Suparlan, Parsudi, (2004), Hubungan Antar Sukubangsa, Indonesia: YPKIK
Bernard Raho,Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007. hlm. 54
Fred. Schwarz, 1960. You Can Trust the Communists. New Jersey: Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs.page. 71
J.S. Furnivall, Colonial Policy and Practice (London: Cambridge University Press, 1948) pp.303-12
Ibrahim Saad, Competing Identities in a Plural Society (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1981) p. 8.
Sosiologi untuk SMA, penerbit PT.Pratama Mitra Aksara
Kun Maryati dan Juju Suryawati. 2007. Sosiologi untuk SMA dan MA kelas XI. Jakarta : ESIS.
Barth, Fredrik, 1969, "Introduction". Dalam Fredirk Barth (ed), Ethnic Groups and Boundaries. Boston: Litle, Brown, and Co. hal 9-38.
Suparlan, Parsudi, 1998, "Konflik Antara Orang Dayak dan Orang Madura". Wacana Antropologi, Vol. 2, No. 7-9. Asosiasi Antroplogi Indonesia.
KERUSUHAN SAMBAS
Desi Annisa Putri
Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Komputer Indonesia, Jalan Dipatiukur No. 112-114, Bandung, 40132, Indonesia
[email protected]
Abstrak
Indonesia mencatat puluhan bahkan ratusan perselisihan antar kelompok etnik sejak berdirinya. Meskipun demikian hanya beberapa yang berskala luas dan besar. Selain konflik antara etnik-etnik yang digolongkan asli Indonesia dengan etnis Cina yang laten terjadi, konflik antar etnik yang terbesar diantaranya melibatkan etnik Madura dengan Etnik Dayak di Kalimantan yang terkenal dengan tragedi Sambas dan tragedi Sampit. Konflik-konflik dalam skala lebih kecil terjadi hampir setiap tahun di berbagai tempat di penjuru tanah air. Tentunya sebagaimana konflik lain, mencari akar penyebab konflik antar etnik merupakan kunci dalam upaya meredam konflik dan mencegah terulangnya kembali konflik serupa. Berbagai perspektif telah memberikan pandangannya, baik itu perspektif politik, ekonomi, sosiologi, antropologi, psikologi, hukum, dan lainnya. Berbagai sebab konflik telah pula diidentifikasi. Salah satu sebab yang sering ditemukan dalam konflik antar etnik adalah prasangka antar etnik. Konflik bisa disebabkan oleh suatu sebab tunggal. Akan tetapi jauh lebih sering konflik terjadi karena berbagai sebab sekaligus. Kadangkala antara sebab yang satu dengan yang lain tumpang tindih sehingga sulit menentukan mana sebenarnya penyebab konflik yang utama.
Kata Kunci: Konflik, Melayu, Dayak, Madura
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tulisan ini adalah mengenai konflik antar sukubangsa yang telah terjadi di Kabupaten Sambas antara sukubangsa atau orang Melayu dan orang Dayak disatu pihak dengan orang Madura di pihak lain. Konflik antara orang melayu dengan orang madura telah terjadi pada tahun 1999, yang merupakan sebuah konflik yang pertama terjadi dan yang terakhir. Karena setelah konflik tersebut berakhir orang-orang Madura terusir dari wilayah Kabupaten Sambas. Sedangkan konflik antara orang Dayak dan Madura telah berlangsung selama 11 kali sejak tahun 1962 yang berakhir pada tahun 1999. Konflik pada tahun 1999 terjadi pada saat sedang berlangsungnya konflik antara orang melayu dengan orang Madura.
Konflik antar sukubangsa terlahir dari dan ada dalam wadah hubungan antar sukubangsa. Hakekat dari corak hubungan antar sukubangsa yang bersangkutan merupakan penentu dari terjadi atau tidak terjadinya konflik antar sukubangsa. Dari kasus-kasus konflik antar sukubangsa di Ambon, Poso, Kalimantan Tengah, dan diberbagai tempat lainnya di Indonesia dapat disimpulkan bahwa konflik antar sukubangsa muncul dari kompetisi untuk memperebutkan sumber-sumber daya setempat yang dilakukan oleh individu-individu yang merupakan anggota komuniti-komuniti sukubangsa pendatang. Konflik antar individu tersebut berkembang menjadi konflik antar sukubangsa karena salah satu pihak mengaktifkan kesukubangsaan untuk solidaritas kelompoknya guna mengalahkan pihak lainnya, sehingga pihak lainnya tersebut mau tidak mau akan harus akan mengimbanginya dengan mengaktifkan juga kesukubangsaannya.
Tulisan ini berusaha untuk menunjukkan bahwa konflik antar sukubangsa yang terjadi di Kabupaten Sambas antara orang Melayu dan Dayak dengan orang Madura adalah produk dari corak hubungan antar sukubangsa Melayu dengan Madura dan antar sukubangsa Dayak dengan Madura. Melalui tulisan ini juga ingin ditunjukan penyajian deskripsi konflik antara orang Melayu dengan orang Madura dan antara orang Dayak dengan orang Madura di kabupaten Sambas. Tulisan ini akan diakhiri dengan penyelesaian masalah antara orang Melayu dan Dayak dengan orang Madura.
ISI
Kajian Pustaka
Teori Konflik
Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula.
Teori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional. Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional.
Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
Masyarakat Majemuk
John Sydenham Furnivall termasuk orang yang pertama kali menyebut Indonesia masuk ke dalam kategori masyarakat majemuk (plural society). Masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat di mana sistem nilai yang dianut berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya membuat mereka kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain.
Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri atas kelompok-kelompok, yang tinggal bersama dalam suatu wilayah, tetapi terpisah menurut garis budaya masing-masing. Kemajemukan suatu masyarakat patut dilihat dari dua variabel yaitu kemajemukan budaya dan kemajemukan sosial. Kemajemukan budaya ditentukan oleh indikator-indikator genetik-sosial (ras, etnis, suku), budaya (kultur, nilai, kebiasaan), bahasa, agama, kasta, ataupun wilayah. Kemajemukan sosial ditentukan indikator-indikator seperti kelas, status, lembaga, ataupun power. Skema dalam Gambar 12 dapat digunakan untuk mempermudah peta pembicaraan masyarakat majemuk.
Integrasi Sosial
Integrasi sosial secara sosiologis adalah proses penyesuaian diantara unsur-unsur sosial yang saling berbeda seperti norma, nilai, pranata, sistem religi, peranan sosial, lembaga sosial dan lain sebagainya yang menghasilkan pola kehidupan yang sesuai dan serasi yang fungsinya bagi masyarakat.
Dalam KBBI integrasi diartikan pembauran sesuatu yang tertentu hingga menjadi kesatuan yang utuh dan bulat. Integrasi sosial adalah proses penyesuaian unsur-unsur yang berbeda dalam masyarakat sehingga menjadi satu kesatuan. Unsur-unsur yang berbeda tersebut dapat meliputi ras, etnis, agama bahasa, kebiasaan, sistem nilai dan lain sebagainya.
Sukubangsa dan Kesukubangsaan
Sukubangsa dilihat sebagai golongan askriptif, golongan sosial yang tidak begitu saja oleh seseorang, yaitu "yang mengklasifikasikan seseorang berdasarkan atas identitasnya yang paling umum dan mendasar, yang berkaitan dengan asal muasal dan latar belakangnya". Sebagai golongan askriptif, sukubangsa mewujudkan dirinya dalam bentuk individu atau orang-perorang dan dalam bentuk kelompok serta masyarakat. Setiap orang dan setiap masyarakat mempunyai kebudayaan. Dan setiap masyarakat sukubangsa mempunyai kebudayaan sukubangsa. Kebudayaan dilihat sebagai blueprint atau pedoman bagi kehidupan, sebagai perangkat sistem-sistem acuan atau model kognitif dan afektif yang beroperasi pada berbagai tingkat perasaan dan kesadaran.
Keyakinan keagamaan selalu menempel pada dan ada dalam kesukubangssaan seseorang dan dalam kelompok sukubangsa. Karena itu keyakinan keagamaan biasanya memperkuat kesukubangsaan yang mempertegas batas-batas kesukubangsaannya dengan kesukubangsaan dari orang atau kelompok sukubangsa yang lainnya. Tetapi sesuatu keyakinan keagamaan yang sama dapat juga dimiliki oleh orang dan kelompok atau kelompok-kelompok sukubangsa yang berbeda-beda. Sehingga, keyakinan keagamaan di satu sisi dapat memperkuat kesukubangsaan dari satu kelompok sukubangsa dalam hubungannya dengan sukubangsa lain, tetapi dari sisi lainnya keyakinan keagamaan dapat juga dapat meredupkan kesukubangsaan dari kelompok-kelompok sukubangsa yang mempunyai keyakinan keagamaan yang sama.
Pembahasan
Orang Madura di Kabupaten Sambas
Orang Madura telah datang dan tinggal di Kalimantan Barat sejak tahun 1892. Sebelum perang dunia II, keberadaan mereka secara sosial dan ekonomi di Kalimantan Barat tidak mempunyai arti penting. Karena, jumlah mereka itu kecil dan karena posisi sosial mereka yang rendah yang pada umumnya adalah buruh kasar. Pada masa sekarang, sebelum terjadinya kerusuhan tahun 1999, orang-orang Madura hidup di hampir seluruh pelosok wilayah kabupaten Sambas, yaitu didesa-desa dan didusun-dusun maupun didaerah perkotaan.
Orang Madura hidup mengelompok diantara sesama orang Madura. Baik yang hidup dalam komuniti-komuniti yang berupa dusun yang secara homogen dihuni oleh orang-orang Madura dan yang terpisah sama sekali dari kehidupan orang-orang Melayu atau Dayak, maupun yang hidup dalam komuniti-komuniti yang kesemua warganya adalah orang Madura yang berada dalam lingkungan wilayah desa orang Melayu atau desa orang Dayak.
Menurut orang-orang Melayu, Dayak, Cina, Bugis, Jawa, Batak, dan semua anggota sukubangsa yang tinggal di kabupaten Sambas, baik yang tinggal di daerah perkotaan maupun yang tinggal di daerah pedesaan, hidup berdampingan dengan orang Madura hanya merugikan saja. Kerugian harta benda atau kehormatan dan harga diri. Orang-orang Melayu merasa bahwa orang-orang Madura tidak menghargai harkat martabat mereka sebagai manusia dan sebagai penduduk setempat, dan orang Madura juga tidak memandang sebelah mata kepada adat istiadat Melayu yang mereka junjung tinggi.
Oleh warga masyarakat setempat yang berasal dari berbagai sukubangsa, orang-orang Madura dikenal sebagai sebuah kelompok sukubangsa yang kuat solidaritas sosial di antara sesamanya dalam menghadapi orang luar yang bukan orang Madura. Menurut mereka, bila seorang Madura mengalami kesulitan karena yang bersangkutan bertengkar dengan warga setempat yang menjadi tetangganya maka orang-orang Madura lainnya yang menjadi sesama warga komunitinya akan membelanya sehingga orang Madura yang bersangkutan tersebut memenangkat pertengkaran atau konflik yang terjadi.
Kerusuhan Sambas dan Pemicunya
Frustasi sosial yang meluas dan mendalam karena merasa bahwa kehidupan mereka itu didominasi secara curang dan sewenang-wenang dan dengan cara kekerasan oleh orang Madura telah membuat orang Melayu hanya mampu menggerutu dan mengeluh. Tidak seorang pun di antara mereka, sebelum kerusuhan Melayu-Madura itu terjadi, yang berani menantang dominasi tersebut. Mereka hanya ikut bersorak sorai di dalam hati pada waktu terjadi kerusuhan Dayak-Madura di Sanggau Ledo pada tahun 1996-1997, dimana orang-orang Madura yang terbunuh cukup banyak jumlahnya. Kebudayaan dan kesukubangsaan orang Dayak berbeda dari yang dipunyai olehn orang Melayu. Corak kesukubagsaan orang Dayak mirip dengan corak kesukubangsaan yang dipunyai oleh orang Madura. Kebudayaan orang Dayak juga mirip dengan kebudayaan orang Madura. Orang Dayak mampu untuk melawan kekerasan orang Madura dengan kekerasan dan mampu untuk melawan kekejaman dengan kekejaman yang sama atau bahkan lebih kejam dari pada yang telah dilakukan oleh orang-orang Madura.
Menurut keterangan sejumlah tokoh Dayak dan tokoh Madura, antara tahun 1962-1999 telah terjadi kerusuhan berdarah sebanyak 11 kali. Kerusuhan dengan banyaknya korban yang terbunuh dan harta benda yang hancur yang diderita oleh kedua belah pihak adalah kerusuhan yang terjadi pada tahun 1996-1997. Pada setiap konflik berdarah antara Dayak-Madura yang telah terjadi selama 11 kali tersebut, konflik selalu dihentikan dengan sebuah upacara perjanjian damai yang diwakili oleh para tokoh dari masing-masing pihak. Tetapi setiap perjanjian perdamaian Dayak-Madura yang telah dibuat sebanyak 11 kali tersebut selalu dilanggar oleh orang Madura yang dengan secara khilaf melukai atau membunuh orang Dayak dalam suatu persengketaan.
Berbeda dengan konflik antara orang Dayak dengan orang Madura yang telah terjadi sebanyak 11 kali, maka konflik antara orang Melayu dengan orang Madura hanya terjadi sekali yang berupa konflik berdarah antar dua sukubangsa ini secara besar-besaran dan menyeluruh serta habis-habisan.
Pada tanggal 19 Januari 1999, tepat pada hari Raya Idul Fitri, warga masyarakat desa Parit Setia, kecamatan Jawai diserang oleh kira-kira 200an orang Madura dari desa Sarimakmur, kecamatan Tebas yang bertetangga dengan kecamatan Jawai. Tiga orang penduduk desa Parit Setia dibunuh dan sejumlah lainnya luka-luka. Dua orang Polisi yang menghadang orang-orang Madura tersebut dibuat tidak berdaya dan semua senjata mereka dirampas. Peristiwa "Parit Setia" tersebut bermula dari peristiwa yang telah terjadi sebelumnya, yaitu pada tanggal 17 Januari 1999, dimana seorang pencuri asal Madura dari desa Sarimakmur, kecamatan Tebas, tertangkap basah oleh tuan rumah pada waktu sedang mengumpulkan barang-barang di rumah dari penduduk setempat setelah mebongkar pintu rumah tersebut. Pencuri sial tersebut dikeroyok, ditangkap, dan dipukuli sampai babak belur oleh tuan rumah yang kecurian dan oleh para tetangganya. Pada pagi harinya, tanggal 18 Januari 1999, pencuri tersebut diserahkan kepada Pos Polisi setempat. Petugas kepolisian di Pos Polisi membawa si pencuri ke Puskemas untuk diobati luka-lukanya, dan setelah itu disuruh pulang. Alasannya karena Polisi tersebut tidak berani menanggung resiko kalau Pos Polisi diserang dan dihancurkan oleh orang-orang Madura lainnya.
Pada tanggal 21 Januari 1999 seorang preman Madura yang naik kendaraan umum dari kota Singkawang ke arah kota Sambas tidak mau membayar biaya angkutan pada waktu dia berhenti di dekat desa Semparuk. Merasa sakit hati karena dipelototi oleh kenek dan supir yang orang Melayu, si preman Madura tersebut pulang ke rumah mengambil clurit. Dengan berbekal clurit dia menghadang kendaraan umum tersebut yang kembali ke arah kota Singkawang, menyuruh kendaraan tersebut berhenti dan menclurit si kenek. Pada jam 01.00 tanggal 22 Januari 1999, keesokan harinya, orang-orang Melayu di desa Semparuk yang sebagian besar adalah para pemuda dan remaja menyerang rumah si preman Madura yang bernama Rodi bin Muharap. Tetapi Rodi bin Muharap tidak ditemukan dan sebaliknya seorang pemuda Melayu meninggal dunia karena ditembak dengan menggunakan senjata lantak oleh orang-orang Madura teman Rodi.
Kerusuhan berdarah antara orang Melayu dengan orang Dayak nampaknya tidak cukup bagi orang Madura. Karena mereka itu masih mencari musuh lainnya, yaitu orang Dayak yang telah menjadi musuh bebuyutan mereka. Pada tanggal 16 Maret 1999, pukul 15.00 waktu setempat, di dusun Parakan Tanjung (yang merupakan dusun yang komunitinya secara homogen terdiri atas orang-orang Madura), dari desa Harapan, kecamatan Pemangkat, sekelompok orang Madura mencegat sebuah kendaraan umum yang melintas di jalan raya di tepi dusun tersebut. Kendaraan umum tersebut dalam perjalanan mengangkut buruh dan pekerja dari daerah kecamatan kota Sambas ke arah kota Singkawang. Dalam kendaraan umum tersebut terdapat dua orang Melayu, tiga orang Jawa dan 26 orang Dayak. Kesemua penumpang dapat melarikan diri dan bersembunyi di semak dan belukar di tepi hutan dan kemudian diselamatkan oleh orang-orang Melayu di desa Melayu yang berdekatan, kecuali satu orang Dayak yang dapat ditangkap oleh orang-orang Madura dan dibunuh di tempat itu juga. Orang Dayak yang dibunuh oleh orang Madura tersebut, Martinus amat bin Paran, adalah warga desa Selawit, kecamatan Salamantan, yang terletak di sebelah timur kota Singkawang.
Situasi masyarakat kabupaten Sambas betul-betul rusuh. Petugas keamanan dari Polri dan Brimob serta PHH (pasukan Anti Huru Hara dari ABRI) tidak mampu untuk mengatasi kerusuhan dan pembunuhan serta pembakaran dan penghancuran rumah-rumah orang Madura. Orang-orang Madura di timur kota Singkawang, yaitu di daerah Bengkayang dan sekitarnya, habis dibunuh oleh orang-orang Dayak atau lari mengungsi ketempat-tempat penampungan pengungsian dan berada dibawah perlindungan petugas keamanan. Jumlah pengungsi Madura yang tercatat di tempat-tempat penampungan pengungsi di Pontianak dan di kota Singkawang ada 37.000 orang.
Penyelesaian Masalah
Pemerintah menganggap konflik telah selesai ketika para pengungsi akibat konflik telah dipindah lokasi pemukiman baru Tebang Kacang. Permasalahan-permasalahan kejelasan hak para pengungsi dan korban konflik etnis, terutama bagi etnis yang kalah, hingga kini masih buram. Pemerintah daerah tidak mau secara terbuka membicarakan kasus-kasus tersebut secara terbuka. Di lain sisi muncul dugaan bahwa pemerintah daerah mencoba untuk membatasi ruang dialog antar etnis pada isu-isu tertentu karena alasan sensitivitas isu yang ditakutkan akan menganggu stabilitas keamanan.
Salah satu dampak yang timbul ditingkat publik adalah adanya penolakan-penolakan dan keengganan sebagian masyarakat di Kalbar untuk membicarakan isu-isu etnis secara terbuka untuk mencari penyelesaiannya. Atau misalnya penolakan masyarakat Melayu di Sambas yang hingga kini menolak kembalinya masyarakat Madura di wilayah Sambas. Oleh pemerintah sendiri kasus konflik antar sukubangsa ini dinyatakan telah selesai dengan dipindahkannya para pengungsi ke tempat pemukiman baru (Tebang Kacang). Namun permasalahannya tidak sesederhana itu. Banyak persoalan dilapangan yang belum terselesaikan hingga saat ini. Seperti misalnya bagaimana hak-hak milik para pengungsi di daerah asal (Sambas) yang telah ditinggalkan dan pemulihan kehidupan mereka dilokasi pengungsian yang menurut mereka lebih menyerupai lokasi pengucilan dari kelompok masyarakat lainnya.
KESIMPULAN
Kerusuhan Sambas adalah pecahnya kerusuhan antar etnis di wilayah Kabupaten Sambas dan sekitarnya. Kerusuhan di Sambas sudah berlangsung sekitar sebelas kali sejak 1962, namun yang terakhir ini (tahun 1999) merupakan terbesar dan akumulasi dari kejengkelan Melayu dan suku Dayak terhadap ulah oknum-oknum pendatang dari Madura. Akibatnya, orang-orang keturunan Madura yang sudah bermukim di Sambas sejak awal 1900-an itu ikut menanggung dosa perusuh. Korban akibat kerusuhan Sambas terdiri dari, 1.189 orang tewas, 168 orang luka berat, 34 orang luka ringan, 3.833 rumah dibakar dan dirusak, 12 mobil dan 9 motor dibakar/dirusak, 8 masjid/madrasah dirusak/dibakar, 2 sekolah dirusak, 1 gudang dirusak, dan 29.823 warga Madura mengungsi. Pemerintah menganggap kasus konflik antar sukubangsa ini selesai dengan dipindahkannya pengungsi ke tempat pemukiman baru (Tebang Kacang). Tetapi tidak sesederhana itu, banyak persoalan yang belum terselesaikan. Ketakutan membentuk pola pikir elit etnis dan pemerintah daerah untuk menyelesaikan masalah antar sukubangsa ini. Elit etnis segera didatangkan untuk menenangkan massanya segera ketika ada kasus-kasus yang kadang tidak berkaitan dengan etnis sekalipun.
DAFTAR PUSTAKA
Barth, Fredrik, 1969, "Introduction". Dalam Fredirk Barth (ed), Ethnic Groups and Boundaries. Boston: Litle, Brown, and Co. hal 9-38.
Bernard Raho,Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007. hlm. 54
Fred. Schwarz, 1960. You Can Trust the Communists. New Jersey: Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs.page. 71
Ibrahim Saad, Competing Identities in a Plural Society (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1981) p. 8.
J.S. Furnivall, Colonial Policy and Practice (London: Cambridge University Press, 1948) pp.303-12.
Kun Maryati dan Juju Suryawati. 2007. Sosiologi untuk SMA dan MA kelas XI. Jakarta : ESIS
Sosiologi untuk SMA, penerbit PT.Pratama Mitra Aksara
Suparlan, Parsudi, 1998, "Konflik Antara Orang Dayak dan Orang Madura". Wacana Antropologi, Vol. 2, No. 7-9. Asosiasi Antroplogi Indonesia.
Suparlan, Parsudi, 2004. Hubungan Antar Sukubangsa, Indonesia: YPKIK