INTISARI
KLASIFIKASI EFEK TAPAK LOKAL BERDASARKAN DATA MIKROTREMOR MENGGUNAKAN METODE HORIZONTAL TO VERTICAL SPECTRAL PECTRAL RATI O (HVSR) DI DAERAH EPITERMAL BOROBUDUR KABUPATEN MAGELANG
Oleh : DENDY PRASTOWO AJI 11/313106/PA/13638
Pengukuran mikrotremor merupakan salah satu metode yang paling populer untuk memperkirakan efek tapak lokal di suatu wilayah. teknik ini digunakan pada 85 titik ukur di daerah epitermal Borobudur, Kabupaten Magelang dengan tujuan mengklasifikasikan efek tapak lokal berdasarkan nilai frekuensi dominan, mengkorelasikan parameter hasil pengolahan dengan kondisi geologi setempat dan menentukan daerah yang rentan terhadap gelombang seismik. Pengolahan data menggunakan metode Horizontal to Vertical Spectral Ratio (HVSR) yang dipopulerkan oleh Nakamura. Parameter hasil pengolahan berupa Frekuensi Dominan (F 0 ) , Amplifikasi (A ( A0 ), ), Ketebalan lapisan lapuk (H ( H ) 0), dan indeks kerentanan tanah (K (K g ) dikorelasikan dengan peta geologi dan alterasi lalu dilakukan interptretasi secara kualitatif. Dari penelitian ini diperoleh klasifikasi efek tapak lokal berdasarkan nilai frekuensi dominan yakni nilai frekuensi 0-2,7 Hz merupakan endapan aluvial, 2,75 Hz merupakan batuan beku teralterasi propilitik hingga argilik lanjut dan frekuensi >5Hz batuan beku teralterasi silisifikasi. Nilai F 0 0 , H , dan K g tampak terkorelasi dengan peta geologi dan alterasi sedangkan nilai A0 tidak tidak terkorelasi. Daerah yang rentan terhadap gelombang seismik merupakan daerah di sebelah utara daerah penelitian dengan nilai K g >30. >30. Kata kunci : HVSR, Mikrotremor, Mikroseismik
i
ABSTRACT SI TE EFF ECT CLASS CLASSII FI CATION BASED BASED ON MI CROTREMOR CROTREMOR DATA USING HORI ZONTAL TO VERTI CAL SPECTRAL SPECTRAL RATIO (H VSR) VSR) METH OD IN EPI TERMAL TERMAL AREA OF OF BOROBUDUR BOROBUDUR AT MAGELANG REGENCY
By : DENDY PRASTOWO AJI 11/313106/PA/13638
Microtremor measurements are one of the most popular method to estimate the site effect in an area. This technique is used at 85 measuring points in the epithermal area of Borobudur with the purpose to classify the site effect based on dominant frequency, to correlate the parameter result of data processing with the geological conditions and to determine area that has high vulnerability indices. The data processing method used is Horizontal to Vertical Spectral Ratio (HVSR) popularized by Nakamura. The Parameters of the data processing are Dominant Frequency ((F F 0 ( A0 ), ), the thickness of sediment layer ( H ), ), 0), ), Amplification (A and vulnerability indices (K ( K g ). ). All of the parameters are correlated by geological and alteration map and then interpreted qualitatively. In this research, the result is the site effect classification based on F 0 0. F 0 value 0-2,7 Hz is classificated as alluvial sediment, 2,7-5 Hz as prophylitic up to argillic alteration igneous alteration igneous rock and >5 Hz as sillisification alteration. Values of F 0 are correlated with geological and alteration map, however there is 0 , H , and K g are no correlation between A0 and geological or alteration map. The risky area toward seismic wave is located in the north area of research field with K g value value >30. Keyword: HVSR, Microtremor, Microseismic.
ii
DAFTAR ISI
INTISARI ABSTRACT DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL KATA PENGANTAR BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian I.2. Batasan Masalah I.3. Tujuan Penelitian I.4. Waktu dan Tempat Penelitian BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Geomorfologi Magelang II.2. Geologi daerah Menoreh II.3. Alterasi Hidrotermal dan Mineralisasi II.4. Penelitian Terdahulu BAB III DASAR TEORI III.1. Gelombang Seismik III.1.1.Gelombang Badan III.1.2.Gelombang Permukaan III.2. Mikroseismik III.3. Horizontal to Vertical Vertical Spectral Ratio (HVSR) (HVSR) III.4. Frekuensi Dominan III.5. Ketebalan Lapisan Lapuk ( H ) III.6. Indeks Kerentanan Tanah (Kg) BAB IV METODOLOGI METODOLOGI PENELITIAN IV.1. Alat IV.2. Cek Respon Alat IV.3. Pengambilan Data Lapangan IV.4. Metode Pengolahan Data BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN V.1. Pengolahan Data Mentah V.2. Frekuensi Dominan Tanah V.3. Amplifikasi (A 0) V.4. Ketebalan Lapisan Lapuk V.5. Indeks kerentanan tanah ( K K g ) V.6. Klasifikasi dan Korelasi BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN VI.1. Kesimpulan VI.2. Saran
iii
i ii iii v vii viii 1 1 2 2 3
4 4 4 5 7
10 10
10 11 11 12 14 15 16
19 19 20 20 22
25 25 27 31 33 35 38
40 40 40
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 1 DATA HASIL PENGOLAHAN LAMPIRAN 2 KURVA H/V HASIL PENGOLAHAN LAMPIRAN 3 SPESIFIKASI ALAT
iv
41 43 46 54
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Lempeng Tektonik di Indonesia (BNPB, 2010) Gambar 1.2 Lokasi Penelitian (Sumber : Google Earth) Gambar 2.1 Peta Geologi Daerah Penelitian (Idrus et al., 2013) Gambar 2.2 Peta Alterasi Daerah Penelitian (Idrus et al., 2013) Gambar 3.1 (A) Ilustrasi Gerak Partikel Gelombang P (B) Ilustrasi Gerak Partikel Gelombang S (Bolt, 1993) Gambar 3.2 (A) Ilustrasi Gerak Partikel Gelombang Love (B) Ilustrasi Gerak Partikel Gelombang Rayleigh (Bolt, 1993) Gambar 3.3 Perbandingan Nilai H/V di Berb agai Lokasi (Nakamura, 2008) Gambar 3.4 Ilustrasi Peristiwa Resonansi pada Lapisan Sedimen Gambar 3.5 Pengaruh Gelombang Reyleigh Dalam Kurva H/V (Nakamura, 2008) Gambar 3.6 Nilai Kg Yang Diukur Setelah Gempa Loma Prieta (Nakamura, 2008) Gambar 4.1 Seismometer Lennartz 3D Lite Gambar 4.2 Desain Survei Pengukuran Mikroseismik Gambar 4.3 Skema Pengolahan Data HVSR Gambar 4.4 Diagram Alir Pengolahan Data Gambar 5.1 Respon Seismometer Lennartz 3Dlite (Kiri) Dan Lennartz 3D/20s (Kanan) Gambar 5.2 Contoh Rekaman Data yang Rusak (Atas), Sinyal Pada Komponen Utara-Selatan (Kotak Warna Merah) Tidak Terlihat Dan Contoh Hasil Rekaman Yang Baik (Bawah) Gambar 5.3 Contoh Kurva Clearpeak (Kiri), Multiple Peak (Tengah), dan No Peak (Kanan) Gambar 5.4 Histogram Frekuensi Dominan Gambar 5.5 Peta Persebaran Nilai Frekuensi Dominan Gambar 5.6 Histogram Nilai Amplifikasi Gambar 5.7 Peta Persebaran Nilai Amplifikasi Gambar 5.8 Peta Persebaran Vs30 (Kiri) dan Histogram Ketebalan Lapisan Lapuk (Kanan) Gambar 5.9 Peta Ketebalan Lapisan Lapuk Gambar 5.10 Histogram Indeks Kerentanan Tanah Gambar 5.11 Peta Indeks Kerentanan Tanah Gambar 5.12 Nilai Kg Dioverlay Dengan Daerah Pemukiman Gambar L.1 Kurva HVSR Titik MCR01 – MCR14 Gambar L.2 Kurva HVSR Titik MCR15 – MCR27 Gambar L.3 Kurva HVSR Titik MCR28 – MCR40
v
1 3 5 7 10 11 14 15 15 16 19 21 23 24 25
26 27 28 29 31 32 33 34 35 36 38
46 47 48
Gambar L.4 Kurva HVSR Titik MCR41 – MCR53 Gambar L.5 Kurva HVSR Titik MCR54 – MCR65 Gambar L.6 Kurva HVSR Titik MCR66 – MCR79 Gambar L.7 Kurva HVSR Titik MCR80 – MCR92 Gambar L.8 Kurva HVSR Titik MCR94
vi
49 50 51 52 53
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Klasifikasi Efek Tapak Lokal dengan Metode C-A Fraktal Tabel 2.2 Klasifikasi Efek Tapak Lokal Panah et al. (2002) Tabel 2.3 Klasifikasi Tanah Nogoshi Dan Igarashi (1970) dalam Adib et al. (2015) Tabel 3.1 Rentang Frekuensi Mikrotremor Oleh Gutenberg (1958) Dan Asten (1978, 1984) Dalam Bonnefoy-Claudet et al. (2006) Tabel 5.1 Klasifikasi Batuan Berdasarkan Nilai Frekuensi Dominan Tabel 5.2 Korelasi Parameter F0,A0,H Dan Kg Dengan Peta Geologi dan Alterasi Tabel L.1 Data Hasil Pengolahan Tabel L.2 Spesifikasi Alat
vii
8 8 9 12 38 39 43 54
KATA PENGANTAR
Assalamu alaikum Wr.Wb. ‟
Alhamdulillahirobbil’alamin, atas berkat nikmat, rahmat dan karunia Allah SWT yang maha kuasa dan dengan didorongkan oleh semangat lahir dan batin, maka telah sampailah penulis pada saat yang berbahagia dengan selesainya penyusunan
skripsi
yang
berjudul
“KLASIFIKASI
TAPAK
LOKAL
BERDASARKAN DATA MIKROTREMOR MENGGUNAKAN METODE HORIZONTAL TO VERTICAL SPECTRAL RATIO (HVSR) DI DAERAH EPITERMAL BOROBUDUR KABUPATEN MAGELANG ” sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana strata satu di Program Studi Geofisika, Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Gadjah Mada. Penulis sadar bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan dapat terselesaikan tanpa dibantu oleh beberapa pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada : 1. Mama dan (Alm) Papa tercinta yang telah memberikan Do’a dan dukungan selama kuliah hingga saat ini. 2. Drs. Imam Suyanto selaku dosen pembimbing skripsi yang sudah memberikan banyak waktu, ilmu, dan saran selama penulisan skripsi ini. 3. Dr. Ade Anggraini, M.Si dan Dr. Eddy Hartantyo, M.Si selaku dosen penguji. 4. Keluarga PASAINS yang selalu ada saat dibutuhkan. 5. Amallia Rachim yang selalu memberi semangat. 6. Teman-teman Geofisika UGM angkatan 2011 yang telah membantu dalam pengambilan data mikroseismik selama Field Camp. 7. Seluruh dosen dan kar yawan Program Studi Geofisika UGM atas ilmu dan semua bentuk dukungan selama kuliah. 8. Dan semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat penulis sebut satu per satu.
viii
Hanya Allah SWT yang pantas membalas semua kebaikan yang telah diterima. Saran dan kritik mengenai skripsi ini diharapkan dari semua pihak dan dapat disampaikan melalui email :
[email protected]. Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pembaca. Amin. Wassalamu alaikum Wr.Wb. ‟
PENULIS
ix
BAB I PENDAHULUAN
I.1.
Latar Belakang Penelitian
Lokasi Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik besar, yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan lempeng Pasifik (Gambar 1.1). Akibatnya Indonesia memiliki banyak patahan aktif seperti patahan Semangko di Pulau Sumatra, Cimahi di Pulau Jawa dan
masih banyak lagi patahan aktif
lainnya. Sedangkan apabila ditinjau dari letak geografisnya Indonesia terletak di jalur gempa dunia yaitu jalur sirkum pasifik dan jalur mediterania. Oleh karena itu, Indonesia memiliki aktivitas gempa bumi yang cukup tinggi.
Eurasia PASIFIK
Indo-Australia Gambar 1.1 Lempeng Tektonik di Indonesia (Sumber:BNPB, 2010)
Faktor-faktor yang mengakibatkan kerusakan akibat gempa bumi antara lain: kekuatan gempa bumi, kedalaman gempa bumi, jarak hiposenter, lama getaran, kondisi tanah dan kondisi bangunan (BMKG). Untuk mewaspadai bahaya gempa bumi, perlu dilakukan penelitian terhadap kondisi tanah suatu tempat serta menentukan daerah-daerah yang memiliki tingkat kerentanan seismik tinggi. Metode Horizontal to Vertical Spectral Ratio merupakan salah satu metode geofisika yang memanfaatkan getaran mikro dari alam. Pemanfaatan metode mikroseismik dapat digunakan untuk mempelajari site effect yaitu efek
1
2
dari geologi lokal suatu wilayah saat terdapat aktifitas seismik. Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan metode mikroseismik akan didapatkan dua parameter yang dapat menggambarkan site effect suatu wilayah. Parameter yang dimaksud adalah frekuensi dominan dan amplifikasi. Metode ini juga dianggap efisien karena selain mudah dalam pengoperasiannya, metode ini juga diketahui memerlukan biaya yang murah.
I.2.
Batasan Masalah
Penelitian ini dibatasi oleh beberapa hal berikut : 1.
Area penelitian hanya dilakukan di Desa Kebonsari, Kembanglimus, Tegalarum, Ngadiharjo, Karangrejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang.
2.
Pengolahan data mikroseismik menggunakan metode Horizontal to Vertical Spectral Ratio (HVSR).
3.
Analisis dilakukan berdasarkan nilai frekuensi dominan, amplifikasi, ketebalan sedimen, dan indeks kerentanan tanah.
I.3.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Mengklasifikasikan efek tapak lokal berdasarkan parameter yang diperoleh dari pengolahan dengan metode HVSR.
2.
Mengkorelasikan parameter hasil pengolahan dengan metode HVSR dengan kondisi geologi daerah penelitian.
3.
Melokalisasi daerah-daerah yang rentan terhadap gelombang seismik berdasarkan nilai indeks kerentanan tanah.
3
I.4.
Waktu dan Tempat Penelitian
Pengambilan
data
mikroseismik
dilakukan
di
desa
Kebonsari,
Kembanglimus, Tegalarum, Ngadiharjo, Karangrejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Secara astronomis area penelitian berada pada 110.157° BT – 110.185° BT dan 7.5928° LS – 7.6107° LS dengan luas area 2km × 3km (Gambar 1.2). Penelitian dilakukan pada tanggal 30 Mei 2015 – 10 Juni 2015.
Gambar 1.1 Lokasi Penelitian (Sumber : Google Earth)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1.
Geomorfologi Magelang
Daerah Magelang termasuk dalam zona pegunungan Kulon Progo bagian utara, yaitu pada kaki perbukitan Menoreh yang merupakan hasil vulkanisme dari masa lampau. Formasi batuan yang membentuk daerah ini yaitu Formasi Kebobutak yang terdiri dari lava dasit, lava andesit, breksi autoklastik serta endapan Gunung Sumbing Muda berupa breksi andesit. Terdapat tiga fase tektonik yang mempengaruhi pembentukan daerah Kulon Progo. Pengangkatan pada masa Oligosen awal-akhir yang mengaktifkan vulkanisme, penurunan pada miosen awal-tengah, dan pengangkatan kembali pada pliosen-pleistosen. Struktur geologi yang berperan yaitu berupa sesar geser dekstral pada daerah penelitian yang berarah barat laut-tenggara, dan sesar geser sinistral berarah timur laut barat daya. Gaya pembentuk struktur relatif berarah utara-selatan (Idrus et al ., 2013).
II.2.
Geologi daerah Menoreh
Menurut Sinugroho (2015), daerah Menoreh terdiri dari batuan basaltik andesit-dasit. Batu andesit diterobos Formasi Mioses Andesit Tua (Formasi Kebo Butak). Mineralisasi terdapat di basaltik andesit – andesit dasitik, terutama di daerah kontak intrusi. Formasi batuan tertua (Formasi Nanggulan) teramati sebagai bongkah besar xenolith di intrusi batu andesit dasitik sedangkan batu kapur yang lebih muda teramati pada singkapan di daerah selatan penelitian. Formasi batugamping kemungkinan sudah terubah karena proses metamorphosis menjadi marmer oleh sistem epitermal. Batuan yang tidak mengalami alterasi dan mineralisasi yaitu mikrodiorit yang mengintrusi andesit dasitik yang tersingkap di atas Bukit Gupit. Intrusi muda ini kemungkinan menghancurkan sistem mineralisasi pada andesit basaltik dan andesit dasitik sebelumnya. Peta geologi daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar2.1.
4
5
Penelitian menunjukkan adanya turunan/depresi setengah lingkaran dengan diameter 10km yang diperkirakan sebagai sisa kawah vulkanik masa lampau. Dimana distribusi batuan pembentuk berbeda-beda. Pada bagian terluar dari bentuk sirkular ini terdiri dari batuan basalt, kemudian mendekat ke tengah menjadi batuan andesit basaltik. Pada bagian tengah dari bentuk sirkular ini adalah andesit dasitik.
Gambar 2.1 Peta Geologi Daerah Penelitian (Idrus et al., 2013)
II.3.
Alterasi Hidrotermal dan Mineralisasi
Alterasi yang terjadi di daerah ini adalah silifikasi, argilik lanjut, argilik, dan propilitik (Gambar 2.2). Alterasi silifikasi merupakan alterasi yang sifatnya paling asam dan paling terpengaruh oleh fluida hidrotermal karena dekat dengan sumber keluarnya fluida hidrotermal. Hal ini dicirikan oleh kehadiran silika yang sangat melimpah dengan struktur vuggy silica dan silica masif, sangat sedikit dijumpai mineral lempung. Batuan induk alterasi di lokasi ini adalah lava dasit dan lava andesit. Pada dasit, alterasi ini berada pada sekitar sesar geser sinistral Semunut Kulon yang diduga pembawa mineralisasi, dengan diikuti alterasi argilik lanjut dan algrilik di sekitarnya sedangkan pada andesit, alterasi ini kontak langsung dengan batuan yang mengalami alterasi propilitik. Endapan mineral logam yang terbentuk yaitu enargit (CuAsS), kalkopirit (CuFeS 2), pirit (FeS 2),
6
digenit (Cu9S5), emas (Au), dan hematit (Fe 2O3). Tekstur vuggy silica dijumpai dalam bentuk urat setebal 1 5cm. Zona mineralisasi berikutnya yaitu argilik lanjut yang dicirikan oleh kehadiran silika dan mineral lempung yang cukup masif. Batuan induk alterasi ini yaitu lava dasit dan sebagian lava andesit. Kenampakan singkapan alterasi argilik lanjut di lapangan yaitu batuan berwarna abu-abu – putih kecoklatan, komposisi silika dan mineral lempung. Pada batuan sering d ijumpai stockwork berupa sulfida dan urat kuarsa yang memiliki panjang 5 – 25cm dengan lebar 0,5 – 2cm. Terdapat pula kehadiran mineral sulfur, enargit yang berwarna kehitaman, mineral lempung jarosit yang berwarna jingga, alunit yang berwarna putih susu, dan hematit. Alterasi argilik terbentuk pada kisaran temperatur 150-200 °C dengan pH 3-5. Batuan yang teralterasi argilik umumnya berwarna putih kecoklatan dengan komposisi penyusun mineral yang lunak. Warna putih menunjukkan adanya mineral lempung, biasanya kaolin sedangkan warna kecoklatan menunjukkan intensitas proses pelapukan pada alterasi tersebut. Mineral sulfida seperti pirit banyak yang teroksidasi menjadi hematit yang berwarna kuning kecoklatan. Urat dengan panjang 10cm - 3m dengan ketebalan 2mm – 10cm, umumnya memiliki orientasi berarah timurlaut – baratdaya. Batuan asal yang mengalami alterasi argilik ini adalah lava dasit dan lava andesit. Zona alterasi propilitik merupakan zona terluar dari setiap sistem alterasi hidrotermal. Alterasi propilitik dicirikan oleh melimpahnya kehadiran klorit dan epidot. Alterasi propilitik terbentuk pada temperatur 100-250 °C dengan salinitas beragam, pH mendekati netral dan terbentuk pada daerah dengan permeabilitas rendah. Batuan induk teralterasi propilitik adalah lava andesit dengan tekstur faneritik hingga faneroporfiritik. Batuan ini memiliki fenokris berukuran 0,5-5 mm dan tersusun atas mineral hornblend, piroksen, sedikit kuarsa, epidot, klorit, dan mineral opak. Berdasarkan beberapa analisa paragenesa mineral logam, baik berdasarkan suhu pembentukan dan bentuk kontak antar mineral, dapat diketahui bagaimana urutan pembentukan seluruh mineral logam dan kisaran suhu pembentukan mineralisasi pada daerah penelitian. Urutan mineralisasi dari yang pertama
7
terbentuk hingga yang paling akhir yaitu : magnetit (Fe 2O3), enargit (CuAsS), kalkopirit (CuFeS2),
galena (PbS), pirit (FeS 2), emas (Au), digenit (Cu 9S5),
hematit (Fe2O3) (Idrus, 2013)
Gambar 2.2 Peta Alterasi Daerah Penelitian ( Idrus et al., 2013)
II.4.
Penelitian Terdahulu
Sebagai referensi digunakan literatur penelitian sejenis yang telah dilakukan sebelumnya. Penelitian tersebut antara lain : 1. Penelitian dengan judul Site effect classi fication based on microtremor data analysis using a concentration – area fractal model yang dilakukan oleh A. Adib, P. Afzaldan K. Heydarzadeh pada tahun 2014 – 2015. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan hasil klasifikasi efek tapak lokal yang dilakukan oleh Panah et al . (2002) dan Nogoshi dan Igarashi (1961) dengan klasifikasi berdasarkan metode concentration – area fractal. Diperoleh hasil klasifikasi efek tapak lokal sebagai berikut (Tabel 2.1):
8
Tabel 2.1 Klasifikasi Efek Tapak Lokal dengan Metode C-A Fraktal oleh Adib et al . (2015)
Frekuensi
Amplifikasi
(Hz)
(A0 )
6,2-8
<2,7
<1,2
Tanah kaku
4,9 – 6,2
<5,4
<4,2
Tanah sedang
2,4 – 4,9
<10
≤40
0-2,4
<10
≤40
Deskripsi Lokasi Tanah keras, batuan lunak
Tanah lunak
K g
2. Penelitian dengan judul Site Effect Classification in East-Central of Iran oleh Panah et al . (2002) di Iran. Penelitian ini bertujuan untuk mengklasifikasikan efek tapak lokal berdasarkan nilai frekuensi dominan dan Vs 30. Dengan hasil seperti pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Klasifikasi Efek Tapak Lokal Panah et al . (2002)
Vs30 (m/s)
Frekuensi Dominan (Hz)
Deskripsi Tanah
Kelas
<350
<2,5
Tanah lunak
I
Perselingan Material halus dan kasar, daerah alluvium dengan sementasi yang lemah.
350 550
2,5 - 5
Tanah sedang
IIa
Endapan alluvium tua dan tebal atau tanah colluvium dengan tingkat sementasi sedang hingga tinggi
550 750
5 – 7,5
Tanah kaku
IIb
Tanah yang kompak dengan tingkat sementasi sangat tingi
>750
>7,5
Kondisi Geologi Lempung lunak tebal atau lempung pasiran sebagian besar endapan alluvial
Tanah keras, III Batuan lemah
9
3. Klasifikasi efek tapak lokal berdasarkan nilai frekuensi dominan oleh Nogoshi dan Igarashi (1970) dalam Adib et al . (2015) dengan hasil seperti pada Tabel 2.3. Tabel 2.3 Klasifikasi Tanah Nogoshi dan Igarashi (1970) dalam Adib et al . (2015)
Deskripsi
Frekuensi (Hz)
Tipe
Tanah keras terdiri dari kerikil, pasir dan jenis tanah lainnya yang berumur tersier dan lapisan yang lebih tua.
7-10
I
Kerikil pasiran, lempung pasiran keras, dan endapan aluvial lain dengan ketebalan 5 m atau lebih.
4,5 – 7
II
Tanah biasa selain tipe I,II, dan IV.
2 - 4,5
III
Delta alluvial yang lunak dengan ketebalan 20 m atau lebih. Tanah reklamasi dari rawa dan tanah berlumpur dengan ketebalan 2 m atau lebih dan kurang dari 20 th sejak reklamasi.
0,1 - 2
IV
BAB III DASAR TEORI
III.1. Gelombang Seismik
Gelombang seismik adalah energi yang merambat di dalam maupun di permukaan Bumi akibat adanya ganguan. Gelombang seismik ini dapat diukur menggunakan seismometer. Gelombang seismik dibagi menjadi dua yaitu :
III.1.1. Gelombang Badan
.Gelombang badan merupakan gelombang menjalar melalui bagian dalam bumi dan biasanya disebut free wave karena dapat menjalar ke segala arah di dalam bumi. Gelombang badan terdiri dari gelombang P dan S. Gelombang P merupakan gelombang longitudinal atau gelombang kompresional, gerakan partikel sejajar dengan arah perambatannya s edangkan gelombang S merupakan gelombang transversal atau gelombang shear. Gerakan partikel gelombang S terletak pada suatu bidang yang tegak lurus dengan arah penjalarannya. Gelombang sekunder memiliki kecepatan yang lebih rendah dibandingkan dengan gelombang primersehingga terdeteksi oleh seismograf setelah gelombang primer. Ilustrasi gerak partikel gelombang P dan gelombang S ditunjukan pada Gambar 3.1
Gambar 3.1 (a) Ilustrasi Gerak Partikel Gelombang P (B) Ilustrasi Gerak Partikel Gelombang S (Bolt, 1993)
10
11
III.1.2. Gelombang Permukaan
Gelombang Permukaan merupakan gelombang yang zona rambatannya berada di kerak bumi. Gelombang ini memiliki frekuensi yang lebih rendah dibandingkan dengan gelombang badan. Gelombang permukaan dibedakan menjadi dua, yaitu gelombang love dan gelombang rayleigh. Gelombang love merupakan gelombang yang arah gerakan partikel berada pada sumbu horizontal dan tidak menghasilkan perpindahan pada sumbu vertikal (Gambar 3.2). Pergerakan partikel gelombang love sejajar dengan permukaan tetapi tegak lurus dengan arah rambatnya. Gelombang love lebih cepat dibandingkan gelombang rayleigh dan lebih dulu sampai pada seismograf. Gelombang rayleigh merupakan gelombang yang gerakan partikelnya membentuk ellips. Gelombang rayleigh dihasilkan oleh gelombang datang P dan gelombang datang S yang berinteraksi pada permukaan bebas dan merambat sejajar pada permukaan tersebut. Ilustrasi gerak partikel gelombang love dan gelombang rayleigh ditunjukan pada Gambar 3.2.
Gambar 3.2 (a) Ilustrasi Gerak Partikel Gelombang Love (B) Ilustrasi Gerak Partikel Gelombang Rayleigh (Bolt, 1993)
III.2. Mikroseismik
Mikroseismik adalah gerakan kontinu pada bumi dengan jangkauan frekuensi yang lebar dan tidak berhubungan dengan gempa bumi apapun dan disebabkan oleh suatu variasi sumber alami dan/atau buatan (Mukhopadhyay dan Bormann, 2009). Sumber, karakter gelombang dan mekanisme penjalaran gelombang mikroseismik sangat bervariasi (Akamatu, 1960). Mikrosesimik juga
12
sering disebut mikrotremor, dimana mikrotremor merupakan getaran tanah selain gempa bumi, bisa berupa getaran akibat aktivitas manusia maupun aktivitas alam. Sumber dari mikrotremor antara lain : aktifitas manusia (orang berjalan, getaran mobil, getaran mesin-mesin pabrik), getaran angin, gelombang laut atau getaran akibat adanya aktifitas di atmosfer. Setiap sumber tersebut akan menghasilkan frekuensi yang beragam seperti pada Tabel 3.1. Tabel 3.1 Rentang Frekuensi Mikrotremor oleh Gutenberg (1958) dan Asten (1978, 1984) dalam Bonnefoy-Claudet et al . (2006)
Sumber Mikrotremor
Gutenberg (1958)
Gelombang laut yang menghantam
Asten (1978, 1984)
0.05 – 0.1 Hz
0.5 – 1.2 Hz
0.1 – 0.25 Hz
0.16 – 0.5 Hz
Badai di tengah laut
0.3 – 1 Hz
0.5 – 3 Hz
Kondisi cuaca skala lokal
1.4 – 5 Hz
Gempa tremor vulkanik
2 – 10 Hz
Aktifitas manusia
1 – 100 Hz
pesisir pantai Gangguan cuaca berskala besar
Mikrotremor sekitar
0,1-1µm
merupakan
dengan
1.4 – 30 Hz
getaran tanah dengan pergeseran ampliduto
periode
0,05-2s
(Kanai,
1956).
Mikrotremor
diklasifikasikan menjadi dua jenis berdasarkan rentang periodenya. Jenis pertama adalah mikrotremor periode pendek dengan periode kurang dari 1 detik dan keadaan ini terkait dengan struktur bawah permukaan yang dangkal dengan ketebalan beberapa puluh meter, jenis kedua adalah mikrotremor periode panjang dengan periode lebih dari 1 detik, keadaan ini terkait dengan struktur tanah yang lebih dalam menuju ke dasar dari batuan ker as.
III.3. H ori zontal to Vertical Spectral Ratio (H VSR)
Dalam pengukuran mikroseismik dengan metode HVSR ini digunakan seismometer tiga komponen yang akan merekam sinyal komponen vertikal dan dua komponen horisontal (utara-selatan dan barat-timur). Metode ini merupakan
13
metode pasif karena dalam perekaman sinyal seismik tidak diperlukan sumber seismik buatan seperti dinamit, pukulan palu, dll. Rasio spektrum frekuensi dari resultan dari dua komponen horizontal dengan komponen vertikal. Almendros et al. (2004) menyatakan persamaan untuk HVSR pada getaran terukur di permukaan adalah:
+ (e−w) HVSR= √ (n−s)(u−d)
(3.1)
Keterangan: HVSR : Rasio antara spektrum frekuensi horizontal dan vertikal S(n-s)
: Nilai amplitudo spektrum frekuensi komponen horizontal (u tara-selatan)
S(e-w)
: Nilai amplitudo spektrum frekuensi komponen horizontal (timur-barat)
S(u-d)
: Nilai amplitudo spektrum frekuensi komponen vertikal
HVSR adalah metode yang didasarkan pada asumsi bahwa rasio spektrum horizontal dan vertikal dari getaran permukaan sebagai perkiraan fungsi perpindahan. Kebenaran metode ini didasari penelitian empiris oleh beberapa ilmuan. Pada tahun 1989, Nakamura mencoba memisahkan efek sumber gelombang dengan efek geologi dengan cara menormalisir spektrum komponen horizontal dengan komponen vertikal pada titik ukur yang sama. Hasil pengamatan menunjukan bahwa rekaman pada stasiun yang berada pada batuan keras, nilai maksimum rasio spektrum komponen horizontal terhadap vertikal mendekati nilai 1 sedangkan pada stasiun yang berada pada batuan lunak, rasio nilai maksimumnya mengalami perbesaran (amplifikasi), yaitu lebih besar dari 1 seperti terlihat pada Gambar 3.3 . Berdasarkan kondisi tersebut dapat diketahui bahwa amplitudo gelombang seismic dipengaruhi oleh efek tapak lokal. Hasil dari pengolahan dengan metode HVSR adalah F 0 yang didefinisikan sebagai frekuensi dominan atau frekuensi resonansi dan A0 yang didefinisikan sebagai amplifikasi atau perbesaran gelombang. Nilai amplifikasi akan sebanding dengan kontras impedansi antara batuan dasar dengan lapisan sedimen di atasnya.
14
Semakin besar perbedaan impedansinya maka amplifikasi akan semakin besar.seperti pada Gambar 3.3 berikut ini.
Gambar 3.3 Perbandingan Nilai H/V di Berbagai Lokasi (Nakamura, 2008)
III.4. Frekuensi Dominan
Frekuensi dominan atau disebut frekuensi resonansi ( F 0) merupakan frekuensi dasar suatu gelombang saat mengalami resonansi (Gambar 3.4). Telah diketahui bahwa :
= sehingga :
0 = 4 Keterangan: F 0
= Frekuensi dominan tanah
H
= Ketebalan lapisan lapuk
V s
= Kecepatan Gelombang S di lapisan sedimen
(3.2)
(3.3)
15
Gambar 3.4 Ilustrasi Peristiwa Resonansi pada Lapisan Sedimen
Apabila sumber getaran memiliki rentang frekuensi yang lebar maka akan ada kemungkinan terjadi resonansi pada F 1 , F 2 , F 3 dan seterusnya. Akan tetapi analisis hasil HVSR menggunakan nilai F 0 karena nilai F 0 merupakan nilai yang paling mencerminkan tapak lokal su atu titik. Nilai f rekuensi di atas nilai F 0 akan mengandung frekuensi yang diakibatkan oleh gelombang rayleigh (Gambar 3.5) sehingga tidak dapat digunakan analisa tapak lokal sesuai konsep di atas.
Gambar 3.5 Pengaruh Gelombang Rayleigh dalam Kurva H/V (Nakamura, 2008)
III.5. Ketebalan Lapisan Lapuk (H )
Ketebalan lapisan lapuk juga disebut ketebalan sedimen atau kedalaman batuan dasar (H). Untuk menentukan nilai H , lapisan sedimen diangap sebagai osilator, yaitu medium tempat gelombang-gelombang bergetar. Gelombang yang melewati medium ini akan mengalami resonansi apabila bertemu dengan
16
gelombang dengan frekuensi yang sama. Ketebalan lapisan lapuk dapat didekati dengan menggunakan persamaan resonansi pada frekuensi dasar (Persamaan 3.3). Apabila densitas batuan dasar dengan batuan sedimen sama, A0 merupakan nilai amplifikasi dan V b merupakan kecepatan gelombang S di batuan dasar maka diperoleh :
0 =
(3.4)
sehingga ketebalan lapisan lapuk diperoleh:
=
(3.5)
III.6. Indeks Kerentanan Tanah (Kg)
Gempa bumi menyebabkan kerusakan struktural ketika struktur tersebut melampaui batas tegangannya akibat deformasi. Tingkat kerusakan yang disebabkan oleh gempa bumi ini sebanding dengan nilai indeks kerentanan tanah. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Nakamura et al . (1997) di San Fransisco USA yang ditunjukkan pada Gambar 3.6. Indeks kerentanan tanah dapat didefinisikan sebagai tingkat kerentanan suatu tanah untuk mengalami deformasi saat terjadi gempa bumi.
Gambar 3.6 Nilai Kg yang Diukur Setelah Gempa Loma Prieta (Nakamura, 2008)
17
Dalam penentuan Indeks Kerentanan Tanah perlu diperhatikan shear strain pada permukaan tanah. Besarnya shear strain tanah dapat dihitung dengan persamaan:
=
(3.6)
Keterangan:
0
= Amplifikasi
H
= Ketebalan lapisan lapuk (m)
= Shear strain
= Displacement (m)
Frekuensi dominan dari lapisan sedimen dapat dituliskan sebagai:
0 = 4 0
(3.7)
dapat dituliskan sebagai: (3.8) = (20)2
Percepatan gelombang di batuan dasar
Dan apabila dituliskan dengan F 0, A0, dan V b adalah sebagai berikut :
× × 4 = (2 )
= ×
(3.9)
Apabila efisiensi batuan dalam menerima gelombang seismik diasumsikan sebagai e%,
dapat dituliskan sebagai berikut : = () × e
002
() = 2 100
(3.10)
(3.11)
18
Nilai V b diangap konstan dalam area yang luas sedangkan nilai Kg hanya mewakili titik ukur saja. Apabila dianggap V b = 600 m/s, maka akan didapatkan 1/(π2C b) = 1,69 × 10 -6 (s/cm). Jika nilai e = 60% maka Persamaan 3.11 dapat dituliskan sebagai berikut:
() ≈ 002
(3.12)
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
IV.1. Alat
Alat
yang
digunakan
dalam
pengambilan
dan
pengolahan
data
mikroseismik di daerah Kebonsari, Borobudur ini antara lain : 1.
Satu unit seismometer Lennartz 3D Lite (Gambar 4.1) dan 1 unit seismometer Lennartz 3D/20s.
2.
Satu unit digitizer DATAQ DI710L dan 1 unit digitizer GURALP CMG DM 24.
3.
Dua unit GPS Garmin.
4.
Dua unit kompas.
5.
Dua unit laptop.
6.
Dua buah cangkul.
7.
Dua buah paving blok.
8.
Peta geologi Pegunungan Menoreh, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
9.
Peta Alterasi Pegunungan Menoreh, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
10. Peta Rupa Bumi Indonesia Pegunungan Menoreh, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. 11. Buku Catatan Lapangan. 12. Software Microsoft Excel, Scream, DataQ, Geopsy, DNR GPS, Corel Draw
Gambar 4.1 Seismometer Lennartz 3D Lite
19
20
IV.2. Cek Respon Alat
Pengambilan data lapangan menggunakan 2 alat perekaman yang berbeda dan hasil akhir nantinya akan dilakukan interpolasi dan analisa dalam 1 peta yang sama sehingga harus dipastikan bahwa respon dari kedua alat perekaman adalah sama. Pasangan alat perekaman yang digunakan adalah seismometer Lennartz 3D/20s dengan menggunakan digitizer Dataq DI710L dan seismometer Lennartz 3D Lite dengan menggunakan digitizer Guralp CMG DM24. Cara pengambilan data untuk membandingkan respon kedua pasang alat perekaman adalah dengan melakukan perekaman di titik dan waktu yang sama. Pengaturan parameter perekaman menggunakan parameter yang sama dengan parameter saat melakukan pengambilan data lapangan. Yakni parameter frekuensi sampling kedua alat 100Hz dan parameter gain 1 untuk digitizer CMG DM24 dan 100 untuk digitizer Dataq DI710L. Dengan melakukan perekaman di titik dan waktu yang sama seharusnya hasil yang didapat adalah sama. Apabila respon kedua alat sama maka hasil dari pengolahan data dari kedua alat dapat digabungkan dalam peta yang sama. Apabila respon kedua alat berbeda maka hasil dari kedua rekaman alat tersebut tidak dapat digabungkan.
IV.3. Pengambilan Data Lapangan
Pengambilan data lapangan dilakukan pada tanggal 30 Mei – 10 Juni 2015. Dalam
pengambilan
data
dibagi
dua
kelompok
yang
masing-masing
menggunakan set instrumen yang berbeda. Satu kelompok menggunakan seismometer Lennartz 3D lite dengan digitizer Guralp CMG DM24 dan satu kelompok lainnya menggunakan seismometer Lennartz 3D/20s dengan digitizer DataQ DI710L. Karena menggunakan dua instrumen yang berbeda dan dalam pengolahan akan dijadikan satu p eta maka perlu dilakukan cek respon dari kedua alat untuk memastikan bahwa respon dari kedua alat adalah sama. Total rencana titik ukur ini adalah 96 titik dengan luas area penelitian sekitar 2km × 3km. Titik ukur berbentuk grid dengan jarak tiap titik adalah 280m seperti terlihat pada Gambar 4.2. Namun karena kondisi lapangan dan mempertimbangkan kualitas data hanya 85 data yang dapat diproses. Penentuan
21
titik ukur berdasarkan peta geologi, alterasi, dan peta Rupa Bumi Indonesia, dimana peta Geologi dan Alterasi digunakan untuk melihat kondisi batuan lokasi penelitian sedangkan peta Rupa Bumi Indonesia digunakan untuk melihat daerah mana saja yang padat penduduk.
Gambar 4.2 Desain Survei Pengukuran Mikroseismik
Proses pengambilan data dilakukan dengan spesifikasi sebagai berikut : 1.
Sensor diletakkan dalam lubang ±30cm dengan didasari paving blok guna mengurangi efek hembusan angin dan agar mendapatkan lapisan tanah yang lebih keras.
2.
Durasi rekaman antara 30 – 50 menit tergantung d engan lokasi titik ukur.
3.
Frekuensi sampling tiap titik adalah 100Hz sehingga diharapkan dapat merekam gelombang hingga frekuensi 50Hz.
4.
Untuk digitizer Guralp CMG DM24 digunakan gain 1, sedangkan digitizer Dataq DI710L digunakan gain 100.
5.
Kondisi lapangan dicatat dalam buku catatan lapangan.
22
IV.4. Metode Pengolahan Data
Data hasil rekaman diseleksi terlebih dahulu berdasarkan kualitas datanya sehingga data yang benar-benar bagus dan dapat mewakili kondisi titik ukur yang dapat diproses ke tahap berikutnya. Untuk skema pengolahan data dapat dilihat pada Gambar 4.3 dan diagram alir pada Gambar 4.4. Beberapa tahap dalam pengolahan data mikroseismik ini antara lain: 1.
Untuk ekstensi data keluaran dari digitizer Dataq DI710L adalah .wdq sehingga perlu dikonversi menjadi . saf (Sesame ASCII Format) atau .txt multi kolom. Sedangkan data keluaran Digitizer Guralp CMG DM24 berekstensi .msd yang dapat langsung dimasukkan ke software geopsy.
2.
Setelah data tersebut diimport dalam geopsy akan dihasilkan tampilan gelombang tiga komponen dalam domain waktu. Lalu dilakukan band pass filter 1 - 40Hz. Pemilihan frekuensi tersebut didasari oleh kemampuan alat untuk merekam gelombang pada frekuensi tersebut.
3.
Windowing dilakukan secara manual dengan lebar window 25 detik di setiap titik ukur.
4.
Untuk smoothing digunakan pengaturan standar dari software geopsy yakni dengan Metode smoothing Konno & Ohmachi dengan konstanta smoothing 40 dan cosine taper dengan lebar 5%.
5.
Penggabungan komponen horizontal digunakan nilai resultan dari kedua komponen. Sehingga dalam software geopsy dalam tab horizontal component dipilih opsi total horizontal energy.
6.
Setelah proses FFT akan dihasilkan kurva HVSR. Nilai F 0 dan A0 pada kurva ini akan digunakan dalam proses selanjutnya.
7.
Quality control pengolahan data menggunakan standar dari Sesame (2004).
8.
Mencari nilai Kg dan Kedalaman basement sesuai dengan Persamaan 3.11 dan 3.2.
9.
Membuat peta klasifikasi tanah, Kedalaman batuan dasar, dan Kg berdasarkan hasil perhitungan di langkah sebelumnya.
23
Gambar 4.3 Skema Pengolahan Data HVSR
24
Gambar 4.4 Diagram Alir Pengolahan Data
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
V.1.
Pengolahan Data Mentah
Pengolahan data untuk membandingkan respon alat perekaman dilakukan sebelum mengolah data lapangan yang lain. Data lapangan dalam domain waktu di potong pada waktu yang sama kemudian dilakukan band pass filter 1-45 Hz. Kemudian dalam pengolan H/V lebar window yang digunakan adalah 50 detik. Proses penghalusan data dilakukan dengan metode Konno & Ohmachi dengan konstanta smoothing 40. Dari pengolahan data tersebut dihasilkan data yang identik (Gambar 5.1). Hasil pengolahan dari d ata perekaman dengan Seismometer Lennartz 3D/20S dengan Digitizer Dataq DI710L diperoleh nilai F 0 2,439 Hz dan nilai A0 3,324. Sedangkan seismometer Lennartz 3D LiteMKII dengan digitizer Guralp CMG DM24 menghasilkan nilai F 0 2,376 Hz dan A0 3,265. Dari data tersebut terlihat adanya perbedaan nilai F 0 sebesar 0,063 Hz dan Nilai A0 sebesar 0,059. Selisih nilai tersebut dianggap kecil sehingga h asil dari rekaman kedua alat tersebut dapat digunakan.
Gambar 5.1 Respon Seismometer Lennartz 3Dlite (Kiri) Dan Lennartz 3D/20s (Kanan)
25
26
Dari total 96 titik ukur yang direncanakan hanya 85 titik data yang diolah di tahap berikutnya. Terdapat beberapa data yang dibuang dikarenakan kondisi data yang kurang sesuai (Gambar 5.2) sehingga data yang diolah adalah data yang dianggap baik dan dapat mewakili lokasi titik ukur. Data yang cacat dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Contohnya adalah instalasi alat yang tidak tepat misal kabel tidak terpasang dengan baik dan S/N ( signal to noise) rasio yang kecil.
Gambar 5.2 Contoh Rekaman Data yang Cacat (Atas), Sinyal pada Komponen Utara-Selatan (Kotak Warna Merah) Tidak Terlihat dan Contoh Hasil Rekaman yang Baik (Bawah)
Untuk menentukan nilai F 0 dan A0 dipilih pada puncak amplitudo pada kurva H/V. Frekuensi pada puncak amplitudo kurva H/V merupakan frekuensi dominan atau frekuensi resonansi di suatu titik ukur. Peristiwa resonansi mengakibatkan amplitudo spektrum horizontal pada suatu frekuensi tertentu (frekuensi resonansi) menjadi lebih besar sedangkan komponen vertikal tetap. Sehingga akan terbentuk puncakan pada kurva H/V. Kurva yang ideal adalah kurva dengan tipe clear peak . Tetapi ada suatu kasus saat terdapat beberapa
27
puncakan (multiple peak ) atau malah tidak terdapat puncakan (no peak ) (Gambar5.3). Saat terdapat kasus beberapa puncak amplitudo akan menimbulkan kebingungan dalam menentukan nilai F 0 dan A0 . Apabila terjadi kasus tersebut perlu diperhatikan pula data-data pada titik disekitarnya. Melihat data-data di titik sekitarnya dapat membantu dalam menentukan puncakan mana yang akan digunakan. Puncakan yang dipilih adalah puncakan yang frekuensinya paling dekat dengan titik disekitarnya sedangkan pada kasus tidak ada puncakan pada kurva H/V atau kurva cenderung datar maka data pada titik tersebut tidak dapat digunakan. Hal tersebut bisa terjadi apabila dilakukan pengukuran di daerah yang didominasi batuan keras.
Gambar 5.3 Contoh Kurva C learPeak (Kiri), Mul tipl e Peak (Tengah), dan No Peak (Kanan)
V.2.
Frekuensi Dominan Tanah
Frekuensi dominan tanah daerah penelitian cukup beragam, dari bernilai kecil, sedang, hingga tinggi. Dari nilai frekuensi dominan tanah disetiap titik pengukuran, dapat dibuat peta sebaran frekuensi dominan permukaan tanah daerah penelitian. Dari 85 titik ukur yang diolah didapatkan nilai Frekuensi dominan yang bervariasi. Rentang frekuensi dominan yang terukur adalah 1,27 – 15,11 Hz. Dari histogram data frekuensi dominan (Gambar 5.4) terlihat dengan jelas sebaran data di lokasi penelitian. Nilai frekuensi yang paling banyak muncul adalah frekuensi 1-4 (Hz). Sedangkan frekuensi 4-16 (Hz) sangat jarang keluar. Nilai frekuensi dominan yang relatif kecil berada pada bagian utara dan sedikit di selatan daerah
28
penelitian (Gambar 5.4). Sed angkan Frekuensi do minan yang relatif besar berada pada bagian tengah hingga barat daerah penelitian.
Gambar 5.4 Histogram Frekuensi Dominan
Pada Gambar 5.5 disajikan hasil interpolasi nilai F 0 yang dikorelasikan dengan peta geologi daerah penelitian. Terlihat adanya pola yang sama antara nilai F 0 dengan peta geologi tersebut. Sesuai dengan penelitian (Fransisco et al , 2014) yang menyatakan peta frekuensi dominan hasil dari pengolahan HVSR lebih memperlihatkan struktur sedimen dengan variasi lateral yang seragam. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nogoshi dan Igarashi (1970) dalam Adib et al . (2015) dan Panah et al . (2002) bahwa nilai frekuensi dominan tanah berkaitan dengan jenis batuan. Secara teoritis nilai frekuensi dominan berkaitan dengan ketebalan lapisan sedimen. Semakin lunak dan semakin tebal lapisan sedimen akan menghasilkan nilai frekuensi dominan yang kecil, begitu juga sebaliknya.
29
Gambar 5.5 Peta Persebaran Nilai Frekuensi Dominan Dioverlay dengan Peta Geologi (Atas) dan Peta Alterasi (Bawah)
30
Nilai frekuensi dominan <2,7 Hz (warna biru) tersebar d i bagian utara dan timur daerah penelitian dimana apabila dikorelasikan dengan peta geologinya, daerah tersebut merupakan daerah aluvial. Batuan yang mendominasi di daerah ini adalah batu lempung, pasir dan kerikil. Batuan tersebut belum tersementasi dengan baik sehingga memiliki nilai densitas yang kecil. Nilai frekuensi dominan 2,7 - 5 Hz (warna hijau) berkorelasi dengan batuan andesit. Batuan andesit yang merupakan batuan sedimen yang sifatnya masif dan memiliki nilai densitas yang besar seharusnya memiliki nilai frekuensi yang besar >7,5 Hz (Panah et al , 2000). Akan tetapi di daerah penelitian merupakan daerah yang telah mengalami alterasi propilitik sampai argilik lanjut. Adanya alterasi tersebut mengubah batuan asal yaitu batuan dasit dan andesit menjadi batuan yang kaya mineral lunak seperti lempung. Hal tersebut yang mempengaruhi nilai frekuensi dominan di lokasi ini. Pada lokasi penelitian ini juga diduga terdapat sesar yang mengontrol alterasi. Adanya sesar membuat batuan memiliki nilai permeabilitas yang tinggi sehingga fluida panas dapat melewati sesar tersebut yang mengakibatkan terjadinya alterasi. Pada daerah pertemuan sesar terdapat a lterasi silisifikasi yang bersifat paling asam dan paling terpengaruh fluida hidrotermal karena terletak paling dekat dengan sesar. Pada alterasi ini terdapat kehadiran silika yang sangat melimpah dengan struktur silika masif dan sangat sedikit dijumpai mineral lempung sehingga daerah ini memiliki batuan yang keras yang mengakibatkan nilai frekuensi dominannya sangat tinggi. Nilai frekuensi dominan >5Hz (warna merah) merupakan batuan andesit yang mengalami alterasi silisifikasi. Dalam keperluan mitigasi bencana gempa bumi, informasi nilai frekuensi dominan suatu tempat menjadi sangat penting dalam perancangan bangunan tahan gempa bumi. Bangunan yang memiliki nilai frekuensi sama dengan frekuensi dominan tanah akan mengalami perbesaran amplitudo karena interferensi dua gelombang yang sifatnya saling menguatkan atau biasa disebut resonansi.
31
V.3.
Amplifikasi (A 0)
Dari pengolahan data HVSR nilai A0 diperoleh bersamaan dengan n ilai F 0 . Kedua parameter tersebut diambil pada puncakan yang sama dari kurva H/V. Rentang nilai amplifikasi berkisar antara 1-21. Nilai paling banyak muncul ada pada 5-7 dengan jumlah data 22 (Gambar 5.6). Sebaran data amplifikasi ini terlihat lebih merata daripada sebaran nilai frekuensi dominan.
Gambar 5.6 Histogram Nilai Amplifikasi
Persebaran nilai amplifikasi (Gambar 5.7) terlihat bahwa sebaran lokasi dari nilai amplifikasi lebih tidak teratur dibandingkan dengan sebaran nilai frekuensi dominan. Apabila pada peta frekuensi dominan terlihat mengelompok pada rentang frekuensi tertentu berbeda dengan sebaran nilai amplifikasi yang membentuk klosur-klosur di beberapa tempat. Apabila melihat nilai amplifikasi di Gambar 5.7, tidak terlihat adanya korelasi dengan peta geologi, alterasi maupun nilai frekuensi dominan. (Fransisco et al , 2014) menyatakan persebaran nilai amplifikasi sangat tidak teratur dan tidak ada kesesuaian dengan nilai frekuensi dominan. Nilai amplifikasi se cara teoritis berbanding lurus dengan kontras impedansi antara batuan dasar dengan batuan sedimen. Walaupun dari peta persebaran amplifikasi di atas tidak terlihat dengan jelas polanya akan tetapi nilai amplifikasi yang besar cenderung berada di bagian utara daerah penelitian. Daerah tersebut merupakan daerah aluvial yan memiliki nilai V s dan densitas yang kecil apabila dibandingkan dengan batuan dasar. Sehingga nilai amplifikasi di daerah tersebut juga lebih besar.
32
Gambar 5.7 Peta Persebaran Nilai Amplifikasi Dioverlay dengan Peta Geologi (Atas) dan Peta Alterasi (Bawah)
33
Peristiwa amplifikasi menyebabkan amplitudo suatu gelombang seismik meningkat. Akibatnya efek merusak yang dihasilkan juga akan lebih besar. Sehingga dilihat dari nilai amplifikasi daerah paling aman di lokasi penelitian adalah daerah yang berwarna biru. Walaupun dilihat dari nilainya warna biru mewakili nilai amplifikasi 1-6. Walaupun nilai perbesaran hingga 6 kali termasuk nilai yang besar dan rawan apabila terjadi gempa yang cukup besar tetapi paling tidak lokasi tersebut lebih aman daripada lokasi lain di daerah penelitian. Daerah yang berwarna hijau – merah merupakan daerah yang sangat rawan dari aktifitas seismik. Karena dilihat dari nilai amplifikasi yang nilainya 6-21. Nilai tersebut merupakan nilai yang sangat ekstrim. Apabila terjadi gempa bumi dengan magnitudo 6 SR maka pada daerah yang memiliki nilai amplifikasi 21, kekuatan gempa magnitudo terasa sekitar 6,6 SR. Karena perbedaan 1 Skala Richter magnitudo gempa bumi artinya energi gempa b umi berbeda 30 kali lipat. V.4.
Ketebalan Lapisan Lapuk
Dalam menentukan ketebalan lapisan lapuk dibutuhkan nilai Vs30 sebagai data. Vs30 adalah rata-rata kecepatan gelombang S hingga kedalaman 30 meter (Mohamed et al , 2013). Akan tetapi dalam penelitian ini hanya menggunakan pengukuran mikroseismik dan tidak melakukan pengukuran dengan metode MASW yang bisa mendapatkan nilai Vs30 sehingga diperlukan data Vs30 yang diambil dari website USGS (Gambar 5.8).
30 Gambar 5.8 Peta Persebaran Vs (Kiri) dan Histogram Ketebalan Lapisan Lapuk (Kanan)
34
Gambar 5.9 Peta Ketebalan Lapisan Lapuk Dioverlay dengan Peta Geologi (Atas) dan Peta Alterasi (Bawah)
35
Nilai ketebalan sedimen bervariasi di area penelitian berkisar antara 5 – 78 meter. Apabila dilihat dari pola sebaran data nilai ketebalan sedimen memiliki korelasi dengan nilai frekuensi dominan. Semakin besar frekuensi ketebalan sedimen semakin kecil begitu pula sebaliknya. Pada batuan andesit yang mengalami alterasi silisifikasi memiliki nilai kedalaman lapisan sedimen lunak yang paling kecil yakni 5m. Lapisan sedimen pada daerah ini berupa top soil tanpa ada mineral lempung sedangkan pada batuan andesit yang mengalami alterasi propilitik sampai argilik lanjut memiliki lapisan sedimen yang lebih tebal berkisar antara 30-50 meter. Hal ini dimungkinkan terjadi karena terbentuknya mineral lunak seperti lempung. Kehadiran lempung pada alterasi tersebuat membuat lapisan lunak yang ada di wilayah tersebut bertambah tebal. Sehingga membuat frekuensi dominannya semakin kecil. Lapisan sedimen lunak yang paling tebal berada pada bagian utara hingga timur. Ketebalan lapisan lunak di daerah ini antara 50-80 m. Ketebalan lapisan lapuk berhubungan dengan kerusakan yang terjadi akibat gempa bumi (Beroya et al, 2009).
V.5.
Indeks kerentanan tanah (K g)
Hasil pengolahan diperoleh nilai Kg antara 1 – 140. Nilai K g terbanyak ada di rentang nilai 10-20 dengan 17 data, 5-10 ada 14 data dan 0-5 ada 13 data (Gambar 5.10). Terlihat pada Gambar 5.11 bahwa sebaran nilai K g yang tinggi terkonsentrasi di bagian utara. Walaupun ada beberapa titik di bagian utara yang memiliki nilai K g kecil.
Gambar 5.10 Histogram Indeks K erentanan Tanah
36
Gambar 5.11 Peta Indeks Kerentanan Tanah Dioverlay dengan Peta Geologi (Atas) dan Peta Alterasi (Bawah)
37
Nilai amplifikasi yang sangat besar dan nilai frekuensi dominan yang kecil membuat daerah aluvial memiliki nilai K g yang sangat tinggi. Nakamura (2010) mengklasifikasikan nilai K g menjadi tiga kelas berdasarkan gempa yang terjadi di Loma-Prieta 1989. Nakamura mengkelompokkan nilai K g berdasarkan kerusakan yang terjadi. Nilai K g di atas 50 memiliki kerusakan yang cukup parah yang berada pada tanah reklamasi pantai. K g dengan nilai 10-50 memiliki tingkat kerusakan yang kecil berada di daerah pesisir. Sedangkan daerah perbukitan memiliki nilai K g <10 tidak mengalami kerusakan. Apabila melihat nilai-nilai klasifikasi Nakamura tersebut dan dibandingkan dengan nilai K g hasil penelitian terdapat suatu kemiripan. Dimana nilai K g >50 pada lokasi penelitian berasosiasi dengan daerah aluvial. Daerah aluvial dan tanah reklamasi memiliki kemiripan dalam sifat fisis materialnya yaitu batu pasir, lempung, dan lanau yang tidak tersementasi dan terkompaksi dengan baik akibat umur batuan yang muda. Nilai K g 10-40 di lokasi penelitian diperkirakan berasosiasi dengan batuan andesit yang teralterasi propilitik hingga argilik. Seperti telah dibahas sebelumnya batuan dengan alterasi ini memiliki kandungan mineral lempung yang sifatnya lunak sehingga dilihat dari segi K g nilainya cukup besar. Rentang nilai K g paling kecil 110 merupakan daerah perbukitan yang memiliki komposisi batuan beku yang mengalami alterasi silisifikasi. Kehadiran silika membuat batuan di daerah ini semakin masif dan dilihat dari segi kerentanan seismiknya nilainya kecil. Tujuan penelitian faktor geologi lokal adalah untuk mengurangi terjadinya kerusakan ataupun korban jiwa saat ada gempa bumi. Daerah dengan nilai indeks kerentanan tanah yang tinggi akan menjadi lebih tinggi tingkat bahayanya apabila tata guna lahannya adalah daerah pemukiman. Oleh karena itu perlu diperhatikan juga ada tidaknya struktur bangunan dan manusia di suatu tempat. Dari hasil penelitian, diperoleh nilai K g yang sangat tinggi di daerah utara dimana daerah tersebut juga terdapat daerah pemukiman (Gambar 5.12). Bangunan tersebut rentan rusak apabila strukturnya tidak dibangun dengan kuat.
38
Gambar 5.12 Nilai Kg Dioverlay dengan Daerah Pemukiman
V.6.
Klasifikasi dan Korelasi Dari hasil pengolahan data pada sub bab sebelumnya dihasilkan klasifikasi
Commented [RH1]: ganti
berdasarkan nilai frekuensi dominan seperti pada Tabel 5.1 berikut ini Tabel 5.1 Klasifikasi Batuan Berdasarkan Nilai Frekuensi Dominan
Frekuensi (Hz)
Deskripsi
Commented [RH2]: capital di tiap kata
Kelas
0 - 2,7
Daerah aluvium terdiri dari batuan pasir dan lempung yang belum tersementasi dengan baik. Memiliki ketebalan sedimen yang tebal >40 meter
1
2,7 – 5
Batuan asal andesit dan dasit yang telah mengalami alterasi propilitik hingga argilik lanjut sehingga banyak mengandung mineral lempung dengan ketebalan sedimen 10-40 meter
2
Batuan asal andesit dan dasit yang mengalami alterasi silisifikasi sehingga kaya akan silika masif dengan ketebalan sedimen <10 meter
3
>5
Parameter hasil pengolahan dengan metode HVSR memiliki tingkat kesesuaian yang berbeda-beda dengan peta geologi setempat. Nilai frekuensi dominan memiliki tingkat kesesuaian yang paling tinggi diikuti nilai indeks kerentanan tanah, ketebalan
39
lapisan lapuk dan terakhir amplifikasi. Dengan melakukan korelasi secara kualitatif maka diperoleh tabel tingkat kesesuaian parameter hasil HVSR dengan peta geologi dan alterasi seperti pada Tabel 5.2. Tabel 5.2 Korelasi Parameter F 0 ,A dengan Peta Geologi dan Alterasi dengan ,A 0 ,H ,H Dan K g g
Peta Geologi
Peta Alterasi
F0
Terkorelasi dengan baik Tingkat kesesuaian 80%
Hanya dapat membedakan alterasi silisifikasi dengan alterasi yang lain Tingkat kesesuaian 50%
A0
Tidak terkorelasi Tingkat kesesuaian 20%
Tidak terkorelasi Tingkat kesesuaian 5%
H
Terkorelasi dengan baik Tingkat kesesuaian 75%
Terkorelasi Tingkat kesesuaian 50%
Kg
Terkorelasi Tingkat kesesuaian 50%
Kurang terkorelasi Tingkat kesesuaian 25%
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
VI.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan pada bab V diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1.
Rentang frekuensi dominan antara 0-2,7 Hz merupakan Daerah aluvium terdiri dari batuan pasir dan lempung yang belum tersementasi dengan baik dan memiliki ketebalan sedimen yang tebal >40 meter. Rentang frekuensi 2,7-5 Hz merupakan batuan asal andesit dan dasit yang telah mengalami alterasi propilitik hingga argilik lanjut sehingga banyak mengandung mineral lempung dengan ketebalan sedimen 10-40 meter. Dan frekuensi >5Hz merupakan batuan asal andesit dan dasit yang mengalami alterasi silisifikasi sehingga kaya akan silika masif dengan ketebalan sedimen <10 meter.
2.
Nilai frekuensi dominan memiliki tingkat kesesuaian yang paling tinggi. Kesesuaian dengan peta geologi mencapai 80% dan peta alterasi 50%. Ketebalan lapisan lapuk memiliki kesesuaian 75% dan 50%. Indeks kerentanan tanah memiliki kesesuaian 50% d an 25%. Dan nilai amplifikasi memiliki nilai kesesuaian yang paling kecil yaitu 20% dan 5%.
3.
Daerah yang memiliki kerentanan seismik seismik yang yang tinggi tinggi adalah adalah di Desa Kebonsari, Tegalarum dan Kembanglimus dengan nilai Kg >30.
VI.2. Saran
Untuk memperoleh hasil yang lebih baik sebaiknya : 1.
Hasil HVSR bisa dikorelasikan dengan data MASW untuk mendapat nilai Vs30.
2.
Menggunakan 1 alat perekaman agar data yang diperoleh lebih akurat.
40
41
DAFTAR PUSTAKA
Adib, A., Afzal, P., Heydarzadeh, K., 2015, Site Effect Classi fication Based On Microtremor Data Analysis Using A Concentration – Concentration – Area Area Fractal Model, Nonlin. Processes. Geophys., Geophys., 22, 53 – 63. 63. Akamatu, K., 1960, On Microseism in Frequency Range From 1 c/s to 200 c/s, B. Earthq. Res. I. Tokyo., Tokyo., 39, 23-75. Almendros, J., Luzon, F., Posadas, A., 2004, Microtremor Analyses at Teide Volcano (Canary Islands, Spain): Assessment of Natural Frequencies of Vibration Using Time-dependent Horizontal-to-vertical Spectral Ratios, Pure appl. Geophys., Geophys., 161, 1579 – 1596. 1596. Badan
Meteorologi dan Geofisika, http//:www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat /Gempabumi_Tsunami/Gempabumi.bmkg , (diakses pada 9 September /Gempabumi_Tsunami/Gempabumi.bmkg 2015).
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 2010, Peta Zonasi Ancaman Gempa Bumi di Indonesia. Beroya, M.A.A., Aydin, A., Tiglao, R., Lasala, M., 2009, Use of microtremor in liquefaction hazard mapping, Eng. mapping, Eng. Geol .,107, .,107, 140 – 153. 153. Bolt, B.A., 1993, "Earthquakes: "Earthqu akes: ‘Newly Revised and Expanded’ ", WH Freeman & Company, Company, New York. Fransisco, J.C.G., Tae-Seob Kang, 2014, Lateral Heterogeneities And Microtremors: Limitations Of HVSR And SPAC Based Studieas For Site Response, Eng. Response, Eng. Geol.,174, Geol.,174, 1-10. Idrus, A., Warmada, I.W., Putri, R.I., 2013, Mineralisasi Emas di Gunung Gupit, Magelang, Jawa Tengah: Sebuah Penemuan Baru Prospek Emas Tipe Epitermal Sulfidasi Tinggi Pada Rangkaian Pegunungan Kulon ProgoMenoreh, Proceeding Menoreh, Proceeding Annual Engineering Engineering Seminar , , D-1 – D-1 – D-7. D-7. Kanai, K., Tanaka, T., 1961, On Microtremors. VIII, B. Earthq. Res. I. Tokyo., Tokyo., 39, 97-114. Panah, A.K., Hafezi Moghaddas, N., Ghayanghamlan, M.R., Motosaka, M., Jafari, M.K., Uromieh, A., 2002, Site Effect Classification in East-Central of Iran, JSEE: Iran, JSEE: Spring , 4.
42
Mohamed, A.M.E., Abu El Ata, A.S.A., Azim, F.A., Taha, M.A., 2013, SiteSpecific Shear Wave Velocity Investigation For Geotechnical Engineering Applications Using Seismic Refraction And 2D MultiChannel Analysis Of Surface Waves, National Research Institute of Astronomy and Geophysics. Mukhopadhyay, S., Bormann, P., 2004, Low cost seismic microzonation using microtremor data: an example from Delhi, India, J. Asian. Earth. Sci., 24, 271-280. Nakamura, Y., 1997, Seismic Vulnerability Indices For Ground And Structures Using Microtremor, World Congress on Railway Research, Florence. Nakamura, Y., 2008, On The H/V Spectrum, The 14 th World Conference on Earthquake Engineering . Sauret, E.S.G., Baujean, J., Nguyen, F., Wildemeersch, S., Brouyere, S., 2015, Characterization Of Super ficial Deposits Using Electrical Resistivity Tomography (ERT) And Horizontal-To-Vertical Spectral Ratio (HVSR) Geophysical Methods: A Case Stud y, J. Appl. Geophys.,121, 140-148. SESAME, 2004, European research project WP12: Guidelines for the implementation of the H/V spectral ratio technique on ambient vibrations: measurements, processing and interpretation Sinugroho, I.A., 2015, Geologi dan Karakteristik Alterasi-Mineralisasi Endapan Epitermal Sulfidasi Rendah (LS) dan Sulfidasi Tinggi (HS) di Pegunungan Menoreh, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Indonesia, Unpublished . USGS Global Vs30 Map Server, http//:earthquake.usgs.gov/hazards/apps/vs30 (Diakses pada 9 September 2015) Vella, A., Galea, P., D’Amico, S., 2013, Site frequency response characterisation of the Maltese islands based on ambient noise H/V ratios, Eng. Geol ., 163, 89-100.
43
LAMPIRAN 1 DATA HASIL PENGOLAHAN
Tabel L.1 Data hasil pengolahan
No
Nama Titik
x
y
elevasi
F0
A0
Vs
H
5.13
4.53
443
22
Kg
1
MCR01
407105
9160544
331
2
MCR02
407361
9160622
303
3.6
4.61
411
29
5.9
3
MCR03
407676
9160614
281
1.48
11.21
392
66
84.9
4
MCR04
407965
9160582
280
2.65
2.88
387
37
3.1
5
MCR05
408260
9160579
282
1.28
10.61
390
76
87.9
6
MCR06
408490
9160638
277
1.88
11.95
378
50
76.0
7
MCR07
408804
9160598
272
1.71
11.24
372
54
73.9
8
MCR08
409052
9160601
263
2.02
2.28
357
44
2.6
1.76
7.14
342
49
29.0
4.0
9
MCR09
409329
9160631
249
10
MCR10
409646
9160576
261
1.3
9.09
334
64
63.6
11
MCR13
407112
9160299
320
3.65
16.47
462
32
74.3
12
MCR14
407352
9160289
283
1.74
10.19
438
63
59.7
13
MCR15
407690
9160355
280
1.33
12.54
416
78
118.2
14
MCR16
407944
9160298
280
1.47
8.21
411
70
45.9
15
MCR17
408208
9160331
283
1.65
10.46
415
63
66.3
16
MCR19
408787
9160320
265
2.34
3.91
411
44
6.5
17
MCR20
409050
9160316
271
2.1
5.12
393
47
12.5
18
MCR21
409383
9160364
265
1.93
8.35
386
50
36.1
19
MCR22
409620
9160323
269
1.33
10.84
378
71
88.4
20
MCR23
409891
9160329
273
1.27
10.33
352
69
84.0
21
MCR24
410180
9160320
281
1.46
8.75
327
56
52.4
22
MCR25
407105
9160039
299
2.97
6.04
461
39
12.3
23
MCR26
407377
9160044
278
2.8
7.43
442
39
19.7
24
MCR27
407660
9160039
274
1.44
9.72
424
74
65.6
25
MCR28
407943
9160036
279
1.95
5.77
411
53
17.1
26
MCR29
408211
9160047
275
1.63
10.15
407
62
63.2
27
MCR30
408524
9160048
2.64
5.7
411
39
12.3
28
MCR32
14.56
401
66
139.5
MCR33
9160064 9160057
1.52
29
409049 409340
302 302 291
2.02
6.36
407
50
20.0
30
MCR34
409623
9160038
282
2.21
5.36
404
46
13.0
31
MCR35
409899
9160038
284
2.8
6.8
389
35
16.5
32
MCR36
410182
9160040
275
1.65
14.93
371
56
135.1
33
MCR37
407100
9159739
302
3.6
9.09
447
31
23.0
34
MCR38
407391
9159775
284
3.53
4.48
438
31
5.7
44
Lanjutan Tabel L1 35
MCR39
407657
9159755
287
2.6
9.48
422
41
34.6
36
MCR40
407934
9159768
324
3.43
7.23
400
29
15.2
37
MCR41
408151
9159754
330
4.28
12.45
379
22
36.2
38
MCR42
408494
9159769
347
15.11
4.58
359
6
1.4
39
MCR43
408785
9159791
334
3.53
7.17
371
26
14.6
40
MCR44
409061
9159762
304
2.5
8.94
390
39
32.0
41
MCR45
409339
9159748
294
3.11
3.62
414
33
4.2
42
MCR47
409908
9159756
272
1.5
7.14
424
71
34.0
43
MCR48
410181
9159759
269
1.44
9.57
420
73
63.6
44
MCR49
407101
9159480
306
2.87
8.71
437
38
26.4
45
MCR50
407379
9159483
312
2.72
5.04
438
40
9.3
46
MCR51
407680
9159468
304
1.88
8.57
424
56
39.1
47
MCR52
407938
9159477
342
2.96
6.96
392
33
16.4
48
MCR53
408216
9159483
348
2.81
3.84
345
31
5.2
49
MCR54
408522
9159488
382
2.88
10.71
299
26
39.8
50
MCR55
408782
9159481
373
4.8
10.69
326
17
23.8
51
MCR56
409057
9159468
348
7.48
5.68
376
13
4.3
52
MCR57
409343
9159471
310
6.76
7.6
422
16
8.5
53
MCR58
409624
9159482
286
2.4
10.14
443
46
42.8
54
MCR59
409904
9159513
276
1.87
5.91
447
60
18.7
55
MCR60
410142
9159516
267
1.65
5.95
455
69
21.5
56
MCR61
407099
9159195
363
3.54
2.91
443
31
2.4
57
MCR62
407381
9159200
353
2.76
4.07
451
41
6.0
58
MCR63
407659
9159195
350
2.37
5.44
442
47
12.5
59
MCR64
407942
9159194
310
3.45
3.13
408
30
2.8
60
MCR65
408216
9159198
309
3.63
3.08
358
25
2.6
61
MCR66
408499
9159198
324
3.25
5.91
315
24
10.7
62
MCR67
408775
9159202
368
2.98
2.44
327
27
2.0
63
MCR69
409350
9159222
372
2.68
10.11
417
39
38.1
64
MCR70
409627
9159192
327
3.7
5.02
439
30
6.8
65
MCR71
409904
9159197
300
3.44
4.48
453
33
5.8
66
MCR72
410193
9159192
275
2.92
4.49
473
41
6.9
67
MCR74
407400
9158916
335
8.38
8.35
482
14
8.3
68
MCR75
407666
9158934
329
10.38
7.72
475
11
5.7
69
MCR76
407869
9158888
327
8.49
4.66
464
14
2.6
70
MCR77
408213
9158932
291
3.4
6.15
406
30
11.1
71
MCR78
408500
9158920
301
2.31
8.6
373
40
32.0
72
MCR79
408762
9158902
325
3.8
4.62
365
24
5.6
73
MCR80
409013
9158926
301
2.65
12.9
373
35
62.8
74
MCR81
409340
9158914
327
2.99
6.02
395
33
12.1
75
MCR82
409633
9158924
293
2.33
11.77
420
45
59.5
45
Lanjutan Tabel L1 76
MCR83
409893
9158920
273
1.77
6.85
440
62
26.5
77
MCR84
410162
9158906
264
1.55
5.69
462
75
20.9
78
MCR85
408243
9158632
287
2.55
10.72
496
49
45.1
79
MCR86
408501
9158655
283
1.78
1.61
533
75
1.5
80
MCR87
408761
9158632
292
2.29
5.54
464
51
13.4
81
MCR88
409063
9158636
296
2.76
12.32
425
39
55.0
82
MCR89
409334
9158634
294
2.81
3.99
403
36
5.7
83
MCR90
409623
9158639
278
2.14
6.02
387
45
16.9
84
MCR92
407654
9158646
321
3.27
20.58
379
29
129.5
85
MCR94
407101
9158655
351
6.35
5.63
396
16
5.0
46
LAMPIRAN 2 KURVA H/V HASIL PENGOLAHAN
MCR01
MCR02
MCR03
MCR04
MCR05
MCR06
MCR07
MCR08
MCR09
MCR10
MCR13
MCR14
Gambar L.1 Kurva HVSR Titik MCR01 – MCR14
47
MCR15
MCR16
MCR17
MCR19
MCR20
MCR21
MCR22
MCR23
MCR24
MCR25
MCR26
MCR27
Gambar L.2 Kurva HVSR Titik MCR15 – MCR27
48
MCR28
MCR29
MCR30
MCR32
MCR33
MCR34
MCR35
MCR36
MCR37
MCR38
MCR39
MCR40
Gambar L.3 Kurva HVSR Titik MCR28 – MCR40
49
MCR41
MCR42
MCR43
MCR44
MCR45
MCR47
MCR48
MCR49
MCR50
MCR51
MCR52
MCR53
Gambar L.4 Kurva HVSR Titik MCR41 – MCR53
50
MCR54
MCR55
MCR56
MCR57
MCR58
MCR59
MCR60
MCR61
MCR62
MCR63
MCR64
MCR65
Gambar L.5 Kurva HVSR Titik MCR54 – MCR65
51
MCR66
MCR67
MCR69
MCR70
MCR71
MCR72
MCR74
MCR75
MCR76
MCR77
MCR78
MCR79
Gambar L.6 Kurva HVSR Titik MCR66 – MCR79
52
MCR80
MCR81
MCR82
\ MCR83
MCR84
MCR85
MCR86
MCR87
MCR88
MCR89
MCR90
MCR92
Gambar L.7 Kurva HVSR Titik MCR80 – MCR92
53
MCR94 Gambar L.8 Kurva HVSR Titik 94