S-SUNNAH NUR A S-
S
egala puji bagi Allah yang hanya kepada-Nya kami memohon pertolongan, Shalawat serta salam
semoga dilimpah curahkan kepada Nabi kita Muhammad , juga kepada keluarga dan segenap Sahabatnya serta kepada orang-orang yang senantiasa mengikutinya hingga akhir zaman. Amma ba'du, Ilmu adalah ruh dan inti suatu ibadah. Tanpa ilmu, ibadah bagaikan jasad tanpa ruh. Ilmu juga menjadi salah satu syarat diterimanya suatu amalan, karena dengan ilmulah amalan kita menjadi
sesuai dengan apa yang Allah inginkan dan Rasulullah contohkan. Sehingga dengan kedudukan ilmu yang begitu penting, saya (penulis) berusaha untuk membuat suatu tulisan dengan berbagai keterbatasan ilmu yang penulis miliki seraya memohon ampun kepada-Nya untuk menotivasi diri sendiri dan kepada pembaca semua untuk mempelajari ilmu syar’i. Tulisan ini salah satu bentuk nasihat dan motivasi untuk penulis pribadi dan umumnya untuk pembaca semua. Pembahasan pada tulisan ini bersumber kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah kemudian penulis berusaha membawakan perkataan perkataan para ulama beserta referensinya. Saya juga mengambil rujukan dari kitab “Al“Al -‘Ilm” karya Syaikh Shalih Al-Utsaimin Al-Utsaimin Rahimahullah yang di susun sesuai urutan point-pointnya pada pembahasan pertama. Untuk pembahasan kedua, saya mengambil rujukan dari buku “Musibah Besar Tercabutnya Ilmu Syar’i” Karya Syaikh Nashr Muhammad bin Abdullah Rahimahullah. Dan untuk penukilan hadits, saya terkadang menukil dari web-web yang akan disebut dibagian referensi. Saya memohon kepada Allah agar tulisan ini bisa di terima di kalangan mayarakat luas. Sungguh, saya adalah orang yang menanggung berbagai kesalahan yang terdapat ditulisan ini. Oleh karena itu, jika pembaca yang budiman mendapatkan mendapatkan kebaikan yang ada pada tulisan tuli san ini, maka jangan segan untuk mendo'akan kebaikan kepada penulis. Dan apabila pembaca mendapatkan kesalahan atau cacat pada tulisan ini, maka jangan ragu untuk menyampaikan perkara tersebut. Saya akan sangat bersyukur sekali kepada siapapun yang berkenan menyampaikan kepada saya sesuatu yang bermanfaat dalam pemahaman agama dan dapat memperbaiki berbagai kekurangan penulis. Seraya memohon kepada Allah yang Maha tinggi lagi Maha agung, mudah-mudahan Dia berkenan untuk menerima jerih payah saya dalam rangka mengabdi kepada agama-Nya yang hanif, sekaligus untuk melindungi Sunnah Nabi yang mulia . Dan semoga Dia menyiapkan bagi penulis pahala atas semua itu sampai hari Kiamat kelak, hari dimana harta dan anak tidak lagi mendatangkan manfaat kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. Dan Allah selalu menepati janji. Semoga Allah jadikan artikel ini memberi manfaat yang banyak kepada kaum muslimin. Hanya Allah yang memberi taufik. Penulis Sohih Zakka Shiddiq
Pembahasan Pertama KEUTAMAAN ILMU DAN PEMILIKNYA
Allah menjadikan ilmu sebagai dasar dalam amalan beribadah. Maka dari itu Allah mendorong hamba-hamba-Nya untuk senantiasa menuntut ilmu dalam keadaan apapun, dimanapun, dan siapapun. Sehingga perbekalan ilmu dalam diri seseorang akan menjadikannya tinggi di hadapan Allah dan ketinggian derajat di surga-Nya kelak. Tentunya semua itu berpokok kepada Al-Qur’an dan AsSunnah. Menuntut ilmu adalah amal shalih yang paling baik dan ibadah yang paling utama diantara ibadah-ibadah sunnah, karena jika tanpa ilmu ibadah akan sia-sia dan amalan akan berantakan. Bukti nyata dari manfaat ilmu adalah rasa takut kepada Allah dan ketawadhuan yang terpuji. Sebagaimana firman Allah:
“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktuwaktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang i a takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.” (QS. AzZumar: 9) Tidaklah disamakan orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu, sebagaimana tidak samanya orang yang hidup dan orang yang mati. Sungguh merugi bagi siapa saja yang tidak menjadikan ilmu syar’i sebagai kekasihnya, mereka bisa saja mulia di dunia namun sengsara di kehidupan akhirat. Padahal kehidupan akhirat adalah kehidupan yang hakiki yang sebenar-benarnya, dan tidaklah ada orang yang berakal mengingkari hal itu. Hamba yang sejati adalah hamba yang beribadah atas dasar ilmu yang jelas kebenaran bagi dirinya. Seseorang yang sanggup wudhu karena melihat orang tuanya berwudhu berbeda kedudukannya dengan orang yang berwudhu karena dia mengetahui bagaimana aturan syari’at menunjukkan caranya. Orang yang melakukan shalat dhuha karena melihat orang lain melakukannya berbeda kedudukannya dengan orang yang melakukan shalat dhuha dengan dasar ilmu yang mendalam. Hal yang membedakannya adalah bagaimana il mu itu menunjukkan cara peribadahan yang benar sehingga sesuai dengan apa yang Allah perintahkan dan apa yang Rasulullah
contohkan.
Karena ibadah tidaklah sempurna kecuali dengan keikhlasan dan keserupaan dengan Rasulullah
dalam pengamalannya, dan semua itu tidak akan di capai kecuali dengan ilmu.
Diantara beberapa keutamaan ilmu, berikut ini secuil diantara keutamaannya yang dapat penulis paparkan:
1. Terpuji di hadapan Allah Sebagaimana terdapat dalam riwayat hadits yang panjang:
-
«
-
-
-
-
.
-
Dari Katsir bin Qois Radhiyallahu’anhu, ia berkata, aku pernah duduk bersama Abu Darda’ di Masjid Damasqus, lalu datang seorang pria yang lantas berkata, “Wahai Abu Ad Darda’, aku sungguh mendatangi dari kota Rasul karena ada suatu hadits yang telah sampai padaku di mana engkau yang meriwayatkannya dari Rasulullah
. Aku datang untuk maksud mendapatkan hadits tersebut. Abu
Darda’ lantas berkata, sesungguhnya aku pernah mendengar Nabi bersabda, “Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya di antara jalan menuju surga. Sesungguhnya malaikat meletakkan sayapnya sebagai tanda ridho pada penuntut ilmu. Sesungguhnya orang yang berilmu dimintai ampun oleh setiap penduduk langit dan bumi, sampai pun ikan yang berada dalam air. Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibanding ahli ibadah adalah seperti perbandingan bulan di malam badar dari bintang-bintang lainnya. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya Nabi tidaklah mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Barangsiapa yang mewariskan ilmu, maka sungguh ia telah mendapatkan keberuntungan yang besar.” (HR. Abu Daud no. 3641. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
2. Ilmu adalah warisan para Nabi Para Nabi tidaklah mewariskan harta-harta mereka, akan tetapi yang di wariskan adalah ilmu yang telah di sampaikan olehnya. Jika kita renungkan, kita berada di abad ke 15 Hijriyah, apabila kita termasuk pemikul ilmu maka dengan tidak sadar kita telah mengambil warisan yang agung dari Nabi Muhammad
yang hidup jauh sebelum kita, dan ini merupakan keutamaan yang sangat besar.
3. ilmu adalah kekal sedangkan harta adalah fana Siapa yang tidak mengenal Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, beiau adalah sahabat yang sangat mulia yang banyak meriwayatkan hadits dari Nabi padahal beliau adalah orang yang fakir bahkan seringkali pingsan karena menahan rasa lapar. Masih dapatkah kita mendengar nama Abu Hurairah sampai saat ini? Ya, nama beliau masih terus terjaga sampai saat ini, dan bayangkanlah betapa banyaknya beliau memanen kebaikan dari hasil hadits-hasits yang beliau sampaikan juga ilmu yang beliau ajarkan kepada murid-muridnya. Ini sedikit bukti bahwa ilmu adalah abadi, sebagaimana Nabi bersabda:
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)
4. Ringan menjaganya Nikmat yang Allah berikan sangatlah banyak, namun nikmat yang Allah berikan berupa ilmu sangat unik untuk di sikapi. Jikalau harta membutuhkan peti dan kunci untuk di jaga, makanan butuh tempat yang baik untuk disimpan, sedangkan ilmu terpelihara dalam hati dan jiwa sehingga tidak ada kekhawatiran dalam menjaganya. Engkau tidak perlu untuk menjaga ilmu, karena ilmulah yang akan menjaga dirimu atas izin Allah. Berbeda dengan harta, meski engkau simpan dalam peti yang terkunci, hatimu tetap tidak merasa tenang juga, engkau pun masih perlu untuk menjaganya. Sebagaimana 'Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu’anhu, beliau berkata: "Ilmu itu lebih baik daripada harta, ilmu akan menjagamu sedangkan kamulah yang akan menjaga harta. Ilmu itu hakim (yan g memutuskan berbagai perkara) sedangkan harta adalah yang dihakimi. Telah mati para penyimpan harta dan tersisalah para pemilik ilmu, walaupun diri-diri mereka telah tiada akan tetapi pribadi-pribadi mereka tetap ada pada hati-hati manusia."1
5. Menjadi barometer baiknya seseorang terhadap agama Rasulullah
bersabda:
“Barangsiapa Allah kehendaki kebaikan, maka Allah akan memahamkannya dalam urusan agama.” (HR. Bukhari dan Muslim).
1
Adabud Dunyaa wad Diin, karya Al-Imam Abul Hasan Al-Mawardiy
Tidak diragukan lagi, mengapa pemahaman seseorang terhadap agama menjadi barometer kebaikan. Karena mereka yang memahami agamanya meyakini kehidupannya yang hakiki, yaitu negeri akhirat yang pasti akan menjumpainya dan mereka adalah yang mengambil pembekalan yang agung melalui ilmunya. Dimana sebaik-baiknya perbekalan untuk negeri yang kekal itu adalah ketakwaan, dan ketakwaan adalah buah dari agama seseorang, dan agama seseorang didasari oleh ilmu dalam memahaminya.
6. Menjadi saksi atas kebenaran Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
“Allah bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembahdmikian juga para Malaikat dan orang-orang yang berilmu di atas keadilan. Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali-Imran: 18) Maka semestinya kita bangga wahai penuntut ilmu akan keutamaan-keutamaan penuntut ilmu yang tidak semua orang atau semua profesi dapatkan.
7. Menghidupkan hati dari kekeringan Nabi
bersabda:
“Permisalan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya adalah bagai ghaits (hujan yang bermanfaat) yang mengenai tanah. Maka ada tanah yang baik, yang bisa menyerap air sehingga menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rerumputan yang banyak. Di antaranya juga ada tanah yang ajadib (tanah yang bisa menampung air, namun tidak bisa menyerap ke dalamnya), maka dengan genangan air tersebut Allah memberi manfaat untuk banyak orang, sehingga manusia dapat mengambil air minum dari tanah ini. Lalu manusia dapat memberi minum untuk hewan ternaknya, dan manusia dapat mengairi tanah pertaniannya. Jenis tanah ketiga adalah tanah qi’an (tanah yang tidak bisa menampung dan tidak bisa menyerap air). Inilah permisalan orang yang memahami agama Allah, bermanfaat baginya ajaran yang Allah mengutusku untuk membawanya. Dia mengetahui ajaran Allah
dan dia mengajarkan kepada orang lain. Dan demikianlah orang yang tidak mengangkat kepalanya terhadap wahyu, dia tidak mau menerima petunjuk yang Allah mengutusku untuk membawanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
8. dikaruniakan rasa takut kepada Allah Allah berfirman:
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba -hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS. Fathir: 28) Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sesungguhnya yang paling takut pada Allah dengan takut yang sebenarnya adalah para ulama (orang yang berilmu). Karena semakin seseorang mengenal Allah Yang Maha Agung, Maha Mampu, Maha Mengetahui dan Dia disifati dengan sifat dan nama yang sempurna dan baik, lalu ia mengenal Allah lebih sempurna, maka ia akan lebih memiliki sifat takut dan akan terus bertambah sifat takutnya.”2
9. Ahli ilmu termasuk dari salah satu dari dua golongan ulul amri yang wajib ditaati Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa: 59) Syaikh Utsaimin Rahimahulah berkata dalam menafsirkan ayat ini, “Ulil amri di sini dari kalangan penguasa dan para hakim, ulama dan para penuntut ilmu. Maka, wewenang ah li ilmu adalah menjelaskan syari’at Allah dan mengajak manusia untuk melaksanakannya, sedangkan wewenang penguasa adalah menerapkan syari’at Allah dan mewajibkan manusia untuk melaksanakannya.” 3
2 3
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 308 Kitaabul ‘ilmi karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
10. terjaga dari bahaya fitnah akhir zaman Nabi
bersabda:
“Senantiasa akan ada dari umatku suatu kaum yang berdiri tegak di atas perintah Allah, ti dak peduli dengan orang-orang yang menghinakannya juga orang-orang yang menantangnya hingga datangnya urusan Allah dan mereka tetap dalam keadaan demikian.” (HR. Bukhari dan Muslim) Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah telah berkata berkenaan kaum ini, “Jika mereka bukan ahli hadits, maka aku tidak tahu lagi siapa mereka itu.”
11. bolehnya iri kepada ahli ilmu Dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah
bersabda:
“Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al Qur’an dan As Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
12. Jalan menuju surga Nabi
bersabda:
“Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mendapatkan ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga” (HR. Muslim).
13. Ilmu adalah cahaya penerang Imam Syafi’i Rahimahullah pernah berkata,
“Aku pernah mengadukan kepada Waki’ tentang jeleknya hafalanku. Lalu beliau m unjukkan aku untuk meninggalkan maksiat. Beliau memberitahukan padaku bahwa ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidaklah mungkin diberikan pada ahli maksiat.” 4 Tidak dipungkiri lagi bahwa ilmu adalah petunjuk, dan petunjuk adalah cahaya. Bagaimana seseorang bisa berjalan tanpa adanya cahaya yang meneranginya? Sebagaimana di akhirat kelak, tatkala manusia menyebrangi shirat yang begitu gelap, tentulah mereka mumbutuhkan cahaya dan mereka mendapatkan cahaya dari amalan-amalan mereka, dan amal-amalan mereka tentulah buah dari suatu ilmu. Semoga Allah memberikan cahaya petunjuk bagi kita semua.
14. Tempat bertanya Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS. An-Nahl: 43)
15. Allah akan mengangkat derajat ahli ilmu di dunia dan di akhirat Syaikh Utsaimin Rahimahullah berkata, “Adapun di akhirat mereka akan di angkat kedudukannya sesuai kadar dakwah mereka kepada Allah dan amal yang mereka lakukan berdasarkan ilmu mereka. Sedangkan di dunia, Allah akan angkat derajat mereka di kalangan hamba-hamba-Nya yang juga sesuai dengan amalan mereka”5 Allah berfirman:
4 5
I’anatuth Tholibin, 2: 190 Kitaabul ‘ilmi karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadallah: 11) Allah juga mengangkat kedudukan ahli ilmu di surga kelak. Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah pokok dasar dalam ilmu syar’i, jika seseorang menguasai Al-Qur’an dan As-Sunnah maka dapat dibayangkan betapa tinggi kedudukannya di akhirat kelak. Rasulullah
bersabda:
“akan dikatakan kepada shahibul qur’an (di akhirat): ‘bacalah dan naiklah, bacalah dengan tartil sebagaimana engkau membaca dengan tartil di dunia. karena kedudukanmu tergantung pada ayat terakhir yang engkau baca’” (HR. Abu Daud 2240, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud). Kedudukan seseorang di dunia tidak hanya dipengaruhi akan banyaknya harta dan panjangnya deretan gelar. Tidakkah kita mengenl Al-Khawarizmi ahli matematika yang terkenal dengan teorinya yaitu aljabar dan sebagai penemu angka nol? Al-Battani sebagai bapak astronomi? Abbas bin Firnas sebagai seorang ilmuan hebat? Sebagai penjelasan singkat, Abbas bin Firnas adalah salah satu tokoh ilmuan islam pertama yang merintis teori pesawat terbang, penemu kaca bening dan bolpoin. Banyak yang tidak mengenalnya karena umat islam sudah ditutupi dari sejarah yang haq berkenaan tentang kejayaan dan kemuliaan islam. Namun yang terpenting, tahukah kita bahwa Abbas bin Firnas telah hafal Al-Qur’an di umurnya yang masih muda? Ini menjadi salah satu bukti bahwa islam tidak membatasi seseorang akan dunia, selagi itu baik dan diridhai oleh Allah. Namun, yang menjadi kesalahan adalah seseorang mengabaikan urusan akhirat karena urusan dunia. Beliau adalah salah satu tokoh yang patut kita contoh, juga masih bayak yang lainnya yang terlalu panjang jika kita bahas.
Pembahasan Kedua PERBANDINGAN ILMU DAN AMALAN SUNNAH LAINNYA
Perbandingan Antara Ilmu dengan Beribadah Kepada Allah yang Tidak Ada Sekutu Bagi-Nya Telah kami paparkan sebelumnya, bahwa ilmu begitu penting untuk dipelajari, begitu utama untuk dimiliki dan begitu bermanfaat jika disikapi. Allah Ta’ala berfirman,
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.” (QS. Muhammad: 19) Allah memulai Firman-Nya yang agung dalam ayat tersebut dengan kata “Maka ketahuilah”, ini menandakan bahwa peribadahan itu berdasar kepada ilmu. Bahkan Allah mempersyaratkan ‘ilmu (tiada tuhan yang berhak di sembah selain Allah). Syaikh dalam kalimat tauhid yang agung Shalih Al-Fauzan berkata, “orang yang bersaksi dengan laa ilaaha illa Allah dan ia (harus) memahami dengan hatinya apa yang diikrarkan oleh lisannya. Seandainya ia mengucapkan, tetapi tidak mengerti apa maknanya, maka persaksian itu tidak sah dan tidak berguna.”6 Maka dapat disimpulakan berdasarkan ayat tersebut dan ijma’ para ulama, bahwa seseorang wajib mempelajari ilmu aqidah.
Perbandingan Antara Ilmu dan Shalat Sunnah Dari Abu Umamah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
bersabda,
“Keutamaan orang ‘alim atas ahli ibadah adalah seperti keutamaanku atas orang yang paling rendah dari kalian” (HR. Tirmidzi no. 2685 dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ AshShagir). Dari Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah
bersabda,
“Keutamaan orang ‘alim atas orang ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan pada malam purnama atas seluruh bintang-bintang.” (Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa’i dan Ibnu Hibban dan dishahihkan syaikh Al-Albani). Dari Ma’mar, dari Az-Zuhri ia berkata, “Tidak ada bentuk peribadahan (yang dianjurkan) kepada Allah yang lebih utama dibandingan dengan fiqih (pemahaman tentang agama).” 7 Ibnu Wahb berkata, “Saat aku sedang bersama Malik b in Anas (Imam Malik), lalu tiba waktu shalat Dzuhur atau Asar, aku membaca dan mempelajari ilmu dihadapannya. Lalu aku merapihkan
6
Kitab Tauhid Karya syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hal. 47 Pustaka Ummul Qura Diriwayatkan Ibnu Abdil Bar dalam Jami’ Bayan Al-Ilmi’ wa Fadhlih (1/119). Abu Nu’man meriwayatkan dengan lafadz, “Tidak ada sesuatu yang lebih utama dalam peribadahan kepada Allah, dari pada ‘Ilmu” dengan sanad yang shahih 7
buku-buku untuk segera melaksanakan shalat (sunnah qobliyah), lalu Malik berkata kepadaku, ‘Ada apa ini?’ Aku jawab, ‘aku mau mendirikan shalat (sunnah)’, ia berkata, ‘sungguh mengherankan, tidaklah perkara yang hendak engkau laksanakan lebih baik daripada sesuatu yang engkau kerjakan sekarang, jika niatnya benar’.”8 Sufiyan At-Tsauri menuturkan, “Tidak ada amalan (sunnah) yang lebih utama selain menuntut ilmu jika niatnya benar.”9 Ar-Rabi’ bin Sulaiman mengatakan, “Aku pernah mendengar Asy-Syafi’i berkata, ‘Menuntut ilmu lebih utama dari shalat sunnah’ 10 Dari Ishaq bin Manshur ia mengatakan, “Aku berkata kepada Ahmad bin Hambal, yakni mengenai perkataannya, ‘menelaah ilmu disebagian malam lebih aku sukai daripada menghidupkannya semalaman (dengan shalat malam)’, (aku tanyakan) ‘ilmu apa yang di maksud?’, ia menjawab ‘yaitu ilmu yang bermanfaat bagi manusia dan agama mereka.’ Aku berkata, ‘apakah maksudnya tentang berwudhu, shalat, puasa, haji, perceraian, dan sejenisnya?’, ia menjawab ‘iya’.”11 Catatan: Ilmu memiliki keutamaan lebih daripada shalat sunnah, namun bukan berarti kita meremehkan shalat sunnah atau shalat tahajud. Karena keduanya memiliki keutamaan yang saling
berkaitan satu sama lain. Seperti shalat tahajud bisa menguatkan hafalan Al-Qur’an dan membuat kesan dalam hati, sebagaimana firman Allah pada permulaan surah Al -Muzammil. Juga orang yang ilmunya bermanfaat, maka dia akan menekuni shalat-shalat sunnah, terutama shalat tahajud. Adapun pembahasan kita yang lalu, adalah pembahasan keutamaan secara umum.
Perbandingan Keutamaan Ilmu dengan Jihad di Medan Perang Jihad menurut bahasa artinya ‘kesulitan’. Sedangkan menurut istilah mengerahkan segala kesulitan untuk memerangi kaum kafir. Jihad juga bermakna melawan hawa nafsu, syetan dan orang fasik atau munafik. Ibnu Hajar AlAsqalani berkata, “Jihad melawan hawa nafsu adalah dengan belajar masalah agama, mengamalkan dan mengajarkannya. Sedangkan jihad melawan syetan adalah menolak semua (syubhat dan hawa nafsu) yang di bisikkan. Adapun jihad melawan orang kafir, dapat dilakukan dengan kekuatan, harta, lisan dan hati. Sementara berjihad dengan orang fasik adalah dengan kekuatan, lisan dan hati.” 12 Diantara beberapa bentuk jihad di atas, saya (penulis) tambahkan beberapa cabang jihad sebagaimana yang disampaikan oleh ibnu Qoyyim Rahimahullah dalam Zad Al-Ma’ad (3/5), ia berkata “Berjihad 8
Diriwayatkan Oleh Ibnu Abdil Bar dalam Al-Jami’ (1/122) no. 116 dan sanadnya shahih. Diriwayatkan Oleh Ibnu Abdil Bar dalam Al-Jami’ (1/123-124) no. 119 dan sanadnya hasan. 10 Diriwayatkan Oleh Ibnu Abdil Bar dalam Al-Jami’ (1/123) no. 118, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (9/119), Ibnu Abu Hatim dalam Adab Asy-Syafi’i wa Manaaqibuh, Al-Baihaqi dalam Manaaqib As-Syafi’i (2/138), sanadnya shahih. 11 Diriwayatkan Oleh Ibnu Abdil Bar dalam Al-Jami’ (1/118) no. 108 dengan sanad shahih. 12 Fathul Bari (16/2) no. 56 pustaka Azzam 9
melawan kaum kafir dengan hujjah, penjelasan, serta penyampaian Al-Qur’an. Begitu pula cara berjihad melawan kaum munafik ialah dengan menyampaikan hujjah.” Jika kita membandingkan antara keutamaan ilmu dan jihad di medan perang, maka ilmu lebih utama dari beberapa sisi: 1.
“Ilmu dicari untuk dirinya sendiri dan orang lain, dimana itu merupakan tujuan sekaligus sarana. Sedangkan jihad merupakan tujuan untuk orang lain dan merupakan sarana untuk orang lain. Tidak diragukan lagi bahwa sesuatu yang di cari untuk diri sendiri lebih mulia (ut ama) daripada untuk orang lain.” 13
2.
Jihad membutuhkan ilmu dan jika tanpa ilmu, maka jihad tidak akan terealisasikan. Sebagaimana jika ada yang mengatas namakan jihad atas dasar kebodohan, maka bisa dikatakan bahwa itu bukan suatu jihad, namun sebuah pengrusakan. Sebagaimana kita lihat di zaman sekarang, sebagian kaum muslimin melakukan bom bunuh diri dan mengatasnamakan hal itu sebagai jihad, maka ini sebuah perkara yang batil dan tercela karena tidak berdasarkan ilmu, sehingga yang terjadi adalah kerusakan. Itu semua karena jihad mempunyai aturan yang begitu jelas, namun banyak dari mereka yang keliru dalam beramal, sehingga yang terjadi adalah kerusakan dan kerusakan. Bukankah kita saksikan saat ini banyak yang mengatasnamakan jihad padahal yang dilakakuan adalah kerusakan-kerusakan semisal demonstrasi, bom bunuh diri, teror menteror, dan lain sebagainya. Jika kita perhatikan lebih jauh, semua itu ada keserupaannya dengan sifat-sifat khawarij. Semoga Allah menjaga kita dari sifat tersebut.
3.
Allah mendahulukan penyebutan Ulama daripada mati Syahid, Dia berfirman,
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin (pencinta kebenaran), orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An-Nisaa: 69) Tidak dipungkiri lagi bahwa para Nabi adalah gudangnya ilmu dan yang mewariskan ilmu, dan para shiddiqqin adalah orang yang berada di atas dasar lmu. 4.
13
Ilmu bisa menolak syubhatnya para musuh yang menyerang dari dalam maupun dari luar akan pemikiran-pemikiran tersesatnya. Karena musuh islam menyerang tidak hanya dengan pedang,
Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdullah Al-Imam dalam bukunya yang sudah di terjemahkan, yaitu “Musibah besar tercabutnya ilmu syar’i”
tetapi dengan pemikiran dan syubhat-syubhatnya yang menimbulkan keraguan dalam hati, maka ilmulah sebagai perisai dan bumerangnya. 5.
Jihad tergantung kepada maslahat dan keadaannya, sedangkan ilmu dibutuhkan dalam keadaan apapun dan dengan maslahat apapun, baik sebelum berjihad, saat berjihad, maupun setelah berjihad, sebelum shalat, saat shalat, maupun setelah shalat. Bahkan ilmu syar’i dibutuhkan dalam semua keadaan baik saat menghadapi permasalahan dunia maupun akhirat. Tentulah semua saling berkaitan satu sama lain, bukankah sebelum berjihad ada hukum batas minimal prajurit? Bukankah saat perang ada hukum terkait orang yang tidak boleh di bunuh? Bukankah setelah perang ada hukum berkaitan dengan ghanimah dan tawanan perang? Begitu juga sama sebelum shalat, bukankah ada hukum berkaitan dengan masalah wudhu, saat shalat ada bacaan wajib tertentu, dan setelah shalat ada dzikir tertentu? Dan semua itu memerlukan ilmu, ilmu dan ilmu.
6.
ilmu lebih berat dan luas daripada jihad. Seseorang yang menuntut ilmu harus menghabiskan umur, waktu, harta, tenaga dan sebagainya di setiap keadaan. Sedangkan jihad memerlukan itu di keadaan tertentu saja saat dibutuhkan.
Pendapat ini juga di dukung oleh beberapa ulama, diataranya: 1.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu ia berkata, “Sungguh aku mengajari satu bab il mu mengenai perintah dan larangan, lebih aku sukai daripada berjihad sabanyak tujuh puluh kali di jalan Allah.”14
2.
Dari Hasan Al-Bashri Rahimahullah, ia berkata, “Sungguh jika aku belajar satu bab ilmu dan mengajarinya kepada seorang muslim, itu lebih aku sukai daripada aku memilih dunia dan seisinya yang aku infaqkan di jalan Allah.”15
3.
Asy-Syafi’i Rahimahullah berkata, “Setelah menunaikan perkara-perkara yang wajib, tidak ada perkara lain yang lebih utama selain menuntut ilmu!” Ada seorang berkata kepadanya, “Tidak pula berjihad di jalan Allah?” Ia berkata, “Tidak pula berjihad di jalan Allah Azza wa Jalla.”16
4.
Ibnu Baththal Rahimahullah berkata dalam Syarah Shahih Al-Bukhari (5/7-8) saat menjelaskan sabda Nabi di jalan Allah.”
yang artinya “Manusia yang paling utama ialah seorang mukmin yang berjihad
Ia menuturkan, “Hal ini tidak berlaku secara umum, tidak pula bermaksud berlaku bagi segenap (seluruh) manusia, karena ada yang lebih utama darinya (berdasarkan hujjah lain), yaitu yang di
14
Diriwayatkan oleh Al-Khatib dalam Al-faqih wa Al-Mutafaqqih (1/102) no. 52. Syaikh Nashr Muahmmad bin Abdullah mengatakan “perawinya tsiqah selain Abu Abdillah Al-Azdi, aku tidak mengenalnya.” Dalam bukunya yang sudah di tejemahkan “Musibah Besar Tercabutnya Ilmu Syar’i” 15 Diriwayatkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fawaqih wa Al-Muwafaqqih (1/102) no.53 dan sanadnya hasan 16 Al-Madkhal ila Sunan Al-Kubra no. 475. Sanadnya shahih.
beri kedudukan (dengan ilmunya), termasuk orang-orang yang tulus (Ash-shiddiqqin), yang menghantarkan manusia kepada syariat Allah serta sunnah-sunnah Nabi-Nya, dan menuntun mereka kepada kebaikan. Memberikan mereka hal-hal yang bermanfaat bagi mereka dalam
5.
6.
7.
8.
agama dan dunia. Tetapi yang dimaksud baliau - Allahu A’lam- ialah kondisi yang paling utama umumnya manusia, karena bisa jadi orang-orang tertentu dari ahli ilmu agama, (mereka) barilmu, mulia, hafal akan sunnah-sunnahnya lebih baik darinya.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, “Adapun mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu (agama) lain tanpa diberi upah, merupakan sebaik-baik amalan serta lebih dicintai Allah Ta’ala. ini merupakan hal yang patut diketahui, bukan hal yang asing lagi bagi siapa yang tumbuh di negri islam.”17 Ibnu Muflih Rahimahullah berkata, “Bagi seorang imam (pemimpin) wajib menjaga para pengajar dan para penuntu ilmu juga. Memberikan rizkinya dari baitul mal, karena hal itu bisa menegakkan agama dan perbuatan ini lebih utama daripada jihad, karena barangkali se seorang anak tumbuh dalam aliran yang rusak, sehingga sangat sulit untuk dihilangkan dari hatinya.”18 Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hambali Rahimahullah berkata, “Diantara bukti yang menunjukkan akan keutamaan ilmu atas segala shalat sunnah, sesungguhnya ilmu bisa menghimpun seluruh amalan-amalan mulia yang bertebaran, karena sebenarnya ilmu adalah jenis dzikir yang terbaik, dan bentuk jihad yang paling utama.” 19 Ibnu Qoyyim Rahimahullah berkata, “menyapaikan sunnahnya lebih utama dibandingkan mengarahkan anak panah ke leher para musuh, karena arahan panah tersebut bisa dilakukan oleh banyak manusia, sedangkan penyampaian sunnah-sunnahnya, maka tidak bisa dilakukan kecuali oleh para penerus nabi-nabi (ahli ilmu) serta para khalifah (pemimpin) bagi umat mereka. Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk dari mereka dengan karunia dan kemurahan-Nya.”20
Sebagian ulama menukil akan adanya ijma’ bahwa ilmu lebih utama daripada jihad. Namun nukilan ijma’ itu keliru, karena pendapat akan ilmu lebih utama daripada jihad adalah pendapat mayoritas ulama, sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa jihad lebih utama daripada menuntut ilmu dan pendapat yang lain menyetarakan keutamaan jihad dan ilmu, sesuai dengan keadaannya. Jikalau tiba waktu jihad, maka lebih utama jihad. Jika tidak dalam keadaan jihad, maka menuntut ilmu lebih diutamakan. Wallahu A’lam. Secara umum, maka ahli ilmu lebih utama daripada orang yang berjihad. Seorang ahli ilmu menjaga ketaatannya kepada Allah dan menjaga syari’at-syari’atnya di berbagai keadaan, mengagungkan syiar-syiar-Nya, termasuk di dalamnya jihad, serta membimbing manusia kejalan yang benar. Menjadi perisai dari tipu daya musuh islam dan membantahnya. Kalaulah bukan karena usaha mereka yang semua itu merupakan karunia Allah, niscaya terputuslah semua perkara termasuk didalamnya perkara jihad. 17
Majmu’ Al-Fatawa (30/204) Al-Adab Asy-Syar’iyyah (2/142) 19 Risalah Waratsah Al-Anbiya Syarah Hadits Abi Darda’ hal.37 20 Jala’ Al-Afham hal.492-493 18
Catatan: Perlu difahami jikalau ilmu lebih utama daripada jihad bukan berarti meremehkan
perkara jihad. Karena jihad merupakan salah satu dari dua sarana tersebarnya islam selain dengan ilmu. Bahkan umat islam tidak akan tegak tanpa jihad. Namun yang menjadi masalah adalah masyarakat pada umumnya masih asing atau phobia akan istilah jihad, karena banyaknya oknum yang mengotori istilah jihad dengan kekerasan-kekerasan yang pada hakikatnya itu bukan jihad. Maka ketahuilah wahai saudaraku, jihad bukan seburuk apa yang tergambarkan oleh media sosial. Bom bunuh diri, teror menteror, demonstrasi bukanlah bentuk jihad. Bahkan dalam hukum jihad tidak boleh membunuh wanita, anak-anak, orang yang tua renta, orang yang sudah menyerah, hewan, merusak tumbuhan, rumah ibadah, bangunan dan yang lainnya. Dan ketahuilah wahai saudaraku yang masih menyalahgunakan istilah jihad, jangan memperburuk istilah ini karena kesalahanmu dalam beramal, pelajarilah terlebih dahulu fiqihnya. Sehingga istilah yang indah ini tidak menjadi buruk karena salahnya engkau beramal.
Perbandingan Keutamaan Ilmu dengan Berinfaq di Jalan Allah Dari Hasan Al-Bashri Rahimahullah, ia berkata, “Sungguh jika aku belajar satu bab ilmu dan mengajarinya kepada seorang muslim, itu lebih aku sukai daripada aku memilih dunia dan seisinya yang aku infakkan di jalan Allah.”21 Saya katakan, bahwa ilmu lebih utama daripada harta yang di infaqkan. Jika dikatakan, harta bisa saja menjadi pahala jariyah karena di wakafkan, maka sudah jelas bahwa ilmu juga bisa menjadi pahala jariyah jika dimanfaatkan. Seseorang yang membangun masjid akan mendapat pahala hanya dari orang yang memanfaatkan masjid itu dalam kebaikan. Namun jika engkau mengajarkan ilmu kepada seseorang, maka akan menjadi pahala mengalir jika ilmu itu terus ada pada orang tersebut, dan jika orang tersebut mengajakan lagi kepada orang lain maka engkau akan mendapat dua sumber pahala yang terus mengalir. Namun keduanya mempunyai keutamaan yang begitu besar yang tidak boleh salah satunya diremehkan. Yang menjadi masalah adalah sebagian orang ada yang meremehkan keduanya, sehingga menumpuk harta tanpa menunaikan kewajibannya dan bermalas-malasan dalam menuntut ilmu. Sungguh ini penyakit yang begitu berbahaya, tidakkah mereka melihat bahwa kebanyakan dari mereka tidak memiliki harta lagi agama?! Tidakkah mereka melihat betapa banyaknya penyakit yang ditimbulkan dari harta?! Bukankah kelak di akhirat akan ada yang meminta dikembalikan ke dunia hanya untuk bersedekah. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu i a berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?" (QS. Al-Munafiqun: 10).
21
Diriwayatkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fawaqih wa Al-Muwafaqqih (1/102) no.53 dan sanadnya hasan
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Munafiqun: 11).
Keutamaan Ilmu Atas Harta Ibnu Qoyyim Rahimahullah menjelaskan keutamaan ilmu atas harta dari beberapa sisi, ia memaparkan sekitar empat puluh point perbandingan, namun yang bisa saya dapatkan dengan merujuk buku “musibah besar tercabutnya ilmu syar’i” hanya lima point, diantaranya: Pertama, sesungguhnya ilmu itu warisan para nabi, sedangkan harta warisan para raja dan orang kaya. Kedua, ilmu itu menjaga pemiliknya, sedangkan hata justru pemiliknyalah yang harus menjaganya. Ketiga, harta bisa di raih seorang mukmin, kafir, orang baik maupun jahat, sedangkan ilmu yang bermanfaat tidak akan diraih kecuali oleh orang muslim. Keempat, Sesunggunya orang berilmu itu dibutuhkan oleh para raja hingga orang rendahan, sedangkan orang kaya itu hanya dibutuhkan oleh orang yang tidak mempunyai harta dan melarat. Kelima, Orang kaya jika mati akan berpisah dengan hartanya, adapun ilmu akan masuk beserta pemiliknya.22 Diantara keutamaan ilmu atas harta juga adalah harta tidak bisa membeli ilmu, tetapi ilmu bisa membeli harta. Ilmu juga bagaikan mahkota kemuliaan seseorang, dengan ilmu orang fakir menjadi mulia, dengan kebodohan bangsawan menjadi hina, raja adalah hakim bagi rakyatnya, sedangkan ulama adalah hakimnya para raja. Catatan: Untuk yang terakhir dalam pembahasan ini saya tekankan, apabila ada dua perkara
yang mempunyai keutamaan dan manfaat yang besar, jika salah satunya lebih mulia maka bukan berarti perkara yang lain menjadi rendah dan di remehkan. Ilmu lebih utama dari harta, bukan berarti kita meremehkan harta karena hartapun bisa menjadi ladang amal bagi manusia. Dengan penjelasan di atas, bukan berarti kita diharuskan menjadi miskin, bahkan bisa termasuk anjuran kita mempunyai banyak harta. Namun yang batil lagi tercela apabila ada seseorang yang mencari harta tanpa peduli halal dan haramnya, dan dikeluarkan bukan ke tempat yang semestinya. Tetapi yang menjadi anjuran, kita mencari harta dengan cara yang baik dan benar juga dikeluarkan ke tempat yang semestinya. Kaya bukanlah hal yang tercela, bukankah islam mewajibkan suami menafkahi istrinya? Mengeluarkan zakat? Melaksanakan ibadah haji yang mana membutuhkan perbekalan yang besar? Maka hartapun mempunyai keutamaan, namun secara umum ilmu lebih utama dari berbagai sisi.
Perbandingan Kenikmatan Ilmu dengan Seluruh Bentuk Kenikmatan Dari Anas bin Malik Radhiyallahu’anhu, Rasulullah 22
bersabda,
Untuk mendapat penjelasan lengkap silahkan rujuk Kitab Miftah Dar As- Sa’adah (1/418-435) Karya Ibnu Qoyyim
:
“Ada dua orang yang begitu rakus dan tidak pernah merasa kenyang: penuntut ilmu (agama) dan pencari dunia.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadrok 1: 92. Dishahihkan oleh Al Hakim dan disepakati oleh Imam Adz-Dzahabi Asy-Syafi'i). Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu’anhu, ia berkata bahwa Rasulullah
bersabda,
“Seandainya seorang anak Adam memiliki satu lembah emas, tentu ia menginginkan dua lembah lainnya, dan sama sekali tidak akan memenuhi mulutnya (merasa puas) selain tanah (yaitu setelah mati) dan Allah menerima taubat orang-orang yang bertaubat.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 6439 dan Muslim no. 1048) Para pencari dunia tidaklah akan pernah puas dari menumpuk kenikmatan dunianya, bentuk kesenangannyapun berbeda-beda. Ada yang kesenangannya berupa perempuan, minuman khamer, alunan musik dan tarian, kenikmatan tidur, menumpuk harta, mencari kekuasaan atau jabatan, atau yang lainnya. Ada diantaranya yang mencari ilmu yang berbahaya, seperti sihir, ramalan, kesesatan, atau yang sebagainya. Ada juga yang kesenangannya mencari ilmu yang mubah, hal ini bisa menjadi pahala jika niatnya untuk maslahat agama, seperti matematika, fisika, kimia, biologi, kedokteran,dan yang lainnya. Namun semua kenikmatan ini tidak setara dengan kenikmatan ilmu syar’i. Al-Alamah Muhammad bin Abdurrahman dalam bukunya Nasyr Thayyi At-Ta’rif fi Fadha’il Hamalah Al-Ilm Asy-Syarif berkata: “Sebenarnya kenikmatan dunia yang dirasa seluruh manusia, Baik itu para raja, orang yang suka main-main dan bersenang-senang, Tidak seperti kenikmatan milikku dalam menuntut ilmu wahai anakku, Maka ilmu adalah sungguh merupakan sandaran dan harta bagiku. Sedangkan yang lainnya berkata (dalam syairnya): Tamparan seorang ‘alim di pipiku lebih nikmat, Bagiku daripada meminum khamer yang murni. Al-Allamah Ibnu Qoyyim Rahimahullah berkata, “Kenikmatan ilmu merupakan kenikmatan akal rohani, seperti yang di rasakan para malaikat. Adapun kenikmatan makanan dan minuman serta kenikmatan menikah merupakan kenikmatan hewani, dimana hewanpun merasakannya. Kenikmatan kejahatan, kedzaliman, kerusakan, bersikap sombong di dunia adalah sifat kelezatan syetan, yang dirasakan iblis dan pasukannya. Semua jenis kelezatan itu akan musnah seiring dengan perpisahan antara ruh dengan
jasad, kecuali kelezatan ilmu dan iman, sesungguhnya ia akan menjadi sempurna setelah perpisahan terjadi.” Catatan: Segala kenikmatan datangnya dari Allah, namun terkadang kita sering menyalah
gunakannya untuk perkara maksiat. Maka perlu direnungkan bahwa ji ka dengan nikmat-Nya kita bermaksiat, kepada siapa lagi kita akan meminta? Karena yang Maha memberi hanyalah Dia semata. Dalam pembahasan yang lalu, ada isyarat untuk meninggalkan perkara yang mubah. Perkara mubah pada dasarnya memang boleh dilakukan, namun maksud anjuran meninggalkan perkara mubah itu yang apabila di amalkan menjadi tercela karena dapat melalaikan kewajiban-kewajibannya kepada Allah. Tatkala ada yang mempelajari ilmu yang mubah semisal kedokteran, maka hal itu boleh-boleh saja, bahkan bisa berbuah menjadi pahala yang begitu besar jika diniatkan dengan benar. Tetapi jika mempelajari ilmu kedokteran itu sampai melalaikan kewajiban seseorang, umpamanya shalat atau menuntut ilmu agama, maka perkara tersebut menjadi tercela. Contoh lainnya adalah bermain, bercanda atau bersenang-senang semua ini tidaklah tercela jika dalam hal kebaikan dan sesuai dengan porsinya. Jika hal itu dilakukan secara berlebihan dan melalaikan kewajiban-kewajian lainnya, maka itu yang menjadi terlarang. Namun apabila hal itu dibutuhkan, dan dilakukan dengan benar, juga sesuai dengan porsinya maka hal itu tidak menjadi masalah. Bahkan hal tersebut bisa berbuah pahala, bukankah termasuk sunnah bagi suami bercumbu mesra saling bercanda dengan istri? Bukankah termasuk sunnah pula membuat orang lain senang gembira? Namun para ulama mengibaratkan bercanda bagaikan garam pada masakan, yang rasanya akan hambar jika kurang dan akan merusak jika berlebih. Maka perlu juga untuk dipahami, kenikmatan dunia juga tidak semuanya tercela, jika semua itu dijadikan untuk kebaikan yang Allah ridhai dan sesuai dengan porsinya maka perbuatan itu tidaklah tercelah bahkan bisa menjadi pahala kebaikan. Allahu A’lam. Dari semua perbandingan-perbandingan akan sebuah amal sebagaimana yang sudah dibahas, kita tidak berhak memutlakkan secara khusus perbandingan keutamaan-keutamaan tersebut. Karena itu semua merupakan karunia Allah dan hak-Nya untuk menetapkan. Kita hanya bisa menilai secara umum berdasarkan dalil-dalil yang ada. Karena keutamaan suatu amalan tidak bisa dicapai dengan analogi, tetapi itu semua karunia Allah. Di akhir tulisan ini, saya (penulis) katakan bahwa tulisan ini adalah bentuk motivasi bagi penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca semua. Jika ada kesalahan, sungguh sayalah yang akan mempertanggung jawabkan kesalahan itu di dunia maupun di akhirat. Oleh karenanya, jika pembaca menemukan kesalahan, maka jangan ragu untuk menyampaikan. Dan jika pembaca mendapat manfaat dari tulisan ini, maka jangan segan untuk mendoakan kebaikan bagi penulis. Semoga Allah ampuni kita semua. Hasan Al-Basri Rahimahullah berkata kepada Mutharrif bin Abdillah Rahimahullah, “Berilah nasihat kepada sahabat-sahabatmu.” Ia menjawab “Sesungguhnya aku takut mengatakan apa yang tidak aku kerjakan.” Hasan Al-Basri menjawab, “Semoga Allah merahmatimu. Tidak ada seorangpun diantara kita yang melakukan semua yang diperintahkan Allah. Syetan akan gembira jika ada yang
berpikiran seperti itu sehingga tidak ada seorangpun yang memerintahkan kepada kebaikan dan tidak pula mencegah dari keburukan.” (Al_Jami’ li Ahkamil Qur’an 1/367, Al-Qurtubi). Hasan Al-Basri Rahimahullah juga berkata, “Wahai manusia, sesungguhnya aku tengah menasehati kalian, dan bukan berarti aku orang terbaik di antara kalian, bukan pula orang yang paling shalih di antara kalian. Sungguh, akupun telah banyak melampaui batas terhadap diriku. Aku tidak sanggup mengekangnya dengan sempurna, tidak pula membawanya sesuai dengan kewajiban dalam menaati Rabb-nya. Andaikata seorang muslim tidak memberi nasehat kepada saudaranya kecuali setelah dirinya menjadi orang yang sempurna, niscaya tidak akan ada para pemberi nasehat. Akan menjadi sedikit jumlah orang yang mau memberi peringatan dan tidak akan ada orang -orang yang berdakwah di jalan Allah, tidak ada yang mengajak untuk taat kepada-Nya, tidak pula melarang dari memaksiati-Nya. Namun dengan berkumpulnya ulama dan kaum mukminin, sebagian memperingatkan kepada sebagian yang lain, niscaya hati orang-orang yang bertakwa akan hidup dan mendapat peringatan dari kelalaian serta aman dari lupa dan kekhilafan. Maka terus-meneruslah berada pada majelis-mejelis dzikir (majelis ilmu), semoga Allah mengampuni kalian. Bisa jadi (ada) satu kata yang terdengar (di sana) dan kata itu merendahkan (diri kita) namun sangat bermanfaat (bagi kita). Bertakwalah kalian semua kepada Allah dengan sebenar-benar takwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim.” (Mawai’zh lil Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 185-187). “Ilmu bagaikan sebuah pohon dan amal adalah buahnya. Apakah artinya sebuah pohon tanpa buah? Apapula artinya ilmu tanpa diamalkan. Tapi jangan lupakan tunas dari pohon itu! Yaitu menyampaikan ilmu” Shohih Zakka Shiddiq Semoga Allah memberi kita taufiq dan hidayah-Nya serta keistiqamahan dalam menjalankannya…
Referensi: "Kitabul 'Ilm" Syaikh Shalih Al-Utsaimin "Musibah Besar Tercabutnya Ilmu Syar'i" Syaikh Nashr Muhammad bin Abdullah. Referensi pengambilan hadits dan atsar: Muslim.or.id Almanhaj.com Rumaysho.com Muslimah.or.id