1
ISLAM SONTOLOYO: Membaca Kembali Pandangan Keislaman Soekarno Oleh Taufani
[email protected]
Pendahuluan Tulisan ini dilatarbelakangi oleh adanya pandangan yang menyatakan bahwa Soekarno adalah seorang tokoh yang kurang simpatik terhadap Islam. Sejauh ini, wacana kesejarahan Indonesia memang lebih banyak menonjolkan citra Soekarno sebagai seorang tokoh nasionalis sejati dibandingkan sebagai tokoh agamis. Stigma anti Islam muncul pada Soekarno karena di masa hidupnya, ia dikenal sebagai seorang tokoh yang gigih memperjuangkan pemisahan antara agama (Islam) dan negara. Jauh sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, Soekarno telah banyak terlibat dalam polemik mengenai hubungan Islam dan negara, khususnya dengan kalangan Islam politik. Islam politik yang dimaksud disini ialah suatu individu atau kelompok yang memiliki pandangan dan orientasi untuk memformalisasi Islam dalam bentuk negara. Kalangan Islam politik sering juga disebut sebagai kalangan nasionalis-Islam, rival dari kalangan nasionalis-sekuler (netral agama) di mana Soekarno menjadi salah satu bagian di dalamnya. Pada intinya, kalangan nasionalis-sekuler, yang diwakili oleh Soekarno yang terdiri atas penganut Islam dan juga penganut agama lain, berpendapat bahwa nasionalisme harus menjadi landasan dan penggerak utama bagi rakyat untuk mencapai kemerdekaan. Nasionalisme menurut Soekarno, merupakan perwujudan rasa cinta pada tanah air dan kesediaan untuk meninggalkan kepentingan sempit demi mewujudkan kepentingan bangsa. Oleh karena itu, untuk mempersatukan rakyat Indonesia secara efektif, maka nasionalisme menjadi suatu keharusan yang tak bisa
2
dielakkan. 1 Kalangan nasionalis-sekuler berpendapat bahwa menjadikan Indonesia sebagai negara Islam sama saja dengan merendahkan umat beragama lain dan menjadikannya sebagai warga kelas dua. 2 Kalangan nasionalis-Islam yang diwakili oleh Ahmad Hassan, Agus Salim, M. Natsir, dll mengkritik balik konsep nasionalisme Soekarno karena dianggap sebagai bentuk chaunivisme yang mendukung semangat tribalisme (‘ashabiyah), sesuatu yang sangat dilarang dalam Islam. Mereka juga mengkritik gagasan nasionalisme Soekarno karena dianggap mereduksi peran agama dalam ranah publik. Sebagai gantinya, mereka mengajukan pentingnya penegakan prinsip-prinsip Islam untuk memayungi nasionalisme. 3 Namun, Soekarno mengkritik balik para kalangan nasionalis-Islam tersebut dengan argumen bahwa nasionalisme tak mesti harus dipayungi dengan Islam. Ia tetap konsisten pada konsep pemisahan agama dan negara. Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang, akhirnya pada tanggal 18 Agustus 1945 dicapai kesepakatan bahwa Indonesia bukanlah negara agama dan bukan pula negara sekuler, melainkan negara yang berdasarkan Pancasila. Setelah
“kalah”
oleh
kalangan
nasionalis-sekuler
pada
masa
awal
kemerdekaan, kalangan nasionalis-Islam kembali memperjuangkan gagasan mereka pada sidang Konstituante di tahun 1959. Namun, kaum nasionalis-sekuler tetap konsisten pada pendiriannya untuk tidak mengubah bentuk negara Indonesia sebagaimana yang telah disepakati pada awal kemerdekaan.
1
M.Syafi’i Anwar, “Gerakan Muslim Modernis: Pergumulan Wacana dan Politik Pasca OrdeBaru”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (eds), Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, (Cet.1., Jakarta: Mizan dan Yayasan festival Istiqlal, 2006), h. 759. 2
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, (Cet. IV., Jakarta: Dian Rakyat-Paramadina, 2010), h. 4. 3
M.Syafi’i Anwar, “Gerakan Muslim Modernis: Pergumulan Wacana dan Politik Pasca OrdeBaru”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (eds), Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, h. 759-760.
3
Pada tahun 1960 tepatnya di masa Demokrasi Terpimpin, Soekarno akhirnya mengeluarkan kebijakan kontroversial untuk membubarkan Masyumi, salah satu partai Islam terbesar yang menjadi gerbong politik kalangan nasionalis-Islam pada waktu itu. Pembubaran Masyumi dilakukan oleh Soekarno karena beberapa anggotanya, seperti Natsir, Syarifuddin Prawinegara, dan Burhanuddin Harahap bergabung ke dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang di mata Soekarno adalah sebuah gerakan pemberontakan yang menjadi sekutu utama para pemberontak yang berbendera Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Peristiwa tersebut kemudian menjadi puncak perseteruan antara Soekarno dengan kalangan nasionalis-Islam, sehingga memunculkan pandangan bahwa Soekarno adalah sosok yang kurang simpatik terhadap Islam. Tulisan ini hadir untuk menjawab pertanyaan berikut ini: (1) Bagaimana pandangan keislaman Soekarno? (2) Bagaimana proses persentuhan Soekarno dengan Islam? Untuk menjawab pertanyaan di atas, penulis berupaya mencari beberapa referensi yang menyinggung tentang Soekarno dan juga referensi yang membahas tentang kondisi sosio-kultural-politik yang melingkupi Soekarno ketika melontarkan pemikirannya. Untuk lebih memperkuat, penulis menelusuri langsung pemikiran Soekarno tentang Islam yang tertuang dalam beberapa tulisannya di media cetak yang umumnya diterbitkan sebelum masa kemerdekaan Indonesia, yang di kemudian hari, tulisan-tulisan tersebut diabadikan menjadi buku yang berjudul “Di Bawah Bendera Revolusi”. Oleh karena itu, pandangan keislaman Soekarno yang dipotret dalam tulisan ini lebih banyak dititikberatkan pada pandangan seorang Soekarno muda.
4
Persentuhan Soekarno dengan Islam Soekarno yang sering dikenal sebagai putra sang fajar adalah salah satu figur penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Soekarno bersama Bung Hatta adalah
dua
sosok
penting
yang
berani
mengambil
keputusan
untuk
mengumandangkan proklamasi kemerdekaan Inndonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Dengan proklamasi tersebut, akhirnya Indonesia diakui sebagai negara merdeka dan berdaulat di mata bangsa lain. Soekarno adalah presiden Republik Indonesia pertama yang dilahirkan di Surabaya pada tanggal 6 Juni 1901. Soekarno berasal dari latar belakang seorang ayah yang bernama Raden Sukemi Sosrodiharjo dari Blitar, Jawa Timur dan seorang ibu yang bernama Ida Nyoman Rai, seorang penganut agama Hindu yang berasal dari Bali. Adanya keragaman identitas yang dimiliki oleh keluarga Soekarno, secara tidak langsung telah membentuk watak eklektiknya. Soekarno adalah seorang yang sangat beruntung karena ia berhasil menempuh pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi dan hal itu menjadi suatu pencapaian yang sangat hebat pada zamannya. Pada awalnya, Soekarno menempuh pendidikan di Volkschool (Sekolah Rakyat), Standard School, Europeesche Largere School di Sidoarjo, Jawa Timur. Setelah itu, ia melanjutkan studinya di HBS Surabaya pada tahun 1915. Lima tahun kemudian, Soekarno melanjutkan studinya di THS (Sekolah Tinggi Teknik) di Bandung dengan mendapatkan gelar insinyur. Ketika menempuh pendidikan di HBS Surabaya, Soekarno tinggal di rumah Cokroaminoto yang dikenal sebagai tokoh politikus, pemikir, dan tokoh pergerakan yang hebat pada zamannya. Di rumah Cokro, Soekarno banyak belajar tentang pemikiran marxisme melalui buku-buku yang tidak henti-hentinya disodorkan oleh
5
Cokro. 4 Sebagai anak didik kesayangan Cokro, Soekarno kerap diajak Cokro untuk bersafari politik. 5 Dapat dikatakan bahwa Cokro adalah salah satu tokoh penting, untuk tidak mengatakan “guru kehidupan” yang banyak membentuk pandangan visioner Soekarno, tanpa menafikan peranan dari para tokoh pergerakan kemerdekaan lainnya. Soekarno mengungkapkan pujiannya pada Cokro: “Tuhan amatlah bermurah hati kepada saya. Pada waktu aku masih muda, diberikan-Nya kepadaku pemimpin-pemimpin yang utama: Cokroaminoto, Cipto Mangunkusumo, Ahmad Dahlan, E.F.E. Douwes Dekker (kemudian berganti nama Setiabudy), Sneevliet, dan lain-lain, Semua mereka itu menanamkan pengaruh yang dalam pada jiwa saya yang dahaga. Terutama sekali Cokroaminoto termasuk salah satu guru saya yang amat saya hormati. Kepribadiannya menarik saya, dan Islamismenya menarik saya pula, oleh karena tidak sempit.” 6
Ketika tinggal di rumah Cokro, Soekarno sering bertemu dengan berbagai tokoh nasional, di antaranya adalah Alimin dan Muso, dua tokoh penganut komunisme. Di mata Soekarno, keduanya adalah guru yang sangat ia hormati. Di rumah Cokro pulalah, Soekarno mulai mengenal dan menyukai pemikiran Islam dari berbagai diskusi keagamaan yang sering dilakukan Cokro beserta rekan-rekannya. Rumah Cokro pada zamannya dikenal sebagai rumah yang terbuka dengan berbagai macam ideologi. Di rumah itu, setiap orang dapat belajar dan berdikusi tentang berbagai ideologi secara bebas dan terbuka. Ketika tinggal di Surabaya, Soekarno sering mengikuti ceramah yang dibawakan oleh Kiai Ahmad Dahlan selaku pendiri Muhammadiyah. Ahmad Dahlan sering berkunjung ke Surabaya untuk berceramah atas undangan dari Cokro yang merupakan teman baiknya. Ketika Ahmad Dahlan berkunjung ke Surabaya, Soekarno
4
Sulaiman Effendi, Tokoh-Tokoh Dunia yang Mempengaruhi Pemikiran Bung Karno, (Jogjakarta: Palapa, 2014), h. 66. 5
Sulaiman Effendi, Tokoh-Tokoh Dunia yang Mempengaruhi Pemikiran Bung Karno, h. 67.
6
Syamsul Kurniawan. Pendidikan Di Mata Soekarno: Modernisasi Pendidikan Islam dalam Pemikiran Soekarno. (Cet. I., Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), h.60.
6
hampir tidak pernah melewatkan safari dakwah yang dilakukan Ahmad Dahlan. Dari Ahmad Dahlan, Soekarno banyak belajar tentang wacana pembaharuan Islam. Sebelum tinggal di rumah Cokroaminoto, Soekarno lebih dikenal sebagai orang yang awam dalam pengetahuan keislaman. Di masa kecilnya, Soekarno tak pernah mendapatkan pendidikan agama secara formal maupun informal karena latar belakang keagamaan keluarganya lebih ke arah kejawen. Salah satu fase penting ketertarikan Soekarno pada agama dan kepercayaan adalah pada tahun 1926 di mana ia menulis: “Tahun 1926 adalah tahun di mana aku memperoleh kematangan…dalam kepercayaan. Aku beranjak berpikir dan berbicara tentang Tuhan. Sekalipun di negeri kami sebagian terbesar rakyatnya beragama Islam, namun konsepku tidak disandarkan semata-mata kepada Tuhannya orang Islam. Pada waktu aku melangkah ragu memulai permulaan jalan yang menuju kepada kepercayaan, aku tidak melihat Yang Maha Kuasa sebagai Tuhan kepunyaan perseorangan. Menurut jalan pikiranku, maka kemerdekaan seseorang meliputi juga kemerdekaan beragama.” 7
Ketika dipenjara di Bandung, ketertarikan Soekarno pada Islam menjadi semakin meningkat. Hal tersebut terjadi karena di dalam penjara Soekarno dilarang membaca buku-buku yang berbau politik. Sebagai gantinya, Soekarno memilih untuk membaca buku-buku Islam dan hal ini membuatnya semakin mencintai Islam. Gairah Soekarno untuk mempelajari Islam secara serius mencapai puncaknya ketika ia dibuang ke Ende pada tahun 1933. Di tempat itulah, Soekarno menemukan minatnya untuk mempelajari Islam secara intensif dari buku-buku yang ditulis oleh para intelektual yang konsen pada kajian Islam. Soekarno dikenal sebagai pencinta buku. Kebiasaannya membaca buku telah ia lakukan sejak tinggal di rumah Cokro di Surabaya. Di rumah Cokro sebagaimana yang dikutip dari Soyomukti 8, Soekarno melahap habis buku-buku yang memuat 7
Dikutip dari Nurani Soyomukti, Soekarno dan Nasakom, (Yogyakarta: Garasi, 2008), h. 202.
8
Baca Nurani Soyomukti, Soekarno dan Nasakom, h. 72.
7
tentang pemikiran tokoh dunia, seperti Thomas Jefferson, George Washington, Paul Rivere, Abraham Lincoln. Soekarno juga melahap habis buku-buku yang ditulis oleh tokoh-tokoh gerakan buruh Inggris, seperti Gladstone, Sidney, dan Beatrice Webb; Mazzini, Cavour, dan Garibaldi dari Italia, dan juga Otto Bauer dan Adler dari Austria. Soekarno juga menghabiskan waktunya mengenali lebih dalam pemikiran tokoh-tokoh besar dunia, seperti Karl Marx, Frederick Engels, Lenin, Danton, Rousseau, Aristide Briand, dan Jean Jaures yang di kemudian hari sangat mempengaruhi pandangan politik Soekarno. Ketika dibuang di Ende, Soekarno sering bersurat dengan temannya yang bernama A.Hassan, seorang guru Persatuan Islam (Persis) yang juga menjadi pengurus Muhammadiyah. Surat tersebut di kemudian hari dinamakan “Surat-surat Islam dari Ende” di dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi dan sering dianggap sebagai pemikiran sah Soekarno tentang Islam. Di surat tersebut, Soekarno meminta agar teman dan saudaranya mengirimkan padanya buku-buku, seperti Pengajaran Shalat, Utusan Wahabi, Al-Muchtar, Debat Talqien, Al Burhan, Al Djawahir, Buku Kumpulan Hadis Bukhari dan Muslim, dan beberapa buku yang ditulis oleh para intelektual Islam modern, salah satunya adalah Spirit of Islam karya Ameer Ali. Di Ende, Soekarno juga menghabiskan waktunya belajar tentang Islam dengan melahap berbagai brosur dan buku yang diterbitkan oleh organisasi pergerakan Islam, seperti Muhammadiyah, Persis, dan Ahmadiyah. Ia juga belajar tentang Islam dengan membaca buku-buku yang berasal dari India, Mesir, Inggris, Jerman, dan juga membaca buku tafsir berbahasa Belanda dan Inggris. Untuk lebih memperkaya pandangannya, Soekarno kerap membaca karya-karya para orientalis, seperti karya Snouck Hurgronje, Arcken, Dozy Hartman, dll. 9 Di zaman Soekarno,
9
Soekarno, Di bawah Bendera Revolusi, (Djilid I., Jakarta: Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1959), h. 346.
8
proses penguatan dan pemerkayaan pada pengetahuan Islam melalui sumber-sumber Barat adalah hal yang biasa dan lumrah dilakukan oleh para tokoh pergerakan. 10 Soekarno pun sangat mengagumi pemikiran tokoh-tokoh Islam modern, seperti Ameer Ali dan tokoh-tokoh pembaharu dari Mesir, seperti Jamaluddin alAfghani dan Muhammad Abduh. Ia juga sangat mengagumi pemikiran tokoh Ahmadiyah, seperti Mohammad Ali dan Kwadja Kamaluddin. Soekarno mengaku mendapatkan banyak faedah dari membaca buah pikiran dari tokoh-tokoh tersebut. Meskipun
Soekarno
berdecak
kagum
pada
pemikiran
tokoh-tokoh
Ahmadiyah, namun ia tetap mengkritisi doktrin Ahmadiyah yang tak sejalan dengan pandangan keislaman yang ia yakini. Dalam sebuah artikel yang ditulis pada tanggal 25 November 1936 yang berjudul “Tidak Percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi”, Soekarno menyatakan ketidaksetujuannya bila sosok Mirza Ghulam Ahmad dianggap sebagai seorang nabi dan mujaddid sebagaimana yang selama ini banyak diyakini oleh kaum Ahmadiyah 11. Meskipun demikian, Soekarno tetap menaruh respek dan kagum pada pemikiran para intelektual Ahmadiyah karena corak pemikiran Islam yang mereka bawa cenderung sangat rasional, berwawasan luas, dan menjunjung tinggi kemodernan. 12
Islam Sontoloyo Islam Sontoloyo 13 adalah judul sebuah tulisan yang dituliskan oleh Soekarno pada tahun 1940 di majalah Panji Islam. Tulisan tersebut adalah sebuah gugatan 10
Al Makin, Keragaman dan Perbedaan: Budaya dan Agama dalam Lintasan Sejarah Manusia (Cet.I., Yogyakarta: SUKA-Press, 2016), h. 244-245. 11
Soekarno, Di bawah Bendera Revolusi, h. 345.
12
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, h. 346
13
Baca Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, h. 493.
9
Soekarno atas perilaku pemeluk Islam, mulai dari ulama hingga jemaah yang memandang Islam hanya sebagai sebuah kumpulan fikih semata, namun minus etika. Dalam tulisan tersebut, Soekarno menceritakan tentang perilaku seorang guru agama yang mencabuli muridnya yang masih gadis kecil. Tulisan tersebut merupakan respon terhadap pemberitaan yang ia baca di surat kabar Pemandangan. Alkisah, seorang guru agama menceritakan pada muridnya bahwa ia pernah beraudiensi langsung dengan Nabi Muhammad SAW, murid-muridnya kemudian diajarkan cara untuk bertemu Allah setiap malam Jumat. Para murid diajak untuk berzikir dari maghrib hingga subuh. Namun sebelum melakukan itu, mereka diminta untuk mengucapkan “saya muridnya kiai anu (nama kiyai itu).” Dengan mengucapkan itu, maka Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka. Setiap murid perempuan, sekalipun dia masih anak-anak, wajib menutup mukanya. Dalam pengajian tersebut, murid laki-laki dan perempuan dipisahkan. Laki-laki tinggal di dalam langgar, sedangkan perempuan ditaruh di dalam rumah si kiai. Si kiai lalu memulai pengajarannya dari bab “perempuan itu boleh disedekahi”. Akan tetapi, karena perempuan tak boleh dilihat oleh laki-laki, kecuali suaminya, maka mereka diwajibkan menutup wajah. Agar murid-murid perempuan tersebut dapat bertatap muka dan diajar oleh si kiai, maka mereka harus “dimahram dahulu”. Artinya, perempuan itu harus dinikahi olehnya terlebih dahulu. Maka, yang jadi kiainya ia juga, sekaligus juga jadi pengantinnya Kalau seorang murid lelaki memiliki istri yang juga menjadi murid si kiai, maka perempuan tersebut harus ditalak tiga oleh suaminya. Seketika, perempuan itu dinikahkan lagi dengan kawan muridnya juga, kemudian ditalak lagi, sehingga tiga laki-laki secara berturut-turut dinikahkan sekaligus diceraikan lagi. Keempat kalinya baru dinikahi oleh kiai itu sendiri. Kalau perempuannya masih gadis atau janda, maka mereka langsung dinikahi oleh si kiai. Soekarno menyebut kelakuan kiai tersebut layaknya “dajal”. Dengan
10
demikian, tiap-tiap istri yang menjadi muridnya, di mata mereka, merupakan istri daripada dajal itu sendiri. Lebih lanjut, seorang gadis yang telah dipikat oleh guru itu dimasukkan ke dalam satu bilik, dan disitulah kehormatannya dirusak. Halal, sah, karena telah diperistri. Soekarno lanjut menulis, bahwa bila reportase dari berita Pemandangan itu benar, maka ini layak disebut sebagai Islam Sontoloyo! Soekarno menganalogikan bahwa praktik Islam Sontoloyo yang dilakukan oleh mereka yang senang mempermainkan agama dengan balutan baju fikih ibarat orang yang main kikebu atau kucing-kucingan dengan Tuhan. Dengan kata lain, mereka dapat disebut sebagai orang yang hendak meng-abu-i mata Tuhan. Dengan menulis artikel tersebut, Soekarno ingin menegaskan bahwa ajaran Islam tidaklah sesempit apa yang diajarkan dalam fikih. Fikih bukanlah satu-satunya tiang dalam beragama, justru tiang agama yang sesungguhnya, menurut Soekarno, adalah ketundukan jiwa kepada Tuhan. Tentu yang dikritik Soekarno di sini bukanlah fikih ibadah yang membahas tentang pokok dan rincian dalam beribadah, seperti salat, puasa, dan sebagainya yang telah bersifat final, melainkan fikih yang terkait dengan kehidupan sosial (fikih muamalah) yang dalam batas tertentu masih dapat ditafsirkan kembali sesuai dengan tuntutan zaman. Di mata Soekarno, ketika fikih selalu dijadikan sebagai satu-satunya landasan dalam berbagai aktivitas, maka suatu masyarakat tidak akan maju. “Masyarakat yang demikian itu akan menjadi masyarakat mati, masyarakat bangkai, masyarakat yang bukan masyarakat,” begitu kata Soekarno. 14 Dikatakan demikian, karena fikih merupakan produk pemikiran ulama di masa lalu untuk merespon permasalahan partikular yang dihadapi oleh masyarakat pada zamannya. Menyamakan konteks yang dihadapi oleh ulama dan masyarakat di masa lalu dengan apa yang dialami oleh masyarakat di zaman modern tentu tidaklah fair, karena setiap zaman memiliki
14
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, h. 495.
11
tingkat kompleksitas yang berbeda. Pengingkaran terhadap konteks hanya akan membuat ajaran Islam menjadi tidak kontekstual dan ahistoris. Soekarno menampik bahwa dirinya adalah pembenci fikih. Ia tak memungkiri bahwa fikih adalah salah satu aspek penting dalam mengatur kehidupan masyarakat karena di dalamnya banyak memuat hal yang bersifat legal-formal. Soekarno tak memungkiri bahwa suatu masyarakat yang hidup tanpa aturan baku tentu tidak akan dapat bertahan dengan baik. Yang Soekarno kritik adalah sikap pemutlakan terhadap fikih yang dapat berujung pada munculnya sikap jumud dan kolot, sehingga mengingkari sisi progresifitas ajaran Islam. Untuk memperkuat argumen kritiknya pada praktik kejumudan yang terjadi pada tubuh umat Islam, Soekarno mengutip salah satu pendapat pemikir Islam yang menjadi idolanya, yakni Kwadja Kamaluddin dalam salah satu artikelnya: “Kita hanya ngobrol tentang sembahyang dan puasa, dan kita sudah mengira bahwa kita sudah melakukan agama. Khatib-khatib membuat khotbah tentang rahasiarahasianya surga dan neraka, atau mereka mengajar kita betapa caranya mengambil air wudu’ atau rukun-rukun yang lain, dan itu sudahlah dianggap cukup buat mengerjakan agama. 15 …Alangkah baik kita disampingnya fikih itu mempelajari juga dengan sungguhsungguh etiknya Qur’an... Alangkah baiknya pula kita meninjau sejarah yang telah lampau, mempelajari, sejarah itu, melihat dimana letaknya garis menaik dan dimana letaknya garis-menurun dari masyarakat Islam…” 16
Di sisi lain, Soekarno menulis bahwa: “Cobalah kita mengambil satu contoh. Islam melarang kita memakan babi. Islam juga melarang kita menghina kepada si miskin, memakan haknya anak yatim, memfitnah orang lain, menyekutukan Tuhan yang Esa itu. Malahan yang belakangan ini dikatakan dosa yang terbesar, dosa datuknya dosa. Tetapi apa yang kita lihat? Coba tuan menghina si miskin, makan haknya anak yatim, memfitnah orang lain, musyrik di dalam tuan punya pikiran dan perbuatan –maka tidak banyak orang yang menunjuk kepada tuan dengan jari seraya berkata: tuan menyalahi Islam. Tetapi coba 15
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, h. 496.
16
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, h. 498.
12
tuan makan daging babi, walau hanya sebesar biji asampun dan seluruh dunia akan mengatakan tuan orang kafir! Inilah gambaran jiwa Islam sekarang ini: terlalu mementingkan kulit saja, tidak mementingkan isi.” 17
Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa Soekarno lebih banyak memahami ajaran Islam dari segi yang substantif ketimbang sebagai ajaran yang bersifat legalformal. Oleh karena itu, Soekarno dapat digolongkan dalam tipologi pemikir Islam substansialis bila meminjam kategorisasi yang dilakukan oleh Azyumardi Azra. 18 Islam substansialis pada dasarnya lebih mementingkan isi dan kualitas dibandingkan simbol-simbol eksplisit yang berkaitan dengan agama. Tipologi ini juga lebih menekankan pada penerapan dan pengembangan nilai-nilai Islam secara implisit dan juga penghayatan keagamaan yang inklusif, toleran, dan menghargai keragaman. 19
Islam is Progress Selain dikenal sebagai pemikir Islam substansialis, Soekarno juga dikenal sebagai pemikir Islam yang rasional. Bagi Soekarno, Islam merupakan sebuah agama yang rasional dan fleksibel terhadap berbagai kondisi dan tempat. Benih-benih Islam rasional yang dimiliki oleh Soekarno tak lepas dari persinggungan dirinya dengan tradisi high Islam yang bersifat rasional-filosofis, yang ia dapatkan dari proses perenungan dan petualangan intelektual, khususnya selama masa pembuangan di Ende. Di samping itu, benih-benih Islam rasional yang dimiliki Soekarno juga lahir
17
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, h. 497
18
Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 9. 19
Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, h. 9.
13
dari persentuhannya dengan tradisi pemikiran Barat yang rasional yang ia peroleh ketika tinggal di rumah Cokro. Dalam masa pembuangan di Ende, Soekarno sering menghabiskan waktu mempelajari Islam secara serius dari berbagai karya para intelektual muslim maupun non-muslim. Di kala senggang, Soekarno sering mengisi waktu berdiskusi dan saling bertukar kabar dengan kawannya A. Hassan, seorang guru Persatuan Islam (Persis) yang juga pengurus Muhammadiyah, dalam sebuah korespondensi yang kemudian dinamakan ”Surat-surat Islam dari Ende” yang direkam dengan baik dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi. Surat-surat tersebut sering dianggap sebagai pemikiran sah Soekarno tentang Islam. Selain berdikusi dengan A.Hassan, Soekarno juga sering menghabiskan masa senggangnya berdikusi tentang Islam dengan beberapa tamu yang sering berkunjung ke rumahnya di Ende, yang diantaranya adalah kalangan agamawan. Namun, Soekarno merasa belum pernah puas terhadap pendapat kalangan agamawan tersebut, karena di matanya, mereka cenderung sangat kolot dan terlalu menyandarkan segala pendapatnya hanya pada fikih. Soekarno kerap mengkritik kecenderungan pemutlakan terhadap fikih pada umat Islam karena dianggap dapat menjerumuskan mereka pada taklid. Menurutnya, akal hendaknya difungsikan secara maksimal sebagai alat untuk berpikir dan merenung. Bila ia tak dimanfaatkan secara maksimal, maka umat Islam akan terperangkap dalam taklid, yang di mata Soekarno, merupakan penyebab utama mundurnya Islam. Menurutnya, “Semenjak ada aturan taqlid, disitulah kemunduran Islam cepat sekali. Tak heran! Dimana jenius dirantai, dimana akal pikiran diterungku, disitulah datang kematian.” 20
20
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, h. 332.
14
Pernyataan yang dikatakan oleh Soekarno di atas tampaknya memiliki keterkaitan -untuk tidak mengatakan- sangat dipengaruhi oleh pemikiran dua tokoh pembaharu modern dari Mesir (yang juga banyak mempengaruhi pemikiran mentornya, Ahmad Dahlan), yakni Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, yang pemikirannya sangat populer di masa hidup Soekarno. Dalam pandangan Afghani dan Abduh, penyebab mundurnya umat Islam adalah karena merajalelanya kejumudan (stagnasi) dan juga taklid (imitasi buta) terhadap otoritas keagamaan tanpa disertai sikap kritis. 21 Agar dapat terbebas dari kemunduran tersebut, Afghani dan Abduh menawarkan solusi, yakni menghidupkan kembali fungsi kerja akal dalam memaknai kembali teks keagamaan, mengadopsi ilmu pengetahuan modern, serta menjembatani jurang historis dan modernitas agar ajaran Islam dapat sejalan dengan perkembangan kehidupan modern. 22 Dalam “Surat-surat Islam dari Ende” dikisahkan bahwa suatu hari Soekarno dikunjungi oleh seorang guru pesantren dari Jakarta yang dianggapnya kolot dan juga seorang pemuda yang berasal dari Banyuwangi. Mereka semuanya terlibat dalam sebuah diskusi yang hangat. Sontak, sang pemuda bertanya: bagaimana cara meraih kembali zaman kejayaan Islam? Soekarno dengan singkat menjawab: “…”Islam harus berani mengejar zaman.” Bukan seratus tahun, tetapi seribu tahun Islam ketinggalan zaman. Kalau Islam tidak cukup kemampuan buat “mengejar” seribu tahun itu, niscaya ia akan tetap hina dan mesum. Bukan kembali kepada Islamglory yang dulu, bukan kembali kepada “zaman khalifah”, tetapi lari kemuka, lari mengejar zaman, -itulah satu-satunya jalan buat menjadi gilang-gemilang kembali. Kenapa toh kita selamanya dapat ajaran, bahwa kita harus mengkopi “zaman khalifah” yang dulu-dulu? Sekarang toh tahun 1936, dan bukan tahun 700 atau 800 atau 900? Masyarakat toh bukan satu gerobak yang boleh kita “kembalikan” semaumau kita? Masyarakat minta maju, maju ke depan, maju kemuka, maju ketingkat yang “kemudian”, dan tak mau disuruh “kembali”! Mengapa kita musti kembali ke zaman ‘kebesaran Islam’ yang dulu-dulu? Hukum Syariat? Lupakah kita, bahwa hukum Syari’at itu bukan hanya haram, makruh, 21
John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern (Jilid 5), (Cet.1., Bandung: Mizan, 2001), h. 106. 22
John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern (Jilid 5), h. 106-107.
15
sunnah, dan fardlu saja? Lupakah kita, bahwa masih ada juga barang ‘mubah’ atau ‘jaiz’. Alangkah baiknya, kalau umat Islam lebih ingat pula kepada apa yang mubah atau jaiz ini? Alangkah baiknya, kalau ia ingat, bahwa ia di dalam urusan dunia, di dalam urusan statesmanship ‘boleh berqias, boleh berbid’ah, boleh membuang caracara dulu, boleh mengambil cara-cara baru, boleh beradio, boleh berkapal udara, boleh berlistrik, boleh bermodern, boleh berhyper-hyper modern’, asal tidak nyata di hukum haram atau makruh oleh Allah dan Rasul! Adalah suatu perjuangan yang paling berfaedah bagi ummat Islam, yakni berjuang menentang kekolotan. Kalau Islam sudah bisa berjuang mengalahkan kekolotan itu, barulah ia bisa lari secepat kilat mengejar zaman yang seribu tahun jaraknya ke muka itu. Perjuangan menghantam ortodoxie ke belakang, mengejar jaman ke muka –perjuangan inilah yang Kemal Ataturk maksudkan, tatkala ia berkata, bahwa ‘Islam tidak menyuruh orang duduk termenung sehari-hari di dalam masjid memutarkan tasbih, tetapi Islam adalah perjuangan’, Islam is progress. Islam itu kemajuan!” 23
Tumbuhnya kekolotan dan kejumudan dalam tubuh umat Islam di zaman Soekarno tak bisa dipisahkan dari beberapa faktor. Pertama, mendarah dagingnya tradisi feodalisme, akibatnya umat Islam pada umumnya tidak memiliki keberanian untuk mendobrak pandangan keagamaan -yang oleh para ulama- telah dianggap sebagai sesuatu yang mapan. Kedua, sisa-sisa budaya agraris yang masih memasrahkan nasib pada alam, cenderung membuat umat Islam tidak berpikir progresif, sehingga mereka tak kunjung keluar dari kungkungan kekolotan dan kejumudan. Ketiga, umat Islam pada umumnya masih terperangkap dalam paradigma Islam yang tekstual-normatif, sehingga mereka hanya mengandalkan hasrat untuk taklid kepada seseorang yang dianggap paham agama, meski belum teruji secara faktual. Keempat, krisis sosial-politik akibat penjajahan juga ikut berkontribusi terhadap menguatnya kekolotan dan kejumudan pada tubuh umat Islam. Pada masa penjajahan, kebanyakan umat Islam disibukkan dalam perjuangan kemerdekaan, sehingga mereka tak memiliki waktu yang cukup banyak untuk memperdalam ilmu. Akibatnya, umat Islam menjadi umat yang tertinggal dan tak memiliki pandangan yang kaya dan komprehensif, baik dalam ilmu agama maupun dalam ilmu umum. Untuk memutus mata rantai kekolotan dan kejumudan tersebut, Soekarno hadir menawarkan Islam yang bercorak rasional yang menekankan pada pentingnya 23
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, h. 334.
16
penggunaan akal dan keterbukaan pada kemodernan yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Untuk itulah, penggunaan dan penguasaan pada IPTEK menjadi urgen dilakukan, agar umat Islam dapat menyingkap setiap tabir yang tersembunyi di balik ajaran agama. Untuk itulah, dalam salah satu “Surat Ende” tertanggal 26 Maret 1935, Soekarno menuliskan bahwa: “Menurut keyakinan saya, tak cukuplah orang menafsirkan mi’raj itu dengan percaya saja, yakni dengan mengecualikan keterangan ‘akal’. Padahal keterangan rasionalistis di sini ada. Siapa sedikit kenal ilmu physchologi dan para-physchologi, ia bisa mengasih keterangan yang rasionalistis itu. Kenapa sesuatu hal harus di-“gaib-gaibkan”, kalau akal sedia menerangkannya?” 24 Dengan menuliskan pandangan di atas, Soekarno menunjukkan dirinya sebagai seorang pemikir Islam modern yang telah berpikir jauh melampaui zamannya. Ia tak lagi terjebak dalam dikotomi Islam dan Barat, melainkan ia memperkaya dan memperkuat bangunan Islam dengan meminjam kendaraan ilmu pengetahuan modern yang dihasilkan oleh Barat. Di mata Soekarno, umat Islam hendaknya membuka diri dengan segala kemajuan IPTEK agar dapat menjauhkan diri dari kubangan kejumudan dan kekolotan yang telah membelenggu mereka selama ini. Lebih lanjut, umat Islam juga hendaknya menjunjung tinggi IPTEK agar dapat memperkuat kadar keyakinan dan kecintaan mereka pada agama Islam. Soekarno dalam “Surat Ende” tanggal 12 Juni 1936 menuliskan: “Tanyalah kepada itu ribuan orang Eropa yang masuk Islam di dalam abad kedua puluh ini: dengan cara apa dan dari siapa mereka mendapat tahu baik dan bagusnya Islam, dan mereka akan menjawab: bukan dari guru-guru yang hanya menyuruh muridnya “beriman” dan “percaya” saja, bukan dari muballigh-muballigh yang tarik muka angker dan hanya tahu putarkan tasbih saja, tetapi dari muballigh yang memakai cara penerangan yang masuk akal, -karena berpengetahuan umum. Mereka masuk Islam, karena muballigh-muballigh yang menghela mereka itu, ialah muballigh-muballigh yang modern dan scientific, dan bukan muballigh ‘a la Hadramaut” atau “a la kiai sorban”. Percayalah bahwa, bila Islam dipropagandakan dengan cara yang masuk akal dan up-to-date, seluruh dunia akan sadar kepada kebenaran Islam itu. Saya sendiri, sebagai orang terpelajar, barulah mendapat lebih 24
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, h. 327.
17
banyak penghargaan kepada Islam, sesudah saya mendapat membaca buku-buku Islam yang modern dan scientific. Apa sebab umumnya kaum terpelajar Indonesia tak senang Islam? Sebagian besar, ialah oleh karena Islam tak mau membarengi zaman, dan karena salahnya orang-orang yang mempropagandakan Islam: mereka kolot, mereka orthodox, mereka anti-pengetahuan dan memang tidak berpengetahuan, tahayul, jumud, menyuruh orang bertaqlid saja, menyuruh orang “percaya” saja, -mesum mbahnya mesum! …Bagi saya anti-taqlidisme itu berarti: Bukan saja “kembali” kepada Quran dan Hadits, tetapi “kembali kepada Quran dan Hadits dengan mengendarai kendaraannya pengetahuan umum”.” 25
Dalam pengamatannya terhadap realitas dunia pendidikan Islam pada zamannya, Soekarno kerap mengkritik keberadaan sekolah-sekolah Islam tradisional atau lebih dikenal sebagai pesantren, karena lembaga tersebut hanya mengajarkan ilmu agama dan cenderung anti pada pengetahuan modern yang bersifat ilmiah. Akibatnya, umat Islam menjadi sangat tertinggal. Oleh karena itu, ketika Soekarno mengetahui bahwa salah satu kawannya baru saja mendirikan sebuah pesantren, ia lalu mengungkapkan kegembiraan sekaligus mengajukan usul pada kawannya tersebut. Soekarno menulis: “… hendaklah ditambah banyaknya “pengetahuan Barat” yang hendak dikasihkan kepada murid-murid pesantren itu. Umumnya adalah sangat saya sesalkan, bahwa kita punya Islam-scholars masih sangat sekali kurang pengetahuan modern-science. Walau yang sudahbertitel “mujtahid” dan “ulama” sekalipun, banyak sekali yang masih mengecewakan pengetahuannya modern-science. Lihatlah misalnya kita punya majalah-majalah Islam: banyak sekali yang kurang kualitet. Dan tanya lagi bagaimana halnya kita punya kyai-kyai muda! Saya tahu, tuan punya pesantren bukan universitas, tapi alangkah baiknya kalau toh western science disitu ditambah banyaknya. Demi Allah, “Islam Science” bukan hanya pengetahuan Qur’an dan Hadits saja; “Islam science” adalah pengetahuan Qur’an dan Hadits plus pengetahuan umum! Orang tak dapat memahami betul Qur’an dan Hadits, kalau tak berpengetahuan umum. Walau tafsir –tafsir Qur’an yang masyhur pun dari zaman dahulu, - yang orang sudah kasih title tafsir yang”keramat”, -seperti misalnya tafsir Al-Baghawi, tafsir Al-Baidlawi, Tafsir, Al-Mazhari dls. –masih bercatat sekali: cacat-cacat yang saya maksudkan ialah misalnya: bagaimanakah orang bisa mengerti betul-betul firman Tuhan, bahwa segala barang sesuatu itu dibikin olehNya
25
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, h. 337.
18
“berjodoh-jodohan”, kalau tak mengetahui biologi, tak mengetahui elektron, tak mengetahui positif dan negatif, tak mengetahui aksi dan reaksi?...” 26
Pernyataan Soekarno di atas sebenarnya lahir dari sebuah kesadaran yang mendalam terhadap sejarah karena ia sendiri merupakan pencinta sejarah yang diungkapkan dalam istilah JASMERAH (jangan sekali-kali meninggalkan sejarah). Dengan kesadaran sejarah yang dimilikinya, Soekarno ingin membangunkan umat Islam yang sedang tertidur pulas agar dapat menyadari bahwa kemajuan peradaban yang pernah dicapai oleh Islam -khususnya di zaman Dinasti Abbasiyah di Baghdad dan juga Dinasti Umayyah di Andalusia- lahir dari tingginya etos keilmuan yang dimiliki oleh umat Islam kala itu. Ketika Eropa masih terperangkap dalam abad kegelapan, umat Islam telah menikmati kemajuan di berbagai bidang kehidupan. Itu sebabnya, negeri-negeri Islam menjadi tujuan dan kiblat pendidikan bagi orang-orang Eropa. Namun, setelah Islam mengalami masa kemunduran yang diakibatkan oleh merosotnya etos keilmuan di kalangan umat Islam, orang Eropa memanfaatkan seluruh khazanah keilmuan yang diperolehnya dari lembaga pendidikan Islam, sehingga Eropa berhasil memasuki zaman renaisans dan secara perlahan berhasil menguasai dunia. Singkatnya, orangorang Eropa berhutang budi pada Islam karena dulunya mereka belajar di lembaga pendidikan yang didirikan oleh umat Islam. Kurikulum yang ada di lembaga pendidikan Islam kala itu mengintegrasikan segala jenis keilmuan, baik ilmu Islam maupun ilmu umum, sehingga tidak ada lagi dikotomi keilmuan sebagaimana yang mengemuka di zaman Soekarno dan juga di zaman dewasa ini. Pengdikotomian keilmuan inilah yang menyebabkan terkotakkotaknya pemikiran umat Islam, sehingga berdampak pada gagalnya mereka menjawab realitas yang serba kompleks yang membutuhkan berbagai jenis pendekatan dalam pemecahannya. 26
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, h. 335-336.
19
Dalam suatu pemberitaan yang ditulis dalam Koran “Adil” pada tanggal 21 Januari 1939 dikatakan bahwa suatu hari Soekarno melakukan aksi walk out dengan meninggalkan rapat umum Muhammadiyah, sebuah organisasi di mana ia menjadi bagian di dalamnya, sebagai bentuk protes atas penggunaan tabir yang memisahkan antara laki-laki dan perempuan. Ketika di wawancarai oleh koresponden “Antara”, ia tak menampik kabar tersebut. Dalam tulisannya “Tabir adalah lambang perbudakan”, Soekarno menulis: “Saya anggap tabir itu sebagai sebuah simbol. Simbolnya perbudakan perempuan. Keyakinan saya ialah, bahwa Islam tidak mewajibkan tabir itu. Islam memang tidak mau memperbudakkan perempuan. Sebaliknya, Islam mau mengangkat derajat perempuan. Tabir adalah salah satu contoh dari hal yang tidak diperintahkan oleh Islam, tetapi diadakan oleh umat Islam…Saya menolak sesuatu hukum agama yang tidak nyata diperintah oleh Allah dan Rasul.” 27
Namun ketika koresponden “Antara” berkata bahwa Islam melarang laki-laki dan perempuan saling berpandangan, Soekarno tak menampik hal tersebut dengan berkata “Islam pada batinnya menyuruh laki-laki dan perempuan (pada umumnya), menundukkan mata, jika berhadapan satu sama lain.” Namun, ketika dilontarkan pendapat bahwa pengadaan tabir boleh jadi dilakukan sebagai cara untuk mencegah laki-laki dan perempuan saling berpandangan, Soekarno lalu meng-counter dengan berkata: “Boleh jadi begitu. Tetapi itu satu ikhtiar yang diluar perintah Allah, dan… ganjil? Marilah saya ambil satu tamzil: Allah melarang orang mencuri. Kenapa tidak semua rumah ditutup rapat saja, agar orang tak bisa mencuri? Atau Allah melarang orang berdusta. Kenapa kita tidak menjahit saja mulut kita agar supaya kita tidak berdusta. Nah, begitulah duduknya dengan pandang-memandang antara lelaki dan perempuan. Dilarang pandang-memandang bila tak perlu, tetapi tidak diperintahkan bertabir! Masing-masing orang harus menjaga hati dan matanya sendiri-sendiri.” 28
Dengan melakukan aksi walk out di rapat umum Muhammadiyah tersebut, Soekarno ingin menunjukkan sikap dan pendiriannya bahwa keterikatan pada suatu 27
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, h. 349.
28
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, h. 350.
20
keanggotaan ormas Islam tidaklah boleh membelenggu diri seseorang untuk tidak lagi berpikir rasional dan kritis terhadap tradisi yang telah mapan dan baku di dalam organisasi tersebut. Ormas sendiri -meskipun ia berlabel agama- hanyalah sesuatu yang bersifat profan. Pengsakralan terhadap sesuatu yang profan tentu akan menjadi sesuatu yang dapat menghambat kemajuan dan kreativitas berpikir. Dengan melakukan kritik terhadap praktik yang ia temui dalam organisasi Muhammadiyah, Soekarno telah melampaui dirinya dan tak ingin terpasung oleh pagar kepentingan yang
ia
ciptakan
sendiri.
“Pemberontakan”
tersebut
semata-mata
ingin
mengembalikan Muhammadiyah pada elan vitalnya, yakni sebagai organisasi pendobrak
kejumudan
sesuai
yang
telah
digariskan
oleh
para
pendiri
Muhammadiyah. Meskipun Soekarno kerap mengkritik Muhammadiyah, namun hubungannya dengan para petinggi dan simpatisan Muhammadiyah berlangsung sangat baik dan akrab. Soekarno ingin menunjukkan pada kita bahwa perbedaan pendapat tidak harus selalu berujung pada perselisihan dan perpecahan. Apa yang dilakukan oleh Soekarno memang bisa dikatakan sebagai sesuatu yang cukup berani dan kontroversial pada zamannya. Namun, perlu disadari, bahwa apa yang dilakukan oleh Soekarno adalah sebuah tuntutan sejarah di zamannya untuk membebaskan masyarakatnya dari kungkungan kebodohan dan kejumudan yang menjadi akar munculnya kolonialisme. Dari paparan di atas, kita dapat melihat dengan jelas, bahwa Soekarno adalah seorang muslim yang rasional, modern, bahkan sangat liberal pada zamannya. Dengan ketajaman akal dan kedalaman ilmunya, ia menggugat berbagai formulasi Islam mapan yang sudah tak sejalan lagi dengan pesan Islam yang humanisemansipatoris dalam parameter kemodernan. Ia kemudian mereinterpretasi formulasi Islam yang telah mapan tersebut dalam bahasa dan bentuk yang lebih segar dan kontekstual agar kehadirannya dapat dirasakan sebagai pembawa rahmat. Dalam titik ini, dapat dikatakan bahwa pemikiran Islam yang digagas oleh Soekarno tidak bersifat kaku yang hanya selalu melihat masa lalu sebagai referensi utama, melainkan
21
bersifat luwes dengan melihat segala sesuatunya secara kritis dan mengembalikannya pada semangat dasar agama, sehingga ia dapat menjadi jawaban terhadap berbagai tantangan kemodernan yang dihadapi oleh masyarakat.
Pemisahan Agama dan Negara Salah satu pemikiran Soekarno yang tak kalah penting untuk dibicarakan dalam tulisan ini adalah pandangannya mengenai hubungan agama (Islam) dan negara. Perdebatan tentang hubungan agama dan negara adalah sebuah perdebatan yang telah berlangsung sejak Soekarno masih muda hingga ia menjadi presiden. Dalam perdebatan tersebut, Soekarno yang merupakan bagian dari kaum nasionalissekuler, berpendapat bahwa Islam seharusnya dipisahkan dari negara dan urusan agama hanya menjadi urusan privat bagi pemeluknya, bukan menjadi urusan negara. Sebaliknya kaum nasionalis-Islam yang menjadi rival Soekarno dan kaum nasionalissekuler meyakini bahwa Islam harus terintegrasi dengan negara dalam bentuk negara Islam karena ajaran Islam mengatur segala aspek kehidupan manusia. Salah satu tulisan Soekarno yang mewakili pemikiran Islam politik Soekarno adalah “Apa Sebab Turki Memisah Agama dan Negara” dalam Panji Islam tahun 1940. Sebelum menuliskan artikel tersebut, Soekarno terlebih dahulu membaca puluhan buku yang membahas tentang Turki agar ia dapat memperkuat argumentasinya. Dalam tulisannya, Soekarno menguraikan secara panjang lebar alasan dibubarkannya sistem kekhalifahan di Turki. Dengan mengutip ucapan Kemal Attaturk, bapak Turki modern yang juga merupakan salah satu tokoh yang membentuk pemikiran Soekarno mengenai hubungan Islam dan negara, Soekarno bertutur, bahwa “saya memerdekakan Islam dari negara, agar Islam bisa kuat; dan saya memerdekakan negara dari agama, agar negara bisa kuat.” 29 Jauh sebelum 29
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, h. 406.
22
menuliskan artikel tersebut, Soekarno sebenarnya telah menunjukkan penolakannya terhadap bentuk negara Islam yang dapat ditemukan dalam “Surat-surat Islam dari Ende” tanggal 1 Desember 1934. Soekarno menulis: “Tersesatlah orang yang mengira, bahwa Islam mengenal suatu “aristokrasi Islam”. Tiada satu agama yang menghendaki kesama-rataan lebih daripada Islam. Pengeramatan manusia itu, adalah salah satu sebab yang mematahkan jiwanya sesuatu agama dan umat, oleh karena pengeramatan manusia itu, melanggar tauhid. Kalau tauhid rapuh, datanglah kebencanaan.” 30 Gagasan nasionalisme yang digagas Soekarno, oleh kalangan nasionalisIslam, sering disalahartikan sebagai bentuk chaunivisme yang mendukung semangat tribalisme, namun Soekarno sama sekali tak bermaksud ingin menghidupkan semangat tribalisme. Sebaliknya ia ingin menyatukan segala perbedaan identitas dalam bingkai nasionalisme agar dapat menjadi payung dan juga penggerak bagi rakyat untuk bersatu padu melawan penderitaan dan penindasan yang ditimbulkan oleh kolonialisme. Perdebatan tentang perlu tidaknya formalisasi agama dalam bentuk negara Islam memang telah menyita sebagian waktu Soekarno. Ia khawatir, pembentukan negara Islam akan berimplikasi pada pemosisian kalangan non-muslim menjadi warga kelas dua, sehingga memungkiri semangat persamaan yang diajarkan oleh Islam dan juga memungkiri fakta kemajemukan yang ada di Indonesia. Sekilas, formalisasi Islam dalam bentuk negara Islam memang tampak sangat menarik karena ia dibungkus dan diwarnai oleh berbagai simbol-simbol eksplisit tertentu yang berkaitan dengan agama. Namun bila dilihat secara kritis dan mendalam, praktik kekhalifahan tidaklah sepenuhnya bersifat ilahiah karena ia menyimpan banyak penyimpangan dan intrik kotor di dalamnya.
30
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, h. 325
23
Dalam tulisannya, Soekarno mengungkap penyimpangan yang pernah terjadi di zaman kekhalifahan Turki sebelum bertransformasi menjadi negara Turki modern. Soekarno menulis: “...Sebelum berdirinya republik, amtenar Turki itu terkenal di seluruh dunia sebagai kaum penipu, kaum penggelap, kaum perampok harta-kekayaannya negara? Korupsinya kaum amtenar Turki dulu adalah salah satu “roman-muka” dari alat perlengkapannya mereka punya negara. Sebagian yang terbesar dari semua uanguang cukai dan uang-uang bea macam-macam, tidaklah masuk ke dalam kas negara, tetapi “sudahlah dimakan onta”, sebagai seorang penulis yang bernama Endres mengatakannya. Sehingga orang yang tulus dan jujur di dalam urusan partikulirpun, yang terkenal tidak pernah menipu atau mendurhakai orang lain, yang bukan pemeras dan bukan penindas, tidak akan segan menggelapkan uang-uang kepunyaan negeri. Sebab apa? Sebab “agama”, -agama sontoloyo! – selalu sedia mencarikan pengampunan buat perbuatan-perbuatan yang demikian itu, dan sebab negara tidak cukup kekuatan untuk menindas anggapan-anggapan sontoloyo itu. Seorang amtenar Turki…merasa goncang sekali, oleh karena ia selalu terpaksa mencuri uang negeri untuk menyenangkan hati kepala-kepala di atasnya, pergilah kepada seorang Mullah untuk menumpahkan ia punya rasa-dosa itu. Dan apakah yang dikatakan Mullah ini? Bukan mempermasalahkan perbuatan itu kontan-kontanan, bukan mengatakan bahwa amtenar itu nanti mendapat hukuman berat di akhirat, bukanpun menyuruh amtenar itu bertobat dan tidak berbuat lagi perbuatan itu, tetapi: “Tuan di akhirat boleh berkata kepada Allah bahwa tuan telah mengambil tuan punya bagian dari harta kenikmatan umat di dunia, sehingga tuan tak minta lagi bagian dari harta kenikmatan itu di akhirat. Kecuali daripada itu, halal menurut Qur’an merampas miliknya pencuri, dan oleh karena seluruh beleid-nya pemerintah itu bertentangan dengan hukumnya Allah, maka halal pulalah tuan mengambil miliknya negara”…” 31
Dengan menuliskan kritik pedasnya terhadap gagasan islamisasi negara yang lemah secara konsep dan praktik, Soekarno ingin membuka mata kita bahwa sistem kekhalifahan (yang oleh sebagian umat Islam masih dianggap sebagai suatu sistem sakral yang berasal dari Tuhan) sudah perlu ditinggalkan. Namun, apa yang dicitacitakan Soekarno tentang pemisahan agama dan negara sepertinya masih jauh panggang dari api karena dukungan terhadap gagasan ini masih saja terus mengalir hingga saat ini khususnya di kalangan kelompok Islam formalis-normatif. Wacana Islamisasi negara oleh para pendukungnya masih dianggap sebagai sesuatu yang wajib untuk diperjuangkan karena di mata mereka, Islam adalah satu-satunya agama 31
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, h. 417- 418.
24
yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia termasuk dalam urusan politik, sehingga dapat menjadi solusi atas berbagai permasalahan kekinian. Soekarno berpendapat bahwa agama sebaiknya menjadi urusan privat bagi setiap individu. Agama tak perlu terlalu diintervensi oleh negara dan negara juga tak perlu mencampuri keberagamaan setiap individu terlalu jauh. Soekarno menulis bahwa: “…Agama itu perlu dimerdekakan dari belenggunya pemerintah, agar menjadi subur: “Manakala agama dipakai buat memerintah, ia selalu dipakai sebagai alat penghukum ditangannya raja-raja, orang-orang zalim dan orang- orang tangan besi. Manakala zaman modern memisahkan urusan dunia daripada urusan spiritual, maka ia adalah menyelamatkan dunia dari banyak kebencanaan, dan ia memberikan kepada agama itu satu singgasa yang maha kuat di dalam kalbunya kaum yang percaya”.” 32 Dari pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa penolakan Soekarno terhadap
gagasan islamisasi negara lahir dari adanya proses penghayatan keagamaan yang bersifat substantif sebagaimana yang telah dibahas di awal. Dalam hal ini, ia tidak melihat agama sebagai ajaran yang bersifat legal-formal, melainkan sebagai sumber inspirasi dan nilai yang dapat menghidupkan sikap inklusif, toleran, dan menghargai keragaman yang telah inheren di negeri ini.
Penutup Selama ini muncul kesan bahwa Soekarno adalah tokoh yang anti Islam karena ia kerap menghalangi berbagai upaya islamisasi negara dan juga gigih mengkritik praktik kekolotan dan kejumudan dalam tubuh umat Islam, namun studi ini menunjukkan bahwa Soekarno adalah sosok relijius yang sangat mencintai dan memuliakan Islam. Mencintai dan memuliakan Islam, bagi Soekarno, tak berarti harus bertaklid pada ajaran fikih yang telah diwariskan oleh ulama terdahulu. 32
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, h. 405.
25
Dalam pandangan Soekarno, umat Islam harus memanfaatkan akal dan ilmu pengetahuan modern untuk merespon tantangan zaman yang dalam banyak hal sangat berbeda dengan apa yang dialami oleh para ulama terdahulu ketika merumuskan ajaran fikih, namun ia tetap harus tetap berada dalam koridor etika Islam. Di mata Soekarno, Islam adalah agama yang rasional, bukan agama yang kolot dan jumud sebagaimana yang sering ia jumpai pada zamannya. Pandangan keislaman Soekarno sangat dipengaruhi oleh berbagai tradisi pemikiran yang pernah ia temui, sehingga bisa dikatakan bahwa pemikiran Islam Soekarno cenderung berwatak eklektik. Pandangan Islam rasional yang diusung oleh Soekarno tak bisa dilepaskan dari pengaruh pandangan kalangan Islam modernis yang menjadi inspirator Soekarno, seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin alAfghani, Ameer Ali, Mohammad Ali, Khawaja Kamaluddin, dll. Tentu tak bisa dilupakan, bahwa paham Islam rasional yang diusung Soekarno tak lepas dari persentuhan Soekarno dengan tradisi filsafat, sains, dan ilmu sosial dari Barat. Namun, ada beberapa hal yang menjadi poin kritik penulis pada pandangan keislaman Soekarno. Pertama, gagasan keislaman yang diusung Soekarno tampak kurang membumi pada zamannya karena cenderung bersifat elitis. Bahasa yang digunakannya pun cenderung terlalu blak-blakan dan tendensius, sehingga wajar bila memunculkan kesan bahwa Soekarno adalah sosok yang anti Islam. Kedua, meskipun pandangan keislaman yang diusung Soekarno cenderung sangat rasional, modern, dan liberal pada zamannya, namun Soekarno “gagal” menempatkan dirinya menjadi juru bicara Islam karena ia dianggap kurang memiliki basis disiplin ilmu agama yang kuat sebagaimana yang dimiliki oleh kalangan pemikir Islam pada umumnya, sehingga berbagai persoalan mendasar dalam Islam tak dapat ia sentuh secara tuntas. Hal itu disebabkan oleh lemahnya kemampuan bahasa Arab yang dimiliki Soekarno dan juga absennya Soekarno dari tempaan pendidikan keislaman yang serius dan terarah (kesantrian), seperti pesantren atau madrasah, di masa-masa pembentukan pemikirannya.
26
DAFTAR PUSTAKA
Al Makin. Keragaman dan Perbedaan: Budaya dan Agama dalam Lintasan Sejarah Manusia. Cet.I., Yogyakarta: SUKA-Press, 2016.
Anwar, M.Syafi’i. “Gerakan Muslim Modernis: Pergumulan Wacana dan Politik Pasca Orde-Baru”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (eds.). Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara. Jakarta: Mizan dan Yayasan festival Istiqlal, 2006. Azra, Azyumardi. Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. Jakarta: Paramadina, 1999. Effendi, Sulaiman. Tokoh-Tokoh Dunia yang Mempengaruhi Pemikiran Bung Karno. Jogjakarta: Palapa, 2014. Esposito, John L. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern (Jilid 5). Cet.1., Bandung: Mizan, 2001. Madjid, Nurcholish. Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat-Paramadina, 2010. Rahardjo, Dawam. Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim. Cet. IV., Bandung: Mizan, 1999. Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi. Djilid I. Djakarta: Panitya Penerbit di bawah Bendera Revolusi, 1959. Soyomukti, Nurani. Soekarno dan Nasakom. Yogyakarta: Garasi, 2008. Syamsul Kurniawan. Pendidikan Di Mata Soekarno: Modernisasi Pendidikan Islam dalam Pemikiran Soekarno. Cet. I., Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009.