Mahasiswi Jurusan Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014
Sapardi Damono. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. (Jakarta:Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1982), hlm.1
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Jakarta
Zainuddin Fananie, Telaah Sastra, (Surakarta: Muhammadiyah Univesity Press, 2002), hlm.84
Endah Tri Priyanti. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hlm.112
Wahyu Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), hlm.151
Ibid. Hlm.158
Dwi Laraswati. "Keterkaitan Tokoh Utama Terhadap Latar Sosial Budaya", (Skripsi tidak diterbitkan oleh Universitas Indonesia, 1993), hlm. 126
Surur, Miftahus. "Perempuan Tayub Nasibmu di Sana Nasibmu di Sini dalam Srinthil: Media Perempuan Multikultural". (Jakarta: Kajian, 2003), hlm.10
22
Hubungan Tokoh Utama Dengan Latar Kebudayaan Ronggeng
Dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari
Tugas Ini Disusun Untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Kajian Prosa
Dosen Pengampu: Novi Diah, M. Hum.
Oleh
Khaerunia Amalah 1112013000016
Abstrak
Analisis hubungan tokoh utama terhadap kebudayaan ronggeng dalam novel Trilogi: Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jentera Bianglala bertujuan untuk mengetahui bagaimana kebudayaan ronggeng ini mempengaruhi kehidupan tokoh utama.
Dalam penelitian di atas, penulis mempergunakan pendekatan ekstrinsik dan intrinsik atau disebut juga dengan pendekatan strukturalisme. Pendekatan ekstrinsik digunakan penulis dalam membahas kebudayaan ronggeng serta mengacu pada latar sosial budaya daerah Jawa. Pendekatan intrinsik dipakai penulis dalam membahas tema, tokoh, dan latar. Ketiga unsur itu dibahas karena mempunyai kaitan yang erat dan dapat memperjelas hubungan Srintil dengan kebudayaan ronggeng.
Hasil analisis menunjukkan, bahwa ada kaitan yang erat antara Srintil dengan kebudayaan ronggeng. Kebudayaan serta latar sosial ini sangat mempengaruhi kehidupan tokoh Srintil sebagai tokoh utama.
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah kenyataan sosial kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat dengan orang seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi pada batin seseorang.
Dalam karya-karyanya, Ahmad Tohari sering memunculkan tokoh dengan segala permasalahan dan penggambaran latar yang sangat menarik, baik latar waktu, latar fisik, maupun kebudayaannya, seperti halnya dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Penulis tertarik membahas novel tersebut karena Ahmad Tohari sebagai pengarang lebih jelas mengungkapkan masalah keberadaan dan rasa keputusasaan manusia. Masalah-maslah yang dihadapi tokoh utama sangat pelik sehingga menimbulkan gejolak di dalam diri tokoh yang bersangkutan. Gejolak yang timbul ini disebabkan oleh kebudayaan ronggeng. Hal inilah yang mendorong penulis untuk membahas hubungan tokoh utama dengan kebudayaan ronggeng.
Pemilihan masalah tokoh utama dikaitkan dengan kebudayaan ronggeng, karena adanya penggambaran tokoh utama dalam novel tersebut sangat menarik. Tokoh utama digambarkan sebagai seorang ronggeng, dengan latar waktu masa sebelum dan sesudah geger politik tahun 1965, dan bagaimana tokoh utama hidup ditengah-tengah masyarakat desa yang masih sangat terbelakang dengan kebudayaan Jawa kelas bawah (Ronggeng)
Rumusan Masalah
Bagaimana unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari?
Bagaimana kebudayaan ronggeng di Jawa?
Bagaiman hubungan tokoh utama dengan kebudayaan ronggeng?
Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
Mendeskripsikan unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
Mendeskripsikan kebudayaan ronggeng di Jawa.
Mendeskripsikan hubungan tokoh utama dengan kebudayaan ronggeng.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh antara lain:
Memberikan pengetahuan mengenai unsur intrinsik dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
Memberikan pengetahuan mengenai kebudayaan ronggeng di Jawa?
Memberikan pengetahuan mengenai hubungan tokoh utama dengan kebudayaan ronggeng?
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk menyusun makalah ini yaitu dengan mencari bacaan-bacaan dan materi-materi yang terkait dengan pembahasan yang bersumber dari buku-buku maupun internet.
Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai eksistensi Ahmad Tohari pernah dilakukan oleh Ali Imron dari Pendidikan Linguistik Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret pada tahun 2006, dengan skripsi berjudul "Ahmad Tohari dan Ronggeng Dukuh paruk". Kesimpulan skripsi ini yaitu: (1). Mencermati kekuatan dan keunikan dan kekhasan karya-karyanya maka eksistensinya sebagai sastrawan dapat disejajarkan dengan sastrawan-sastrawan terkemuka negeri ini. Tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa Ahmad Tohari dengan Ronggeng Dukuh Paruk yang memiliki kontribusi penting dalam jagat sastra Indonesia. (2). Figur tokoh Rasus dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk sebagai cerminan dari Ahmad Tohari, (3). Tohari mampu mengungkapkan masalah-masalah kemanusiaan yang kompleks yang ditunjang dengan keberaniannya melakukan bid'ah budaya, tanpa terjebak dalam khutbah yang sloganistis.
Penelitian terhadap novel trilogi ronggeng dukuh paruk karya Ahmad Tohari pernah dilakukan oleh Monica Martaose dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma pada tahun 2010. Skripsi Sanata Dharma berjudul "Pandangan Positif pada novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk". Kesimpulan penelitiannya yaitu: (1). unsur intrinsik dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk mengangkat tema mengenai karakteristik tokoh Ahmad Tohari dalam karyanya. Latar dalam novel tersebut sangat memperlihatkan karakteristik Ahmad Tohari. (2). Latar belakang penciptaan novel Ronggeng Dukuh Paruk yaitu pengarang ingin menunjukan situasi politik dan ekonomi sekitar tahun 1960-1965, (3). Tanggapan pembaca mengenai isi novel Ronggeng Dukuh Paruk yaitu mereka pada umumnya tertarik dengan cerita yang bagus mengenai kritik kondisi zaman orde baru.
Penelitian berjudul "Novel orang-orang proyek dan kaitannya dengan Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (Analisi Strukturalisme Genetik)". Disusun oleh Andi Dwi Handoko. Penelitian tersebut merupakan skripsi tahun 2010 dari fakultas FKIP, jurusan pendidikan bahasa dan seni Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1)keterjalinan antarunsur intrinsik dalam novel orang-orang proyek dan Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk; (2) pandangan dunia pengarang yang tercermin dalam novel orang-orang proyek dan Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk; dan (3) struktur social novel orang-orang proyek dan Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk.
BAB II
PEMBAHASAN
Biografi Pengarang
Ahmad Tohari, (lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, 13 Juni 1948; umur 61 tahun) adalah sastrawan Indonesia. Ia menamatkan SMA di Purwokerto. Namun demikian, ia pernah mengenyam bangku kuliah, yakni Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun, Jakarta (1967-1970), Fakultas Ekonomi Universitas Sudirman, Purwokerto(1974-1975), dan Fakultas Sosial Politik Universitas Sudirman (1975-1976). Ia pernah bekerja di majalah terbitan BNI 46, Keluarga, dan Amanah. Ia mengikuti International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat (1990) dan menerima Hadiah Sastra ASEAN (1995).
Dia menulis sejak sma dan setelah lulus menjadi wartawan si sebuah majalah. Pendidikan formalnya hanya mencapai SMTA di SMAN II Purwokerto. Namanya mulai muncul pada pertengahan 1970-an. Dia mulai dikenal ketika sebuah cerpennya mendapat penghargaan kincir emas dari Radio Hiversum. Kemudian karya novelnya juga mendapat posisi juara pada Sayembara Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Kemudian karyanya direkomendasikan untuk diterbitkan. Ahmad tohari adalah salah seorang contoh pengarang yang besar melalui sayembara DKJ.
Karya-karyanya, yaitu: Kubah (novel) (novel, 1980); Ronggeng Dukuh Paruk (novel, 1982); Lintang Kemukus Dini Hari (novel, 1985); Jantera Bianglala (novel, 1986); Di Kaki Bukit Cibalak (novel, 1986); Senyum Karyamin (kumpulan cerpen, 1989); Bekisar Merah (novel, 1993); Lingkar Tanah Lingkar Air (novel, 1995); Nyanyian Malam (kumpulan cerpen, 2000); Belantik (novel, 2001); Orang Orang Proyek (novel, 2002); Rusmi Ingin Pulang (kumpulan cerpen, 2004); Ronggeng Dukuh Paruk Banyumasan (novel bahasa Jawa, 2006; meraih Hadiah Sastera Rancagé 2007). Karya-karya Ahmad Tohari telah diterbitkan dalam bahasa Jepang, Tionghoa, Belanda dan Jerman. Edisi bahasa Inggrisnya sedang disiapkan penerbitannya.
Sinopsis Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari
Dukuh Paruk adalah sebuah pedukuhan terpencil dan juga miskin. Namun, warganya memiliki suatu kebanggan tersendiri karena mewarisi kesenian ronggeng yang senantiasa menggairahkan hidupnya. Siapapun di Dukuh Paruk, hanya mengenal dua irama. Orang-orang tua bertembang kidung, dan anak-anak menyanyikan lagu-lagu ronggeng. Tradisi ronggeng di Dukuh Paruk nyaris musnah setelah terjadi musibah keracunan tempe bongkrek yang mematikan belasan warga Dukuh Paruk dan juga ronggengnya pada masa itu. Hal itu melenyapkan gairah dan semangat kehidupan masyarakat setempat. Namun untungnya pada suatu hari mereka menemukan kembali semangat kehidupan setelah ada gadis cilik berusia sebelas tahun secara alamiah menyanyikan lagu-lagu ronggeng dan memperlihatkan bakatnya sebagai calon ronggeng ketika bermain-main bersama Rasus, Warta, dan Darsum.
Permainan menari Srintil dan nyanyian erotik ronggeng terlihat oleh Sakarya, kakek Srintil. Sakarya tersenyum. Sudah lama pemangku keturunan Ki Secamanggala itu merasakan hambarnya Dukuh Paruk karena tidak lahirnya seorang Ronggeng disana. Dukuh Paruk tanpa ronggeng bukanlah Dukuh Paruk. Sakarya kemudian sadar bahwa cucunya sungguh berbakat menjadi seorang ronggeng. Berbekal keyakinan itu, Sakarya menyerahkan Srintil kepada pasangan suami istri Kartareja sebagai dukun ronggeng Dukuh Paruk dengan harapan kelak Srintil akan menjadi Ronggeng yang terkenal dan diakui oleh banyak orang. Hanya dituntun oleh nalurinya, Srintil mulai menari dan menyanyikan lagu-lagu yang sulit yang pasti belum pernah dipelajarinya karena usianya yang masih sebelas tahun. Sehingga Kartareja percaya penuh bahwa Srintil memang dilahirkan di Dukuh Paruk atas Restu Ki Secamenggala dengan tugas menjadi Ronggeng. Bahwa Srintil telah mendapat indang.
Terdapat sekitar dua puluh tiga rumah berada dalam pendukuhan itu dan konon dihuni oleh orang-orang seketurunan dari darah Ki Secamanggala. Semua orang Dukuh Paruk sudah sangat merindukan suara calung. Belasan tahun lamanya mereka tidak melihat pagelaran ronggeng. Ronggeng ibarat tangan kanan dari para leluhurnya di Dukuh Paruk. Maka masyarakat sangat antusias dan gembira disaat Srintil dinobatkan menjadi Ronggeng baru di Dukuh Paruk. Sebagai seorang ronggeng Srintil harus menjalani serangkaian upacara tradisional dari upacara mandi di makam Ki Secamenggala lalu puncaknya adalah upacara bukak klambu, yakni upacara menyerahkan keperawanannya kepada lelaki yang mampu memberi imbalan paling mahal. Meskipun Srintil merasa takut dan ngeri, tak ada kekuatan dan keberanian untuk menolaknya. Di sisi lain, Rasus sangat mencintai Srintil dan hakiki perempuan pada umumnya karena ia ingin menghargai emaknya sebagai seorang perempuan. Di pedukuhan itu Rasuslah yang diam-diam mendapatkan keperawanan Srntil tanpa harus memberikan imbalan kepada Srintil. Rasus yang tak bisa berbuat banyak setelah Srintil resmi menjadi Ronggeng ia memutuskan untuk memilih pergi meninggalkan Srintil sendirian di Dukuh Paruk.
Menginjak usia delapan belas tahun, Srintil mulai menyadari bahwa dirinya hanyalah seorang perempuan. Srintl sedikit demi sedikit mengenal dirinya dari sisi lain. Bukan sebagai perempuan milik bersama, melainkan sebagai seorang perempuan dalam arti yang paling bersahaja. Perempuan yang merasa tidak utuh tanpa kepastian seorang laki-laki dalam hidupnya, dan dalam hatinya. Srintil ingin memiliki suami juga anak dan hatinya jatuh pada sosok Rasus. Rasus yang terluka hatinya karena tidak terima Srintil menjadi ronggeng dan dimiliki oleh semua orang memutuskan untuk pergi dari Dukuh Paruk menuju pasar Dawuan. Disanalah Rasus mengalami perubahan garis kehidupan dan budaya. Melalui Sersan Slamet, Rasus remaja yang miskin dan buta huruf menjadi seorang prajurit tentara yang gagah setelah sebelumnya hanya menjadi pembantu sersan. Posisinya sebagai tentara memperoleh penghormatan dari Dukuh Paruk. Apalagi setelah Rasus berhasil menggagalkan perampokan yang terjadi di rumah Kartareja yang menyimpan harta kekayaan Ronggeng Srintil.
Beberapa hari singgah di Dukuh Paruk Rasus sempat menikmati kemanjaan Srintil sepenuhnya. Tapi itu semua tidak menggoyahkan tekadnya untuk menjauhi Srintil dan dukuhnya yang miskin. Pada saat fajar merekah, Rasus pergi tanpa berpamitan pada Srintil yang masih tertidur pulas. Kepergian Rasus tanpa pamit sangat mengejutkan dan menyadarkan Srintil bahwa ternyata tidak semua lelaki dpat ditundukan oleh seorang ronggeng. Setelah kejadian itu Srintil nampak murung dan sikap Srintil membuat orang-orang disekitanya menjadi heran. Dalam kurun waktu tertentu, Srintil tidak ingin menari sebagai Ronggeng.
Perlawanan atau pemogokan Srintil masih bertahan ketika datang tawaran menari dari Kantor Kecamatan Dawuan yang akan menggelar pentas kesenian menyambut perayaan Agustusan. Kalau pun pada akhirnya runtuh dan pasrah, bukan semata-mata tergugah untuk kembali tampil menari sebagai seorang ronggeng, melainkan mendengar ancaman Pak Ranu dari Kantor Kecamatan. Srintil menyadari kedudukannya sebagai orang kecil yang tak berhak melawan kekuasaan. Sama selaki ia tidak membayangkan akibat lebih jauh dari penampilannya di panggung perayaan Agustusan yang pada tahun 1964 sengaja dibuat berlebihan oleh orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI). Warna merah dipasang di mana-mana dan muncullah pidato-pidato yang menyebut-nyebut rakyat tertindas, kapitalis, imperalis, dan sejenisnya.
Pemberontakan PKI kandas dalam sekejap dan akibatnya orang-orang PKI atau mereka yang dikira PKI dan siapa pun yang berdekatan dengan PKI di daerah mana pun ditangkapi dan di tahan. Nasib itu terjadi juga pada Srintil yang harus mendekam di tahanan tanpa alasan yang jelas. Pada mulanya, terjadi paceklik di mana-mana sehingga menimbulkan kesulitan ekonomi secara menyeluruh. Pada waktu itu, orang-orang Dukuh Paruk tidak berpikir panjang dan tidak memahami berbagai gejala zaman yang berkembang di luar wilayahnya. Dalam masa paceklik yang berkepanjangan, Srintil terpaksa lebih banyak berdiam di rumah, karena amat jarang orang mengundangnya berpentas untuk suatu hajatan. Akan tetapi, tidak lama kemudian ronggeng Srintil sering berpentas di rapat-rapat umum yang selalu dihadiri atau dipimpin tokoh Bakar. Walaupun Srintil tidak memahami makna rapat-rapat umum, pidato yang sering diselenggarakan orang. Yang dia pahami hanyalah menari sebagai ronggeng atau melayani nafsu kelelakian. Tapi hubungan mereka tetap baik.
Hubungan mereka merenggang setelah beberapa kali terjadi penjarahan padi yang dilakukan oleh orang-orang kelompok Bakar. Sukarya merasa tersinggung dengan Bakar, karena Bakar mengungkit-ungkit masa lampau Ki Secamenggala yang dikenal orang sebagai bromocorah. Karena hal itu Sakarya memutuskan hubungan dengan kelompok Bakar. Sakarya tidak hanya melarang ronggeng Srintil berpentas di rapat-rapat umum, tetapi juga meminta pencabutan lambang partai. Akan tetapi, Bakar menanggapinya dengan sikap bersahaja. Dalam tempo singkat, Dukuh Paruk kembali ketradisinya yang sepi dan miskin. Akan tetapi, kedamaian itu hanya sebentar, karena mereka kemudian kembali bergabung dengan kelompok Bakar setelah terkecoh oleh kerusakan cungkup makam Ki Secamenggala. Sakarya menduga kerusakan itu ulah kelompok Bakar yang sakit hati, tetapi kemudian beralih ke kelompok lain setelah menemukan sebuah caping bercat hijau di dekat pekuburan itu. Sayang, mereka tidak mampu membaca simbol itu. Dan Srintil pun semangat menari walaupun tariannya tidak seindah penampilannya yang sudah-sudah.
Ternyata penampilan yang berlebihan itu merupakan akhir perjalanan Srintil sebagai ronggeng. Mendadak pasar malam bubar tanpa penjelasan apa pun dan banyak orang limbung, ketakutan, dan kebingungan, sehingga kehidupan terasa sepi dan mencekam. Berbagai peristiwa menjadikan orang-orang Dukuh Paruk ketakutan, tetapi tidak mengetahui cara-cara penyelesaiannya. Yang terpikir adalah melaksanakan upacara selamatan dan menjaga kampung dengan ronda setiap saat. Keesokan harinya orang-orang Dukuh Paruk melepas langkah Kartareja dan Srintil yang berniat meminta perlindungan polisi di Dawuan. Tapi ternyata harapan berlindung kepada polisi itu berantakan, karena kepolisian dan tentara justru sudah menyimpan catatan nama Srintil yang terlanjur populer sebagai ronggeng rakyat yang mengibarkan bendera PKI.
Srintil pulang ke Dukuh Paruk setelah dua tahun mendekam dalam tahanan politik dengan kondisi kejiwaan yang sangat tertekan. Ia berjanji menutup segala kisah dukanya selama dalam tahanan dan bertekad melepas predikat ronggengnya untuk membangun sebuah kehidupan pribadinya yang utuh sebagai seorang perempuan Dukuh Paruk, meskipun tidak mengetahui sedikitpun keberadaan Rasus. Tanpa sepengetahuan Srintil, Nyai Kartareja menghubungi Marsusi. Akibatnya, Srintil mengumpat kebodohan neneknya dan meratapi nasibnya sebagai perempuan yang terlanjur dikenal sebagai ronggeng. Untungah Srintil masih bisa mengelak perangkap Marsusi. Selepas dari perangkap Marsusi, Srintil kembali mendapat tekanan dari lurah Pecikalan agar mematuhi kehendak Pak Bajus. Bajus hendak menikahi Srintil, sehingga Srintil berusaha mencintai Bajus. Tapi Srintil sangat kecewa, karena Bajus ternyata lelaki impoten yang justru hanya berniat menawarkannya kepada seorang pejabat proyek. Srintil pun mengalami goncangan jiwa dan akhirnya menderita sakit gila sampai akhirnya dibawa ke rumah sakit jiwa oleh Rasus.
Unsur Intrinsik Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk
Tema
Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra. Tema bisa berupa persoalan moral, etika, agama, sosial, budaya, ekologi, tradisi yang terkait erat dengan permasalahan kehidupan. Namun tema bisa berupa pandangan, ide, atau keinginan pengarang dalam menyiasati persoalan yang muncul.
Tema yang diangkat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, yaitu tentang kehidupan seorang Ronggeng Dukuh Paruk yang merasa putus asa dan kisah cintanya. Dengan latar waktu peristiwa yang diceritakan ini berhubungan dengan keadaan politik pada masa revolusi lahirnya orde baru (1965). Tradegi nasional Oktober 1965 yang berujung kepada kesimpulan bahwa PKI menjadi pihak yang harus bertanggung jawab atas semua kejadian berdarah yang berujung pada tragedi penangkapan dan pembunuhan masal.
2. Alur
Alur atau plot adalah rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan sebab akibat. Karena itu peristiwa adalah unsur utama alur. Alur yang digunakan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah alur campuran dan merupakan alur kronologi yang menceritakan suatu peristiwa sebelas tahun yang lalu, yaitu peristiwa tempe bongkrek. Di awal penceritaan sebagai tahap penyuntingan, pencerita memperkenalkan desa yang menjadi latar dari novel ini, pencerita menceriakan sebuah desa yang bernama Dukuh Paruk dengan memberikan gambaran fisik desa ini, sejarah desa ini, penghuni desa ini, kepercayaan desa ini, dan juga kebudayaannya.
"..., Dukuh Paruk hanya dihubungkan oleh jaringan pematang sawah, hampir dua kilometer panjangnya. Dukuh Paruk, kecil dan menyendiri." (hlm. 10)
"Dua puluh tiga rumah berada di pedukuhan itu, dihuni oleh orang-orang seketurunan. Konon, moyang semua orang Dukuh Paruk adalah Ki Secamenggala, seorang bromocorah yang sengaja mencari daerah paling sunyi sebagai tempat menghabiskan riwayat keberandalan. Di dukuh Paruk inilah akhirnya Ki Secamenggala menitipkan darah dagingnya." (hlm. 10).
"Semua orang Dukuh Paruk tahu Ki Secamenggala, moyang mereka, ... mereka memujanya. Kubur Ki Secamenggala ... menjadi kiblat kehidupan batin mereka." (hlm. 10)
"Dukuh Paruk hanya lengkap bila di sana ada keramat Ki Secamenggala, ada seloroh cabul, ada sumpah serapah, dan ada ronggeng bersama perangkat calungnya." (hlm.15)
Setelah menceritakan latar tempat, barulah pencerita memperkenalkan tokoh utama dalam novel ini, yaitu Rasus dan Srintil. Tetapi, di bab pertama tokoh Rasus tidak banyak diceritakan, hanya diberi tahu bahwa di tepi kampung ada tiga anak laki-laki, yaitu Rasus, Darsun, dan Warta. Bab pertama lebih banyak menceritakan tokoh Srintil, gadis kecil berusia sebelas tahun yang pandai menari dan dikatakan mendapat suatu wangsit untuk menjadi seorang ronggeng yang disebut indang. Selanjutnya penceritaan terus maju hingga Srintil tampil menari di depan warga Dukuh Paruk. Namun, penampilan Srintil mengingatkan kembali bencana yang menimpa Dukuh Paruk sebelas tahun yang lalu, maka alur penceritaannya pun menjadi mundur, flash back ke kejadian sebelas tahun yang lalu tepatnya tahun 1946. Pada tahun itu Dukuh Paruk terkena malapetaka, malapetaka itu dikenal dengan malapetaka tempe bongkrek karena hampir seluruh warga Dukuh Paruk meninggal akibat keracunan tempe bongkrek.
Penceritaan tentang malapetaka ini berlajut hingga bab dua, di sini tokoh aku, yaitu Rasus menceritakan bagaimana malapetaka tersebut telah menghilangkan nyawa ayahnya dan ketidakjelasan akan keberadaan Emak. Di sinilah tahap pemunculan konflik. Ketidakjelasan akan keberadaan Emak menyebabkan ia selalu berimajinasi, bahkan sosok Emak ia hidupkan dalam angan-angannya dan ia gambarkan ke dalam diri Srintil.
"Akhirnya kubiarkan Emak hidup abadi dalam alam angan-anganku. Terkadang Emak datang sebagai angan-angan getir. Terkadang pula dia hadir memberi kesejukan padaku: Rasus, anak Dukuh Paruk sejati." (hlm.36)
Selanjutnya alur cerita terus maju, walau di tengah-tengah sering kali flash back setiap tokoh aku teringat Emak.
3. Tokoh dan Penokohan
Tokoh utama dalam novel RDP adalah srintil, pengarang menggambarkan srintil sebagai seorang ronggeng yang cantik berperawakan menarik serta perempuan yang sempurna fisiknya yang dianggap sebagai titisan dari Ki Secamanggala. Kutipan berikut memperlihatkan kecantikan srintil serta kesempurnaan fisik yang dimilikinya.
"Mulutnya mungil. Cambang tipis di pipinya menjadi nyata setelah Srintil dibedaki. Alis yang diperjelas dengan jelaga bercampur getah pepaya membuatnya kelihatan seperti boneka." Hlm.18
Tokoh pembantu utama adalah Rasus dilukiskan sebagai seorang pemuda rakyat biasa yang tidak mempunyai status kebangsaan, tinggal di daerah terpencil yang mempunayi status rendah, kurang pengetahuan serta mudah rapuh. Hal ini secara eksplisit disampaikan pengarang sebagaimana tampak pada kutipan berikut.
"Aku tidak rela hal semacam itu terjadi. Tetapi lagi-lagi terbukti seorang anak dari Dukuh Paruk bernama Rasus terlalu lemah untuk menolak hal buruk yang amat dibencinya. Jadiaku hanya bisa mengumpat dalam hati dan meludah. Asu buntung!"hlm.53
Tokoh bawahan dalam novel RDP diantaranya:
Santayib memiliki sifat keras, tidak mudah putus asa, dan penyayang.
Istri santayib mempunyai sifat baik, patuh, dan penyayang.
Nenek Rasus, memiliki sifat penyayang, sabar dan pikun.
Sakarya, (kakek Srintil) memiliki sifat kolot, keras, dan penyayang
Nyai Sakarya (nenek Srintil) mempunyai sifat penyayang, penyabar dan peduli kepada orang lain (tetangga), namun dia tetap tunduk pada nasibnya sebagai rakyat kecil.
Sakum memiliki sifat tekun,baik, optimis akan hidupnya,.
Ki Kertareja memiliki sifat kolot, keras, penyayang, licik.
Nyai Kartareja memiliki sifat materialistis, pandai membujuk dan licik.
Sersan Pujo mempunyai sifat baik dan tegas.
4. Latar
Latar adalah tempat dan waktu terjadinya cerita. Sesuai dengan judul novelnya Ronggeng Dukuh Paruk, novel ini berlatar tempat di sebuah pedukuhan bernama Dukuh Paruk. Sebuah desa terpencil yang dihuni orang-orang berkeyakinan mistis dengan memuja makam Ki Secamenggala, moyang mereka. Desa ini terkenal dengan kemelaratannya, keterbelakangannya, keramat Ki Secamenggala, seloroh cabul, sumpah serapah, dan ronggeng beserta perangkat calungnya.
Hampir seluruh kejadian terjadi di pedukuhan atau sekitar pedukuhan ini, seperti di tepi kampung tempat Rasus, Darsun, dan Warta berjuang mencabut singkong; di bawah pohon nangka tempat Srintil menari dan Rasus, Darsun, serta Warta dan mereka mengiringi tariannya; di halaman rumah Kartareja tempat Srintil menari di hadapan warga pedukuhan; di pancuran tempat Rasus memberi papaya kepada Srintil; di rumah Kartareja tempat Rasus memberi keris kepada Srintil, terjadinya perundingan antara Kartareja, Istri Kartareja, Dower, dan Sulam, terjadinya perampokan; di kamar Srintil tempat terjadinya malam bukak-klambu; di perkuburan Dukuh Paruk tempat Rasus dan Srintil berdiskusi; di makam Ki Secamenggala tempat Srintil menjalani upacara permandian; di belakang rumah Kartareja tempat Srintil menyerahkan keperawanannya kepada Rasus; di ujung pematang tempat Rasus dan Kopral Ujo mengintai dan akhirnya melihat perampok datang ke pedukuhan; di rumah Sakarya tempat terjadinya perampokkan pertama di pedukuhan; dan di rumah nenek Rasus tempat Rasus bertemu neneknya dan berdiskusi dengan Srintil dan di tempat inilah Rasus meninggalkan Srintil dan neneknya.
Selain berlatar tempat di pedukuhan, novel ini juga bercerita di Dawuan, tempat Rasus pergi melarikan diri dari pedukuhan; di pasar Dawuan tempat ia bekerja dan di sini juga kadang-kadang ia berjumpa dengan Srintil; di warung cendol tempat Srintil dan Rasus berdiskusi; di depan pasar Dawuan tempat kedatangan tentara; di markas tentara tempat Rasus diminta untuk menjadi Tobang; dan di hutan tempat Rasus menembak patung yang dibuat mirip mantri yang ia anggap telah membawa kabur Emak.
Kejadian yang diceritakan pada novel Ronggeng Dukuh Paruk terjadi pada sebelas tahun setelah malapetaka tempe bongkrek. Di novel dipaparkan malapetaka tempe bongkrek terjadi pada tahun 1946.
"Sebelas tahun yang lalu ketika Srintil masih bayi." (hlm.21)
"Seandainya ada seorang di Dukuh Paruk yang pernah bersekolah, dia dapat mengira-ngira saat itu hampir pukul dua belas tengah malam, tahun 1946." (hlm.21)
Selanjutnya cerita dilanjutkan setelah dua bulan Srintil menjadi Ronggeng. Diceritakan pada Jum'at malam, Dower datang ke rumah Kartareja memberi dua buah uang rupiah perak sebagai panjar. Kemudian Sabtu malam diceritakan sebagai malam bukak-klambu. Cerita pun berlanjut hingga tahun 1960, pada tahun ini wilayah Kecamatan Dawuan tidak aman karena sering terjadinya perampokan dengan kekerasan senjata.
"Sudah dua bulan Srintil menjadi Ronggeng." (hlm.43)
"Tahun 1960 wilayah Kecamatan Dawuan tidak aman." (hlm.90)
Kemudian cerita pun berjalan hingga dua tahun berikutnya. Selain itu, kejadian-kejadian yang terjadi dalam novel ini sering kali diceritakan pada waktu sore dan malam hari. Ada juga sebagian latar waktu digambarkan dengan suasananya, seperti "...sampai matahari menyentuh cakrawala." (hlm.14); "...pada malam yang bening itu," (hlm.15); "Pada hari baik," (hlm.17); "Dalam haru-biru kepanikan..." (hlm.25); "Sore hari paling getir yang pernah kualami." (hlm 68); dan "...sebelum matahari terbenam," (hlm.99).
5. Sudut Pandang
Sudut Pandang Penceritaan adalah posisi dan penempatan diri pengarang dalam ceritanya, dan di mana sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dan gayanya sendiri dalam cerita itu.
Sudut pandang dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah sudut pandang "akuan" sebagai pemain dan narator. Pemain yang bertindak sebagai pelaku utama cerita merangkap juga sebagai narator yang menceritakan tentang orang lain. Kadang kala ia terlibat dalam cerita, tetapi ketika yang lain, ia bertindak sebagai pengamat yang berada di luar cerita. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, "aku" sebagai pelaku dapat dilihat dari bagaimana "aku" mengiringi Srintil menari ronggeng di bawah pohon nangka dengan instrumen mulut, bagaimana "aku" menyelipkan keris warisan mendiang ayahnya ke bawah bantal Srintil, atau bagaimana "aku" menjadi lelaki pertama yang menikmati keperawanan Srintil, dan masih banyak yang lainnya. Sedangkan, "aku" sebagai narator atau pencerita dapat dilihat dari kutipan:
"Dukuh Paruk dengan segala isinya, termasuk cerita Nenek itu, hanya bisa kurekam setelah aku dewasa. Apa yang kualami sejak kanak-kanak kusimpan dalam ingatan yang serba sederhana. Dengan kemampuan seorang anak pula, kurangkaikan cerita sepotong-potong yang kudengar dari kiri-kanan. Baru setelah aku menginjak usia dua puluh tahun, aku mampu menyusunnya menjadi sebuah catatan." (hlm.32)
Selain itu, dapat dilihat juga dari pikiran dan renungan "aku" yang berisi persoalan yang menyangkut etika, seperti ketika "aku" menghadapi dilema dua versi yang berlainan tentang kematian Emak; atau persoalan-persoalan yang sifatnya sangat teknis, seperti ketika "aku" mendeskripsikan sebab-sebab keracunan tempe bongkrek. Pastinya "aku" pelaku sebagai seorang bocah desa tak berpendidikan berusia empat belas tahun tidak mungkin memiliki pemikiran seperti itu, terlebih lagi untuk memahami dengan jelas istilah-istilah seperti karbohidrat, kalori, evaluasi, fenomena, bakteri pseudomonas coccovenenans, dan virginitas.
6. Gaya Bahasa
Gaya cerita atau gaya bahasa adalah cara pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu memuaskan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. Kekuatan novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah bagaimana Ahmad Tohari mendeskripsikan latar cerita dengan jelas hingga memasukan beberapa hewan dan beberapa pohon di dalamnya. Namun, Ahmad Tohari tidak sembarangan memasukan hewan-hewan tersebut, hewan-hewan tersebut ia masukan sesuai dengan keserasian terhadap lingkungan hidup, seperti "kearifan alam agar pohon randu baru tidak tumbuh berdekatan dengan biangnya", "pohon dadap memilih cara yang hampir sama bagi penyebaran jenisnya", dan "kampret harus mau melahap daun waru agar kehidupan jenisnya lestari". Dengan begitu, gaya bahasa yang digunakan Ahmad Tohari begitu agraris, dekat dengan alam, dan masyarakat pedesaan.
Untuk memperkuat bahwa masyarakat Dukuh Paruk adalah masyarakat yang percaya terhadap mistis, maka Ahmad Tohari memasukan mantra di dalam novel ini, yaitu mantra agar tampak lebih cantik. Di sini diceritakan Nyai Kartareja meniupkan mantra pekasih ke ubun-ubun Srintil agar Srintil tampak lebih cantik.
"uluk-uluk perkutut manggung,
teka saka ngendi,
teka saka tanah sabrang
pakanmu apa,
pakanku madu tawon
manis madu tawon,
ora manis kaya putuku, Srintil." (hlm.18)
Selain itu, sering kali Ahmad Tohari menggunakan kata-kata kasar di dalam dialog antar tokoh, seperti anjing, asu buntu, bajingan tengik, bangsat, dan kampret. Ini merupakan penguat bagaimana gambaran masyarakat pedukuhan yang selalu berkata kasar dan berseloroh cabul.
7. Amanat
Melalui novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk ini pengarang jelas ingin memberikan suatu pelajaran, bahwa janggalah menganggap hina seorang wanita yang mempunyai pekerjaan sebagai wanita tuna susila. Apalagi jika wanita itu merasa jera dan tidak mau lagi menjalani pekerjaannya itu. Sebagai anggota masyarakat, kita harus dapat menerima mereka apa adanya dan memaafkan segala kesalahan mereka yang lalu. Kita harus memberikan kesempatan bagi mereka untuk memperbaiki diri. Jika tidak, akan terjadi seperti yang dialami tokoh srintil. Ia menjadi gila karena masyarakat tidak dapat menerima kenyataan, bahwa ia sudah merasa jera mempunyai pekerjaan sebagai seorang ronggeng sekaligus menjadi wanita tuna susila.
Analisis Hubungan Tokoh Utama dengan Kebudayaan Ronggeng
Kebudayaan
Di Jawa, khususnya di Jawa Tengah seni terbagi dua, yaitu seni kraton dan seni rakyat. Seni kraton adalah seni yang dikembangkan dan dipelihara di Kraton. Seni ini lahir di lingkungan kraton, muncul dan berkembang dengan terawat. Khususnya dalam seni tari, dalam gerakannya seni kraton halus, anggun, dan bernilai tinggi. Sedangkan seni rakyat adalah seni yang tumbuh bebasb dan liar di luar kraton, dianggap tidak terawat. Dalam tarian, gerakannya kasar dan bernilai rendah. Salah satu seni rakyat yang berkembang luas di daerah-daerah adlah seni tayub. Istilah lain untuk jenis kesenian semacam ini, dibebarapa daerah disebut dengan ledek (di Jepon: Blora), dan Ronggeng (Ciamis, Jawa Barat).
Pada awalnya seni tayub adalah seni yang berasal dari kraton. Seni tayub bermula dari seni tari gambyong istana yang bernilai tingggi, kemudian pecah menjadi dua, yakni tari gabyong berselera tinggi dan berselera rendah. Tari gabyong berselera tinggi berkembang menjadi seni tayub dimana dalamnya ada tari gabyong bernilai tinggi, dan sampai sekarang masih dapat dilihat sebagai tari gabyong mandiri. Sedangkan tari gabyong yang berselera rendah berkembang menjadi seni tayuban, yang mengandung tari gabyong bernilai rendah. Karena tarian ini melibatkan unsur seni, seks, dan alkohol serta penari wanitanya merangkap sebagai wanita tuna susila.
Kata Ronggeng berasal dari kata renggana (Bahasa Sansekerta) yang berarti wanita pujaan. Wanita-wanita pujaan ini mempunyai peranan sebagai penghibur para tamu di istana-istana pada waktu diselenggarakan upacara kerajaan. Arti ronggeng sekarang ini ialah wanita yang mempunyai pekerjaan sebagai seorang penyanyi sekaligus penari. Kesenian ronggeng telah lama populer dalam kehidupan masyarakat Indonesia, terutama Jawa. Kesenian ronggeng tumbuh dan berkembang di daerah Banyumas. Kesenian tradisi ini terdiri atas ronggeng (penari) dan peralatan gamelan calung (bambu) yang terdiri atas gambang barung, gambang penerus, dhendhem, kenong dan gong yang kesemuanya terbuat dari bamboo wulung (hitam), sedangkan kendang atau gendang sama seperti gendang biasa. Satu grup calung minimal memerlukan tujuh orang anggota terdiri dari penabuh gamelan dan penari/ ronggeng / lengger. Di antara gerakan khas tarian ronggeng adalah gerakan geyol (goyang pinggul), gedheg (pacak gulu, goyang leher), dan lempar sampur. Ronggeng (tayub, lengger, ledhek) berdasarkan sejarah, mitos, dan tradisi pernah menjadi legenda dan digandrungi warga masyarakat pedesaan.
Pada awal kelahirannya, tayub merupakan ritual untuk sesembahan demi kesuburan pertanian. Penyajian tayub diyakini memiliki kekuatan magic-simpatetis dan berpengarauh pada upacara sesembahan itu. Melalui upacara "bersih desa", aparat desa mengajak warganya untuk melakukan tarian di sawah-sawah dengan harapan keberkatan itu muncul melalui prosesi yang mereka lakukan. Tanaman menjadi subur dan masyarakat terhindar dari marabahaya. Tayub menjadi pusat kekuatan penduduk desa seperti halnya slametan, atau bahkan salat tahajud bagi kaum santri. Lazimnya, tarian ronggeng disuguhkan oleh laki-laki dan perempuan yang menari bersamaan (ngibing). Laki-laki disimbolkan sebagai benih tanaman yang siap tumbuh dan berkembang, sedangkan perempuan sebagai lahan yang siap ditanami. Seiring dengan keyakinan masyarakat akan daya magic-simpatetis tarian ronggeng, penyajiannya kemudian beralih tidak lagi di sawah-sawah, tetapi merambah dunia resepsi khitanan atau pernikahan. Kekuatan gaib yang ada pada ronggeng itu dianggap turut berpengaruh terhadap kesuburan pasangan sehingga berkah itu diharapkan segera mewujud dalam bentuk kelahiran anak. Selain itu, laki-laki dan perempuan yang melakukan praktik tari kesuburan itu tidak menganggapnya sebagai ajang jual-beli seks, tetapi sebagai unsur sah sebuah mitos. Meskipun akhirnya, ronggeng tidak lagi disajikan dalam upacara-upacara tasyakuran, ronggeng berubah menjadi seni hiburan rakyat.
Hubungan Tokoh Utama dengan Kebudayaan Ronggeng
Tokoh utama adalah tokoh yang mempunyai frekuensi kemunculan yang lebih besar dari tokoh-tokoh lainnya. Selain itu tokoh utama memegang peranan penting dalam membangun kelancaran cerita, dan juga dari diri tokoh utama inila cerita berlangsung. Berdasarkan hal tersebut tokoh utama dalam nove ini adalah Srintil.
Srintil merupakan cucu Sakarya, dalam usia sebelas tahun ia sudah dipercaya mendapatkan indang tanpa disadarinya. Ketika itu ia sedang bermain-main sambil menyanyikan lagu ronggeng dan menari seperti layaknya ronggeng. Padahal ia sama sekali belum pernah melihat pentas ronggeng. Dengan kepolosannya Srintil menyanyikan lagu yang sering dinyanyikan oleh seorang ronggeng.
"Dengan suara kekanak-kanakannya, Srintil mendendangkan lagu kebanggan para ronggeng: Sengot timbane rante, tiwas ngegot ning ora suwe. Lagu erotik. Srintil, perawan yang baru sebelas tahun, menyanyikannya dengan sungguh-sungguh. Boleh jadi Srintil belum paham"h benar makna lirik lagu itu. Namun saja. Dukuh Paruk tidak akan bersusah hati bila ada anak kecil menyanyikan lagu yang paling cabul sekalipun."hlm.10-11
"Siapa yang akan percaya, tak seorang pun pernah mengajari Srintil menari dan bertembang. Siapa yang akan percaya, belum sekali pun Srintil pernah melihat ronggeng. Ronggeng terakhir di Dukuh Paruk mati ketika Srintil masih bayi." Hlm.13
"Di pedukuhan itu ada kepercayaan kuat, seorang ronggeng sejati bukan hasil pengajaran. Bagaimanapun diajari, seorang perawan tak bisa menjadi ronggeng kecuali roh indang telah merasuk tubuhnya. Indang adalah semacam wangsit yang dimuliakan di dunia peronggengan." Hlm.13
Setelah Srintil diyakini mendapat indang ini mempengaruhi kehidupan tokoh. Srintil harus menjalani tiga upacara sebelum dinobatkan menjadi seorang ronggeng. Pertama adalah upacara yang dilakukan di pelantaran rumah dukun ronggeng, Kartareja untuk mengetahui apakah benar Srintil telah mendapatkan inang. Kedua adalah upacara pemandiaan di makam leluhur Ki Secamenggala untuk meminta restu atas kelahiran ronggeng baru. Ketiga adalah bukak-klambu, ini dilakukan agar seorang ronggeng terbiasa untuk melakukan hubungan intim dengan lawan jenisnya. Namun, Srintil membenci upacara yang ketiga karena ia merasa takut dan ngeri. Pada akhirnya Srintil memberikan keperawanannya kepada Rasus teman sepermainannya.
"Aku benci, benci. Lebih baik aku berikan padamu. Rasus, sekarang kau tak boleh menolak seperti kau lakukan tadi siang. Di sini bukan pekuburan. Kita takkan kena kutuk. Kau mau bukan?"hlm.76
"Sepatah pun aku tak bisa menjawab. Kerongkonganku terasa tersekat. Karena gelap aku tak dapat melihat dengan jelas. Namun aku merasakan Srintil melepaskan rangkulan, kemudian sibuk melepaskan pakaiannya."hlm.76
Semua upacara telah dilaksanakan walaupun upacara bukak-klambu tidak berjalan dengan aturan dan hanya Srintil juga Rasus yang mengetahui kejadian tersebut. Srintil telah resmi menjadi seorang Ronggeng. Ketenaran Srintil sampai ke desa-desa yang jauh seperti Alaswangkal di sana ia diminta menjadi seorang gowok. Seorang gowok memberi pelajaran kepada anak laki-laki itu tentang kehidupan berumah tangga.
"Seorang gowok akan memberikan pelajaran kepada anak laki-laki itu banyak hal perikehidupan berumah tangga. Dari keperluan dapur sampai bagaimana memperlakukan seorang istri secara baik...." hal.201
Ketenarannya menjadi ronggeng dinikmati dengan senang hati. Sampai akhirnya saat Srintil berusia tujuh belas tahun. Pada saat itu ia mulai jenuh dan merasa benar-benar jatuh cinta kepada Rasus teman sepermainannya. Srintil ingin meninggalkan dunia peronggengan asalkan Rasus menjadikannya seorang istri. Akan tetapi Rasus menolaknya dan memutuskan untuk pergi meninggalkan Srintil walaupun dirinya mencintai Srintil. Di sinilah kehidupan Srintil mulai berubah. Kebudayaan ronggeng yang melekat pada diri Srintil sangat mempengaruhi kehidupannya ia ditinggalkan orang yang sangat dicintainya pada awalnya Srintil merasa sedih dan putus asa. Akhirnya ia menerima kepergian Rasus.
"Srintil masih terlalu muda untuk memahami keretakan-keretakan yang terjadi dalam dirinya sendiri. Pada mulanya Srintil merasa sedih dan putus asa. Kemudian seperti yang diajarkan oleh Dukuh Paruk, Srintil menganggap semua kegetiran yang dialaminya merupakan bagian garis hidup yang harus dilaluinya. Maka pada dasarnya Srintil pasrah dan nrimo saja. Dalam hidup ini orang harus nrimoo pandum; ikhlas menerima jatah, jatah yang manis atau jatah yang getir."hlm.141
Keharusan menjadi ronggeng mengubah jalan hidup dan hakikat keperempuanan Srintil. Menjadi ronggeng yang sesuai tradisi berarti menjadi wanita milik umum dan tak diijinkan jatuh cinta pada pria, terlebih menikah. Ia harus rela melayani setiap pria yang mau membayarnya. Akan tetapi, hal itu ditentang Srintil karena kenyataannya tidak semua laki-laki dapat meniduri Srintil walaupun laki-laki itu membawakan bayaran yang sangat menyilaukan. Hal itu dikarenakan Srintil yang amat mencintai Rasus dan ingin menikah dengannya. Dalam hal ini, Goder menjadi kekuatan perubahan mendasar dalam hidup Srintil. Seorang bayi lemah tak berdaya, justru jadi kekuatan dahsyat yang merubah kepahitan Srintil menjadi kebahagiaan. Figur Goder sang bayi tampil sebagai ketulusan, kepolosan, dan kesucian. Goder adalah harapan yang tidak diperoleh Srintil. Bayi Goder menjadi tali penyelamat untuk jiwanya yang sepi dan sumber harapannya untuk menemukan cinta Rasus kembali.
Keputusasaan Srintil hanya sesaat karena indang masih bersemayam didirinya Srintil pun kembali meronggeng. Srintil tidak lagi meronggeng di desa akan tetapi disetiap rapat yang diadakan oleh suatu partai dan diketaui partai tersebut adalah PKI. Karena keterbelakangan orang-orang Dukuh Paruh yang tidak miskin juga buta huruf mereka tidak mengetahui bahwa telah terlibat dalam PKI. Pada masa itu terjadilah pemberotakan PKI dan menyebabkan semua warga Dukuh Paruk ditanggap termasuk Srintil. Walaupun Srintil tidak bersalah ia ditahan selama dua tahun. Berbeda dengan warga Dukuh Paruk yang lain ada yang dua minggu setelah itu bebas dan ada yang berbulan-bulan baru dibebaskan. Pada akhirnya Srintil pun dibebaskan dengan syarat wajib lapor. Setelah Srintil dibebaskan Srintil sudah tidak ingin menjadi seorang ronggeng. Srintil merasa lelah, malu, jenuh dan sadar akan peran sesungguhnya sebagai wanita. Srintil menginginkan menjadi seorang istri yang utuh dan memiliki anak.
"Betul! Andaikan dipaksa meronggeng pun sampean bakal tidak laku. Burung indang telah terbang dari kurungan. Indang ronggeng kini tidak ada pada tubuh sampean". Hlm335.
Penggeseran kebudaayaan ronggeng yang melekat pada diri Srintil mempengaruhi kehidupannnya. Kepunahan inang pada diri Srintil membuatnya menjadi tidak tertarik lagi pada kebudayaan ronggeng. Tradisi ronggeng tidak terlihat lagi setelah Srintil ditahan dan merupakan kepunahan orientasi tradisi ronggeng. Nilai-nilai tradisi ronggeng yang pernah diagung-agungkan oleh Srintil ternyata dijungkir balikan dengan begitu dahsyat. Tradisi ronggeng di dalam benak srintil punah bersama kepiluan jiwanya setelah Bajus menyakiti perasaannya dan mengingatkannya pada kekejaman PKI yang dirasakannya secara mendalam sehingga Srintil menjadi gila karena ia masih dianggap sebagai wanita tuna susila oleh Bajus (suami Srintil).
Berdasarkan analisis ditemukn hubungan tokoh utama dengan kebudayaan ronggeng:
Kebudayaan Ronggeng membuat kehidupan Srintil menjadi lebih baik dalam hal kekayaan, karena dari hasil meronggeng sekaligus menjual diri Srintil bisa memiliki rumah yang bagus, emas dan juga sawah.
Kebudayaan Ronggeng seharusnya menjadi sebuah kebudayaan yang indah bukan menjadi sarana kemaksiakatan yang pada akhirnya membuat Srintil menjadi seorang yang tidak pantas dijadikan sebagai seorang istri. Hal ini dibuktikan dari Rasus yang menolak menikahi Srintil.
Kebudayaan Ronggeng menjadikan Srintil seperti Ratu yang dikenal hingga ke luar daerah Dukuh Paruk.
Kebudayaan Ronggeng seharusnya menjadikan wanita menjadi lebih indah, terhormat dan terpandang bukan menjadikan wanita menjadi seorang yang rendahan serta murahan. Srintil dianggap tetap murahan walaupun dirinya sudah tidak meronggeng lagi ini terbukti dari suaminya yang bernama Bajus menjual diri Srintil ke laki-laki lain.
BAB III
KESIMPULAN
Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk merupakan karya monumental. Pengarang novel Ronggeng Dukuh Paruk bernama Ahmad Tohari, seorang penulis dari Banyumas. Merupakan sastrawan Indonesia yang jeli dalam mengamati fenomena-fenomena sosial budaya. Kehidupan masyarakat yang kompleks dan rumit ia tuangkan dalam tulisan dengan menggunakan bahasa sederhana yang terkadang masih lekat dengan jawa. Lebih dari 50 skripsi dan tesis lahir dari novel ini. Selain itu novel ini telah diterjemahkan ke dalam 4 bahasa asing, yaitu bahasa, Jepang, Jerman, Belanda dan Inggris, di samping dibuat pula dalam bahasa daerah Jawa. Bahkan di jurusan Sastra Asia Timur, novel ini menjadi bacaan wajib bagi mahasiswa. Diantara karya-karyanya, Ronggeng Dukuh Paruk sering disebut-sebut oleh para kritikus sastra Indonesia sebagai karya masterpeace-ny. Karya terbaik Ahmad Tohari ini merupakan novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk: Catatan buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala (PT Gramedia Pustaka Utama, 1981- 1986-2003).
Tema yang diangkat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, yaitu tentang kehidupan seorang Ronggeng Dukuh Paruk yang merasa putus asa dan kisah cintanya. Dengan latar waktu peristiwa yang diceritakan ini berhubungan dengan keadaan politik pada masa revolusi lahirnya orde baru (1965). Tradegi nasional Oktober 1965 yang berujung kepada kesimpulan bahwa PKI menjadi pihak yang harus bertanggung jawab atas semua kejadian berdarah yang berujung pada tragedi penangkapan dan pembunuhan masal.
Penggeseran kebudaayaan ronggeng yang melekat pada diri Srintil mempengaruhi kehidupannnya. Kepunahan inang pada diri Srintil membuatnya menjadi tidak tertarik lagi pada kebudayaan ronggeng. Tradisi ronggeng tidak terlihat lagi setelah Srintil ditahan dan merupakan kepunahan orientasi tradisi ronggeng. Nilai-nilai tradisi ronggeng yang pernah diagung-agungkan oleh Srintil ternyata dijungkir balikan dengan begitu dahsyat. Tradisi ronggeng di dalam benak srintil punah bersama kepiluan jiwanya setelah Bajus menyakiti perasaannya dan mengingatkannya pada kekejaman PKI yang dirasakannya secara mendalam sehingga Srintil menjadi gila karena ia masih dianggap sebagai wanita tuna susila oleh Bajus (suami Srintil).
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1982
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Jakarta
Fananie, Zainuddin. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah Univesity Press. 2002
Siswanto, Wahyu. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT. Grasindo. 2008.
Laraswati, Dwi. Keterkaitan Tokoh Utama Terhadap Latar Sosial Budaya. Skripsi tidak diterbitkan oleh Universitas Indonesia. 1993.
Miftahus, Surur. Perempuan Tayub Nasibmu di Sana Nasibmu di Sini dalam Srinthil: Media Perempuan Multikultural. Jakarta: Kajian. 2003.