Laboratorium Ilmu Kesehatan Mata
Laporan Kasus
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
KERATOKONJUNGTIVITIS
Oleh :
Elsa Indah Suryani NIM. 06.55356.00299.09
Pembimbing :
dr. Yulia Anita, Sp.M
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik SMF/Laboratorium Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman 2012 0
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar belakang
Keratokonjungtivitis yang merupakan peradangan pada kornea dan konjungtiva yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor dan seringkali mengalami kekambuhan. Keratoconjunctivitis sicca digunakan ketika k etika peradangan per adangan karena kekeringan. ("Sicca" berarti "kering" dalam konteks medis.) Hal ini terjadi dengan 20% pasien RA; Istilah " Vernal keratokonjunctivitis "(VKC) digunakan untuk merujuk keratokonjungtivitis terjadi
di
musim
keratokonjunctivitis
semi , adalah
dan salah
biasanya satu
dianggap
karena
manifestasi
dari
alergen; atopi;
Atopik Epidemi
keratokonjunctivitis disebabkan oleh infeksi adenovirus; Keratokonjungtivitis limbus superior diduga disebabkan oleh trauma mekanik.
1
Konjungtivitis sendiri yang merupakan peradangan pada konjungtiva merupakan penyakit mata yang paling sering di dunia dan menyerang semua usia. 2% dari seluruh kunjungan ke dokter adalah untuk pemeriksaan mata dengan 54% nya adalah antara konjungtivitis atau abrasi kornea. Untuk konjungtivitis yang infeksius, 42% sampai 80% adalah bakterial, 3% chlamydial, dan 13% sampai 70% adalah viral. Konjungtivitis viral menggambarkan hingga 50% dari seluruh konjungtivitis akut di poli umum. konjungtivitis dapat pula bertambah parah menjadi infeksi akut yang mengganggu penglihatan apabila telah terjadi komplikasi seperti adanya keterlibatan kornea.
1-7
Insidensi keratokonjungtivitis relatif kecil, yaitu sekitar 0,l%--0,5% dari pasien dengan masalah mata yang berobat, dan hanya 2% dari semua pasien yang diperiksa di klinik mata. Hal yang perlu mendapat perhatian ialah bagaimana cara penatalaksanaan kasus ini agar dapat mengalami penyembuhan maksimal dan mencegah terjadinya rekurensi ataupun komplikasi yang dapat mengurangi kualitas hidup.
1
1.2.
Tujuan
Adapun tujuan penulisan laporan kasus ini ialah untuk meningkatkan keilmuan dokter muda agar dapat memahami anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, penetapan diagnosis kerja maupun diagnosis banding serta penatalaksanaan hingga prognosis pasien keratokonjungtivitis.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.
A
2.1.
Anatomi dan Fisiologi
2.1.1. Kornea
Kornea adalah jaringan transparan yang merupakan selaput bening mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata sebelah depan dan terdiri dari 5 lapisan. lapisan tersebut antara lain lapisan epitel (yang bersambung dengan epitel konjungtiva bulbaris), lapisan Bowman, stroma, membran Descement dan lapisan endotel. Batas antara sklera dan kornea disebut limbus kornea. Kornea juga merupakan lensa cembung dengan kekuatan refraksi sebesar + 43 dioptri. Jika terjadi oedem kornea akan bertindak sebagai prisma yang dapat menguraikan sinar sehingga penderita akan melihat halo.
1,8
Lapisan epitel Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, sel muda terdorong kedepan menjadi lapisan sel poligonal dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng. Sel basal berikatan erat dengan sel basal disampingnya dan sel poligonal didepannya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa yang merupakan barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan menghasilkan erosi rekuren. Epitel berasal dari ektoderm permukaan.
Membran bowman Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.
Jaringan sroma Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan yang lainnya. Pada permukaan terlihat anyaman yang teratur, sedang dibagian 3
perifer serat kolagen ini bercabang. Terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblast yang terletak diantara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
Membran Descement Merupakan membran aseluler dan merupakan batas belakang stroma kornea yang bersifat sangat elastis dan tebalnya sekitar 40 μm.
Endotel Berasal dari mesotelium, bentuk heksagonal, besar 20-40 μm. Endotel melekat pada membran descement melalui hemidoson dan zonula okluden. Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensorik terutama berasal dari saraf siliar
longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran bowman melepaskan selubung schwannya. Bulbus krause untuk sensasi dingin ditemukan diantaranya. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan. Sumber nutrisi kornea adalah pembuluh-pembuluh darah limbus, humour aquos dan air mata. Kornea superfisial juga mendapat oksigen sebagian besar dari atmosfir. Transparansi kornea dipertahankan oleh strukturnya yang seragam, avaskularitas dan deturgensinya.
Gambar 1. Anatomi Kornea
8
Gambar 2. Anatomi Konjungtiva 4
2.1.2. Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi kelopak (persambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus. Konjungtiva terdiri dari tiga bagian:
8
1. Konjungtiva palpebralis (menutupi permukaan posterior dari palpebra). 2. Konjungtiva bulbaris (menutupi sebagian permukaan anterior bola mata). 3. Konjungtiva forniks (bagian transisi yang membentuk hubungan antara bagian posterior palpebra dan bola mata) Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada fornices superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera dan menjadi konjungtiva bulbaris. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan melipat berkali-kali. Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. (Duktus-duktus kelenjar lakrimalis bermuara ke forniks temporal superior.) Kecuali di limbus (tempat kapsul Tenon dan konjungtiva menyatu sejauh 3 mm), konjungtiva bulbaris melekat longgar ke kapsul tenon dan sklera di bawahnya. Struktur epidermoid kecil semacam daging (karunkula) menempel superfisial ke bagian dalam plika semilunaris dan merupakan zona transisi yang mengandung elemen kulit dan membran mukosa.
8
Konjungtiva forniks struktumya sama dengan konjungtiva palpebra. Tetapi hubungan dengan jaringan di bawahnya lebih lemah dan membentuk lekukan-lekukan. Juga mengandung banyak pembuluh darah. Oleh karena itu, pembengkakan pada tempat ini mudah terjadi bila terdapat peradangan mata. Jika dilihat dari segi histologinya, lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel silinder bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, di atas karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel skuamosa. Sel-sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau 5
oval yang mensekresi mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata secara merata di seluruh prekornea. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat daripada sel-sel superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen.
8
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial)dan satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi folikuler. Lapisan fibrosa tersusun dari Jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar airmata asesori (kelenjar Krause dan Wolfring), yang struktur dan funginya mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar Krause berada di forniks atas, dan sedikit ada di forniks bawah. Kelenjar Wolfring terletak di tepi atas tarsus atas.
2.2.
8
Definisi
Keratokonjungtivitis adalah peradangan ("-itis") dari kornea dan konjungtiva. Ketika
hanya
kornea
yang
meradang,
hal
itu
disebut
keratitis,
ketika
1,8
hanya konjungtiva yang meradang, hal itu disebut konjungtivitis.
2.3.
Etiologi
Konjungtivitis dapat diakibatkan oleh virus, bakteri, fungal, parasit, toksik, chlamydia, kimia dan agen alergik. Konjungtivitis viral lebih sering terjadi daripada konjungtivitis bakterial. Insidensi konjungtivitis meningkat pada awal musim semi. Etiologi konjungtivitis dapat diketahui berdasarkan klinis pasien. Pada tingkat seluler terdapat infiltrat seluler dan eksudat pada konjungtiva. Etiologi keratitis superfisial antara lain adalah infeksi (bakteri, viral, dan fungal), degeneratif (dry eye, defek 6
neurotropik atau berhubungan dengan penyakit sistemik), toksik dan alergi. Morfologi dan distribusi lesi pada kornea dapat membantu mengetahui penyebab keratitis. Ada beberapa penyebab potensial keratokonjungtivitis yaitu kekeringan, infeksi virus, manifestasi dari atopi atau allergen maupun trauma mekanik.
2.4.
Klasifikasi
Keratokonjunctivitis
sicca
digunakan
ketika
peradangan
karena
kekeringan. ("Sicca" berarti "kering" dalam konteks medis.) Hal ini terjadi dengan 20% pasien RA.
Istilah
" Vernal
keratokonjunctivitis "(VKC)
keratokonjungtivitis
terjadi
di
musim
digunakan
semi,
dan
untuk
biasanya
merujuk dianggap
karena alergen.
Atopik keratokonjunctivitis adalah salah satu manifestasi dari atopi.
Epidemi keratokonjunctivitis disebabkan oleh adenovirus infeksi.
Keratokonjungtivitis limbus superior diduga disebabkan oleh trauma mekanik
2.5.
Patofisiologi
Konjungtivitis alergika disebabkan oleh respon imun tipe 1 terhadap alergen. Alergen terikat dengan sel mast dan reaksi silang terhadap IgE terjadi, menyebabkan degranulasi dari sel mast dan permulaan dari reaksi bertingkat dari peradangan. Hal ini menyebabkan pelepasan histamin dari sel mast, juga mediator lain termasuk triptase, kimase, heparin, kondroitin sulfat, prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien. histamin dan bradikinin dengan segera menstimulasi nosiseptor, menyebabkan rasa gatal, peningkatan konjungtiva.
permeabilitas
vaskuler,
vasodilatasi,
kemerahan,
dan
injeksi
2,5,8
Konjungtivitis infeksi timbul sebagai akibat penurunan daya imun penjamu dan kontaminasi eksternal. Patogen yang infeksius dapat menginvasi dari tempat yang berdekatan atau dari jalur aliran darah dan bereplikasi di dalam sel mukosa konjungtiva. Kedua infeksi bakterial dan viral memulai reaksi bertingkat dari peradangan leukosit 7
atau limfositik meyebabkan penarikan sel darah merah atau putih ke area tersebut. Sel darah putih ini mencapai permukaan konjungtiva dan berakumulasi di sana dengan berpindah
secara
permeabilitas.
mudahnya
melewati
kapiler
yang
berdilatasi
dan
tinggi
2,3,5
Pertahanan tubuh primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel yang menutupi konjungtiva. Rusaknya lapisan ini memudahkan untuk terjadinya infeksi. Pertahanan sekunder adalah sistem imunologi ( tear-film immunoglobulin dan lisozyme) yang merangsang lakrimasi.
2.6.
2
Diagnosis
Gejala penting konjungtivitis adalah sensasi benda asing, yaitu tergores atau panas, sensasi penuh di sekitar mata, gatal dan fotofobia. Sensasi benda asing dan tergores atau terbakar sering berhubungan dengan edema dan hipertrofi papiler yang biasanya menyertai hiperemi konjungtiva. Sakit pada iris atau corpus siliaris mengesankan terkenanya kornea. Tanda penting konjungtivitis adalah hiperemia, berair mata, eksudasi, pseudoptosis, hipertrofi papiler, kemosis (edem stroma konjungtiva), folikel (hipertrofi lapis limfoid stroma), pseudomembranosa dan membran, granuloma, dan adenopati pre-aurikuler.
8
Hiperemia adalah tanda paling mencolok pada konjungtivitis akut. Kemerahan paling nyata pada forniks dan mengurang ke arah limbus disebabkan dilatasi pembuluhpembuluh konjungtiva posterior. Warna merah terang mengesankan konjungtivitis bakteri dan keputihan mirip susu mengesankan konjungtivitis alergika. Berair mata (epiphora) sering mencolok, diakibatkan oleh adanya sensasi benda asing, terbakar atau gatal. Kurangnya sekresi airmata yang abnormal mengesankan keratokonjungtivitis sicca. Eksudasi adalah ciri semua jenis konjungtivitis akut. Eksudat berlapis-lapis dan amorf pada konjungtivitis bakterial dan dapat pula berserabut seperti pada konjungtivitis alergika, yang biasanya menyebabkan tahi mata dan saling melengketnya palpebra saat bangun tidur pagi hari, dan jika eksudat berlebihan agaknya disebabkan oleh bakteri atau klamidia. Pseudoptosis adalah turunnya palpebra superior karena infiltrasi ke 8
muskulus muller (M. Tarsalis superior). Keadaan ini dijumpai pada konjungtivitis berat. Misalnya Trachoma dan keratokonjungtivitis epidemika.
8
Hipertrofi papila adalah reaksi konjungtiva non-spesifik yang terjadi karena konjungtiva terikat pada tarsus atau limbus di bawahnya oleh serabut-serabut halus. Ketika berkas pembuluh yang membentuk substansi papila (selain unsur sel dan eksudat) sampai di membran basal epitel, pembuluh ini bercabang-cabang di atas papila mirip jeruji payung. Eksudat radang mengumpul di antara serabut-serabut dan membentuk tonjolan-tonjolan konjungtiva. Pada penyakit yang mengalami nekrosis (mis.,trachoma), eksudat dapat digantikan oleh jaringan granulasi atau jaringan ikat.
8
Bila papilanya kecil, konjungtiva umumnya tampak licin mirip beludru. Konjungtiva
papiler
merah
mengesankan
penyakit
bakteri
atau
klamidia
(mis.,konjungtiva tarsal merah mirip beludru adalah khas untuk trachoma akut). Infiltrasi nyata ke konjungtiva menghasilkan papilla besar dengan atap rata, poligonal, dan berwarna merah-keputihan. Pada tarsus superior papilla seperti ini mengesankan keratokonjungtivitis vernal dan konjungtivitis papiler besar dengan sensitivitas lensa kontak; pada tarsus inferior, mengesankan keratokonjungtivitis atopik. Papila besar dapat pula timbul di limbus, terutama di daerah yang biasanya terpapar saat mata dibuka (antara pukul 2 dan 4 dan antara pukul 8 dan 10). Di sini papila tampak berupa tonjolantonjolan gelatinosa yang dapat meluas sampai ke kornea. Papila limbus khas untuk keratokonjungtivitis vernal tetapi jarang pada keratokonjungtivitis atopi.
8
Kemosis dari konjungtiva sangat memberi kesan konjungtivitis alergik akut tapi dapat juga timbul pada konjungtivitis gonococcal atau meningococcal akut dan terutama pada konjungtivitis adenoviral. Kemosis dari konjungtiva bulbar terlihat pada pasien dengan trichinosis. Kadang-kadang, kemosis dapat muncul sebelum infiltrat seluler atau eksudasi terlihat.
8
Folikel terlihat pada kebanyakan kasus konjungtivitis virus. Pada semua kasus konjungtivitis klamidia kecuali konjungtivitis inklusi pada neonatus, pada beberapa kasus konjungtivitis parasitik, dan pada beberapa kasus konjungtivitis toksik yang disebabkan obat-obatan topikal seperti idoxuridine, dipivefrin, dan miotic. Foikel pada 9
forniks inferior dan pada batas tarsus mempunyai nilai diagnostik yang rendah, tapi saat terletak pada tarsus (terutama tarsus atas), konjungtivitis klamidial, viral, atau toksik (yang menyertai obat-obatan topikal) harus dicurigai. Folikel terdiri dari hiperplasia limfoid fokal berada dalam lapisan limfoid konjungtiva dan biasanya mengandung sentrum germinativum. Secara klinis, folikel dapat dikenali sebagai struktur bulat, putih atau abu-abu avaskuler. Dengan pemeriksaan slitlamp, pembuluh darah kecil dapat terlihat timbul dari batas folikel dan mengelilingi folikel.
8
Pseudomembran dan membran adalah hasil proses eksudatif dan berbeda derajatnya. Sebuah pseudomembran adalah pengentalan di atas permukaan epitel. Bila diangkat, epitel tetap utuh. Sebuah membran adalah pengentalan yang meliputi seluruh epitel dan jika diangkat akan meninggalkan permukaan yang kasar dan berdarah. Pseudomembran atau membran dapat menyertai keratokonjungtivitis epidemika, konjungtivitis herpes simplex virus primer, konjungtivitis streptokokal, difteri, cicatrical pemphigoid, dan eritema multiforme mayor. Juga mungkin timbul sebagai akibat buruk luka bakar kimiawi, khususnya basa.
8
Granuloma konjungtiva selalu mengenai stroma dan yang paling sering adalah chalazia. Penyebab endogen lain termasuk sarcoid, sifilis, cat-scratch disease, dan, yang jarang koksidiomikosis. Parinaud’s oculoglandular syndrome meliputi granuloma konjungtival dan nodus limfe periaurikuler yang menonjol, dan kelompok penyakit ini memerlukan pemeriksaan biopsy untuk menegakkan diagnosa.
8
Limfadenopati periaurikuler adalah tanda penting dari konjungtivitis. Nodus periaurikuler yang terlihat mencolok tampak pada Parinaud’s oculoglandular syndrome dan, yang jarang, pada epidemic keratoconjunctivitis. Nodus periaurikuler yang besar maupun kecil, kadang sedikit nyeri tekan, muncul pada konjungtivitis herpes simplex primer, keratokonjungtivitis epidemika, konjungtivitis inklusi, dan trachoma. Nodus periaurikuler yang kecil dan tidak nyeri tekan muncul pada demam faringokonjungtival dan konjungtivitis hemoragik akut. Kadang-kadang limfadenopati periaurikuler dapat terlihat pada anak dengan infeksi kelenjar meibomian.
8
10
Pemeriksaan mata awal termasuk pengukuran ketajaman visus, pemeriksaan eksternal dan slit-lamp biomikroskopi. Pemeriksaan eksternal harus mencakup elemen berikut ini:
8
·
Limfadenopati regional, terutama sekali preaurikuler
·
Kulit: tanda-tanda rosacea, eksema, seborrhea
·
Kelainan kelopak mata dan adneksa: pembengkakan, perubahan warna, malposisi, kelemahan, ulserasi, nodul, ekimosis, keganasan
·
Konjungtiva: bentuk injeksi, perdarahan subkonjungtiva, kemosis, perubahan sikatrikal, simblepharon, massa, secret
Slit-lamp biomikroskopi harus mencakup pemeriksaan yang hati-hati terhadap: ·
Margo palpebra: inflamasi, ulserasi, sekret, nodul atau vesikel, sisa kulit berwarna darah, keratinisasi
·
Bulu mata: kerontokan bulu mata, kerak kulit, ketombe, telur kutu
·
Punctum lacrimal dan canaliculi: penonjolan, secret
·
Konjungtiva tarsal dan forniks: Adanya papila, folikel dan ukurannya; perubahan sikatrikal, termasuk penonjolan ke dalam dan simblepharon; membran dan psudomembran, ulserasi, perdarahan, benda asing, massa, kelemahan palpebra
·
Konjungtiva bulbar/limbus: folikel, edema, nodul, kemosis, kelemahan, papila, ulserasi, luka, flikten, perdarahan, benda asing, keratinisasi
·
Kornea: Defek epithelial, keratopati punctata dan keratitis dendritik, filament, ulserasi, infiltrasi, termasuk infiltrat subepitelial dan flikten, vaskularisasi, keratik presipitat
·
Bilik mata depan: rekasi inflamasi, sinekia, defek transiluminasi
·
Corak pewarnaan: konjungtiva dan kornea
11
Gambar 3. Keratokonjungtivitis epidemika
Gambar 4. Keratokonjungtivitis alergi
Gambar 5. Keratokonjungtivitis limbus superior
Gambar 6. Keratokonjungtivitis vernalis
12
2.7.
Diagnosis Banding
Gejala subyektif Glaukoma dan obyektif akut PenurunanVisus +++ Nyeri ++/+++
Uveitis akut +/++ ++
Keratitis
K Bakteri
K. virus
K. alergi
+++ ++
-
-
-
Fotofobia
+
+++
+++
-
-
-
Halo
++
-
-
-
-
-
Eksudat
-
-
-/++
+++
++
+
Gatal
-
-
-
-
-
++
Demam
-
-
-
-
-/++
-
+ ++ +++ Midriasis nonrekatif Dangkal Tinggi
++ ++ Miosis iregular N Rendah
+++ ++ +/++ Normal/ miosis N N
+++ N
++ -/+ N
+ N
N N
N N
N N
Sekret
-
+
+
++/+++
++
+
Kelenjar preaurikular
-
-
-
-
+
-
Injeksi siliar Injeksi konjungtiva Kekeruhan kornea Kelainan pupil Kedalaman COA Tekanan intraokular
2.8.
Komplikasi
Kebanyakan konjungtivitis dapat sembuh sendiri, namun apabila konjungtivitis tidak memperoleh penanganan yang adekuat maka dapat menyebabkan komplikasi:
1
a. Blefaritis marginal hingga krusta akibat konjungtivitis akibat staphilococcus b. Jaringan parut pada konjungtiva akibat konjungtivitis chlamidia pada orang dewasa yang tidak diobati adekuat c. Keratitis punctata akibat konjungtivitis viral d. Keratokonus (perubahan bentuk kornea berupa penipisan kornea sehingga bentuknya menyerupai kerucut) akibat konjungtivitis alergi. e. Ulserasi kornea marginal, perforasi kornea hingga endoftalmitis dapat terjadi pada infeksi N. gonorrhoeae, N. kochii, N. meningitidis, H. aegypticus, S. aureus dan M. catarrhalis.
f.
Pneumonia terjadi 10-20 % pada bayi yang mengalami konjungtivitis chlamydia
g. Meningitis
dan
septikemia
akibat
konjungtivitis
yang
diakibatkan
meningococcus. 13
2.9.
Penatalaksanaan
Masing-masing jenis konjungtiva memberikan gejala klinis yang berbeda. Penatalaksanaan keratokonjungtivitis tergantung pada berat ringannya gejala klinik. Pada kasus ringan sampai sedang, cukup diberikan obat tetes mata tergantung jenis penyebabnya seperti pada KKV dapat diberikan anti histamin topikal dan dapat ditambahkan vasokontriktor, kemudian dilanjutkan dengan stabilasator sel mast. Pada kasus yang berat dapat dikombinasi dalam pengobatannya ataupun dilakukan pembedahan.
1,8
Pada konjungtivitis virus yang merupakan “self limiting disease” penanganan yang diberikan bersifat simtomatik serta dapat pula diberikan antibiotic tetes mata (chloramfenikol) untuk mencegah infeksi bakteri sekunder. Steroid tetes mata dapat diberikan jika terdapat lesi epithelial kornea, namun pemberian steroid hanya berdasarkan pengawasan dokter spesialis mata karena bahaya efek sampingnya cukup besar bila digunakan berkepanjangan, antara lain infeksi fungal sekunder, katarak maupun glaucoma.
9,10
Penanganan primer keratokonjungtivitis epidemika ialah dengan kompres dingin dan menggunakan tetes mata astrigen. Agen antivirus tidak efektif. Antibiotic topical bermanfaat untuk mencegah infeksi sekunder. Steroid topical 3 kali sehari akan menghambat terjadinya infiltrate kornea subepitel atau jika terdapat kekeruhan pada kornea
yang
mengakibatkan
penurunan
visus
yang
berat,
namun
pemakaian
berkepanjangan akan mengakibatkan sakit mata yang berkelanjutan. Pemakaian steroid harus di tapering off setelah pemakaian lebih dari 1 minggu.
1,11,12
Penanganan konjungtivitis bakteri ialah dengan antibiotika topical tetes mata (misalnya kloramfenikol) yang harus diberikan setiap 2 jam dalam 24 jam pertama untuk mempercepat proses penyembuhan, kemudian dikurangi menjadi setiap empat jam pada hari berikutnya. Penggunaan salep mata pada malam hari akan mengurangi kekakuan pada kelopak mata di pagi hari. Antibiotik lainnya yang dapat dipilih untuk gram negative ialah tobramisin, gentamisin dan polimiksin; sedangkan untuk gram positif icefazolin, vancomysin dan basitrasin.
10
14
Penanganan infeksi jamur ialah dengan natamisin 5 % setiap 1-2 jam saat bangun, atau dapat pula diberikan pilihan antijamur lainnya yaitu mikonazol, amfoterisin, nistatin dan lain-lain.
2.10.
1
Prognosis
Prognosis pada kasus keratokonjungtivitis tergantung pada berat ringannya gejala klinis yang dirasakan pasien, namun umumnya baik terutama pada kasus yang tidak terjadi parut atau vaskularisasi pada kornea.
8
15
BAB III LAPORAN KASUS 3.
A
Anamnesa dilakukan secara autoanamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada hari kamis, 5 April 2012 di Poliklinik Mata RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda pukul 10.00 WITA. Identitas Pasien
Nama
: Ny. S
Usia
: 40 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Alamat
: Jl. Rinjani Indah No. 45 L-4
Anamnesis Keluhan Utama
: mata sebelah kanan merah
Riwayat Penyakit Sekarang:
Mata sebelah kanan merah sudah dialami sejak 1 minggu yang lalu. Awalnya mata timbul kemerahan dan kemudian dirasakan rasa sedikit nyeri (tidak bertambah jika ditempat terang). pasien kemudian mengeluhkan penglihatannya mulai terasa kabur sejak 3 hari yang lalu. Mata kanan dirasakan seperti ada yang mengganjal, timbul kotoran mata yang tidak banyak, dirasakan pula adanya sering berair namun tidak banyak, namun tidak dirasakan silau ataupun seperti pelangi pada penglihatannya. Tidak ada keluhan lain seperti demam, pilek, ataupun nyeri tenggorokan yang dirasakan pasien. Pasien sudah mencoba mengunakan tetes mata fresh sejak 3 hari yang lalu, namun keluhan masih tetap dirasakan. Pasien juga mengaku tidak ada kontak sebelumnya dengan orang yang mengalami hal serupa. Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa seperti ini sebelumnya. Tidak ada riwayat hipertensi, diabetes melitus maupun asma atau alergi sebelumnya. 16
Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan sakit
: sakit sedang
Kesadaran
: komposmentis
Tanda Vital
: Tekanan Darah
: 120/80 mmHg
Frekuensi Nadi
: 82 kali/menit
Frekuensi Nafas
: 20 kali/menit
Status generalisata
Status Oftalmologi
: Kepala/leher
: pembesaran KGB preauriukuler (-)
Thorax
: dalam batas normal
Abdomen
: dalam batas normal
Ekstremitas
: dalam batas normal
:
Pemeriksaan Subjektif: VOD : 6/15, pinhole 6/9 VOS : 6/6 Pemeriksaan Posisi bola mata Pergerakan bola mata Sekret Palpebra superior Palpebra inferior
Cilia Konjungtiva Bulbi Konjungtiva Tarsal Kornea COA Pupil - Bentuk - Diameter - Refleks Iris Lensa
Oculi Dextra Ortoforia Normal ke segala arah Oedem (+) Oedem (-) Papil (+) Folikel (+) Normal Hiperemi (+) Hiperemi (+) Keruh Dalam
Oculi Sinistra Ortoforia Normal ke segala arah Oedem (-) Oedem (-) Papil (-) Folikel (-) Normal Hiperemi (-) Hiperemi (-) Jernih Dalam
Bulat 3 mm + Warna coklat Jernih
Bulat 3 mm + Warna coklat Jernih 17
TIO (palpasi) Slitlamp
Normal Bintik-bintik putih kecil pada kornea Tidak dievaluasi
Funduskopi Diagnosis
Normal Normal Tidak dievaluasi
: Keratokonjungtivitis Oculi Dekstra
Diagnosis Banding
-
Uveitis akut
-
Glaukoma akut
Penatalaksanaan
-
Ximex optixitrol ED 4 gtt 1 OD
-
Asam mefenamat 500 mg tab 2 x 1 tab
-
Becom C 1 dd tab 1
-
KIE: menggunakan pelindung mata (kacamata) agar terhindar dari kotoran, menjaga kebersihan mata serta menjaga kesehatan tubuh (cuci tangan), kontrol kembali satu minggu untuk mengavaluasi kembali kemajuan terapi.
Prognosis
Dubia ad bonam
18
BAB IV PEMBAHASAN 4.
A
Diagnosis keratokonjungtivitis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Konjungtivitis sebaiknya dibedakan dengan keratitis dengan perbedaan sebagai berikut: Tanda Tajam penglihatan Silai Sakit Mata merah Sekret Lengket kelopak Edem kelopak mata Pupil Kornea
Konjungtivitis Normal Tidak ada Pedas, rasa kelilipan Injeksi konjungtiva Serous, mukous, purulen Terutama pagi hari Tidak ada/ringan, terutama pada konjungtivitis adenoviral Normal Normal
Keratitis Turun nyata Nyata Sakit Injeksi siliar Tidak ada Tidak ada Tidak ada/berat
Mengecil Keruh, defek epitel pada pewarnaan fluoresein Beradasarkan hasil anamnesa diperoleh kombinasi gejala dan tanda pada
penyakit
konjungtivitis
dan
keratitis
sehingga
pasien
ini
didiagnosis
dengan
keratokonjungtivitis. Gejala dan tanda konjungtivitis pada pasien ini antara lain mata merah, terasa seperti ada yang mengganjal serta adanya sekret/kotoran mata. Selain itu bukti keterlibatan kornea ialah adanya keluhan penglihatan yang menjadi kabur dan rasa nyeri yang dirasakan seperti ada benda asing. Pada literatur disebutkan bahwa pemeriksaan penunjang untuk kelainan mata luar dengan pemeriksaan biomikroskop (slitlamp) dengan atau tanpa pewarnaan fluoresein juga dapat dilakukan. Pemeriksaan dengan mata telanjang tidak akan memperlihatkan kekeruhan kornea, namun penggunaan slitlamp akan tampak adanya kekeruhan pada kornea baik berupa gambaran infiltrat seperti titik putih kecil atau becabang, bentuk dan lokasi lainnya. Pada pasien ini ditemukan adanya gambaran beberapa titik putih kecil di kornea namun halus dan sedikit tersebar. Meskipun melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik dapat diperkirakan etiologi keratokonjungtivitis, pemeriksaan penunjang lain seperti hapusan dari konjungtiva 19
maupun kornea juga dapat dilakukan guna penegakan diagnosis. Dengan melakukan apusan serta pewarnaan untuk menemukan beberapa gambaran berupa sel-sel yang khas ditemukan pada masing-masing kasus keratokonjungtivitis. Penatalaksanaan keratokonjungtivitis disesuaikan dengan etiologinya. Pada kasus ini diberikan medikamentosa meliputi ximex optixitrol (dexametasone Na phoshate 1 mg, neomysin sulfat 3,5 mg, polimyxin B sulfat 6.000 iu) yang merupakan pengobatan topikal steroid dengan kombinasi antibiotik. Pada pasien ini diagnosis mengarah pada keratokonjungtivitis virus sehingga sebenarnya ialah ”sel limiting disease” namun untuk penanganan pemberian steroid dapat difikirkan karena telah adanya keterlibatan epitel kornea, antibiotik diberikan karena untuk mencegah adanya infeksi sekunder. Sebenarnya pemakaian steroid harus dalam penanganan dokter spesialis mata mengingat bahaya efek sampingnya yang cukup besar. Analgetik asam mefenamat yang merupakan golongan NSAID dapat diberikan untuk mengurangi nyeri yang dirasakan pasien. Sedangkan vitamin C, B dan Ca-pantotenat dalam sediaan Becom C merupakan tambahan untuk proses reepitelisasi kornea. Edukasi yang diberikan ialah menggunakan pelindung mata seperti kacamata untuk menghindari mata dari pajanan luar. Jangan mengusap atau menggaruk mata karena dapat memperburuk kondisi peradangan pada mata. Membudayakan cuci tangan dan perbaikan higiene agar mencegah infeksi ulang maupun sekunder serta mencegah penularan. Selain itu melakukan pengobatan sesuai yang dianjurkan dan kembali kontrol 1 minggu kemudian untuk memantau kemajuan maupun respon penyakit terhadap terapi yang diberikan serta mengontrol efek samping obat yang mungkin timbul. Prognosis keratokonjungtivitis ini tergantung pada luasnya jaringan parut kornea yang terbentuk dimana penanganan dini dan tepat dapat mencegah kerusakan mata permanen. Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam karena infiltrat yang ditemukan sebenarnya tidak banyak dan hanya berupa titik kecil yang mana proses penyembuhan kembali lagi pada ketahanan dan kepatuhan pasien sendiri.
20
BAB VI PENUTUP 5.
A
Telah dilaporkan kasus pada seorang wanita berusia 40 tahun, yang merupakan apsien rawat jalan di poliklinik mata RSUD AW Swjahranie. Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dieproleh, ditegakkan diagnosis keratokonjungtivitis. Penderita diberikan terapi antiradang, antibiotik dan vitamin. Prognosis pasien ini dubia ad bonam.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas DSM, Sidarta,. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2006.
2. American Academy of Ophthalmology. Preferred practice pattern: conjunctivitis, 2nd ed. San Francisco, CA: American Academy of Ophthalmology; 2003. 3. Stenson S, Newman R, Fedukowicz H. Laboratories studies in acute conjunctivitis. Arch Opthalmology. 1982; 100: 1275-1277. 4. Weiss A, Brinser J, Nasae-Stewart V. Acute conjunctivitis in childhood. J Pediatr Med. 1993; 122:10-14. 5. Gigliotti F, Williams WT, Hayden FG. Etiology of acute conjunctivitis in children. J. Pediatr. 1981;98: 531-536. 6. Fitch CP, Rapoza PA, Owens S. Epidemiology and diagnosis of acute conjunctivitis at an inner-city hospital. Opthalmology. 1989;96:1215-1220. 7. Sambursky RP, Fram N, Cohen Ej. The prevalence of adenoviral conjunctivitis at the Wills Eye Hospital emergency room. Optometry. 2007;78:236-914. 8. Vaughan, Daniel G. dkk. Oftalmologi Umum. Widya Medika. Jakarta. 2000. 9. Scott IU and Luu K. Conjunctivitis, viral. http://www.emedicine.medscape.com/article/1197851. [Online] Emedicine, April
2012. 10. Khaw PT, Shah Pand Elkington AR. ABC of Eyes. Fourth edition. BMJ Publishing Group, 2004. 11. Bawazeer A and Hodge WG. Keratoconjunctivitis Epidemic. http://emedicine.medscape.com/article/1192751-print. [Online] Emedicine. January
7, 2008. 12. Yanoff, Myron, Duker JS and Augsburger JJ. Opthalmology 2
nd
edition: Mosby,
2003.
22