KAJIAN ANTROPOLOGIS FILSAFI TERHADAP HAKIKAT MANUSIA DAN PENDIDIKAN
Pendahuluan
KAJIAN BEBERAPA PANDANGAN FILSAFAT TERHADAP HAKIKAT MANUSIA DAN PENDIDIKAN
Makalah ini akan membahas kaitan pendidikan dengan pandangan filsafatnya yaitu terhadap 2 aliran tradisional (idealisme dan realisme), 2 aliran filsafat modern (Pragmatisme dan eksistensialisme) serta filsafat pancasila FILSAFAT IDEALISME
Secara epistemologi, istilah Idealisme berasal dari kata idea yang artinya adalah sesuatu yang hadir dalam jiwa (Plato), jadi pandangan ini lebih menekankan hal-hal bersifat ide, dan merendahkan hal-hal yang materi dan fisik. Realitas sendiri dijelaskan dengan gejala-gejala psikis, roh, pikiran, diri, pikiran mutlak, bukan berkenaan dengan materi. Idealisme merupakan salah satu aliran filsafat tradisional yang paling tua. Aliran idealisme merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang mengagungkan jiwa. Menurutnya, cita adalah gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak di antara gambaran asli (cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera. Pertemuan antara jiwa dan cita melahirkan suatu angan-angan yaitu dunia idea. Aliran ini memandang serta menganggap bahwa yang nyata hanyalah idea. Idea sendiri selalu tetap atau tidak mengalami perubahan serta penggeseran, yang mengalami gerak tidak dikategorikan idea. Keberadaan idea tidak tampak dalam wujud lahiriah, tetapi gambaran yang asli hanya dapat dipotret oleh jiwa murni. Alam dalam pandangan idealisme adalah gambaran dari dunia idea, sebab posisinya tidak menetap. Sedangkan yang dimaksud dengan idea adalah hakikat murni dan asli. Keberadaannya sangat absolut dan kesempurnaannya sangat mutlak, tidak bisa dijangkau oleh material. Pada kenyataannya, idea digambarkan dengan dunia yang tidak berbentuk demikian jiwa bertempat di dalam dunia yang tidak bertubuh yang dikatakan dunia idea. Inti yang terpenting dari ajaran ini adalah manusia menganggap roh atau sukma lebih berharga dan lebih tinggi dibandingkan dengan materi bagi kehidupan manusia. Roh itu pada dasarnya dianggap suatu hakikat yang sebenarnya, sehingga benda atau materi disebut sebagai penjelmaan dari roh atau sukma. Sedangkan, pokok utama yang diajukan oleh idealisme adalah jiwa mempunyai kedudukan yang utama dalam alam semesta. Sebenarnya, idealisme tidak mengingkari materi. Namun, materi adalah suatu gagasan yang tidak jelas dan bukan hakikat. Jenis-Jenis Idealisme
Terdapat pengelompokkan-pengelompokkan tentang jenis-jenis idealisme. Berikut akan diuraikan secara singkat tentang idealisme subyektif, idealisme oyektif, dan personalisme. 1.
Idealisme Subyektif (Immaterialisme)
Idealisme Subyektif kadang-kadang dinamakan mentalisme atau fenomenalisme. Seorang idealis subyektif berpendirian bahwa akal, jiwa dan persepsi-persepsinya atau ide-idenya merupakan segala yang ada. Obyek pengalaman bukan benda material, obyek pengalaman adalah peersepsi. Benda-benda seperti bangunan dan pohon-pohonan itu ada, tetapi hanya ada dalam akal yang mempersepsikannya. Kaum idealis subyektif mengatakan bahwa tak mungkin ada benda atau persepsi tanpa seorang yang mengetahui benda atau persepsi tersebut, subyek (akal atau si yang tahu) seakan-akan menciptakan obyeknya (apa yang disebut materi atau benda-benda) bahwa apa yang riil itu adalah akal yang sadar atau persepsi yang dilakukan oleh akal tersebut. Mengatakan bahwa suatu benda ada berarti mengatakan bahwa benda itu dipersepsikan oleh akal.
2. Idealisme Obyektif
Idealisme Objektif adalah idealisme yang bertitik tolak pada ide di luar ide manusia. Idealisme objektif ini dikatakan bahwa akal menemukan apa yang sudah terdapat dalam susunan alam. Menurut idealisme objektif segala sesuatu baik dalam alam atau masyarakat adalah hasil dari ciptaan ide universil. Pandangan filsafat seperti ini pada dasarnya mengakui sesuatu yang bukan materi, yang ada secara abadi di luar manusia, sesuatu yang bukan materi itu ada sebelum dunia alam semesta ini ada, termasuk manusia dan segala pikiran dan perasaannya. Kelompok idealis obyektif modern berpendapat bahwa semua bagian alam tercakup dalam suatu tertib yang meliputi segala sesuatu, dan mereka menghubungkan kesatuan tersebut kepada ide dan maksud-maksud dari suatu akal yang mutlak (absolute mind ). Kelompok idealis obyektif tidak mengingkari adanya realitas luar atau realitas obyektif. Mereka percaya bahwa sikap mereka adalah satu-satunya sifat yang bersifat adil kepada segi obyektif dari pengalaman, oleh karena mereka menemukan dalam alam prinsip: tata tertib, akal dan maksud yang sama seperti yang ditemukan manusia dalam dirinya sendiri. Terdapat suatu akal yang memiliki maksud di alam ini. Mereka percaya bahwa hal itu ditemukan bukan sekadar difahami dalam alam. 3.
Idealisme Personal/ personalisme
Idealisme personal yaitu nilai-nilai perjuangannya untuk menyempurnakan dirinya. Personalisme muncul sebagai protes terhadap meterialisme mekanik dan idealisme monistik. Sebagai suatu kelompok, pengikut aliran idealisme personal menunjukkan perhatian yang lebih besar kepada etika dan lebih sedikit kepada logika daripada pengikut idealisme mutlak. HAKIKAT MANUSIA
Hakikat manusia adalah jiwanya, rohaninya atau ser ing disebut dengan mind yang merupakan suatu wujud yang mampu menyadari dunianya, bahkan sebagai pendorong dan penggerak semua tingkah laku manusia. Dengan kata lain mind ini adalah faktor utama yang menggerakkan semua aktivitas manusia. Atau jiwa dikaruniai kemampuan berpikir yang dapat menyebabkan adanya kemampuan memilih.
IDEALISME DAN PENDIDIKAN
Dalam hubungannya dengan pendidikan, idealisme memberikan sumbangan yang besar terhadap teori perkembangan pendidikan, khususnya filsafat pendidikan. Filsafat idealisme diturunkan dari filsafat metafisik yang menekankan pertumbuhan rohani. Kaum idealis percaya bahwa anak merupakan bagian dari alam spiritual, yang memiliki pembawaan spiritual sesuai potensialitasnya. Oleh karena itu, pendidikan harus mengajarkan hubungan antara anak dengan bagian alam spiritual. Pendidikan harus menekankan kesesuian batin antara anak dan alam semesta. Pendidikan merupakan pertumbuhan ke arah tujuan pribadi manusia yang ideal. Pendidik yang idealisme mewujudkan sedapat mungkin watak yang terbaik. Pendidik harus memandang anak sebagai tujuan, bukan sebagai alat.
FILSAFAT REALISME
Realisme adalah aliran yang menyatakan bahwa objek-objek pengetahuan yang diketahui adalah nyata dalam dirinya sendiri. (Ihsan, Fuad, 2010:90). Realisme adalah suatu bentuk yang dapat merepresentasikan kenyataan. Realisme terpusat pada pertanyaan tentang representasi, yaitu tentang bagaimana dunia dikonstruksi dan disajikan secara sosial kepada dan oleh diri kita. Inti realisme dapat dipahami sebagai kajian tentang budaya sebagai praktik-praktik pemaknaan dari representasi. Filsafat pendidikan realisme, adalah merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualistis. Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia ruhani. Realisme juga membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari
dan mengetahui di satu pihak, dan pihak lain adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia.
HAKIKAT MANUSIA
Hakikat manusia terletak pada apa yang dikerjakannya. Pikiran atau jiwa merupakan suatu organisme yang sangat rumit yang mampu berpikir. Manusia bisa bebas atau tidak bebas.
REALISME DAN PENDIDIKAN
1. Realisme Rasional, memandang bahwa dunia materi adalah nyata dan berada di luar pikiran yang mengamatinya. Realisme rasional merupakan pandangan dari Knelle. 2. Realisme Klasik, berpandangan bahwa manusia sebenarnya memiliki ciri rasional. Dengan demikian manusia dapat menjangkau kebenaran umum. Eksistensi Tuhan merupakan penyebab pertama dan utama realistas alam semesta. Memperhatikan intelektual adalah penting bukan saja sebagai tujuan melainkan sebagai alat untuk memecahkan masalah. Menurut realisme klasik pengalaman manusia penting bagi pendidikan. 3.Realisme religius, kenyataan itu dipandang berbentuk natural dan supernatural. Pandangan filsafat ini menitik beratkan pada hakikat kebenaran dan kebaikan. Pendidikan merupakan suatu proses untuk meningkatkan diri guna mencapai kebenaran abadi. Kebenaran bukan dibuat melainkan sudah ditentukan dan belajar harus mencerminkan kebenaran itu.
4. Realisme Kritis, Menurut Imanuel Kant, realisme kritis adalah pengetahuan mulai dari
pengalaman namun tidak semua dari pengalaman. Pikiran tanpa isi adalah kosong dan tanggapan tanpa konsepsi adalah buta. 5. Adapula pandangan lain mengenai realisme yaitu Neo-realisme yang merupakan
pandangan dari Frederick Breed mengenai filsafat pendidikan yang hendaknya harmoni dengan prinsip-prinsip demokrasi, yaitu menghormati hak-hak individu. Pendidikan sebagai pertumbuhan harus diartikan sebagai pengarah terhadap tuntunan sosial dan individual.
FILSAFAT PRAGMATISME
berpandangan bahwa pengetahuan dan perbuatan bersatu tak terpisahkan, dan semua pengetahuan bersumber dari dan diuji kebenarannya melalui pengalaman. Tujuan pendidikan adalah pertumbuhan, dan kondisi optimum atau tertinggi dari pertumbuhan adalah kebebasan mengadakan penelitian bersama dengan urun pemikiran yang tidak terkekang dalam suatu sistem kerja sama yang terbuka. Metode pemecahan masalah yang telah dikembangkan dalam ilmu sebagai pendekatan ilmiah, juga merupakan metode belajar dalam pe ndidikan.
HAKIKAT MANUSIA
Manusia tidak terpisah dari realitas pada umumnya, sebab manusia adalah bagian daripadanya dan terus-menerus bersamanya. Karena realitas terus berubah, manusia pun merupakan bagian dari perubahan tersebut. Beradanya manusia di dunia ini adalah suatu kreasi dari suatu proses yang bersifat evolusi (S.E. Frost Jr., 1957). “Manusia laki -laki dan perempuan-adalah hasil evolusi biologis, psikologis dan sosial” (Edward J. Power, 1982) sejalan dengan perubahan yang terus-menerus terjadi tentunya akan muncul berbagai permasalahan dalam kehidupan pribadi dan masyarakatnya.
PRAGMATISME DAN PENDIDIKAN
Filsuf pragmatisme berpendapat bahwa pendidikan harus mengajarkan seseorang tentang bagaimana berpikir dan menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Sekolah harus bertujuan mengembangkan pengalaman-pengalaman tersebut yang akan memungkinkan seseorang terarah kepada kehidupan yang baik. Tujuan-tujuan pendidikan tersebut meliputi: Kesehatan yang baik Keterampilan-keterampilan kejuruan (pekerjaan) Minat-minat dan hobi-hobi untuk kehidupan yang menyenangkan. Persiapan untuk menjadi orang tua. Kemampuan untuk bertransaksi secara efektif dengan masalah-masalah sosial (mampu memecahkan masalah-masalah sosial secara efektif) Tujuan-tujuan khusus pendidikan sebagai tambahan tujuan-tujuan di atas, bahwa pendidikan harus meliputi pemahaman tentang pentingnya demokrasi. Pemerintahan yang demokratis memungkikan setiap warga negara tumbuh dan hidup melalui interaksi sosial yang memberikan tempat bersama dengan warga negara lainnya. Pendidikan harus membantu siswa menjadi warga negara yang demokratis (Callahan and Clark, 1983). Karena itu menurut pragmatisme
pendidikan
hendaknya
bertujuan
menyediakan
pengalaman
untuk
menemukan/memecahkan hal-hal baru dalam kehidupan pribadi dan kehidupan sosialnya (Edward J. Power, 1982). Untuk mengetahui apa yang menjadi tujuan pendidikan pragmatisme, tidak terlepas dari pandangannya tentang realitas, teori pengetahuan dan kebenaran, serta teori nilai. Seperti telah dikemukakan, bahwa realitas merupakan interaksi manusia dengan lingkungannya. Dunia akan bermakna sejauh manusia mempelajari makna yang terkandung di dalamnya. Perubahan merupakan esensi dari realitas, dan harus siap mengubah cara-cara yang akan kita kerjakan. Mengenai kebenaran, pada prinsipnya kebeneran itu tidak mutlak, tidak berlaku umum, tidak tetap, tidak berdiri sendiri dan tidak terlepas dari akal yang mengenal. Yang ada hanya kebenaran khusus, yang setiap saat bis diubah oleh pengalaman berikutnya. Sedangkan mengenai nilai, pragmatism menganggap bahwa nilai itu relative. Kaidah-kaidah moral dan eika tidak tetap, melainkan terus berubah seperti perubahan kebudayaan dan masyarakat. Dari uraian diatas, dapat ditafsirkan apa dan bagaimana tujuan pendidikan serta bagaimana pelaksanaan pendidikan diorganisasikan. Objektifitas tujuan pendidikan harus diambil dari masyarakat dimana si anak hidup, dimana pendidikan berlangsung, karena pendidikan berlangsung dalm kehidupan. Tujuan pendidikan tidak berada di luar kehdupan melainkan berada di dalam kehidupan sendiri. Seperti telah di uraikan bahwa esensi relaitas adalah perubahan, tidak ada kebenaran mutlak, serta nilai itu relatif, maka berkaian dengan tujuan pendidikan, menurut pragmatism tidak ada tujuan umum yang berlaku secara universal, tidak ada tujuan yang tetap ddan pasti. Yang ada hanyalah tujuan khusus belaka, tidak ada tujuan yang berlaku umum yang universal. Jadi, tujuan pendidikan tidak dapat dietapkan pada semuan masyarakat kecuali apabila terdapat hubungaan timbale balik antara masing-masing individu dalam masyarakat tersebut. Walaupun pragmatisme tidak mengenal tujuan akhir pendidikan namun Dewey (1964:94) mengemukakan beberapa kriteria dalam menentukan tujuan pendidikan yaitu harus dihasilkan dari situasi kehidupan di sekeliling anak dan pendidik, harus fleksibel dan mencerminkan aktifitas bebas. Tujuan pendidikan, menurut pragmatisme bersifat temporer, karena tujuan itu merupakan alat untuk bertindak. Apabila suatu tujuan telah tercapai maka hasil tujuan tersebut menjadi alat unuk mencapai tujuan berikutnya. Dengan tujuan pendidikan individu harus mampu melanjutkan pendidikan. Hasil belajar harus dapat dijadikan alat untuk tumbuh. Beberapa karakteristik tujuan pendidikan yang harud diperhatikan adalah: 1.
Tujuan pendidikan hendaknya ditentukan dari kegiatan yang didasarkan atas kebutuhan
instrinsik anak didik.
2.
Tujuan pendidikan harus mampu memunculkan suatu metode yang dapat mempersatukan
aktifitas pengajaran yang sedang berlangsung. 3.
Tujuan pendidikan adalah spesifik dan langsung pendidikan harus tetap menjaga untuk
tidak mengatakan yang berkaitan dengan tujuan umum dan tujuan akhir. Tujuan pendidikan adalah suatu kehidupan yang baik, yaitu kehidupan seperti yang digambarkan oleh Kingsley Price (1962:476), “Kehidupan yang baik dapat dimiliki, baik oleh individu maupun oleh masyarakat. Kehidupan yang baik merupakan suatu pertumbuhan maksimum dan hanya dapat diukur oleh mereka yang memiliki inelegensi (kecerdasan) yang baik. Perbuatan yang intelijen (cerdas) merupakan jaminan terbaik untuk melangsungkan pertumbuhan, merupakan jaminan terbaik untuk moral yang baik.” Pada hakikatnya masyarakat adalah terbaik, namun masyarakat yang demokratis merupakan masyarakat terbaik, dimana terdapat kesempatan untuk setiap pekerjaan, dan dalam demokrasi tidak mengenal adanya stratifikasi sosial. Kesamaan-kesamaan merupakan jaminan bahwa setiap orang akan dapat mengambil bagian melaksanakan segala aktivitas lembaga yang ia masuki. Penggunaan intelegensi secara maksimal, berarti memberi kesempatan suatu pertumbuhan kepada individu secara maksimal.
FILSAFAT EKSISTENSIALISME
berpandangan bahwa kenyataan yang sebenarnya adalah bahwa manusia hidup di dunia tanpa tujuan, dan kehidupan ini pada dasarnya suatu teka-teki. Kemudian manusia mencoba mencari makna hidup di dunia, dengan jalan mewujudkan dirinya sebagai manusia. Oleh karena itu, tujuan utama pendidikan adalah membantu individu untuk mampu mewujudkan dirinya sebagai manusia. Metode pendidikannya dengan metode penghayatan (non directive atau absortive learning), dan metode dialog atau percakapan langsung.
HAKIKAT MANUSIA
EKSISTENSIALISME DAN PENDIDIKAN
Konsep pendidikan menurut eksistensialisme adalah pengembangan daya kreatif dalam diri anak-anak, bukan saja sebagai pribadi atau individu, tetapi anak adalah suatu realitas. Dengan demikian, pendidikan adalah sama dengan realitas itu sendiri. Setiap anak dilahirkan dengan sifat-sifat bawaan yang berasal “dari sana”, yaitu yang diwariskan dari khasanah seluruh ras manusia. Oleh karena itu, setiap anak dilahirkan dengan ciri khas, namun masih harus dikembangkan, yang merupakan suatu realitas besar. Apa arti perkembangan daya kreatif?
Artinya adalah panggilan illahi bagi kehidupan yang bersembunyi dalam ketiadaan. Selanjutnya,
Power
(1982;
141-144)
menjelaskan,
bahwa
pendidikan
menurut
eksistensialisme mempunyai dua tugas utama, yaitu pemenuhan tujuan-tujuan personal dan mengembangkan rasa kebebasan dan rasa tanggung jawab. Dalam pemenuhan tujuan-tujuan personal, sekolah harus berusaha memperkenalkan siswa kepada kehidupan. Mata pelajaranmata pelajaran yang ada di sekolah hanyalah sebagai sarana untuk realisasi dari subyektivitas. Dalam realisasi ini dibutuhkan pula mengadopsi seperangkat nilai, yaitu suatu kaidah tingkahlaku yang sesuai dengan kehidupan personal. Nilai dapat bersumber dari pengalaman murni, atau dari warisan leluhur, atau bersumber dari hukum alam atau hukum supernatural. Dalam mengembangkan kebebasan dan rasa tanggung jawab, pendidikan memberikan kebebasan pada seseorang yang dalam posisi moralnya mampu memilih suatu nilai yang baik untuk dirinya dan baik untuk orang lain. Pendidikan yang baik ialah mempersiapkan seseorang agar memiliki kebebasan, dan pada saat yang sama menghargai kebebasan semua orang lainnya,“ I am responsible for my self and for all”. Berkenaan dengan hal tersebut, guru berfungsi sebagai penyampai misi kebebasan dan tanggung jawab lebih dari sekedar pengajar mata pelajaran-mata pelajaran yang terdapat dalam kurikulum. Dengan demikian kurikulum dirancang untuk menghasilkan manusia bebas bukan manusia budak.
Hakikat Manusia dan Pendidikan Menurut Pancasila
Amanat dari Pembukaan UUD 1945 menyatakan, “ Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka.....” Amanat ini memberikan inspirasi bahwa Pancasila mengandung nilai-nilai yang luhur dalam menempatkan kepentingan umat baik melalui peningkatan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ketertiban dunia. Nilai kesejahteraan, kece rdasan dan ketertiban, merupakan citacita yang perlu dikembangkan melalui proses yang kompleks yang mempunyai kaitan erat antara satu aspek dengan aspek-aspek kehidupan lainnya. Pandangan ini memberi makna, bahwa segala permasalahan yang menyangkut aspek dunia perlu dipecahkan melalui perangkat ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan aspek kesejahteraan, kecerdasan dan ketertiban yang juga mengandung makna rohaniah (batiniah) dipecahkan bukan hanya dengan ilmu dan teknologi, tetapi juga dengan pendekatan filsafiah dan agama. Hal tersebut
mengandung makna, bahwa manusia mempunyai potensi yang luar biasa yang berbeda dengan jenis makhluk apapun yaitu potensi akal (homo sapien). Dengan potensi akal inilah alam telah mampu ditaklukan, kehidupan telah begitu merambah ke berbagai lapangan yang tadinya dianggap tidak mungkin, sekarang menjadi mungkin. Banyak hasil pemikiran manusia yang berupa ilmu pengetahuan dan teknologi modern, termasuk ilmu cybernetic yang menjelajah alam maya pada, sehingga berbagai informasi di seluruh penjuru dunia bisa dideteksi dan diantisipasi perkembangannya. Semua kemampuan ini adalah berkat perkembangan akal manusia yang dikembangkan melalui pendidikan. Dengan dasar pemikiran tersebut, maka keutamaan hakikat manusia ditempatkan pada derajat yang paling tinggi oleh pandangan Pancasila, karena manusia sebagai subyek yang menentukan maju dan mundurnya kehidupan baik sebagai individu, sebagai anggota masyarakat ataupun sebagai khalifah di bumi yang harus bertanggung jawab kepada Sang Khalik, Tuhan Yang Maha Esa. Untuk mencapai derajat manusia yang berkualitas tersebut, pendidikan adalah wahana yang dapat mengantarkan dan membimbing manusia ke tingkat martabat manusiawi. Keutamaan hakikat manusia bisa berkembang apabila potensi-potensi lain yang ada pada diri manusia juga dikembangkan secara optimal. Perkembangan pribadi yang optimal hanya mungkin apabila dalam diri seseorang tidak ada tekanan dan intervensi yang jauh dalam mengendalikan kehidupannya. Sekaitan dengan itu, Ki Hajar Dewantara (1983; 3540)menggagas pendidikan yang berbasis pada lima dasar (Panca Darma) yaitu:Kemerdekaan, kodarat alam, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan.Prinsip tersebut menggambarkan betapa keunggulan manusia dihargai dandikembangkan sesuai dengan hak azasi yang ada pada manusia, bukan hanyasebagai slogan yang disebarkan negara adikuasa agar menjunjung tinggi
hakazasi
manusia,
sementara
mereka
mengintervensi
negara
lain
dengan
dalihmenegakkan demokrasi.Manusia, menurut pandangan Pancasila adalah sebagai makhluk ciptaanTuhan Yang Maha Esa, makhluk individual dan sekaligus sosial, dan dari ketigapotensi tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh sebagai subtansi manusiaIndonesia dari wujud jasmani dan rohaninya. Pancasila menghargai terhadapnilai-nilai dan hak-hak pribadi (individual), selama nilai-nilai tadi tidakbertentangan dengan kepentingan masyarakat atau negara. Pancasila juga tidakmengutamakan nilai-nilai masyarakat atau golongan, apabila nilai-nilai
itubertentangan
maupunsecara
yuridis.
yangmemberikan nilaikemasyarakatan
dengan
Pancasila
kemaslahatan yang
nilai-nilai
martabat
lebih
mendukung
bagi
kehidupan
mendukung
terhadap
kemanusiaan
terhadap
secara
nilai-nilai
bermasyarakat,
perbaikan
nilai/mutu
hakiki
individual
dan
nilai-
kehidupan
paraanggotanya dan masyarakat sebagai kesatuan. Dengan demikian, Pancasilamenempatkan
manusia dalam keluhuran martabatnya sebagai makhluk TuhanYang Maha Esa. Manusialah yang menjadi titik tolak usaha kita untukmemahami manusia itu sendiri, manusia dan masyarakat, serta manusia denganlingkungan hidupnya (BP7; 1996, hal. 46)Pandangan Pancasila terhadap hakekat manusia sebagai makhluk ciptaanyang paling sempurna dari Tuhan Yang Maha Esa, adalah bahwa manusiamempunyai potensi yang dibawa sejak lahir, yang perlu dikembangkan dalammelalui proses pendidikan. Potensi ini yang diyakini bahwa manusiadisamping memiliki kekuatan juga ada sisi kelemahannya, di samping adakebaikan ada juga sisi kurang baiknya. Oleh karena itu, Pancasila bertolak darinilai-nilai kemanusiaan, yaitu menempatkan manusia dalam keluhuran harkatdan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Manusialah yangmenjadi titik tolak usaha kita untuk memahami manusia itu sendiri, manusia danmartabatnya, serta manusia dengan lingkungan hidupnya. Implikasi dari pernyataan tersebut adalah bahwa seluruh upaya dalam rangka membangunmanusia Indonesia harus bertolak dan bermuara pada hakikat manusianya terlebih dalam upaya pendidikan yang tidak mungkin melepaskan permasalahanmanusia.Manusia Indonesia dalam pandangan Pancasila tidak diartikan sebagaimakhluk individual yang menyendiri, terasing dan terlepas dari yang lainnya,tetapi sebagai makhluk yang hid up “sesama manusia” dan bersama manusialainnya. Pemikiran ini juga pernah dikemukan oleh M. Heidegger yang dikutipoleh MI.Soelaeman (1984, hal. 101) yaitu bahwa “menjadi manusia adalahmenjadi sesama manusia”. Maksudnya ialah bahwa setiap kita memikirkan danmenentukan manusia, kita selalu menjumpainya bersama manusia lain, bersamasesama manusia, sehingga menurut pandangan ini bahwa manusia tidakterbayangkan jika tanpa lingkungan manusia dan pendidikan. Hal inimengandung makna, bahwa manusia yang hidup dengan manusia lain tidakselalu meningkatkan harkat dan martabat kemanusiawiannya, apabila tanpadibarengi dengan pendidikan. Pernyataan ini menunjukkan bahwa keutamaanmanusia hanya bisa dikembangkan
melalui
pendidik-an,
baik
pendidikan
umum
maupun
pendidikan
profesional.Uraian tersebut memberikan pemahaman kepada kita, bahwa titik tolakuntuk melaksanakan pendidikan adalah memahami terhadap konsep hakikatmanusia dan usahausaha pemberian bantuannya dengan kerjasama dalammencapai tujuan pendidikan. Demikian pula, Soeprapto, dkk. (1996; 45)menjelaskan tentang pentingnya pemahaman terhadap hakikat pendidikan,bahwa Pancasila mengakui manusia sejak lahir sampai meninggal duniamemerlukan bantuan dan kerjasama dengan orang lain. Manusia sebagaimakhluk berperasaan, memerlukan tanggapan emosional dari orang lain,memerlukan pengertian, kasih sayang, harga diri, dan pengakuan untukpergaulan dan kesejahteraan hidup yang sehat. Makna yang terkandung dalampenjelasan tersebut, adalah bahwa untuk mengembangkan
manusia Indonesia kederajat yang lebih unggul diperlukan pendidikan yang berbasis pada pemahamanhakikat
manusia
yang
memiliki
potensi-potensi
psikologis,
sosiologis,
kultural,biologis, dan potensi-potensi lainnya.Konsep hakikat pendidikan Pancasila, sebagaimana Soeprapto, dkk.(1996), menyatakan bahwa:Pancasila menampilkan pandangan bahwa manusia pada hakikatnya adalahkesatuan pribadi yang memiliki dimensi individual dan sekaligus sosial. Olehkarena itu, pembentukan kepribadiannya harus terjadi dengan merealisasikankedua dimensi itu secara integral dan seimbang. Pengembangan pribadi hanya terjadi dengan baik sejauh dilakukan dalam konteks kemasyarakatannya,sedangkan masyarakat hanya akan bermakna dan meningkat kualitasnyasejauh mampu mendukung proses pendewasaan pribadi-pribadi warganya.Konsep tersebut, secara tegas memandang manusia sebagai kesatuanyang utuh antara berbagai aspek yang ada pada diri manusia, baik antara dimensiindividual dan sosial, maupun antara dimensi keragawian dan kejiwaan sertakeruhanian.Apabila manusia itu dipandang dari aspek fisiknya belaka, maka manusiahanya
dianggap
sebagai
mesin
belaka,
sehingga
menggerakkkan
dan
menghidupkanmanusia tidak ada ubahnya dengan menggerakkan dan menghidupkanmesin. Maka gerak dan hidup manusia akan tunduk pada hukum yang sifatnyamekanistik, sepertimesin, yang penting mesin itu dapat berfungsi, sedangkanyang merupakan tujuan dari segala gerak berada di luar jangkauan mesin.Dengan perkataan lain, dari manusia yang hidup dan bergerak seperti mesin itutidak dapat diharapkan bahwa ia dapat bersifat aktif dan kreatif sertabertanggung
jawab,
tidak
dapat
dari
padanya
“menumbuhkan
manusia -
manusiapembangunan yang dapat membangun dirinya serta bersama-samabertanggungjawab atas pembangunan bangsa”. Apabila pandangan yangmenganggap bahwa m anusia hidup secara mekanistis dapat dikendalikansegalanya oleh kekuatan atau otoritas, apakah manusia yang demikian dapatdipertinggi budi pekertinya dan diperkuat kepribadiannya ? Oleh karena itu,Pancasila mengakui hakikat manusia tidak dilihat dari aspek raganya belaka,namun raga/badan manusia yang hidup mencakup aspek jiwani, merupakanrealisasi kejiwaan. Hal ini dapat kita lihat bagaimana orang gembira, akanmemancarkan sinar di wajah yang berseriseri atau meneteskan air mata karenabahagia, atau tertawa gembira atau dengan sujud syukur yang tercermin darigerak dan laku badan.Dengan demikian, pandangan Pancasila terhadap hakikat manusia yangdidasarkan pada keyakinan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhansesuai dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, membuka perspektif yang jauhterhadap pandangan tentang hakikat manusia (antropologis) serta memilikidampaknya terhadap pengertian serta pelaksanaan pendidikan. Permasalahannyaadalah belum semua guru memahami bagaimana bertindak pedagogis yangsesuai dengan pandangan bahwa hakikat
manusia sebagai makhluk Tuhan.Pemahaman terhadap hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan, mengimplikasikanpandangan bahwa manusia memiliki kekuatan dan potensi yang jikadididik dengan benar, maka ia akan memiliki ruh ilahiah yang mempunyaikecenderungan selalu ingin berbuat baik dan benar. Tetapi disisi lain, manusiamemiliki raga yang selalu berkorespondensi dengan dunia empirik yangmemiliki kecenderungan bertindak faktual, operasional, dan pragmatik. Terlebihmanusia memiliki dorongan-dorongan emosional, dan instinktif,
yangmemungkinkan
manusia
cenderung
ingin
memuaskan
hawa
nafsunya.Dorongan-dorongan ini perlu diarahkan ke perbuatan-perbuatan yang lebihrasional, positif, dan etis. Upaya ini merupakan perbuatan pendidikan yang padasatu sisi membimbing ke jalan tujuan hidup setelah kehidupan di dunia, danmengarahkan dan melatih dorongandorongan untuk menjadi kegiatan-kegiatanyang rasional, positif dan berdaya guna bagi kehidupannya.Rumusan hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan, tidak sekedarmenjadi rumusan yang tanpa arti apapun, sehingga kurikulum tidak mampumembunyikan apa tujuan yang ingin dicapai setelah anak menyelesaikanpendidikan formalnya. Oleh karena itu, diperlukan rumusan yang tegas tentanghakikat manusia menurut Pancasila dengan penjabarannya secara rinci, untukdapat disusun rumusan tujuan pendidikan yang akan dicapai. Hasil rumusan iniakan memberikan penafsiran tentang konsepsi pendidikan yang berbasis padalandasan filsafat Pancasila.Pendidikan, dikonsepsikan sebagai usaha sadar dan terencana untukmewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secaraaktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritualkeagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, sertaketerampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (UURI,No. 20/2003, Pasal 1 ayat 1, hal, 2). Selanjutnya, pada Pasal 1 ayat 2 (UURI, No.20/2003), dinyatakan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yangberdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasionalIndonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.Selaras dengan pandangan manusia sebagai makhluk Tuhan, maka dalammenggali nilai-nilai yang melandasi pendidikan itu hendaknya diperhatikan pulanilai-nilai yang bersumber pada Tuhan. Namun demikian, sebagai manusia yanghidup di dunia yang riil sekarang ini, dalam mengabdikan diri kepada Tuhan ituhendaknya tidak mengabaikan kehidupan dan permasalahan hidup di dunia.Antara kehidupan di dunia dengan kehidupan di akhirat hendaknya terdapatkeseimbangan, keseimbangan
antara
kebutuhan
material
dan
spiritual,
individualdan
sosial,
dan
keseimbangan kebutuhan jasmani dan rohani. Untuk mampuberbuat yang selaras dengan nilai-nilai keseimbangan, baik yang didasarkanpada nilai keagamaan, maupun nilai -nilai yang
ada dalam kehidupansosial/masyarakat dan negara, diperlukan suatu proses pendidikan yang panjangyang dimulai dari kehidupan keluarga, sekolah dan masyarakat. Pendidikan yang demikian tidak membatasi hanya pada pendidikan sekolah, tetapi pendidikan disemua jenjang, jenis dan jalur, yang mengimplementasikan prinsip pendidikansepanjang hayat, dan hakikat pendidikan sepanjang hayat adalah pendidikanumum. Dengan demikian, pendidikan umum adalah pendidikan yangberorientasi pada terbentuknya kepribadian manusia secara utuh, yang di dalamprosesnya terjadi internalisasi nilai-nilai, baik nilai ketuhanan, nilaikemasyarakatan/kesosialan, nilai kemanusiaan, nilai hak dan kewajiban, nilaikeadilan dan kebenaran, nilai kejujuran dan kedisiplinan dan nilai-nilai lain yangberbasis pada etika dan estetika pergaulan.Prinsip pendidikan sepanjang hayat, merupakan teori pendidikan yang penting dan perlu diimplementasikan pada perencanaan dan pelaksanaanpendidikan di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan, sehingga pendidikanmempunyai makna kehidupan yang dimulai dari sejak usia dini sampai ke lianglahat. Prinsip ini walaupun bukan dilahirkan oleh Pancasila, namun nilai-nilaiyang ada dalam sila-sila Pancasila telah mendasari dan memayungi prinsippendidikan sepanjang hayat.Menurut Waini Rasyidin (1982, hal 149-157) pendidikan sepanjanghayat adalah “sebuah konsep yang menerangkan tentang bagaimana seharusnyapendidikan dalam kehidupan kita ini diselenggarakan”. Konsep ini adalahkonsep pendidikan semesta, dimana melihat pendidikan sebagai sebuahkeseluruhan yang terpadu dari semua kegiatan pendidikan atau pengalamanbelajar yang terdapat dalam kehidupan manusia.Apabila
prinsip
pendidikan
sepanjang
hayat
ini
difahami
sebagai
prinsippengembangan pada manusia, maka ada tiga ciri konsep pendidikan sepanjanghayat, yaitu: a. Keterpaduan vertikal , yaitu bahwa pendidikan berlangsung pada seluruhtahap perkembangan seseorang, sejak lahir sampai mati. Hal ini berartibahwa kegiatan pendidikan dan belajar harus berlangsung dalam semua tahapperkembangan hidup seseorang sejak lahir sampai mati. Setiap tahaphidup berlangsung kegiatan belajar yang tertuju kepadapencapaian pertumbuhan optimal dan penyempurnaan hidup dalam setiaptahap tersebut, dan persiapan belajar untuk tahap berikutnya, sehinggaakhirnya tercapai tingkat hidup pribadi, sosial, dan profesional yang optimal.Dengan demikian, perlu kesinambunagn antara kegiatan belajar pada satutahap dengan tahap berikutnya. Keterpaduan vertikal, mempunyai maknabahwa pendidikan tidaklah berakhir setelah pendidikan sekolah selesai, tetapiada pendidikan pengembangan diri sampai seseorang menemui ajalnya. b. Keterpaduan horizontal , yaitu bahwa pendidikan mencakup pengembangansemua aspek kehidupan dan kepribadian seseorang. Hal ini berarti bahwapendidikan yang berlangsung
pada setiap tahap perkembangan hidupseseorang, harus mampu mengembangkan secara terpadu aspek-aspek fisik,intelektual, afektif, dan spiritual, yang pada akhirnya tercapai perkembangankepribadian yang lengkap. Makna lain dari perpaduan horizontal adalahbahwa pendidikan seumur hidup mencakup pendidikan umum danpendidikan profesional. c.
Keterpaduan
ekologis,
yaitu
prinsip
bahwa
pendidikan
berlangsung
dalamlingkungankehidupan manusia. Hal ini mengandung makna bahwapendidikan tidaklah terbatas pada pengalaman belajar di sekolah, tetapi jugaterjadi melalui pengalaman belajar yang tidak terencana dan insidental.Pengalaman belajar di keluarga tidak terpisahkan dari pendidikan sekolahdan masyarakat sepanjang hayat. d. Keragaman dan kelugasan dalam pendidikan, adalah konsep yangmenuntut adanya keragaman dan kelugasan program dan kegiatan yangdirancang dalam pendidikan. Pendidikan tidak bersifat satu jalur pengalamanbelajar (monolitik), tetapi pengalaman belajar yang diselaraskan kepadadan minat seseorang. Program dan kegiatan pendidikanhendaknya memberi peluang pada seseorang sesuai dengan kebutuhan dankondisi yang berbeda-beda, sehingga kegiatan belajar mengarah kepadabelajar sendiri dan pembinaan diri se ndiri.Dengan demikian, konsep pendidikan sepanjang hayat menghendaki agarmasyarakat dan dunia modern lebih menekankan pada fungsi pendidikan yangbersifat inovatif dari pada adaptif. Demikian pula pendidikan bukan merupakanhak prerogratif dari sekelompok orang tertentu. Kesamaan kesempatanpendidikan untuk semua orang dalam setiap tahap hidupnya hendaknyadiberikan, sehingga mengarah pada proses demokratisasi dal am pendidikan, dimana setiap orang dapat mewujudkan hak asasinya, yaitu mengembangkanseluruh potensinyasecaraoptimal.
IMPLIKASI PANDANGAN ANTROPOLOGI FILSAFI TERHADAP PERANAN PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK DALAM MENCAPAI TUJUAN PENDIDIKAN
PERAN PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK DARI SISI FILSAFAT IDEALISME
Guru yang menganut paham idealisme biasanya berkeyakinan bahwa spiritual merupakan suatu kenyataan, mereka tidak melihat murid sebagai apa adanya, tanpa adanya spiritual. Selain itu pula, Para pendidik yang idealis lebih menyukai bentuk-bentuk kurikulum subject-matter , yang menghubungkan ide-ide dengan konsep dan sebaliknya, konsep dengan ide-ide. Guru dalam sistem pengajaran yang menganut aliran idealisme berfungsi sebagai: (1) guru adalah personifikasi dari kenyataan si anak didik; (2) guru harus seorang spesialis dalam
suatu ilmu pengetahuan daripada siswa; (3) Guru haruslah menguasai teknik mengajar secara baik; (4) Guru haruslah menjadi pribadi terbaik, sehingga disegani oleh para murid; (5) Guru menjadi teman dari para muridnya; (6) Guru harus menjadi pribadi yang mampu membangkitkan gairah murid untuk belajar; (7) Guru harus bisa menjadi idola para siswa; (8) Guru harus rajin beribadah, sehingga menjadi insan kamil yang bisa menjadi teladan para siswanya; (9) Guru harus menjadi pribadi yang komunikatif; (10) Guru harus mampu mengapresiasi terhadap subjek yang menjadi bahan ajar yang diajarkannya; (11) Tidak hanya murid, guru pun harus ikut belajar sebagaimana para siswa belajar; (12) Guru harus merasa bahagia jika anak muridnya berhasil; (13) Guru haruslah bersikap demokratis dan mengembangkan demokrasi; (14) Guru harus mampu belajar, bagaimana pun keadaannya. Selain itu, jika ditinjau dari kedudukan peserta didik, dalam aliran idealisme siswa bebas mengembangkan kepribadian dan kemampuan dasarnya atau bakatnya.
PERAN PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK DARI SISI FILSAFAT REALISME
Pendidik adalah pengelola kegiatan belajar mengajar (clasroom is teacher-centered). Pendidik harus menguasai pengetahuan yang mungkin berubah, menguasai keterampilan t eknik-teknik mengajar dengan kewenangan menuntut prestasi siswa. Sedangkan peserta didik berperan untuk menguasai pengetahuan, taat pada aturan dan berdisiplin.
PERAN PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK DARI SISI FILSAFAT PRAGMATISME Peranan Siswa Menurut Filsafat Pragmatisme
Dalam filsafat pragmatisme, nilai kebenaran bersifat relatif yang berkesesuaian dengan nilai-nilai yang disepakati masyarakat dan menunjang kepada kehidupan yang sesuai harapan di masa depan. Maka dari itu, siswa memiliki peranan untuk mengolah setiap pengalaman yang didapatkannya untuk mengetahui kebenaran yang ada di mas yarakatnya. Dalam hal ini, siswa akan mampu merekonstruksi setiap pengalaman yang ia dapatkan secara kronologis selama ia hidup bermasyarakat serta berinteraksi dengan manusia dan alam di sekitarnya. Setiap pengalaman yang ia dapatkan nantinya akan menjadi suatu pertimbangan bagi siswa tersebut dalam menyelesaikan suatu masalah baik yang berhubungan dengan dirinya maupun orang lain. Peranan Guru Menurut Filsafat Pragmatisme
Dalam Pragmatisme, belajar selalu dipertimbangkan untuk menjadi seorang individu. Dalam pembelajaran peranan guru bukan “menuangkan” pengetahuannya kepada siswa,
sebab upaya tersebut merupakan upaya tak berbuah. Sewajarnya, setiap apa yang siswa pelajari sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan, minat-minat dan masalah pribadinya. Dengan kata lain isi pengetahuan tidak bertujuan dalam dirinya sendiri, melainkan bermakna untuk suatu tujuan. Dengan demikian seorang siswa yang menghadapi suatu pemasalahan akan mungkin untuk merekonstruksi lingkungannya untuk memecahkan kebutuhan yang dirasakannya. Untuk membantu siswa, guru harus berperan :
Menyediakan berbagai pengalaman yang akan memunculkan motivasi. Field Trips, filmfilm, catatan-catatan, dan tamu ahli merupakan contoh-contoh aktifitas yang dirancang untuk memunculkan minat siswa terhadap permasalah penting;
Membimbing siswa untuk merumuskan batasan masalah secara spesifik;
Membimbing merencanakan tujuan-tujuan individual dan kelompok dalam kelas untuk digunakan dalam memecahkan masalah;
Membantu para siswa dalam mengumpulkan informasi berkenaan dengan masalah. Secara esensial, guru melayani para siswa sebagai pembimbing dengan memperkenalkan keterampilan, pemahaman-pemahaman, pengetahuan dan penghayatan-penghayatan melalui penggunaan buku-buku, komposisi-komposisi, surat-surat, narasumber, film-fil m, field trips, televisi atau segala sesuatu yang tepat digunakan;
Bersama-sama kelas mengevaluasi apa yang telah dipelajari; bagaimana mereka mempelajarinya; dan informasi baru apa yang setiap sis wa temukan oleh dirinya (Callahan and Clark, 1983).
PERAN
PENDIDIK
DAN
PESERTA
DIDIK
DARI
SISI
FILSAFAT
EKSISTENSIALISME
Peranan peserta didik Makhluk rasional dengan kebebasan untuk memilih dan bertanggung jawab atas pilihannya, sesuai dengan pemenuhan tujuan personal. Peranan Guru Melindungi dan menjaga kebebasan akademis, di mana guru hari ini dapat menjadi siswa esok hari,
PERAN PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK DARI SISI FILSAFAT PANCASILA 1) Peranan Pendidik. Peranan pendidik berkaitan erat dengan bentuk/pola tingkah laku guru (pendidik) yang diharapkan dapat dilakukan oleh guru/pendidik. Ada tiga pola
tingkah laku guru yang diharapkan yaitu:(a) Ing ngarso sung tulada (b) Ing madya mangun karsa (c) Tut wuri handayani. Ing ngarso sung tulada mempunyai makna tidak sekedar bahwa guru harus memberi contoh apabila ada di depan, tetapi lebih dalam dari pengertian tersebut, adalah sebagai pemimpin, yaitu mampu menjadi suri tauladan, patut digugu dan ditiru, memiliki kemampuan dan kepribadian yang utuh dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Seorang pendidik/guru mampu mengambil keputusan yang adil dan dirasakan keadilannya oleh semua pihak, mampu memberi kepercayaan yang melahirkan kewibawaan pendidik, mampu memahami perbedaan individual anak, sehingga dapat melahirkan kasih sayang dan hubungan interpersonal yang kukuh antara pendidik dan anak didik. Ing madya mangun karsa, mempunyai arti bila guru ada di antara atau bersama-sama siswa ia hendaknya berpartisipasi aktif secara konstruktif. Mangun karsa tidak hanya berarti membangun kehendak, tetapi guru lebih berperan sebagai mitra kerja dalam mencapai tujuan. Guru mampu menempatkan diri sebagai anggota grup belajar, dan ia mungkin dapat lebih banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencipta dan mengembangkan sendiri hasil studinya. Tut wuri handayani, mempunyai arti dari belakang guru berperan sebagai tenaga pendorong yang memberi kekuatan kepada siswa dalam mecapai tujuan. Guru bukan hanya sebagai motivator, tetapi juga sebagai fasilitator, supervisor, dan moderator. Sebagai motivator, guru/pendidik memberikan dorongan yang memungkinkan anak tambah semangat dan senang dalam belajar. Sebagai fasilitator, guru/pendidik berperan sebagai orang yang menyediakan kemudahan atau memfasilitasi terjadinya aktivitas belajar, dan menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif terhadap anak dalam kegiatan belajar. Sebagai moderator, guru/pendidik berperan sebagai pengatur lalu lintas yang memudahkan anak belajar, anak tahu arah kemana tujuan yang akan dicapai. 2) Peranan peserta didik Mengacu pada prinsip-prinsip di atas, menunjukkan bahwa pendidikan nasional lebih berorientasi pada pengembangan potensi anak yang berbasis pada nilai-nilai hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Demikian pula, pendidikan nasional diselenggarakan dalam rangka proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Dengan demikian, peranan peserta didik baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dalam kegiatan pendidikan, adalah sebagai seorang pelajar yang secara bebas dapat mengembangkan potensinya dan mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan masyarakat, melalui aktivitasaktivitas program pendidikan di sekolahnya. Peranan-peranan anak sebagai peserta didik di sekolah akan mendukung terhadap pencapaian tujuan pendidikan secara efektif, apabila peranan tersebut diperkenalkan dan diberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan sendiri sebagai proses pendidikan kemandirian, menciptakan kreativitas, belajar hidup berdemokrasi, dan proses belajar bertanggung jawab. Masih banyak pendidikan sekolah (khususnya dari pendidikan dasar sampai menengah) yang belum memberikan peluang yang lebih luas kepada anak untuk melakukan perananperanannya sebagai seorang yang akan dewasa, dan sebagai calon anggota masyarakat atau warga negara yang bertanggung jawab. Hal ini hanya mungkin dilakukan, apabila para pendidik atau guru memahami hakikat upaya pendidikan yang mereka lakukan dan memahami hakikat manusia yang dihadapinya.
Permasalahan tersebut mengimplikasikan perlunya pendidikan prajabatan guru yang berorientasi pada pendidikan yang berbasis kemanusiaan, kebudayaan, dan agama dengan semangat keintelektualan dan profesionalisme kependidikan.