pasien pecandu narkotika, Kementerian Kesehatan membangun sistem pelaporan berbasis web yang disebut Sistem Informasi Narkotika, Psikotropika dan Zat adiktif lainnya (SINAPZA). Melalui SINAPZA kerahasiaan data pasien terjamin karena pelaporan dari fasilitas layanan kesehatan termasuk Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) dalam format enkripsi sehingga hanya pelapor dan penerima laporan saja yang bisa membuka data yang telah terenkripsi tersebut. Fasyankes atau IPWL lain yang berbeda pengguna dan passwordnya juga tidak dapat membuka file dari sesama IPWL meskipun mempunyai aplikasi SINAPZA yang sama sehingga kerahasiaan pasien benar-benar terjamin. Aplikasi SINAPZA yang dikembangkan dapat membantu IPWL dalam pengajuan klaim ke Kementerian Kesehatan. Data pelaporan dapat menjadi bahan untuk melakukan verifikasi pasien sehingga akan menghemat kertas karena IPWL tidak perlu melakukan fotocopy berkas sebagai bahan untuk verifikasi. Upaya ini juga membantu dalam mewujudkan go green dalam penyelenggaraan upaya kesehatan.
115
TUJUAN PEMBELAJARAN A. Tujuan Pembelajaran Umum Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu melaksanakan pencatatan dan pelaporan B. Tujuan Pembelajaran Khusus Setelah mengikuti materi ini, peserta latih mampu: 1. Menjelaskan mengenai pencatatan dan pelaporan sebagai bagian dari rekam medis 2. Menjelaskan pengisian format pencatatan pelaporan 3. Menjelaskan mekanisme pelaporan 4. Melakukan pengelolaan data 5. Melakukan pencatatan dan pelaporan menggunakan aplikasi SINAPZA POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan sebagai berikut: Pokok bahasan 1. Pencatatandanpelaporansebagaibagiandarirekammedis Pokok bahasan 2. Format Pelaporan Pokok bahasan 3. MekanismePelaporan Pokokbahasan 4.Pengelolaan data 4.1 Pengumpulan Data 4.2 Rekapitulasi Data 4.3 Pengolahan Data 4.4 Pencatatan dan Pelaporan menggunakan SINAPZA
URAIAN MATERI POKOK BAHASAN 1 :PENCATATAN DAN PELAPORAN SEBAGAI BAGIAN DARI REKAM MEDIS Pencatatan Pencatatan adalah cara yang dilakukan oleh petugas kesehatan untuk mencatat data yang penting mengenai pelayanan kesehatan atau pelayanan penggunaan Narkotika yang selanjutnya disimpan sebagai arsip baik di Puskesmas, RS/RSJ maupun di klinik layanan bagikorbanpenyalahgunaan narkotika. 1.
Macam-macam pencatatan dalam pelayanan kesehatan:
Pencatatan rawat jalan untuk mencatat data pengunjung atau klien 116
Pencatatan rawat inap untuk mencatat perhitungan klien rawat inap yang dilakukan setiap hari pada suatu ruang rawat inap Pencatatan harian rutin untuk mencatat data pengunjung atau klien yang dikumpulkan selama sehari.
Pencatatan dan pelaporan pelayanan gangguan penggunaan narkotika di RSU/RSJ memakai formulir RL2a (suatu sistem pencatatan dan pelaporan terpadu di RSU/RSJ yang seragam untuk seluruh RSU/RSJ di Indonesia) dan formulir data klien penyalahgunaan narkotika. Untuk fasilitas pelayanan kesehatan yang sudah dapat menggunakan SINAPZA, pencatatan dan pelaporan dapat dilakukan melalui Sistem Informasi Napza (SINAPZA). Melalui sistem informasi ini, diharapkan kendala pengiriman data dapat diatasi. Selama sistem ini belum berjalan seperti yang kita inginkan, petugas pengisi data IPWL mencatatat data PENGUNJUNG (dan bukan data kunjungan). Sebagai contoh : Ari mendapat konseling adiksi setiap 2 minggu sekali selama 4 bulan. Pada data Kunjungan tercatat bahwa Ari mendapat pelayanan sebanyak 8x sedangkan pada data pengunjung, Ari hanya tercatat 1x. Formulir Data Klien Penyalahgunaan narkotika yang dikeluarkan oleh Direktorat Bina Kesehatan Jiwa, Ditjen Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Rl dilaporkan tiga kali dalam setahun meliputi data Pengunjung (nama, jenis kelamin, umur, kasus baru/lama, pendidikan, pekerjaan, pekerjaan orangtua, status perkawinan, zat yang sering digunakan, cara penggunaan zat, mulai penggunaan, cara masuk institusi, cara keluar institusi, sumber zat dan motivasi penggunaan narkotika) Pelaporan Pelaporan adalah mekanisme yang digunakan oleh petugas kesehatan untuk melaporkan kegiatan pelayanan yang dilakukannya kepada institusi yang lebih tinggi (dalam hal ini Dinas Kesehatan dan atau Kementerian Kesehatan) . Sistem pelaporan menggunakan format yang telah disiapkan, dilakukan berjenjang dengan alur :
RSJ/RSU Vertikal : melaporkan secara langsung ke Kementerian Kesehatan dengan tembusan ke Dinas Kesehatan Provinsi.
RSU/RSJ Provinsi : melaporkan secara langsung ke Dinas Kesehatan Provinsi
RSU dan Puskesmas melaporkan secara langsung ke Dinas Kesehatan kabupaten /kota.
Dinas Kesehatan kabupaten /kota kemudian melaporkan kedinas kesehatan Provinsi.
Dinas kesehatan Provinsi kemudian melaporkan ke Kementerian Kesehatan cq/ Direktorat Bina Kesehatan Jiwa. 117
Tujuan Pelaporan
Pelaporan dari instansi kesehatan (seperti Puskesmas, RSU/RSJ maupun Klinik Layanan bagi penyalahgunaan Narkotika) merupakan suatu alat untuk memantau pelayanan kesehatan, baik bagi kepentingan klien yang bersangkutan, petugas kesehatan yang melayani maupun pihak perencana dan penyusun kebijakan.
Untuk memperoleh informasi semua klien penyalahguna Narkotika yang masuk dan keluar rumah sakit selama 24 jam.
Untuk mengetahui jumlah klien penyalahguna Narkotika yang masuk/ keluar/ meninggal di Rumah Sakit selama sebulan, triwulan, semester dan setahun.
Format Pelaporan
Bilamana fasyankes/IPWL belum dapat menggunakan SINAPZA, data rekapitulasi pengunjung dilaporkan menggunakan format dibawah sambil menunggu berfungsinya Sinapza.
*Jika Sistem Informasi Pecandu Narkotika telah selesai dibangun dan telah berfungsi sepenuhnya, maka Catatan Pasien Penyalahgunaan Napza dilaporkan secara langsung oleh sistem.
118
CATATAN PASIEN PENYALAHGUNAAN NAPZA
TAHUN BULA INSTITUSI NAMA INSTITUSI ALAMA DAERAH / KOT PROVINSI
NO REKMED
: : : RSJ/RSU/PUSKESMAS/PANTI REHABILITASI : : : : STATUS
MODALITAS
JENIS
PASIE
TERAPI
KELAMI
USIA
STATUS PERNIKAHA
PENDIDIKAN
PEKERJAAN
NAPZA YANG
USIA PERTAMA KALI
DIGUNAKA
PAKAI NAPZ
1
DIAGNOSA
CARA PAKAI NAPZ
1
1
KETERANGAN
No Rekmed / W
1. Lam 2. Bar
1. < 15 tahun
1. Tidak sekolah
1. Alkohol
1. < 15 tahun
Isi sesuai kode
1. Oral
2. SD
2. Heroin
2. 15-19 tahun
PPDGJ - III
2. Mukosa
3. 20 - 24 tahun 3. Duda / Janda
3. SLTP
3. Metadon / Buprenorfin
3. 20 - 24 tahun
3. Sal Pernapasan
4. 25 - 29 tahun
4. SMU / SMK
4. Opiatlain/analgesik
4. 25 - 29 tahun
4. Injeksi Non IV
5. Intervensi Singkat
5. 30 - 34 tahun
5. Akademi / D3
5. Barbiturat
5. 30 - 34 tahun
5. IV
6. Terapi rumatan
6. 35 - 39 tahun
6. Perguruan Tinggi
6. Sedatif/Hipnotik/
6. 35 - 39 tahun
7. Rehabilitasi rawatinap
7. > 40 tahun
7. Kokain
7. > 40 tahun
1. Asesmen lanjutan
1. Laki-l aki
2. Evaluasi Psikologis
2. Perempuan 2. 15-19 tahun 2. Kawin
3. Program detoksifikasi 4. Wawancara
Motivasional
1. Belum kawin
8. Konseling
8. Amfetamin
9. Lain-lain
9. Kanabis 10. Halusinogen 11. Inhalan 12. Lebih dari1 zat per hari
119
POKOK BAHASAN 2 : MEKANISME PELAPORAN
Jenis-Jenis Pelaporan
1). Pelaporan bulanan a) Pelaporan bulanan rutin dari Puskesmas, RS/RSJ ke Dinas Kesehatan Kabupaten/kota merupakan laporan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh Puskesmas, RS/RSJ selama satu bulan, sebagai hasil kompilasi atau pengolahan dari kumpulan pencatatan harian selama satu bulan, kemudian dibuat laporan bulanan. Laporan yang disampaikan menggunakan format pelaporan RL 2a dan RL 2b. b) Bulanan dari Dinas Kesehatan (Dinkes) baik Kabupaten/Kota maupun Dinkes Propinsi ke Pusat atau Kementerian Kesehatan, yang merupakan hasil rekapitulasi yang dilakukan oleh Dinkes baik Kabupaten/Kota maupun DinkesPropinsi sebagai hasil pelaporan dari kumpulan pelaporan bulanan rutin setiap Puskesmas, RS/RSJ maupun klinik di wilayahnya. 2). Laporan tiga bulanan Pelaporan tri bulanan dari Puskesmas, RS/RSJ ke Kementerian Kesehatan melalui Direktorat Bina Kesehatan Jiwamerupakan laporan kegiatan pelayanan triwulanan yang dilakukan oleh Puskesmas, RS/RSJ selama tiga bulan, sebagai hasil kompilasi atau pengolahan dari kumpulan pencatatan harian selama tiga bulan. Laporan yang disampaikan menggunakan format pelaporan catatan pasien penyalahgunaan NAPZA seperti contoh diatas. 120
POKOK BAHASAN 3 : PENGELOLAAN DATA
Pengumpulan data Data yang akan dilaporkan, bersumber dari formulir asesmen wajib lapor. Data yang dikumpulkan berupa data : Status klien : Modalitas terapi
Jenis Kelamin Usia Status Pernikahan
Pendidikan Pekerjaan
Narkotika yang Digunakan
Usia Pertama Kali Pakai Narkotika Diagnosa Cara Pakai Narkotika
Rekapitulasi data Dari data yang telah dikumpulkan diatas, di rekapitulasi menggunakan catatan klien penyalahgunaan Narkotika. Kolom-kolom diisi dengan angka-angka sesuai dengan keterangan dibawah ini :
No Rekmed :merupakan identitas klien berdasarkan nomor rekam medis danatau bar code dari kartu wajib lapor. Status klien : 1. Baru : Jika klien baru mendapatkan layanan di institusi pemberilayanan 2.
Lama: Jika klien pernah mendapatkan layanan di institusi pemberi layanan
Modalitas terapi 1. Asesmenlanjutan 2. Evaluasi Psikologis 3. Program detoksifikasi 4. Wawancara Motivasional 5. Intervensi Singkat 6. Terapi rumatan 7. Rehabilitasi rawat inap 8. Konseling 9. Lain-lain
Jenis Kelamin 1. Laki-laki 121
2. Perempuan
Usia 1. <15 Tahun 2. 15 – 19 tahun 3. 20 – 24 tahun 4. 25 – 29 tahun 5. 30 – 34 tahun 6. 35 – 59 tahun 7. > 60 tahun Status Pernikahan 1. Belum kawin 2. Kawin 3. Duda/Janda
Pendidikan 1. Tidak Sekolah 2. SD 3. SLTP 4. SMU/SMK 5. Akademi / D3 6. PerguruanTinggi
Pekerjaan 1. PNS 2. TNI/POLRI 3. Swasta 4. Wiraswasta 5. Pelajar 6. Mahasiswa 7. Buruh 8. PekerjaSeks 9. AnakJalanan 10. Lain-lain
NAPZA yang Digunakan 1. Alkohol 2. Heroin 3. Metadon / Buprenorfin 4. Opiatlain/analgesik 5. Barbiturat 6. Sedatif/Hipnotik/ 7. Kokain 122
8. Amfetamin 9. Kanabis 10. Halusinogen 11. Inhalan 12. Lebih dari1 zat per hari
UsiaPertama Kali PakaiNarkotika 1. <15 Tahun 2. 15 – 19 tahun 3. 20 – 24 tahun 4. 25 – 29 tahun 5. 30 – 34 tahun 6. 35 – 39 tahun 7.
> 40 tahun
Diagnosa Ditulis sesuaikodifikasi PPDGJ -III
Cara Pakai Narkotika 1. Oral 2. Mukosa 3. Sal Pernapasan 4. Non IV Injection 5.
IV Injection
Pengolahan data Data yang telah direkapitulasi kemudian diolah menggunakan spread sheet atau program lain yang disediakan untuk memudahkan penghitungan. Penyusunan laporan Laporan kemudian disusun menurut waktu yang telah ditentukan. Laporan kemudian dikirimkan sesuai denganwaktu yang telah ditentukan POKOK BAHASAN 4 : PENCATATAN DAN PELAPORAN MENGGUNAKAN SINAPZA
Pencatatan dan pelaporan dalam sistem informasi narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (SINAPZA) dilakukan seperti tercantum dalam “BUKU PANDUAN OPERASIONAL SINAPZA”. (terlampir)
123