Jasa
Freight Forwarding
SEMINAR PERPAJAKAN
1.
Aryanto Eka Wirasta
( 5)
2.
Fitria Chandra Purwati
(10)
3.
Sofi Khusniaty Safarina
(23)
4.
Teguh Kurniawan
(25)
5.
Wahyu Andriyadi
(29)
KELOMPOK 5
KELAS : VIII-B DIV REGULER AKUNTANSI SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA TA 2014
1.
Gambaran Umum Jasa Freight Forwarding
a. Pengertian Fr eight Forwarding
Menurut Suyono, Freight Forwarding adalah badan usaha yang bertujuan memberikan jasa pelayanan atau pengurusan atas seluruh kegiatan yang diperlukan bagi terlaksananya pengiriman, pengangkutan dan penerimaan barang dengan menggunakan multimodal transport baik melalui darat, laut dan/atau udara. Menurut Ronosentono, Freight Forwarding adalah Badan Hukum yang melaksanakan perintah pengiriman barang (muatan) dari satu atau beberapa orang pemilik barang, yang dikumpulkan dari satu atau beberapa tempat, sampai ke tempat tujuan akhir melalui suatu system pengaturan lalu lintas barang dan dokumen, dengan menggunakan satu atau beberapa jenis angkutan, dengan tanpa atau harus memiliki sarana angkutan yang dimaksud. 1 b. Ruang lingkup freight forwarder
Melaksanakan proses pengiriman barang atas perintah pemilik barang dimana forwarder bertindak atas nama pihak pemilik barang. Kedudukan forwarder sebagai wakil dari pemilik barang, melindungi kepentingan pemilik barang, memerintahkan pengiriman barang kepada pihak pengangkut sampai ke end user (pemakai akhir). Freight forwarder berhak untuk menggunakan FIATA Bill of Landing yang merupakan dokumen angkutan barang secara terpadu atau kombinasi. Perusahaan forwarder lebih terpadu, tidak hanya di pelabuhan saja tetapi sangat luas, yaitu pengiriman barang, memerintahkan pihak pengangkut sampai ke tujuan akhir barang. 2 Definisi jasa freight forwarding sebagaimaan didefinisikan dalam PER-178/PJ/2006 (yang kemudian dicabut dengan terbitnya PER-70/PJ/2007) yaitu mengacu pada Keputusan Menteri Perhubungan No KM/10 Tahun 1988 tentang Jasa Pengurusan Transportasi. Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan tersebut yang dimaksud dengan Jasa Freight Forwarding adalah : usaha yang ditujukan untuk mewakili kepentingan Pemilik Barang, untuk mengurus semua kegiatan yang diperlukan bagi terlaksananya pengiriman dan penerimaan barang melalui transportasi darat, laut, dan udara yang dapat mencakup kegiatan penerimaan, penyimpanan, sortasi, pengepakan, penandaan, pengukuran, penimbangan, pengurusan, penyelesaian dokumen, penerbitan dokumen angkutan, klaim asuransi, atas pengiriman barang serta penyelesaian tagihan dan biaya-biaya lainnya berkenaan dengan pengiriman barang-barang tersebut sampai dengan diterimanya barang oleh yang berhak menerimanya. 1
http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2HTML/2009100019AKSIBab2/page20.html Gambaran umum freight forwarding dan perlakuanpemotonganPPh Pasal 23 atas transaksi yang dilakukan oleh freight forwarding https://www.scribd.com/document_downloads/direct/244805286?extension=pdf&ft=1414543721<=141454733 1&user_id=18728185&uahk=L3JzxvpYiIE+nApWsLTqnQ7wPuM 2
Dari definisi tersebut terlihat bahwa jasa Freight Forwarding mencakup rangkaian beberapa kegiatan yang perlu dilakukan hingga diterimanya barang oleh pihak yang berhak.Hal ini dapat dibedakan dengan Cargo Broker yang bertindak hanya sebagai perantara (broker) yang kegiatannya sebatas mempertemukan pihak perusahaan pengangkutan (pelayaran) dengan pihak pemilik barang dan tidak melakukan rangkaian kegiatan sebagaimana dilakukan oleh perusahaan jasa Freight Forwarding. 3 Ada beberapa jasa lain yang bergerak di bidang transportasi barang yang telah ada sebelumnya yaitu Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL), Ekspedisi Muatan Kapal Udara (EMKU). EMKL pada umumnya hanya beroperasi di wilayah pelabuhan yang mengurus dokumen-dokumen barang muatan dan pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan penerimaan dan penyerahan barang muatan yang diangkut melalui laut untuk diserahkan kepada dan diterimanya dari perusahaan pelayaran. Freight forwarding bertanggung jawab mulai dari saat menerima barang dari pemilik barang di tempat asal barang, meyerahkan barang kepada pihak pengangkut sampai dengan menyerahkan barang tersebut kepada penerima yang ditunjuk di tempat tujuan akhir. c.
Tipologi freight forwarder
Berdasarkan tugas dan tanggungjawabnya, freight forwarder dikelompokkan menjadi dua tipe yaitu: 1. Sebagai agen apabila: a.
Secara umum, menerima kewajiban atas kesalahan sendiri atau kesalahan yang dilakukan pegawainya dengan pengaturan pengangkutan barang dilakukan atas dasar aturan tradisional keagenan, melakukan pemesanan ruangan kapal, mengatur transportasi, pengurusan di Bea Cukai dan sebagainya, dan dalam melaksanakan tugasnya patuh kepada prinsipal, mematuhi instruksi-instruksi yang beralasan dan harus mampu melaksanakan seluruh transaksi yang terjadi.
b. Secara umum, tidak bertanggung jawab terhadap tindakan atau kesalahan maupun kelalaian pihak ketiga, seperti carriers, re-forwarder dan sebagainya, dengan catatan bahwa pemilihan pihak ketiga tersebut telah dilakukan dengan sungguh-sungguh. Contoh-contoh kesalahan yang menjadi tanggung jawab freight forwarder sebagai agen adalah: penyerahan barang tidak sesuai dengan instruksi pengiriman barang, kesalahan mengasuransikan barang yang tidak sesuai dengan instruksi, kesalahan selama pengurusan kepabeanan, barang dikirim ke pelabuhan yang salah, re-export dilakukan tanpa memenuhi syarat kepabenan, serta penyerahan barang tanpa menagih uang freight dari consignee 2. Sebagai principal apabila: 3
http://www.ortax.org/ortax/?mod=forum&page=show&idtopik=7181
a.
Freight forwarder bukan sebagai kontraktor bebas (independent contractor), bertanggung jawab atas namanya sendiri, tidak hanya kesalahannya sendiri tetapi terhadap seluruh pelaksanaan angkutan termasuk periode barang selama dalam pengawasan carrier dan semua penanggung jawab multimoda lainnya yang digunakan atas pekerjaan yang diminta oleh pelanggan
b. Bertanggung jawab atas tindakan dan kesalahan carrier dan pihak-pihak lainnya yang terkait dengan pelaksanaan kontrak angkutan c.
Melakukan konsolidasi, yaitu mengumpulkan muatan partai kecil dari beberapa shipper dan mengirim muatan tersebut dalam satu shipment
kepada agen consolidation di
pelabuhan tujuan dan menyerahkannya kepada consignee d. Freight forwarder mengambil alih tugas pengangkutan darat, mengangkut sendiri barang yang menjadi tanggung jawabnya, melaksanakan konsolidasi dan multimoda transport, menerbitkan house bill of leading atau house airway bill sendiri d. Jenis-jenis Freight Forwarding
Menurut Ronosentono, Freight Forwarding dalam kegiatan operasionalnya sehari-hari dapat dibagi dalam 2 jenis golongan yaitu 1. Atas dasar operasional
Pengiriman barang oleh para Forwarder hanya dapat dilaksanakan dengan menggunakan sarana angkutan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh mereka, yaitu dengan melihat bentuk, kemasan, berat dan isi barang bersangkutan. Tetapi secara operasional, mereka hanya akan melayani pada areal pengiriman barang terbatas kemampuan atau keinginannya masing-masing. Umpamanya saja di Indonesia, Forwarder itu dibagi dalam tiga kategori yaitu :
Forwarder Internasional (Kelas A)
Forwarder Domestik/Regional (Kelas B)
Forwarder Lokal(Kelas C) Dari ketiga jelas yang dibagi oleh INFA/GAPEKSI yaitu pendekatan dari gabungan Forwarder
dan Expedisi Indonesia atau Indonesian National Forwarding yang terdaftar pada asosiasi tersebut akan merupakan golongan kelas A seluruhnya, tetapi terbagi di dalam 3 kategori seperti disebutkan itu. Pembagian kualifikasi tersebut adalah atas dasar daerah operasional, pengalaman kerja perusahaan, dan mitra usahanya di luar negeri serta beberapa kreteria lainnya. a.
Forwarder internasional Forwarder kelas A ini biasanya disebut juga secara umum dengan sebutan Internasional Freight
Forwarder adalah merupakan Forwarder yang professional dalam hal menjalankan kegiatan Freight Forwarding dengan memberikan jasa pengiriman barang kepada para pemakai jasanya ,yaitu telah
melampaui batas Negara dengan tujuan barang di salah satu Negara di luar negeri. Jenis Forwarder seperti inilah yang banyak diminati oleh para pemilik barang terutama pada Exportir atau Importir. Faktor-faktor yang mendukung mengapa mereka yang selalu diminati oleh para pemakai jasa adalah karena :
Berhak menerbitkan /menggunakan FIATA B/L dan memiliki tenaga ahli di bidang pengangkutan barang.
Adanya jaringn kerja secara Internasional serta Agen/Mitra kerja yang tangguh.
Memiliki sarana dan prasarana kerja yang cukup.
Berpengalaman luas serta mampu memberikan saran-saran yang diperlukan oleh pemilik barang terhadap suatu maksud untuk pengiriman barang ke Negara tujuan tertentu.
Mampu memberikan tariff angkutan yang relative murah serta dapat membantu mencari jalan keluar untuk menurunkan biaya produksi terhadap suatu barang yang akan di pasarkan di dunia internasional,serta selalu membayar tuntutan ganti rugi.
b. Forwarder Domestik/Regional Perbedaan yang mendasar dengan Internasional Freight Forwarder adalah mereka berhak untuk menggunakan FIATA/BL sedangkan dari Forwarder Domestik/Regional belum berhak menggunakannya atau menerbitkan B/L sendiri (House B/L) c.
Forwarder Lokal Jenis Forwarder ini merupakan forwarder dengan klasifikasi yang minim, karena disini yang
termasuk golongn Forwarder local adalah mereka yang belum memiiki agen di luar negeri dan mereka adalah para pengelola EMKL, EMKU dan EMKA. 2. Atas dasar sarana angkutan
Jenis Forwarder yang termasuk pada jenis golongan atau jenis ini adalah : a.
Sea Freight Forwarder Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah mereka yang telah mengkhususkan kegiatan
usahanya pada pengiriman barang muatan melalui angkutan laut atau melalui kombinasi antara angkutan darat lainnya. Ada kategoriumum mengenai barang muatan atau cargo yang harus diketahui oleh seorang Forwarder tentang tehnik pelayanannya (Cargo handling) masing-masing jenisnya yaitu : 1) Bulk cargo Yaitu semua jenis barang yang secara fisik bentuknya tidak dapat atau tidak harus dikemas tersendiri dengan jenis kemasan apapun juga kecuali disesuaikan dengan unit alat angkutan itu sendiri. Contoh dari katagori jenis ini adalah biji-bijian, bijih tambang,kayu-kayuan, berbagai macam jenis mesinmesin serta produk-produk lain yang tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu jenis kemasan atau
dimasukkan ke dalam peti kemas, kendaraan bermotor, berbagai macam jenis produk besi-besi atau jenis produk metal lainnya yang telah selesai maupun berupa semi proses. 2) Unit load cargo Yaitu satu atau lebih kemasan barang yang digabung/diikat atau ditumpuk menjadi satu tumpukan pada sesuatu ”palet” atau bentuk lainnya sedemikian rupa (skidded), sehingga dengan demikian seluruh unit tersebut dapat di terima oleh kapal dan siap dimuat dengan aman serta ditata di atas kapal dan di bongkar dengan mudah di pelabuhan tujuan dengan menggunakan alat mekanik tertentu. Adapun maksud dan tujuan untuk mengelompokkan komoditi tersebut pada satu unit “Pallet” adalah karena hal-hal sebagai berikut :
-
Menghemat biaya tenaga kerja (labor saving), item “unit load” ini akan memperkecil biaya operasional untuk pelayanan barang muatan , yaitu dengan jalan menggunakan peralatan bongkar/muat,seperti forklift, yang hanya dengan satu orang operator mampu melaksanakan pekerjaan mengangkat sebagian besar barang muatan/cargo; demikian pula dengan crane, yang mampu membongkar/memuat sejumlah besar peti, karton maupun karung-karung, untuk sekali angkat.
-
Menghemat waktu pelayanan, banyak sekali waktu yang berharga terbuang percuma untuk melayani barang muatan yang terdiri dari berbagai macam bentuk kemasan. Dengan menggunakan system “Unit Load” akan mampu menggera kkan atau memindahkan sebagian besar komoditi di pelabuhan dengan menggunakan berbagai peralatan mesin bongkar/muat.
-
Meningkatkan kemasan barang, kerusakan maupun pencurian barang muatan akan merupakan suatu factor yang sangat mahal dalam hal pelayanan barang pada suatu pengapalan barang. Dengan “Unit load system”akan banyak sekali pengurangan terhadap kerusakan maupun kehilangan atas suatu barang, dibandingkan system konvensional.
3) Containerised Cargo (Containerisation) Containerised Cargo adalah “suatu keg iatan dimana sejumlah barang muatan yang diisi ke dalam suatu unit peti kemas untuk selanjutnya petikemas tersebut diangkut/dikirim melalui pelabuhan muat dengan sarana angkutan tertentu ke tempat tujuan atau pelabuhan pembongkaran yang di kehendaki. ”Memang banyak keuntungan yang dapat diperoleh dengan adanya peti kemas sebagai salah satu sarana untuk melaksanakan pengiriman barang oleh seorang Forwarder, keuntungan-keuntungan dimaksud, antara lain sebagai berikut :
-
Mengurang biaya pengemasan barang, karena secara umum peti kemas itu sebenarnya adalah merupakan alat kemasan yang sebenarnya (actual packing material)
-
Mengurangi biaya tenaga kerja yang berlebihan, terhadap proses pelayanan barang bersangkutan sebagai contoh bahwa unit peti kemas yang harus dimuat ke atas kapal dapat dilaksanakan dalam
waktu satu hari, sedangkan kapal konvensional dengan volume barang yang sama akan memerlukan waktu muat paling sedikit 5 hari.
-
Mengurangi masa transit kapal, sehingga masa perjalanan kapal menjadi lebih pendek (turnaraound time), sehingga perjalan kapal menjadi lebih ekonomis.
-
Keamanan barang lebih terjamin, selama barang berada di peti kemas.
b. Air Freight Forwarder Mereka yang mengkhususkan kegiatan usaha jasanya pada sector angkutan udara, dengan kombinasi angkutan kereta api atau truck, disini lokasi kegiatan tentunya sebagian besar berada di sekitar Bandar udara, baik penyelesaian dokumen,maupun penumpukan barang serta lalu lintasnya. Airway bill atau House Airway (AWB atau HAWB) adalah tata cara seorang forwarder yang akan melakukan pemesanan ruang muatan (booking cargo space system) pada setiap pengapalan yang telah diatur secara internasional ,yaitu sebagaimana yang tertera berikut ini : 1) Nomor seri Airwaybill ,bahwa pada setiap pengapalan akan selalu tercantum nomor seri dari setiap Airwaybill yang diterbitkannya. Nomor ini merupakan factor yang sangat penting sekali peranannya, dalam rangka mengidentifikasikan suatu pengapalan barang muatan melalui suatu penerbangan sampai pada saat pnyerahan barang I Bandar udara pada tujuan akhirnya. 2) Jumlah paket (collie), jumlah paket harus diketahui dengan pasti sebagai kelengkapan pengapalan selama dalam proses pemuatan, alih penerbangan dan atau saat penyerahan. 3) Berat barang, seperti diketahui dengan pasti sebagai kelengkapan pengapalan selama dalam proses pemuatan, alih penerbangan dan atau saat penyerahan. 4) Jenis barang muatan untuk melaksanakan pemesanan ruang muatan pada pesawat udara, jenis serta bentuk barang sangat penting sekali untuk diketahui. 5) Ukuran dan isi barang,informasi atau keterangan lengkap mengenai ukuran dan isi barang yang akan dimuat ke atas kapal, disamping tentunya berat barang bersangkutan adalah sangat di perlukan, yang dinyatakan dalam Cm dan Inch. 6) Bandar udara pemberangkatan dan tujuan nama-nama Bandar udara pemberangkatan serta tujuannya sangat penting sekali untuk hal-hal sebagai berikut :
Untuk menentukan trayek pengapalan.
Guna mengatur tempat penimbunan yang sesuai dengan tata ruang yang telah ditentukan, menjelang keberangkatan maupun kedatangan barang bersangkutan.
Untuk mengatur komunikasi tertentu apabila terjadi sesuatu hal selama dalam proses penerbangan.
Memberikan kesempatan kepada pengirim barang untuk mengatur segala sesuatunya baik di tempat transit maupun di tempat tujuan barang.
c.
Rail and Inland freight Forwarder Yaitu mereka yang mengkhususkan kegiatan usaha jasanya pada sector angkutan darat dengan
menggunakan jasa angkutan kereta api dan sarana angkutan lainnya sampai jauh ke pedalaman pada suatu daerah atau Negara. d. Combined Transport Operator Yaitu Forwarder yang dalam usaha jasanya menggunakan lebih dari satu jenis alat angkutan atau berbagai sarana angkutanyang melalui laut,udara dan kereta api dan truck atau kombinasi diantaranya. 4 2. Aspek PPN Jasa Forwarding
Setelah PMK Nomor 38/PMK.011/2013 tentang Perubahan atas PMK Nomor 75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain Sebagai DPP dikeluarkan, per tanggal 1 Maret 2013 untuk penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang di dalam tagihan jasa pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya transportasi ( freight charges) ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih (pasal 2 huruf m). Perlu diperhatikan disini bahwa penggunaan nilai lain sebagai DPP PPN hanya diperuntukan bagi penyerahan jasa pengurusan transportasi yang di dalam tagihannya tersebut terdapat biaya transportasi ( freight charges). Sehingga untuk jasa pengurusan transportasi yang didalamnya tidak terdapat biaya transportasi ( freight charges) DPP nya adalah nilai penggantian. Hal ini berbeda bila dilihat pada peraturan sebelumnya yaitu PMK Nomor 75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak dimana jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) masih dipersamakan dengan jasa pengiriman paket dengan nilai lain sebagai DPP adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih (pasal 2 huruf j). Lebih
lanjut
dalam
PMK
Nomor
38/PMK.011/2013
juga
ditegaskan
bahwa Pajak
Masukan yang berhubungan dengan penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang
di dalam tagihan jasa pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya transportasi ( freight charges) yang dilakukan oleh pengusaha jasa pengurusan transportasi tidak dapat dikreditkan (pasal 3 huruf d). Secara umum kegiatan Freigh Forwarding dapat meliputi: a.
Kegiatan mengurus Freight saja
b.
Kegiatan mengurus Freight & kegiatan jasa lainnya ( Freight + Jasa non Freight)
c.
Kegiatan
Jasa
Non Freight ,
dimana
untuk
setiap
jenis
kegiatan
tersebut
akan
memberikan treatment berbeda untuk perlakuan PPN nya. Dalam upaya memberi pedoman atau kepastian penerapan Nilai Lain DPP untuk penyerahan Freight forwarding (Jasa Pengurusan Transportasi) yang di dalam tagihan jasa pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya transportasi ( freight charges) sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/PMK.011/2013 tentang Nilai Lain Sebagai DPP, Direktorat Jenderal Pajak telah 4
FREIGHT FORWARDINGhttp://newfanyaauraresta.blogspot.com/2012/06/freight-forwarding_10.html
menerbitkan Surat Edaran Nomor SE-33/PJ/2013 tanggal 12 Juli 2013 Tentang Perlakuan PPN atas Penyerahan FF (JPT) yang di dalam Tagihan Jasa Pengurusan Transportasi tersebut Terdapat Biaya Transportasi ( freight charges). Ada 2 (dua) point penting terkait pengenaan PPN atas penyerahan FF/JPT, yakni: 1. Dalam melakukan kegiatan usahanya, pengusaha FF/JPT dapat menyerahkan FF/JPT yang dapat terdiri dari satu atau beberapa kegiatan, dimana kegiatan yang dilakukan dalam penyerahan FF/JPT dapat termasuk biaya transportasi (freight charges). Walaupun penyerahan FF/JP dapat terdiri dari satu atau beberapa kegiatan, satu atau beberapa kegiatan yang diserahkan tersebut tetap merupakan satu kesatuan, yaitu penyerahan FF/JPT, sehingga kewajiban PKP untuk membuat Faktur Pajak atas setiap penyerahan JKP wajib dilakukan. Faktur Pajak yang dibuat harus memenuhi persyaratan formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan Pasal 13 ayat (9) UU PPN. 2. Tidak termasuk penyerahan FF/JPT adalah reimbursement tagihan dari pihak ketiga, sepanjang memenuhi kondisi sebagai berikut: i.
dalam hal: a.
tagihan dari pihak ketiga (selain pemerintah/negara), identitas pengguna JPT/FF tercantum sebagai pihak yang tertagih dalam dokumen tagihan dari pihak ketiga (selain pemerintah/negara) tersebut; atau
b. pembayaran kewajiban kepada pemerintah/negara yang menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP), Surat Setoran Pabean, Cukai dan Pajak Dalam Rangka Impor (SSPCP), Surat Setoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (SSPNBP), dan/atau dokumen pembayaran lainnya kepada pemerintah/negara, identitas pengguna JPT/FF tercantum sebagai pihak yang wajib melakukan pembayaran kepada pemerintah/negara tersebut; ii. diatur dalam kontrak/perjanjian antara pengusaha JPT/FF dan pengguna JPT/FF yang menyatakan bahwa terdapat reimbursement tagihan dari pihak ketiga yang harus dibayar oleh pengguna JPT/FF yang kemudian akan disetorkan oleh pengusaha JPT/FF kepada pihak ketiga; dan iii. penerimaan pembayaran untuk reimbursement tagihan dari pihak ketiga yang diterima dari pengguna JPT/FF tidak dicatat/diakui sebagai penghasilan oleh pengusaha JPT/FF dan penyetoran reimbursement tagihan kepada pihak ketiga yang bersangkutan tidak dicatat/diakui sebagai biaya/beban oleh pengusaha JPT/FF. Contoh reimbursement tagihan dari pihak ketiga antara lain pembayaran PPN Impor, PPh Pasal 22 Impor, Bea Masuk, Pajak Ekspor, dan biaya transportasi (freight charges). Freight charges adalah biaya transportasi yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya oleh pengguna jasa, yang dapat berupa biaya transportasi dengan menggunakan moda angkutan berupa pesawat, kapal, dan/atau kereta api.
Termasuk dalam pengertian freight charges biaya-biaya yang dikeluarkan yang terkait dengan menggunakan moda angkutan, antara fuel surcharge. 3. Penerapan PPN Atas Jasa Forwarding
Contoh beberapa transaksi penyerahan JPT/FF beserta perlakuan ppn atas penyerahan JPT/FF yang diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE - 33/PJ/2013 adalah sebagai berikut : Contoh 1: PT ABC sebagai pengusaha JPT/FF melakukan penyerahan JPT/FF berupa biaya transportasi
menggunakan moda angkutan (freight) kapal laut, dengan nilai sebesar Rp50.000.000,00 (belum termasuk PPN), kepada PT Z. Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk penghitungan PPN yang terutang atas penyerahan JPT/FF tersebut adalah Nilai Lain sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih, karena di dalam tagihan atas penyerahan JPT/FF tersebut terdapat biaya transportasi (freight charges). PPN yang terutang atas penyerahan JPT/FF tersebut adalah sebesar 10% x Dasar Pengenaan Pajak = 10% x (10% x Rp50.000.000,00) = Rp500.000,00. Contoh 2: PT DEF sebagai pengusaha JPT/FF melakukan penyerahan JPT/FF yang terdiri dari kegiatan
penyimpanan sementara atas barang yang akan diekspor dengan nilai sebesar Rp30.000.000,00, pengurusan penyelesaian dokumen dengan nilai sebesar Rp20.000.000,00, dan biaya transportasi menggunakan moda angkutan (freight) kapal laut dengan nilai sebesar Rp50.000.000,00, sehingga nilai total penyerahan JPT/FF adalah sebesar Rp100.000.000,00 (belum termasuk PPN), kepada PT Y. PT DEF melakukan penagihan kepada PT Y dengan menerbitkan satu dokumen tagihan. Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk penghitungan PPN yang terutang atas penyerahan JPT/FF tersebut adalah Nilai Lain sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih, karena di dalam tagihan atas penyerahan JPT/FF tersebut terdapat biaya transportasi (freight charges). PPN yang terutang atas penyerahan JPT/FF tersebut adalah sebesar 10% x Dasar Pengenaan Pajak = 10% x (10% x Rp100.000.000,00) = Rp1.000.000,00. Contoh 3: PT GHI sebagai pengusaha JPT/FF melakukan penyerahan JPT/FF yang terdiri dari kegiatan
penyimpanan sementara atas barang yang akan diekspor dengan nilai sebesar Rp30.000.000,00, pengurusan penyelesaian dokumen dengan nilai sebesar Rp20.000.000,00, dan biaya transportasi menggunakan moda angkutan (freight) kapal laut dengan nilai sebesar Rp50.000.000,00, sehingga nilai total JPT/FF yang diserahkan adalah sebesar Rp100.000.000,00 (belum termasuk PPN), kepada PT X.
PT GHI melakukan penagihan kepada PT X dengan menerbitkan tiga dokumen tagihan untuk menagih masing-masing kegiatan dari penyerahan JPT/FF tersebut. Walaupun atas penyerahan JPT/FF tersebut PT GHI menerbitkan tiga dokumen tagihan, penyerahan JPT/FF tersebut merupakan satu kesatuan penyerahan JPT/FF. Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk penghitungan PPN yang terutang atas penyerahan JPT/FF tersebut adalah Nilai Lain sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih, karena di dalam tagihan atas penyerahan JPT/FF tersebut terdapat biaya transportasi (freight charges). PPN yang terutang atas penyerahan JPT/FF tersebut adalah sebesar 10% x Dasar Pengenaan Pajak = 10% x (10% x Rp100.000.000,00) = Rp1.000.000,00. Contoh 4: PT JKL sebagai pengusaha JPT/FF melakukan penyerahan JPT/FF yang terdiri dari kegiatan
penyimpanan sementara atas barang yang akan diekspor dengan nilai sebesar Rp15.000.000,00, pengurusan penyelesaian dokumen dengan nilai sebesar Rp5.000.000,00, dan pengurusan biaya transportasi dengan menggunakan moda angkutan (freight) kapal laut dengan nilai fee sebesar Rp2.000.000,00, sehingga nilai total JPT/FF yang diserahkan adalah sebesar Rp22.000.000,00 (belum termasuk PPN), kepada PT W. Terkait dengan penyerahan JPT/FF yang dilakukan oleh PT JKL, terdapat tagihan dari pengusaha jasa angkutan (freight) laut yang dalam dokumen tagihan tersebut PT W tercantum sebagai pihak yang tertagih. Tagihan dari pengusaha angkutan (freight) laut adalah sebesar Rp60.000.000,00. Dalam kontrak/perjanjian antara PT JKL dan PT W disepakati bahwa terdapat reimbursement tagihan dari pengusaha jasa angkutan (freight) laut yang harus dibayar oleh PT W melalui PT JKL. PT JKL tidak mencatat/mengakui reimbursement tagihan dari pengusaha angkutan (freight) laut yang pembayarannya diterima dari PT W sebagai penghasilan. Demikian juga PT JKL tidak mencatat/mengakui penyetoran reimbursement tagihan kepada pengusaha jasa angkutan (freight) laut sebagai biaya. Penagihan kembali (reimbursement) sebesar Rp60.000.000,00 tersebut tidak termasuk penyerahan JPT/FF yang dilakukan oleh PT JKL. PT JKL melakukan penagihan kepada PT W dengan menerbitkan tiga dokumen tagihan untuk
menagih masing-masing kegiatan dari penyerahan JPT/FF tersebut dengan nilai total sebesar
Rp22.000.000,00. Walaupun atas penyerahan JPT/FF tersebut PT JKL menerbitkan tiga dokumen tagihan, penyerahan JPT/FF tersebut merupakan satu kesatuan penyerahan JPT/FF. Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk penghitungan PPN yang terutang atas penyerahan JPT/FF tersebut adalah Penggantian, karena di dalam tagihan JPT/FF tersebut tidak terdapat biaya
transportasi (freight charges). PPN yang terutang atas penyerahan JPT/FF tersebut adalah sebesar 10% x Dasar Pengenaan Pajak = 10% x Rp22.000.000,00 = Rp2.200.000,00. Contoh 5: PT MNO sebagai pengusaha JPT/FF melakukan penyerahan JPT/FF yang terdiri dari
kegiatan penyimpanan sementara atas barang yang akan diekspor dengan nilai sebesar Rp14.000.000,00, pengurusan penyelesaian dokumen dengan nilai sebesar Rp6.000.000,00, dan biaya transportasi menggunakan moda angkutan (freight) kapal laut dengan nilai sebesar Rp62.000.000,00, sehingga nilai total JPT/FF yang diserahkan adalah sebesar Rp82.000.000,00 (belum termasuk PPN) kepada PT V. Dalam melakukan penyerahan JPT/FF tersebut, PT MNO menggunakan moda angkutan (freight) kapal laut, di mana dalam dokumen tagihan dari pengusaha jasa angkutan (freight) laut tersebut PT MNO tercantum sebagai pihak yang tertagih. Atas penyerahan JPT/FF dengan nilai penyerahan total sebesar Rp82.000.000,00 tersebut PT MNO menerbitkan tiga dokumen tagihan. Walaupun atas penyerahan JPT/FF tersebut PT MNO menerbitkan tiga dokumen tagihan, penyerahan JPT/FF tersebut merupakan satu kesatuan penyerahan JPT/FF. Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk penghitungan PPN yang terutang atas penyerahan JPT/FF tersebut adalah Nilai Lain sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih, karena di dalam tagihan atas penyerahan JPT/FF tersebut terdapat biaya transportasi (freight charges). PPN yang terutang atas penyerahan JPT/FF tersebut adalah sebesar 10% x Dasar Pengenaan Pajak = 10% x (10% X Rp82.000.000,00) = Rp820.000,00. Analisis Komparatif Perhitungan PPN antara Kebijakan Lama dengan Kebijakan Baru
Elemen Tagihan
Freight Charges (sea/air) export Trucking Handling Penumpukan (storage) Documentation fee Administration fee CFS Total
Nilai Tagihan IDR 30.000.000
10.000.000 1.000.000 4.000.000 600.000 400.000 3.000.000 49.000.000
PPN (Kebijakan Lama) IDR
PPN (Kebijakan Baru) IDR
Perbedaan
0
300.000
IDR 300.000
1.000.000 100.000 400.000 60.000 40.000 300.000 1.900.000
100.000 10.000 40.000 6.000 4.000 30.000 490.000
(900.000) (90.000) (360.000) (54.000) (36.000) (270.000) (1.410.000)
Dari tabel di atas, dapat diduga bahwa penerimaan Negara akan mengalami penurunan akibat penerapan aturan baru. Jika dilihat pada tabel di atas, penerimaan negara dengan aturan baru akan menghasilkan pendapatan PPN sebesar lebih rendah Rp 1.410.000 dibandingkan dengan menggunakan penerapan aturan PPN yang lama. Namun, aturan baru mensyaratkan bahwa Pajak Masukan yang berhubungan dengan penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang di dalam tagihan jasa pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya transportasi (freight charges) yang dilakukan oleh perusahaan JPT/IFF, tidak dapat dikreditkan. Efek dari syarat tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Elemen Tagihan
Nilai Tagihan (exclude PPN)
Trucking Handling Penumpukan (storage) Documentation fee Administration fee CFS Total
IDR 10.000.000 1.000.000 4.000.000 600.000 400.000 3.000.000 49.000.000
Selisih Pajak Masukan dan Pajak Keluaran Jika Perusahaan Melakukan Mark up sebesar* 25% 30% 35% IDR IDR IDR 200.000 230.769 259.259 20.000 23.077 25.926 80.000 92.308 103.704 12.000 13.846 15.556 8.000 9.231 10.370 60.000 69.231 77.778 380.000 438.462 492.593
*Selisih Pajak Masukan dan Pajak Keluaran Jika Perusahaan Melakukan Mark up merupakan mark up atas tagihan yang dibebankan kepada shippers/consignees. Selisih tersebut merupakan pajak kurang bayar yang harus dibayarkan perusahaan jika menggunakan aturan lama.
Dari Tabel di atas dapat dilihat jika perusahaan melakukan mark up sebesar lebih dari 30%, maka pajak yang akan didapatkan oleh Negara bila menggunakan penerapan baru akan mengalami penurunan. Namun, Jika Perusahaan tidak melakukan mark up, maka sebenarnya aturan baru akan meningkatkan pendapatan PPN bagi Negara. Selain itu, analisis di atas juga tergantung dengan jumlah Freight Charges yang ditagihkan kepada pelanggan. Jika jumlah Freight Charges yang ditagihkan signifikan terhadap total tagihan, maka penerimaan PPN Negara juga akan mengalami kenaikan. Namun, jika jumlah Freight Charges yang ditagihkan tidak signifikan, maka terdapat potensi penurunan penerimaan Negara. 4. Aspek PPh Jasa Forwarding
Secara umum, Kegiatan operasional jasa freight forwarding mencakup kegiatan penerimaan, penyimpanan, fumigasi (penyemprotan anti hama sebelum barang dimuat dalam kontainer), sortasi, pengepakan, penandaan, pengukuran, dan penimbangan. Selain itu, freight forwarder juga bertugas melakukan pengurusan penyelesaian dokumen,penerbitan dokumen, perhitungan biaya angkutan, klaim asuransi, serta penyelesaian tagihan dan biaya-biaya lainnya berkenaan dengan pengiriman barang tersebut. Jika kita melihat proses bisnis dari jasa freight forwarding tersebut, dapat kita katakan, bahwa beberapa kemungkinan Pajak Penghasilan yang timbul adalah terkait penghasilan pegawainya (PPh Pasal
21), PPh Pasal 23 atas jasa-jasa yang diberikan dan PPh lainnya yang masih mungkin terkait. Terkait PPh Pasal 21 mungkin tidak terlalu menjadi masalah dan belum ada yang perlu diperdebatkan. Bagaimana dengan PPh pasal 23? Hal inilah yang kemudian menjadi menarik untuk diperbincangkan. Berikut ini, akan dicoba dibahas terkait aspek PPh Pasal 23 Jasa Freight Forwarding. PPh Pasal 23 Jasa Freight Forwarding
UU no. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan pasal 23 ayat (1) huruf c menyatakan bahwa atas imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan j asa selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dipotong lain pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 2% dari jumlah bruto imbalan yang dimaksud. Kemudian timbul multi tafsir ketika kita membicarakan jasa freight forwarding. Apakah jasa freight forwarding termasuk kategori jasa lain tersebut? Pengertian Jasa Freight Forwarding pernah didefinisikan dalam Per-178/PJ/2006 tentang jenis jasa lain dan perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (1) huruf c UndangUndang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan undang-undang nomor 17 tahun 2000 yaitu mengacu pada Keputusan Menteri Perhubungan No. KM/10 Tahun 1988 tentang Jasa PengurusanTransportasi. Berdasarkan SK Menhub tersebut terlihat bahwa jasa Freight Forwarding mencakup rangkaian beberapa kegiatan yang perlu dilakukan hingga diterimanya barang oleh pihak yang berhak. Setelah itu barulah perusahaan Freight Forwarding akan menerima uang jasa dari Pemilik Barang. Per-178/PJ/2006 ini kemudian dicabut dengan Per-70/PJ/2007 dan mulai menimbulkan masalah karena tidak mendefinisikan secara tegas apa yang dimaksud dengan jasa freight forwarding maupun jasa perantara yang cukup sering mencakup jasa forwarding di dalamnya. Menjawab permohonan salah satu wajib pajak terkait pelaksanaan Per-70/PJ/2007, Dirjen Pajak mengeluarkan surat Nomor S09/PJ.032/2008 tentang Permohonan Penegasan terhadap Peraturan Dirjen Pajak Nomor Per-70/PJ/2007. Dalam surat tersebut, ditegaskan bahwa definisi dari jasa perantara dalam Per-70/PJ/2007 adalah jasa yang diberikan oleh orang pribadi yang bertindak sebagai perantara dalam perikatan perjanjian di bidang tertentu, dengan mendapat imbalan balas jasa atau pembagian keuntungan dan bertindak atas perintah atau atas nama orang-orang yang tidak ada ikatan kerja tetap dengan dirinya, selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21. Dengan demikian, j asa for war ding ti dak termasuk dalam kategori j asa tersebut. Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ/2007, jasa perantara Internet, jasa Freight Forwarding, Tour Travel Agency, agen Pelayaran dan Agen Advertensi tidak tercantum sebagai jasa yang atas penghasilannya dipotong PPh Pasal 23. Oleh karena itu atas pembayaran yang dilakukan ti dak dipotong PPh Pasal 23 sepanjang tidak terdapat unsur sewa atau penggunaan harta sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b angka 3) atau jasa sebagaimana dimaksud dalam butir 2
huruf b angka 4). PER-70/PJ/2007 merupakan positive list yang berarti bahwa hanya jasa-jasa yang tercantumlah yang dianggap sebagai jasa-jasa lain yang merupakan obyek pemotongan PPh pasal 23 sebagaimana di maksud dalam pasal 23 ayat (1) huruf c UU PPh. Jasa Freight Forwarding tidak tercantum dalam PER-70/PJ/2007,sehingga dapat dikatakan tidak termasuk yang dikenakan pemotongan PPh pasal 23. Perlu diingat bahwa pertimbangan Per-70/PJ.032/2008 merujuk pada UU No. 17 Tahun 2000 tentang pajak penghasilan. Babak baru dari Per-70/PJ.032/2008 adalah dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 tentang Jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (1) Huruf c Angka 2 undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak Penghasilan Sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang nomor 36 tahun 2008 menggantikan Per-70/PJ.032/2008 yang mulai berlaku per 1 Januari 2009 . Pasal 1 huruf c UU no.36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang disahkan tanggal 23 September 2008 mewajibkan setiap perusahaan sebagai wajib pajak untuk melakukan pemotongan PPh 23 sebesar 2% dari jumlah bruto atas: 1. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan 2. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Menindaklanjuti ketentuan perundang-undangan diatas maka dikeluarkanlah PMK 244 tahun 2008 tentang Jenis Jasa Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1) huruf C angka 2 UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008. PMK ini tidak jauh berbeda dengan Per-70/PJ.032/2008 yang tidak menegaskan terkait posisi jasa forwarding sebagai jenis jasa lain maupun definisi dan cakupan jasa perantara. Melalui PMK tersebut jasa freight forwarding (Contohnya: Panalpina, Schenker,DHL Forwarder, DSV, SDV, C&P Logistic, dll) bukan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23. Akan tetapi, jasa freight forwarding tidak bebas sepenuhnya dari pemotongan PPh 23, jika dalam tagihan freight forwarding terdapat unsur sewa harta dan atau jasa-jasa lain yang menjadi Objek PPh Pasal 23, maka tagihan freight forwarding dapat dipotong PPh 23. Hal ini agar dipahami oleh seluruh procurement/logistic dalam berhubungan dengan para vendor Jasa Forwarder, karena menurut ketentuan peraturan pajak perusahaan yang menerima jasalah yang wajib memotong PPh Pasal 23. Hal tersebut perlu dilakukan agar penerima jasa terhindar dari sanksi-sanksi perpajakan pada saat terjadi pemeriksaan pajak.
Dalam konteks ini, pihak-pihak yang berhubungan dengan jasa forwarder harus memahami apa saja jenis jasa atau services yang disediakan oleh perusahaan freight forwarder dan bagaimana cara penulisan pada kuitansi penagihan (invoicing) yang dilakukan. Karena bisa saja jasa-jasa yang tertulis di invoice tersebut merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23. Secara garis besar, kegiatan operasional freight forwarding mencakup kegiatan penerimaan, penyimpanan, fumigasi (penyemprotan anti hama sebelum barang dimuat dalam kontainer), sortasi, pengepakan, penandaan, pengukuran, dan penimbangan, penyimpanan. Selain itu, freight forwarder juga bertugas melakukan pengurusan penyelesaian dokumen, penerbitan dokumen, perhitungan biaya angkutan, klaim asuransi, serta penyelesaian tagihan dan biaya-biaya lainnya berkenaan dengan pengiriman barang tersebut. Dalam praktik di lapangan, sebagian dari kegiatan-kegiatan operasional tersebut dilakukan sendiri oleh perusahaan freight forwarder (dengan menggunakan sarana dan prasarana milik sendiri atau sewaan) namun ada pula yang menggunakan jasa-jasa dari pihak ketiga yang memiliki sarana dan prasarana yang lebih lengkap dan memadai. Untuk itu, apabila tagihan (invoice) atas imbalan kegiatan operasional tersebut dilakukan secara menyatu (misalnya dengan menuliskan imbalan jasa forwarder’s fee atau handling fee), maka seluruh imbalan atas jasa-jasa operasional tersebut semestinya tidak dipotong PPh Pasal 23. Akan tetapi, jika tagihannya dilakukan secara terpisah (di-breakdown), dan ini yang biasanya terjadi, maka sebagian dari tagihan tersebut dapat menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23 secara pasti, seperti jasa pengepakan atau jasa fumigasi (jasa pembasmian hama terhadap barang-barang yang akan dimasukan ke kontainer) yang ditagih secara terpisah, maka imbalan jasa tersebut akan menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23. Dalam praktik, memang tidak banyak perusahaan freight forwarding yang menyediakan sendiri semua jasa-jasa yang diperlukan dalam proses pengiriman barang. Oleh karena semua kegiatan tersebut membutuhkan modal yang tidak sedikit dan beberapa di antaranya membutuhkan izin usaha dan sertifikasi yang khusus seperti misalnya jasa fumigasi, jasa survey/inspeksi. Artinya, dalam hal ini perusahaan freight forwarding biasanya akan memanfaatkan pihak ketiga penyedia jasa. Bagi penerima jasa agar terhindar dari sanksi-sanksi perpajakan, sebaiknya apabila terdapat obyek PPh Pasal 23 dalam tagihan jasa forwarding tersebut, maka pembayaran kepada vendor tersebut dipotong PPh 23. Namun jika Forwarder tersebut menolak untuk dipotong PPh 23 oleh karena mereka merasa jasa yang diberikan merupakan Jasa Freight Forwarding, maka diharuskan mereka untuk menuliskannya pada kuitansi atau Invoice (tidak di breakdown) per transaksi. Bagi perusahaan jasa freight forwarding, apabila tidak dipotong dalam mekanisme PPh pasal 23, maka penghasilannya tidak berarti bebas pajak, tetap saja melalui mekanisme self assessment,penyetoran PPh Pasal 29 dalam SPT Tahunannya.
Jika keseluruhan pendekatan tidak dapat dilakukan diharapkan wajib pajak untuk mencari jasa freight forwarder yang bersedia untuk mengikuti ketentuan perpajakan di Indonesia sampai dengan nanti ada ketegasan dari Direktorat Jenderal Pajak terkait masalah ini.
Daftar Referensi
http://www.prabukesuma.com/?p=139 http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2HTML/2009100019AKSIBab2/page20.html https://www.scribd.com/document_downloads/direct/244805286?extension=pdf&ft=1414543721 <=1414547331&user_id=18728185&uahk=L3JzxvpYiIE+nApWsLTqnQ7wPuM http://www.ortax.org/ortax/?mod=forum&page=show&idtopik=7181 http://newfanyaauraresta.blogspot.com/2012/06/freight-forwarding_10.html