UJI BANDING EFEKTIVITAS ANTIFUNGI TANAMAN OBAT DENGAN KETOKONAZOL 2% SECARA I N VITRO TERHADAP PERTUMBUHAN Pityr ospo osporr um ovale ovale PENYEBAB KETOMBE
Disusun oleh : Bimo Juliansyah I11112062
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK 2013
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ketombe merupakan istilah umum dalam bahasa Indonesia yang dalam bahasa kedokteran lazim disebut dandruff . Ketombe disebut juga sebagai pitiriasis kapitis, pitiriasis sika, pitiriasis simplek, atau furfuracea. furfuracea.1 Ketombe merupakan manifestasi dari dermatitis seboroik, yaitu kondisi dimana terjadi pengelupasan kulit kepala yang berlebihan tanpa disertai tanda – tanda tanda inflamasi.2 Gambaran klinik ketombe berupa sisik – sisik sisik halus atau serbuk kering, berwarna putih atau abu – abu – abu abu yang mengumpul pada beberapa lokasi permukaan kulit kepala atau menyeluruh. 3 Ketombe sering dikeluhkan pada masa remaja dan dewasa serta relatif jarang dan ringan pada anak – anak. Insiden dan tingkat keparahan mencapai puncak pada usia 20 tahun dan mulai menurun setelah usia 50 tahun.4,5 Umumnya lebih banyak pada pria dibanding wanita. 6,7 Dari beberapa spesies jamur, yang termasuk genus Malassezia, Malassezia, baru Pityrosporum baru Pityrosporum ovale yang telah dilaporkan mempunyai peranan sebagai agen penyebab utama dari ketombe. 4,8 Jamur lipofilik ini ditemukan pada kulit yang mengelupas. Organisme ini merupakan flora normal kulit sehingga pada penderita ketombe jumlahnya lebih banyak dibandingkan orang normal dan pasien dengan terapi antifungi. 9 Sampo termasuk golongan kosmetik pemeliharaan kulit kepala dan rambut yang mengandung bahan pembersih untuk membersihkan atau mencuci rambut agar rambut tetap dalam kondisi sehat. Beberapa zat seperti ketokonazol, zinc pyrithione, pyrithione, selenium sulfat, tar, sulfur, dan asam salisilat dapat ditambahkan pada sampo anti ketombe. 3,4,10 Ketokonazol sebagai gold standart merupakan salah satu anti jamur
golongan imidazol
yang mempunyai
spektrum
luas,
bekerja
menghambat sintesis ergosterol, suatu komponen yang penting untuk integritas membran sel jamur.11 Ketokonazol telah banyak digunakan untuk pengobatan penyakit yang disebabkan oleh jamur, antara lain untuk infeksi dermatofit ( ringworm), dermatitis seboroik, kandidiasis kutis, Pityriasis versikolor , dan pitiriasis kapitis yang disebabkan oleh Pityroporum sp.12 Saat ini telah banyak dijumpai penanggulangan ketombe dengan menggunakan bahan – bahan alami. Salah satu jenis tanaman yang berpotensi untuk dikembangkan adalah daun kecubung yang telah banyak diteliti. Air perasan daun kecubung dikenal memiliki banyak khasiat, antara lain digunakan
untuk
mengatasi
ketombe. 13,14 Diduga
karena
beberapa
kandungannya yang bersifat antifungi, yaitu saponin, flavonoid, dan polifenol.15 Dengan memperhatikan latar belakang di atas, penulis tertarik ingin melihat perbandingan efektivitas ekstrak tanaman obat yang telah teruji dibandingkan dengan ketokonazol 2% secara invitro dalam mengurangi dan menghilangkan pertumbuhan Pityrosporum ovale.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah ekstrak buah-buahan yang telah teruji lebih efektif dalam mengurangi dan menghilangkan ketombe akibat Pityrosporum ovale? 1.3 Hipotesis
Ekstrak tanaman obat yang telah teruji lebih efektif dalam mengurangi dan menghilangkan ketombe akibat Pityrosporum ovale. 1.4 Tujuan
Untuk mengetahui efektivitas ekstrak tanaman obat yang telah teruji dibandingkan dengan ketokonazol 2% secara invitro dalam mengurangi dan menghilangkan pertumbuhan Pityrosporum ovale.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ketombe
Ketombe adalah sejenis kelainan kulit atau peradangan kulit kepala yang sangat ringan, namun sering menjadi masalah bagi penderita dan kadang-kadang disertai rasa gatal yang mengganggu. Secara periodik kulit kepala yang mati akan dikeluarkan ke permukaan kulit. Sel kepala yang mati selanjutnya akan lepas dengan sendirinya, namun dalam kondisi tertentu pelepasan ini tidak terjadi sehinggga sel – sel mati menumpuk di permukaan kulit kepala. Ketombe dapat terjadi karena penumpukan sel epidermis kulit kepala dalam jumlah banyak. Ketombe ini berwarna putih, kering kecil, dan terdapat pada kulit kepala paling atas. Ketombe disebabkan oleh jamur Malassezia furfur . Penghuni normal kulit kepala ini dapat meningkat jumlahnya dan menstimulir pembentukan lipase. Tigliserida dirombak olehnya menjadi asam-asam lemak, yang merangsang hiperprolifersi sel-sel epidermis. Akibatnya keratosit dilepaskan lebih pesat, keratin yang melekat satu sama lain akan mati, lalu dilepaskan sebagai gumpalam-gumpalan serpih. Ketombe sering ditemukan saat usia dewasa muda, tetapi pada anak relatif jarang dan berderajat ringan. Puncak insiden kasus ketombe meningkat pada usia 20 tahun dan relatif berkurang pada usia 50 tahun. Keadaan ini lebih sering ditemui pada pria dibandingkan pada wanita. Sekitar 50% populasi di dunia pernah menderita penyakit ini dengan derajat keparahan yang berbeda. Gambaran klinik ketombe berupa sisik – sisik halus atau serbuk kering, berwarna putih abu – abu yang mengumpul pada beberapa lokasi permukaan kulit kepala atau menyeluruh. Penderita biasanya mengeluh rasa gatal pada kulit kepala terutama bila udara panas dan berkeringat dan disertai
kerontokan rambut. Apabila skuama yang terlepas dari kulit kepala jatuh ke pakaian atau bahu penderita maka akan menimbulkan gangguan estetika yang tidak menyenangkan. Jika keadaan terus berlanjut dapat timbul kebotakan setempat atau merata.18,19 Sampai saat ini masih belum ada kesepakatan mengenai teori yang pasti tentang etiopatogenesis dari ketombe. Dari beberapa spesies jamur, yang termasuk genus Malassezia, baru P. ovale yang telah dilaporkan mempunyai peranan sebagai agen penyebab ketombe.20 Ada beberapa faktor yang dianggap mempunyai peran penting dalam hal ini, antara lain: 1. Hiperproliferasi sel epidermis Ketombe dapat dilihat sebagai gangguan hiperproliferasi dari sel epidermis kulit kepala yang menyebabkan peningkatan produksi sel tanduk yang mengalami
deskuamasi.
Penggunaan
kortikosteroid
topical
yang
memberikan efek baik secara temporer merupakan salah satu alasan dikemukakannya
teori
bahwa
ketombe
semata-mata
merupakan
hiperproliferasi selular, namun pendapatan ini dinyatakan perlu dikaji kembali dengan penemuan bahwa ketombe membaik dengan obat antijamur kuat.21,22 2. Genetik Dikatakan
bahwa
faktor
genetik
memiliki
peran
penting
dalam
pathogenesis ketombe, karena bila P. ovale terdapat sendirian tanpa faktor predisposisi genetik tidak mungkin menginduksi ketombe. 21,23,24-25 3. Produksi sebum Produksi sebum oleh kelenjar sebasea merupakan faktor penting bagi pertumbuhan P. ovale yang besifat lipofilik atau lipid-dependent. Sekresi sebum akan mulai menurun meskipun ukuran kelenjar sebasea bertambah. Pada laki – laki sekresi ini akan menurun perlahan sesuai dengan bertambahnya usia, sedangkan pada perempuan sangat menurun setelah usia 50 tahun. Hal ini disebabkan karena kelenjar sebasea dirangsang oleh androgen yang berasal dari testis, ovarium dan kelenjar adrenal. Kelenjar ini berkembang pada permulaan masa pubertas. Sebelum dihasilkan oleh
kelenjar sebasea bagi mikroorganisme flora normal kulit yang salah satunya adalah P. ovale.26 4. Iritasi mekanis dan kimia Faktor fisik seperti pH, tanspor CO2 dan kandungan air mempengaruhi kejadian
ketombe
dimana
suhu
dan
kelembaban
rendah
akan
memperburuk ketombe, tetapi peningkatan suhu dan kelembaban pun meningkatkan risiko terjadinya ketombe. 21 5. Stress Stress emosional dapat meningkatkan kadar asam lemak bebas yang merupakan salah satu dari sernyawa yang akan membentuk sebum. 23,27 6. Nutrisi Defisiensi Biotin, abnormalitas metabolisme asam lemak bebas juga diduga sebagai mekanisme penyebab ketombe. Selain itu defisiensi riboflavin atau piridoksin juga dikaitkan dengan ketombe.22 7. Diet lemak Lemak memang diperlukan oleh tubuh, tetapi bila dikonsumsi secara berlebihan, lemak tersebut dapat mencapai kelenjar sebasea dan akhirnya menjadi bahan pembentuk sebum yang akan membuat kulit kepala berminyak.23,27,28
2.2 Jamur
Jamur merupakan organisme yang umumnya terdiri dari tabungtabung yang tidak terlihat dengan mata telanjang. Sel-sel dari tabung tersebut berinti banyak dan dalam kontinuitas sitoplasmik. Jamur adalah organisme heterotrofik yang memerlukan senyawa organik untuk nutrisinya. Beberapa jamur dapat juga menyerang inang yang hidup lalu tumbuh dengan subur di tempat tersebut sebagai parasit dan dapat menimbulkan penyakit pada tumbuhan, hewan, maupun manusia . Jamur dapat mensintesis protein dengan mengambil sumber karbon dari karbohidrat (misalnya glukosa, sukrosa, atau maltosa), sumber nitrogen dari bahan organik atau anorganik, dan mineral dari substratnya. Ada juga beberapa jamur yang dapat mensintesis vitamin-
vitamin yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan sendiri, tetapi ada juga yang tidak bisa mesintesis sendiri sehingga harus mendapatkan dari substrat, misalkan thiamin dan biotin. Jamur merupakan eukariot, sel memiliki inti yang terdapat materi genetik/DNA dan diselubungi membran inti. Kelompok jamur dapat berupa uniselular maupun multiseluler. Kebanyakan jamur multiseluler seperti cendawan dapat terlihat seperti tanaman, tetapi mereka tidak dapat melakukan fotosintesis. Jamur sejati memiliki dinding sel yang mengandung substansi pokok yang disebut kitin. Jamur uniseluler misalnya khamir berbentuk oval yang lebih besar dibandingkan bakteri. Kelompok jamur terbanyak adalah kapang. Kapang memiliki miselia yang tersusun oleh filamen panjang (hifa) yang bercabang dan saling mengikat. Jamur dapat bereproduksi secara seksual maupun aseksual. Jamur memperoleh nutrisi dengan menyerap larutan materi organik dari lingkungannya. Berdasarkan penampakannya jamur dikelompokkan kedalam : kapang (moulds or molds), khamir ( yeast ) dan cendawan (mushrooms). Adapun menurut analisis molekuler, kapang dan khamir adalah organisme yang secara filogenetik terdapat dalam setiap kelompok besar dari Ascomycetes dan Basidiomycetes, sedangkan cendawan yang diartikan umumnya termasuk dalam kelompok Homobasidomycetes yang monofiletik. Khamir merupakan jamur uniselular dan dapat bersifat dimorfistik, yaitu memiliki dua fase dalam siklus hidupnya, bergantung pada keadaan lingkungan, yaitu fase hifa (membentuk miselium) dan fase khamir (membentuk sel tunggal). Khamir dapat membentuk hifa palsu ( pseudohifa) yang tumbuh menjadi miselium palsu ( pseudomiselium). Sebagai sel tunggal khamir tumbuh dan berkembang biak lebih cepat dibanding kapang yang tumbuh dengan pembentukan filamen. Reproduksi vegetatif terjadi dengan cara pertunasan. Khamir juga lebih efektif dalam memecah komponen kimia dibanding kapang, karena mempunyai perbandingan luas permukaan dengan volume yang lebih besar.
Sel tunggal khamir umumnya lebih besar dibandingkan dengan bakteri. Lebar sel khamir berkisar dari 1 sampai 5 μm dan panjang 5 sampai 30 μm. Khamir umumnya berbentuk oval, tetapi beberapa berbentuk memanjang atau bulat. Dinding sel khamir sangat tipis untuk sel-sel yang masih muda, dan semakin lama semakin tebal jika sel semakin tua. Komponen dinding selnya berupa glukan, mannan, protein, kitin, dan lipid. Setiap spesies memiliki bentuk karakteristik, tetapi dalam kultur murni terdapat variasi besar dalam ukuran dan bentuk sel-sel individual. Pada media agar, mereka berbentuk halus, koloni berkilau mirip dengan bakteri. Kolonikoloni tersebut sangat berbeda dari sebaran, berbulu, atau bentuk filamen koloni.
2.3 M alassezia fu r fu r (Pityr osporu m ovale )
Malassezia furfur merupakan jamur lipofilik, dimorfik yang terdapat pada kulit manusia sebagai patogen oportunistik, menyebabkan penyakit seperti ketombe, panu ( pityriasis versicolar ), dermatitis seboroik, dll. Organisme ini menghasilkan lipase yang memungkinkan untuk mengurangi sebum trigliserida untuk membebaskan asam lemak, yang pada gilirannya mendorong pengelupasan lapisan kulit. Klasifikasi Malassezia furfur , adalah sebagai berikut: Kingdom : Jamur Filum : Basidiomycota Kelas : Hymenomycetes Ordo : Tremellales Family : Filobasidiaceae Genus : Malassezia Spesies : Malassezia furfur
Malassezia furfur memiliki sinonim yaitu Pityrosporum ovale. Pada media agar setelah 7 hari pada suhu 32 oC, koloni tunggal mmiliki ciriciri; berdiameter 4-5 mm, kusam, sedikit melipat, rapuh, halus, dengan
elevasi cembung dan sedikit bulat. Tekstur koloni lembut dan selnya mudah untuk mengemulsi. Selnya bervariasi dalam ukuran dan bentuk, silinder hingga oval atau bulat, berdiameter 2,5-5 μm. Pseudohifa kadang-kadang diproduksi dalam beberapa kultur dan bentuk ini tampak seperti galur yang stabil. Suhu maksimal untuk pertumbuhan Malassezia furfur adalah 41oC, reaksi katalase yang kuat ditandai dengan aktivitas β-glukosidase. Malassezia furfur
memiliki persyaratan minyak zaitun atau asam oleat untuk
pertumbuhan pada malt atau sabouraud agar, tetapi spesies ini butuh sedikit lipid bebas, sebagai suplemen lipid yang cukup untuk pertumbuhannya. Selanjutnya, semua suplemen lipid yang digunakan untuk mengidentifikasi Malassezia hampir sama. Sebaliknya, hanya sedikit spesies yang mampu tumbuh baik dengan asam oleat atau minyak zaitun sebagai suplemen lipid, yaitu Malassezia furfur , M. pachydermatis, dan pada tingkat lebih rendah, M. japonica dan M. yamatoensis. Suhu optimal untuk pertumbuhan yang baik terjadi pada 37oC, suhu maksimum untuk pertumbuhan 41 oC. 2.4 Tanaman Obat
Tumbuhan Obat adalah semua spesies tumbuhan baik yang sudah ataupun belum dibudidayakan yang dapat digunakan sebagai tumbuhan obat. Tumbuhan obat juga merupakan salah satu komponen penting dalam pengobatan tradisional yang telah digunakan sejak lama dan memberikan dampak farmakologi. Pengobatan tradisional secara langsung atau tidak langsung mempunya ikaitan dengan upaya pelestarian pemanfaatan sumber daya alam hayati, khususnya tumbuhan. Zuhud dan Haryanto (1994) mengelompokan tumbuhan berkhasiat obat sebagai berikut: a. Tumbuhan obat tradisional, merupakan spesies yang diketahui atau dipercaya masyarakat memiliki khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional.
b. Tumbuhan obat modern, merupakan spesies tumbuhan yang secara ilmiah telah dibuktikan mengandung senyawa atau bahan bioaktif berkhasiat obat, dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis. c. Tumbuhan obat potensial, merupakan spesies tumbuhan yang diduga mengandung atau memiliki senyawa atau bahan bioaktif obat, tetapi belum dibuktikan penggunaannya secara ilmiah-medis sebagai bahan obat dan penggunaannya secara tradisional belum diketahui. Tumbuhan obat terdiri dari beberapa macam habitus. Habitus berbagai spesies tumbuhan adalah sebagai berikut a. Pohon adalah tumbuhan berkayu yang tinggi besar, memiliki suatu batang yang jelas dan bercabang jauh dari permukaan. b. Perdu adalah tumbuhan berkayu yang tidak seberapa besar dan bercabang dekat dengan permukaan, biasanya kurang dari 5-6 meter. c. Herba adalah tumbuhan tidak berkayu dengan batang lunak dan berair. d. Liana adalah tumbuhan berkayu dengan batang menjulur/memanjat pada tumbuhan lain e. Semaka dalah tumbuhan tidak seberapa besar, batang berkayu, bercabangcabang dekat permukaan tanah atau di dalam tanah. 2.5 Tumbuhan Obat Keluarga (TOGA)
Tumbuhan Obat Keluarga (TOGA) adalah tumbuhan obat yang ada di lingkungan tempat tinggal masyarakat yang dimanfaatkan sebagai obat untuk mengobati penyakit yang diderita masyarakat. TOGA ialah Tanaman Obat Keluarga, dahulu disebut sebagai “Apotik Hidup”, dalam pekarangan atau halaman rumah ditanam beberapa tanaman obat yang digunakan secara empirik oleh masyarakat untuk mengatasi penyakit atau keluhan-keluhan yang dideritanya.30
Beberapa tanaman obat telah dibuktikan efek farmakologinya pada hewan coba dan beberapa tanaman telah dilakukan uji klinik tahap awal. Dalam kondisi tertentu TOGA dapat pula dibuat dengan memanfaatkan pot, atau benda-benda lain yang dapat dan cocok untuk menumbuhkan tumbuhan yang berkhasiat obat. Spesies-spesies TOGA yang ditanam harus memiliki kriteria atau pernyataan sebagai berikut:30 a. Tumbuhan tersebut sudah terdapat di daerah pemukiman yang bersangkutan. b. Tumbuhan mudah dikembangbiakan, tidak perlu cara penanaman khusus dan tidak memerlukan cara pemeliharaan yang rumit. c. Dapat dipergunakan untuk keperluan lain, misalnya untuk sumber makanan, bumbu dapur, kayu bakar, bahan kerajinan tangan dan s ebagainya. d. Dapat diolah menjadi simplisia dengan cara sederhana.
2.6 Obat Antijamur
Ketokonazol adalah agen imidazol antijamur. Seperti imidazol lainnya ia memiliki struktur cincin beranggota lima yang mengandung dua atom nitrogen. Ketokonazol memiliki tablet oral, krim dan formulasi sampo ketombe. Formulasi oral tersedia di Amerika Serikat sejak tahun 1981. Ketokonazol adalah satu-satunya anggota dari kelas imidazol yang saat ini digunakan untuk pengobatan infeksi sistemik. Ketokonazol memiliki aktivitas menghambat enzim sitokrom P450 α-demetilase. Enzim ini sangat diperlukan untuk mengubah lanosterol menjadi ergosterol pada sintesis membran sel jamur. Ketokonazol juga dapat menghambat sintesis kolesterol dari mamalia dengan menghalangi detemilasi dari lanosterol. Penggunaan ketokonazol memiliki efek samping berupa iritasi, reaksi alergi rasa terbakar pada kulit, sedangkan obat secara oral dapat berefek pada ganggan alat cerna, nyeri kepala, pusing dan gatal-gatal.
Kenaikan tingkat transaminase dan hepatotoksisitas juga mungkin terjadi. Ketokonazol dapat menurunkan testosteron dan tingkat kortisol, sehingga dapat
menyebabkan
ginekomastia
dan
ketidakteraturan menstruasi pada wanita.
oligospermia
pada
pria
dan
BAB III METODOLOGI
3.1 Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan pada penelitian kali ini adalah metaanalisis dimana kesimpulan pada penelitian ini dibentuk dari gabungan dua atau lebih hasil penelitian yang dapat diganungkan sehingga diperoleh data baru yang bersifat kuantitatif. 3.2 Definisi Operasional
3.2.1 Malassezia furfur merupakan jamur lipofilik, dimorfik yang terdapat pada kulit manusia sebagai patogen oportunistik, menyebabkan penyakit seperti ketombe, panu ( pityriasis versicolar ), dermatitis seboroik, dll. 3.2.2 Antifungi adalah sifat/efek dari obat maupun zat lain yang dapat membunuh ataupun menghambat perkembangan jamur. 3.2.3 Ketombe adalah sejenis kelainan kulit atau peradangan kulit kepala yang sangat ringan, namun sering menjadi masalah bagi penderita dan kadang-kadang disertai rasa gatal yang mengganggu. Secara periodik kulit kepala yang mati akan dikeluarkan ke permukaan kulit. Sel kepala yang mati selanjutnya akan lepas dengan sendirinya, namun dalam kondisi tertentu pelepasan ini tidak terjadi sehinggga sel – sel mati menumpuk di permukaan kulit kepala. 3.2.4 Tanaman obat adalah tumbuhan obat yang ada di lingkungan tempat tinggal masyarakat yang dimanfaatkan sebagai obat untuk mengobati penyakit yang diderita masyarakat.
3.2.5 Ketokonazol adalah obat anti fungi sintetik yang digunakan untuk mencegah dan mengobati kulit dari infeksi jamur, terutama pada pasien infeksi jamur dari penyakit AIDS. 3.2.6 In Vitro adalah bahasa Latin untuk “di kaca”; mengacu pada penelitian yang dilakukan dalam tabung uji atau media kultur di laboratorium.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Berdasarkan hasil penelitian pada penelitian uji efektivitas tanaman obat dan ketokonazol 1% sebagai penghambat pertumbuhan Pityrosporum ovale ( Malassezia sp.) penyebabkan ketombe yang dilakukan secara invitro, yang masing-masing penelitian menggunakan 30 media Sabouraud Dextrose Agar olive oil yang mengandung ekstrak tanaman obat 100% dan 30 media Sabouraud Dextrose Agar olive oil yang mengandung ketokonazol 1%, 4 dari 10 penelitian menunjukkan hasil negatif dan 6 diantaran ya menunjukkan hasil positif. Berikut 4 hasil penelitian yang menunjukkan hasil negatif: (1) Septian Seno Nugroho (2008), menunjukkan hasil negatif pada penelitiannya yang menggunakan air rendaman kangkung
( Ipomea reptans) sebagai
penghambat pertumbuhan Pityrosporum ovale (Tabel 1); (2) Dewi Sartika (2008), menunjukkan hasil negatif pada penelitiannya yang menggunakan air perasan bawang merah (Allium ascalonicum L.)
sebagai penghambat
pertumbuhan Pityrosporum ovale (Tabel 2); (3) Aditya Kurnianto (2008), menunjukkan hasil negatif pada penelitiannya yang menggunakan ekstrak lidah buaya ( Aloe vera) ovale
sebagai penghambat pertumbuhan Pityrosporum
(Tabel 3); Alun Dhika Pratama (2008), menunjukkan hasil negatif
pada penelitiannya yang menggunakan air perasan daun kecubung ( Datura metel L.) sebagai penghambat pertumbuhan Pityrosporum ovale (Tabel 4). Tabel 1. Tabulasi silang antara Sabouraud Dekstrose Agar olive oil + air rendaman kangkung / ketokonazol 1% terhadap pertumbuhan Pityr osporum ovale .
Tabel 2. Tabulasi silang antara Sabouraud Dekstrose Agar olive oil + air perasan bawang merah (Allium . ascalonicum L . ) 100%/ ketokonazol 2% terhadap pertumbuhan Pityr osporum ovale
Tabel 3. Tabulasi silang antara Sabouraud Dekstrose Agar olive oil + ekstrak lidah buaya 100% / zinc pyrithione 1% / ketokonazol 1% terhadap pertumbuhan Pityr osporum ovale .
Tabel 4. Tabulasi silang antara Sabouraud Dekstrose Agar olive oil + air perasan daun kecubung 100% / ketokonazol 1% terhadap pertumbuhan Pityr osporum ovale
Sedangkan pada 6 penelitian lainnya menunjukkan hasil positif yaitu: (1) Dian Oktaviani (2012) dengan penelitiannya yang menggunakan ekstrak daun sirih merah (Piper crocatum) (Tabel 5); (2) Fransiska Sutrisno (2012) dengan menggunakan ekstak rimpang lengkuas ( Alpinia galanga) (Tabel 6); (3) Rifka Oktaviana (2012) dengan menggunakan ekstrak buah pare belut (Trichosanthes anguina linn) (Tabel 7); (4) Sri Rejeki Sinaga
(2012) dengan menggunakan perasan jeruk purut (Citrus Hystrix dc) (Tabel 8); (5) Nanda Daniswara (2008) dengan menggunakan air perasan buah nanas (Ananas comosus (L.) Merr) (Tabel 9); (6) Puspita (2010) dengan mengguanakan ekstrak daun kangkung (Ipomea reptans) (Tabel 10). Tabel 5. Tabulasi Silang Pertumbuhan P. ovale antara ekstrak daun sirih merah 100% dengan Zinc Pyrithione 1% pada media SDA
Tabel 6. Tabulasi silang uji banding efektivitas ekstrak rimpang lengkuas (Alpini a galanga ) dengan zinc pyrithione 1% pada media SDA olive oil dalam menghambat pertumbuhan P. ovale
Tabel 7. Tabulasi silang Pertumbuhan M al assezia sp .(P. ovale )antara ekstrak buah pare belut ( T ri chosanthes Anguina Linn.) 100% dengan Zinc Pyrithione 1% pada media SDA
Tabel 8. Tabulasi silang efektivitas perasan jeruk purut dengan zinc pyrithione 1% terhadap pertumbuhan P.ovale
Tabel 9. Tabulasi silang antara Sabouraud Dekstrose Agar olive oil + air perasan nanas 100% / zinc pyrithione 1% / ketokonazol 1% terhadap pertumbuhan
Tabel 10. Tabulasi silang antara Sabouraud D ekstrose Agar ol ive oil + ekstrak daun kangkung dan ketokonazol 1% terhadap pertumbuhan Pityr osporum ovale .
4.2 Pembahasan
Ketokonazol mempunyai efek fungistatik dan fungisida. Seperti halnya obat-obat golongan azol lainnya, aktivitas antijamur ketokonazol dihasilkan dari pengurangan sintesis ergosterol melalui penghambatan enzimenzim sitokrom P450 pada jamur. Spesifisitas obat ini dihasilkan oleh afinitasnya yang lebih besar terhadap jamur dibandingkan terhadap enzimenzim sitokrom P450 pada manusia.
Zinc pythirione merupakan salah satu komponen yang ditemukan pada shampoo anti
ketombe dimana efek
antiketombe
berdasarkan
kemampuan molekul pirition yang tidak terionisasi untuk menggangu transport membran dengan menghambat mekanisme energi pompa proton sehingga dapat menghambat pertumbuhan jamur. Dengan demikian zinc pythirione memiliki kemampaun untuk menurunkan jumlah Malassezia sp., parakeratosis dihilangkan, dan jumlah korneosit akan berkurang yang tampak sebagai ketombe. Kandungan kimia
karvakol ,
eugenol
dan saponin bekerja
menghambat pertumbuhan yeast (sel tunas) dari P. ovale dengan cara mengubah struktur dan menghambat dinding sel, sehingga meningkatkan permeabilitas membran terhadap benda asing dan menyebabkan kematian sel. Kandungan-kandungan tersebut terdapat dalam ekstrak daun sirih merah (Piper crocatum), ekstak rimpang lengkuas ( Alpinia galanga), ekstrak buah pare belut (Trichosanthes anguina linn), perasan jeruk purut (Citrus Hystrix dc), air perasan buah nanas (Ananas comosus (L.) Merr), ekstrak daun kangkung (Ipomea reptans).
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasrkan
hasil
pengamatan,
terdapat
tanaman-tanaman
obat
yang
efektivitasnya sebanding dengan ketokonazol 1% yang dapat menekan pertumbuhan P. Ovale penyebab ketombe yaitu; ekstrak daun sirih merah (Piper crocatum), ekstak rimpang lengkuas ( Alpinia galanga), ekstrak buah pare belut (Trichosanthes anguina linn), perasan jeruk purut (Citrus Hystrix dc), air perasan buah nanas (Ananas comosus (L.) Merr), ekstrak daun kangkung (Ipomea reptans). Tanaman-tanaman ini mengandung bahan-bahan kimia yang dapat menekan pertumbuhan P. Ovale. Sedangakn pada tanamantanaman obat seperti pada air rendaman kangkung ( Ipomea reptans), air perasan bawang merah (Allium ascalonicum L.), ekstrak lidah buaya ( Aloe vera), air perasan daun kecubung ( Datura metel L.), tidak mengandung bahan-bahan yang dapat menekan pertumbuhan P. Ovale yang berarti tidak dapat digunakan sebagai alternatif penghilang ketombe.
5.2 Saran
Penderita berketombe disarankan menggunakan tanaman-tanaman obat yang telah teruji sebagai terapi alternatif pilihan lain, dimana tanaman-tanaman obat tersebut tingkat efektivitas tidak berbeda dengan ketokonazol 1% dalam menghambat pertumbuhan Pityrosporum ovale secara in vitro. Namun dalam penggunaannya masih memerlukan penelitian lanjutan baik secara in vivo atau juga dapat diteliti efektivitas kandungan zat aktif yang lebih murni yang bersifat antifungi. Disarankan pula kepada peneliti selanjutnya agar meneliti efek samping penggunaan tanaman-tanaman obat tersebut baik dalam bentuk ekstrak, perasan, infus dan bentuk lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bramono K. Pitiriasis sika / ketombe etiopatogenesis. In: Wasitaatmadja SM, Menaldi SLS, Jacoeb TNA, Widaty S, editors. Kesehatan dan keindahan rambut. Kelompok Studi Dermatologi Kosmetik Indonesia; 2002. p. 1 -11. 2. Wijaya, L. Pengaruh jumlah Pityrosporum ovale dan kadar sebum terhadap kejadian ketombe ( kasus pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semester VII ). Laporan penelitian. Tesis Bagian / SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK UNDIP RSUP Dr. Kariadi Semarang; 2001. p. 5 -13. 3. Prawito, SP. Cosmeceuticals anti ketombe. Dalam: Wasitaatmadja SM, Rata IGAK, editors. Cosmeceuticals. Jakarta: 2001. p. 41-9. 4. Cardin C. Isolated dandruff. In: Baran R, Maibach HI, editors. Textbook of cosmetic dermatology. 2nd ed. London: Martin Dunitz; 1998. p. 193-200. 5. Norawati L. Gambaran klinis ketombe dan penyakit yang menyerupai. In: Wasitaatmadja SM, Menaldi SLS, Jacoeb TNA, Widaty S, editors. Kesehatan dan keindahan rambut. Kelompok Studi Dermatologi Kosmetik Indonesia; 2002. p. 13-4. 6. Johnson BA, Nunley JR. Treatment of seborrheic dermatitis. American family physician.
[Online].
2000
[cited
2013
Nov
31].
Available
from:
URL:http://www.aafp.org/afp/20000501/2703.htm 7. Plewig G, Jansen T. Seborrheic dermatitis. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine volume 1; 6th ed. New York: McGraw-Hill; 2003. p. 1198204. 8. Handoko RP. Penatalaksanaan ketombe. In: Wasitaatmadja SM, Menaldi SLS, Jacoeb TNA, Widaty S, editors. Kesehatan dan keindahan rambut. Kelompok Studi Dermatologi Indonesia; 2002. p. 17-12. 9. Mackie, Rona M. Clinical dermatology. 4th ed. Oxford New York Toronto: Oxford University Press; 1997. p. 89-91
10. Toruan TL. Perawatan rambut berketombe. In: Wasitaatmadja SM, Menaldi SLS, Jacoeb TNA, Widaty S, editors. Kesehatan dan keindahan rambut. Kelompok Studi Dermatologi Indonesia; 2002. p. 29-7. 11. Shepard D, Lampiris HWW. Antifungal agents. In: Katzzung BG editors. Bassic and clinical pharmacology large. 9th ed. Singapura: Mc. Graw Hill; 2004. p. 796-7. 12. Pharmacokinectic summary of ketokonazole. [Online]. [1998?] [cited 2013 Nov 31]; Available from: URL:http://www.medscape.com/druginfo/pharm?id=54132&name=Ketokona zol+Topikal&DrugType=1&menuID=PHM&ClassID=N 13. Dalimartha S. Atlas tumbuhan obat indonesia jilid 2. Jakarta: Trubus Agriwidya; 2000. p. 106-11. 14. Kecubung atasi asma dan ketombe. [Online]. 2002 [cited 2013 Nov 31]; Available
from:
URL:http://www.sinarharapan.co.id/iptek/kesehatan/2083/024/kes4.html 15. Sutjipto, Sugiarso S, Sihotang H, Soeharso. Datura metel L. In: Sudiono, Syamsuhidayat SS. Inventaris tanaman obat indonesia jilid 1. Jakarta: Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan; 2000. p. 91-2 16. Mycheck MJ, Harvey RA, Champe PC, Fisher BD, editors. Farmakologi ulasan bergambar. Jakarta: Widya Medika; 2001. p. 344-5. 17. Morfologi, anatomi, dan fisiologi kecubung. [Online]. [ 2004?] [cited 2013 Nov 15]; Available from: URL:http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?id=226 18. Prawito, SP. Cosmeceuticals anti ketombe. In; Wasitatmaatmadja SM, Rata IGAK, editors. Cosmeuceuticals. Jakarta : 2001. P.41-9 19. Handoko RP. Dermatitis seboroik penatalaksanaan. In: Tjarta A, Sularsito SA, Kurniati DD, Rihatmaja R, editors. Metode diagnostik dan penatalaksanaan Psoriasis dan Dermatitis Seboroik. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2003. p.71-80.
20. Cardin C. Isolated dandruff. In : Baran R, Maibach HI,editors. Textbook of cosmetic dermatology.2nd ed. London : Martin Dunitz; 1998. P.193-200 21. Bramono K. Pitiriasis sika / etiopatogenesis. In; Wasitaatmadja SM, Menaldi SL, Widaty S, editors. Kesehatan dan keindahan rambut. Jakarta: kelompok studi dermatologi kosmetik Indonesia, 2002;p. 1-11. 22. Plowing G, Jansen T. Seborrhea Dermatitis. In: Freed beg IM, editor. Dermatology in general medicine. New York: McGraw-Hill Book, 2003; p. 1198-204. 23. Wijaya, L. Pengaruh jumlah Pityrosporum ovale dan kadar sebum terhadap kejadian ketombe (kasus pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro semester VII). Laporan penelitian. Tesis bagian / SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK UNDIP RSUP Dr. Kariadi Semarang; 2001.p.5-13. 24. Cardin C. Isolated Dandruuff. In: Baran R, Maibach HI, ed. Cosmetic dermatology. London: Martin Dunitz, 193-9. 25. Charles, Crutchfield, lewis EJ, Zelickson BD. The highly effective use of topical zinc pyrithione in the treatment of psoriasis. [Online].1997 [citeed2007Nov11] ; Avalable from : URL : http//www. dermatology. cdlib.org/DOJvol3num1 / zinc /zinc.html. 26. Ong C.Y., Ling, S.K., Ali, R.M., Chee, F.C., Samah, Z.A., Ho, A.S., Teo, S.H., and Lee, H.B., 2009, Systematic Analysis of In Vitro Photo-Cytotoxic Activity in Extracts from Terrestrial Plants in Peninsula Malaysia for Photodynamic Therapy, J. Photochem. Photobiol. B., Sep 2009, 4, 96 (3): 216-222.
27. The Scientific Commite on Cosmetic Products and non-Food Products Intended For Cosumers Opinion Concerning Zinc Pyrithione. Di dapat dari : http/europa/comm.//food/fs/sc/sccp/out225en.pdf 28. DeAngelis YM., Gemmer CM, Kaczvinsky JR , Kenneally DC, Schwartz JR,Dawson TL. Three Etiologic Facets of Dandruff and Seborrheic Dermatitis: Malassezia Fungi, Sebaceous Lipids, and Individual Sensitivity. Journal of Investigative Dermatology Symposium Proceedings; 2004 September
20;
Cincinnati,
Ohio.
USA:
The
Procter
and
Gamble
Company;2005. 29. Bahry B, Setiabudy R. Obat jamur. In: Ganiswara SG, setiabudy R, Suytatna FD, Purwantyastuti, nafrialdi. Farmaklogi dan terapi. 4th ed. Jakarta: bagian Farmakologi FKUI;1995.p.562-3 30. Wakidi. PemasyarakatanTanamanObatKeluarga “TOGA” Unt uk Mendukung Penggunaan
Sendiri
“Self
Medication”.
www.usudigititallibrary.com [29 Maret 2011]. 2003
Diakses
dari
http://