ISRAILIYYAT DALAM TAFSIR ATH-THABARI DAN IBNU KASTIR (Sikap Ath-Thabari dan Ibnu Katsir Terhadap Penyusupan Israiliyyat Dalam Tafsirnya) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin UIN Syarief Hidayatullah, Jakarta Untuk memenuhi syarat-syarat mencapai gelar Sarjana Theologi Islam (S.TH.I)
Oleh:
Nur Alfiah (106034003549)
JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul ISRAILIYYAT DALAM TAFSIR ATH-THABARI DAN IBNU KATSIR; Sikap Ath-Thabari dan Ibnu Katsir Terhadap Penyusupan Israiliyyat Dalam Tafsirnya telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 20 Desember 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.) pada Program Studi Tafsir-Hadis. Jakarta, 20 Desember 2010
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota,
Sekretaris Merangkap Anggota
Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si. NIP: 19651129 199403 1 002
Muslim, S. Th.I.
Anggota, Penguji I,
Penguji II,
Dr. M. Suryadinata, MA. NIP: 19600908 198903 1 005
Dra. Hermawati, MA. NIP: 19541226 198603 2 002
Pembimbing,
Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA. NIP: 19550725 20001 2 001
ii
KATA PENGANTAR
.
‚
Alhamdulillah, tiada kata yang pantas terucap selain pujian dan rasa syukur kehadirat Allah SWT. Atas izin, rahmat, hidayah serta karunian-Nya, sehingga
penulis
diberikan
jalan
kemudahan
dan
kemampuan
untuk
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam, semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad Saw, seorang Nabi pembawa perubahan, Sang revolusioner dalam segala aspek kehidupan dan rahmat sekalian alam dan seorang teladan yang sempurna hingga akhir zaman. Skripsi yang berjudul “Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabarî dan Ibnu Katsîr (sikap Ath-Thabarî dan Ibnu Katsîr Terhadap Penyusupan Israiliyyat Dalam Tafsirnya)”. Skripsi ini merupakan perjalanan akhir Penulis setelah sekian tahun menuntut ilmu di bangku perkuliahan guna memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S1) di Fakultas Ushuluddin pada Jurusan Tafsir Hadis Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama penyusunan skripsi ini penulis banyak menemukan kesulitan yang dirasakan menghambat penyelesaian skripsi ini. Namun, berkat do’a, dorongan dan bantuan dari berbagai pihak penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
iii
Oleh karena itu, dengan segala hormat dan kerendahan hati kepada pihakpihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyelesaian skripsi ini, maka penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Zainun Kamal, M.A, beserta para Pembantu Dekan 2. Dr. Bustamin, M.Si Ketua Jurusan Tafsir–Hadis, Dr. Ummi Kaltsum, M.A, Sekretaris jurusan Tafsir-Hadis. 3. Dr. Faizah Ali Syibromalisi, sebagai pembimbing penulis, yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesain skripsi ini. 4. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, Khususnya dosen-dosen Tafsir-Hadis yang telah banyak berbagi ilmu kepada penulis, sehingga berkat merekalah penulis mendapat setetes dari samudra Ilmu yang sangat bermanfaat. 5. Kepada keluarga besar H. Zaini dan H. Ahmad, terutama ayahandaku, ibundaku, nenekku serta adik-adikku tersayang (Umar Zein dan Abdullah Zein), yang telah banyak memberikan semangat dan mendo’akan penulis dalam penyeselasian skripsi ini. 6. Kepada sahabat-sahabatku tercinta, Ahmad Fauzan, Monaya Fattiyyah, Suryadi, Gilang, M.Yusuf, Mele dan khususnya Agung Satya, yang telah memberikan semangat penuh dalam pembuatan skripsi ini. 7. Teman-teman penulis yang terkasih Riry, Kokom, Nur, Lia, Dayah, bang Juri, mereka banyak memberika inspirasi untuk penulis. Untuk Rahmi, Ziah, Zaenal, Tomi, Soimmuddin, Rahmat, Rizki, Syafiq, Mukhtar, Sule’, seluruh mahasiswa Tafsir-Hadis angkatan 2006/2007, khususnya TH B
iv
satu dari ku untuk kalian semua ingat, kebersamaan kita begitu indah dan tak akan bisa terlupakan. Thank you all for being such amazing friends of me and support me for this journey. You are everything in my live. Akhirnya penulis pun menyadari dengan wawasan keilmuan penulis yang masih sedikit, referensi dan rujukan-rujukan lain yang belum terbaca, menjadikan penulisan ini jauh dari kesempurnaan. Namun, penulis telah berupaya menyelesaikan skripsi ini semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan penulis sebagai manusia biasa. Oleh karena itu, penulis meminta saran dan kritik yang membangun dari pembaca sebagai bahan perbaikan penulisan ini. Penulis berharap semoga Allah Swt, memberikan balasan yang lebih baik dari semua pihak pada umumnya. Dengan segala kerendahan hati yang penulis miliki, penulis ingin menyampaikan harapan yang begitu besar semoga skripsi ini bermanfaat buat segenap pembaca, semoga juga setiap bantuan yang diberikan kepada penulis mendapat imbalan dari Allah Swt, karena hanya pada Allah jugalah penulis memohon, semoga jasa baik yang kalian sumbangkan menjadi amal shaleh dan mendapat balasan yang lebih baik dari Allah Swt. Amin ya Rabb..
Jakarta, Desember 2010
Penulis
v
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR......................................................................................... i DAFTAR ISI........................................................................................................ iv PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ vi BAB I:
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah............................................................. 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah......................................... 9 C. Ruang Lingkup Masalah ............................................................ 10 D. Kajian Pustaka............................................................................ 11 E. Metodologi Penelitian ................................................................ 12 F. Sistematika Penulisan ................................................................ 13
BAB II:
SEKILAS TENTANG IBNU JARIR ATH-THABARI DAN IBNU KATSIR A. Ibnu Jarir Ath-Thabari................................................................ 15 1. Riwayat Hidup ath-Thabari.................................................. 15 2. Karya-Karya Ath-Thabari .................................................... 19 3. Metode Penulisan Tafsir Jami Al-Bayan ............................. 24 B. Ibnu Katsir.................................................................................. 29 1. Riwayat Hidup Ibnu Katsir .................................................. 29 2. Karya-Karya Ibnu Katsir...................................................... 30 3. Metode Penulisan Tafsir Al-Quran Al-Adzim..................... 33
BAB III:
SEKILAS TENTANG ISRAILIYYAT A. Pengertian Israiliyyat ................................................................. 39 B. Masuknya Israiliyyat ke Dalam Tafsir....................................... 44 C. Klasifikasi Israiliyyat ................................................................. 47 D. Hukum Meriwayatkan Kisah-Kisah Israiliyyat ......................... 51 E. Perawi Riwayat Israiliyyat ......................................................... 54 1. Perawi Dari Kalangan Sahabat ............................................ 55 2. Perawi Dari Kalangan Tabi’in ............................................. 56 vi
3. Prawi Dari Kalangan Pengikut Tabi’in ................................ 58 F. Pandangan Ulama Terhadap Riwayat Israiiliyyat...................... 59 BAB IV:
PERBANDINGAN ANALISA SIKAP ATH-THABARI DAN IBNU KATSIR TERHADAP ISRAILIYYAT A. Sikap Ath-Thabari dan Ibnu Katsir Terhadap Israiliyyat Dalam Tafsirnya .................................................................................... 62 1. Kisah Bani Israel Tersesat Selama Empat Puluh Tahun...... 62 a. Q.S. Al-Maidah[5] : 20-26 ............................................. 62 b. Ringkasan Kisah Bani Israel Tersesat Selama Empat puluh Tahun ................................................................... 64 c. Komentar Ibnu jarir dan Ibnu Katsir.............................. 67 2. Kisah Harut dan Marut........................................................ 69 a. Q.S. Al-Baqarah[2] : 101-103........................................ 69 b. Ringkasan Kisah Harut dan Marut................................. 71 c. Komentar Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir ............................. 73 3. Dzulqarnain .......................................................................... 80 a. Q.S. Al-Kahfi[18] : 83 ................................................... 80 b. Komentar Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir ............................. 80 4 . Kisah Sapi Betina Bani Israel. ............................................. 85 a. Q.S. Al-Baqarah[2] : 67-74............................................ 85 b. Ringkasan Kisah Sapi Betina Bani Israel....................... 87 c. Komentar Ibnu Jarir dan Ibnu katsir .............................. 88 B. Analisa Perbandingan Sikap Ath-Thabari dan Ibnu Katsir Terhadap Penyusupan Israiliyyat ............................................... 91 C. Pandangan Ulama Dalam Menyikapi Israiliyyat .......................101
BAB V:
PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................106 B. Saran-Saran ................................................................................107
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................108
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI1 Konsonan Huruf Arab
ﻫـ
Huruf Latin
Keterangan tidak dilambangkan
B
be
T
te
Ts
te dan es
J
Je
H
h dengan garis bawah
Kh
ka dan ha
D
da
Dz
De dan zet
R
Er
Z
Zet
S
Es
Sy
es dan ye
S
es dengan garis bawah
D
de dengan garis bawah
T
te dengan garis bawah
Z
zet dengan garis bawah
‘
koma terbalik keatas, menghadap ke kanan
Gh
ge dan ha
F
Ef
Q
Ki
K
Ka
L
El
M
Em
N
En
W
We
H
Ha
‘
Apostrof
Y
Ye
1
Pedoman ini disesuaikan dengan pedoman akademik fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006/2007, hal. 101 - 105
viii
Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih aksaranya adalah sebai beeriku: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
______َ
a
fathah
___ِ___
i
kasrah
______ُ
u
dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
__َ__ي
ai
a dan i
َ____ و
au
a dan u
Vokal Panjang (Madd) Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ــَﺎ
â
a dengan topi di atas
ــﻲ
î
i dengan topi di atas
ـــﻮ
û
u dengan topi di atas
Kata Sandang Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/ , baik diikuti oleh huruf syamsyiah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân. Syaddah (Tasydid) Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu ix
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kaata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secaraa lisan berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”, demikian seterusnya.
Ta Marbûtah Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebutdialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3). Contoh: No
Kata Arab
Alih aksara
1
ﻃﺮﻳﻘﺔ
tarîqah
2
al-jâmî ah al-islâmiyyah
3
wahdat al-wujûd
Huruf Kapital Meskipun dalam tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain yang menuliskan kalimat, huruf awal nama tempat nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâli bukan Abû Hamid AlGhazâli, al-Kindi bukan Al-Kindi.
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Al-Quran adalah kalam Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada nabi Muhammad Saw, penutup para Nabi dan Rasûl dengan perantara malaikat Jibril alahis salam, dimulai dengan surat al-Fâtihah dan diakhiri dengan surat an-Nâs.2 Al-Quran merupakan suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan dengan terperinci. Sebagaimana Allah berfirman dalam sûrah Hûd ayat 1 :
“Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu.” Al-Quran adalah satu-satunya pesan samawi yang mampu menjaga orisinalitasnya sepanjang sejarah. Al-Quran telah mengarungi jalan panjang sejarah dengan selamat, selalu sesuai dengan zaman. Kitab ini terjaga dari segala bentuk manipulasi dan kerusakan zaman. Hal ini sebagaimana firmanNya dalam surat al-Hijr ayat 9:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.”
2
Prof.Dr.Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy, Studi Ilmu al-Quran, (Bandung: CV Pustaka Setia), Cet I, h. 15
1
Redaksi ayat di atas mengandung penekanan (ta’kid) bila dilihat dari beberapa segi yang diketahui oleh para pengkaji sastra Arab, diantarannya: penggunaan redaksi ilmiah (redaksi yang menggunakan kata kerja), serta memperkuatnya dengan huruf “Inna’’ dan masuknya ”Lam Muakkidah” terhadap kabar ”La Hâfidzun”.3 Redaksi ayat-ayat al-Quran, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat diijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal ini kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab yang mengandung banyak kemungkinan arti, dari khas dan ‘am, muthlak dan muqayyad, mantuq dan mafhum.4 Semua itu ada yang dipahami dari isyarat dan ada yang dipahami dengan ibarat. Kemampuan manusia dalam memahami berbeda-beda. Ada yang memahami makna secara zahir, ada yang mampu memahami maknamakna yang dalam, dan ada yang mampu memahami bukan makna sebenarnya. Kemudian al-Quran juga diturunkan berkenaan sesuatu sebab dan kejadian, jika hal itu diketahui akan menambah pemahaman dan membantu memahami al-Quran dengan benar.5
3
Yusuf Qardawi, Berinteraksi Dengan al-Quran, (Jakarta: Gema Insani Press), Cet I, h.
39 4
Khas: Lafaz yang tidak menghabiskan semua apa yang pantas baginya. ‘Am: Lafaz yang menghabiskan atau mencakup segala apa yang pantas baginya. Muthlaq: Lafaz yang menunjukkan suatu hakikat tanpa sesuatu pembatas. Muqayyadd: Lafaz yang menunjukkan suatu hakikat dengan batasan. Manthuq: Makna yang ditunjukkan oleh lafaz menurut ucapannya, yakni penunjukkan makna berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkan. Mafhum: Makna yang ditunjukkan oleh lafaz tdak berdasarkan pada bunyi ucapan. 5 Yusuf Qardawi, Berinteraksi Dengan al-Quran, (Jakarta: Gema Insani Press), Cet I, h. 286
2
Penafsiran
al-Quran
tidak
dapat
dipisahkan
dengan
upaya
memahaminya dalam rangka mengambil hidayah-Nya, karena upaya ke arah itu merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, terlebih Allah sendiri menyuruh hamba-hambanya terutama orang Islam untuk menerangkan kandungan-kandungan al-Quran. Terdapat berbagai macam sumber yang dijadikan sandaran oleh para ulama dan ahli tafsir untuk memahami ayat-ayat al-Quran. Mereka berusaha untuk mengetahui pemahaman secara detail dan bisa diungkapkan dengan kata-kata yang sesuai. Hal ini diupayakan agar pemahaman terhadap al-Quran bisa dicapai oleh setiap manusia yang senang dengan al-Quran, agar manusia bisa membaca, memahami dan mengamalkan isi kandungan ayat-ayat alQuran yang mengajak kepada kebaikan dunia dan akhirat. Di antara sumber referensi yang dijadikan pegangan oleh para ahli tafsir dalam menafsirkan al-Quran antara lain riwayat dari Rasulullah saw tentang penafsiran ayat-ayat al-Quran yang global secara penjelasanpenjelasan beliau tentang makna-makna ungkapan al-Quran secara terperinci. Sebagai contoh, diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw pernah ditanya oleh seorang laki-laki tentang maksud dari kata al Muqtasimîn dalam surat al-Hijr ayat 90, Rasulullah menjawab bahwa yag dimaksud dalam ayat tersebut adalah kaum Yahudi dan Nasrani. Lalu laki-laki itu bertanya lagi tentang apa maksud dari ‘’idhin’’ pada ayat selanjutnya (al-Hijr ayat 91),
3
Rasulullah menjawab bahwa yang dimaksud dengan kata itu adalah mereka yang beriman dengan sebagian ayat dan kafir dengan sebagian yang lain.6 Pada periode abad ke 8 – 12M, tepatnya ketika Islam berada di bawah pemerintahan dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan mengalami perkembangan dan kemajuan luar biasa. Dalam bidang ilmu agama, perkembangan dan kemajuannya ditandai oleh kemunculan ulama-ulama besar dengan karyakaryanya dalam bidang ilmu tafsir, hadis, qiraat, ilmu kalam, dan sejarah. Hal serupa terjadi juga pada bidang sains dan filsafat, serta ilmu-ilmu seperti kedokteran, optik, kimia dan matematika7. Khusus dalam bidang ilmu tafsir, pengkajian dan pengembangannya telah mencapai bentuk sistematis, meskipun tentu saja tanpa menafikan kegiatan penafsiran yang sudah dimulai semenjak zaman Nabi. Para ulama tafsir telah sepakat bahwa kegiatan penafsiran al-Quran dimulai oleh Nabi sendiri. Kegiatan penafsiran pasca zaman Nabi kemudian dilanjutkan oleh para sahabat dan penggantinya dalam bentuk riwayat8. Ibnu al-Nadhim mencatat bahwa al-Farra (W.207 H) telah berhasil menyusun kitab tafsir yang berjudul Ma’ani al-Quran sebanyak empat jilid. Sejumlah ulama tafsir besar lainnya yang hampir semasa dengan al-Farra adalah Syu’bah bin al-Hajjâj (w. 160 H), Waqi’ Hamzah bin al-Jarrah (w. 197 H ), Syufyan bin Uyainah (w. 198 H), Rauh bin Ubadah (w. 205), dan Abd ar-
6
Prof.Dr. Mani ‘Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2006 7 Ahmad Amin, Dhuhha Al-Islam, Jilid II, Maktabah An-Nahdah Al-Misriyah, Kairo, 1939, hlm.13. 8 Ali Haan Al-Ridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom, CV Rajawali Press, Jakarta, 1992, hlm.22-23.
4
Razâq (w. 211 H), juga menghasilkan karya-karya besar, tetapi sangat disesalkan karya-karya mereka tidak dapat ditemukan lagi9. Pengaruh keterbukaan Islam pada masa dinasti Abbasiyah terhadap berbagai kebudayaan luar, terutama kebudayaan Yunani yang memicu kelahiran mazhab rasional dalam Islam, yakni dipercayanya perkembangan tafsir dengan kemunculan orientasi penafsiran ittijah bi ar-ra’yi yang dipertantangkan dengan corak penafsiran bi al-matsur, yakni penafsiran alQuran dengan menggunakan penjelasan-penjelasan al-Quran, sunnah Nabi, dan riwayat-riwayat yang berasal dari para sahabat dan tabiin. Para ulama umumnya melihat orientasi penafsiran kedua lebih baik dari pada yang pertama. Al-Qahthan umpamanya, memutuskan untuk mengikuti dan mengambil orientasi pertama karena merupakan cara penafsiran yang paling shahih dan paling aman dari kesalahan dan penyimpangan10. Penilaian itu ada benarnya jika yang dimaksud adalah tafsir bi al-matsur yang berisi riwayatriwayat al-Quran sendiri. Akan tetapi, masalah lain ketika sesuai dengan definisinya dalam jenis tafsir ini juga termasuk riwayat-riwayat yang dinisbatkan dari Nabi, sahabat, dan tabi’in, yang kemungkinan besar terdapat penyimpang-penyimpangan generasi sesudahnya karena ambisi tertentu. Dalam pertumbuhannya, tafsir bi-masur menempuh dua periode. Periode pertama, terjadi pada masa Nabi dan para sahabatnya yang berlangsung sekitar abad ke-1 dan ke-2 H. sedangkan periode kedua, adalah masa pengkodifikasian tafsir. Pada periode ini dibukukan semua hadis yang 9
Ibnu An-Nazhim, Al-Fihrits, Kairo, 1348 H., hlm. 99. Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum Al-Quran, Mansyurat Al-Ashr Al-Hadis, Mesir, t.t., hlm. 25. 10
5
diriwayatkan dari Nabi dan para sahabatnya, baik yang terjadi pada permulaan tahun 100 dan 200 H11. Penanggalan sanad-sanad periwayatan pada periode kedua menyebabkan banyak tersebar riwayat-riwayat yang kualitasnya tidak diseleksi ketat oleh sebagian ilmu tafsir. Kondisi ini akhirnya memberi peluang bagi hadis-hadis dan riwayat-riwayat palsu masuk kedalam tafsir yang telah terkondifikasikan itu12. Dengan demikian orientasi pemikiran bi al-matsur bukan tanpa kelemahan. Yang dimaksud dengan kelemahan di sini adalah, telah disebutkan oleh adz-Dzahabi, Pertama, masuknya unsur-unsur musuh Islam. Kedua, bercampurnya antara riwayat yang shahih dan bathil13. Masuknya Israiliyyat ke dalam Islam memang merupakan hal yang tidak dapat dihindari dari pembauran masyarakat muslim dengan komunitas Ahli Kitab disekitar jazirah Arab. Tafsir dan hadis, keduanya dipengaruhi oleh kebudayaan Ahli Kitab yang berisikan cerita-cerita palsu dan bohong. Israiliyyat juga dianggap mempunyai pengaruh yang buruk. Israiliyyat dituliskan pula oleh sebagian cendikiawan dengan mudah, sehingga kadangkala sampai pada keadaan diterima walaupun jelas lemah dan terang bohongnya. Padahal itu semua merupakan hal yang merusak akidah sebagian besar kaum muslimin, serta
11
Ali Haan Al-Ridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom, CV Rajawali Press, Jakarta, 1992, hlm.22-23. 12 Ali Haan Al-Ridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom, CV Rajawali Press, Jakarta, 1992, hlm.47. 13 Az-Zarqany, Manahil Al-Irfan, Juz II, Dar Al-Fikr, Bairut, t.t., hlm.23-24.
6
menjadikan Islam dalam pandangan musuh-musuhnya sebagai agama yang penuh khurafat dan hal-hal yang tidak masuk akal.14 Pengutipan Israiliyyat oleh sebagian mufassir sebagai salah satu sumber penafsiran al-Quran, selama empat abad ini, yaitu semenjak pengkodifikasian tafsir sampai sekarang, memperkaya khazanah perpustakaan umat Islam dengan kitab-kitab tafsir yang memuat riwayat-riwayat Israiliyyat dengan intensitas yang cukup beragam, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Persoalan Israiliyyat menjadi isu penting bagi mufassir modern. Sebab Israiliyyat tidak hanya berkaitan dengan aspek teologis Islam yang mengklaim sebagai agama yang sempurna, sehingga tidak perlu lagi merujuk pada ajaran-ajaran Yahudi dan Nasrani, juga pernyataan al-Quran yang menyatakan kedua kelompok itu telah melakukan penyimpangan terhadap kitab suci mereka, tetapi juga Israiliyyat pada umumnya berisi khurafatkhurafat yang merusak akidah umat Islam. Sebagaimana dalam surat alMaidah[5] ayat 41, “Wahai Rasul (Muhammad) ! Janganlah engkau disedihkan karena mereka berlomba-lomba dalam kekafirannya. Yaitu orang-orang munafik yang mengatakan dengan mulut mereka, “Kami telah beriman,” padahal hati mereka belum beriman; dan juga orang-orang Yahudi yang sangat suka mndengar berita-berita bohong dan sangat suka mendengar perkataanperkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu. Mereka merubah kata-kata (Taurat) dari makna yang sebenarnya. Mereka mengatakan, “Jika ini yang diberikan kepadamu (yang sudah dirubah) terimalah, dan jika kamu diberi bukan ini, maka hati-hatilah.” Barang siapa dikehendaki Allah untuk dibiarkan sesat, sedikit pun dari Allah untuk menolongnya. Mereka itu adalah orang-orang yang sudah tidak dikehendaki Allah untuk menyucikan hati mereka. Di dunia mereka mendapat kehinaan dan di akhirat akan mendapat azab yang besar.” 14
Muhammad Husaini Zahabi, Israiliyyat Dalam Tafsir Hadis, (Bogor: PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 1993), Cet. 1, h.14
7
Menyadari akan bahayanya, Muhammad Abduh sangat gencar mengkritik ulama tafsir yang menggunakan Israiliyyat sebagai penafsiran alQuran. Dalam nada yang lebih keras, Syaltut menuduh bahwa Israiliyyat telah menghalangi umat Islam menemukan petunjuk-petunjuk al-Quran15. Orientasi tafsir al-Quran yang menjadi objek kritikan para mufassir modern dalam pengutipan riwayat Israiliyyat, adalah tafsir yang menggunakan orientasi penafsiran bi al-matsur. Dalam hal ini, tafsir Jami’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân (selanjutnya disebut tafsir ath-Thabârî) karya Ibnu Jarîr al-Thabârî dan Tafsîr al-Qurân al-Azîm (selanjutnya disebut tafsir Ibnu Katsîr) diduga sebagai kitab tafsir yang banyak memuat Israiliyyat. Berkaitan dengan permasalahan diatas, maka penulis mencoba untuk mengangkat tentang permasalahan ini, dengan menganalisa perbandingan keberadaan riwayat Israiliyyat dalam kedua tafsir tersebut dikomentari atau tidak, yaitu dengan tema: Isrâiliyyât Dalam Tafsir Ath-Thabârî dan Ibnu Kastîr (Sikap Ath-Thabârî dan Ibnu Katsîr Terhadap Penyusupan Isrâiliyyât Dalam Tafsirnya)
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dalam sejarah penafsiran al-Quran, keberadaan Israiliyyat dalam kitab tafsir secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua macam16. Pertama,
15
Muhammad Syaltut, Fatwa-Fatwa, terj. Bustamin A. Gani, Bulan Bintang, Jakarta, 1977, Juz I, hlm.95. 16 Kategori ini diungkapkan oleh Adz-Dzahabi dalam ‘’al-Tafsir wa al-Mufassirun”, menjadi enam kategori keberadaan riwayat Israiliyyat dan keenam kategori itu secara garis besar
8
Israiliyyat dikomentari oleh penulisnya. Komentar yang dimaksud adalah menyangkut analisis terhadap kualitas sanad dan matan. Kategori ini dipandang sebagai cara yang benar dalam mengemukakan Israiliyyat. Kedua, riwayat Israiliyyat yang keberadaannya tanpa dikomentari apa-apa, yakni tanpa penyebutan sanadnya, analisis terhadap kualitas sanadnya, analisis terhadap isi Israiliyyat, dan penafsiran yang benar terhadap ayat yang ditafsirkan dengan Israiliyyat. Poin-poin ini merujuk kepada studi kritis terhadap riwayat hadis. Dalam studi kritik al-Hadis, hal yang ditinjau adalah aspek sanad dan matan. Kategori yang kedualah yang kerap kali menjadi objek kritikan para ulama tafsir. Berkaitan dengan itu, penulisan skripsi ini membatasi dan memusatkan perhatian kepada penyusupan riwayat Israiliyyat dalam tafsir Jâmi’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân (selanjutnya disebut tafsir ath-Thabârî) karya Ibnu Jarîr alThabârî dan Tafsîr al-Qurân al-Azîm (selanjutnya disebut tafsir Ibnu Katsîr) dengan penekanan pada analisis apakah keberadaannya dikomentari atau tidak. Dengan kata lain, apakah ath-Thabârî dan Ibnu Katsîr bersikap kritis atau tidak, dan penulis juga merumuskan “Apa itu sebenarnya kisah-kisah Israiliyyat dan Bagaimana kisah-kisah Israiliyyat tersebut dapat menyusup kedalam kitab tafsir Jâmi’ al-Bayân karya ath-Thabârî dan tafsir al-Qurân alAzîm karya Ibnu Katsîr yang keduanya merupakan kitab yang banyak dijadikan rujukan para pembaca”.
dapat dibagi ke dalam dua bagian. Lihat Adz-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz 1., hlm. 9598
9
C. Ruang Lingkup Masalah Para ulama pada umumnya mengklasifikasikan Israiliyyat dalam tiga bagian, yaitu: 1. Israiliyyat yang sejalan dengan Islam 2. Israiliyyat yang tidak sejalan dengan Islam 3. Israiliyyat yang tidak masuk bagian pertama dan kedua Pengklasifikasian itu dirumuskan dengan mengacu pada keteranganketerangan Nabi. Nabi sendiri tidak langsung membuat klasifikasi tersebut, melainkan pemahaman para ulama terhadap keterangan-keterangan Nabi tersebut yang memunculkan klasifikasi itu. Umpamanya, ada keterangan Nabi yang membolehkan dan melarang meriwayatkan Israiliyyat, kemudian para ulama mengklasifikasikan Israiliyyat pada yang sejalan dengan Islam dan yang tidak sejalan dengannya. Namun, ada pula keterangan Nabi yang menyuruh umatnya untuk tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan Ahli Kitab, kemudian para ulama pun membuat klasifikasi Israiliyyat yang tidak masuk bagian pertama dan kedua. Berkaitan dengan itu, penulisan skripsi ini memusatkan perhatian kepada: 1. Keberadaan riwayat Israiliyyat yang tidak sejalan dengan Islam. dalam tafsir Jâmi’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân karya Ibnu Jarîr alThabârî dan Tafsîr al-Qurân al-Azim karya Ibnu Katsîr . Diantaranya: Kisah Bani Israel Tersesat Selama Empat Puluh Tahun, Kisah Harut Marut, dan Dzulqarnain.
10
2. Keberadaan riwayat Israiliyyat yang tidak termasuk keduanya (tidak sejalan dan sejalan dengan Islam) dalam tafsir Jâmi’ alBayân fî Tafsîr al-Qurân karya Ibnu Jarîr ath-Thabârî dan Tafsîr al-Qurân al-Azim karya Ibnu Katsîr. Yaitu,
Kisah Sapi Betina
Bani Israel Kesemuanya itu berdasarkan apakah keberadaan riwayat Israiliyyat dikomentari atau tidak. Dengan kata lain, apakah ath-Thabârî dan Ibnu Katsîr bersikap kritis atau tidak terhadap riwayat Israiliyyat dalam kitabnya masingmasing.
D. Kajian Pustaka Diakui, bahwa kajian mengenai Israiliyyat bukanlah penelitian yang baru. Sudah ada beberapa penelitian yang membahasnya. Diantaranya, dalam bentuk buku, salah satunya adalah, Israiliyyat Dalam Tafsir Hadis karangan Muhammad Husaini Zahabi. Dalam bentuk skripsi, adalah, “Israiliyyat Dalam Kitab Tafsir Jâmi’ al-Bayân fî al-Tafsîr Karya ath-Thabârî” oleh Ali Akbar dan “Studi Analitis Pandangan Israiliyyat Rasyid Ridho Dalam Tafsir alManar” oleh Ahmad Zaki Mubarok. Disini, penulisa berusaha menggabungkan antara dua penafsir yang mengemukakan tentang Israiliyyat dalam tafsirnya. Yang lebih membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah membandingkan antara ath-Thabari dalam tafsir Jami al-Bayaan dengan Ibnu Katsir dalam tafsir alQuran al-Azhim dalam mengemukakan Israiliyyat, sehingga diharapkan
11
peneliti ini dapat memberi solusi yang baik terhadap beberapa pembahasan serupa.
E. Metodologi Penelitian Dalam proposal ini ada dua aspek metodologi penelitian yang digunakan: 1. Metode Pengumpulan Data Kajian proposal ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan (library Research), suatu metode dengan cara mengumpulkan data dan informasi, baik berupa buku-buku maupun artikel-artikel yang kemudian diidentifikasi secara sistematis dan analisis, dengan bantuan berbagai macam-macam material yang terdapat di ruang pustaka. Sedangkan data-data yang diperlukan dan dicari itu dari sumbersumber kepustakaan yang bersifat primer, yaitu data yang berlangsung dan diperoleh dari sumber data pertama, disebut dengan sumber utama. Dalam hal ini yang menjadi sumber utamanya adalah kitab tafsir Jâmi’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân karya Ibnu Jarîr ath-Thabârî dan Tafsîr al-Qurân alAzim karya Ibnu Katsîr. Dan sekunder, yaitu data yang lebih dahulu diikumpulkan dan dilaporkan dari sumber-sumber yang lain. Disebut dengan data pendukung. 2. Metode Pembahasan Dalam metode pembahasan, penulis menggunakan metode deskriftif analisis: a. Metode deskriftif, yaitu suatu pembahasan yang bermaksud untuk membuat gambaran mengenai data-data dalam rangka menguji
12
hipotesa atau menjawab pertanyaan, yang menyangkut keadaan pada waktu sedang berjalan dari pokok masalah. b. Metode analisis, yaitu suatu bahasan dengan cara memberikan penafsiran-penafsiran terhadap data yang telah terkumpul dan tersusun. Jadi metode deskriftif analisis adalah suatu pembahasan yang bertujuan untuk membuat gambaran terhadap data-data yang telah tersusun dan terkumpul dengan cara memberikan tafsiran terhadap data tersebut. 3. Teknik Penulisan Secara Teknik penulisan skripsi ini disandarkan pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi IAIN Syarief Hidayatullah Jakarta (2000)”.
F. Sistematika Penulisan Penulis dalam menyusun skripsi ini, terdiri dari lima bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut: Bab I, Pendahuluan dengan mengetengahkan sekitar latar belakang masalah, identifikasi, batasan dan perumusan masalah, ruang lingkup masalah, tinjauan pustaka, metodologi penelitian juga sistematika penulisan. Bab II, Sekilas tentang Ibnu Jarîr ath-Thabârî dan Ibnu Katsîr dengan mencari tahu seputar riwayat hidupnya, karya-karya ilmiah dan murid-murid beliau, serta metode dalam penulisan kitabnya.
13
Bab III, Membahas sekilas tentang Israiliyyat, masuknya israiliyyat ke dalam tafsir, klasifikasi Israiliyyat itu sendiri, para perawi Israiliyyat, serta pandangan ulama terhadap Israiliyyat itu sendiri. Bab IV, Menganalisa dan membandingkan sikap ath-Thabârî dan Ibnu Katsîr terhadap Israiliyyat yang terdapat dalam kitab Jâmi’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân karya Ibnu Jarîr ath-Thabârî dan Tafsîr al-Qurân al-Azim karya Ibnu Katsîr. Dengan disertai contoh-contoh, pandangan mereka terhadap Israiliyyat, serta pandangan ulama dalam menyikapi Israiliyyat. Bab V, penutup berisikan tentang beberapa kesimpulan dari penulis proposal ini disertai dengan saran-saran. Daftar Pustaka
14
BAB II SEKILAS TENTANG IBNU JARÎR ATH-THABÂRÎ DAN IBNU KATSÎR
A. Ibnu Jarîr Ath-Thabârî 1. Riwayat Hidup Ath-Thabârî Pada penghujung abad ke-9 M/3H hingga pertengahan pertama abad ke-10, dunia masih menyaksikan kemajuan-kemajuan keilmuan dikalangan umat Islam. Hilangnya mazhab rasional Mu’tazilah17 setelah al-Mutawakkil menghapusnya sebagai aliran resmi Negara, tidak membuat Islam berhenti melakukan inovasi-inovasi keilmuan. Perubahan yang terlihat setelah peristiwa ini barangkali hanya menyangkut intensitas penggunaan nalar oleh umat Islam dalam rangka pengembangan keilmuan. Bila dikalangan para penganut Mu’tazilah, peranan akal begitu dominan, penekanan itu tidak begitu terlihat setelah aliran Mu’tazilah dihapus oleh al-Mutawakkil.18 Studi atas naskah al-Quran mengalami banyak kemajuan pada awal abad ke-10 H/632M karena adanya pengakuan resmi atas tujuh bacaan sebagai satu-satunya yang sah, tindakan itu dilakukan oleh Ibnu Mujahid 17
Secara harfiah kata mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Mu’tazilah muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ AlMakhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan wafat pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan ajarannya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang pemimpin Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah. (Lihat Firaq Mu’ashirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Awaji, 2/821, Siyar A’lam An-Nubala, karya Adz-Dzahabi, 5/464-465, dan Al-Milal Wan-Nihal, karya AsySyihristani hal. 46-48). 18 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unnsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 55.
15
(w. 935 M / 313 H) untuk mengatasi ketidak mungkinan mengadakan kesepakatan panuh atas perbedaan cara membaca al-Quran yang muncul menjelang abad ke-9 M. Meskipun tujuh bacaan dari Ibnu Mujahid itu tidak segera diterima oleh para ulama, sebelum Ibnu Mujahid wafat, sebuah pengadilan mendukung pandangannya dengan mencela seorang ulama yang membolehkan membaca teks konsonan sesukanya asal sesuai dengan tata bahasa dan maknanya dapat diterima secara luas, sebagai puncak generasi ulama tekstual pada fase perkembangannya.19 Pada saat itu, tafsir sudah merupakan suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri setelah sebelumnya merupakan bagian dari kitab-kitab hadis. Sebagaimana disiplin ilmu lainnya, pada masa dinasti Bani Abbas, tafsir dijadikan sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Perkembangan tafsir ditandai oleh munculnya dua madrasah aliran tafsir bi al-matsur20 dan aliran tafsir bi al-rayî.21 Disamping itu, orientasi kajian tafsir sudah memasuki berbagai disiplin ilmu seperti fiqih, kalam, sejarah, dan filsafat.
19
Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 57. 20 Metode tafsir bil ma’tsur atau bir riwayah adalah metode menafsirkan Al-Qur’an dengan merujuk pada pemahaman yang langsung diberikan oleh Rasulullah kepada para sahabat, lalu turun menurun kepada tabi’in; tabi’it tabi’in, dan seterusnya hingga masa sekarang. Metode ini mendasarkan tafsir pada kutipan-kutipan yang sahih sesuai urutan-urutan persyaratan bagi para mufasir. Yaitu: Menafsirkan al-Quran dengan al-Quran, Menafsirkan al-Quran dengan sunnah atau hadis, Menafsirkan pendapat para sahabat;para tabi’in. 21 Tafsir bil-ra’yî adalah metodologi penafsiran al-Quran berdasarkan rasionalitas pikiran (ar-ra’yu), dan pengetahuan empiris (ad-Dirayah). Tafsir ini mengandalkan “ijtihad” seorang mufassir, dan tidak berdasarkan pada kehadiran riwayat-riwayat. Disamping aspek itu, kemamppuan tata bahasa, retrorika, etimologi, pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan wahyu, dan aspek-aspek lainnya menjadi pertimbangan para mufassir. Kata “ar-ra’yu” berarti “kebebasan pemikiran”, cenderung berkonotasi pada rasionalitas ijtihad terhadap penafsiran al-Quran. Ini berarti al-Quran dianggap sebagai teks “fleksibel” yang sesuai dengan “kepentingannya”. Sehingga perlu adanya syarat-syarat tertentu yang membatasi pengertian tafsir bi ar-rayî terutama dalam aplikasinya. Itihad yang dimaksud disini adalah berdasarkan dasar-dasar yangbenar dan kaidah-kaidah yang lurus. Jadi jelaslah bahwa tafsir bi rayȋ bukanlah sekedar berdasarkan pendapat atau ide semata, atau hanya sekedar gagasan yang terlintas dalam fikiran seseorang.
16
Di sisi lain tafsir bi al-matsur menghadapi persoalan yang sangat serius, yaitu, pembauran antara riwayat-riwayat yang sahih dan yang palsu. Seiring dengan masuknya unsur luar ke dalam Islam, tafsir ini pun sudah dipengaruhi oleh unsur-unsur luar itu. Pada waktu yang sama perkembngan ilmu agama juga tampak pada bidang hadis, fiqih, dan tasawuf. Diantaranya adalah periode konsolidasi hadis berupa kegiatan kritik terhadap ribuan hadis dari tahun 850 M sampai dengan tahun 945 M dan berhasil membuat enam kitab hadis yang dikenal Kutub al-Sittah, yaitu, Sahih Bukhârî, Sahih Muslîm, Sunan atTirmizî, Sunan Ibnu Majah, Sunan Abû Dâud dan Sunan an-Nasâî. Dalam bidang hukum Islam, pada periode 850 M sampai dengan tahun 945 M tidak ada lagi usaha untuk membentuk mazhab baru. Sementara itu, tasawuf telah mencapai bantuknya yang sempurna. Itulah sebabnya Abû al-A’la Afifi menjelaskan bahwa pada abad ke-3 H / 624 M dan ke-4 H / 625 M merupakan zaman keemasan taswuf.22 Ditengah kondisi demikianlah, ath-Thabârî yang memiliki nama lengkap Abû Ja’far Muhammad Ibnu Jarîr Ibnu Yazid Ibnu Khalid athThabarî, beliau dilahirkan di Amul, ibu kota dari propinsi Tabaristan pada tahun 224 H.23 Menurut para ahli sejarah, daerah ini dinamakan dengan Tabaristan karena daerah tersebut merupakan daerah pegunungan, dan
22
juga
Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unnsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 57. 23 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jami’ al-Bayân ‘an Ta’wil al-Quran, (Bairut Dâr al-Fiqr), Jilid I, h.3.
17
penduduknya merupakan ahli dalam peperangan, dan alat yang digunakan dalam berperang adalah: Tabar (dalam bahasa Indonesia sejenis kampak).24 Beliau mengadakan perjalanan untuk menuntut ilmu dan kota pertama yang beliau tuju adalah Ray dan daerah sekitarnya. Di sana ia mempelajari hadis dari Muhammad bin Humaid ar-Razî. Selanjutnya, ia menuju Baghdad untuk belajar kepada Ahmad bin Hanbal, tetapi ketika ia sampai di sana, Ahmad bin Hanbal sudah wafat (pada tahun 241 H).25 Di Kuffah, ia mengambil Qiraah dari Sulaiman al-Tulhi dan hadis dari sekelompok jamaah yang diperoleh dari Ibrâhîm Abî Kuraib Muhammad bin al-Ala al-Hamdani, salah seorang ulama besar hadis26. Pada tahun 253, ia sampai di Mesir dan pada tahun tersebut untuk beberapa saat ia tinggal di Fustat kemudian mengunjungi Syam dan kembali ke Mesir pada tahun 256 H. Pada saat di Mesir beliau belajar pada pemuka-pemuka mazhab Syafi’I, diantaranya: ar-Rabi bin Sulaiman al-Muradi dan Ismail bin Ibrâhîm al-Muzani dan lain-lainnya. Dari sana kemudian ia kembali ke Baghdad, dan kembali ke Tabaristan, dan kembali ke Baghdad untuk belajar dalam sisa umurnya, sampai ia meninggal dunia pada tahun 310H27. Demikianlah di setiap tempat yang dikunjungi ia berjumpa dengan
24
Musthafa as-Shawi al-Juwainy, Manahij fî at-Tafsîr, (Mesir: Nas’atu al-Ma’arif, Iskandariyah), h. 301. 25 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jami’ al-Bayân ‘an Ta’wil al-Qurân, (Bairut Dar al-Fiqr), Jilid I, h. 3. 26 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 59 27 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jami’ al-Bayân ‘an Ta’wil al-Qurân, (Bairut Dar al-Fiqr), Jilid I, h. 4.
18
ulama-ulama besar. Ia mengambil ilmu dari mereka tidak saja terbatas pada bidang tertentu, tetapi semua disiplin ilmu yang memungkinkannya digelari seorang ilmuan ensiklopedik.
2. Karya-Karya Ath-Thabârî Seperti penulis telah sampaikan di atas, bahwa ath-Thabârî semasa hidupnya merupakan seorang penuntut ilmu yang sangat giat sehingga setiap perjalanannya selalu menuntut ilmu, beraneka ragam ilmu yang digelutinya sehingga keahliannya tidak hanya terbatas pada bidng tafsir, sejarah, fiqih, dan hadis, tetapi juga dalam bidang-bidang sastra, leksikrografi, tata bahasa, logika, matematika, dan kedokteran. Keluasan ilmu yang dimiliki ath-Thabârî diakui oleh para ulama. Berikut komentar sebagian ulama terhadap ath-Thabârî : 1. Al-Khâtib al-Baghdadi, “ath-Thabârî adalah seorang pemuka ulama yang ucapannya ditanggapi, pendapatnya dirujuk karena keluasan ilmunya. Ia mendalami berbagai disiplin ilmu yang tidak dapat dilakukan oleh siapapun pada masanya. Ia hafal al-Quran, mengetahui berbagai ragam bacaan al-Quran, mengetahui makna-makna al-Quran, dan faham hukum-hukumnya. Mengetahui hadis dan seluk beluknya, mengetahui berbagai pendapat sahabat, tabi’in, dan orang-orang sesudahnya. Mengetahui persoalan-persoalan halal dan haram, dan mengetahui perjalanan sejarah umat. Ia menulis kitab monumental, Tarrikh al-Umam wa al-Mulk dan kitab tafsir yang belum pernah
19
ditulis oleh siapapun. Ia pun menulis kitab Tahzib al-Atsar yang isinya tidak ada bandingnya. Disamping itu, ia banyak menulis dibidang ilmu ushul fiqh dan cabang-cabangnya. Ia memilih pendapat-pendapat ahli fiqh”.28 2. Adz-Zahabi, “ath-Thabârî adalah seorang terpercaya, sadiq, hafiz, bapak tafsir, imam dalam bidang fiqih, banyak mengetahui sejarah dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada umat manusia, mengetahui qira’at, bahasa, dan sebagainya”.29 Mengenai karya-karya ath-Thabârî, tidak diperoleh informasi yang pasti berapa banyak buku yang pernah ditulisnya. Namun ada beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa ia aktif menulis. Khâtib al-Baghdadi mendengar dari Ali bin Ubaidillah al-Lughawi as-Samsi bahwa ia aktif menulis selama 40 tahun dengan perkiraan setiap harinya menulis 40 lembar. Dengan demikian, selama 40 tahun diperkirakan ia menulis sebanyak 1.768.000 lembar. Suatu kesaksian lainnya pernah diturunkan oleh Abdullah al-Farqhani, ia menyebutkan bahwa sebagian murid athThabârî memperhitungkan bila jumlah kertas yang pernah ditulisnya dibagi oleh usianya semenjak baligh sampai wafatnya, maka setiap hari, ia menulis 14 lembar.30 Karya-karya ath-Thabârî tidak semuanya sampai ke tangan kita sekarang. Diperkirakan banyak karyanya tentang hukum lenyap bersamaan
28
Al-Khatib Al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, Dar Al-Fikr, Bairut, t.t., Juz II, h. 163. Abi al-Falah Abd al-Havy bin al-Imad al-Hanbali, Syadzarat Adz-Dzahabi fî Akbar Man zahab, Juz III, Dar al-Fikr, Bairut, h. 332. 30 Mustafa Ash-Shawi al-Juwaini, Manhaj fî at-Tafsîr, Mansya’ah al-Ma’arif, Iskandariah, t.t., h. 304. 29
20
dengan lenyapnya mazhab jarîriyah. Di bawah ini adalah karya-karyanya yang sampai ke tangan kita31: a. Tafsir Jami’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân,32 Kitab tafsir ini merupakan kitab tafsir yang paling besar dan utama serta menjadi rujukan penting bagi para mufassir bi al-matsur. Ibnu Jarîr memaparkan tafsir dengan menyandarkan kepada sahabat, tabi’in dan tabi’ al-tabi’in. Ia juga mengemukakan berbagai pendapat dan mentarjihkan sebagian atas yang lain. Para ulama berkompeten sependapat bahwa belum pernah disusun kitab tafsirpun yang dapat menyamainya.33 b. Qira’at Kitab al-Qiraat wa at-Tanzîl al-Qurân. Di dalam kitab ini disebutkan perbedaan pendapat para qari tentang huruf-huruf al-Quran. Di dalamnya pun diklasifikasikan nama-nama ahli qiraat Madinah, Mekah, Kuffah, Syam, dan Basrah dengan disertai penjelas qira’atnya masing-masing. c. Hadis Tahzîb al-Atsar wa Tafsil ats-Tsabit an Rasûlillah min alAkhbar. Kitab ini belum selesai ditulis ath-Thabârî dan tidak ada seorang pun yang mampu menyempurnakannya. Kitab ini mula-mula berbicara tentang hadis-hadis shahih yang datang dari Abû Bakar, 31
Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 62-64. 32 Nama ini berdasarkan percetakan yang berlaku saat ini. Ath-Thabari sendiri menamainya dengan Jami al-Bayan fi Ta’wil Ayy al-Quran. Lihat ath-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Mulk, Juz I, Matba’ah al-Husainiyah, Mesir, t.t., h. 45 33 Manna Khali al-Qatthan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, (Litera Antar Nusa, 1996), Cet ke3, h. 527.
21
kemudian, ia berbicara tentang setiap hadis beserta kecacatannya dan jalan periwayatannya. d. Fiqih -
Ikhtilaf ‘Ulûm al-Amsar fî Ahkâm Syara’I al-Islâm, di dalam kitab ini disebutkan berbagai pendapat ulama yang berkaitan dengan hukum-hukum syari’at.
-
Latif al-Qaul fî Ahkâm Syara’I al-Islam, kitab ini memaparkan mazhab fiqih ath-Thabârȋ sendiri.
-
Al-Khafi fî Ahkâm Syar’I al-Islâm, kitab ini merupakan ringkasan kitab di atas.
-
Mukhtasar Manasik al-Hajj.
-
Mukhtasar al-Faraidh.
-
Kitâb fî ar-Radd ala ibn Abd al-hukm ala Malik.
-
Kitâb Basit al-Qaul fî Ahkâm Syara’I al-Islâm
-
Kitâb Adab al-Qaudah.
e. Usûluddin -
al-Basariah fî ma’alim Ad-din.
-
Risalah al-Musammah bi Sarih as-Sunnah.
-
Kitâb al-Mujaz fî al-Usul.
-
Kitâb adab An-nufus al-Jayyidah wa al-Akhlaq An-nafisah.
f. Sejarah -
Tarikh al-Umam wa al-Mulk, kitab ini dipandang sebagai puncak prestasi ilmiah ath-Thabari dalam menulis sejarah. Riwayat-
22
riwayat yang terkandung di dalamnya tidak dipandang oleh para sejarawan sebagai asatir (dongeng-dongeng) dan kisah-kisah sebab penulisannya didasarkan atas fakta riwayat dan musyafahah (oral) yang merujuk pada sumber-sumber Arab. Bagian pertama kitab ini berisi sejarah sebelum Islam yang menyangkut awal penciptaan, kisah-kisah para Nabi, umat Persia, Romawi, Arab, dan Yahudi. Adapun bagian kedua berisi sejarah Islam yang menyangkut sejarah Rasulullah, sejarah Khulafa ar-Rasyidin, penaklukpenakluk mereka, dan sejarah muslim pada masa dinasti Amawiyah dan dinasti Abbasiah. Kitab ini tuntas ditulis pada tahun 302 H. -
Kitâb Zail al-Munzil, kitab ini terdiri dari seratus halaman, selesai ditulis oleh ath-Thabari pada tahun 300 H. kitab ini berisikan sejarah sahabat, tabi’in, dan pengikut-pengikut mereka sampai athThabari. Di dalamnya pun disebutkan sejrah sahabat yang terbunuh dan semasa Rasulullah.
-
Kitâb Fadha’il Ali bin Abî Tâlib, bagian awal kitab ini mengemukakan berita-berita yang shahih di sekitar peristiwa Gadir Khum. Setelah itu diikuti dengan uraian keutamaan-keutamaan Ali.
-
Kitâb Fadha’il Abi Bakr wa Umar.
-
Kitâb Fadha’il al-Abbasi.
23
3. Metode Penulisan Tafsir Jami’ al-Bayân Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa kitab Jami’ al-Bayân karya Ibnu Jarîr merupakan salah satu kitab tafsir bi al-matsur. Adapun metode yang dipakai oleh Ibnu Jarîr dalam penulisan kitab tafsirnya adalah sebagai berikut: 1. Cara penyajiannya yang teliti dalam merangkai riwayat, dan beliau sangat teliti dalam menyebutkan sanad, dan dalam pencantuman riwayat, maka tafsir tersebut menjadi sangat istimewa dalam pemikirannya. Contoh: Dalam menjelaskan tentang diturunkannya Adam dan Hawa ke bumi, beliau mencantumkan para periwayatnya, seperti dari Mûsa bin Harun, berkata: dari Amru bin Humad, dari Asbath, dari Suddiyi, dari Abi Malik, dari Abi Shalih, dari Ibnu Abbas, dari Murrah, dari Ibnu Mas’ud, dan setelah itu dilanjutkan kepada periwayatan. Dan beliau lebih sering memakai kata “Haddatsana”, sebagai bentuk bahwa sang perawi langsung mendengar dari yang meriwayatkan.34 2. Beliau menjauhkan dari penafsiran yang menggunakan orientasi bi alra’yî. Dalam beberapa riwayat beliau melarang tafsir dengan orientasi bi al-ra’yî, karena menurut baliau bahwa dalam penafsiran kitab Allah tidak dapat diketahui ilmunya kecuali dengan keterangan Rasulullah Saw.
34
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jami’ al-Bayân ‘an Ta’wil al-Qurân, (Bairut: Dâr al-Fiqr), Jilid I, h. 229.
24
3. Dibantu dengan ilmu tata bahasa, ia mendefinisikan arti kalimat terhadap kalimat yang lain. Contohnya
dalam
menafsirkan
kata
“al-Basmaallah”
beliau
mengatakan bahwa makna basmallah adalah memulai dengan menyebut nama Allah, dan menyebut-Nya sebelum mengerjakan sesuatu, atau dengan kata lain, beliau menyatakan makna lain dari basmallah adalah saya membaca dengan nama Allah, saya berdiri dan duduk karena Allah.35 4. Menyajikan dengan syair, dan dalam menjelaskan maksud kalimat beliau benyak berlandaskan syair, terkadang disebutkan nama pengarangnya dan terkadang cukup hanya dengan syairnya. Contoh: Dalam menjelaskan kata”Faridhah” beliau menggunakan syair sebagai berikut :
ﻗﺮﻳﻀﺔ
ﻛﻤﺎ
ﻛﺎﻧﺖ ﻗﺮﻳﻀﺔ
Sesungguhnya kewajiban harus kamu kerjakan sebagaimana zina wajib dikenakan Rajam36 5. Beliau pun menampilkan qira’at, karena beliau seorang ahli dalam hal tersebut. Contoh: Dalam menjelaskan ayat ”
“ ﻣﺎﻟﻚAbi ja’far berkata:
para ahli qira’at berbeda-beda dalam membacanya. Diantaranya ada yang membaca (
) dengan memendekkan pada ”mim”, dan
diantaranya ada yang membaca ( 35
ِ ) ﻟِﻚdengan memanjangkan
Muhammad Bakr Ismail,Ibnu Jarîr ath-Thabârî wa Manhajuhu fî at-Tafsîr, (Mesir: Dâr al-Manar, 1991), h. 73. 36 Muhammad Bakr Ismail,Ibnu Jarîr ath-Thabârî wa Manhajuhu fî at-Tafsîr, (Mesir: Dâr al-Manar, 1991), h. 93.
25
pada “mim”, dan ada pula yang membaca (
) dengan
menasabkan pada huruf “kaf”’.37 Kitab tafsir ini terdiri atas tiga puluh jilid dan menjadi referensi utama serta pokok bahasan bagi tafsir-tafsir berikutnya. Kitab ini telah dicetak dua kali di Mesir.38 Ibnu as-Subukhi menyatakan bahwa bentuknya yang sekarang adalah ringkasan dari kitabnya yang asli. Pada mulanya kitab ini dianggap hilang tetapi secara tiba-tiba dan dalam waktu yang tidak lama, ditemukan sebagai milik pribadi Amir Hamad Ibnu Amir Abd al-Rasyd, salah soerang Amir Najeed. Dalam versi yang disampaikan Goldziher, manuskrip kitab ini ditemukan pada masa kebangkitan percetakan pada awal abad ke-20-an. Namun dalam versi Mahmud Syakir (yang mentashih Tafsir ath-Thabârî sekarang) naskah kitabnya yang asli belum ditemukan.39 Tafsir ath-Thabârî mempunyai gaya bahasa tersendiri yang memerlukan kesungguhan dan ketelitian ekstra untuk memahami kandungannya. Dalam hal ini Mahmud Syakir berkomentar: “Banyaknya pasal-pasal dalam tafsir ath-Thabârî menyulitkan saya untuk memahami kitab ini. Untuk memahami maknanya, saya harus membaca dua sampai ttiga kali. Hal ini terjadi sebab metode penulisan saya berbeda dengan metode yang digunakan ath-Thabari. Akan tetapi, tanda baca dalam kitab itu sedikit menolong memperjelas setiap ungkapan-ungkapannya.” 37
Muhammad Bakr Ismail,Ibnu Jarîr ath-Thabârî wa Manhajuhu fî at-Tafsîr, (Mesir: Dâr al-Manar, 1991), h. 102. 38 Thameem Ushama,Metodologi Tafsir al-Quran Kajian Kritis Objektif dan Komprehensif, (Jakarta: Penerbit Riora Cipta, 2000), Cet. I, h. 68. 39 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 65.
26
Disamping menggunakan gaya bahasa tertentu, ath-Thabârî pun menggunakan metode dan orientasi tertentu. Tafsir ini menggunakan metode tahlili40 karena menafsirkan ayat berdasarkan susunan mushafi, sedangkan orientasi yang dignakannya adalah orientasi gabungan karena tafsir ini menggabungkan orientasi penafsiran bi al-matsur dan orientasi penafsiran bi al-ra’yî.41 Karena banyaknya jumlah hadis yang dimasukkan didalamnya, tafsir ini hampir dinilai secara particular menjadi contoh penting tafsir bi al-matsur. Namun Jami’ al-Bayân lebih dari sekedar koleksi dan kompilasi materi tafsir yang luas. Struktur karya yang sangat hati-hati menunjukkan dengan jelas pandangan dan penilaian yang sungguh-sungguh. Ath-Thabârî sangat jelas memahami isu-isu metodologi dari halaman-halaman pertamanya. Ia mengawali karyanya dengan bab pengantar yang hampir mendekti sejumlah pemikiran hermeneutik. Selain perhatiannya terhadap bahasa dan leksikal, ath-Thabârî mendiskusikan status problematika tafsir bi al-rayî (interpretasi dengan opini pribadi), keberatan orang-orang yang menentang semua kegiatan penafsiran tersebut, dan reputasi penafsirpenafsir sebelumnya, apakah mereka yang dihormati atau ditolak dimasa yang lalu. Persoalan yang menjadi perhatian disini adalah bab
40
Secara harfiah, tahlili berarti menjadi lepas atau terurai. Yang dimaksud al-tafsir altahlili ialah metode penafsiran ayat-ayat al-Quran yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan uraian-uraian makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Quran dengan mengikuti tertib susunan atau urutan-urutan surat-surat dan ayat-ayat al-Quran itu sendiri dengan sedikit banyak melakukan analisis di dalamnya. Lihat Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu Al-Quran 2, Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 2001, h. 110. 41 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h 66.
27
dimana ath-Thabârî berusaha mendiskusikan berbagai macam cara agar seorang individu sampai pada pengetahuan interpretasi (di sini ia menggunakan istilah ta’wil42) al-Quran.43 Penggunaan kata ta’wil pada saat mengungkapkan pendapatnya sendiri tentang penafsiran ayat-ayat tertentu merupakan kekhususan kitab tafsir ini yang tidak dimiliki oleh kitab tafsir lainnya. Nampaknya, ath-Thabari menggunakan kata itu dalam pengertian “tafsir” sebagaimana umumnya digunakan para mufassir lainnya. Dalam hal ini, as-Suyuti berkomentar bahwa motivasi ath-Thabârî menamai kitabnya dengan Jami’ at-Ta’wil an al-Qurân adalah untuk memperlihatkan bahwa kitab ini tidak hanya menyingkapkan makna lafaz-lafaz al-Quran, tetapi juga disertai analisis struktur kalimatnya, makna yang tersurat di dalamnya,, analisis bahasa, dan lain-lain.44 Berdasarkan keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki tafsir athThabârî di atas, maka kitab ini kemudian mempunyai nilai tinggi. Di dalam Lisan al-Mizan, disebutkan bahwa Ibnu Huzaimah pernah meminjam kitab tersebut dan baru selesai dibacanya setelah dua tahun dan
42
Secara bahasa, ta’wil berasal dari kata al-awl berarti ‘kembali’; atau dari kata al-ma’al berarti tempat kembali. Muhammad Husain Zahabi mengemukakan bahwa dalam pandangan ulama salaf, ta’wil memiliki dua macam pengertian, Pertama, menafsirkan teks dan menerangkan maknanya tanpa mempersoalkan apakah penafsiran dan keterangan itu sesuai dengan apa yang tersurat atau tidak. Kedua, ta’wil adalah substasi yang dimaksud dari sebuah pembicaraan itu sendiri. Lihat Lihat Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu Al-Quran 2, Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 2001, h. 19-20. 43 Research for Quranic studies (RQIS), Hermeneutik al-Quran: Pandangan ath-Thabari dan Ibnu Katsir, (Bandung: Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Gunung Jati, 2002), Vol. I, h.6 44 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unnsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 67.
28
menilai bahwa tidak ada mufassir yang lebih pandai dari pada athThabârî.45
B. Ibnu Katsîr 1. Riwayat Hidup Ibnu Katsîr Dalam khazanah disiplin ilmu-ilmu al-Quran, dikenal dua tokoh dengan nama Ibnu Katsîr. Pertama, Ibnu Katsîr dengan nama lengkap Abû Muhammad Abdullah bin Katsîr ad-Dary al-Makky yang lahir di Mekkah pada tahun 45 H/665M. Ia adalah seorang ulama dari generasi tabi’in yang dikenal sebagai salah seorang imam tujuh dalam qira’ah sab’ah (bacaan yang tujuh.46). Kedua, Ibnu Katsîr yang kitab tafsirnya menjadi objek penulisan buku ini, yakni Ibnu Katsîr yang muncul lebih kurang enam abad setelah kelahiran Ibnu Katsîr yang pertama. Nama lengkapnya adalah Imâd ad-Din Abû al-Fidâ’ Ismâil bin al-Khatib Syihab ad-Din Abî Hafsah Umar bin Katsîr al-Quraisy asy-Syafi’i.47 Ia lahir di Mijdal dalam wilayah Basrah pada tahun 700 H/1300 M. Predikat al-Busrawy sering dicantumkan di belakang namanya karena ia lahir di Basrah. Demikian pula predikat ad-Dimasyqi sering menyertai namanya. Hal ini berkaitan dengan kedudukan kota Basrah yang menjadi bagian kawasan Damaskus, atau mungkin disebabkan kepindahannya semenjak kanak-kanak ke sana. Pendapat lain mengatakan bahwa predikat al-Busry berkaitan dengan 45
Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h 68. 46 Subhi Shahih, Mabahits fî ‘Ulûm, Beirut: Dâr al-Qalâm, 1998) h. 248; Kamaluddin Marzuki, ‘Ulûm al-Quran (Bandung: Rosdakarya, 1992), h. 104. 47 Muhammmad Basuni Faudah, Tafsir al-Quran: Perkenalan Dengan Metodologi Tafsir, terj.Mochtar Zaeni (Bandung: Pustaka, 1987), h.58.
29
pertumbuhan dan pendidikannya. Dan predikat Asy-Syafi’I berkaitan dengan mazhabnya.48 Ia meninggal pada tahun 774 H/1374 M. Pada usia sekitar tujuh tahun, pendapat lain mengatakan tiga tahun, Ibnu Katsîr telah ditinggal wafat oleh ayahnya sehingga ia tidak sempat menerima didikan langsung dari ayahnya. Ditangan kakaknyalah, Kamâl ad-Dîn Abd. Wahhab, Ibnu Katsîr pertma kalinya meniti tangga keilmuan menyusul kepindahannya ke Damaskus pada tahun 707 H. Kegiatan mencari ilmu kemudian dijalaninya dengan lebih serius di bawah bimbingan para ulama semasanya. Diantaranya adalah Baha ad-Dîn al-Qasimy bin Asakir (w. 723H), Ishaq bin Yahya al-Amidî (w. 728 H), Taqy ad-Dîn Ahmad bin Taimiyyah (w. 728 H). Bahkan Ibnu Katsîr menjadi murid Ibnu Taimiyyah yang terbesar.
2. Karya-Karya Ibnu Katsir Berbagai cabang ilmu keislaman dipelajari secara mendalam oleh Ibnu Katsîr, terutama hadis, fiqih, sejarah, dan tafsir. Dalam keempat bidang ini dapat dijumpai karya-karya tulisnya sehingga wajar apabila gelar a-Hadist, al-Muhaddits, al-Faqih dan al-Mu’arrikh melekat di depan namanya49. Namun, popularitas karya-karyanya di bidang sejarah dan tafsirlah yang memberi andil terbesar dan mengangkat namanya menjadi tokoh ilmuwan yang dikenal di dunia Islam.
48
Muhammad Nusaib ar-Rifa’I, Tafsir al-Ali al-Qadir li Ikhtishar Tafasir Ibnu Katsir (t.t., Juz I), h. xi 49 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 70.
30
Karya tulis sejarah yang dimaksud adalah kitab al-Bidayah wa anNihayah terdiri atas 14 jilid besar yang memaparkan berbagai peristiwa yang terjadi semenjak awal penciptaan alam sampai dengan peristiwaperistiwa yang terjadi pada tahun 768 H atau enam tahun sebelum wafatnya. Sedang karya tafsirnya yang dimaksud adalah Tafsîr al-Qurân al-Adzîm atau sering disebut dengan nama Tafsir Ibnu Katsîr.50 Di bawah ini akan disebutkan beberapa karya Ibnu Katsir: A. Dalam bidang Tafsir51: -
Tafsir al-Quran al-Adzîm, atau lebih dikenal dengan nama Tafsir Ibnu Katsîr, diterbitkan pertama kali di kairo pada tahun 1342 H/1923 M.
-
Fudhail al-Quran, kitab ini berisikan ringkasan sejarah al-Quran, diterbitkan pada halaman akhir Tafsir Ibnu Katsîr sebagai penyempurna.52 Di dalamnya banyak dipengaruhi kitab al-Siyasah al-Syar’iah karya Ibnu Taimiyyah.
B. Dalam bidang Hadis53: -
Kitab Jami’ al-Masanid wa as-Sunah (Kitab penghimpun musnad dan as-Sunah), yaitu kumpulan hadis-hadis yang terdapat di dalam musnad Ibnu Hambal, kutûb al-sittah, dan sumber-sumber lainnya,
50
Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 70. 51 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 70. 52 Abd al-Hayy al-Farawi, Metode Tafsir Maudhu’i, penerjemah Suryan A. Jamrah, (Jakarta: Rajawali Pers, 1994), h, 87-88 53 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 70.
31
berdasarkan nama para sahabat yang meriwayatkannya secara alfabetis. -
Takhrij al-Hadis Adillah al-Tanbih li ‘Ulum al-Hadîs, dikenal dengan al-Bait al-Hadîs, merupakan takhrij terhadap hadis-hadis yang digunakan dalil oleh asy-Syiraji dalam kitabnya al-Tanbih.
-
Al-Takmilah fî Ma’rifat as-Sighat wa al-Dhu’afa wa al Mujahil, merupakan perpaduan dari kitab Tahzib al-Kamâl karya al-Mizzi dan Mizan al-I’tidal karya Zahabi, kitab ini berisi riwayat perawiperawi hadis.
-
Ikhtisar ‘Ulûm al-Hadîs, merupakan ringkasan dari kitab Muqaddimah Ibnu Shalah (w. 642 H/1246 M), karya ini keudian disyarah oleh Ahmad Muhammad Syakir dengan judul al-Baits alHadis fî Ikhtisar ‘Ulûm al-Hadîs.
-
Syarah Sahih al-Bukhâri, merupakan kitab penjelasan terhadap hadis-hadis Bukhâri tetapi tidak selesai dan kemudian dilanjutkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani (952 H/1449 M).
C. Dalam bidang Sejarah: -
Al-Bidayah wa al-Nihayah, kitab ini merupakan rujukan terpenting bagi sejarawan yang memaparkan berbagai peristiwa sejak awal penciptan sampai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 768 H. sejarah dalam kitab ini dapat dibagi menjadi dua bagian besar: Pertama, sejarah kuno yang menuturkan mulai dari riwayat penciptaan sampai kenabian Muhammad Saw., dan kedua, yaitu sejarah Islam mulai dari periode Nabi Saw. di Mekkah sampai 32
pertengahan abad 8 H. kejadian-kejadian setelah hijrah disusun berdasarkan tahun kejadian. -
Al-Kawaktib al-Darari, cuplikan dari al-Bidayah wa al-Nihayah.
-
Al-Manaqib al-Imam as-Syafi’i.
-
Thabaqah as-Syafi’iyah.
-
Al-Fushul fi Shirat al-Rasul atau al-Sirah al-Nabawiyyah.
D. Dalam bidang Fiqih: -
Al-Jihad fî Talab al-Jihad, ditulis tahun 1368-1369 M, untuk menggerakkan semangat juang dalam mempertahankan pantai Lebanon (Syiria) dari serbuan raja Franks dari Cyprus, karya ini banyyak memperoleh inspirasi dari kitab Ibnu Timiyyah: alSiyasah al-Syariyyah.
-
Kitab Ahkam, kitab fiqih yang didasarkan pada al-Quran dan hadis.
-
Al-Ahkam ‘ala Abwab al-Tanbih, kitab ini merupakan komentar dari kitab al-Tanbih karya asy-Syiraji.
3. Metode Penulisan Tafsir al-Quran al-Adzim Metode penafsiran tafsir Ibnu Katsîr bila diteliti termasuk dalam kategori tafsir tahlili yang bercorak bil-matsur54. Pada awal mukaddimah tafsirnya beliau memberi keterangan:
54
Tahlili adalah menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan memaparkan aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta meneragkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecendrungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Sedangkan corak bil-ma’tsur yaitu menfsirkan al-Quran dengan al-Quran, al-Quran dengan as-Sunnah, karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, al-Quran dengan perkataan para sahabat, karena merekalah yang paling mengetahui Kitabullah, atau apa yang dikatakan, atau dengan apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh besar tabi’in, karena pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat. Lihat Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, diterjemahkan oleh Mudzakir, AS (Jakarta: PT: Pustaka Litera Antar Nusa 2000) Cet. V, h. 482483.
33
“Cara penafsiran yang paling baik adalah menafsirkan al-Quran dengan al-Quran. Sebab sesuatu yang dikemukakan secara global pada suatu ayat akan dijumpai penjelasannya pada ayat lain. Jika ternyata pada ayat lain tidak dijumpai pula penjelasannya akan dijumpai dengan sunnah. Nabi Saw sebagai penjelas al-Quran. ….Jika di sana pun tidak dijumpainya, kembalilah kepada perkataan sahabat. Sebab mereka lebih mengetahui seluk beluk dan sebab-sebab turunnya al-Quran disamping pemahamannya yang sempurna serta ilmu shahih yang dimilikinya. ….Jika di sana pun tidak juga dijumpainya, kembalilah kepada perkataan-perkataan tabi’in55 Namun, perlu diperhatikan bahwa dimasukkannya kitab tafsir dalam kategori yang bercorak bi al-ma’tsur tidak berarti menutup kemungkinan bagi penulisnya untuk memasukkan juga unsur-unsur nonriwayat, seperti kupasan ijtihad. Corak bi al-Ma’tsur yang digunakan kitab tafsir di atas terbukti ketika terlihat bahwa Ibnu Katsîr tidak hanya pengumpuul riwayat saja, tetapi juga sebagai kritikus yang mampu mentarjih sebagian riwayat bahkan pada saat-saat tertentu menolaknya, baik dengan alasan karena riwayat-riwayatnya itu fantastic, tidak dapat dicerna oleh akal sehat maupun alasan-alasan lainnya.56 Berikut ini akan dijelaskan lebih terperinci dan sistematika tentang penafsiran Ibnu Katsîr: 1. Penjelasan sekitar sûrah dan ayat al-Quran Dalam mengemukakan tentang penjelasan sekitar surat al-Quran, Ibnu Katsîr mengawalinya dengan menyebutkan nama-nama surat itu sendiri disertai dengan hadis-hadis yang menerangkan kepada hal tersebut. Selanjutnya untuk memulai penafsiran, sebelumnya beliau 55
Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, terjemahan H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), cet, ke-2, h. 133. 56 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unnsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 72.
34
menyebutkan satu ayat kemudian menafsirkan ayat tersebut dengan redaksi yang mudah disertai dengan hadis-hadi yang menerangkan kepada
hal
tersebut.
Selanjutnya
untuk
memulai
penafsiran,
sebelumnya beliau menyebutkan satu ayat kemudian menafsirkan ayat tersebut dengan redaksi yang mudah serta ringan serta menyertainya dengan dalil dari ayat yang lain, lalu membandingkan ayat-ayat tersebut sehingga maksud dan artinya jelas57. 2. Menyebutkan hadis sampai kepada perawinya Para ahli tafsir mengatakan Ibnu Katsîr merupakan tafsir bi alMatsur yang terbaik dan berada setingkat di bawah tafsir Ibnu Jarîr ath-Thabârî, bahkan ada juga yang mengatakan lebih tinggi dengan tafsir ath-Thabârî dalam beberapa masalah58. Kelebihan-kelebihan tertentu yang dimiliki tafsir Ibnu Katsîr tersebut terlihat dari cara yang dilakukan Ibnu Katsîr menafsirkan al-Quran dengan hadis, yaitu beliau menulis matan hadis dengan lengkap serta merangkaikan urutan-urutan sanadnya sampai kepada rawi terakhir. Kemudian beliau meneliti dan mengomentari hadis tersebut apakah sahih atau tidak59. Hal ini dilakukan karena kenyataan sejarah dimana kaum Yahudi dan kaum Zindik
yang sengaja
menyalah
gunakan
ajaran-ajaran
Islam,
diantaranya adalah membuat hadis-hadis palsu. Disadari atau tidak
57
Muhammad Husain ad-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, (Bairut: Dar al-Fikr, 1976), h. 254. 58 Muhammad Husain ad-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, (Bairut: Dar al-Fikr, 1976), h 75. 59 Muhammad husain adz-Zahabi, Israiliyyat Dalam Tafsir dan Hadis, terjemahan Didin Hafidhuddin, (Jakarta: PT. Litera Antar Nusa, 1989), Cet. Ke-1, h. 133.
35
kemudian sejumlah mufassir banyak sekali yang mengutip kisah-kisah Israiliyyat dalam menjelaskan ayat-ayat al-Quran. 3. Menjelaskan munasabah ayat Cara ini dipandangnya dapat memperjelas penafsiran ayat, disamping mempermudah pembaca dalam mengumpulkan ayat-ayat sejenis, sehingga masing-masing ayat bisa menafsirkan ayat-ayat sejenis lainnya. Juga agar pengertian satu ayat dengan ayat lainnya yang mengandung tema serupa tidak terputus-putus, untuk hal ini Ibnu Katsîr meletakkannya di tempat penafsiran perkalimat atau perkata sebagai penguat penafsiran tersebut. Hal ini dapat kita lihat dari contoh berikut: Ketika penafsirkan surat al-Fâtihah ayat 4: ( hubungkan kata ( )ﻣﻠﻚpada surat an-Nâs ayat 2 (
)ﻣﺎﻟﻚBeliau )ﻣﻠﻚlalu
dikaitkan dengan surat al-Hasyr ayat 23:
Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, raja, yang Maha suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha Perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. 4. Menerangkan sebab-sebab turunnya ayat Dalam hal ini yang dijadikan Ibnu Katsîr untuk menerangkan sebab-sebab turunnya ayat adalah hadis-hadis nabi Muhammad Saw, 36
pembahasan asbab an-nuzul untuk masing-masing ayat biasanya dicantumkan di depan sebelum pembahasan ayat dimulai. Begitu juga dengan asbab an-nuzul surat-surat dicantumkan di depan sebelum pembahasan tafsir tersebut dilakukan60. 5. Memperluas masalah hukum Membaca riwayat hidup ibnu Katsîr, para ulama sepakat menegaskan bahwa beliau adalah seorang ahli hadis yang handal juga seorang ulama fiqh yang mashur dan mahir dalam mengutarakan permasalahan yang berkaitan dengan hukum. Kemahiran berfatwanya turut mempengaruhi jalan pemikirannya dalam menafsirkan ayat-ayat hukum. Hal ini terbukti ketika beliau membahas satu masalah ayat hukum ia buatkan suatu pembahasan khusus dengan menafsirkan secara panjang lebar, dengan bersandarkan kepada hadis Nabi Saw dan pendapat para ulama, untuk mengisi kandungan ayat tersebut61. Sebagian ulama berpendapat bahwa pemikiran beliau dalam masalah fiqih banyak dipengaruhi oleh jalan pemikiran gurunya Ibnu Taimiyyah. Namun demikian, meskipun Ibnu Katsîr dikenal sebagai murid besar Ibnu Taimiyyah – yang mana beliau dikenal dengan sosok kontroversial - selama ini belum terdengar nada-nada negatif yang diarahkan kepadanya. Pendapat di bawah ini merupakan bukti bagi kebesaran Ibnu Katsîr dan kitab tafsirnya:
60
Muhammad Husain ad-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, (Bairut: Dar al-Fikr, 1976), h. 256 61 Muhammad Husain ad-Dzahabi, at-tafsir wa al-Mufassirun, (Bairut: Dar al-Fikr, 1976), h. 256.
37
a. As-Suyuti berkata: “Tafsir Ibnu katsîr merupakan karya tafsir yang tidak ada duanya. Belum pernah ditemukan kitab tafsir yang sistematik dan karakteristiknya menyamai kitab tafsir ini”62. b. Muqni Abdul Halim Mahmud berkata: “Tafsir Ibnu Katsîr merupakan karya tafsir yang terbaik. Oleh karena itu, tafsir ini menjadi rujukan ulama sesudahnya”. Demikian kiranya sosok Ibnu katsîr yang piawai, cerdas, dan diterima oleh masyarakat Islam di seluruh dunia. Semoga Allah Swt mengampuni dosa-dosanya dan menerima segala kebaikannya, amien.
62
Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 74.
38
BAB III SEKILAS TENTANG ISRÂÎLIYYÂT
A. Pengertian Israiliyyat Ditinjau dari segi etimologis, kata “Isrâîliyât” adalah bentuk jamak dari kata Israiliyyah (
ِ ) . Yakni bentuk kata yang dinisbatkan pada
kata isrâîl yang berasal dari bahasa Ibrani, Isra yang berarti hamba dan il yang bermakna Tuhan.63 Dari segi historis, Isrâîl berkaitan dengan Nabi Ya’qub bin Ishaq bin Ibrâhîm a.s., di mana keturunan beliau yang berjumlah dua belas yang disebut dengan Banî Isrâil.64 Terkadang Isrâîliyât identik dengan Yahudi, kendati sebenarnya tidak demikian. Bani Israil merujuk pada garis keturunan bangsa, sedangkan Yahudi merujuk pada pola pikir, termasuk di dalamnya agama dan dogma. Menrut Adz-Zahabi, perbedaan Yahudi dan Nasrani, bahwa yang terakhir disebut ini ditujukan pada mereka yang beriman kepada risalah Isa a.s.65 Dua kelompok masyarakat ini, menurut Quraisy Shihab yang disepakati pula oleh seluruh ulama dinamakan Ahl Kitab.66 Setelah mereka kembali ke negeri asal mereka membawa bermacam-macam berita keagamaan yang mereka temui dari negara-negara yang mereka jumpai.67
63Zainul
Hasan Rifa’I, “Kisah Israiliyyat dalam penafsiran”, dalam Sukardi K.D (ed), Belajar Mudah ‘Ulum al-Quran;Studi Khazanah al-Quran, Jakarta: Lentera, 2002, h. 277. 64 Muhammad Chirzin,al-Quran dan Ulumul Quran, (Yogyakarta: Penerbit Dana Bakti Prima Yasa, 1998), h. 78. 65Supiana dan M.Karman, ‘Ulûmul Qur’an dan Pengenalan Dasar Metodologi, (Bandung: Pustaka Islamika) h. 197. 66M.Quraisy Shihab, Wawasan al-Quran, Bandung: Mizan, 1996, Cet. I, h. 147-148. Namun perlu dicatat di sini bahwa Abduh dan Rasyid Ridha memasukkan Majusi, Sabi’in, Hindu, Budha, Konfusius, Shinto dan agama lainnya sebagai Ahl Kitab. Untuk jelasnya lihat al-Manâr, Jilid XI, Beirut: Dâr al-Fikr, h. 200. 67M.Quraisy Shihab, Membumikan al-Quran, Bandung: Mizan, 1993, h. 46.
39
Sehubung dengan definisi Israiliyyat secara istilah, para ulama berbeda pendapat tentang definisi Israiliyyat yang mereka kemukakan : 1. Husein Adz-Zahabi dalam kitabnya At-Tafsir wa Al-Mufassirun mengatakan :
. Walaupun makna lahiriah dari Israilliyyat berarti pengaruhpengaruh kebudayaan Yahudi terhadap penafsiran al-Quran, kami mendefinisikannya lebih luas dari itu, yaitu pengaruh kebudayaan Yahudi dan Nasrani terhadap Tafsir.
Definisi lain Israiliyyat yang diemukakan Adz-Zahabi adalah Israiliyyat mengandung dua pengertian : a. Kisah dan dongeng kuno yang disusupkan dalam tafsir dan hadis yang asal periwayatannya kembali kepada sumbernya, yaitu: Yahudi, Nasrani atau lainnya. b. Cerita-cerita yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke
dalam tafsir dan hadis yang sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam sumber-sumber lama.68 2. Muhammad Khalifah dalam kitabnya Dirasat fi Manahij Al-Mufassirin, mengatakan69 :
68
Muhammad Husein Adz-Zahabi, Israiliyyat Dalam Tafsir dan Hadis, (Bogor: PT Pustaka Litera Antar Nusa, 1993), h. 9
40
(
) ..... .
Israiliyyat yang kami maksud adalah sesuatu yang berasal dari kedua golongan itu (Yahudi dan Nasrani) karena yang dikutip oleh kitab-kitab tafsir tidak selamanya berupa Israiliyyat yang secara bersamaan dimiliki Nasrani (dari kitab perjanjian lama), seperti tentang nasab Maryam, tempat kelahiran nabi Isa a.s. dan lain-lain, walaupun jumlah riwayat Israiliyyat yang berasal dari kalangan Yahudi lebih banyak dari pada yang berasal dari kalangan Nasrani. 3. Amin al-Khuli berpendapat bahwa Israiliyyat merupakan pembauran kisah-kisah dari agama dan kepercayaan bukan Islam, yang meresap masuk jazirah Arab Islam. Kisah-kisah tersebut dibawa oleh orang-orang Yahudi yang sejak dulu berkelana kearah timur Babilonia dan sekitarnya, sedangkan ke arah Barat menuju Mesir. Setelah mereka kembali kenegara asal, mereka membawa bermacam-macam berita keagamaan yang mereka jumpai dari negara-negara yang mereka singgahi.70 4. Ahmad Sharbasi dalam kitabnya, Qishshat at-Tafsir, Dar Al-Ilm Li AlMalaya, mengatakan71:
69Ibrâhîm Abd.Rahman Muhammad Khalifah, Dirâsat fî Manahaj Al-Mufassirîn, Kairo: Maktabah Al-Azhariyyah, 1974, h. 220. 70 Muhammad Chirzin,al-Quran dan Ulumul Quran, (Yogyakarta: Penerbit Dana Bakti Prima Yasa, 1998), h. 78. 71Ahmad Sharbasi, Qissat At-Tafsîr, Beirut: Dâr Al-Qalâm, 1962, h. 113.
41
. Israiliyyat adalah kisah-kisah dan berita-berita yang berhasil diselundupkan oleh orang-orang Yahudi ke dalam Islam. Kisah-kisah dan kebohongan mereka kemudian diserap oleh umat Islam. Selain dari Yahudi, mereka pun menyerap dari yang lainnya. Di samping berbeda dari segi redaksi, definisi-definisi di atas berbeda pula dari segi isi. Perbedaan itu terutama dalam hal materi dan sumber israiliyyat. Para ulama di atas sepakat bahwa Israiliyyat berisi unsur-unsur luar yang masuk ke dalam Islam, tetapi mereka berbeda pendapat tentang jenis materinya. Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa materi Israiliyyat bersifat netral, yaitu dapat berupa kisah-kisah atau yang lainnya, serta dapat sejalan dan dapat pula tidak sejalan dengan Islam. Namun, perlu diingat bahwa pada umumnya Israiliyyat berisi cerita-cerita dan dongeng-dongeng buatan non-muslim yang masuk ke dalam islam.72 Kalaupun ada materi Israiliyyat yang sejalan dengan Islam, disamping jumlahnya sangat sedikit, hal itu tidak dibutuhkan sebagai rujukan.73 Dari segi lain, nampaknya ulama-ulama di atas sepakat bahwa yang menjadi sumber74 israiliyyat adalah Yahudi dan Nasrani, dengan penekanan bahwa
72Ahmad Sharbasi, Qissat At-Tafsîr, Beirut: Dâr Al-Qalâm, 1962, Juz I, h. 14; AlQasimi, Mahasin At-Ta’wil, Juz I, Beirut: Dâr al-Ma’rif, h. 41. 73Ahmad Muhammad Syakir, Umdah Al-Tafsîr, Juz I, Mesir: Dâr Al-Ma’rif, 1956, h. 15. 74Sumber yang dimaksud di sini adalah sumber primer (orang Yahudi dan Nasrani sendiri, baik yang belum atau sudah masuk Islam). Sebab, dalam proses penyebarannya, orangorang non-Ahli Kitab seperti kalangan sebagian kecil sahabat dan tabi’in juga berperan sebagai sumber sekunder.
42
Yahudilah sumber utamanya sebagaimana tercermin dari kata Israiliyyat sendiri.75 Ditulis oleh Abû Syuhbah bahwa pengaruh Nasrani ke dalam tafsir
sangat
kecil.
Lagi
pula,
pengaruh
mereka
tidak
begitu
membahayakan akidah umat Islam karena umuumnya hanya menyangkut persoalan akhlak, nasihat, dan pembersihan jiwa.76 Disinyalir oleh adzZahabi di atas bahwa Israiliyyat juga bisa berasal dari selain Yahudi dan Nasrani,77 tetapi selain bertentangan dengan pendapatnya sendiri pada buku yang lain,78 pendapat itu tidak diterima oleh para ulama lainnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi sumber Israiliyyat adalah Yahudi dan Nasrani.79 Definisi-definisi di atas sekaligus
dapat memungkinkan untuk
melihat ciri-ciri Israiliyyat yang membedakannya dengan riwayat lain. Ciri-ciri itu dapat dilihat pada table berikut ini80 :
75Manna
Al-Qattan, Mahabits Fî ‘Ulûm Al-Qurân, Mesir: Mansyurat Al-Ashr La-Hadis,
1973. 76 Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Al-Israiliyyat wa Al-Maudhu’at fi Kutub at-Tafsir, Maktabah Al-Sunnah, Kairo, 407H., h. 13. 77Muhammad Husain Adz-Zahabi, At-Tafsir wa al-Mufassirun, (Mesir: Dar al-Maktab alHadis, 1976) Cet II, h. 165. 78 Muhammad Husain Adz-Zahabi, At-Tafsir wa al-Mufassirun, (Mesir: Dar al-Maktab al-Hadis, 1976) Cet II, h. 165. 79 Namun, tidak dijelaskan lebih lanjut oleh para ulama berkenaan dengan siapa yang dimaksud dengan Yahudi dan Nasrani itu. Hal itu perlu dijelaskan mengingat kedua kelompok itu masih hidup sampai sekarang. Dengan demikian, diperlukan penelitian tersendiri untuk itu. Akan tetapi, sekedar landasan teori, penelitian ini bertolak dari pendapat Syuhbah yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Nasrani dan Yahudi yang hidup semasa Nabi. Lihat Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Al-Israiliyyat wa Al-Maudhu’at fi Kutub at-Tafsir, Maktabah AlSunnah, Kairo, 407H., h. 14. 80Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabarî dan Tafsir Ibnu Katsîr, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999, Cet I, h. 29.
43
No. SANAD
MATAN
1.
Awal sanadnya berupa rawi yang Berupa kisah-kisah yang aneh berasal dari ahli kitab (sumber dan asing. primer).
2.
Atau awal sanadnya berupa rawi Berupa sahabat/tabi’in/tabi’tabi’in yang lampau. terkenal sering menerima riwayat dari Ahli kitab (sumber sekunder).
3.
Sanadnya tidak sampai kepada Umumnya berupa kisah-kisah Nabi yang panjang
kisah-kisah
masa
B. Masuknya Israiliyyat ke Dalam Tafsir Seperti yang telah diuraikan tentang pengertian Israiliyyat di atas bahwa sesungguhnya cerita-cerita Israiliyyat itu bersumber dari informasi yang berasal dari orang Yahudi dan Nasrani yang telah menyusup ke dalam masyarakat Islam setelah kebanyakan orang-orang Yahudi dan Nasrani memeluk agama Islam. Menurut penelitian adz-Zahabi masuknya Israiliyyat ke dalam tafsir sudah dimulai semenjak zaman sahabat. Tercatat beberapa sahabat terlibat dalam proses itu, seperti Ibnu Abbas, Abû Hurairah, Ibnu Mas’ud, dan Umar bin Ash.81 Namun perlu diberi catatan bahwa keterlibatan mereka dalam proses itu masih berada dalam batas kewajaran dan tidak berlebih-lebihan. Mereka tidak bertanya kepada Ahli Kitab tentang segala sesuatu. Yang mereka tanyakan hanyalah sebatas penjelas kisah-kisah al-Quran dan itu pun tidak
81 Muhammad Husein Adz-Zahabi, Al-Isrâiliyyât Fî At-Tafsîr Wa Al-Hadist, Kairo: Maktabah Wahbah, 1990, h. 13-14.
44
disertai sikap memberi penilaian benar atau salah. Bahkan sering pula mereka menolak materi riwayat Israiliyyat itu. Contohnya: Diriwayatkan oleh Bukhari dari Abû Hurairah bahwa Rasûlullah menyifati hari jumat, sebagai berikut Artinya :
) ( “Di dalamnya terdapat suatu waktu yang apabila seseorang kebetulan sedang melakukan shalat dan minta sesuatu kepada-Nya, pasti Allah mengabulkannya.”82
Kemudian Rasûlullah memberikan isyarat dengan tangannya yang menunjukkan sedikitnya waktu tersebut.83 Para ulama salaf berbeda pendapat dalam menentukan waktu tersebut, yaitu apakah masih tetap berlaku ataukah sudah dihilangkan. Jika masih berlaku, apakah satu jum’at dalam satu tahun ataukah setiap jum’at. Abû Hurairah bertanya kepada Ka’ab al-Akhbar, ia menjawab, bahwa waktu itu terdapat dalam satu jum’at satu kali dalam setahun. Akan tetapi, Abû Hurairah menolak pendapat tersebut dan menyatakan bahwa waktu tersebut terdapat dalam setiap jum’at. Lalu Ka’ab melihat masalah tersebut di dalam kitab Taurat dan mendapatkan kesimpulan bahwa pendapat Abû Hurairahlah yang benar.84
82Al-Bukhârî, Sahih Al-Bukhârî, “Kitab Al-Jumu’ah”, bab “Al-Sa’ah Allatî Fî Yaumi AlJum’ah”, Juz II, h. 13. 83 Muhammad Husein Adz-Zahabi, Al-Isrâiliyyât Fî At-Tafsîr Wa Al-Hadist, Kairo: Maktabah Wahbah, 1990, h. 56. 84 Muhammad Husein Adz-Zahabi, Al-Isrâiliyyât Fî At-Tafsîr Wa Al-Hadist, Kairo: Maktabah Wahbah, 1990, h. 57.
45
Dari contoh itulah tampak bahwa para sahabat sangat berhati-hati dalam menerima Israiliyyat. Dengan demikian tuduhan Goldziher85 dan Ahmad Amin86 yang menyatakan bahwa para sahabat terlalu mudah dalam menerima Israiliyyat, khususnya Ibnu Abbas, perlu ditinjau kembali. Dalam hal ini adz-Zahabi berpendapat bahwa tuduhan kedua orang tersebut tidak mempunyai dasar sama sekali. Sikap kehati-hatian para sahabat dalam menerima Israiliyyat ternyata tidak diikuti oleh generasi sesudahnya. Terdapat indikasi yang menunjukkan bahwa mereka menafsirkan al-Quran dengan Israiliyyat tanpa terlebih dahulu meneliti kualitasnya. Kondisi seperti itu semakin bahaya ketika mereka membuang sanadnya sehingga menyulitkan generasi berikutnya untuk membedakan mana yang sahih dan mana yang tidak sahih. Semakin parah lagi ketika riwayat itu dikodifikasikan dalam tafsir al-Quran. Dampak drai semua itu adalah munculnya berbagai kitab tafsir memuat Israiliyyat yang
85
Diberitahukan bahwa Ibnu Abbas sering melemparkan persoalan kepada orang-orang Yahudi yang telah masuk Islam. Ia menerima pendapat mereka selama tidak bertentangan dengan al-Quran. Dalam hal ini, Goldziher menyangka bahwa Ibnu Abbas terlalu mudah dalam mengambil berita dari Ahli Kitab dengan alasan bahwa mereka orang-orang yang mampu dalam memahami al-Quran. Menurutnya Ibnu abbas banyak dipengaruhi oleh Ka’ab al-Akhbar dan ‘Abdullah bin Salam dalam bidang tafsir. Lihat Goldziher, Madzahib al-Tafsîr al-Islâmi, terj. A.H. al-Najjar, Kairo: Maktabah Kanji, 1955, h. 85. Kenyataannya bahwa Ibnu Abbas berperan sebagai sumber sekunder Israiliyyat dapat diterima karena beberapa sumber mengetakan demikian, tetapi pernyataan Goldziher bahwa ia terlalu mudah dalam menerima Israiliyyat kurang dapat diterima mengingat Ibnu Abbas adalah salah seorang sahabat yang sangat hati-hati dalam menafsirkan alQuran. Oleh karena itu, pendapat Goldziher di atas kemudian mendapat bantahan keras dari AdzZahabi. Lihat Muhammad Husein Adz-Zahabi, At-Tafsîr Wa Al-Mufassirûn, Kairo: Maktabah Wahbah, 1990, h. 174. 86 Ahmad Amin, Fajr al-Islam, Lajnah At-Ta’lif wa At-Tarjamah Wa An-Nasyr, h. 248.
46
sulit lagi dibedakan kualitasnya. Tafsir Muqatil bin Sulaiman dalam hal ini dapat dijadikan bukti representatif. 87
C. Klasifikasi Israiliyyat Para ulama pada umumnya mengklasifikasikan Israiliyyat dalam tiga bagian, yaitu: 1. Israiliyyat yang sejalan dengan Islam 2. Israiliyyat yang tidak sejalan dengan Islam 3. Israiliyyat yang tidak masuk bagian pertama dan kedua.88 Pengklasifikasian itu dirumuskan dengan mengacu pada keteranganketerangan Nabi.89 Nabi sendiri tidak langsung membuat klasifikasi tersebut melainkan pemahaman para ulama terhadap keterangan-keterangan Nabi tersebut yang memunculkan klasifikasi itu. Itulah sebabnya pengklasifikasian di atas hanyalah bersifat ijtihad sehingga tidak bersifat mengikat. Ini tentunya tidak menutup kemungkinan untuk merumuskan klasifikasi Israiliyyat yang lain. Studi
kritis
terhadap
pengklasifikasian
Israiliyyat
di
atas
memperlihatkan bahwa kenyataannya, tidak setiap berita yang bersesuaian
87Uraian terperinci tentang kaitan tafsir ini dengan Israiliyyat dapat dilihat dalam Muhammad Husein Adz-Zahabi, Al-Isrâiliyyât Fî At-Tafsîr Wa Al-Hadist, Kairo: Maktabah Wahbah, 1990, h 115-123. 88 Abu Al-Fida Ismail Ibnu Kastîr, Tafsir Ibnu Katsir, (Bairut: Dâr Al-Fiqr), h. 4; Ibnu Timiyyah, Muqadimah Fî Usul At-Tafsîr, (Kuwait: Dâr al-Qalâm), 1971, h. 18-20; Muhammad Jamal Ad-Din Al-Qasimy, Mahasin At-Ta’wil, Jilid I, (Beirut: Dâr Al-Fikr), 1914, h. 44. 89Umpamanya, ada keterangan Nabi yang membolehkan dan melarang meriwayatkan Israiliyyat. bertolak dari hadis itu, kemudian para ulama mengklasifikasikan Israiliyyat pada yang sejalan dengan Islam dan yang tidak sejalan dengannya. Namun, ada pula keterangan Nabi yang menyuruh umatnya untuk tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan Ahli Kitab. Bertolak dari hadis ini, kemudian para ulama pun membuat klasifikasi Israiliyyat yang tidak masuk kepada bagian pertama dan kedua.
47
dengan syari’at Islam berarti bersanadkan sahih. Survei terhadap pemalsuan hadis pun membuktikan bahwa diantara hadis-hadis yang dipalsukan oleh kelompok-kelompok tertentu, banyak juga yang isinya sesuai dengan syari’at Islam. Misalnya, hadis-hadis yang berisi motivasi untuk banyak melakukan ibadah. Hal itu tidak menutup kemungkinan terjadi pada riwayat Israiliyyat, sebab Ahli Kitab yang menjadi sumber Israiliyyat itu dapat saja merekayasa isi Israiliyyat sedemikian rupa agar sesuai dengan syari’at Islam, padahal Israiliyyat itu sama sekali tidak terdapat dalam Injil dan Taurat. Konsekuensi satu berita memang mengimplikasikan berbagai kemungkinan. Dalam hal ini, adz-Zahabi mengklasifikasikan israiliyyat pada tiga sudut pandang, yaitu90: 1. Sudut Pandang Kualitas Sanad Sudut pandang ini memperlihatkan dua bagian, yaitu Israiliyyat yang sahih dan Israiliyyat yang dha’if. a. Israiliyyat yang shahih, contoh: riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu katsîr dalam tafsirnya dari Ibnu Jarîr Ath-Thabarî, dari al-Mutsanna, dari Utsman bin Umar, dari Fulaih, dari Hilal bin Ali, dari Ata bin Abî Rabbah. Ata berkata:
: : :
:
.
ِﺑِﻪ
90Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabarî dan Tafsir Ibnu Katsîr, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999, Cet I, h. 33.
48
.
.
.ِﺑِﻪ
. .
“Aku bertemu dengan Abdullah bin Umar bin Ash dan bertanya, ‘’Ceritakanlah olehmu kepadaku tentang sifat Rasulullah SAW, yang diterangkan dalam Taurat.’’ Ia menjawab, ‘’tentu, demi Allah, yang diterangkan dalam Taurat sama seperti yang diterangkan dalam alQuran.’’ ‘’Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira, pemberi peringatan dan pemelihara Ummi; Engkau adalah hamba-Ku; Namamu dikagumi; Engkau tidak kasar dan tidak pula keras. Allah tidak akan mencabu nyawamu sebelum agama Islam tegak lurus, yaitu setelah diucapkan ‘tiada Tuhan yang patut disembah dengan sebenar-benarnya kecuali Allah, dengan perantara engkau pula Allah akan membuka hati yang tertutup, membuka telinga yang tuli dan membuka mata yang buta.91 b. Israiliyyat yang dhaif, contoh: Israiliyyat tentang lafaz Qaf pada sûrah Qaf ayat 1, yang disampaikan oleh Ibnu Hatim dari ayahnya, dari Muhammad bin ismail, dari Laits bin Abî Salim, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, yang menyebutkan sebagai berikut:
ِﻣ . “Dibalik bumi ini, Allah menciptakan sebuah lautan yang melingkupinya. Di dasar laut, Allah telah menciptakan pula sebuah gunung yang bernama Qaf. Langit dan bumi ditegakkan di atasnya. Di bawahnya Allah menciptakan langit yang mirip seperti bumi ini yang jumlahnya tujuh lapis. Kemudian, di bawahnya lagi, Allah menciptakan sebuah gunung yang bernama Qaf. Langit kedua ini ditegakkan di atasnya. Sehingga jumlah semuanya: tujuh lapis bumi, tujuh lautan, tujuh gunung, dan tujuh lapis langit.”92
91 92
Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qurân Al-Azîm, Jilid II, h. 253 Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qurân Al-Azîm, Jilid IV, h. 221.
49
2. Sudut Pandang Kaitannya dengan Islam Sudut pandang ini memperlihatkan dua bagian, yaitu: a. Israiliyyat yang sejalan dengan Islam, contoh: Israiliyyat yang menjelaskan bahwa sifat-sifat Nabi itu adalah tidak kasar, tidak keras, dan pemurah.93 b. Israiliyyat yang tidak sejalan dengan Islam, contoh: Israiliyyat yang disampaikan oleh Ibnu Jarir dari Basyir, dari Yazid, dari Sa’id, dan dari Qatadah yang berkenan dengan kisah nabi Sulaiman a.s. Israiliyyat itu menggambarkan perbuatan yang tidak layak dilakukan oleh seorang Nabi, seperti minum arak.94 c. Israiliyyat yang tidak masuk bagian pertama dan kedua, contoh: Israiliyyat yang disampaikan oleh Ibnu Abbas dari Ka’ab al-Akhbar dan Qatadah dari Wahhab bin Munabbih tentang orang yang pertama kali membangun Ka’bah, yaitu Nabi Syits a.s.95 3. Sudut Pandang Materi Sudut pandang ini memperlihatkan tiga bagian, yaitu: a. Israiliyyat yang berhubungan dengan akidah, contoh: Israiliyyat yang menjelaskan firman Allah dalam surat Azumar ayat 67:
“Dan mereka tidak mengagungkan allah dengan pengagungan yang semestinya. Padahal bumi dan seisinya berada dalam genggaman-Nya 93
Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qurân Al-Azîm, Jilid II, h. 253. Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qurân Al-Azîm, Juz IV, h. 35. 95 Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qurân Al-Azîm, Juz I, h. 71. 94
50
pada hari kiamat. Dan langit digulung dengan tangan karena-Nya. Maha Suci Tuhan dengan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” Israiliyyat itu menjelaskan bahwa seorang ulama Yahudi datang menemui Nabi dan mengatakan bahwa langit diciptakan di atas jari.96 b. Israiliyyat yang berhubungan dengan hukum, contoh: Israiliyyat berasal dari Abdullah bin Umar yang berbicara tentang hukum rajam dalam Taurat.97 c. Israiliyyat yang berhubungan dengan kisah-kisah.
D. Hukum Meriwayatkan Kisah-Kisah Israiliyyat Sebagaimana telah dituturkan sebeumnya, pendapat para ulama terhadap periwayatan Israiliyyat secara garis besar dapat dikategorikan dalam dua bagian: melarang dan membolehkan. Di bawah ini akan diuraikan argumentasi-argumentasi yang mereka kemukakan. Ulama-ulama yang melarang untuk meriwayatkannya didasari pada keterangan Nabi sebagai berikut: 1. Hadis riwayat Imam Bukhârî dari Abû Hurairah:
: . “Ahli Kitab membacakan kitab Taurat dengan mempergunakan bahasa Ibrani dan menafsirkannya dengan bahasa Arab untuk konsumsi 96 97
Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qurân Al-Azîm, Juz IV, h. 62 Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qurân Al-Azîm, Jilid I, h.382
51
orang Arab. Mendengar hal itu, Nabi bersabda, “Janganlah kalian membenarkan Ahli Kitab dan jangan pula mendustakannya, tetapi katakanlah Kami beriman kepada Allah dan apa-apa yang telah diturunkan kepada kami.”98
2. Hadis riwayat Imam Ahmad, Ibnu Abî Syihab, dan Bazzar dari Jabîr Ibnu Abdillah:
: . “Sesungguhnya Umar bin Al-Khattab datang kepada Nabi dengan membawa surat yang ditulis Ahli Kitab, lalu membacakannya. Kemudian Nabi marah dan bersabda, “Apakah engkau bimbang dan ragu tentang surat ini? Demi Allah, aku telah mendatangkan surat itu dalam keadaan putih bersih. Janganlah kamu bertanya kepada mereka tentang sesuatu, lalu mereka menceritakannya kepada kamu sekalian dengan sebenar-benarnya, tetapi kamu sekalian mendustakannya; atau mereka menceritakan berita bohong, tetapi kamu sekalian membenarkannya. Demi Zat yang kekuasaan-Nya berada di tanganku, seandainya nabi Musa masih hidup, tidaklah ia memberikan kebebasan, kecuali menyuruh mangikuti jejakku.”99
4. Riwayat Imam Bukhârî dari Abdullah bin Abbas:
:
. .
98 99
Imam Bukhâri, Sahih Al-Bukharî, Jilid IV, Beirut: Dâr Al-Fikr, h.270. Ahmad bin Hambal, Musnad, Jilid IV, Beirut: Al-Maktabah Al-‘Ilm Wasar Sadir, h.
1987
52
“Wahai kaum muslimin! Bagaimana kamu sekalian brtanya kepada Ahli kitab padahal kitab kamu sekalian yang diturunkan nabi Muhammad telah menceritakan berbagai macam berita yang bersumber dari Allah dan tidak pernah berubah. Allah telah menceritakan kepada kamu sekalian bahwa Ahli Kitab telah mengganti apa-apa yang telah ditetapkan Allah. Akan tetapi, mereka menyatakan bahwa apa yang telah diubahnya itu berasal dari Allah gar dapat ditukar dengan harga yang sangat rendah. Apakah wahyu yang datang kepada kalian tidak melarang bertanya kepada mereka? Demi Allah, aku tidak melihat seorang pun dari mereka bertanya kepada kamu tentang kitab yang diturunkan kepada kalian.”100
Sedangkan para ulama yang memperbolehkan periwayatan Israiliyyat juga mendasarkannya pada keterangan-keterangan berikut ini: Riwayat Imam Bukhârî dari Abdullah bin Amr bin Ash:
. “Sampaikanlah olehmu apa yang kalian dapatkan dariku, walaupun satu ayat. Ceritakanlah tentang Bani Israil dan tidak ada dosa di dalamnya. Siapa berbohong padaku, maka bersiaplah untuk mengambil tempat di dalam neraka.”101
Keterangan-keterangan di atas sebenarnya tidak saling bertentangan bila ditempatkan pada konteksnya masing-masing. Larangan nabi untuk meriwayatkan Israiliyyat yang tidak sejalan dengan Islam.102 Adapun kebolehan untuk meriwatkannya yang dipahami oleh kelompok kedua berkaitan dengan Israiliyyat yang sejalan dengan Islam. Dengan demikian, hukum meriwayatkan Israiliyyat sangat bergantung pada jenisnya. Bila yang dimaksud adalah Israiliyyat yang sejalan dengan 100
Imam Bukhârî, Sahih Al-Bukhârî, Jilid III, Beirut: Dâr Al-Fikr, h. 181. Imam Bukhârî, Sahih Al-Bukhârî, Jilid III, Beirut: Dâr Al-Fikr, h. 181. 102Rasyid Ridho, Tafsîr Al-Manâr, Beirut: Dâr Al-Ma’rifah, Jilid IV, h.33-38. 101
53
Islam, periwayatannya jelas tidak dilarang. Bila yang dimaksud adalah Israiliyyat yang tidak sejalan dengan Islam, periwayatannya jelas dilarang. Bila yang dimaksud adalah yang belum diketahui kualitasnya, sikap yang harus diambil adalah tidak membenarkan dan dan tidak pula mendustakannya sebelum ada dalil yang memperlihatkan kebenaran dan kedustaannya.
E. Perawi Riwayat Israiliyyat Seperti yang telah penulis utarakan di atas, bahwa para sahabat seperti dikisahkan tidak mengambil sesuatu dari Ahlu al-Kitab ketika mereka memusatkan perhatian kepada tafsir al-Quran, kecuali kepada hal-hal tertentu saja itupun sangat kecil. Pada masa tabi’in, pemeluk Islam semakin bertambah dikalangan Ahli Kitab dan diriwayatkan bahwa para tabi’in banyak mengambil informasi dari mereka. Para mufassir yang datang setelah periode para tabi’in juga lebih giat dan rajin mengadopsi informasi yang berasal dari orang Yahudi.103 Pada periwayatan, telah termasyhur adanya golongan dari kalangan sahabat, tabi’in dan pengikut tabi’in yang meriwayatkan cerita-cerita Israiliyyat. Kita melihat terlebih dahulu orang yang termasyhur di dalam meriwayatkan cerita Israiliyyat dari kalangan sahabat, kemudian yang termasyhur dikalangan para tabi’in, dan kemudian yang termasyhur dari kalangan pengikut tabi’in.104
103
Thameem Ushama, Metodologi Tafsir al-Quran, Kajian Kriis, Objektif dan Komprehensif, (Jakarta: Penerbit Riora Cipta), h. 65 104 Muhammad Husein Adz-Zahabi, Penyimpangan-Penyimpangan Dalam Penafsiran AlQuran, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 65
54
1. Perawi Dari Kalangan Sahabat Tidak dapat diragukan lagi, bahwasannya segolongan diantara mereka mengembalikan persoalan kepada sebagian orang yang telah memeluk Islam dan kalangan Ahli Kitab, mereka mengambil dari orangorang tersebut cerita-cerita yang dikemukakan di dalam kitabnya dengan terperinci, sementara di dalam al-Quran dikemukakan secara singkat dan global. Hanya saja para sahabat Rasul itu, di dalam mengembalikan persoalan kepada Ahli Kitab, senantiasa mempergunakan cara yang benar dan tepat, sejalan dengan apa yang ditetapkan oleh Rasulullah.105 Diantara sahabat yang dikenal dalam periwayatan cerita Israiliyyat adalah: a. Tamim ad-Dari Beliau
merupakan
perawi
yang
berasal
dari
Nasrani,
mengetahui banyak ilmu Nasraniah dan berita-beritanya. Disamping mengetahui ilmu Nasraniah, ia mengetahui pula ilmu-ilmu lainnya, seperti kejadian-kejadian, peperangan-peperangan dann berita-berita umat terdahulu. Tamim ad-Dari adalah orang pertama yang mengisahkan cerita Israiliyyat dan ia meminta izin kepada Umar bin al-Khattab, lalu Umar mengizinkannya. Yang jadi pertanyaan adalah, mengapa Umar yang sangat hati-hati dalam menerima riwayat akan mengizinkan Tamim
105
Muhammad Husein Adz-Zahabi, Penyimpangan-Penyimpangan Dalam Penafsiran AlQuran, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 65
55
untuk mengisahkan cerita yang penuh dengan kebbohongan kepada orang.106 b. Abdullah bin Salam Nama lengkap beliau adalah Abu Yusuf Abdullah bin Salam bin Haris al-Israilly al-Anshari, beliau merupakan anak dari Yusuf bin Ya’qub, dan beliau menyatakan keislamannya ketika Rasulullah tiba di kota Madinah. Ia pun salah seorang sahabat yang dikabarkan masuk surge. Dalam perjuangan menegakkan Islam, ia termasuk pejuang dalam perang Badar dan ikut menyaksikan penyerahan Bait al-Maqdis ketangan umat Islam. Riwayat-riwayatnya banyak diterima oleh kedua putranya: Yusuf Muhammad, Auf bin Malik, Abu Hurairah, dan lainlain. Imam Bukhari pun memasukkan beberapa riwayat darinya.107 2. Perawi Dari Kalangan Tabi’in Sebagaimana penulis utarakan di atas, bahwasannya tabi’in banyak mengambil cerita dari Ahli Kitab. Pada zaman itu banyak sekali cerita tersebut di dalam tafsir dan hadis. Hal itu karena banyaknya Ahli Kitab yang memeluk agama Islam, dan ada kecenderungan orang-orang untuk mendengarkan cerita yang bersifat global di dalam al-Quran, yang diuraikan dengan cerita-cerita Yahudi, Nasrani mupun lainnya.108
106
Muhammad Husein Adz-Zahabi, Penyimpangan-Penyimpangan Dalam Penafsiran AlQuran, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 87 107 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unnsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h 37 108 Muhammad Husein Adz-Zahabi, Penyimpangan-Penyimpangan Dalam Penafsiran AlQuran, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 91
56
Diantara mereka yang dituduh meriwayatkan Israiliyyat, adalah Ka’ab al-Akhbar dan Wahab bin Munabbih, yang kedua ulama Yahudi dan keduanya masuk Islam setelah mengetahui kebenaran Islam. a. Ka’ab al-Akhbar Nama lengkap beliau adalah Abu Ishaq Ka’ab bin Mani alHumairi, ia dikenal dengan sebutan Ka’ab al-Akhbar. Ia berasal dari Yahudi di Yaman dan menurut Ibnu Hajar, ia masuk Islam pada kekhalifahan Umar bin Khattab. Dalam perjuangannya menegakkan Islam, ia ikut menyerbu Syam bersama kaum muslim lainnya. Riwayat-riwayatnya banyak diterima oleh Muawiyyah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Malik bin Amir dan lain-lain. Menurut Abu Rayah, ia adalah seorang yang menunjukkan keislamannya dengan tujuan menipu, hatinya menyembunyikan sifat-sifat keyahudiannya, dan dengan kecerdikannya, ia berusaha memanfaatkan keluguan Abu Hurairah agar tertarik kepadanya sehingga beliau dengan mudah menceritakan khurafat-khurafat kepadanya.109 b. Wahab bin Munabbih Nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah Ibnu Munabbih Ibnu Sij Ibnu Zi Kinaj al-Yamani Abu Abdillah al-Abnawi. Ia msuk Islam pada masa Rasulullah. Riwayat-riwayatnya diterima Abdullah, Abdul Rahman, Abdus Samad, ‘Uqail, dan lain-lain. Menurut Ibnu Hajar, ia adalah tabi’in miskin yang mendapat kepercayaan dari 109
Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unnsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h 37
57
jumhur ulama.110 Beliaupun merupakan seorang yang memiliiki pengetahuan yang luas, dan banyak membaca kitab-kitab terdahulu, serta menguasai banyak tentang kisah-kisah yang berhubungan permulaan alam ini.111 3. Perawi Dari Kalangan Pengikut Tabi’in a. Abdullah Malik bin Abdul Aziz bin Juraij Nama lengkap beliau adalah Abu Khalid Abu al-Walid Abdul Malik bin Abdul Aziz al-Juraij, beliau adalah seorang bangsa Rum dan beragama Nasrani, dan beliau pulalah orang yang pertama mengarang buku di daerah Hijaz.112 Dia memeluk agama Islam, akan tetapi mengetahui prinsip-prinsip ajaran masehi dari cerita-cerita Israiliyyat. Ibnu Jarir di dalam menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan keadaan Nasrani, banyak meriwayatkan masehiat dari padanya.113 Riwayat-riwayatnya diterima oleh sebagian kalangan sahabat dan generasi sesudahnya seperti Ibnu Abbas, Amr bin Ash, Muhammad bin Sa’id al-Kalbi, Muqatil bin Sulaiman, dan Muhammad bin Marwan as-Su’udi. Mereka disebut sebagai sumber sekunder Israiliyyat.114
110
Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unnsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h 37. 111 Muhammad Husain Adz-Zahabi, At-Tafsir wa al-Mufassirun, (Mesir: Dar al-Maktab al-Hadis, 1976) Cet II, h. 165 112 Muhammad Husain Adz-Zahabi, At-Tafsir wa al-Mufassirun, (Mesir: Dar al-Maktab al-Hadis, 1976) Cet II, h. 198 113 Muhammad Husain Adz-Zahabi, At-Tafsir wa al-Mufassirun, (Mesir: Dar al-Maktab al-Hadis, 1976) Cet II, h. 108 114 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unnsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h 38
58
b. Muqatil bin Sulaiman Muqatil bin Sulaiman masyhur dalam bidang tafsir al-Quran, dan beliau dianggap cacat, karena ia deketahui termasuk mazhab yang ditolak, sehingga berakibat orang-orang secara umum lari dari ilmunya, dan secara khusus lari dari tafsirnya. Tidak jelas pula bahwa tafsir Muqatil mencakup cerita-cerita Israiliyyat, Khurafat dan kesesatan musybihah dan mujassimah yang diingkari oleh syara’ dan tidak deterima oleh akal.115
F. Pandangan Ulama Terhadap Riwayat Israiliyyat Hubungan yang begitu erat antara umat Islam, Yahudi maupun Nasrani, mengakibatkan terjadinya akulturasi budaya diantara keduanya, maka tidak dapat dielakkan juga terjadinya penyerapan ajaran-ajaran mereka ataupun umat Yahudi dan Nasrani seperti yang telah penulis ungkapkan di atas. Untuk hal tersebut ulama menyikapinya dengan berbeda-beda pendapat, agar mempermudah pembahasan, peta pemikiran dan pendapat para ulama tentang Israiliyyat, maka penulis akan menggambarkan beberapa pendapat ulama tentang Israiliyyat. Dalam memandang Israiliyyat, Ibnu Taimiyah bertolak kepada tiga bagian, yaitu: Israiliyyat yang masuk dalam bagian yang sejalan dengan Islam perlu dibenarkan dan boleh diriwayatkan, sedangkan yang masuk dalam 115
Muhammad Husain Adz-Zahabi, At-Tafsir wa al-Mufassirun, (Mesir: Dar al-Maktab al-Hadis, 1976) Cet II, h. 111
59
bagian yang tidak sejalan dengannya harus ditolak dan tidak boleh diriwayatkan. Sementara itu, Israiliyyat yang tidak masuk bagian pertama dan kedua tidak perlu dibenarkan dan didustakan, tetapi boleh diriwayatkan.116 Allamah Ahmad Muhammad Syakir mengomentari hal ini dalam bukunya Umdah at-Tafsir, “Boleh mengambil berita dari mereka (yang tidak adil atas kebenaran dan dustanya pada kita) adalah satu hal, sedangkan mengutip hal itu dalam tafsir al-Quran dan menjadikannya sebagai suatu pendapat atau riwayat dalam memahami makna ayat-ayat al-Quran, atau menentukan sesuatu yang tidak ditentukan di dalamnya, adalah hal lain. Ini karena dengan mengutip hal seperti itu disamping kalam Allah Swt dapat memberi kesan bahwa berita yang tidak tahu kebenaran dan dustanya itu adalah penjelas makna firman Allah Swt dan menjadi pemerinci apa yang disebut global di dalamnya.117 Begitu pula Ibnu Khaldun dalam muqaddimahnya menyatakan diperbolehkannya merujuk kepada Ahli Kitab. Keterangannya tersebut diungkapkan dengan redaksi sebgai berikut, “Tafsir itu terbagi menjadi dua macam. (salah satunya adalah tafsir naqli yang disandarkan kepada riwayatriwayat yang dinukil dari kaum salaf). Berita-berita yang dinukil dari kaum salaf biasanya yang berupa pengetahuan tentang nasikh. Mansukh, asbab annuzul, maksud beberapa ayat, dan segala sesuatu yang tidak bisa diketahui
116
Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unnsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h 42 117 Yusuf Qardawi,Berinteraksi Dengan al-Quran, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 497
60
kecuali melalui riwayat dari generasi sahabat dan tabi’in. Sebenarnya generasi awal umat ini sudah memiliki perhatian yang sangat besar terhadap riwayatriwayat naqli ini. Hanya saja kitab dan hasil nukilan mereka masih banyak mengandung unsure yang baik dan buruk atau maqbul dan mardud.118 Sementara itu Muhammad Abduh termasuk ulama yang paling gencar mengkritik
kebiasaan
ulama
tafsir
generasi
pertama
yang
banyak
menggunakan Israiliyyat sebagai penafsir al-Quran. Bahkan, salah satu motivasi penulisan tafsirnya adalah untuk menghindari kebiasaan ulama tafsir itu. Abduh menolak validitas ulama tafsir generasi pertama yang menghubungkan al-Quran dengan Israiliyyat. Menurutnya, cara itu telah mendistorsi pemahaman terhadap Islam. Sikap keras serupa diperlihatkan pula oleh muridnya, Rasyid Ridha, ia mengatakan bahwa riwayat Israiliyyat yang secara ekstrim diriwayatkan oleh para ulama sebenarnya telah keluar dari konteks al-Quran.119 Dalam tafsirnya Musthafa al-Maraghi yang juga merupakan murid Abduh, memandang bahwa kitab-kitab tafsir telah dikotori oleh Israiliyyat yang tidak jelas kualitasnya. Israiliyyat merupakan sesuatu yang ditransfer Ahli Kitab untuk menipu orang-orang Arab. Demikian juga Ibnu Mas’ud, berkata: “Jangan tanyakan kepada Ahli Kitab tentang tafsir, karena mereka tidak dapat membimbing kearah yang benar dan mereka sendiri berada dalam kesalahan.”120
118
Muhammad Abdurrahim Muhammad, Tafsir Nabawi, (Jak-Sel: Ppustaka Azzam, 2001), h. 102 119 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unnsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h 43 120 Thameem Ushama, Metodologi Tafsir al-Quran, Kajian Kriis, Objektif dan Komprehensif, (Jakarta: Penerbit Riora Cipta), h 38
61
BAB IV PERBANDINGAN ANALISA SIKAP ATH-THABÂRÎ DAN IBNU KATSÎR TERHADAP ISRÂÎLIYYÂT
A. Sikap Ath-Thabârî dan Ibnu Katsîr Terhadap Isrâîliyyât Dalam Tafsirnya 1. Kisah Bani Israel Tersesat Selama Empat Puluh Tahun a. Q.S al-Mâidah[5] : 20-26
62
“Dan (Ingatlah) ketika Mûsa Berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika dia mengangkat nabi nabi diantaramu, dan mengangkat kamu menjadi raja-raja121, dan diberikanNya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun diantara umat-umat yang lain". Hai kaumku, masuklah ke tanah Suci yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang (karena takut kepada musuh), Maka kamu menjadi orang-orang yang merugi. Mereka berkata: "Hai Mûsa, Sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, Sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka ke luar daripadanya. jika mereka ke luar daripadanya, pasti kami akan memasukinya". Berkatalah dua orang122 diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah Telah memberi nikmat atas keduanya: "Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, Maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman". Mereka berkata: "Hai Mûsa, kami sekali sekali tidak akan memasuki nya selama-lamanya, selagi mereka ada didalamnya, Karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, Sesungguhnya kami hanya duduk menanti disini saja". Berkata Mûsa: "Ya Tuhanku, Aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu". Allah berfirman: "(Jika demikian), Maka Sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (tih)123 itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik 124itu"
121
Menegnai pengertian raja di atas, Ibnu Jarîr berkata, Abdullah bin Amr bin al-Ash, ketika ditanya: “Tidakkah kami termasuk orang miskin dari kaum Muhajirin?” Abdullah balik bertanya:”Apakah kamu punya istri?” “ya”, jawab orang itu. “Apakah kamu punya rumah sendiri?” “Ya” “Jika demikian anda terasuk raja,” kata Abdullah. Alhasan Alhashari berkata:”Yang disebut raja itu hanya karena mempunyai kendaraan, pelayan dan rumah tempat tinggal”. Lihat Muhammad nasib ar-Rifa’I, Tafsîru al-Aliyyul Qadîr Lî Iktisâri Tafsîr Ibnu Katsîr, terj. Drs. Syihabbuddin, Riyadh: Maktabah Ma’arif, 1989, Jilid III, h.64. 122 Dua orang tersebut bernama Yusya’ atau Yasyuk dan Khalib. Lihat Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuryah, 2006, h. 151. 123 Tih itu sendiri berarti terlunta-lunta, telantar, tersesat jalan. Dr.Shalah Abdul Fattah alKhalidy, Kisah-kisah Al-Quran Pelajaran dari Orang-orang Terdahulu, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, Jilid III, h. 227. 124 Al-fisqu ‘kefasikan’ adalah keluar dari perintah-perintah Allah. Fasiqin ‘orang-orang yang fasik’ adalah mereka yang keluar dari batas-batas yang ditentukan Allah, membangkang perintah-perintah-Nya. Lihat, Dr.Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, Kisah-kisah Al-Quran Pelajaran dari Orang-orang Terdahulu, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, Jilid III, h. 229.
63
b. Ringkasan Kisah Bani Israel Tersesat Selama Empat Puluh Tahun.125 Allah telah menyelamatkan Bani Israel dari Fir’aun dan mengeluarkan mereka dari gurun Sinai di bawah pimpinan Mûsa a.s., dan memberikan kepada mereka nikmat yang besar di gurun Sinai, yaitu memencarnya dua belas mata air dari batu untuk mereka sebagai nikmat dari Allah. Dan Allah pun menaungi mereka dengan awan putih, dan menjadikan makanan mereka manna (tumbuhan sejenis herba atau cendawan) dan salwa (makanan manis sejenis madu). Musa meminta mereka untuk memasuki tanah suci126 dan mengatakan
kepada
mereka
bahwa
Allah
akan
memberikan
pertolongan dalam menghadapi musuh, yaitu orang-orang kafir yang juga berada di negeri tersebut, dan mereka tidak lain harus berjihad (berjuang) di jalan Allah. Akan tetapi, orang-orang Yahudi berwatak penakut dan hina diri, dan tidak mengetahui kiat untuk berani dan perwira menghadapi musuh. Karena itu, mereka manolak perintah Mûsa a.s. dan berkata, “Sesungguhnya terdapat di negeri itu sekelompok orang besar dan perkasa yang sadis;kasar, yang kami tidak kuasa memerangi mereka itu, maka kami tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar darinya.” Serta merta tampillah dari kalangan orang-orang Yahudi tersebut dua orang laki-laki yang telah Allah anugerahi keberanian dan 125
Kisah ini diambil dari Dr.Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, Kisah-kisah Al-Quran Pelajaran dari Orang-orang Terdahulu, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, Jilid III, h. 205. 126 Ibnu Abbas mengartikan ‘Tanah suci’ ialah Tur Sina dan sekitarnya, yaitu Baitul Maqdis dan sekitarnya. Lihat, Muhammad nasib ar-Rifa’I, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, terj. Drs. Syihabbuddin, Riyadh: Maktabah Ma’arif, 1989, Jilid III, h. 65.
64
kekuatan, dan kedua orang itu heran terhadap sikap kaumnya yang pengecut itu. Kedua orang pemberani itu lalu menyusun taktik dan strategi perang dan kemenangan kepada mereka, yaitu dengan mengatakan kepada mereka, “Serbulah mereka melalui pintu gerbang itu, dan mulailah kalian menyerang mereka, dan peluang kemenangan besar bagi pihak yang menyerang dan memulai serbuan perang. Jika kamu sekalian melakukan yang demikian itu pastilah kamu akan menang, kemudian sesungguhnya Allah telah menjamin kemenangan bagi kalian. Karena itu bertawakallah kepada-Nya dan mintalah pertolongan dan kemenangan dari-Nya.” Orang-orang Yahudi itu merasa bahwa dua orang laki-laki tersebut telah membuat mereka terdiam tidak dapat membantah, dan mereka berdua berhasil mematahkan alasan mereka untuk takut berperang, tetapi orang-orang Yahudi itu tetap tidak menghiraukannya dan menyatakan pembangkangan seraya mengatakan kepada Mûsa a.s., “Hai Mûsa, kami sekali-kali tidak akan memasuki negeri itu selama-lamanya selagi mereka sekali-kali tidak akan memasuki negeri itu selama-lamanya selagi mereka ada di dalamnya. Karena itu, pergilah kamu bersama Rabbmu dan berperanglah kamu berdua; sesungguhnya kami hanya duduk berpangku tangan menanti disini saja.” Menghadaplah Mûsa kepada Tuhannya seraya berkata, “Wahai Rabbku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku.
65
Sebab itu, pisahkanlah aku dari orang-orang fasik itu (kaum Yahudi karena membangkang).” Allah lalu menjatuhkan hukuman kepada para pengecut dari suku Yahudi itu, yaitu dengan mengharamkan mereka dari kemuliaan, nikmat, kemenangan, dan kebahagiaan memasuki tanah suci. Setelah itu, Allah menakdirkan bagi mereka berupa pengalaman pahit untuk berputar-putar kebingungan di gurun Sinai selama empat uluh tahun, yang merupakan jangaka waktu yang cukup lama untuk mematikan generasi yang hina dan pengecut itu, dan lahir sebuah generasi baru sebagai pengganti mereka setelah itu, yang tumbuh dalam kepribadian keras, bercita-cita tinggi, dan ulet di iklim padang pasir dimana mereka mampu memerangi orang-orang kafir, dan Allah menggariskan kemenangan bagi mereka. Allah berfirman, “….maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang tih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu.’’127 Sebagian ulama tafsir dan ahli sejarah menyebutkan beberapa riwayat dan uraian tentang sebagian perincian kisah yang mereka ambil dari riwayat Israiliyyat. Di antara riwayat ini terdapat cerita yang mungkar, mitos, dan legenda belaka tanpa didasari data dan dalil yang akurat.
127
Q.S. al-Maidah [5] ayat 26.
66
Diantara riwayat Israiliyyat itu adalah penentuan nama kota yang telah diperintahkan Mûsa a.s. untuk memasuki, yaitu (menurut Israiliyyat) Aryha yang terletak di daerah pedalaman kawasan tengah palestina. Contoh lain adalah penentuan ukuran postur orang-orang gagah perkasa penghuni kota tersebut. Dalam versi Israiliyyat disebutkan bahwa tinggi orang-orang tersebut adalah 3.333 1/3 hasta, dan ketika lapar, ia mengulurkan tangannya dengan mudah sampai ke dasar laut, mengambil ikan, dan mengangkat tangannya kearah matahari, lalu dengan mudahnya ia memanggang ikan yang ditangannya itu. Dengan demikian, ia dapat mematangkan ikan itu di bawah sengatan panas sinar matahari yang terik. c. Komentar Ibnu Jarîr dan Ibnu Katsîr Untuk merinci kisah di atas, ath-Thabârî mengemukakan Israiliyyat yang diterimanya dari Ibnu Abbas bahwa nabi Mûsa diperintahkan Allah untuk memasuki Negara kaum Jabbarîn, yakni kaum yang gagah perkasa seperti yang telah diungkap di atas. Berangkatlah Mûsa disertai oleh kaumnya. Sebelum memasukinya, ia mengutus dua belas kepala suku untuk menyelidiki keadaan di dalam negara itu. Di sana mereka melihat postur tubuh kaum Jabbarin sangat tinggi dan besar. Mereka kemudian memasuki ladang perkebunan, tetapi keberadaan mereka diketahui oleh pemilik kebun. Salah seorang dari mereka kemudian ditangkap dan diletakkan di lengan baju pemilik kebun tersebut bersama buah-buahan yang dibawanya. Di hadapan sang raja negara itu, mereka diletakkan di telapak tangannya. Setelah 67
terjadi dialog, para kepala suku yang tertangkap disuruh kembali untuk menyampaikan apa yang telah disaksikannya kepada Mûsa dan temantemannya. Mûsa memerintahkannya agar merahasiakan berita itu kepada teman-temannya, tetapi akhirnya berita itu pun bocor. Riwayat yang berasal dari Mujahid mengatakan bahwa buah anggur mereka dapat ditumpangi oleh lima orang pengikut Mûsa.128 Ath-Thabârî pun mengemukakan riwayat dari as-Suda bahwa ketika berada di negara kaum Jabbarîn, kedua belas kepala suku yang diutus Mûsa itu bertemu dengan salah seorang Jabbarin yang bernama Auj bin Ataq. Setelah tertangkap, ia meletakkan mereka di lubang tali celananya, sedangkan di atas kepalanya terletak kayu bakar. Sesampainya di hadapan istrinya, ia berkata sambil meletakkan mereka di atas telapak tangannya, “Lihatlah mereka yang hendak memerangi kita. Apakah ku injak saja mereka dengan kakiku?” “Jangan !”, tandas istrinya, “Lepaskan mereka untuk mengabarkan keadaan kita kepada rekan-rekannya.”129 Materi riwayat di atas ternyata tidak dikomentari oleh athThabârî, padahal di dalamnya terdapat sesuatu yang bertentangan dengan akal. Gambaran tentang postur tubuh mereka sangat sulit untuk diterima akal. Ibnu Katsîr berkomentar bahwa banyak ulama tafsir yang mengemukakan riwayat Israiliyyat yang berkaitan dengan kaum
128
Ibnu Jarîr Ath-Thabârî, Jami’ Al-Bayân fî Tafsîr Al-Qurân, Jilid IV, Juz VI, h. 174-
129
Ibnu Jarîr Ath-Thabârî, Jami’ Al-Bayân fî Tafsîr Al-Qurân, Jilid IV, Juz VI, h. 174-
175 175
68
Jabbarin. Salah satu dari mereka adalah Iwaj yang tingginya mencapai 3330 hasta. Berita ini sangat memalukan karena bertentangan dengan sabda nabi130 : ”Sesungguhnya Allah menciptakan adam setinggi 60 hasta. Setelah nabi Adam, maka tinggi manusia terus berkurang sampai sekarang.” Rasyid Ridha menyatakan bahwa riwayat tentang Jabbarin merupakan khurafat yang disebarkan oleh orang Yahudi ke tengahtengah umat Islam. Sehubungan dengan persoalan ini, al-Alusi pun mengatakan bahwa cerita tentang Iwaj merupakan cerita rekaan Ahli Kitab yang tidak terdapat dalam kitab suci mereka. Dengan mengutip pendapat Ibnu Qayyim, ia pun mengatakan bahwa riwayat tentang hal itu palsu (maudhu’) dan merupakan hasil perbuatan orang kafir zindik yang bermaksud mengolok-olok dan mempermainkan para Rasul yang mulia. Cerita ini dipandangnya sebagai khurafat yang tidaak memiliki sumber.131
2. Kisah Harut Marut a. Q.S. al-Baqarah[2] : 101-103
130
Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-Azîm, Alam al-Katib, Beirut, 1983, h. 37-38 Al-Alusi, Ruh Al-Ma’ani fî TAfsîr Al-Qurân Al-Azim wa As-Sab’I Al-Matsani, Cetakan Muniriyyah, Juz VI, h. 86-87 131
69
“Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (Kitab) yang ada pada mereka, sebahagian dari orang-orang yang diberi Kitab (Taurat) melemparkan Kitab Allah ke belakang (punggung)nya, seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah Kitab Allah). Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir132), padahal Sulaiman tidak kafir (Tidak mengerjakan sihir), Hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami Hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, 132
Sihir mengandung beberapa arti, Pertama,menipu mata orang dan menghayalkan sesuatu yang bukan sebenarnya, seperti yang diperbuat oleh pemain sulap. Jika sihr itu tidak merusak orang, maka hukumnya tidak haram. Kedua,sihir bermakna perkataan yang indah, manis, menarik hati pendengarnya sehingga mereka dengan terpesona mengikuti perkataan itu. Kalau tujuan perkataan itu unuk menerima suatu kebenaran, maka hukumnya halal, tetapi kalau tujuannya untuk fitnah,mengadu domba supaya bercerai, maka hukumnya haram. Ketiga, minta pertolongan kepada syeitan dan mengabdi kepadanya dengan memuja maka sihir seperti ini haram hukumnya, bahkan mengkafirkan karena mempersekutukan Allah dengan syeithan. Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuryah, 2006, h. 151.
70
mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, Sesungguhnya mereka Telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (Kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka Mengetahui. Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa, (niscaya mereka akan mendapat pahala), dan Sesungguhnya pahala dari sisi Allah adalah lebih baik, kalau mereka Mengetahui.” b. Ringkasan Kisah Harut Marut Banyak ilmuan yang meriwayatkan kisah Harut dan Marut dalam versi Israiliyyat. para mufassir mengambil riwayat itu sebagai nara sumber dan menjadikan referensi dalam tafsir-tafsir mereka, bahkan mereka menafsirkan kalam Allah dengannya.133 Berikut adalah ringkasan cerita Harut dan Marut dalam versi Israiliyyat.134 Para malaikat menghalang-halangi dipilihnya manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi dan mengutamakan manusia yang beriman di atas derajat malaikat. Allah menerangkan kepada mereka bahwa manusia yang beriman lebih utama karena pada dirinya ada syahwat dan kecendrungan untuk berbuat maksiat, tapi dia bersungguh-sungguh mengendalikan hawa nafsunya dan menahannya hingga dia dapat beristiqamah dalam ketaatan kepada Allah.
133
Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari OrangOrang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 18. 134 Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari OrangOrang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 19-20.
71
Maka mereka (malaikat-malaikat) berkata, “Jika Engkau jadikan syahwat dalam diri kami maka kami tidak akan berbuat maksiat.” Maka dipilihlah dua malaikat di antara untuk menjalani ujian itu, yaitu Harut dan Marut. Allah menjadikan Syahwat dalam diri mereka lalu mereka diturunkan ke bumi. Allah melarang mereka berbuat keji dan maksiat. Akhirnya, turunlah keduanya di kota Babil dan mereka beribadah kepada Allah sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Allah. Hingga suatu hari, mereka melihat seorang wanita yang sangat cantik di kota itu, bahkan mungkin dialah wanita tercantik. Maka terbesitlah dalam hati keduanya hasrat dan keinginan terhadap wanita itu. Mereka merayu wanita itu yang belum menjawab saat pertama kalinya, tetapi wanita itu memberikan pilihan kepada mereka antara menyembah berhala, membunuh anak kecil, atau meminum khamar sebelum mereka memiliki wanita itu. Maka berkatalah mereka, “Menyembah berhala adalah perbuatan kufur, membunuh anak kecil termasuk dosa besar, sedangkan minum khamar hanyalah dosa yang kecil.” Maka mereka memilih meminum khamar. Setelah meminum khamar itu, mereka pun mabuk, akibatnya mereka lalu membunuh anak kecil dan menyembah berhala. Kemudian terjerumuslah mereka dalam kekejian bersama wanita itu.
72
Maka dicabutlah ismul a’zam (sifat kemalaikatan) dari mereka yang dulunya dengan asma itu mereka dapat naik dan terbang ke langit. Kemudian Allah mengubah wanita itu menjadi bintang yang terang di langit, dikenal dengan nama az-Zahra, sebuah bintang yang beredar yang merupakan salah satu dari kumpulan bintang-bintang di sekitar matahari. Adapun Harut dan Marut, Allah murka kepada mereka. Karena mereka terjerumus ke dalam dosa, lalu memberikan pilihan antara azab di dunia dan azab di akhirat. Maka mereka memilih azab di dunia karena azab di dunia hanyalah sementara dan mereka bisa selamat pada hari kiamat nanti. Kemudian digantunglah mereka di angkasa Babil, yaitu antara langit dan bumi. Mereka tergantung di sana sejak saat itu sampai hari kiamat. Di Babilonia, masih saja mereka mengajarkan sihir kepada manusia walaupun mereka tengah diazab dan digantung di langit. Setiap orang yang ingin mempelajari sihir dan memperdalaminya akan menemui mereka di kota itu dan belajar dari kedua malaikat itu. c. Komentar Ibnu Jarîr dan Ibnu Katsîr Ulama-ulama peneliti menolak kisah itu dan menganggapnya batil dari segi sanad dan maknanya.135 Setelah menolak riwayat itu, Ibnu Katsîr berkata, “Kisah Harut dan Marut ini telah diriwayatkan 135
Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari OrangOrang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 20.
73
oleh banyak orang dari kalangan tabi’in, seperti mujahid as-Sudai, Hasan al-Bashri, Qatadah, Ubay al-Aliyah, az-Zuhri, ar-Rabi bi Anas, dan Muqatil bin Hayyan serta yang lainnya, juga sekelompok imam dari kalangan mufasirin yang terdahulu dan kotemporer ikut menceitakannya. Dan hasilnya, ternyata perincian kisah ini bersumber dari berita-berita keturunan Yahudi, di mana tidak ada satu pun di dalamnya hadis yang marfu’ dan sahih yang bersambung sanadnya kepada Rasûlullah Saw. (beliau yang benar dan membenarkan wahyu serta terjaga dari perbuatan maksiat yang tidak berkata menurut hawa nafsunya). Yang dapat kita lihat dari susunan cerita di dalam al-Quran adalah cerita umum tanpa keterangan lebih lanjut dan tanpa hiperbolisme cerita maka kita beriman dengan apa yang diturunkan dalam al-Quran, dengan apa yang diinginkan Allah Ta’ala, dan hanya Allah-lah yang mengetahui hakikat keadaannya.”136 Dalam kitab tarikh karangannya, al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir menulis ringkasan cerita Harut dan Marut dengan versi Israiliyyat ini, kemudian mengkaitkannya dengan perkataannya, “Sedangkan apa yang banyak disebutkan oleh para mufasirin dalam kisah Harut dan Marut, bahwa az-Zahra adalah seorang wanita yang dirayu dua malaikat itu dan dia menolak kecuali jika mereka mau mengajarkannya ismul a’zam hingga kemudian mengajarkannya, lalu diucapkannya, dan dia dinaikkan ke langit menjadi bintang. Semua ini saya perhatikan hanyalah karangan orang-orang Yahudi. Kalaupun 136
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, Jilid I, h. 141
74
Ka’ab Ibnul Ahbar menuliskannya (dalam beberapa bukunya) dan beberapa kelompok salaf lainnya belajar dari dia tentang hal ini, tetapi mereka mengemukakannya dengan cara menghikayatkan saja dan mengatakan bahwa cerita itu bersumber dari Bani Israel.”137 Setelah itu, beliau berkata, “Dan jika berbaik sangka, mungkin kita mengatakan bahwa ini adalah sebagian dari kabar Bani Israel seperti riwayat Ibnu Umar dari Ka’ab Ibnul Ahbar terdahulu dan mungkin dari khurafat mereka yang tidak mereka percayai.”138 Imam Ahmad Muhammad Syakir mengamati tentang versi Israil itu pada tiga hal, yaitu139: 1. Dalam
penegasannya
terhadap
banyaknya
riwayat
yang
dikemukakan ath-Thabâri di mana beliau berkata, “Berita-berita dalam kisah Harut dan Marut dan cerita bahwa sesungguhnya ada seorang wanita lalu diubah rupanya menjadi bintang adalah beritaberita yang diilatkan oleh ahli ilmu dengan hadis.” 2. Dalam ringkasan tafsir Ibnu Katsîr yang dinamakan UmdatutTafsir ‘anil Hafiz Ibnu Katsîr, dia mengaitkan sanad riwayatriwayat yang dikemukakan Ibnu Katsîr dengan apa yang termaktub dalam kisah itu. Dalam hal itu, beliau mengaitkan sanad riwayat yang disebutkan oleh Ibnu Katsîr dengan nukilan (kutipan) dari Ibnu Abî 137
Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari OrangOrang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 20. 138 Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari OrangOrang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 20. 139 Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari OrangOrang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 21
75
Hatîm dalam komentarnya sebagai berikut, “Isnad yang dikutip Ibnu Katsîr-sedangkan kami menghapusnya-adalah benar. Isnad ini berhenti pada perkataan Ibnu Abbas. Kami pun berhenti sampai di situ dan tidak mengatakan apa pun.
Ibnu Katsîr telah
memperpanjang penyalinan kabar-kabar seperti ini, semoga Allah merahmati dan juga diri kami dan mengampuni kami semua.” Syakir juga menunjukkan sebab-sebab pengutipannya terhadap versi Yahudi yang batil tersebut dalam bukunya, Umdatut-Tafsir, sebagai berikut, “Saya pernah berkeinginan membuang hadis ini juga dari kitab Umdatut-Tafsir seperti apa yang telah saya syaratkan dalam mukadimah, tetapi saya melihat bahwa makna hadis tersebut telah berimbas dalam cerita-cerita banyak orang dan dalam apa yang mereka tulis, dan semua itu harus diterangkan maka saya mengerjakan apa yang terbaik, kemudian
saya
tidak
menggunakan
apa-apa
yang
telah
diperpanjang oleh Ibnu Katsir walaupun tidak memperpendek keterangan tentang cacatnya. Semoga Allah merahmatinya.” 3. Dalam penjelasan dan pengamatannya terhadap musnad Imam Ahmad bin Hambal, dalam sanadnya sebuah hadis marfu’ dari Ibnu Umar r.a., dan itulah yang menyebabkan sebagian dari mereka (ulama) mengenggapnya benar. Ahmad Syakir mengakhiri komentarnya dengan ungkapan, “Semua ini menguatkan apa yang telah dikuatkan oleh Ibnu Kasir,
76
‘Sesungguhnya hadis ini bersumber dari cerita-cerita Yahudi yang disampaikan Ka’abul Ahbar. Sebenarnya itu bukanlah hadis marfu’ dari Nabi Saw. Barangsiapa yang merafa’kannya maka dia telah berbuat salah dan lalai. Orang-orang yang meriwayatkannya dari kisah-kisah Ka’abul Ahbar dengan lebih menjaganya dan mempercayainya lebih dari orang yang meriwayatkan secara marfu’ maka dia lebih parah dari Imam yang hafidz dan jalil.”140 Para ahli tafsir berusaha memahami firman Allah, “Dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut” (al-baqarah: 102), mereka telah sepakat bahwa huruf wawu pada kalimat ‘Wa ma unzila’ adalah ‘aatifah dan kalimat ini ma’thuf
kepada kalimat sebelumnya. Tetapi
mereka berbeda pendapat dalam kalimat yang di-‘athaf-kan kepadanya. Ini karena perbedaan mereka tentang huruf maa, apakah itu huruf nafi yang bermakna lam ‘tidak’ atau ism maushul yang berarti ‘yang’. Ibnu Abbas mengatakan maa di sini berarti mengingkari dan menafikan. Ia adalah huruf nafi yang berarti lam ‘tidak’.141 Ath-Thabârî menjelaskan pendapat ini, “Maka takwil ayat ini berdasarkan arti ini,adalah, ‘Dan mereka mengikuti sihir yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman
140
Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari OrangOrang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 22 141 Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari OrangOrang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 31.
77
sedangkan Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), dan Allah tidak menurunkan sihir kepada dua malaikat itu, tetapi setansetan itulh yang kafir, mereka mengajarkan sihir kepada manusia di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut.’ Dengan demikian kalimat “Di kota Babil Harut dan Marut” adalah kalimat yang diakhirkan, tetapi maknanya didahulukan.142 Dengan pendapat ini maka yang dimaksud dengan ‘dua malaikat’ itu adalah Jibril dan Mikail. Sedangkan Harut dan Marut adalah nama dua orang laki-laki dari golongan setan dan keduanya mengajarkan sihir kepada manusia di kota Babil. Dengan pendapat ini pula maka kalimat itu ma’thuf kepada kalimat ‘maa kufru Sulaiman’ berarti bahwa al-Quran membantah kafirnya Sulaiman dan turunnya sihir kepada dua malaikat di kota Babil. Akan tetapi, setan-setan itu berdusta dan menuduhkan sihir dan kekafiran itu atas diri Sulaiman a.s., dan menuduh turunnya sihir kepada dua malaikat di kota Babil.143 Pendapat ath-Thabârî mengatakan bahwa maa adalah ism mausul yang berarti alladzi (yang). Pendapat ini dinisbahkan athThabari kepada Abdullah bin Mas’ud, Qatadah, az-Zuhri, as-Suddi dan yang lainnya.144
142
Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari OrangOrang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 31. 143 Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari OrangOrang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 31. 144 Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari OrangOrang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 31.
78
Ath-Thabari berkata dalam penjelasannya tentang pendapat ini, “Maka makna ayat berdasarkan pendapat ini adalah, ‘Dan kaum Yahudi mengikuti yang dibaca setan-setan itu pada masa kerajaan Sulaiman dan mengikuti yang diturunkan kepada dua malaikat di kota Babil, yaitu Harut dan Marut.’ Ath-Thabari cendrung pada pendapaat ini. Tetapi, Ibnu Katsir mengkritik gurunya, yakni ath-Thabari dan menyanggah pendapatnya serta mengaitkan kepadanya suatu pendapat, kemudian Ath-Thabari mengajukan sanggahan atas pendapat ini bahwasannya maa berarti alladzi dan beliau memperpanjang pendapatnya dalam hal itu dan mengatakan bahwa Harut dan Marut itu adalah dua malaikat yang diturunkan
Allah
ke
bumi.
Dia
mengizinkan
keduanya
mengajarkan sihir sebagai cobaan dan ujian bagi hamba-hambaNya, setelah menerangkan kepada hamba-hamba-Nya bahwa itu adalah termasuk dalam larangan-Nya atas lisan para Rasul. Beliau juga menganggap bahwa Harut dan Marut taat pada ketentuan itu karena keduanya menaati apa yang diperintahkan-Nya.145 Akan tetapi, Ahmad Syakir mengaitkan pendapat Ibnu Katsîr dangan pendapatnya, “Bukannya aku mengingkari apa yang dikatakan Abû Ja’far seperti halnya Ibnu Katsîr, jika Anda meneliti pendapat Abu Ja’far, Anda akan mendapatkan hujah yang jelas tentang kebenaran pendapat yang dianutnya, ketelitiannya dalam 145
Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari OrangOrang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 32.
79
menjelaskan makna dan mengatur lafal-lafalnya dan Anda hampir tidak menemuinya selain dalam tafsir yang mlia dan agung ini.”146
3. Dzulqalnain a. Q.S. al-Kahfi[18] : 83
“Mereka
akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. Katakanlah: "Aku akan bacakan kepadamu cerita tantangnya". b. Komentar Ibnu Jarîr dan Ibnu Katsîr Para mufasir dan sejarawan senang meneliti kisah Dzulqarnain dan banyak diantara mereka yang berusaha untuk menjelaskan hal-hal yang tidak disebutkan dan mendapatkan rincian kisahnya yang benar secara historis. Mereka banyak mengeluarkan pendapat, yang sebagian besar diambil berdasarkan kisah Israiliyyat dan cerita-cerita dari Ahli Kitab, yang mengandung khurafat, kebohongan, dan kebatilan. Dari sana muncullah berbagai penelitian tentang rincian kisah itu, juga pernedaan pendapat yang tajam antara ahli sejarah dan mufasir. Sebagian penulis membuat buku kisah Dzulqarnain hanya menulis tentang rincian kisah itu;tempat, waktu, dan peristiwaperistiwa yang dialami oleh tokoh kisah itu. Diantara buku-buku tersebut adalah sebagai berikut147:
146
Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari OrangOrang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 32 147 Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari OrangOrang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 214
80
1. Dzulqarnain wa Saddus-Shin oleh Muhammad Raghib athTabbakh, seorang professor sejarah dan hadist pada fakultas syariah di Aleppo, 1949 M. 2. Yas’alûnaka ‘an Dzilqarnain oleh Abdul Kalam Azad, mentri pendidikan India yang pertama setelah merdeka. Ada sebuah pembukaan yang paling lebar ditulis oleh Syekh Ahmad Hasan alBâquri, diterbitkan oleh Darus Sya’ab, Kairo, 1972 M. 3. Mafahim
Jughrafiyah
fil-Qashash
al-Qurani:
Qishshatu
Dzilqarnain oleh Dr. Abdul Alim Abdurrahman Khindir. Diterbitkan oleh Daarusy Syuruq, 1981 M. 4. Dzulqarnain: al-Qa’id al-Faatih wal-Haakim ash-Shalih oleh Muhammad Khair Ramadhan Yusuf. Diterbitkan oleh Daarul Kalam tahun 1986 M/1406 H. Inilah buku yang paling baru, paling lengkap, dan kritis. Disebutkan dalam muqadimah Dzulqarnain: al-Qa’id al-Fâtih wal-Hâkim ash-Salih oleh Muhammad Khair Ramadhan Yusuf, bahwa tatkala membahas kisah Dzulqarnain, ia meminta petunjuk kepada seorang ilmuwan yang terpecaya dengan mengatakan, “Bagaimana pendapatmu jika aku menulis buku tentang Dzulqarnain, wahai guruku?” kemudian gurunya menjawab, “Jangan kamu lakukan hal itu.” Ia merasa heran kemudian bertanya, “Mengapa?” Gurunya menjawab, “Karena kamu tak akan mendapatkan manfaat.” Akan tetapi ia bersikeras melakukan hal itu: mengumpulkan data,
81
menganalisis, dan mendiskusikannya. Akhirnya ia berhasil menulis sebuah buku yang bagus. Tetapi ia tidak dapat menemukan secara pasti hakikat Dzulqarnain yang merupakan inti pembahasan seolah-olah ia tidak mendapatkan hasil yang dapat diterima sesuai dengan penelitian ilmiah yang sistematis dan objektif.148 Abdul Kalam Azad149 dan Dr. Abdul Alim Abdurrahman Khidir menegaskan bahwa Kursy al-Farisi (seorang raja dari Persia) adalah Dzulqarnain yang diceritakan dalam al-Quran dan dinding yang didirikan di celah Daryal150 adalah yang diceritakan al-Quran. Kedua ilmuawan ini berpendapat bahwa sifat-sifat Kursy sesuai dengan sifat Dzulqarnain yang diceritakan al-Quran, bahkan sifat yang diceritakan al-Quran terdapat dalam diri Kursy.151
148
Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari OrangOrang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 215 149 Abdul Kalam Azad adalah seorang pemimpin muslim India. Ia mengajak kaum muslimin India memberontak terhadap penjajahan Inggris. Ia mengadakan penelitian tentang Dzulqarnain dan pergi ke Iran, mencari lokasi bendungan Ya’juj dan Ma’juj. Kemudian ia menulis kesimpulan perjalanan dan peneliiannya dimajalah Tarjamaanul Qur’an. Kemudian ia menulis sebuah buku yang diterbitkan oleh Daarus Sab’ah, Mesir,berjudul Yas’aluunaka ‘an Dzularnain. Tulisan Abul Kalam Azad dalam buku tersebut benar-benar berharga dan bagus karena ia mengemukakan berbagai bukti untuk menguatkan pendapatnya dan mengumpulkan bermacammacam bukti dengan mengutip dari sejarah, geografi, dan temuan-temuan arkeologi. Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang-Orang Dahulu”,jilid II, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 229. 150 Dinding yang dibangun oleh Dzulqarnain “Kursy” terletak di celah Daryal di tengahtengah pegunungan Kaukasus. pegunungan Kaukasus membentuk rangkaian panjang yang bersambung, puncaknya banyak, sulit didaki, tidak ada jalan masuk kecuali melalui celah Daryal ditengah mengalir salah satu cabang sungai Turk yang paling tinggi. Pegunungan ini terbentang hampir sama dengan Laut Qazwin di Timur dan laut Hitam di Barat. Panjang keseluruhannya mencapai 1.200 km, merupakan pegunungan tertinggi di Eropa, dan tidak mungkin didaki kecuali melalui celah Daryal. Dikutip dari Khindir, Mafahim Jughrafiyah, h. 296. Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang-Orang Dahulu”,jilid II, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 234. 151 Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari OrangOrang Dahulu”,jilid II, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 236.
82
Menurut Abdul Kalam Azad, Kursy dijuluki Dzulqarnain karena ia menyatukan dua kerajaan, yaitu, Midya dan Persia, menjadi satu kerajaan, masing-masing kerajaan disebut “qarn”. Oleh karena itu, setelah menyatukan kedua kerajaan itu, ia dijuluki Dzulqarnain yang berarti ‘memiliki dua kerajaan’.152 Ibnu Katsir menjelaskan dalam kitab tafsirnya, bahwa Dzulqarnain adalah seorang hamba Allah yang dikaruniai kerajaan yang luas dan kekuasaan yang besar. Kekuasaannya meliputi seluruh jagad dan semua umat dari berbagai bengsa dan keturunan tunduk di bawah hukum kerajaannya, dia menguasai banyak bahasa sehingga tiap kaum atau negeri yang ditundukkannya dapat dipahami olehnya bahasa kaum dan penduduk negeri yang dikuasainya itu. Demikian pula Allah telah mengaruniainya pengetahuan mengenai peta bumi di antara sarana-sarana lain yang dapat memudahkan ia melebarkan sayap kekuasaannya ke segala penjuru dunia dari barat sampai ke timur.153 Untuk menjelaskan ayat di atas, ath-Thabari mengemukakan Israiliyyat dari Wahab bin Munabbih yang mengatakan bahwa Dzulqarnain berasal dari Romawi. Nama aslinya adalah al-Iskandar. Ia dijuluki Dzu al-Qarnain karena dua belah wajahnya ditutupi oleh tembaga. Ketika ia menjelang dewasa dan menjadi hamba yang shaleh, Allah mengutusnya untuk memimpn penghuni dunia yang mempunyai ragam bahasa yang berbeda-beda. Di antara mereka adalah dua umat 152
Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari OrangOrang Dahulu”,jilid II, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 226. 153 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, Alam al-Katib, Beirut, 1983, h. 169.
83
yang antara keduanya dipisahkan oleh jarak sepanjang bumi; dan di antaranya pula dua umat yang antara keduanya dipisahkan oleh jarak selebar bumi. Ia pun memimpin umat seperti jin, manusia, ya’juj dan ma’juj. Riwayat itu kemudian menuturkan ilmu dan hikmah yang telah diberikan Allah kepadanya, kondisi kaum-kaum yang ditemuinya, apaapa yang diucapkan mereka kepadanya. Di tengah-tengah rakyat itu, ath-Thabari mengemukakan berita-berita yang sangat sulit diterima akal dan naqli. Dan untuk menuturkan riwayat-riwayat itu, ia mneghabiskan lebih kurang empat lembar.154 Riwayat lain yang dikemuukakan ath-Thabâri, diantaranya, diterima dari Abi Hatim dan Ibnu Ishaq; serta riwayat yang diduga berasal dari nabi karena pada ujung sanadnya tertera nabi Muhammad. Riwayat pertama berbicara tentang sebab penamaan Dzulqarnain, sedangkan riwayat kedua mengatakan bahwa Dzulqarnain adalah pemuda dari Romawi yang membangun Negara Iskandariah. Setelah pembangunan itu selesai, ia diangkat oleh malaikat ke langit. Sesampainya disana, Dzulqarnain ditanya, “Apa yang kau lihat?” “Aku melihat kotaku dan beberapa kota lainnya.” Setelah naik ke langit berikutnya, ia pun ditanya, “Apa yang kau lihat?” “Aku melihat bumi.” Suatu saat ia sampai di sebuah benteng. Di sana ia melihat sekelompok menusia yang bentuk wajahnya mirip seperti anjing.155
154
Lihat Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, Alam al-Katib, Beirut, 1983, h. 192. Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, Alam al-Katib, Beirut, 1983, h. 192 .
155
84
Ath-Thabari tidak mengomentari riwayat itu walaupun terdapat beberapa kegabjilan di dalmnya. Umpamanya, betulkah sebagian riwayat itu berasal dari Nabi. Untuk riwayat yang berasal dari nabi Ibrahim, Ibnu Katsir menyebutkan bahwa kualitasnya asing dan sanadsanadnya pun tidak sahih.156 Ath-Thabâri pun tidak berupaya melakukan studi kritis terhadap keganjilan-keganjilan matannya.
4. Kisah Sapi Betina Bani Israel a. Q.S. al-Baqarah[2] : 67-74
156
Lihat Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, Alam al-Katib, Beirut, 1983, h 100.
85
“Dan (ingatlah), ketika Musa Berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina." mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil". Mereka menjawab: " mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar dia menerangkan kepada Kami; sapi betina apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu". Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar dia menerangkan kepada kami apa warnanya". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya." Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, Karena Sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan Sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)." Mûsa berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya." mereka berkata: "Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya". Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu. Dan (ingatlah), ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu saling tuduh menuduh tentang itu. dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama Ini kamu sembunyikan. Lalu kami berfirman: "Pukullah mayat itu dengan sebahagian anggota sapi betina itu it Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang Telah mati, Dam memperlihatkan padamu tanda-tanda kekuasaannya agar kamu mengerti. Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, Karena 86
takut kepada Allah. dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.”
b. Ringkasan Kisah Sapi Betina Bani Israel157 Pada masa nabi Mûsa a.s. terjadi pembunuhan di kalangan Bani Israel yang tidak diketahui siapa pembunuhnya. Lalu di antara merekapun terjadi kesalahpahaman, kericuhan, dan saling mendorong serta saling menuduh melakukan pembunuhan. Masing-masing menuduh yang lain sebagai pembunuhnya, lalu mereka mengajukan perkara itu kepada Mûsa a.s. untuk disidangkan di antara mereka. Allah ingin menyingkap misteri pembunuhan itu dan mengungkap pembunuhnya melalui prosesi mukjizat fisik materi. Allah mewahyukaan kepada musa agar memerintahkan mereka untuk menyembelih sapi betina, yaitu sapi betina apa saja, tanpa ketentuan criteria dan spesifikasinya. Kalaulah mereka mengambil sapi betina apa saja serta menyembelihnya niscaya mereka telah melaksanakan perintah Allah dan menunaikan kewajiban. Akan tetapi, karena watak orang-orang Yahudi menyukai perdebatan dan memperlambat diri untuk menjalankan tugas membuat mereka mengabaikan perintah itu dengan berulah dan banyak bertanya. Mereka menanyakan kepada Mûsa a.s. tentang usia sapi betina itu, lalu Musa menjawab bahwa sapi itu tidak terlalu tua dan juga tidak terlalu muda, melainkan berusia sedang. Kemudian mereka bertanya 157
Kisah ini diambil dari Dr.Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, Kisah-kisah Al-Quran Pelajaran dari Orang-orang Terdahulu, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, Jilid III, h. 235.
87
tentang warnanya. Musa menjawab, warna sapi betina itu kuning tua yang menyenangkan siapa pun yang memandangnya. Setelah itu, mereka bertanya pula tenttang tabiat kerja sapi itu, lalu dijawab bahwasannya sapi itu sangat berharga bagi pemiliknya, tidak begitu jinak, tidak dipakai untuk membajak dan juga tidak untuk mengairi tanaman. Pada akhirnya, mereka pun menyembelihnya, dan ini hampir saja idak mereka lakukan karena disibukkan oleh pertanyaanpertanyaan. Setelah
itu,
Mûsa
a.s.
memerintahkan
mereka
untuk
memukulkan sebagian anggota badan sapi betina yang telah dipotong itu ke tubuh mayat korban pembunuhan, lalu mereka pun melaksanakannya. Tiba-tiba Allah memasukkan roh ka dalam raganya dan menghidupkan kembali mayat korban pembunuhan tersebut, lalu ia menceritakan siapa yang membunuhnya, “Si fulan yang telah membunuh saya.” Mayat hidup itu pun akhirnya mati kembali di tengah suasana yang mencengangkan dan mencekam bagi orang-orang Bani Israil, dan mereka pun terpana dan heran atas kejadian yang baru saja mereka saksikan. c. Komentar Ibnu Jarîr dan Ibnu Katsîr Dalam tafsir Ibnu Katsîr disebutkan riwayat dari Ibnu Abî Hatîm, dengan sanad yang bersambung hingga Muhammad bin Sirin,
88
dari Ubadah as-Silmani, dia berkata, “Ada seorang laki-laki Bani Israel yang mandul, sedangkan dia mempunyai harta yang banyak dan anak saudaranya merupakan pewarisnya. Maka dia membunuhnya. Pada malam hari dia membawa mayatnya lalu diletakkan di depan pintu salah seorang Bani Israel. Ketika pagi hari tiba, maka pihak korban menuduh si pemilik rumah dan warganya sehingga mereka pun mengangkat senjata dan saling menyerang. Salah seorang yang berpikiran lebih bijak berkata, ‘ Mengapa kalian saling membunuh, padahal kita punya Rasul !’. Maka mereka pun menemui Musa a.s. dan menceritakan kejadian tersebut. Musa berkata, ‘Sesungguhnya Allah menyuruhmu untuk menyembelih seekor sapi betina’. Mereka berkata, ‘apakah kamu hendak menjadikan kami sebagai bahan ejekan?’ Musa menjawab, ‘Aku berlindung kepada Allah sekiranya aku termasuk orang-orang yang bodoh.’158 Ubaidillah berkata, “Seandainya mereka tidak mencela, niscaya memadailah
sapi
yang
sederhana
sekalipun.
Namun
mereka
mempersulit, maka Allah pun mempersulitnya sebelum mereka menemukan sapi yang diperintahkan untuk disembelih. Mereka mendapatkannya dari seseorang yang tidak memiliki sapi lain kecuali sapi betina itu. Si pemilik berkata, ‘’Demi Allah, harga sapi ini tak boleh kurang dari uang emas sepenuh kulitnya”. Lalu mereka menyembelihnya, dan mereka memukul mayat dengan bagian tunuh 158
Muhammad Nasib ar-Rifa’I, Tafsiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtisari Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, Muktabah Ma’arif, 1819, h. 148-149.
89
sapi itu. Kemudian mereka bertanya, “Siapa yang membunuhmu?” mayat itu berkata, “Orang ini,” sambil menunjuk kepada anak saudaranya. Kemudian mayat pun terkulai dan mati kembali. Maka si pembunuh tidak diberi harta warisan sedikit pun. Sejak itulah seorang pembunuh tidak berhak mendapatkan warisan.159 Mengomentari kisah di atas, Ibnu Katsir mengatakan bahwa kisah tersebut dikutip dari buku-buku Bani Israel, dan kisah ini termasuk yang boleh dikutip, namun tidak boleh dibenarkan atau didustakan. Oleh karena itu, kisah tadi tidak dapat dijadikan pegangan kecuali dalam hal-hal yang sejalan dengan kebenaran menurut Islam.160 Pada ayat 73 menerangkan perintah nabi Musa kepada Bani Israel untuk menyembelih sapi yang salah satu bagian badannya dipukulkan kepada orang yang terbunuh agar hidup kembali. Ayat ini merupakan rangkaian dari beberapa ayat yang berbicara tentang kisah penyembelihan sapi. Tidak dijelaskan bagian badab sapi mana yang digunakan untuk memukul mayat itu. Kisah itu, lebih lanjut menjelaskan bahwa setelah dipukul, mayat itu hidup kembali. Meskipun persoalan itu tidak penting, sebagian ulama tafsir menjelaskannya dengan merujuk pada riwayat Israiliyyat. Dalam hal ini, ath-Thabari mengemukakan beberapa riwayat yang berbeda-beda.
159
Muhammad Nasib ar-Rifa’I, Tafsiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtisari Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, Muktabah Ma’arif, 1819, h. 149. 160 Muhammad Nasib ar-Rifa’I, Tafsiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtisari Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, Muktabah Ma’arif, 1819, h. 152-153.
90
Satu riwayat mengatakan bahwa yang digunakan untuk memukul mayat itu adalah bagian paha sapi, riwayat lain mengatakan bagian pundaknya, dan riwayat lainnya lagi mengatakan bagian tulangnya.161 Mengomentari
riwayat-riwayat
di
atas,
ath-Thabari
berpendapat bahwa selama Allah mengglobalkan kisah ini dan Rasul pun tidak merincinya, kita tidak diperkenankan menjabarkannya. Namun, di akhir pembicaraannya, ia berpendapat bahwa riwayat yang peling benar adalah mengatakan bahwa Allah memerintahkan kepada mereka untuk memukul bagian tubuh orang yang terbunuh dengan potongan daging sapi agar hidup kembali. Tidak ada satu keterangan pun yang menjelaskan tentang potongan daging mana yang digunakan. Boleh jadi bagian ekornya, atau boleh jadi pula bagian lehernya.162
B. Analisa Perbandingan Sikap Ath-Thabârî dan Ibnu Katsîr Terhadap Penyusupan Isrâîliyyât Sejauh ini para pengamat tafsir menempatkan ath-Thabari dan Ibnu Katsir pada posisi yang sama, yaitu mufassir yang menggunakan corak bi alma’tsur dalam kitab tafsirnya masing-masing. Namun, ternyata kedua mufassir itu tidak selamanya memiliki kesamaan dalam menafsirkan al-Quran. Perbedaan metode penafsiran antara kedua mufassir itu secara umum, dintaranya, telah disajikan secara cermat dan kritis oleh seorang orientalis
161 162
Ibnu Jarir Ath-Thabri, Jami al-Bayaan fi Tafsir Al-Quran, Juz II, h. 356-360 Ibnu Jarir Ath-Thabri, Jami al-Bayaan fi Tafsir Al-Quran, Juz II, h. 285-286
91
yang bernama J.D. Dammen Mc.Auliffe.163 perbedaan itu sebenarnya merupakan sesuatu yang wajar dan alami. Berdasarkan keterangan sebelumnya, dapat diketahui materi Israiliyyat yang terdapat pada kitab tafsir Jami’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân karya athThabârî
terkadang
dikomentari
oleh
beliau
dan
terkadang
tidak
dikomentarinya. Sehingga menimbulkan pro dan kontra dari beberapa ulama dalam menyikapi kisah-kisah Israiliyyat yang terdapat pada kitab tafsir athThabârî. Berikut ini pandangan ulama terhadap kisah-kisah Israiliyyat yang terdapat pada kitab beliau. Ulama yang membela ath-Thabârî diantaranya ialah Abû al-Fadi Ibrâhîm yang menyatakan bahwa sikap ath-Thabârî sejalan dengan langkah yang ditempuh oleh kalangan ahli hadis pada umumnya, yaitu cukup mengemukakan jalan-jalan periwayatan sampai kepada pembawa berita (rawi) pertama. Dalam hal ini pun, ia hanya mengemukakan jalan-jalan periwayatan (silsilah al-riwayah) Israiliyyat kepada pembawanya yang pertama. Untuk menilai kualitasnya, ia serahkan sepenuhnya kepada para pembaca. Dengan cara ini, ath-Thabari sudah memenuhi tugas keilmuannya dan tidak bertanggung jawab terhadap isi yang dibawanya.164 Pendapat Ibrahim di atas tampaknya tidak sepenuhnya dapat diterima sebab Tafsir ath-Thabari tidak selamanya berada ditangan orang-orang yang mempu menilaikualitas riwayat Israiliyyat. untuk mengkritik sebuah riwayat, 163
Janne damman Mc Auliffe, “Qur’anic Heurmenetic: The Views of Ath-Thabâri and Ibnu Katsîr” dalam Andrew Rippin (Ed.), Approaches to the History of the Interpretation of the Qur’an, Clarendon Press, Oxpord, 1988, h. 46-62. 164 Muhammad Abu Fadl Ibrahim, “Tarikh Ath-Thabari” , dalam Ath-Thabari, Tarikh ArRusul wa al-Mulk, Juz I, Dar Al-Ma’rif, Mesir, 1960, hlm.22-23.
92
seseorang diharuskan menguasai ilmu kritik hadis (Takhrij Hadis), sebuah ilmu yang sulit untuk dikuasai selain orang-orang yang memang bergelut di dalamnya secara khusus. Demikian pula pendapat yang mengatakan bahwa “orang yang mengemukakan sanad riwayat, tidak bertanggung jawab atas isi Israiliyyat” itu sangan sulit untuk diterima. Bagaimana seandainya Israiliyyat itu kemudian dipakai seseorang untuk memahami kandungan al-Quran atau menerangkan hukum syara’.165 Berlainan dengan pendapat diatas, dibawah ini akan dikemukakan diantara pendapat yang bernada negatif terhadap kisah Israiliyyat yang terdapat pada kitab tafsir th-Thabari, yaitu, al-Hufi yang menyayangkan sikap ath-Thabari yang tidak melakukan studi kritis terhadap Israiliyyat padahal ia tergolong dalam ulama ulama hadis. Menurutnya, mungkin saja ath-Thabari membedakan antara hadis dan Israiliyyat. hadis berfungsi sebagai hukum yang dapat membangun hukum-hukum, sedangkan Israiliyyat tidak memiliki fungsi itu sehingga tidak perlu melakukan studi kritis terhadapnya. Namun, sebagai ahli sejarah, ia tidak cukup menyampaikan sanad riwayat saja sebab terkadang rawinya terpecaya, tetapi lemah dalam menerima atau menyampaikannya.166 Menanggapi hal tersebut, ath-Thabari mengemukakan penjelasan di salah satu kitabnya, yakni, “ Hendaknya setiap peneliti kitabku memahami apa yang dikemukakan di dalmnya dan saya sendiri yang menulisnya dengan bersandarkan pada periwayatan yang aku sebutkan dan susunan perawinya yang di dalamnya pun aku dilibatkan, bukan berdasarkan atas hasil olah pikiran. Karena untuk 165
Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabarî dan Tafsir Ibnu Katsîr, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999, Cet I, h. 115. 166 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unnsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 116
93
mengetahui berita-berita masa lampau dan kejadian-kejadian di dalamnya, tidak mungkin diperoleh secara langsung dari orang-orang yang terlibat atau menyaksikan langsung peristiwa-peristiwa itu, malainkan hanya dapat diperoleh melalui kabar berita yang sampai kepada kita, bukan dengan cara hasil olah pikir. Jika ternyata dalam kitabku ini terdapat suatu riwayat yang tidak enak didengar karena tidak jelas kevalidan dan hakikatnya, maka penjelasan tentang itu belum pernah aku dapatkan dari orang-orang sebelumku. Itulah sebabnya, aku hanya menulis apa saja yang sampai ke tanganku.”167
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan pada tiga poin, yakni; Pertama, ia berpendapat bahwa para sejarawan tidak boleh bertolak dari logika, analogi dan istimbat dalam memperoleh data sejarah. Oleh karena itu, ia mendokumentasikan data sejarah atas dasar berita dari perawi saja. Ia pun tidak hanya menggumpulkan data sejarah yang relevan dengan pemikirannya. Kedua, untuk memperoleh data sejarah, hanya dapat dilakukan dengan satu cara, yaitu melalui berita-berita yang sampai kepada kita. Ketiga, ath-Thabârî menyatakan bahwa orang-orang sebelum dirinya belum pernah melakukan studi kritis terhadap riwayat yang diterimanya.168 Atas dasar pernyataan di atas, ada beberapa kritikan untuk ath-Thabari, yaitu poin pertama dan kedua tampaknya bertentangan dengan prinsip sejarah yang sebenarnya. Sejarawan memang tidak boleh merekayasa data sejarah, tetapi bukan berarti pertimbangan rasio tidak berguna dalam mengumpulkan data sejarah.169 Berkenaan dengan ini, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa untuk menerima riwayat sejarah diperlukan pertimbangan-pertimbangan tertentu
167
Ath-Thabari,Tarikh al-Umam wa al-Mulk, Jilid 1, h. 7-8 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabarî dan Tafsir Ibnu Katsîr, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999, Cet I, h. 117. 169 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabarî dan Tafsir Ibnu Katsîr, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999, Cet I, h. 117. 168
94
yang tidak cukup bersandarkan kepada sanadnya saja. Menurutnya, banyak ahli sejarah dan ahli tafsir yang tergelincir ke dalam kesalahan karena adanya berpegang kepada pemindahan riwayat saja tanpa melakukan pemikiran mendalam terhadap isi riwayat itu.170 Demikian pula poin ketiga pun mengandung sisi kelemahan karena bertentangan dengan data sejarah. Terlepas dari kelemahan-kelemahan di atas, Tafsir ath-Thabârî memiliki keistimewaan-keistimewaan tertentu dari sisi lain. Dari sisi sanad, di antaranya, kitab ini mengemukakan Israiliyyat dengan disertai penyebutan sanadnya secara lengkap dan teliti. Untuk setiap Israiliyyat yang ia kemukakan, disertakan sanadnya sampai kepada pemiliknya dengan cara menggunakan langkah-langkah periwayatan ulama hadis.171 Bila lupa nama salah seorang dari silsilah rawi, ath-Thabârî menjelaskan langsung seperti ini, “Telah menceritakan kepada kami Abî Kuraib yang mengatakan bahwa Yahya bin Adam telah menceritakan kepada saya.” Ia berkata, telah menceritakan kepada kami Isra’il dari Abu ishaq, dan
170
Ibnu Khaldun, Muqadimah, Lajnah al-Bayan al-Arabi, h. 219 Diantara para rawi yang periwayatannya didengar oleh ath-Thabari dan temannya, sehingga ia menggunakan kata haasana, adalah Khalid bin Aslam, Abu Kuraib, Muhammad bin Hammad ar-Razi, Sa’id bin Yahya bin Sa’id al-Amawi, Ubaidillah bin Muhammad al-Gurbani, Ismail bin Musa as-Suda, Ibnu al-Barq, Rabi bin Sulaiman, Muhammad in Marzuq, Muhammad bin al-Musanna, Muhammad bin al-A’la al-San’ani, Umar bin Usman al-Usmani, Yahya bin Dawud al-wasiti, Ahamad bin Abd Ad-Dabbi, Sa’id bin ar-Rabi, dan Muhammad bin Basyir. Adapun para rawi yang didengar oleh ath-Thabari saja, sehingga ia menggunakan kata haasani adalah Ubaidillah bin Asbat, Yunus bin Abd al-A’la, Ahmad bin al-Mansyur, Muhammad bin Abi Mukhallad al-Wasiti, ar-Rabi bin Sulaiman, Abu al-Sa’ib Salim bin Janadah as-Sawa’I, Muhammad bin Hammid ar-Razi, Ya’qub bin Ibrahim, dan Sa’id ar-Rabi. Lihat al-Hufi, athThabari, al-Majelis al-A’la li Asy-Syu’un al-Islamiyyah, Kairo, 1987. 171
95
fulan seorang hamba ath-Thabari berkata, “Aku lupa namanya, dari Sulaiman bin Sarud, dari Abi Ka’ab. Ia berkata, “….”172 Dalam meruntut para rawi, ath-Thabari umumnya menggunakan sighat tahdis (haddasana atau haddasani), suatu lafaz periwayatan yang lebih menyakinkan kepada kita bahwa rawi-rawinya mendengar langsung dari guru yang pernah memberitakannya.173 Lain halnya dengan Ibnu Katsîr, sebagaimana telah diterangkan dalam pembahasan biografi, disamping sebagai ahli tafsir, ia juga sebagai sejarawan. Dalam menafsirkan al-Quran, biasanya seorang sejarawan lebih menonjolkan aspek sejarah daripada tafsirnya itu sendiri atau tidak melakukan penelitian terhadap data sejarah yang dikumpulkannya. Ibnu Katsir ternyata tidak termasuk ke dalam kategori ini. Sebab, disamping sebagai sejarawan, ia pun sebagai ahli hadis yang mengetahui kelemahan dan kekuatan sebuah riwayat. Kedalaman ilmunya sebagai ahli hadis dapat mengendalikannya untuk tidak sekedar mengemukakan sebuah data sejarah, tetapi juga menyertakan informasi kualitasnya. Prinsip itu secara konsisiten diterapkannya dalam mengemukakan Israiliyyat. Ketika mengemukakan Israiliyyat, Ibnu Katsîr memandang dari tiga sudut pandang yang berbeda, yakni:
172
Lihat Ath-Thabari, , Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Quran, (Bairut Dar al-Fiqr), Jilid I,
h.3 173
Dalam ilmu hadis dikenal dua kelompok lafaz bagi para rawi untuk meriwayatkan hadis. Pertama, lafaz yang menunjukkan bahwa para perawinya mendengar langsung dari gurunya, seperti sami’tu sami’na, haasani, dan haasana. Kedua, lafaz yang menunjukkan bahwa para perawinya mungkin mendengar sendiri atau tidak mendengar sendiri dari gurunya, seperti ruwiya, hukiya, an dan anna. Lihat Fathurrahman, Ikhtisar Musthalahu’l Hadis, PT Al-Ma’arif, Bandung, 1987, h. 220-222
96
1. Sudut pandang sanad. Ketika mengemukakan Israiliyyat, ia kerapkali menggunakan istilah nakara (munkar), mukhtakif li an-nash (bertentangan dengan nash), dha’if jiddan (sangat lemah), dan la ashla lah (tidak memiliki sumber) untuk menunjukkan kedha’ifannya.Ia mengemukakan berbagai kelemahan Israiliyyat berdasarkan penelitiannya. Ia mengkritik perawi-perawi yang dianggap memiliki kelemahan-kelemahan tertentu serta memperlihatkan riwayat yang palsu dan lemah. Karena itu ia sering menggunakan istilah nakara (munkar), mukhtakif li an-nash (bertentangan dengan nash), dhaif jiddan (sangat lemah), dan la ashla lah (tidak memiliki sumber) untuk menunjukkan kedha’ifannya. Contohnya ketika menafsirkan sûrah al-A’raf[7] ayat 157 :
“(yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasûl, Nabi ummy yang (namanya) mereka dapati di dalam Taurat dan Injil yang berada disisi mereka. Nabi menyuruh mereka mengerjakan perbuatan ma’ruf dan melarang perbuatan munkar serta menghalalkan bagi mereka segala yang baik.”
97
Ketika menafsirkan ayat itu, Ibnu Katsîr mengutip Israiliyyat yang disampaikan oleh ath-Thabârî, dari al-Mutsanna, dari Usman bin Umar, dari Fulaih, dari Hilal bin Ali, dari Atha bin Yassar, ia berkata: “Aku bertemu dengan Abdullah bin Umar bin Ash dan bertanya kepadanya, “Ceritakanlah olehmu kepadaku tentang sifat Rasûlullah Saw yang diterangkan dalam Taurat.” Ia menjawab, “Tentu, demi Allah, yang diterangkan dalam Taurat sama seperti yang diterangkan dalam al-Quran: Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira, pemberi peringatan, dan pemelihara yang Ummi. Engkau adalah hamba-Ku; namamu dikagumi; Engkau tidak kasar dan tidak keras. Allah tidak akan mencabut nyawamu sebelum agama Islam tegak lurus, yaitu setelah diucapkan tiada Tuhan yang oatut disembah dengan sebenarbenarnya kecuali Allah. Dengan perantaraan engkau pula Allah akan membuka hati yang tertutup, membuka telinga yang tuli, dan membuka mata yang buta.”174
Ibnu Katsîr mengaitkan Israiliiyyat itu dengan pernyataan bahwa Imam Bukhari telah meriwayatkannya dalam kitab Shahih-nya yang diterima dari Muhammad bin Sinan, dari Fulaih, dari Hilal bin Ali dengan tambahan redaksi yang berbunyi, “Dan bagi sahabat-sahabatnya di pasar, Nabi tidak pernah membalas keburukan dengan keburukan, tetapi ia senantiasa mempunyai sifat pemaaf.”175 Keberadaan Israiliyyat itu dalam Sahih al-Bukharî cukup membuktikan bahwa kualitas sanadnya sahih. 2. Sudut pandang persesuaian dengan syari’at Islam. Contoh Israiliyyat dalam tafsir Ibnu Katsîr yang sesuai dengan syariat Islam adalah menjelaskan sifat-sifat Nabi yang pemurah, tidak kasar dan tidak keras.176 Israiliyyat ini sesuai dengan syariat Islam
174
Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, Alam al-Katib, Beirut, 1983, Jilid II, h. 253. Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, Alam al-Katib, Beirut, 1983, Jilid II, h. 253. 176 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, Alam al-Katib, Beirut, 1983, Jilid II, h. 253. 175
98
sebagaimana terdapat pada: Q.S. al-Maidah[5] : 21, Q.S. al-Araf[7] : 187, Q.S. al-Baqarah[2]: 119, dan Q.S. Yusuf[12]: 28. Adapun Israiliyyat dalam tafsir Ibnu Katsîr yang bertentangan dengan syariat Islam dapat dilihat pada contoh berikut: Israiliyyat yang disampaikan oleh Ath-Thabrani, dari Basyîr, dari Yazîd, dari Sa’id, dari Qatadah berkaitan dengan kisah Nabi Sulaiman a.s. yang terdapat pada sûrah Sad ayat 34:
“Dan sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah karena sakit) kemudian ia bertobat.”
Israiliyyat itu menjelaskan bahwa ada seseorang berkata kepada nabi Sulaiman a.s. bahwa di dasar laut terdapat setan yang bernama Syahr al-Maridhah (batu durhaka). Nabi Sulaiman lalu mencarinya dan di sisi laut ternyata ada sebuah sumber mata yang memancar satu kali dalam seminggu. Pancarannya sangat jauh dan sebagiannya berubah menjadi arak. Ia berkata, “Sesungguhnya engkau (arak) adalah minuman yang sangat nikmat hanya saja menyebabkan orang sabar mendapat musibah dan orang bodoh bertambah kebodohannya.” Ia kemudian pulang, tetapi dalam perjalanannya ia merasakan dahaga yang sangat dan kembali ke sumber mata air. Ia meminum air arak hingga hilanglah kesadarannya. Dalam kondisi seperti itu, ia melihat cincinnya dan merasa terhina karenanya. Lalu dilemparlah cincin itu ke laut dan dimakan seekor ikan sehingga hilanglah seluruh kerajaannya karena kekuasaannya terdapat 99
cincinnya itu. Setan lalu datang menyerupainya dan duduk di atas singgasana nabi Sulaiman.177 Israiliyyat itu jelas merupakan cerita palsu yang dibuat-buat. Karena sangat mustahil apabila nabi Sulaiman minum arak yang jelas akan merusak kesehatan dan kesadarannya. Atas kepalsuan itu, Ibnu Katsîr berkomentar demikian, “Pada dasarnya, Israiliyyat ini berasal dari Ibnu Abbas yang diperolehnya dari Ahli Kitab, sedangkan di antara mereka ada yang tidak mempercayai kenabian Sulaiman. Israiliyyat ini jelas munkar. Apalagi Israiliyyat yang menjelaskan tentang istri-istri nabi Sulaiman yang digauli setan. Israiliyyat ini secara panjang lebar telah dipaparkan oleh sekelompok ulama salaf. Seperti Sa’id bin al-Musayyab, Zaid bin Aslam, dan lain-lain. keseluruhannya berasal dari Ahli Kitab.178 3. Sudut pandang materi. Contohnya Israiliyyat yang berhubungan dengan hukum dapat dilihat ketika Ibnu Katsîr menjelaskan sûrah al-Mâidah[5] ayat 13,
“Mereka suka mengubah perkataan Allah dari tempat-tempatnya.” Untuk menjelaskan ayat di atas, Ibnu Katsîr mengutip Israiliyyat yang berasal dari Malik, dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar. Ia mengatakan bahwa orang-orang Yahudi datang kepada Nabi dengan membawa dua orang laki-laki dan seorang wanita yang telah berbuat zina. Nabi bertanya, “Bagaimana tindakan kalian terhadap orang yang telah berbuat zina?” 177 178
Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, Alam al-Katib, Beirut, 1983, Jilid IV, h. 34. Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, Alam al-Katib, Beirut, 1983, Jilid IV, h. 36
100
mereka menjawab, “Kami pukuli dan siram kepalanya dengan air panas.” Nabi bertanya lagi, “Apakah kalian tidak menemukan aturannya dalam Taurat?” mereka menjawab, “Kami tidak menemukannya.” Abdullah bin Salam kemudian membantahnya, “Kalian telah berdusta. Ambil dan bacalah kitab itu jika kalian termasuk orang-orang yang benar.” Ketika membaca ayat tentang rajam, ia berhasil membaca aturan itu. Ia kemudian bertanya kepada mereka, “Ayat tentang apakah ini?” ketika melihatnya, mereka
katakana
bahwa
ayat
itu
bicara
tentang
rajam.
Nabi
memerintahkan keduanya untuk dirajam.179 Uraian di atas telah memperlihatkan sisi perbedaan antara kedua mufassir dalam mengemukakan riwayat Israiliyyat. Namun, keduanya memiliki kesamaan menyangkut tema-tema Israiliyyat yang dikutip mereka. Sebagai tafsir yang sama-sama menggunakan corak bi al-ma’tsur, tidak menutup kemungkinan sebagian besar riwayat Israiliyyat dalam Tafsir Ibnu Katsir diambil dari Tafsir Ath-Thabari, Karena ia (Ibnu Katsîr) ingin menjelaskan israiliyyat yang lalu dari tafsir Ath-Thabari. Oleh karena itu, tidak jarang ditemukan bahwa rangkaian sanad-sanad Israiliyyat dalam Tafsir Ath-Thabari merupakan salah satu rangkaian sanad-sanad riwayat Israiliyyat yang terdapat dalam Tafsir Ibnu Katsir.
C. Pandangan Ulama Dalam Menyikapi Israiliyyat Kata “al-Kitab” dalam al-Quran tidak selamanya berarti al-Quran. Fazlur Rahman menerangkan bahwa kata itu sering digunakan al-Quran bukan
179
Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, Alam al-Katib, Beirut, 1983.
101
untuk menyatakan kitab suci tertentu, tetapi juga untuk menyatakan keseluruhan kitab suci yang telah diturunkan Allah.180 Namun, ketika kata itu berada dalam ungkapan “Ahli Kitab”, dalam konteks al-Quran dan hadis, berarti Yahudi dan Nasrani. Definisi seperti inilah yang baku pada masa Nabi.181 Dalam kaitan ini, Israiliyyat yang bersumber dari Ahli Kitab seharusnya diperlakukan sebagaimana inti ajaran yang datang dari kitab Allah karena kitab Taurat dan Injil yang menjadi pedoman komunitas agama itu juga merupakan kitab Allah. Namun, keharusan itu menjadi hilang ketika banyak keterangan yang menyatakan bahwa kedua kitab itu telah disimpangkan oleh para pengikutnya.182Oleh karena itu, umat Islam berhadapan dengan dua keadaan yang berlawanan. Pada satu sisi mereka dituntut untuk mengimani setiap sesuatu yang berasal dari kitab Allah, tetapi pada sisi yang lain merekapun harus berhati-hati ketika berhadapan dengan Israiliyyat yang berasal dari Ahli Kitab sebab sumber mereka (Taurat dan Injil) yang disinyalir telah mengalami penyimpangan-penyimpangan. Sikap yang tegas terhadap persoalan Israiliyyat diperlihatkan oleh Nabi sendiri, “Janganlah kalian membenarkan Ahli Kitab dan jangan pula mendustakannya.”183 Menurut Manna al-Qaththan, sikap tidak membenarkan
180
Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Quran, terj. Anas Wahyuddin, Pustaka, Bandung,
1980, h.201 181
Lihat uraian Ali Yafie, “Intinya sama: Menentang Islam”, dalam majalah al-Muslimin, nomor 261, tahun XXII, Desember 1991, h. 110-111 182 Keterangan al-Quran tentang perbuatan-perbuatan orang Yahudi yang mengubah kitab sucinya digambarkan secara tegas dalam surat al-Baqarah ayat 75: “……padahal segolongan mereka mendengar firman Allah lalu mengubahnya….” 183 Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Jilid IV, h. 270
102
dan mendustakan Ahli Kitab yang diisyaratkan Nabi di atas berhubungan dengan berita-berita yang memberi kemungkinan benar dan salah.184 Perintah nabi Muhammad Saw untuk tidak membenarkan berita-berita Ahli Kitab sebab dimungkinkan termasuk ajaran Allah yang disimpangkan. Nabi melarang pula mendustakannya sebab dimungkinkan datang dari Allah dan termasuk ajaran Allah yang tidak disimpangkan. Konsekuensinya, bila terdapat keterangan-keterangan yang membenarkan atau mendustakannya, sikap tersebut di atas tidak diperlukan lagi. Penggunaan riwayat Israiliyyat dalam menafsirkan al-Quran perlu dijelaskan tujuannya. Dalam hal ini, Asy-Syarbashi menjelaskan, “Kisah-kisah dalam al-Quran tidak dimaksudkan sebagai uraian sejarah lengkap tentang kehidupan bangsa-bangsa atau pribadi-pribadi tertentu, tetapi sebagai bahan pelajaran umat manusia.”185 Sehubung dengan penggunaan Israiliyyat dalam penafsiran al-Quran, Muhammad Munir Ad-Dimasyqi menetapkan dua standar pokok, yaitu: 1. Tidak boleh menggunakannya untuk menjelaskan bagian-bagian al-Quran yang global apabila terdapat keterangan nabi yang menjelaskan keglobalannya. 2. Bila Israiliyyat tetap akan digunakan, hendaknya bertujuan sebagai pelengkap ( isytisyhad ) atas kebenaran semata.186
184
Manna al-Qaththan, Mabahits fi’Ulum al-Quran, Mansyurat al-Ashr al-Hadis, Mesir,
t.t., h. 354 185
Ahmad Asy-Syarbashi, Qishshat at-Tafsir, Dar al-Qalam, Kairo, h. 55 Muhammad Munir Ad-Dimasyqi, Irsyad Ar-Ragib fi Al-Kasyf Ayy Al-Quran AlMubin, Idarah At-Tiba’ah Al-Muniriyyah, Damaskus, t.t., h. 35. 186
103
Hal senada pun dikemukakan Adz-Zahabi, menurutnya, dalam mensikapi Israiliyyat, para mufassir harus melakukan hal-hal berikut ini187: 1. Bersikap kritis terhadap Israiliyyat. 2. Dalam kondisi apapun, para mufassir tidak diperbolehkan mengambil riwayat Israiliyyat jika sunnah Nabi telah menjelaskan keglobalan alQuran atau kemubhamannya. 3. Para mufassir harus memelihara kaidah yang mengatakan bahwa darurat itu
harus
disesuaikan
dengan
kadar
kebutuhan.
Janganlah
ia
mengemukakan sesuatu pun dari riwayat-riwayat Israiliyyat, dalam kitab tafsirnya meskipun dapat dipercaya kebenarannya, kecuali sekedar kebutuhan untuk menjelaskan keglobalan kisah. Sikap itu sebenarnya telah diisyaratkan oleh al-Quran surat al-Kahfi ayat 22:
”Nanti (ada orang yang akan) mengatakan (jumlah mereka) adalah tiga orang, yang keempatnya adalah anjingnya, dan (yang lain) mengatakan bahwa jumlah mereka adalah lima orang, yang keenamnya adalah anjingnya, sebagai terkaan terhadap sesuatu yang gaib; dan (yang lain lagi) mengatakan bahwa (jumlah mereka tujuh orang, yang kedelapannya adalah anjingnya. Katakanlah, “Tuhanku lebih mengetahui berapa jumlah mereka, tidak ada orang yang mengetahui , (bilangan) mereka kecuali sedikit. Karena itu, janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka kecuali pertengkaran lahir saja dan jangan kamu menyatakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorang pun diantara mereka.” 187
Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabarî dan Tafsir Ibnu Katsîr, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999, Cet I, h. 155.
104
Berdasarkan ayat di atas, Ibnu Taimiyyah memberikan keterangan bahwa Allah memberi kabar tiga pendapat tentang jumlah Ashhabul Kahfi. Dua pendapat pertama dilemahkan, sedangkan pendapat ketiga didiamkan yang berarti menunjukkan akan kebenaran. Jika yang terakhir pun keliru, pasti akan dilemahkan sebagaimana dilakukanNya terhadap dua pendapat pertama. Ia kemudian memberikan syarat bahwa mempermasalahkan jumlah mereka termasuk sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Ia katakan, “Katakanlah bahwa Tuhanku yang paling mengetahui jumlah sebenarnya”. Sebab, tidak ada yang mengetahuinya kecuali sedikit orang saja yang memang mendapat petunjuk dari-Nya. Itu sebabnya pula, Ia berfirman, “ Karena itu, janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka kecuali pertengkaran lahir saja.” Yakni janganlah engkau menyibukkan diri dengan sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Janganlah bertanya tentangnya karena tidak ada yang mengetahuinya kecuali sedikit orang.188
188
Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unnsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 158
105
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari uraian yang penulis paparkan di atas yang terdiri dari beberapa bab terdahulu, dapatlah diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Israiliyyat merupakan kisah-kisah yang berasal dari Ahli Kitab yang menjelaskan nas-nas al-Quran dan Hadis. Israiliyyat dapat berupa kisahkisah atau yang lainnya, serta dapat sejalan dan dapat pula tidak sejalan dengan Islam. Namun perlu diingat pada umumnya Israiliyyat berisi cerita-cerita dan dongeng-dongeng buatan non muslim yang masuk ke dalam Islam. Dan ulama-ulama sepakat bahwa sumber utama Israiliyyat adalah ajaran Yahudi dan Nasrani, sebagaimana tercermin dari kata Israiliyyat itu sendiri. 2. Sejauh ini para pengamat tafsir menempatkan ath-Thabari dan Ibnu Katsir pada posisi yang sama, yaitu mufassir yang menggunakan corak bil ma’tur dalam kitab tafsirnya masing-masing. Namun, ternyata kedua mufassir itu tidak selamanya memiliki kesamaan dalam menafsirkan al-Qur’an. Keduanya memiliki perbedaan jelas ketika mengemukakan Israiliyyat. 3. Perbedaan mengemukakan Israiliyyat antara ath-Thabari dan Ibnu Katsir secara umum terkait dengan motivasi keduanya dalam mengemukakan Israiliyyat. Tujuan ath-Thabari dalam mengemukakan Israiliyyat bukan untuk mengkritik kualitasnya, tetapi hanya untuk mengoleksi data-data
106
sejarah walaupun ia juga melakukan kritikan dalam beberapa riwayat. Sedangkan studi kritisnya terhadap kualitasnya sepenuhnya dipercayakan kepada para pembaca. Lain halnya dengan Ibnu Katsir, pengutipan Israiliyyat dalam kitab tafsirnya tidak sekedar mengumpulkan data sejarah, tetapi lebih jauh ia bertujuan mengkritik kualitasnya meskipun tidak setiap riwayat itu dikritiknya.
B. Saran-Saran 1. Kisah Israiliyyat yang tidak sejalan dengan Islam bila tidak dikomentari atau dikritik merupakan bahaya besar bagi kemurnian ajaran Islam khususnya al-Quran dan hadis. Karena ketidaktahuan masyarakat akan hal ini, akan timbul anggapan bahwa kisah Israiliyyat tersebut sebenarnya merupakan ajaran Islam. Padahal al-Quran terkenal karena kemurniannya dan Allah pun menjaga keasliannya. 2. Tafsir Al-Quran Al-Adzim dan Tafsir Jami’ Al-Bhayaan merupakan kitab tafsir bi al-mastur yang dihinggapi kisah-kisah Israiliyyat. Ini merupakan bukti bahwa kitab tafsir dengan orientasi bi al-matsur, yang menyandarkan periwayatannya kepada perkataan Nabi, sahabat, tabi’in, bukan merupakan jaminan bahwa kitab ini terhindar dari kisah-kisah Israiliyyat sehingga dibutuhkan kritik terhadap semua riwayat yang terkandung di dalamnya.
107
DAFTAR PUSTAKA
Abd Halim Mahmud, Mani, Prof., Dr., Metodologi Tafsir, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2006. Adz-Zahabi, Muhammad Husein, Penyimpangan-Penyimpangan Dalam Menafsirkan Al-Quran, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996. ___________, Tafsîr Wa Al-Mufassirûn, Beirut: Syirkah Dâr al-Arqam bin Abû al-Arqam. ___________, Israiliyyat Dalam Tafsir Hadis, Bogor: PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 1993, Cet. 1. Ali Ash-Shaabuuniy, Muhammad, Prof., Dr., Studi Ilmu Al-Quran, Bandung: CV Pustaka Setia, Cet I. Anwar, Rasihan, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir al-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, Bandung: CV. Pustaka, 1999, Cet. I. Ar-Rifa’I, Muhammad Nasib, Tafsîru Al-Aliyyul Qadîr Lî Ikhtisari Tafsîr Ibnu Katsîr, Muktabah Ma’rif, 1819. Ath-Thabari, Ibnu Jarir, Jâmi’ Al-Bayân Fî Tafsîr Al-Qurân, Beirut: Dâr Al-Fikr, 1988. Bukhari, Abû ‘Abdullah Muhammad bin Ismâ’il bin Ibrâhîm bin al-Mughirah bin bardizbah, Shahîh al-Bukhâri, Beirut: Dâr Al-Fikr. Chirzin, Muhammad, Al-Quran dan Ulûmul Qurân, Yogyakarta: Penerbit Dana Bakti Prima Yasa, 1998. Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999, Cet. I. Hasan Rifa’I, Zainul, “Kisah Israiliyyat dalam penafsiran”, dalam Sukardi K.D (ed), Belajar Mudah ‘Ulum al-Quran;Studi Khazanah al-Quran, Jakarta: Lentera, 2002. Hasbi Ash-Shiddieqy, Prof., Dr., T.M., Ilmu-Ilmu al-Quran Media-Media Pokok Dalam Menafsirkan al-Quran, Jakarta: Bulan Bintang, 1972. Hanafi, A., Segi-Segi Kesusastraan Pada Kisah-Kisah Al-Quran, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1984. 108
Hanbal, Ahmad bin, Musnad, Jilid IV, Beirut: Al-Maktabah Al-‘Ilm Wasar Sadir. Hufi, Ahmad Muhammad Al-, Ath-Thabarî, Kairo: Al-Majlis Al-A’la Lî AsySyu’un Al-Islamiyyah, 1987. Ibrahim, Muhammmad Abu Fadl, Tarîkh Ath-Thabarî, dalam Ath-Thabrî, Tarîkh Ar-Rushul Wa Al-Mulk, Mesir: Dâr Al-Ma’arif, 1960. Ismail, Muhammad Bakr, Ibnu Jarîr Ath-Thabarî Wa Manhajuh Fî At-Tafsîr, Kairo: Dâr al-Manâr, 1991. Karman, M dan Supiana, ‘Ulûmul Qur’an dan Pengenalan Dasar Metodologi, Bandung: Pustaka Islamika. Katsir, Muhammad Ismail Ibn, Tafsîr al-Qurân Al-Azhîm, [t.k.], [t.p.], [t.t.]. ____________, Qişaş Al-Anbiya, Beirut: Dâr Al-Fikr. Katsir, Ibnu, Al-Bidâyah Wa Al-Nihâyah, Beirut: Maktabah al-Ma’Arif, 1966, Cet. I. Khalidi, Shalah Al, Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang-Orang Dahulu, Jakarta: Penerbit Gema Insani Press, 1999. Khalifah, Ibrâhîm Abd.Rahman Muhammad, Dirâsat fî Manahaj Al-Mufassirîn, Kairo: Maktabah Al-Azhariyyah, 1974. Ma’rifat, M.Hadi, Sejarah Al-Quran, Jakarta: Al-Huda, Cet I. Majdid, Nurcholits, Pengaruh Israiliyyat dan Orientalisme Terhadap Islam, dalam Abdurrahman Wahid, et. El., (Ed.), Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1990. Muhammad, Muhammad Abdurrahim, Tafsir Nabawi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2001. Nurdin, H.M. Amin dan Afifi Fauzi Abbas (ed.), Sejarah Pemikiran Dalam Islam, Jakarta: pustaka Antara, 1996. Qardawi, Yusuf, Berinteraksi Dengan Al-Quran, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. I. Qattan, Manna Al, Mahabits Fî ‘Ulûm Al-Qurân, Mesir: Mansyurat Al-Ashr LaHadis, 1973. Ridho, Rasyid, Tafsîr Al-Manâr, Beirut: Dâr Al-Ma’rifah. 109
Shâlih, Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Quran, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996, Cet. I Sharbasi, Ahmad, Qissat At-Tafsîr, Beirut: Dâr Al-Qalâm, 1962. Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyrakat, Bandung: Mizan, 1992, Cet. I. Suma, Muhammad Amin, Prof., Dr., MA., SH., H., Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran (I), Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000. Syakir, Ahmad Muhammad, Umdah Al-Tafsîr, Juz I, Mesir: Dâr Al-Ma’rif, 1956 Syuhbah, Muhammad bin Muhammad Abu, Al-Israiliyyat Wa Al-Maudhu’at Fî Kutub At-Tafsir, Kairo: Maktabah al-Sunnah, 407H. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, Cet. I Ushama, Thameem, Metodologi Tafsir Al-Quran, Kajian Kritis, Objektif dan Komprehensif, Jakarta: Penerbit Riora Cipta. Warson, Munawwir Ahmad, Kamus Al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, Cet. 14. Zamakhsari, Al-Kasysyaf, Beirut: Dâr Al-Fikr.
110