KASUS TIMOR TIMUR (SEPTEMBER 1999) A.Pendahuluan
1.Latar Belakang Setela Setelah h rakyat rakyat Timor-T Timor-Timu imurr (TimTi (TimTim) m) melaku melakukan kan jajak jajak pendap pendapat at pada pada tangga tanggall Agustus 1999 dimana 78,8 % menolak otonomi yang diperluas sebagai opsi pertama yang ditawarkan pemerintah Jakarta, maka serta merta perhatian dunia terfokus kepada masalah tersebut. tersebut. Kemenangan Kemenangan kelompok pro kemerdekaan kemerdekaan yang cukup telak- meskipun meskipun terdapat kecurangan yang dilakukan oleh UNAMET- membuat diskursus yang cukup hangat dan dijadikan headline surat kabar di berbagai penjuru dunia untuk beberapa saat. Hampir semua tajuk surat kabar, berita radio dan TV 1ocal dan internasional melaporkan keadaan tersebut. Ada yang membela kebijakan pemerintah Habibie meskipun masih jauh lebih banyak yang menyalahkannya. Mereka yang menolak pada umumnya berpendapat bahwa kebijakan itu tidak tepat waktu, sedangkan mereka yang setuju menyatakan bahwa Indonesia ingin terhindar dari masalah TimTim yang selama lebih dari dua dasawarsa selalu mengganggu dan menjadi ganjalan dalam hubungan internasional. Terlepas Terlepas dari perbincang perbincangan an politik politik mengenai mengenai kemungkin kemungkinan an lepasnya lepasnya TimTim TimTim dari Republik ini, ada satu hal yang perlu dicermati pada pemberitaan mengenai TimTim pasca jajak pendapat. pendapat. Siaran berita BBC pada pertengahan pertengahan September September 1999 misalnya misalnya menyatakan menyatakan antara lain : ”ada sekitar 100 orang katholik terbunuh di depan rumah pastur beberapa hari setelah hasil jajak pendapat diumumkan”. Berita tersebut memang tidak menyebut pelaku pembu pembunuh nuhan, an, namun namun secara secara pasti pasti penden pendengar gar luar luar negeri negeri yang yang tidak tidak menget mengetahu ahuii persis persis keadaan TimTim akan menyimpulkan bahwa “pembunuhan itu dilakukan oleh orang Islam”. Logika mereka sederhana, yaitu bahwa penduduk Indonesia mayoritas muslim dan militer yang dikirimpun pasti mayoritas muslim. Ketidakseimbangan berita ini nampaknya disengaja untuk memojokkan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya. Dalam tataran nasional, nasional, berita-berita berita-berita politik politik yang menyangkut menyangkut isu Aceh dan Ambon juga juga sarat sarat dengan dengan nuansa nuansa SARA. SARA. Begitu Begitujug jugaa pember pemberita itaan an mengen mengenai ai isu calon calon presid presiden. en. Majalah Tajuk edisis 19 Agustus – 1 September 1999 misalnya memuat cover luar bergambar Megawati Megawati dengan dengan banner banner “Pasukan “Pasukan Jihad Menghadang Menghadang Mega”, sedangkan sedangkan Majalah Media Dakw Dakwah ah edis edisii Sept Septem embe berr 1999 1999 meng mengan angk gkat at isu isu utam utamaa “KOM “KOMPA PAS S (Koma (Komand ndo o Past Pastur ur))
1
Mengganyang Habibie”. Dari laporan utama kedua Majalah diatas dan beberapa hasil analisis isi berita politik yang dilakukan Media Watch Society pada kurun waktu tertentu dapat disimpulkan bahwa seringkali isu politik yang digulirkan bernuansa konflik SARA. 2. KASUS-KASUS UTAMA
KPP HAM memusatkan perhatian pada kasus-kasus utama sejak bulan Januari sampai dengan bulan Oktober 1999 . Kasus-kasus itu meliputi: pembunuhan di kompleks Gereja Liquica, 6 April; penculikan enam orang warga Kailako, Bobonaro 12 April; pembunuhan penduduk sipil di Bobonaro; penyerangan rumah Manuel Carrascalao, 17 April ; penyerangan Diosis Dili, 5 September ; penyerangan rumah Uskup Belo, 6 September ; pembakaran rumah penduduk di Maliana, 4 September ; penyerangan kompleks Gereja Suai, 6 September; pembunuhan di Polres Maliana, 8 September; pembunuhan wartawan Belanda Sander Thoenes, 21 September; pembunuhan rombongan rohaniwan dan wartawan di Lospalos 25 September ; dan kekerasan terhadap perempuan.
a.) Penyerangan Diosis Dili. Pada tanggal 5 September 1999 situasi kota Dili semakin memburuk ditandai dengan rentetan tembakan, pembakaran dan penjarahan. Selama kekacauan terjadi, selain warga yang berada di jalan untuk mengungsi, dijumpai pula aparat keamanan yang terdiri dari anggota polisi dan anggota TNI yang berjaga-jaga. Disamping itu, warga menyaksikan sekelompok milisi dengan pakaian hitam dengan tulisan Aitarak dan atribut merah putih. Warga yang berlindung dan mengungsi di Camra Eclesestica (Diosis Dili) diserang dan kantor Diosis dibakar. Pada peristiwa ini telah jatuh korban sebanyak 25 orang.
b.) Penyerangan Rumah Uskup Belo Pada tanggal 6 September, seorang perwira TNI berpangkat Letnan Kolonel masuk ke kediaman Uskup Belo dan memintanya keluar kemudian dievakuasi ke Mapolda. Setelah Uskup Belo keluar dari kediamannya, kelompok milisi diantaranya berseragam Aitarak mulai melakukan penyerangan terhadap sekitar 5000 pengungsi yang berlindung di kompleks rumah tersebut. Para pengungsi dipaksa untuk mengikuti perintah para milisi agar keluar dari halaman kompleks rumah Uskup
2
Belo disertai dengan tindakan-tindakan kekerasan, dan pembakaran. Serangan itu setidaknya berakibat jatuhnya korban 2 orang tewas. Penghancuran massal dan pembunuhan di Maliana Pada tanggal 4 September terjadi penghancuran dan pembakaran rumah penduduk dan bangunan-bangunan di Maliana. Penghancuran itu berakibat 80% bangunan hancur. Kota Maliana sejak tanggal 30 Agustus dibawah pengawasan pihak TNI, Polri dan Milisi DMP dan Halilintar, yang melakukan pembatasan gerak keluar masuknya penduduk, terutama mereka yang dianggap Pro kemerdekaan dan staf Unamet. Dalam proses penghancuran kota, pihak pelaku juga melakukan penculikan, pembunuhan terhadap dua orang staf lokal UNAMET dan aktivis Pro kemerdekaan. Terjadi penyerangan baik dengan senjata api maupun senjata tajam terhadap penduduk yang berupaya mengungsi. Sejak itu di wilayah Bobonaro, khususnya Memo dan Batugade didirikan pos-pos pemeriksaan oleh milisi untuk memeriksa para pengungsi yang akan menuju wilayah NTT. Keterangan beberapa saksi mengindikasikan tejadinya kasus hilang paksa atas pengungsi yang sebelumnya terlihat diperiksa di pos-pos tersebut. Pada tanggal 8 September saat itu juga terjadi tindakan pembunuhan terhadap penduduk yang mengungsi di Polres Meliana, yang dilakukan oleh Milisi Dadarus merah putih dengan dukungan langsung aparat TNI dan Polri, yang berakibat setidaknya 3 orang tewas.
c.)Pembunuhan massal di kompleks Gereja Suai. Pada tanggal 4 September terjadi penyerangan oleh Milisi Laksaur dan aparat TNI di Kampung Debos, yang mengakibatkan seorang pelajar SMA tewas. Sementara masyarakat menyelamatkan diri ke kompleks Gereja Nossa Senhora de Fatima atau Gereja Ave Maria Suai, dimana telah terdapat banyak pengungsi yang berlindung sebelumnya. Pada tanggal 5 September malam, rumah-rumah penduduk dan gedung-gedung pemerintah di kota Suai dibakar oleh milisi Laksaur dan anggota TNI. Mulai tanggal 6 September, penduduk dipaksa meninggalkan rumah. Danramil Suai Lettu Sugito turut melakukan penjarahan dan pembakaran. Pada tanggal 6 September sekitar pukul 14.30 terjadi penyerangan terhadap warga yang mengungsi di kompleks Gereja Suai oleh milisi Laksuar Merah Putih, Mahidi, aparat TNI dan Polisi. Penyerangan tersebut dipimpin langsung oleh Bupati Covalima Herman Sediono dan Danramil Suai Lettu Sugito. Setelah sebelumnya 3
mereka mengancam akan membunuh semua Pastor, dan para pengungsi laki-laki, maupun perempuan. Pada saat itu lebih kurang 100 orang pengungsi yang berada di dalam gereja sedangkan di luar tidak terhitung jumlahnya. Pastor Hilario ditembak di bagian dada sebanyak satu kali dan jenasahnya diinjak oleh Igidio Manek salah seorang anggota milisi Laksaur. Sedangkan Pastor Francisco mati ditikam dan dipotong oleh Americo yang juga anggota milisi Laksaur. Saksi lainnya, Domingas dos Santos, menyaksikan Pastor Dewanto dibunuh di gereja lama. Pada saat penyerangan, Polisi, Brimob Kontingen Loro Sae dan aparat TNI berada di luar pagar menembaki pengungsi yang berupaya melarikan diri keluar dari kompleks gereja. Diperkirakan paling sedikit 50 orang terbunuh dalam peristiwa tersebut. Dua puluh enam jenasah di antara korban tersebut diangkut truk dan dua buah mobil, serta dikuburkan di desa Alas Kec. Wemasa Kab. Belu. Kegiatan penguburan jenasah tersebut dipimpin oleh Lettu TNI Sugito, bersama 3 orang anggota TNI dan satu kompi milisi Laksaur. Jenasah-jenasah tersebut dibawa oleh Lettu Sugito dan kawan-kawan dari Suai sekitar pukul 08.30 melewati pos Polisi Metamauk di wilayah hukum Polsek Wemasa, NTT. Dari hasil Penggalian kuburan massal korban pembantaian di Gereja Suai tersebut teridentifikasi 16 laki-laki, 8perempuan, 2 jenasah tidak dapat diidentifikasi jenis kelaminnya, berusia 5 tahun sampai dengan dewasa berumur 40an tahun.
d.)Pembunuhan Wartawan Belanda. Seorang wartawan dari Belanda bernama Sander Thoenes tewas pada tanggal 21 September. Jenasahnya ditemukan oleh penduduk setempat di Desa Becora, Dili Timur pada tanggal 22 September. Diperkirakan Sander Thoenes meninggalkan Hotel Tourismo, Dili antara pukul 16.30 dan pukul 17.45 dengan sepeda motor yang dikendarai oleh Florinda da Conceicao Araujo menuju Desa Becora, Dili. Kedua orang tersebut baru berjalan sejauh 300 meter ketika mereka dihadang oleh orang-orang tidak dikenal yang mengendarai tiga sepeda motor, truk dan sebuah mobil. Penghadang tidak dikenal menggunakan seragam TNI dan bersenjata otomatis. Orang-orang yang tak dikenal tersebut melepaskan tembakan terhadap Sander Thoenes dan Florinda da Conceicao Araujo, tetapi Araujo dapat menyelamatkan diri. Pada saat itu Batalyon 745 sedang melintas di kawasan tersebut.
4
e.) Pembunuhan rombongan rohaniwan di Lospalos Pada tanggal 25 September terjadi penyerangan terhadap rombongan rohaniawan yang sedang dalam perjalanan menuju Baucau. Penyerangan ini dilakukan oleh kelompok milisi Tim Alfa di bawah pimpinan Joni Marques dan menewaskan 9orang, termasuk wartawan Agus Mulyawan, seperti diakuinya sendiri. Tindakan ini diduga dilakukan atas perintah anggota satuan Kopassus yang tergabung dalam satuan tugas Tribuana. Jenasah para korban dibuang ke sungai Raumoko dan mobil yang mengangkut dibakar.
Kekerasan terhadap perempuan
a.) Perbudakan seksual. Pada akhir September di tempat pengungsian Raehanek Kec. Belu, NTT, sejumlah ibu dan anak-anak diturunkan dari satu mobil yang berhenti di lapangan dekat kompleks kantor desa. Mereka dipisahkan dari pengungsi lainnya karena dianggap sebagai simpatisan Pro-kemerdekaan, dan ditempatkan di tenda-tenda khusus di mana setiap malam dipaksa melayani kebutuhan seksual kelompok anggota milisi Laksaur. Salah seorang di antaranya adalah seorang ibu yang masih menyusui anaknya. Jika menolak, para perempuan tersebut diancam dibunuh, dan seorang pengungsi perempuan sudah menjadi korban akibat tembakan senjata rakitan di punggungnya. Sampai kini ia masih trauma dengan kejadian yang dialaminya.
Pada tanggal 16 September, 2 orang perempuan remaja dari Ainaro dibawa paksa milisi Mahidi dan diperlakukan sebagai budak seksual oleh komandan kompi milisi Mahidi. Dalam tempat penguasaan milisi Mahidi, kedua korban harus menghadapi tindak perkosaan oleh para anggota milisi, hal ini berlangsung berminggu-minggu.
Pada tanggal 5 September, seorang Gadis bernama Alola, - seorang pelajar SMP kelas III Suai - bersama beberapa perempuan lain dibawa paksa oleh Danki Laksaur, Manek E. Gidu ke markas Laksaur di Raihenek NTT, kecamatan Kobalima, Belu. Mereka dijadikan budak seks milisi Laksaur. Saksi dan ibu korban telah dua kali berupaya meminta kembali anaknya namun tidak diperbolehkan oleh milisi. 5
b.) Perkosaan Dalam peristiwa penyerangan kompleks Gereja Suai pada tanggal 6 September, beberapa orang perempuan ditahan di Kodim Kovalima. Mereka mengalami percobaan perkosaan oleh milisi Laksaur. Salah seorang di antaranya gadis muda bernama Martinha, pada tanggal 7 September, dibawa paksa oleh milisi Laksaur bernama Olipio Mau dan kemudian diperkosa. Begitu anaknya dibawa paksa, keluarganya langsung melaporkan kejadian itu kepada Dandim, namun Dandim tidak berada di tempat, lalu keesokan harinya ia melaporkan ke juru bayar namun tidak mendapat tanggapan. Siang harinya barulah anaknya dikembalikan kepada ibunya. B. Proses Penyelesaian Hukum
1.Tentang Upaya Peradilan Internasional Bagi Kasus Timor-Timur Mencermati perkembangan muktahir keadaan hak asasi manusia di Timor-Timur KONTRAS mencatat beberapa hal pokok yang patut menjadi agenda dan perhatian kita bersama : Pertama, tidak dapat dipungkiri bahwa selama masa-masa suram kepemimpinan Orde Baru telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia secara mendasar dan sistematis terhadap masyarakat Timor. Pelanggaran-pelanggaran berat ini secara nyata ternyata terus dilanjutkan oleh penguasa sekarang melalui aktivitas militer Indonesia yang menyokong milisi-milisi bersenjata. Kedua, dalam pandangan dunia internasional, hasil jajak pendapat sudah merupakan fakta politik dan fakta hukum yang memperkuat kemerdekaan Timor-Timur sekaligus menegaskan seluruh kesalahan dan prilaku aparat politik Indonesia. sehingga seluruh kekerasan yang terjadi pasca jajak pendapat seperti : pembunuhan, perusakan, teror, penganiayaan, pengusiran massal tidak dapat tidak secara politik dan secara hukum menjadi beban di pundak bangsa Indonesia. Ketiga, dalam konteks-konteks pelanggaran ini, kini Indonesia harus bersiap-siap menghadapi tuntutan masyarakat internasiaonal terutama semenjak disahkannya Interntional
6
Commission of Inqury oleh PBB, yang kemungkinan besar akan menjadi mekanisme pengantar untuk dilakukannya sebuah Interntional Tribunal terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan dan kejahatan terhadap perdamaian Timor-Timur. Meninjau fakta-fakta tersebut maka kontras mengajukan beberapa seruan sebagai berikut: Pertama, pemerintah Indonesia harus segera melakukan tindakan-tindakan cepat, tegas dan sistematis untuk menghentikan segala jenis aktivitas yang memungkinkan terjadinya kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia, baik yang dilakukan oleh milisi-milisi bentukan Jakarta maupun yang dilakukan oleh aparat militer sendiri. Pemerintah harus sadar bahwa, setiap pelanggaran kecil di Timor-Timur berimplikasi kepada makin jatuhnya nama baik seluruh bangsa Indonesia. Kedua,
keputusan
PBB
untuk
melakukan
penyelidikan
menyeluruh
terhadap
kemungkinan-kemungkinan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan dan perdamaian Timor-Timur merupakan hal yang tidak dapatditolak oleh pemerintah Indonesia, karenanya tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan harga diri bangsa selain secara terbuka dan – mengutip istilah Jendral Wiranto – secara “elegant†mempersiapkan bantuan semestinya kepada tim penyelidik tersebut. Ketiga, KONTRAS juga mengingatkan kepada pemerintah bahwa citra buruk dan desakan internasional yang demikian dan tak terbendung, terjadi karena kegagalan Indonesia untuk secara cepat mengatasi krisis ekonomi dan politik, serta kegagalan untuk membangun sikap respek terhadap persoalan-persoalan hak asasi manusia di Indonesia. Karenanya dalam pandangan KONTRAS, untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa depan, pemerintah Indonesia harus mengambil langkah-langkah konkret dengan (a) membenahi pelaksanaan dan perlindungan HAM melalui : minimalisirperan dan fungsi lembaga koersi seperti militer, (b) menghapuskan “political-gangsterâ€, (c) menghapuskan lembagalembaga militer ekstra judicial yang selama ini beroperasi mirip badan-badan intelejen milik Stalin dan Hitler, (d) mengadili dan menuntaskan seluruh kasus dan pelaku pelanggaran HAM yang terjadi di seluruh Indonesia.
7
2. Mendesak Jaksa Agung Memeriksa Kembali Kasus Timor Timur. Mahkamah Agung dalam putusan Peninjauan Kembali membebaskan mantan Gubernur Timor Timur Abilio Soares dalam kasus pelanggaran HAM berat pasca jajak pendapat tahun 1999. Putusan Mahkamah Agung dalam kasus Abilio Soares tersebut menjadikan hampir tidak ada seorangpun dari pemegang otoritas baik sipil maupun militer yang bertanggung jawab atas kekejaman yang terjadi di Timtim. Pututsan tersebut menimbulkan kekaburan dalam membangun justice dalam kasus pelanggaran kejahatan internasional yang telah menjadi perhatian masyarakat internasional serta berakibat pada preseden buruk bagi Indonesia di mata dunia internasional. Selain itu, putusan tersebut telah menimbulkan kontradiksi dengan fakta-fakta hukum dalam putusan yang telah dibuat oleh pengadilan tingkat rendahan (judex jurist). Fakta hukum berupa putusan pengadilan yang telah mebebaskan seluruh para perwira TNI/Polri karena tidak terbukti ditemukannya relasi antara pemegang komando dengan otoritas sipil dengan militer sehingga para perwira tersebut tidak bertanggung jawab atas pelamnggaran HAM yang terjadi pada saat itu. Akan tetapi fakta hukum yang disampaikan dalam putusan PK MA yang membebaskan Abilio justru menyatakan adalah TNI/Polri yang memiliki kewenangan dalam menjaga keamanan dan ketertiaban selama jajak pendapat berlangsung. Posisi gubernur adalah sebatas pada kewenangan administratif. Kontradiksi fakta hukum tersebut dapat mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melakukan evaluasi terhadap jalannya peradilan kasus pelanggaran HAM di Timtim karena Indonesia dinilai mengingkari kepercayaan yang diberikan masyarakat internasional untuk mengadili sendiri para pelaku kejahatan internasional. Kami memandang putusan tersebut belum menghentikan upaya hukum terhadap kasus pelanggaran HAM berat di Timtim. Justru terdapat hal-hal penting yang patut dipertimbangkan oleh Kejaksaan Agung untuk membuka serta mengajukan kembali ke pengadilan seluruh kasus pelanggaran HAM berat Timtim. Dalam upayanya itu, Kejaksaan Agung juga harus melakukan re-eksaminasi dengan memperhatikan serta mengacu pada fakta-fakta, temuan-temuan serta rekomendasi dari Komisi Penyelidikan Pelanggaran (KPP) HAM Timtim. Untuk itu, kami mendesak Jaksa
8
Agung Abdul Rahman Saleh untuk segera mengajukan kembali kasus-kasus tersebut sebagai langkah-langkah nyata memutus rantai impunitas (cycle of impunity) yang hingga kini masih terus berlangsung di tanah air kita. 3. Pasca Penyerahan Laporan KKP, Kasus Timor Timur Ditutup Selasa, 15 Juli 2008 18:57 WIB Nusa Dua (ANTARA News) - Kasus pelanggaran hak asasi manusia menjelang dan pasca jajak pendapat 1999 di Timor Timur secara resmi ditutup setelah penyerahan laporan Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia-Timor Leste kepada dua kepala negara terkait. "Dengan adanya hasil KKP ini maka pelanggaran HAM menjelang dan sesudah jajak pendapat 1999 ditutup dan tidak dimaksudkan untuk diikuti dengan proses hukum lanjutan," kata Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda di Nusa Dua, Bali, Selasa, seusai mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima laporan KKP. Hassan mengatakan, kedua negara sepakat untuk menindaklanjuti laporan KKP itu dengan sebuah rencana aksi yang merujuk pada rekomendasi-rekomendasi yang diberikan oleh KKP. "Ini adalah pekerjaan rumah atau bagian dari tugas komisi dua negara di tingkat menteri,"
ujarnya.
Kedua
negara,
lanjut Menlu
RI,
menerima laporan
tersebut,
menyampaikan penyesalan atas peristiwa itu dan berkomitmen memenuhi rekomendasirekomendasi KKP. "Laporan KKP ini kemudian akan diserahkan ke parlemen kedua negara, sementara itu dokumentasi laporan akan dibuka secara luas untuk diakses publik," ujarnya. Dengan akses terbuka terhadap publik, lanjut dia, maka diharapkan dapat meningkatkan pengertian antar masyarakat kedua negara sehingga memperbaiki hubungan kedua negara. Sementara itu dalam kesempatan yang sama Menlu Timor Leste Zacaria Albano Da Costa mengatakan bahwa sesungguhnya sejumlah rekomendasi dalam laporan KKP telah dilaksanakan oleh pemerintah kedua negara, antara lain pasar di perbatasan dan lintasan antar negara. Dia juga mengatakan bahwa penyerahan laporan KKP itu diharapkan dapat menjadi momentum baru dalam mengukir sejarah kedua negara. KKP adalah sebuah lembaga yang dibentuk Pemerintah Indonesia dan Timor Leste untuk mencari titik terang kerusuhan pasca Jajak Pendapat Timor Timur 1999. KKP dibentuk 9 Maret 2005 dan anggotanya dilantik pada tanggal 14 Agustus 2005 dan berkedudukan di Denpasar, Bali. Lembaga ini terdiri dari 10 orang masing-masing 5 dari Indonesia dan 5 dari Timor Leste dan 2 koordinator masingmasing 1 dari Indonesia dan Timor Leste. Anggota dari Indonesia adalah Benjamin
9
Mangkoedilaga (koordinator), Ahmad Ali, Wisber Loeis, Mgr. Petrus Turang, dan Agus Widjojo. Sementara anggota dari Timor Leste adalah Jacinto Alves (koordinator), Dionosio Babo, Aniceto Guterres, Felicidade Guterres, dan Cirilio Varadeles. Selama bertugas KKP berupaya untuk mengungkap tiga kasus yang terjadi sebelum dan paska jajak pendapat di Timor Timur tahun 1999 , yaitu kasus pembunuhan di Gereja Liquic`a, perusakan rumah Manuel Carrascalao, dan kerusuhan Santa Cruz. Beberapa tokoh yang telah didengar keterangannya oleh KKP diantaranya, mantan Menlu Ali Alatas, Mantan Presiden BJ Habibie, Mantan Panglima ABRI Wiranto, Mantan Uskup Dili Carlos Felipe Ximenes Belo, Mantan Kepala Badan Intelijen ABRI Mayjen (Purn) Zacky Anwar Makarim, Mantan Komandan Korem Wiradharma Dili Mayjen Suhartono Suratman, dan Mantan Panglima Kodam IX Udayana Mayjen (Purn) Adam Damiri. KKP tidak bermaksud menindaklanjuti penemuannya secara hukum karena seluruh kasus pelanggaran HAM menjelang dan sesudah jajak pendapat 1999 di Timor Timur telah ingkrah secara hukum sehingga tidak dapat diajukan kembali ke pengadilan. C. Kesimpulan
Kasus Pelanggaran HAM yang terjadi di Timor-Timur paska jajak pendapat, militer dan Polisi serta milisi Pro Indonesia melakukan pembunuhan, pembakaran,dan pemaksaan terhadap penduduk untuk pindah. Pelanggaran HAM yang terjadi termasuk dalam pelanggaran kejahatan kemanusiaan karena akibat dari serangan itu yang meluas dan sistemik yang ditunjukkan kepada rakyat sipil yang berupa penyiksaan, penganiayaan, pemerkosaan serta pembunuhan. Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Aparat Pemerintah yang terjadi pada bulan September 1999 yang ditujukan kepada rakyat sipil terutama mereka terutama mereka yang dianggap Pro kemerdekaan dan staf Unamet. Dalam proses penghancuran kota, pihak pelaku juga melakukan penculikan, pembunuhan terhadap dua orang staf lokal UNAMET dan aktivis Pro kemerdekaan. Terjadi penyerangan baik dengan senjata api maupun senjata tajam terhadap penduduk yang berupaya mengungsi. Proses penyelesaian hukum Kasus pelanggaran hak asasi manusia menjelang dan pasca jajak pendapat 1999 di Timor Timur secara resmi ditutup setelah penyerahan laporan Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia-Timor Leste kepada dua kepala negara terkait. KKP tidak bermaksud menindaklanjuti penemuannya secara hukum karena seluruh kasus pelanggaran HAM menjelang dan sesudah jajak pendapat 1999 di Timor Timur telah ingkrah secara hukum sehingga tidak dapat diajukan kembali ke pengadilan. 10