IDENTIFIKASI FAKTOR UTAMA PENYEBAB KETERLAMBATAN PROYEK PEMBANGUNAN GEDUNG CIBE Srie Heruyani Stevia Lukmanasari1 1
Mahasiswa Program Studi Magister Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, Email:
[email protected]
ABSTRAK Industri konstruksi di Indonesia mengalami pertumbuhan tiap tahunnya. Pertumbuhan ini seharusnya seiring dengan peningkatan kepuasan pelanggan atas produk konstruksi yang dapat dicapai salah satunya dengan penerapan dan pengelolaan sistem manajemen kualitas yang baik. Sistem manajemen kualitas bertujuan agar produk yang di-deliver kepada pelanggan sesuai dengan ekspektasinya. Pada studi kasus Proyek Pembangunan Gedung CIBE, kontraktor pelaksana tidak mampu men-deliver pekerjaan sesuai dengan ekspektasi pemilik proyek (ITB), yaitu proyek yang dilaksanakan tidak berjalan sesuai dengan alokasi waktu yang direncanakan. Oleh karena itu, perlu diidentifikasi faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek sehingga dapat diambil tindakan korektif yang relevan. Guna mencapai tujuan tersebut, maka digunakan metodologi penelitian berupa metode empiris dan metode induktif. Metode empiris diterapkan dengan cara meninjau langsung ke lapangan, mengumpulkan laporan kemajuan pekerjaan proyek, dan melakukan wawancara dengan pihak kontraktor serta pemilik proyek. Data primer yang telah terkumpul ini selanjutnya diolah dengan menggunakan metode statistik deskriptif untuk mendapatkan model faktor penyebab keterlambatan proyek pembangunan gedung CIBE. Terakhir, dilakukan penyimpulan terhadap hasil analisa data dengan metode induktif. Dari hasil pengolahan dan analisa data, diperoleh informasi bahwa faktor penyebab yang paling menentukan adalah identifikasi, durasi, dan rencana urutan kerja yang tidak lengkap dan tidak tersusun dengan baik serta ketidaktepatan perencanaan tenaga kerja (kuantitas dan waktu). Kata kunci: sistem manajemen kualitas, proyek konstruksi gedung, quality tools, keterlambatan proyek
1.
PENDAHULUAN
Industri konstruksi merupakan salah satu industri besar di Indonesia yang laju pertumbuhannya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2013, industri konstruksi merupakan sektor dengan laju pertumbuhan tertinggi ketiga di Indonesia, yaitu sebesar 6,57 % (sumber : Badan Pusat Statistik). Salah satu indikator yang dapat menunjukkan pertumbuhan sektor industri konstruksi tersebut adalah peningkatan nilai konstruksi yang diselesaikan. Untuk tahun 2008-2012, nilai konstruksi yang diselesaikan di Indonesia adalah sebagai berikut. Tabel 1. Nilai Konstruksi yang diselesaikan Tahun 2008-2012 (dalam juta rupiah) Jenis Pekerjaan Konstruksi Gedung Pertumbuhan Konstruksi Bangunan Sipil Pertumbuhan Konstruksi Khusus Pertumbuhan Jumlah Pertumbuhan
2008
2009
2010
70,591,453
72,886,927
95,397,270
-
3%
31%
2011
2012
108,768,763 128,551,604 14%
18%
86,517,919 141,112,869 169,975,358 202,325,448 237,019,258
Rata-rata Pertumbuhan 14,490,038 17% 37,625,335
-
63%
20%
19%
17%
30%
52,988,853
47,108,970
54,876,925
65,029,137
75,782,311
5,698,365
-11% 16% 18% 17% 210,098,225 261,108,766 320,249,553 376,123,348 441,353,173 24.28% 22.65% 17.45% 17.34%
10% 57,813,737 20.43%
(sumber : Data Runtun Benchmark oleh Badan Pusat Statistik) 1
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa nilai konstruksi yang diselesaikan memiliki rata-rata tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi, yaitu sebesar 20.43%, di mana konstruksi gedung memberi konstribusi yang cukup besar terhadap pertumbuhan tersebut (17%). Pertumbuhan ini seharusnya selaras dengan peningkatan kepuasan pelanggan atas produk konstruksi. Sayangnya, data mengenai tingkat kepuasan pelanggan terhadap produk konstruksi di Indonesia belum tersedia. Kepuasan pelanggan atas produk konstruksi ini dapat dicapai salah satunya dengan penerapan dan pengelolaan sistem manajemen kualitas yang baik. Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Susilawati, dkk (2005) menghasilkan suatu kesimpulan bahwa perusahaan kontraktor di Indonesia mempunyai kesadaran dalam meningkatkan sistem manajemen kualitas perusahaannya. Sistem manajemen kualitas pada perusahaan kontraktor bertujuan untuk memastikan bahwa produk konstruksi yang di-deliver kepada pelanggan sesuai dengan ekspektasi/harapannya, yaitu tepat kualitas, tepat waktu, dan tepat biaya. Hubungan antara ketiga aspek tersebut sangat erat dan lebih dikenal dengan istilah Project Management Triangle/Triple Constraint/Iron Triangle. Quality
Time
Cost
Gambar 1. Project Management Triangle Segitiga sama sisi pada Gambar 1 menunjukkan adanya suatu kaitan yang erat antara kualitas, waktu, dan biaya, di mana apabila salah satu sisi mengalami perubahan akan mengubah kedua sisi yang lain. Apabila kualitas suatu produk konstruksi akan dinaikkan, maka waktu pelaksanaan dan biaya yang dibutuhkan pun akan bertambah. Atau dengan kata lain, hubungan antara kualitas dengan waktu dan kualitas dengan biaya adalah berbanding lurus. Namun hal yang saat ini sedang terjadi di Proyek Pembangunan Gedung Center for Infrastructure and Build Environment (CIBE) adalah kontraktor pelaksana tidak mampu men-deliver pekerjaan sesuai dengan ekspektasi waktu yang ditetapkan oleh pihak pemilik proyek (ITB). Menurut rencana, proyek yang dimulai pada bulan Maret 2014 ini harus selesai dikerjakan pada bulan Juli 2015. Tetapi karena sepanjang proses pengerjaan hingga saat ini terjadi deviasi negatif yang cukup besar antara kurva S rencana dengan kurva S aktual, maka diperkirakan proyek ini baru akan selesai pada bulan Agustus 2015. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan awal bahwa ada hal-hal yang menjadikan sistem manajemen kualitas perusahaan kontraktor tidak bisa memenuhi ekspektasi pelanggan/pemilik proyek CIBE (ITB), di mana kegagalan ini memberi banyak dampak negatif bagi semua pihak yang terkait dengan proyek ini.
2.
RANCANGAN PENELITIAN
Satu hal yang dapat ditarik dari uraian di atas adalah bahwa penerapan sistem manajemen mutu pada perusahaan kontraktor sangat erat kaitannya dengan ketercapaian ekspektasi pelanggan. Salah satunya pada studi kasus proyek CIBE di mana implementasi dari sistem manajemen kualitas harus dapat dapat memberi kontribusi positif terhadap upaya penyelesaian masalah keterlambatan proyek. Oleh kerena itu, perlu diidentifikasi faktor-faktor penyebab keterlambatan agar dapat diambil tindakan korektif yang relevan. Hal-hal yang menjadi batasan dalam penelitian ini adalah : 1. Sampel utama pada penelitian ini adalah laporan kemajuan pekerjaan Proyek Pembangunan Gedung Center for Infrastructure and Build Environment (CIBE) pada minggu 1-33. 2. Lokasi studi berada di Proyek Pembangunan Gedung Center for Infrastructure and Build Environment (CIBE) yang bertempat di Jl. Ganeca no. 11 Bandung, Jawa Barat, Indonesia.
2
Guna mencapai maksud dan tujuan penelitian seperti yang telah disampaikan sebelumnya, maka dibutuhkan suatu rancangan metode penelitian yang akan digunakan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode empiris dan metode induktif. Metode empiris diterapkan dengan cara meninjau langsung ke lapangan, mengumpulkan laporan kemajuan pekerjaan proyek, dan melakukan wawancara dengan pihak kontraktor serta pemilik proyek. Data primer yang telah terkumpul ini selanjutnya diolah dengan menggunakan metode statistik deskriptif untuk mendapatkan model faktor penyebab keterlambatan proyek pembangunan gedung CIBE. Terakhir, dilakukan penyimpulan terhadap hasil analisa data dengan metode induktif dan dipilih tindakan korektif yang relevan.
3. a.
STUDI LITERATUR Konstruksi Gedung
UU No. 28 Tahun 2002 mendefinisikan konstruksi atau bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan social, budaya, maupun kegiatan khusus. b. Konsep Dasar Kualitas Seiring perkembangan zaman, terdapat beberapa pendapat mengenai definisi kualitas yang diperbaiki oleh para ahli dari waktu ke waktu. Beberapa pendapat tersebut adalah sebagai berikut. Juran (1962) : Kualitas adalah kesesuaian dengan tujuan atau manfaatnya. Crosby (1979) : Kualitas adalah kesesuaian dengan kebutuhan yang meliputi availability, delivery, reability, maintainability, dan cost effectiveness. Deming (1982) : Kualitas harus bertujuan memenuhi kebutuhan pelanggan sekarang dan di masa yang akan datang. Feigenbaum (1991) : Kualitas merupakan keseluruhan karakteristik produk dan jasa yang meliputi marketing, engineering, manufacture, dan maintenance, di mana produk dan jasa tersebut dalam pemakaiannya akan sesuai dengan kebutuhan dan harapan pelanggan. Scherkenbach (1991) : Kualitas ditentukan oleh pelanggan. Pelanggan menginginkan produk dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan dan harapannya pada suatu tingkat harga tertentu yang menunjukkan nilai dari produk tersebut. Elliot (1993) : Kualitas adalah sesuatu yang berbeda untuk orang yang berbeda dan tergantung pada tempat dan waktu, atau dikatakan sesuai dengan tujuan. Goetch dan Davis (1995) : Kualitas adalah suatu kondisi dinamis yang berkaitan dengan produk, pelayanan, orang, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi apa yang diharapkan. Perbendaharaan istilah ISO 8402 dan dari Standar Nasional Indonesia (SNI 19-8402-1991) : Kualitas adalah keseluruhan ciri dan karakteristik produk dan jasa yang kemampuannya dapat memuaskan kebutuhan, baik dikatakan secara tegas maupun tersamar. Istilah kebutuhan diartikan sebagai spesifikasi yang tercantum dalam kontrak maupun kriteria-kriteria yang harus didefinisikan terlebih dahulu. Jadi dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kualitas merupakan suatu nilai yang diberikan oleh pelanggan atas kepuasannya terhadap kapasitas/kemampuan produk, orang proses, dan lingkungan yang memiliki standar/spesifikasi tertentu dalam memenuhi tujuan yang ingin dicapainya. Tingkat kepuasan pelanggan ini bersifat relatif, berbeda antara satu pelanggan dengan pelanggan yang lain. c.
Penjaminan Kualitas
Penjaminan kualitas atau quality assurance didefinisikan sebagai “All thoses planned and systematic actions necessary to provide adequate confidence that a product or service will satisfy given requirements for quality” yang berarti seluruh kegiatan terencana dan sistematis yang diimplementasikan di dalam system kualitas, bila perlu didemonstrasikan untuk memberikan suatu keyakinan yang menandai bahwa suatu produk akan memenuhi persyaratan kualitas (ISO 8402, 1986). Penjaminan kualitas ini umumnya tertuang pada klausul di dalam kontrak yang sudah disepakati bersama. Sejalan dengan prinsip pengendalian kualitas, maka jaminan kualitas juga mencakup jaminan penyelesaian pekerjaan sesuai dengan waktu yang sudah dialokasikan, jaminan bahwa penyelesaian pekerjaan akan berada pada kisaran anggaran yang sudah direncanakan dan jaminan bahwa penyelesaian pekerjaan sesuai dengan mutu yang sudah ditetapkan.
3
d.
Sistem Manajemen Kualitas
Sistem kualitas didefinisikan sebagai “The organizational structure, responbilities, procedures, processes and resources for implementing quality management” yang berarti struktur organisasi, prosedur, proses, dan penelitian untuk penerapan manajemen kualitas (ISO 8402, 1986). Sistem kualitas atau mutu adalah system untuk menghasilkan kualitas atau mutu yang dibutuhkan. Manajemen kualitas didefinisikan sebagai “That aspect of the overall management function that determines and implements the quality policy” yang berarti aspek dari keseluruhan fungsi manajemen yang menentukan dan melaksanakan kebijakan kualitas (ISO 8402, 1986) Sehingga Quality Management System (QMS) atau sistem manajemen kualitas merupakan sekumpulan prosedur terdokumentasi dan praktik-praktik standar untuk manajemen sistem yang bertujuan menjamin kesesuaian dari suatu proses dan produk (barang dan/atau jasa) terhadap kebutuhan atau persyaratan tertentu. Kebutuhan atau persyaratan itu ditentukan atau dispesifikasikan oleh pelanggan dan organisasi (Gaspersz, 2001). Pada proyek konstruksi, sistem manajemen kualitas proyek mencakup semua proses yang diperlukan untuk memastikan proyek memenuhi kebutuhan atas apa yang dilakukan, termasuk di dalamnya semua aktivitas dari fungsi manajemen secara keseluruhan yang menentukan kebijakan kualitas, tujuan, tanggung jawab dan menerapkannya dalam suatu perencanaan kualitas, jaminan kualitas, pengendalian kualitas, dan peningkatan kualita dalam sistem kualitas. Sistem manajemen kualitas memiliki beberapa tujuan, di antaranya adalah sebagai berikut. Fokus pada pelanggan : secara aktif mengkaji kebutuhan pelanggan melalui dialog, membuat pelanggan sadar akan produk dan jasa baru, memastikan organisasi ini menyadari kebutuhan pelanggan, tindakan korektif ketika layanan gagal memenuhi harapan. Perbaikan terus-menerus : produk, jasa, lingkungan kerja, pengembangan staf, dan proses manajemen dan produksi. Mengurangi limbah : pengurangan produk terbuang, pekerjaan berulang atau korektif dan proses yang tidak perlu. Selain itu, sistem manajemen kualitas juga memiliki manfaat sebagai berikut. Meningkatkan kepuasan pelanggan. Peningkatan kualitas produk dan jasa. Kepuasan pekerja dan komitmen yang lebih terhadap organisasi. Manajemen yang lebih baik dan organisasi yang lebih efektif. Meningkatkan hubungan dengan pemasok. Promosi peningkatan citra perusahaan. Dan manfaat yang diperoleh organisasi secara tidak langsung adalah : Meninjau tujuan bisnis dan menilai seberapa baik organisasi dalam mencapai tujuan-tujuannya. Mengidentifikasi proses-proses yang tidak perlu atau tidak efisien, dan kemudian menghapus atau meningkatkan hal-hal tersebut. Meninjau struktur organisasi, memperjelas tanggung jawab manajerial. Meningkatkan komunikasi internal dan antarmuka bisnis dan proses. Meningkatkan semangat kerja staf dengan mengidentifikasi pentingnya outputnya untuk bisnis. e.
Alat Bantu dalam Pengendalian Kualitas
Dalam mengimplementasikan pengendalian kualitas, diperlukan beberapa alat bantu (quality tools) untuk dapat menjamin pencapaian. Beberapa alat bantu tersebut adalah :
Pareto Chats Pareto Charts merupakan diagram batang khusus yang membagi satu kelompok berdasarkan kategori, dan membandingkannya dari yang terbesar sampai terkecil. Diagram ini digunakan untuk mencari bagian terbesar dari masalah, atau kontributor terbesar dari penyebab masalah. Pareto Charts dipromosikan pertama kalinya oleh Dr. Joseph Juran dan dinamai oleh ekonom dan sosiolog Italia Vilfredo Pareto (1848-1923) yang menyatakan bahwa di dunia nyata, minoritas menyebabkan sebagian besar masalah, atau lebih spesifik 80% masalah sering kali disebabkan oleh 20% kontributor. Ini dikenal dengan prinsip Pareto. Pareto Charts membantu kita untuk mengetahui hal atau masalah mana yang
4
memiliki pengaruh paling besar, sehingga kita dapat memfokuskan proyek dan solusi kepada hal-hal yang paling berpengaruh.
Cause and Effect Diagrams Cause and effect diagrams digunakan pada tahap awal proses pengendalian untuk menemukan akar penyebab suatu masalah. Diagram ini juga dikenal sebagai diagram tulang ikan di Ishikawa karena bentuk diagramnya yang menyerupai tulang ikan. Diagram ini diperkenalkan oleh Kaoru Ishikawa seorang profesor Jepang (1915-1989) yang pertama kali menggunakannya untuk menyelidiki penyebab masalah kualitas. Metode ini merupakan metode pencarian masalah dengan menyusun penyebabpenyebabnya dalam suatu bentuk grafik yang dapat dianalisa. Dalam metode ini dilakukan identifikasi secara sistematis semua sumber yang mungkin berkontribusi terhadap gejala yang tidak diinginkan. Umumnya identifikasi dilakukan dalam sesi brainstorming antara tim orang-orang yang berpengetahuan dibidang masalahnya. Cause and effect diagrams tidak hanya membantu dalam penyelidikan penyebab, tetapi juga berfungsi sebagai sarana rekaman ide-ide yang dihasilkan dalam sesi brainstorming. Untuk format yang seragam, disarankan (Ishikawa, 1985) bahwa penyebab diselidiki dan dicatat di bawah kategori utama.
f.
Keterlambatan Proyek
Ervianto (1998) mendefinisikan keterlambatan sebagai waktu pelaksanaan yang tidak dimanfaatkan sesuai dengan rencana kegiatan sehingga menyebabkan satu atau beberapa kegiatan mengikuti menjadi tertunda atau tidak diselesaikan tepat sesuai jadwal yang telah direncanakan. Sedangkan Levis dan Atherley (1996) berpendapat bahwa jika suatu pekerjaan sudah ditargetkan harus selesai pada waktu yang telah ditetapkan namun karena suatu alasan tertentu tidak dapat dipenuhi maka dapat dikatakan pekerjaan tersebut mengalami keterlambatan. Definisi lain diutarakan oleh Callahan (1992) yang mengartikan keterlambatan (delay) adalah apabila suatu aktifitas atau kegiatan proyek konstruksi mengalami keterlambatan waktu, atau tidak diselenggarakan sesuai dengan rencana yang diharapkan. Sehingga dapat ditarik suatu definisi umum bahwa keterlambatan merupakan suatu keadaan di mana proyek konstruksi tidak dapat memenuhi harapan penyelesaian yang telah disepakati di awal, di mana hal ini terjadi karena adanya satu atau beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Levis dan Atherley dalam Langford (1996) mengelompokkan penyebab-penyebab keterlambatan dalam suatu proyek menjadi tiga bagian, yaitu : Excusable Non-Compensable Delays, penyebab keterlambatan yang paling sering memepengaruhi waktu pelaksanaan proyek pada tipe ini adalah : Act of God, seperti gangguan alam, antara lain gempa bumi, tornado, letusan gunung api, banjir, kebakaran, dan lain-lain. Forse majeure, termasuk di dalamnya adalah semua penyebab Act of God, kemudian perang, huru hara, demo, pemogokan karyawan, dan lain-lain. Cuaca, di mana ketika cuaca menjadi tidak bersahabat dan mlebihi kondisi normal maka hal ini menjadi sebuah faktor penyebab keterlambatan yang dapat dimaafkan (Excusing Delay). Excusable Compensable Delays, merupakan keterlambatan yang disebabkan oleh owner client, di mana kontraktor berhak atas perpanjangan waktu dan claim atas keterlambatan tersebut. Penyebab keterlambatan yang termasuk dalam tipe ini adalah: Terlambatnya penyerahan secara total lokasi (site) proyek. Terlambatnya pembayaran kepada pihak kontraktor. Kesalahan pada gambar dan spesifikasi. Terlambatnya pendetailan pekerjaan. Terlambatnya persetujuan atas gambar-gambar fabrikasi. Non-Excusable Delays, merupakan keterlambatan yang sepenuhnya tanggung jawab kontraktor. Penyebabnya adalah kontraktor memperpanjang waktu pelaksanaan pekerjaan sehingga melewati tanggal penyelesaian yang telah disepakati, di mana sebenarnya penyebab keterlambatan dapat diprediksi dan dihindari oleh kontraktor. Dengan demikian, pihak owner client dapat meminta monetary damages untuk keterlambatan tersebut. Adapun penyebabnya antara lain : Kesalahan mengkoordinasikan pekerjaan, bahan, serta peralatan. Kesalahan dalam pengelolaan keuangan proyek. 5
Keterlambatan dalam penyerahan shop drawing/gambar kerja. Kesalahan dalam mempekerjakan personil yang tidak cakap. Keterlambatan proyek menimbulkan berbagai macam kerugian baik bagi pemilik proyek maupun kontraktor, seperti yang disampaikan oleh Obrein J.J. (1976) berikut ini. Bagi pemilik, keterlambatan menyebabkan kehilangan penghasilan dari bangunan yang seharusnya sudah bisa digunakan atau disewakan. Bagi kontraktor, keterlambatan penyelesaian proyek berarti naiknya biaya overhead karena bertambah panjang waktu pelaksanaan sehingga merugikan akibat kemungkinan naiknya harga karena inflasi dan naiknya upah buruh serta tertahannya modal kontraktor yang kemungkinan besar dapat dipakai untuk proyek lain. Bagi konsultan, keterlambatan akan menyebabkan kerugian waktu karena dengan adanya keterlambatan tersebut konsultan yang berangkutan akan terhambat dalam mengagendakan proyek lain. Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi keterlambatan proyek adalah (Dipohusodo, 1996) : Mengerahkan sumber daya tambahan. Melepaskan rintangan-rintangan, ataupun upaya-upaya lain untuk menjamin agar pekerjaan meningkat dan membawa kembali ke garis rencana. Jika tidak mungkin tetap pada garis rencana semula, mungkin diperlukan revisi jadwal yang untuk selanjutnya dipakai sebagai dasar penilaian kemajuan pekerjaan pada saat berikutnya.
4.
PENGOLAHAN DAN ANALISA DATA
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak pemilik proyek dan kontraktor pelaksana, diperoleh informasi bahwa keterlambatan pengerjaan proyek gedung CIBE disebabkan oleh banyak faktor. Faktor-faktor ini kemudian dikempokkan menurut kategori masing-masing, seperti yang tercantum dalam Tabel 1. berikut ini. Tabel 1. Identifikasi Faktor Penyebab Keterlambatan Proyek CIBE No.
Kategori
Kelompok berdasarkan Levis dan Artherley Non Excusable Delays
A
Manajemen Compansable Delays Non Excusable Delays
B
SDM Non Excusable Delays
C
Material
D
Desain dan Metoda
E
Lingkungan
Non Excusable Delays Non Excusable Delays Non Excusable Delays Excusable Delays
Faktor Penyebab 1. Identifikasi, durasi, dan rencana urutan kerja yang tidak lengkap dan tidak tersusun dengan baik. 2. Penetapan pelaksanaan jadwal proyek yang sangat ketat. 1. Ketidaktepatan perencanaan tenaga kerja (kuantitas dan waktu) 2. Kualitas tenaga kerja yang buruk (keterampilan dan keahlian) Keterlambatan penyediaan alat dan material akibat kelalaian kontraktor 1. Metode konstruksi/teknik pelaksanaan yang tidak tepat 2. Banyak pekerjaan ulang (rework) karena tidak sesuai dengan spesifikasi teknis Rendahnya dukungan masyarakat sekitar
Frekuensi Kejadian 26 1 23 4 20 21 1 2
Secara umum, faktor penyebab keterlambatan proyek tersebut di atas dibuat Cause and Effect Diagram-nya sebagai berikut.
6
Manajemen Master schedule belum ada
SDM
Material Lamanya approval material
Minimnya jumlah pekerja
Pengabaian jalur kritis Effort kurang
Lamanya approval master schedule
Perbedaan ritme kerja antara orang Indonesia dengan Jepang
Upaya perkuatan manajemen proyek
Minimnya pemahaman akan standar yang digunakakan
Sering terjadi pergantian pekerja Perencanaan site plan kurang matang
Manuever sulit Gangguan pekerjaan akibat loading test
Perubahan layout CRCS Metode kerja tidak Terencana dengan baik
Keterbatasan lahan
Jadwal material tidak terencana dengan baik
Keterlambatan suplai
Keterlambatan Proyek Gedung CIBE ITB Komplain kebisingan oleh tetangga
Pembatasan jam kerja
Antisipasi jalur kritis
Banyak rework
Lingkungan
Desain & Metoda
Gambar 2. Cause and Effect Diagram Penyebab Keterlambatan Proyek CIBE Selanjutnya, faktor-faktor tersebut di atas diolah menggunakan alat bantu Pareto Charts. Pada level 1, akan dianalisa berdasarkan kelompok penyebab keterlambatan menurut Levis dan Artherley. Tabel 2. Kelompok Penyebab Keterlambatan Proyek CIBE menurut Levis dan Artherley Kelompok Penyebab Keterlambatan Non Excusable Delays Excusable Delays Compansable Delays
Frekuensi Kejadian 95 2 1
Frekuensi Kumulatif 97% 99% 100%
Gambar 3. Pareto Chart Level 1 Dari grafik di atas, dapat dilihat bahwa kelompok Non Excusable Delays merupakan kelompok yang paling besar kontribusinya dalam menyebabkan keterlambatan proyek CIBE. Selanjutnya, ingin diketahui kategori apa dari kelompok Non Excusable Delays yang menjadi penyebab utama dalam keterlambatan proyek ini. Untuk itu, kelompok Non Excusable Delays akan diuraikan lagi berdasarkan kategori masing-masing penyebab. Tabel 3. Kategori dalam Non Excusable Delays pada Proyek CIBE Kategori Manajemen SDM Material Desain dan Metoda Lingkungan
Frekuensi Kejadian 26 27 20 21 0
Frekuensi Kumulatif 28% 56% 78% 100% 100%
7
Gambar 4. Pareto Chart Level 2 Berdasarkan Gambar 3, diperoleh informasi bahwa kategori manajemen dan SDM memiliki porsi yang hamper sama besarnya dan dominan terhadap keterlambatan proyek CIBE. Jika dilihat dari Tabel 1, maka Pareto Charts untuk kedua kategori tersebut adalah sebagai berikut. Tabel 4. Faktor Penyebab Keterlambatan Proyek CIBE pada Kategori Manajemen Faktor Penyebab Identifikasi, durasi, dan rencana urutan kerja yang tidak lengkap dan tidak tersusun dengan baik Penetapan pelaksanaan jadwal proyek yang sangat ketat
Frekuensi Kejadian
Frekuensi Kumulatif
26
96%
1
100%
Gambar 5. Pareto Chart Level 2 untuk Kategori Manajemen Tabel 5. Faktor Penyebab Keterlambatan Proyek CIBE pada Kategori SDM Faktor Penyebab Ketidaktepatan perencanaan tenaga kerja (kuantitas dan waktu) Kualitas tenaga kerja yang buruk (keterampilan dan keahlian)
Frekuensi Kejadian
Frekuensi Kumulatif
23
85%
4
100%
8
25 20
Faktor Penyebab Keterlambatan Proyek CIBE pada Kategori SDM 100%
100%
23
15 85% 10 4
5
0
75% Ketidaktepatan perencanaan tenaga kerja (kuantitas dan waktu) Frekuensi Kejadian
Kualitas tenaga kerja yang buruk (keterampilan dan keahlian) Frekuensi Kumulatif
Gambar 6. Pareto Chart Level 2 untuk Kategori SDM
5.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil pengolahan dan analisa data dengan menggunakan quality tools (Pareto Charts dan Cause and Effect Diagram), dapat disimpulkan bahwa keterlambatan proyek CIBE disebabkan oleh Non Excusable Delays (keterlambatan yang diakibatkan oleh tindakan, kelalaian, atau kesalahan kontraktor), di mana kategori yang paling dominan adalah kategori manajemen dan SDM. Pada kategori manajemen, faktor penyebab yang paling menentukan adalah identifikasi, durasi, dan rencana urutan kerja yang tidak lengkap dan tidak tersusun dengan baik. Sedangkan pada kategori SDM, faktor penyebab utamanya adalah ketidaktepatan perencanaan tenaga kerja (kuantitas dan waktu). Guna mengatasi faktor keterlambatan pada kategori manajemen, diusulkan tindakan korektif berupa perencanaan jadwal pelaksanaan yang lebih baik dengan memperhitungkan faktor-faktor yang mungkin dapat menimbulkan risiko yang mampu mempengaruhi kinerja proyek baik dari aspek kualitas, biaya dan waktu. Sedangkan untuk kategori SDM, tindakan korektif yang dapat diambil adalah menambah jumlah tenaga kerja ahli dan terampil serta penempatan tenaga kerja sesuai dengan waktu, material, dan peralatan yang dibutuhkan.
DAFTAR REFERENSI Badan Pusat Statistik Nasional (2014). Benchmark Statistik Konstruksi 1990-2012. From http://www.bps.go.id/hasil_publikasi/bench_stat_konstruksi_1990_2012/index3.php?pub=Benchmark% 20Statistik%20Konstruksi%202008-2012, 10 Juni 2014. Kementrian Advokasi Kebijakan Kampus Kabinet KM ITB 2012/2013 (2012). Proyek Pengembangan Kampus Ganesha. Lukmanasari, Srie Heruyani Stevia. 2014. Studi Upah dan Beban Biaya Pekerja Konstruksi di Indonesia. Prosiding Konferensi Nasional Pascasarjana Teknik Sipil (KNPTS) 2014. Materi Kuliah Manajemen Mutu Konstruksi KK Manajemen dan Rekayasa Konstruksi Institut Teknologi Bandung. Meifrinaldi, 2013. Penelaahan Kualitas Workmanship Pekerjaan Komponen Arsitektur pada konstruksi Gedung dan Pengendaliannya berdasarkan Konsep DMAIC (Studi Kasus : Pembangunan Asrama Mahasiswa Kampus ITB Jatinangor). Bandung : Institut Teknologi Bandung. Messah, dkk. 2013. Kajian Penyebab Keterlambatan Pelaksanaan Proyek Konstruksi Gedung di Kota Kupang. Jurnal Teknik Sipil, Vol. II, No. 2, September 2013. Susilawati, dkk. 2005. Harapan dan Realita Sistem Manajemen Mutu ISO 9000 dalam Penerapannya di Perusahaan Kontraktor. Civil Engineering Dimension, Vol 7, No. 1, 30-35, March 2005. Suyatno. 2010. Analisis Faktor Penyebab Keterlambatan Penyelesaian Proyek Gedung (Aplikasi Model Regresi). Semarang : Universitas Diponegoro.
9