KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
TRAUMA ABDOMEN
DISUSUN OLEH:
SGD I
Fitria Aprilina (1502115001)
Ribut Agung Nugroho (1502115003)
Made Aryawa Putra (1502115005)
Ida Ayu Ari Wahyuni Dewi (1502115007)
Dini Fandria Ningrum (1502115008)
Hasbullah Fadhlani (1502115011)
Hapu Ammah (1502115012)
Natalia Kahi Wonji (1502115014)
Ni Kadek Amiek Febriyanti (1202105064)
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN PADA
PASIEN DENGAN TRAUMA ABDOMEN
Konsep Dasar Penyakit
Definisi trauma abdomen
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).
Trauma abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan imonologi dan gangguan faal berbagai organ.
Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau yang menusuk (Ignativicus & Workman, 2006).
Etiologi
Kecelakaan atau trauma yang terjadi pada abdomen, umumnya banyak diakibatkan oleh trauma tumpul. Pada kecelakaan kendaraan bermotor, kecepatan, deselerasi yang tidak terkontrol merupakan kekuatan yang menyebabkan trauma ketika tubuh klien terpukul setir mobil atau benda tumpul lainnya.
Trauma akibat benda tajam umumnya disebabkan oleh luka tembak yang menyebabkan kerusakan yang besar di dalam abdomen. Selain luka tembak, trauma abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit menyebabkan trauma pada organ internal di abdomen.Trauma pada abdomen disebabkan oleh 2 kekuatan yang merusak, yaitu :
Paksaan /benda tumpul
Merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Luka tumpul pada abdomen bisa disebabkan oleh jatuh, kekerasan fisik atau pukulan, kecelakaan kendaraan bermotor, cedera akibat berolahraga, benturan, ledakan, deselarasi, kompresi atau sabuk pengaman. Lebih dari 50% disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.
Trauma tembus
Merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Disebabkan oleh: luka tembak yang menyebabkan kerusakan yang besar di dalam abdomen. Selain luka tembak, trauma abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit menyebabkan trauma pada organ internal diabdomen.
Manifestasi Klinis
Trauma tembus abdomen (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium):
Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
Respon stres simpatis
Perdarahan dan pembekuan darah
Kontaminasi bakteri
Kematian sel
Jika abdomen mengalami luka tusuk, usus yang menempati sebagian besar rongga abdomen akan sangat rentan untuk mengalami trauma penetrasi. Secara umum organ-organ padat berespon terhadap trauma dengan perdarahan. Sedangkan organ berongga bila pecah mengeluarkan isinya dalam hal ini bila usus pecah akan mengeluarkan isinya ke dalam rongga peritoneal sehingga akan mengakibatkan peradangan atau infeksi
Trauma tumpul abdomen (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium) ditandai dengan:
Kehilangan darah.
Memar/jejas pada dinding perut.
Kerusakan organ-organ.
Nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding perut.
Iritasi cairan usus (FKUI, 1995).
Menurut Scheets (2002), secara umum seseorang dengan trauma abdomen menunjukkan manifestasi sebagai berikut :
Laserasi, memar,ekimosis
Hipotensi
Tidak adanya bising usus
Hemoperitoneum
Mual dan muntah
Adanya tanda "Bruit" (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh darah, biasanya pd arteri karotis),
Nyeri
Pendarahan
Penurunan kesadaran
Sesak
Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan limfa.Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.
Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan peritoneal
Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh (pinggang) pada perdarahan retroperitoneal.
Tanda coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia pada fraktur pelvis
Tanda balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran kiri atas ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe
Klasifikasi
Berdasarkan mekanisme trauma, dibagi menjadi 2 yaitu :
Trauma tumpul (blunt injury)
Suatu pukulan langsung, misalkan terbentur stir ataupun bagian pintu mobil yang melesak ke dalam karena tabrakan, bisa menyebabkan trauma kompresi ataupun crush injury terhadap organ viscera. Hal ini dapat merusak organ padat maupun organ berongga, dan bisa mengakibatkan ruptur, terutama organ-organ yang distensi (misalnya uterus ibu hamil), dan mengakibatkan perdarahan maupun peritornitis. Trauma tarikan (shearing injury) terhadap organ viscera sebenarnya adalah crush injury yang terjadi bila suatu alat pengaman (misalnya seat belt jenis lap belt ataupun komponen pengaman bahu) tidak digunakan dengan benar. Pasien yang cedera pada suatu tabrakan motor bisa mengalami trauma decelerasi dimana terjadi pergerakan yang tidak sama antara suatu bagian yang terfiksir dan bagian yang bergerak, seperti rupture lien ataupun ruptur hepar (organ yang bergerak) dibagian ligamentnya (organ yang terfiksir). Pemakaian air-bag tidak mencegah orang mengalami trauma abdomen. Pada pasien-pasien yang mengalami laparotomi karena trauma tumpul, organ yang paling sering kena adalah lien (40-55%), hepar (35-45%), dan usus (5-10%). Sebagai tambahan, 15% nya mengalami hematoma retroperitoneal.
Trauma tajam (penetration injury)
Luka tusuk ataupun luka tembak (kecepatan rendah) akan mengakibatkan kerusakan jaringan karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak dengan kecepatan tinggi akan menyebabkan transfer energi kinetik yang lebih besar terhadap organ viscera, dengan adanya efek tambahan berupa temporary cavitation, dan bisa pecah menjadi fragmen yang mengakibatkan kerusakan lainnya. Luka tusuk tersering mengenai hepar (40%), usus halus (30%), diafragma (20%), dan colon (15%). Luka tembak menyebabkan kerusakan yang lebih besar, yang ditentukan oleh jauhnya perjalanan peluru, dan berapa besar energy kinetiknya maupun kemungkinan pantulan peluru oleh organ tulang, maupun efek pecahan tulangnya. Luka tembak paling sering mengenai usus halus (50%), colon (40%), hepar (30%) dan pembuluh darah abdominal (25%).
Trauma pada abdomen dibagi lagi menjadi 2 yaitu trauma pada dinding abdomen dan trauma pada isi abdomen.
Trauma pada dinding abdomen
Trauma dinding abdomen dibagi menjadi kontusio dan laserasi.
Kontusio dinding abdomen disebabkan trauma non-penetrasi.
Kontusio dinding abdomen tidak terdapat cedera intra abdomen, kemungkinan terjadi eksimosis atau penimbunan darah dalam jaringan lunak dan masa darah dapat menyerupai tumor.
Laserasi, jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga abdomen harus di eksplorasi (Sjamsuhidayat, 1997). Atau terjadi karena trauma penetrasi.
Trauma pada isi abdomen
Sedangkan trauma abdomen pada isi abdomen, menurut Suddarth & Brunner (2002) terdiri dari:
Perforasi organ viseral intraperitoneum
Cedera pada isi abdomen mungkin di sertai oleh bukti adanya cedera pada dinding abdomen.
Luka tusuk (trauma penetrasi) pada abdomen
Luka tusuk pada abdomen dapat menguji kemampuan diagnostik ahli bedah.
Cedera thorak abdomen
Setiap luka pada thoraks yang mungkin menembus sayap kiri diafragma, atau sayap kanan dan hati harus dieksplorasi (Sjamsuhidayat, 1998).
Patofisiologi
Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari ketinggian), maka beratnya trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktor-faktor fisik dari kekuatan tersebut dengan jaringan tubuh. Berat trauma yang terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek statis (yang ditubruk) untuk menahan tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya perbedaan pergerakan dari jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Hal ini juga karakteristik dari permukaan yang menghentikan tubuh juga penting. Trauma juga tergantung pada elastitisitas dan viskositas dari jaringan tubuh. Elastisitas adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan yang sebelumnya. Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya walaupun ada benturan. Toleransi tubuh menahan benturan tergantung pada kedua keadaan tersebut. Beratnya trauma yang terjadi tergantung kepada seberapa jauh gaya yang ada akan dapat melewati ketahanan jaringan. Komponen lain yang harus dipertimbangkan dalam beratnya trauma adalah posisi tubuh relatif terhadap permukaan benturan. Hal tersebut dapat terjadi cidera organ intra abdominal yang disebabkan beberapa mekanisme :
Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh gaya tekan dari luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang letaknya tidak benar dapat mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ padat maupun organ berongga.
Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan vertebrae atau struktur tulang dinding thoraks.
Terjadi gaya akselerasi-deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan gaya robek pada organ dan pedikel vaskuler
Komplikasi
Trombosis Vena
Emboli Pulmonar
Stress ulserasi dan perdarahan
Pneumonia
Tekanan ulserasi
Atelektasis
Sepsis
Pemeriksaan diagnostik
Trauma Tumpul
Diagnostik Peritoneal Lavage
DPL adalah prosedur invasive yang bisa cepat dikerjakan yang bermakna merubah rencana untuk pasien berikutnya ,dan dianggap 98 % sensitive untuk perdarahan intraretroperitoneal. Harus dilaksanakan oleh team bedah untuk pasien dengan trauma tumpul multiple dengan hemodinamik yang abnormal, terutama bila dijumpai :
Perubahan sensorium-trauma capitis, intoksikasi alcohol, kecanduan obat-obatan.
Perubahan sensasi trauma spinal
Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis
Pemeriksaan diagnostik tidak jelas
Diperkirakan aka nada kehilangan kontak dengan pasien dalam waktu yang agak lama, pembiusan untuk cedera extraabdominal, pemeriksaan X-Ray yang lama misalnya Angiografi
Adanya lap-belt sign (kontusio dinding perut) dengan kecurigaan trauma usus
DPL juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik normal nilai dijumpai hal seperti di atas dan disini tidak memiliiki fasilitas USG ataupun CT Scan. Salah satu kontraindikasi untuk DPL adalah adanya indikasi yang jelas untuk laparatomi. Kontraindikasi relative antara lain adanya operasi abdomen sebelumnya, morbid obesity, shirrosis yang lanjut, dan adanya koagulopati sebelumnya. Bisa dipakai tekhnik terbuka atau tertutup (Seldinger ) di infraumbilikal oleh dokter yang terlatih. Pada pasien dengan fraktur pelvis atau ibu hamil, lebih baik dilakukan supraumbilikal untuk mencegah kita mengenai hematoma pelvisnya ataupun membahayakan uterus yang membesar. Adanya aspirasi darah segar, isi gastrointestinal, serat sayuran ataupun empedu yang keluar, melalui tube DPL pada pasien dengan henodinamik yang abnormal menunjukkan indikasi kuat untuk laparatomi. Bila tidak ada darah segar (>10 cc) ataupun cairan feses ,dilakukan lavase dengan 1000cc Ringer Laktat (pada anak-anak 10cc/kg). Sesudah cairan tercampur dengan cara menekan maupun melakukan rogg-oll, cairan ditampung kembali dan diperiksa di laboratorium untuk melihat isi gastrointestinal ,serat maupun empedu. (American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 149-150)Test (+) pada trauma tumpul bila 10 ml atau lebih darah makroskopis (gross) pada aspirasi awal, eritrosit > 100.000 mm3, leukosit > 500/mm3 atau pengecatan gram (+) untuk bakteri, bakteri atau serat. Sedangkan bila DPL (+) pada trauma tajam bila 10 ml atau lebih darah makroskopis (gross) pada aspirasi awal,sel darah merah 5000/mm3 atau lebih. (Scheets, 2002 : 279-280)
FAST (Focused Assesment Sonography in Trauma)
Individu yang terlatih dengan baik dapat menggunakan USG untuk mendeteksi adanya hemoperitoneum. Dengan adanya peralatan khusus di tangan mereka yang berpengalaman, ultrasound memliki sensifitas, specifitas dan ketajaman untuk meneteksi adanya cairan intraabdominal yang sebanding dengan DPL dan CT abdomen Ultrasound memberikan cara yang tepat, noninvansive, akurat dan murah untuk mendeteksi hemoperitorium, dan dapat diulang kapanpun. Ultrasound dapat digunakan sebagai alat diagnostik bedside dikamar resusitasi, yang secara bersamaan dengan pelaksanaan beberapa prosedur diagnostik maupun terapeutik lainnya. Indikasi pemakaiannya sama dengan indikasi DPL. (American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 150)
Computed Tomography (CT)
Digunakan untuk memperoleh keterangan mengenai organ yang mengalami kerusakan dan tingkat kerusakannya, dan juga bisa untuk mendiagnosa trauma retroperineal maupun pelvis yang sulit di diagnosa dengan pemeriksaan fisik, FAST, maupun DPL. (American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 151)
Trauma Tajam
Cedera thorax bagian bawah
Untuk pasien yang asimptomatik dengan kecurigaan pada diafragma dan struktur abdomen bagian atas diperlukan pemeriksaan fisik maupun thorax foto berulang, thoracoskopi, laparoskopi maupun pemeriksaan CT scan.
Eksplorasi local luka dan pemeriksaan serial dibandingkan dengan DPL pada luka tusuk abdomen depan. Untuk pasien yang relatif asimtomatik (kecuali rasa nyeri akibat tusukan), opsi pemeriksaan diagnostik yang tidak invasive adalah pemeriksaan diagnostik serial dalam 24 jam, DPL maupun laroskopi diagnostik.
Pemeriksaan fisik diagnostik serial dibandingkan dengan double atau triple contrast pada cedera flank maupun punggung
Untuk pasien yang asimptomatik ada opsi diagnostik antara lain pemeriksaan fisik serial, CT dengan double atau triple contrast, maupun DPL. Dengan pemeriksaan diagnostic serial untuk pasien yang mula-mula asimptomatik kemudian menjadi simtomatik, kita peroleh ketajaman terutama dalam mendeteksi cedera retroperinel maupun intraperineal untuk luka dibelakang linea axillaries anterior. (American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 151)
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul
Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, Thorax AP dan pelvis AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan multitrauma. Rontgen foto abdomen tiga posisi (telentang, setengah tegak dan lateral decubitus) berguna untuk melihat adanya udara bebas dibawah diafragma ataupun udara di luar lumen diretroperitoneum, yang kalau ada pada keduanya menjadi petunjuk untuk dilakukan laparatomi. Hilangnya bayangan psoas menunjukkan kemungkinan cedera retroperitoneal
Pemerikasaan X-Ray untuk screening trauma tajam
Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak memerlukan pemeriksaan X-Ray pada pasien luka tusuk diatas umbilicus atau dicurigai dengan cedera thoracoabdominal dengan hemodinamik yang abnormal, rontgen foto thorax tegak bermanfaat untuk menyingkirkan kemungkinan hemo atau pneumothorax, ataupun untuk dokumentasi adanya udara bebas intraperitoneal. Pada pasien yang hemodinamiknya normal, pemasangan klip pada luka masuk maupun keluar dari suatu luka tembak dapat memperlihatkan jalannya peluru maupun adanya udara retroperitoneal pada rontgen foto abdomen tidur.
Pemeriksaan dengan kontras yang khusus
Urethrografi
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, harus dilakukan urethrografi sebelum pemasangan kateter urine bila kita curigai adanya ruptur urethra. Pemeriksaan urethrografi digunakan dengan memakai kateter no.# 8-F dengan balon dipompa 1,5-2cc di fossa naviculare. Dimasukkan 15-20 cc kontras yang diencerkan. Dilakukan pengambilan foto dengan projeksi oblik
dengan sedikit tarikan pada pelvis.
Sistografi
Rupture buli-buli intra- ataupun ekstraperitoneal terbaik ditentukan dengan pemeriksaan sistografi ataupun CT-Scan sistografi. Dipasang kateter urethra dan kemudian dipasang 300 cc kontras yang larut dalam air pada kolf setinggi 40 cm diatas pasien dan dibiarkan kontras mengalir ke dalam bulu-bulu atau sampai (1) aliran terhenti (2) pasien secara spontan mengedan, atau (3) pasien merasa sakit. Diambil foto rontgen AP, oblik dan foto post-voiding. Cara lain adalah dengan pemeriksaan CT Scan (CT cystogram) yang terutama bermanfaat untuk mendapatkan informasi tambahan tentang ginjal maupun tulang pelvisnya. (American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 148)
CT Scan/IVP
Bilamana ada fasilitas CT Scan, maka semua pasien dengan hematuria dan hemodinamik stabil yang dicurigai mengalami sistem urinaria bisa diperiksa dengan CT Scan dengan kontras dan bisa ditentukan derajat cedera ginjalnya. Bilamana tidak ada fasilitas CT Scan, alternatifnya adalah pemeriksaan Ivp.Disini dipakai dosis 200mg J/kg bb kontras ginjal. Dilakukan injeksi bolus 100 cc larutan Jodine 60% (standard 1,5 cc/kg, kalau dipakai 30% 3,0 cc/kg) dengan 2 buah spuit 50 cc yang disuntikkan dalam 30-60 detik. 20 menit sesudah injeksi bila akan memperoleh visualisasi calyx pada X-Ray. Bilamana satu sisi non-visualisasi, kemungkinan adalah agenesis ginjal, thrombosis maupun tertarik putusnya a.renalis, ataupun parenchyma yang mengalami kerusakan massif. Nonvisualisasi keduanya memerlukan pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan + kontras, ataupun arteriografi renal atau eksplorasi ginjal; yang mana yang diambil tergantung fasilitas yang dimiliki.
Gastrointestinal
Cedera pada struktur gastrointestinal yang letaknya retroperitoneal (duodenum, colon ascendens, colon descendens) tidak akan menyebabkan peritonitis dan bisa tidak terdeteksi dengan DPL. Bilamana ada kecurigaan, pemeriksaan dengan CT Scan dengan kontras ataupun pemeriksaan RO-foto untuk upper GI Track ataupun GI tract bagian bawah dengan kontras harus dilakukan.(American College of Surgeon Committee of Trauma,2004:149).
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri
Penurunan hematokrit/hemoglobin
Peningkatan Enzim hati: Alkaline fosfat,SGPT,SGOT,
Koagulasi : PT,PTT
MRI
Angiografi untuk kemungkinan kerusakan vena hepatik
CT Scan
Radiograf dada mengindikasikan peningkatan diafragma, kemungkinan pneumothorax atau fraktur tulang rusuk VIII-X.
Scan limfa
Ultrasonogram
Peningkatan serum atau amylase urine
Peningkatan glucose serum
Peningkatan lipase serum
DPL (+) untuk amylase
Penigkatan WBC
Peningkatan amylase serum
Elektrolit serum
AGD
(ENA,2000:49-55)
Penatalaksanaan gawat darurat
Pre Hospital
Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang mengancam nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi di lokasi kejadian. Paramedik mungkin harus melihat apabila sudah ditemukan luka tikaman, luka trauma benda lainnya, maka harus segera ditangani, penilaian awal dilakukan prosedur ABC jika ada indikasi. Jika korban tidak berespon, maka segera buka dan bersihkan jalan napas.
Airway
Dengan kontrol tulang belakang. Membuka jalan napas menggunakan
teknik 'head tilt chin lift' atau menengadahkan kepala dan mengangkat dagu, periksa adakah benda asing yang dapat mengakibatkan tertutupnya jalan napas. Muntahan, makanan, darah atau benda asing lainnya.
Breathing
Dengan ventilasi yang adekuat. Memeriksa pernapasan dengan menggunakan cara 'lihat-dengar-rasakan' tidak lebih dari 10 detik untuk memastikan apakah ada napas atau tidak. Selanjutnya lakukan pemeriksaan status respirasi korban (kecepatan, ritme dan adekuat tidaknya pernapasan).
Circulation
Dengan kontrol perdarahan hebat. Jika pernapasan korban tersengal-sengal dan tidak adekuat, maka bantuan napas dapat dilakukan. Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi, lakukan resusitasi jantung paru segera. Rasio kompresi dada dan bantuan napas dalam RJP adalah 30 : 2 (30 kali kompresi dada dan 2 kali bantuan napas).
Penanganan awal trauma non- penetrasi (trauma tumpul)
1. Stop makanan dan minuman
2. Imobilisasi
3. Kirim kerumah sakit.
Penetrasi (trauma tajam)
Bila terjadi luka tusuk, maka tusukan (pisau atau benda tajam lainnya) tidak boleh dicabut kecuali dengan adanya tim medis.
Penanganannya bila terjadi luka tusuk cukup dengan melilitkan dengan kain kassa pada daerah antara pisau untuk memfiksasi pisau sehingga tidak memperparah luka.
Bila ada usus atau organ lain yang keluar, maka organ tersebut tidak dianjurkan dimasukkan kembali kedalam tubuh, kemudian organ yang keluar dari dalam tersebut dibalut kain bersih atau bila ada verban steril.
Imobilisasi pasien.
Tidak dianjurkan memberi makan dan minum.
Apabila ada luka terbuka lainnya maka balut luka dengan menekang.
Kirim ke rumah sakit.
Hospital
Trauma penetrasi
Bila ada dugaan bahwa ada luka tembus dinding abdomen, seorang ahli bedah yang berpengalaman akan memeriksa lukanya secara lokal untuk menentukan dalamnya luka. Pemeriksaan ini sangat berguna bila ada luka masuk dan luka keluar yang berdekatan.
Skrinning pemeriksaan rontgen
Foto rontgen torak tegak berguna untuk menyingkirkan kemungkinan hemo atau pneumotoraks atau untuk menemukan adanya udara intraperitonium. Serta rontgen abdomen sambil tidur (supine) untuk menentukan jalan peluru atau adanya udara retroperitoneum.
IVP atau Urogram Excretory dan CT Scanning
Ini di lakukan untuk mengetauhi jenis cedera ginjal yang ada.
Uretrografi
Di lakukan untuk mengetauhi adanya rupture uretra.
Sistografi
Ini digunakan untuk mengetauhi ada tidaknya cedera pada kandung kencing, contohnya pada :
fraktur pelvis
trauma non-penetrasi
Penanganan pada trauma benda tumpul:
Pengambilan contoh darah dan urine
Darah di ambil dari salah satu vena permukaan untuk pemeriksaan laboratorium rutin, dan juga untuk pemeriksaan laboratorium khusus seperti pemeriksaan darah lengkap, potasium, glukosa, amilase.
Pemeriksaan rontgen
Pemeriksaan rongten servikal lateral, toraks anteroposterior dan pelvis adalah pemeriksaan yang harus di lakukan pada penderita dengan multi trauma, mungkin berguna untuk mengetahui udara ekstraluminal di retroperitoneum atau udara bebas di bawah diafragma, yang keduanya memerlukan laparotomi segera.
Study kontras urologi dan gastrointestinal
Dilakukan pada cedera yang meliputi daerah duodenum, kolon ascendens atau decendens dan dubur (Hudak & Gallo, 2001).
Konsep Asuhan Keperawatan
Primary survey
Airway: Memastikan kepatenan jalan napas tanpa adanya sumbatan atau obstruksi,
Breathing: memastikan irama napas normal atau cepat, pola napas teratur, tidak ada dyspnea, tidak ada napas cuping hidung, dan suara napas vesikuler,
Circulation: nadi lemah/ tidak teraba, cepat >100x/mt, tekanan darah dibawah
normal bila terjadi syok, pucat oleh karena perdarahan, sianosis, kaji jumlah
perdarahan dan lokasi, capillary refill >2 detik apabila ada perdarahan. Penurunan kesadaran.
Disability: kaji tingkat kesadaran sesuai GCS, respon pupil anisokor apabila
adanya diskontinuitas saraf yang berdampak pada medulla spinalis.
e) Exposure/Environment: fraktur terbuka di femur dekstra, luka laserasi pada wajah dan tangan, memar pada abdomen, perut semakin menegang.
Secondary survey
Fokus Asesment
Kepala: Wajah, kulit kepala dan tulang tengkorak, mata, telinga, dan mulut. Temuan yang dianggap kritis:
Pupil tidak simetris, midriasis tidak ada respon terhadap cahaya ?
Patah tulang tengkorak (depresi/non depresi, terbuka/tertutup)?
Robekan/laserasi pada kulit kepala?
Darah, muntahan atau kotoran di dalam mulut?
Cairan serebrospinal di telinga atau di hidung?
Battle sign dan racoon eyes?
Leher: lihat bagian depan, trachea, vena jugularis, otot-otot leher bagian belakang.. Temuan yang dianggap kritis: Distensi vena jugularis, deviasi trakea atau tugging, emfisema kulit
Dada: Lihat tampilan fisik, tulang rusuk, penggunaan otot-otot asesoris, pergerakan dada, suara paru. Temuan yang dianggap kritis: Luka terbuka, sucking chest wound, Flail chest dengan gerakan dada paradoksikal, suara paru hilang atau melemah, gerakan dada sangat lemah dengan pola napas yang tidak adekuat (disertai dengan penggunaaan otot-otot asesoris).
Abdomen: Memar pada abdomen dan tampak semakin tegang, lakukan auskultasi dan palpasi dan perkusi pada abdomen. Temuan yang dianggap kritis ditekuannya penurunan bising usus, nyeri tekan pada abdomen bunyi dullness.
Pelvis: Daerah pubik, Stabilitas pelvis, Krepitasi dan nyeri tekan. Temuan yang dianggap kritis: Pelvis yang lunak, nyeri tekan dan tidak stabil serta pembengkakan di daerah pubik
Extremitas: ditemukan fraktur terbuka di femur dextra da luka laserasi pada tangan. Anggota gerak atas dan bawah, denyut nadi, fungsi motorik, fungsi sensorik. Temuan yang dianggap kritis: Nyeri, melemah atau menghilangnya denyut nadi, menurun atau menghilangnya fungsi sensorik dan motorik.
Pemeriksaan tanda-tanda vital yang meliputi suhu, nadi, pernafasan dan tekanan darah.
Pemeriksaan status kesadaran dengan penilaian GCS (Glasgow Coma Scale): terjadi penurunan kesadaran pada pasien.
AMPLE
Allergy : Tidak ada data
Medication : Tidak ada data
Past Medical History : Tidak ada data
Last Meal : Tidak ada data
Event : Seorang laki-laki 34 tahun di bawa ke UGD 2 jam yang lalu karena kecelakaan, pasien terseret mobil dan terlempar dari motornya.
Pemeriksaan fisik difokuskan pada daerah abdomen:
Inspeksi: Fraktur terbuka di femur dekstra, luka laserasi pada wajah dan tangan, memar pada abdomen, perut semakin menegang.
Auskultasi: Bising usus
Perkusi: Bunyi redup bila ada hemoperitoneum.
Palpasi: kekauan dan spasme pada perut karena akumulasi darah atau cairan.
No
Data
Etiologi
Masalah
1
S :
O : Fraktur terbuka di femur dekstra, memar pada abdomen, perut semakin menegang, penurunan kesadaran, riwayat jatuh dan terseret mobil.
Kerusakan atau robekan vaskuler akibat trauma
Perdarahan
PK perdarahan
2
S:
O: Fraktur terbuka, memar pada abdomen
Spasme otot, fraktur
Pelepasan mediator nyeri
Interpretasi nyeri
Nyeri akut
ANALISA DATA
Intervensi Keperawatan
NO
DIAGNOSA
TUJUAN
RENCANA KEPERAWATAN
1
PK Perdarahan berhubungan dengan kerusakan vaskuler
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 10-15 menit, diharapkan perdarahan berukurang atau teratasi dengan kriteria:
Respiratory Status: Airway Patency
RR dalam batas normal
Irama pernapasan teratur
Tidak ada benda asing atau cairan di dalam rongga mulut
Circulation Status
Nadi dalam batas normal
Tekanan vena central normal
Arteri karotis menguat
Saturasi oksigen normal
Urin output dalam batas normal 1-2 cc/24 jam
Blood loss severity
Perdarahan yang terlihat berkurang atau tidak ada.
Tidak ada distensi abdomen
Tekanan darah dalam batas normal
Shock prevention
Monitoring status sirkulasi (Tekanan darah, warna kulit, Suhu, bunyi jantung, irama dan frekuensi jantung, keberadaan dan kualitas nadi perifer, CRT)
Monitoring tanda-tanda inadekuat oksigenasi jaringan
Monitor perubahan status mental
Monitoring temperature dan status respiratory
Monitoring intake dan output
Monitoring nilai laboratorium, khususnya hemoglobin dan hematokrit, clotting profile, AGD, dan nilai elektrolit.
Tes urin untuk darah, glukosa dan protein.
Monitoring distensi abdomen
Monitor respon awal kompensasi kehilangan cairan: peningkatan HR, penurunan TD, ortostatik hipotensi, penurunan urin output, penurunan CRT, pucat dan kulit dingin, dan diaphoresis.
Tempatkan pasien pada posisi supinasi dengan kaki elevasi untuk meningkatkan preload, sesuai kebutuhan.
Pertahankan kepatenan jalan napas
Berikan cairan intravena, berikan RBC dan atau plasma jika diperlukan.
Berikan oksigen
Bleeding Reduction
Identifikasi penyebab perdarahan
Beri pekananan atau balut daerah yang luka
Monitor jumlah perdarahan yang keluar
Pantau hemoglobin dan hematokrit
Monitor status keseimbangan cairan tubuh
Pasang dan pertahankan akses pemberian cairan intravena
Kolaborasi pemberian produk darah
2
Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x30 menit nyeri berkurang atau dapat terkontrol, dengan kriteria:
Pain level
Pasien melaporkan nyeri berkurang
Pasien tidak menringis kesakitan
Pasien tenang
Tanda tanda vital dalam batas normal
Pain managememnt
Kaji nyeri secara komprehensif: lokasi, karakterristik, durasi, kualitas, intensitas dan keparahan nyeri.
Observasi ketidaknyamanan nonverbal
Atasi factor yang dapat meninhkatkan nyeri, pasang bidai
Kolaborasi pemberian antinyeri.
Evaluasi:
Tidak ada perdarahan
Tidak ada distensi abdomen
Tekanan darah dalam batas normal
Nadi dalam batas normal
Perdarahan yang terlihat berkurang atau tidak ada.
Tidak ada distensi abdomen
Tanda tanda vital dalam batas normal
Kesadaran baik
Nyeri dapat terkontrol
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Vol 2. Ed. 8. EGC: Jakarta.
Docthwrman, Joanne McCloskey. (2004). Nursing Interventions Classification. St Louis, Mossouri, Elsevier inc.
Herdman, T Heather, dkk. (2015). Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi. Edisi 10. Jakarta: EGC
Nurarif, A. (2015). Aplikasi Asuhan keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis Dan NIC NOC Jilid 3. Jogjakarta: MediAction
Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., Pradipta., E. (2014). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4, Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius