MAKALAH FARMAKOLOGI OLEH KELOMPOK 6 KELAS C.11 PROGRAM DIII KEBIDANAN UNIVERSITAS INDONESIA TIMUR MAKASSAR 2013
KATA PENGANTAR Allhamdulilah ,segala puji da syukur bagi Allah SWT .Yang telah memberikan Rahmat dan Hidayat,saya sehingga Makalah FARMAKOLOGI yang berjudul “ HORMON TIROID & ANTI TIROID ” dapat terselesaikan. Di dalam makalah ini di jelaskan tentang seluruh mekanisme hormon tiroid &anti tiroid .kami telah berusaha menyelesaikan menyelesaikan makalah ini dengan kemampuan yang ada,Namun bagian-bagian mana dari kekurangan dan kejanggalan itu orang yang lebih mengetahui. Kemudian tidak lupa kami mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pengajar.Serta teman yang telah bersedia memeberikan bantuan kepada saya dalam menyelesaikan menyelesai kan makalah ini. Kepada Allah SWT semua saya kembalikan , akhirnya semoga makalah ini berrman be anffat bag agii yang me memb mbaaca cany nya. a. Mak akaassa sarr , 10 Ja Jan nua uarI rI 20 2013 13 Pe Penu nullis BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Kelenjar tiroid terletak tepat dibawah laring pada k edua sisi dan sebelah anterior trakea. Tiroid menyekresikan dua hormon utama, tiroksin dan triiodotironin serta hormon kalsitonin yang mengatur metabolisme kalsium bersama dengan parathormon yang dihasilkan oleh kelenjar paratiroid Kerja kelenjar tiroid ini dipengaruhi oleh kecukupan asupan iodium. Defisiensi hormon tiroid ini dapat menimbulkan gangguan tertentu yang spesifik. Cretinism, misalnya, yang ditandai dengan gangguan pertumbuhan dibawah normal disertai dengan retardasi mental merupakan akibat dari hormon tiroid yang inadekuat pada saat perkembangan janin. Kekurangan asupan yodium yang biasanya terjadi pada daerah goiter (gondok) endemis banyak terjadi karena defisiensi yodium menyebabkan hipotiroidisme sehingga mengakibatkan pembengkakan kelenjar. Kelenjar tiroid memproduksi hormon tiroid, yang akan disimpan sebagai residu asam amino tiroglobulin, tiroglobulin merupakan glikoprotein yang menempati se bagian besar folikel koloid kelenjer tiroid. Secara garis besar, sintesis, penyimpanan, sekresi dan konversi hormone tiroid terdiri dari beberapa tahap: • ambilan ion yodida oleh kelenjer • oksidasi yodida dan yodinasi gugus tirosil pada tiroglobulin • penggabungan residu yodotirosin dan menghasilkan yodotironin • resorpsi koloid tiroglobulin dari lumen kedalam sel • proteolsis tiroglobulin dan pengeluaran atau sekresi tiroksin ( T4 ) dan ( T 3 ) ke aliran darah • recyling yodium diantara sel -sel tiroid melalui deodinasi dari mono dan diadotirasin dan penggunaan kembali ion yodida dan konversi T4 menjadi T3 di jaringan perifer da dalam kelenjer tiroid.
A. Latar Belakang Masalah Hipertiroidisme merupakan salah satu penyakit gangguan kelenjar endokrin yang disebabkan karena peningkatan produksi hormone tiroid secara berlebihan oleh kelenjar tiroid. Penyakit ini ditemukan pada 2% wanita dan 0,2% pria di seluruh populasi dengan insiden munculnya kasus pertahun sebanyak dua puluh orang penderita tiap satu juta populasi (Fumarola et al, 2010). Berbagai manifestasi klinik yang muncul akibat penyakit ini dapat mengganggu aktivitas pasien sehari-hari. Manifestasi klinik yang dirasakan pasien dapat berupa gangguan psikiatrik seperti rasa cemas berlebihan dan emosi yang mudah berubah, gangguan pencernaan berupa diare, hingga gangguan kardiovaskuler berupa takikardi dan palpitasi (Bahn et al , 2011). Pada pasien hipertiroidisme, terapi yang diberikan dapat berupa terapi konservatif dengan pemberian obat anti tiroid maupun terapi pengurangan atau ablasi kelenjar tiroid dengan iodine radioaktif dan tiroidektomi (pengangkatan kelenjar tiroid) yang disesuaikan dengan etiologi penyakit dan pilihan pasien. Dari ketiga pilihan terapi tersebut, terapi dengan obat anti tiroid merupakan salah satu terapi yang banyak digunakan. Obat anti tiroid yang digunakan secara luas sebagai lini pertama adalah golongan thionamide, yang terdiri dari propylthiouracil dan methimazole. 2Obat anti tiroid umumnya digunakan selama lebih dari enam bulan hingga pasien mencapai remisi dan pengobatan dapat dihentikan. Selama menggunakan obat anti tiroid pasien dapat mengalami efek samping berupa munculnya ruam kulit, gangguan hepar hep ar dan agranulositosis (Fumarola et al , 2010). Pada penggunaan obat anti tiroid, rasionalitas terapi memegang peranan penting dalam menjamin penggunaan obat yang tepat, aman dan efektif. Dengan pemilihan jenis obat anti tiroid dan pemberian dosis yang tepat, kondisi euthyroid dan remisi dapat lebih cepat tercapai dan memperpendek durasi terapi. Dan dengan penggunaan obat yang sesuai dengan kondisi pasien dapat mengurangi risiko efek samping yang muncul. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian mengenai evaluasi terapi pengobatan hipertiroidisme dengan obat anti tiroid perlu dilakukan untuk mengetahui gambaran pola pengobatan hipertiroidisme di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan mengevaluasi rasionalitas pengobatan agar terapi mendapatkan outcome yang diharapkan. B. Perumusan Masalah 1 . Seperti apakah karakteristik pasien hipertiroidisme di instalasi rawat jalan RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2007 – 2007 – 2012? 2012? 2. Bagaimana pola penggunaan obat anti tiroid pada pasien hipertiroidisme rawat
A. Latar Belakang Masalah Hipertiroidisme merupakan salah satu penyakit gangguan kelenjar endokrin yang disebabkan karena peningkatan produksi hormone tiroid secara berlebihan oleh kelenjar tiroid. Penyakit ini ditemukan pada 2% wanita dan 0,2% pria di seluruh populasi dengan insiden munculnya kasus pertahun sebanyak dua puluh orang penderita tiap satu juta populasi (Fumarola et al, 2010). Berbagai manifestasi klinik yang muncul akibat penyakit ini dapat mengganggu aktivitas pasien sehari-hari. Manifestasi klinik yang dirasakan pasien dapat berupa gangguan psikiatrik seperti rasa cemas berlebihan dan emosi yang mudah berubah, gangguan pencernaan berupa diare, hingga gangguan kardiovaskuler berupa takikardi dan palpitasi (Bahn et al , 2011). Pada pasien hipertiroidisme, terapi yang diberikan dapat berupa terapi konservatif dengan pemberian obat anti tiroid maupun terapi pengurangan atau ablasi kelenjar tiroid dengan iodine radioaktif dan tiroidektomi (pengangkatan kelenjar tiroid) yang disesuaikan dengan etiologi penyakit dan pilihan pasien. Dari ketiga pilihan terapi tersebut, terapi dengan obat anti tiroid merupakan salah satu terapi yang banyak digunakan. Obat anti tiroid yang digunakan secara luas sebagai lini pertama adalah golongan thionamide, yang terdiri dari propylthiouracil dan methimazole. 2Obat anti tiroid umumnya digunakan selama lebih dari enam bulan hingga pasien mencapai remisi dan pengobatan dapat dihentikan. Selama menggunakan obat anti tiroid pasien dapat mengalami efek samping berupa munculnya ruam kulit, gangguan hepar hep ar dan agranulositosis (Fumarola et al , 2010). Pada penggunaan obat anti tiroid, rasionalitas terapi memegang peranan penting dalam menjamin penggunaan obat yang tepat, aman dan efektif. Dengan pemilihan jenis obat anti tiroid dan pemberian dosis yang tepat, kondisi euthyroid dan remisi dapat lebih cepat tercapai dan memperpendek durasi terapi. Dan dengan penggunaan obat yang sesuai dengan kondisi pasien dapat mengurangi risiko efek samping yang muncul. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian mengenai evaluasi terapi pengobatan hipertiroidisme dengan obat anti tiroid perlu dilakukan untuk mengetahui gambaran pola pengobatan hipertiroidisme di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan mengevaluasi rasionalitas pengobatan agar terapi mendapatkan outcome yang diharapkan. B. Perumusan Masalah 1 . Seperti apakah karakteristik pasien hipertiroidisme di instalasi rawat jalan RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2007 – 2007 – 2012? 2012? 2. Bagaimana pola penggunaan obat anti tiroid pada pasien hipertiroidisme rawat
jalan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya? 3 3. Bagaimana evaluasi rasionalitas penggunaan obat antitiroid pada pasien hipertiroidisme rawat jalan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode tahun 2007 – 2007 – 2012 2012 berdasarkan standar terapi Hyperthyroidism terapi Hyperthyroidism and Other Causes of Thyrotoxicosis: Management Guidelines of The American Thyroid Association and American Association of Clinical Endocrinologists tahun 2011 serta Pedoman Diagnosis dan Terapi RSUD Dr. Soetomo Edisi III tahun 2008? 4. Berapa lama durasi terapi yang dibutuhkan dengan obat anti tiroid hingga pasien mencapai kondisi euthyroid ? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui karakteristik pasien hipertiroidisme di instalasi rawat jalan RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2007 – 2007 – 2012? 2012? 2. Mengetahui pola penggunaan obat anti tiroid pada pasien hipertiroidismerawat jalan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya 3. Mengetahui evaluasi rasionalitas penggunaan obat anti tiroid pada pasien hipertiroidisme rawat jalan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode tahun 2007 – 2007 – 2012 2012 berdasarkan standar terapi Hyperthyroidism terapi Hyperthyroidism and Other Causes of Thyrotoxicosis: Management Guidelines of The American Thyroid Association and American Association of Clinical Endocrinologists tahun 2011 serta Pedoman Diagnosis dan Terapi RSUD Dr. Soetomo Edisi III tahun 2008. 4. Mengetahui durasi terapi yang dibutuhkan dengan obat anti tiroid hingga pasien mencapai kondisi euthyroid . 4 D. Manfaat Penelitian 1. Bagi RSUD Dr. Soetomo Surabaya : penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pola pengobatan pasien hipertiroidisme dengan obat anti tiroid dan dapat menjadi pertimbangan dalam penatalaksaan terapi yang lebih tepat sehingga dapat dicapai outcome terapi yang lebih baik. 2. Bagi peneliti dan pembaca : hasil penelitian dapat memberi pengetahuan dan wawasan mengenai pola penggunaan obat anti tiroid di instalasi rawat jalan RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan evaluasi penggunaan yang meliputi ketepatan indikasi, ketepatan pasien dan kesesuaian obat berdasarkan standar terapi Hyperthyroidism terapi Hyperthyroidism and Other Causes of Thyrotoxicosis: Management Guidelines of The American Thyroid Association and American Association of Clinical Endocrinologists tahun 2011 serta Pedoman Diagnosis dan Terapi RSUD Dr. Soetomo Edisi III tahun 2008. E. Tinjauan Pustaka 1. Definisi Hipertiroidisme Menurut American Menurut American Thyroid Association dan American dan American Association of Clinical Endocrinologists, Endocrinologists, hipertiroidisme didefinisikan sebagai kondisi berupapeningkatan kadar hormon tiroid yang disintesis dan disekresikan oleh kelenjar tiroid melebihi normal (Bahn et al , 2011). Hipertiroidisme merupakan salah satu bentuk thyrotoxicosis atau tingginya kadar hormon tiroid, T4, T3 maupun kombinasi keduanya, di aliran darah. Peningkatan kadar hormon tiroid menyebabkan paparan berlebihan pada
5 jaringan-jaringan tubuh yang menyebabkan munculnya berbagai manifestasi klinik yang terkait dengan fungsi hormon tiroid da lam berbagai proses metabolisme tubuh (Bartalena, 2011). 2. Faktor Risiko a. Terjadinya hipertiroidisme Menurut Anonim (2008), faktor-faktor risiko seseorang untuk terkena hipertiroidisme sebagai berikut: 1) Memiliki riwayat gangguan tiroid sebelumnya seperti goiter atau pernah menjalani operasi kelenjar tiroid. 2) Memiliki riwayat penyakit autoimun seperti diabetes mellitus dan gangguan hormonal. 3) Adanya riwayat gangguan tiroid di keluarga. 4) Mengkonsumsi iodine dalam jumlah berlebihan secara kronik. 5) Menggunakan obat-obatan yang mengandung iodine seperti amiodarone. 6) Berusia lebih dari 60 tahun. b. Kambuh (relapse) Terjadinya kekambuhan setelah pengobatan hipertiroidisme terutama dengan obat antitiroid cukup tinggi dengan persentase 30 – 70% (Bartalena, 2011). Kekambuhan pada pasien hipertiroidisme dapat terjadi satu tahun setelah pengobatan dihentikan hingga bertahun-tahun 6 setelahnya. Secara umum faktor-faktor risiko terjadi kekambuhan hipertiroidisme adalah sebagai berikut: 1) Berusia kurang dari 40 tahun. 2) Ukuran goiter tergolong besar. 3) Merokok. 4) Serum TSH-receptor Antibody (TSAb) masih terdeteksi di akhir pengobatan dengan obat anti tiroid. 5) Faktor psikologis seperti depresi. 3. Etiologi Berdasarkan etiologinya hipertiroidisme dapat dibagi menjadi beberapa kategori, secara umum hipertiroidisme yang paling banyak ditemukan adalah Graves’ Disease, toxic adenoma, dan multinodular goiter. a. Graves’ Disease Graves’ disease merupakan penyebab utama hipertiroidisme karena sekitar 80% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan oleh Graves’ disease. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia 20 – 40 tahun, riwayat gangguan tiroid keluarga, dan adanya penyakit autoimun lainnya misalnya diabetes mellitus tipe 1 (Fumarola et al , 2010). Graves’ disease merupakan gangguan autoimun berupa peningkatan kadar hormon tiroid yang dihasilkan kelenjar tiroid Ko ndisi ini disebabkan karena adanya thyroid stimulating antibodies (TSAb) yang dapat berikatan dan mengaktivasi reseptor TSH (TSHr). Aktivasi reseptor TSH oleh TSAb 7
memicu perkembangan dan peningkakan aktivitas sel-sel tiroid menyebabkan peningkatan kadar hormon tiroid melebihi normal. TSAb dihasilkan melalui proses respon imun karena adanya paparan antigen. Namun pada Graves’ Disease sel-sel APC (antigen presenting cell ) menganggap sel kelenjar tiroid sebagai antigen yang dipresentasikan pada sel T helper melalui bantuan HLA (human leucocyte antigen). Selanjutnya T helper akan merangsang sel B untuk memproduksi antibodi berupa TSAb. Salah satu faktor risiko penyebab timbulnya Graves’ Disease adalah HLA. Pada pasien Graves’ Disease ditemukan adanya perbedaan urutan asam amino ke tujuh puluh empat pada rantai HLA-DRb1. Pada pasien Graves’ Disease asam amino pada urutan ke tujuh puluh empat adalah arginine, sedangkan umumnya pada orang normal, asam amino pada urutan tersebut berupa glutamine (Jacobson et al , 2008). Untuk membantu menegakkan diagnosis pasien menderita Graves’ disease perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Menurut Baskin et al (2002), pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis Graves’ disease yaitu TSH serum, kadar hormon tiroid (T3 dan T4) total dan bebas, iodine radioaktif, scanning dan thyrotropin receptor antibodies (TRAb). Pada pasien Graves’ disease, kadar TSH ditemukan rendah disertai peningkatan kadar hormon tiroid. Dan pada pemeriksaan dengan iodine radioaktif ditemukan uptake tiroid yang melebihi normal. Sedangkan pada teknik scanning iodine terlihat menyebar di semua bagian kelenjar tiroid, dimana pola penyebaran iodine pada Graves’ disease 8 berbeda pada hipertiroidisme lainnya. TRAb ditemukan hanya pada penderita Graves’ disease dan tidak ditemukan pada penyakit hipertiroidisme lainnya sehingga dapat dijadikan sebagai dasar diagnosis Graves’ Disease. Selain itu TRAb dapat digunakan sebagai parameter keberhasilan terapi dan tercapainya kondisi remisi pasien (Okamoto et al , 2006). Menurut Bahn et al (2011), terapi pada pasien Graves’ disease dapat berupa pemberian obat anti tiroid, iodine radioaktif atau tiroidektomi. Di Amerika Serikat, iodine radioaktif paling banyak digunakan sebagai terapi pada pasien Graves’ disease. Sedangkan di Eropa dan Jepang terapi dengan obat anti tiroid dan operasi lebih banyak diberikan dibandingkan iodine radioaktif. Namun demikian pemilihan terapi didasarkan pada kondisi pasien misalnya ukuran goiter, kondisi hamil, dan kemungkinan kekambuhan. Selain pemberian terapi di atas, pasien Graves’ disease pe rlu mendapatkan terapi dengan beta-blocker. Beta-blocker digunakan untuk mengatasi keluhan seperti tremor, takikardia dan rasa cemas berlebihan. Pemberian beta-blocker direkomendasikan bagi semua pasien hipertiroidisme dengan gejala yang tampak (Bahn et al , 2011). b. Toxic Adenoma Pada pasien toxic adenoma ditemukan adanya nodul yang dapat memproduksi hormon tiroid. Nodul didefinisikan sebagai masa berupa folikel tiroid yang memiliki fungsi otonom dan fungsinya tidak terpeng aruhi oleh kerja TSH (Sherman dan Talbert, 2008).
9 Sekitar 2 – 9% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan karena hipertiroidisme jenis ini. Menurut Gharib et al (2007), hanya 3 – 7% pasien dengan nodul tiroid yang tampak dan dapat teraba, dan 20 – 76% pasien memiliki nodul tiroid yang hanya terlihat dengan bantuan ultra sound . Penyakit ini lebih sering muncul pada wanita, pasien berusia lanjut, defisiensi asupan iodine, dan riwayat terpapar radiasi. Pada pasien dengan toxic adenoma sebagian besar tidak muncul gejala atau manifestasi klinik seperti pada pasien dengan Graves’ disease. Pada sebagian besar kasus nodul ditemukan secara tidak sengaja saat dilakukan pemeriksaan kesehatan umum atau oleh pasien sendiri. Sebagian besar nodul yang ditemukan pada kasus toxic adenoma bersifat benign (bukan kanker), dan kasus kanker tiroid sangat jarang ditemukan. Namun apabila terjadi pembesaran no dul secara progresif disertai rasa sakit perlu dicurigai adanya pertumbuhan kanker. Dengan demikian perlu dilakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap kondisi pasien untuk memberikan tatalaksana terapi yang tepat. Munculnya nodul pada tiroid lebih banyak ditemukan pada daerah dengan asupan iodine yang rendah. Menurut Paschke (2011), iodine yang rendah menyebabkan peningkatan kadar hidrogen peroksida di dalam kelenjar tiroid yang akan menyebabkan mutasi. Hal ini sesuai dengan Tonacchera dan Pinchera (2010), yang menyatakan pada penderita hipertiroidisme dengan adanya nodul ditemukan adanya mutasi pada reseptor TSH. 10 Pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis toxic adenoma adalah pemeriksaan TSH, kadar hormon tiroid bebas, ultrasonography dan fine-needle aspiration (FNA). Pemeriksaan TSH merupakan pemeriksaan awal yang harus dilakukan untuk mengevaluasi fungsi kelenjar tiroid, serta perlu dilakukan pemeriksaan kadar hormon tiroid (T4 dan T3). Ultrasonography merupakan pemeriksaan yang menggunakan gelombang suara frekuensi tinggi untuk mendapatkan gambar dan bentuk kelenjar tiroid. Dengan pemeriksaan ini dapat diidentifikasi bentuk dan ukuran kelenjar tiroid pasien. Sedangkan pemeriksaan dengan fine-needle aspiration digunakan untuk mengambil sampel sel di kelenjar tiroid atau biopsi. Dari hasil biopsi dengan FNA dapat diketahui apakah nodul pada pasien bersifat benign (non kanker) atau malignant (kanker) (Gharib et al , 2010). Tata laksana terapi bagi pasien hipertiroidisme akibat toxic adenoma adalah dengan iodine radioaktif atau tiroidektomi. Sebelum dilakukan tindakan dengan iodine radioaktif atau tiroidektomi pasien disarankan mendapat terapi dengan obat anti tiroid golongan thionamide hingga mencapai kondisi euthyroid (Bahn et al , 2011). Setelah terapi dengan iodine radioaktif dan tiroidektomi perlu dilakukan evaluasi setiap 1-2 bulan meliputi evaluasi kadar TSH, T4 bebas dan T3 total. Serta dilakukan tes ultrasonography untuk melihat ukuran nodul (Gharib et al , 2010). c. Toxic Multinodular Goiter Selain Grave’s Disease dan toxic adenoma, toxic multinodular goiter
merupakan salah satu penyebab hipertiroidisme yang paling umum di dunia. 11 Secara patologis toxic multinodular goiter mirip dengan toxic adenoma karena ditemukan adanya nodul yang menghasilkan hormon tiroid secara berlebihan, namun pada toxic multinodular goiter ditemukan beberapa nodul yang dapat dideteksi baik secara palpasi maupun ultrasonografi. Penyebab utama dari kondisi ini adalah faktor genetik dan defisiensi iodine. Tatalaksana utama pada pasien dengan toxic multinodular goiter adalah dengan iodine radioaktif atau pembedahan. Dengan pembedahan kondisi euthyroid dapat tercapai dalam beberapa hari pasca pembedahan, dibandingkan pada pengobatan iodine radioaktif yang membutuhkan waktu 6 bulan. d. Hipertiroidisme Subklinis Graves’ Disease, toxic adenoma, dan toxic multinodular goiter merupakan penyebab utama hipertiroidisme utama di seluruh dunia dan termasuk dalam jenis overt hyperthyroidism. Pada hipertiroidisme jenis ini, kadar TSH ditemukan rendah atau tidak terdeteksi disertai peningkatan kadar T4 dan T3 bebas (Bahn et al , 2011). Selain ketiga jenis di atas, sekitar 1% kasus hipertiroidisme disebabkan hipertiroidisme subklinis. Pada hipertiroidisme sub klinis, kadar TSH ditemukan rendah disertai kadar T4 dan T3 bebas atau total yang normal. Menurut Ghandour (2011), 60% kasus hipertiroidisme subklinis disebabkan multinodular goiter. Pada pasien yang menderita h ipertiroidisme subklinis dapat ditemukan gejala klinis yang tampak pada pasien overt hyperthyroidism. 12 Menurut Bahn et al , 2011 prinsip pengobatan hipertiroidisme sub klinis sama dengan pengobatan overt hyperthyroidism. 4. Diagnosis Diagnosis hipertiroidisme ditegakkan tidak hanya berdasarkan gejala dan tanda klinis yang dialami pasien, tetapi juga berdasarkan hasil laboratorium dan radiodiagnostik. Menurut Ghandour dan Reust (2011), untuk menegakkan diagnosis hipertiroidisme, perlu dilakukan pemeriksaan kadar TSH serum, T3 bebas, T4 bebas, dan iodine radioaktif seperti pada gambar I. Gambar 1. Algoritma Diagnosis Hipertiroidisme (Ghandour, 2011) Ukur TSH serum. Kadar di bawah normal (<0,5 mIU/L)? Apakah kadar TSH di atas Normal (>5 mIU/L)? Jika kadar TSH di dalam rentang normal, pertimbangkan penyebab lain dari gejala klinik Tidak Ukur T3 dan T4 bebas. Terjadi peningkatan? Jika kadar T3 dan T4
normal, curigai hipertiroidisme subklinik Tidak Tidak Lakukan pemeriksaan RAI. Apakah uptake RAI tinggi? Ya Ya Jika uptake RAI rendah atau normal, ukur tiroglobulin. Terjadi peningkatan? Tidak Jika kadar tiroglobulin rendah, curigai hipertiroidisme eksogen Tidak Ukur kadar T3 dan T4 bebas. Jika tinggi, rujuk pemeriksaan kelenjar tiroid dengan MRI untuk memeriksa adanya tumor Jika pola uptake menyebar (diffuse), diffuse), curigai Graves’ Disease Jika pola uptake nodular, curigai multinodular goiter Curigai tiroiditis subklinis Ya Ya Ya 13 a. TSH Thyroid stimulating hormone (TSH) merupakan hormon yang diproduksi oleh hipofisis untuk menstimulasi pembentukan dan sekresi hormon tiroid oleh kelenjar tiroid. Pada kondisi normal terdapat negative feedback pada feedback pada pengaturan sekresi TSH dan hormon tiroid di sistem pituitarythyroid sistem pituitarythyroid axis. axis. Apabila kadar hormon tiroid di aliran a liran darah melebihi normal, maka hipofisis akan mengurangi sekresi TSH yang pada akhirnya akan mengembalikan kadar hormon tiroid kembali normal. Sebaliknya apabila kadar hormon tiroid rendah maka hipofisis akan mensekresi TSH untuk memacu produksi hormon tiroid. Bahn et al (2011), menyarankan pemeriksaan serum TSH sebagai pemeriksaan lini pertama pada kasus hipertiroidisme karena perubahan kecil pada hormon tiroid akan menyebabkan perubahan yang n yata pada kadar serum TSH. Sehingga pemeriksaan serum TSH sensitivitas dan spesifisitas paling baik dari pemeriksaan darah lainnya untuk menegakkan diagnosis gangguan tiroid. Pada semua kasus hipertiroidisme (kecuali hipertiroidisme sekunder atau yang disebabkan produksi TSH berlebihan) serum TSH akan sangat
rendah dan bahkan tidak terdeteksi (<0.01 mU/L). Hal ini bahkan dapat diamati pada kasus hipertiroidisme ringan dengan nilai T4 dan T3 yang normal sehingga pemeriksaan serum TSH direkomendasikan sebagai pemeriksaan standar yang harus dilakukan (Bahn et al , 2011). 14 b. T4 dan T3 Pemeriksaan serum tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) direkomendasikan sebagai pemeriksaan standar untuk diagnosis hipertiroidisme. Pemeriksaan utamanya dilakukan pada bentuk bebas dari hormon tiroid karena yang menimbulkan efek biologis pada sistem tubuh adalah bentuk tak terikatnya. Pada awal terapi baik dengan obat anti tiroid, iodine radioaktif dan tiroidektomi pemeriksaan kadar hormon tiroid perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi sebelum terapi. Satu bulan setelah terapi perlu dilakukan pemeriksaan terhadap free terhadap free T4, total T3 dan TSH untuk mengetahui efektivitas terapi yang diberikan dan pemeriksaan dilakukan setiap satu bulan hingga pasien euthyroid (Bahn et al , 2011). Selain itu dari rasio total T3 dan T4 dapat digunakan untuk mengetahui etiologi hipertiroidisme yang diderita pasien. Pada pasien h ipertiroidisme akibat Graves’ Disease dan toxic nodular goiter rasio total T3 dan T4> 20 karena lebih banyak T3 yang disintesis pada kelenjar tiroid hiperaktif dibandingkan T4 sehingga rasio T3 lebih besar. Sedangkan pada pasien painless thyroiditis dan post-partum dan post-partum thyroiditis rasio total T3 dan T4< 20 (Bahn et al , 2011; Baskin et al , 2002). Menurut Beastall et al (2006), monitoring pada pasien hipertiroidisme yang menggunakan obat anti tiroid tidak cukup hanya ditegakkan dengan pemeriksaan kadar TSH. Hal ini disebabkan pada pasien hipertiroidisme terutama Graves’ disease kadar TSH ditemukan tetap rendah pada awal 15 pemakaian obat anti tiroid sehingga untuk melihat efektivitas terapi perlu dilakukan pemeriksaan kadar T4 bebas. c. Thyroid Receptor Antibodies (TRAb) Dalam menegakkan diagnosis hipertiroidisme akibat autoimun atau Graves’ disease perlu dilakukan pemeriksaan titer antibodi. Tipe TRAb yang biasanya diukur dalam penegakan diagnosis Graves’ disease adalah antithyroid peroxidase antibody (anti-TPOAb), thyroid stimulating antibody (TSAb), dan antithyroglobuline antibody (anti-TgAb). Ditemukannya TPOAb, TSAb dan TgAb mengindikasikan hipertiroidisme pasien disebabkan karena Graves’ disease. TPOAb ditemukan pada 70 – 80% 80% pasien, TgAb pada 30 – 50% 50% pasien dan TSAb pada 70 – 95% 95% pasien (Joshi, 2011). Pemeriksaan antibodi dapat digunakan untuk memprediksi hipertiroidisme pada orang dengan faktor risiko misal memiliki keluarga yang terkena gangguan tiroid dan tiroiditis post partum.Pada wanita hamil yang positif ditemukan TPOAb dan TgAb pada trimester pertama memiliki kemungkinan 30 – 30 – 50% 50% menderita tiroiditis post partum (Stagnaro-Green et
al , 2011). d. Radioactive d. Radioactive Iodine Uptake Iodine radioaktif merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui berapa banyak iodine yang digunakan dan diambil melalui transporter Na+/I- di kelenjar tiroid. Pada metode ini pasien diminta menelan 16 kapsul atau cairan yang berisi iodine radioaktif dan hasilnya diukur setelah periode tertentu, biasanya 6 atau 24 jam kemudian. Pada kondisi hipertiroidisme primer seperti Graves’ disease, toxic adenoma dan toxic multinodular goiter akan terjadi peningkatan uptake iodine radioaktif. Pemeriksaan ini dikontraindikasikan bagi pasien wanita yang hamil atau menyusui (Beastall et al , 2006). e. Scintiscanning Scintiscanning merupakan metode pemeriksaan fungsi tiroid dengan menggunakan unsur radioaktif. Unsur radioaktif yang digunakan dalam tiroid scintiscanning adalah radioiodine (I131) dan technetium (99mTcO4 -). Kelebihan penggunaan technetium radioaktif daripada iodine diantaranya harganya yang lebih murah dan pemeriksaan dapat dilakukan lebih cepat. Namun kekurangannya risiko terjadinya false-positive terjadinya false-positive lebih tinggi, dan kualitas gambar kurang baik dibandingkan dengan penggunaan radioiodine (Gharib et al , 2011). Karena pemeriksaan dengan ultrasonography dan FNAC lebih efektif dan akurat, scintiscanning akurat, scintiscanning tidak lagi menjadi pemeriksaan utama dalam hipertiroidisme. Menurut Gharib et al (2010), indikasi perlunya dilakukan scintiscanning di antaranya pada pasien dengan nodul tiroid tunggal dengan kadar TSH rendah dan pasien dengan multinodular goiter. Selain itu dengan scintiscanning dapat diketahui etiologi nodul tiroid pada pasien, apakah tergolong hot (hiperfungsi) atau cold (fungsinya rendah). 17 f. Ultrasound Scanning Ultrasonography (US) merupakan metode yang menggunakan gelombang suara dengan frekuensi tinggi untuk mendapatkan gambaran bentuk dan ukuran kelenjar tiroid. Kelebihan metode ini adalah mudah untuk dilakukan, noninvasive serta akurat dalam menentukan karakteristik nodul toxic adenoma dan toxic multinodular goiter serta dapat menentukan ukuran nodul secara akurat (Beastall et al , 2006). Pemeriksaan US bukan merupakan pemeriksaan utama pada kasus hipertiroidisme. Indikasi perlunya dilakukan pemeriksaan US diantaranya pada pasien dengan nodul tiroid yang teraba, pasien dengan multinodular goiter, dan pasien dengan faktor risiko kanker tiroid (Gharib et al , 2010). g. Fine g. Fine Needle Aspiration Cytology (FNAC) FNAC merupakan prosedur pengambilan sampel sel kelenjar tiroid (biopsi) dengan menggunakan jarum yang sangat tipis. Keuntungan dari metode ini adalah praktis, tidak diperlukan persiapan khusus, dan tidak mengganggu aktivitas pasien setelahnya. Pada kondisi hipertiroidisme dengan
nodul akibat toxic adenoma atau multinodular goiter FNAC merupakan salah satu pemeriksaan utama yang harus dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis Hasil dari biopsi dengan FNAC ini selanjutkan akan dianalisis di laboratorium. Hasil dari biopsi pasien dapat berupa tidak terdiagnosis (jumlah sel tidak mencukupi untuk dilakukan analisis), benign (non kanker), suspicious (nodul dicurigai kanker), dan malignant (kanker) (Bahn et al , 2011; Beastall et al , 2006). 18 Menurut Ghorib et al (2011) pada pasien dengan nodul berukuran kecil yang tidak tampak atau tidak teraba, maka FNAC perlu dilakukan dengan bantuan ultrasonography. Selain itu penggunaan bantuan ultrasonography juga disarankan pada kondisi pasien dengan multinodular goiter dan obesitas. 5. Tanda dan Gejala Klinis Hormon tiroid memiliki peranan yang vital dalam mengatur metabolisme tubuh. Peningkatan kadar hormon tiroid dalam darah memacu peningkatan kecepatan metabolisme di seluruh tubuh. Salah satu gejala yang umum ditemui pada penderita hipertiroid adalah intoleransi panas dan berkeringat berlebihan karena peningkatan kadar tiroid memacu peningkatan basal metabolic rate. Selain itu hipertiroidisme juga mempengaruhi sistem kardiorespiratori menyebabkan kondisi palpitasi, takikardi dan dyspnea umum ditemukan pada pasien hipertiroidisme (Nayak dan Burman, 2006). Tabel I. Gejala Dan Tanda Klinis Pasien Hipertiroidisme Sistem organ Gejala Tanda Klinis Neuropsikiatrik Emosi labil Paralisis periodik Ansietas Tremor Gastrointestinal Hiperdefekasi Diare Sistem reproduksi Oligomenorrhea Gynecomastia Penurunan libido Kardiorespiratori Palpitasi Atrial fibrilasi Dispnea Sinus takikardi Dermatologik Rambut rontok Myxedema Sumber: Nayak dan Burman, 2006 19 Akibat stimulasi sistem saraf adrenergik berlebihan, muncul gejalagejala psikiatrik seperti rasa cemas berlebihan, mudah tersinggung dan insomnia. Peningkatan kecepatan metabolisme menyebabkan pasien hipertiroidisme cepat merasa lapar dan nafsu makan bertambah, namun demikian terjadi penurunan berat badan secara signifikan dan peningkatan frekuensi defekasi.Pada pasien wanita dapat terjadi gangguan menstruasi berupa oligomenorrhea, amenorrhea
bahkan penurunan libido (Bahn et al , 2011; Baskin et al , 2002). Pada pasien Graves’ disease, gejala klinis juga da pat berupa inflamasi dan edema di otot mata (Graves’ ophtalmopathy) dan gangguan kulit lokal (myxedema). Mekanisme terjadinya Graves’ ophtalmopathy dan m yxedema belum diketahui secara pasti namun diperkirakan pada keduanya terjadi akumulasi limfosit yang disebabkan oleh aktivasi sitokin pada fibroblast (Weetman, 2000). 6. Tatalaksana Terapi Hipertiroidisme Tujuan terapi baik dengan penggunaan obat anti tiroid, iodine radioaktif maupun tiroidektomi adalah menurunkan kadar hormon tiroid pasien ke level normal serta mencapai kondisi remisi. Kondisi remisi pada pasien hipertiroid dapat tercapai apabila kadar hormon tiroid pasien dapat dijaga pada rentang euthyroid (Laurberg, 2006). Tata laksana terapi yang dapat digunakan untuk mengobati pasien hipertiroidisme adalah sebagai berikut: a. Obat Anti Tiroid Obat anti tiroid merupakan golongan obat yang digunakan untuk menekan kelebihan hormon tiroid pada pasien hipertiroidisme hingga level 20normal (euthyroid ). Tujuan utama penggunaan obat anti tiroid adalah untuk mencapai kondisi euthyroid secepat mungkin dengan aman dan untuk mencapai remisi. Lama penggunaan obat anti tiroid hingga mencapai remisi bervariasi antar pasien dan kesuksesan terapi sangat tergantung pada kepatuhan pasien dalam menggunakan obat (Baskin et al , 2002). Di negara-negara maju, pengobatan hipertiroidisme cenderung bergeser ke terapi iodine radioaktif dan penggunaan obat anti tiroid semakin jarang diberikan karena tingginya kemungkinan relaps (kambuh) setelah remisi dan jangka waktu pengobatan yang memakan waktu selama satu hingga dua tahun. Namun demikian obat anti tiroid juga masih umum digunakan pada pasien yang kontraindikasi terhadap iodine radioaktif, pasien hamil dan pasien yang akan menjalani terapi radioiodine. Pada pasien hipertiroidisme dengan toksik nodul atau toxic multinodular goiter obat anti tiroid tidak direkomendasikan untuk digunakan karena tidak menyebabkan remisi pada golongan pasien ini. Sedangkan pada pasien Graves’ Disease obat anti tiroid terbukti dapat menghasilkan remisi karena efek antitiroid dan imunosupresan (Ajjan dan Weetman, 2007). 1) Jenis Obat Anti Tiroid Obat anti tiroid yang secara luas digunakan, propylthiouracil dan methimazole, termasuk dalam golongan yang sama yaitu thionamide. Keduanya memiliki mekanisme aksi yang sama namun memiliki profil farmakokinetika yang berbeda dalam hal durasi, ikatan dengan albumin dan lipofilisitas. Propylthiouracil dan methimazole dapat digunakan 21 sebagai terapi tunggal pada hipertiroidismeyang diakibatkan oleh Graves’ Disease maupun pada pasien yang akan menerimaterapi radioiodine dan tiroidektomi (Bahn et al , 2011; Fumarola et al , 2010). Dalam mengobati hipertiroidisme karena autoimun atau Graves’ Disease, obat anti tiroid dapat mengembalikan fungsi tiroid karena adanya
sifat imunosupresan. Obat anti tiroid dapat memacu apoptosis limfosit intratiroid, menekan ekspresi HLA kelas 2, sel T d an natural killer cells (Bartalena, 2011; Fumarola et al , 2010). a) Propylthiouracil Propylthiouracil atau biasa disingkat PTU merupakan obat antitiroid golongan thionamide yang tersedia dalam sediaan generik di Indonesia. Obat ini bekerja dengan cara menghambat kerja enzim thyroid peroxidase dan mencegah pengikatan iodine ke thyroglobulin sehingga mencegah produksi hormon tiroid. Selain itu obat anti tiroid memiliki efek imunosupresan yang dapat menekan produksi limfosit, HLA, sel T dan natural killer sel (Fumarola et al , 2010). Menurut Pedoman Diagnosis dan Terapi RSUD Dr. Soetomo edisi III, dosis awal propylthiouracil adalah 100-150 mg setiap 6 jam, setelah 4 – 8 minggu dosis diturunkan menjadi 50 – 200 mg sekali atau dua kali dalam sehari (Anonim, 2008). Keuntungan propylthiouracil dibandingkan methimazole adalah propylthiouracil dosis tinggi juga dapat mencegah konversi thyroxine (T4) menjadi bentuk aktif triiodothyronine (T3) di perifer, sehingga merupakan terapi pilihan dalam 22 thyroid storm atau peningkatan hormon tiroid secara akut dan mengancam jiwa (Nayak dan Burman, 2006). Propylthiouracil yang digunakan secara per oral hampir sepenuhnya terabsorpsi di saluran gastrointestinal. Karena durasi kerjanya yang hanya 12 – 24 jam maka PTU harus digunakan beberapa kali sehari (multiple dose). Hal ini menjadi salah satu alasan obat ini mulai ditinggalkan karena berkaitan dengan kepatuhan pasien (Bartalena, 2011; Fumarola et al , 2010). Di Amerika Serikat propylthiouracil hanya digunakan jika pasien alergi atau dikontraindikasikan terhadap methimazole dan hamil. Propylthiouracil tidak menjadi terapi lini pertama pada pengobatan hipertiroidisme karena kepatuhan pasien yang rendah dan efek samping berat seperti hepatotoksik. Namun propylthiouracil merupakan obat pilihan pertama pada pasien hipertiroidisme yang sedang hamil trimester pertama. Hal ini disebabkan sifat PTU yang kurang larut lemak dan ikatan dengan albumin lebih besar menyebabkan obat ini transfer plasenta lebih kecil dibandingkan methimazole (Fumarola et al , 2010; Hackmon et al , 2012). b) Methimazole Methimazole atau biasa disingkat MMI merupakan obat anti tiroid golongan thionamide yang menjadi lini pertama pengobatan hipertiroidisme dan merupakan metabolit aktif dari carbimazole. 23 Carbimazole merupakan bentuk pro-drug dari methimazole yang beredar di beberapa negara seperti Inggris. Di dalam tubuh carbimazole akan diubah menjadi bentuk aktifnya methimazole dengan
pemotongan gugus samping karboksil pada saat metabolisme lintas pertama (Bahn et al , 2011). Mekanisme kerja methimazole dalam mengobati hipertiroidisme sama seperti propylthiouracil yaitu menghambat kerja enzim thyroid peroxidase dan mencegah pembentukan hormon tiroid. Namun methimazole tidak memiliki efek mencegah konversi T4 ke T3 (Nayak dan Burman, 2006). Obat ini digunakan secara per oral dan hampir terabsorpsi sempurna di saluran cerna. Karena durasi aksinya yang panjang, sekitar 40 jam, maka MMI cukup digunakan satu kali sehari ( single dose). Menurut Pedoman Diagnosis dan Terapi RSUD Dr. Soetomo Edisi III, dosis awal methimazole dimulai dengan 40 m g setiap pagi selama 1 – 2 bulan dan selanjutnya dosis diturunkan menjadi 5 – 20 mg setiap pagi (Anonim, 2008). Methimazole merupakan lini pertama pengobatan hipertiroidisme karena efek samping yang relatif lebih rendah dari propylthiouracil, faktor kepatuhan pasien, serta efektivitas yang lebih baik dibandingkan propylthiouracil. Sejak tahun 1998 methimazole merupakan obat anti tiroid yang paling banyak diresepkan di Amerika Serikat untuk mengobati Graves’ Disease (Bahn et al , 2011; Emiliano et al , 2010; Nakamura et al , 2007). 24 Penggunaan methimazole pada kehamilan terutama trimester pertama tidak direkomendasikan karena efek teratogenik methimazole menyebabkan malformasi kongenital seperti aplasia cutis dan choanal atresia. Sehingga pada pasien hipertiroidisme yang sedang hamil trimester pertama yang sedang mengonsumsi methimazole perlu dilakukan penggantian terapi ke propylthiouracil. Sedangkan pada ibu menyusui methimazole terbukti aman diberikan hingga dosis 20 – 30 mg/ hari (Hackmon et al , 2012; Stagnaro-Green et al , 2011). 2) Metode Terapi Obat Anti Tiroid a) Block and Replacement Pada metode block and replacement pasien diberikan obat anti tiroid golongan thionamide (propylthiouracil atau methimazole) dosis tinggi tanpa adanya penyesuaian dosis bersamaan dengan levothyroxine. Pada penderita Graves’ Disease anti tiroid dosis tinggi diharapkan dapat memberikan efek imunosupresan yang maksimal. Sedangkan pemberian levothyroxine ditujukan untuk mengganti kebutuhan hormon tiroid yang dihambat oleh obat anti tiroid dosis tinggi dan mencegah hipotiroidisme (Bartalena, 2011). Menurut Ajjan dan Weetman (2007), pemberian obat anti tiroid dengan regimen dosis block and replacement lebih banyak menghasilkan efek samping dibandingkan dengan metode titrasi karena penggunaan obat anti tiroid dosis tinggi. Namun metode ini ini 25 memiliki keuntungan berupa fluktuasi fungsi tiroid yang lebih terjaga
dan durasi pengobatan yang lebih pendek (6 bulan). b) Titrasi Pada metode titrasi pemberian dosis disesuaikan dengan kondisi hipertiroidisme masing-masing pasien. Dosis awal untuk methimazole 15 – 40 mg/hari diberikan single dose dan dosis awal untuk propylthiouracil 300 – 400 mg/hari diberikan multiple dose. Prinsip dari regimen dosis dengan metode titrasi adalah mencapai kondisi euthyroid secepatnya dan menghindari kondisi hipotiroidisme. Apabila kadar TSH serum meningkat dan kadar T4 telah mencapai kondisi euthyroid maka dosis obat anti tiroid diturunkan hingga mencapai dosis efektif minimal yang menghasilkan efek (Bartalena, 2011). Menurut Abraham et al (2005), pemberian obat anti tiroid dengan metode titrasi memberikan efikasi yang setara dengan metode block and replacement . Keunggulannya efek samping berupa rash dan agranulositosis lebih jarang terjadi pada metode titrasi. Namun pada metode ini durasi pengobatan yang dibutuhkan lebih lama dibandingkan dengan metode block and replacement, rata-rata selama 12 – 24 bulan, dan perlu dilakukan kontrol rutin untuk mengetahui profil TSH dan hormon tiroid darah untuk penyesuaian dosis. 26 b. Iodine Radioaktif Pengobatan hipertiroidisme dengan iodine radioaktif atau RAI menjadi pilihan utama dokter di Amerika Serikat. Pada metode ini digunakan isotop iodine, yang paling umum digunakan adalah131I. Di dalam tubuh RAI akan di-uptake oleh kelenjar tiroid seperti iodine biasa, kemudian di dalam kelenjar tiroid RAI beraksi dengan cara mence gah sintesis hormon tiroid sehingga dapat menurunkan kadar hormon tiroid yang berlebihan. RAI dikontraindikasikan bagi pasien yang hamil, menyusui, kanker tiroid dan merencanakan kehamilan 4 – 6 bulan setelah terapi (Bahn et al , 2011; Baskin et al 2002). Efek samping pada pengobatan hipertiroidisme dengan RAI diantaranya adalah memburuknya gejala Graves’ ophtalmopathy dan peningkatan kadar hormon tiroid akut. Sehingga pada pasien dengan hipertiroidisme dengan kadar T4 bebas yang tinggi, pasien berusia lanjut, atau pada pasien dengan risiko komplikasi hipertiroidisme perlu diberikan obat anti tiroid hingga mencapai kondisi euthyroid (Baskin et al , 2002). Menurut Walter et al (2007), pasien yang menggunakan obat anti tiroid seminggu sebelum maupun setelah pengobatan dengan iodine radioaktif memiliki tingkat kegagalan yang lebih tinggi. Sehingga obat anti tiroid harus dihentikan 2 minggu sebelum pemberian RAI (Ghandour dan Reust, 2011). Kondisi euthyroid umumnya dapat tercapai tiga hingga enam bulan pasca penggunaan RAI. 27 Pada pengobatan hipertiroidisme dengan metode RAI terdapat dua metode pengobatan sebagai berikut
1.) Metode Ablative Pada metode ini digunakan RAI dosis tinggi untuk mencapai kondisi hipotiroidisme permanen. Metode ini direkomendasikan pada pasien geriatrik dan pasien dengan gangguan jantung untuk mengendalikan gejala secepat mungkin. Selain itu metode ini merupakan pilihan bagi pasien hipertiroidisme akibat toxic nodular goiter. Kelemahan metode ini adalah pasien akan menderita hipotiroidisme secara permanen dan perlu mendapat terapi pengganti hormon tiroid seumur hidup. 2.) Metode Gland-specific Method Pada metode ini pasien diberikan RAI dosis rendah yang dapat mencapai kondisi euthyroid . Kelebihan dari metode ini dibandingkan metode ablative adalah pasien tidak menderita hipotiroidisme secara permanen, namun demikian penghitungan dosis optimal sulit untuk dilakukan (Ghandour dan Reust, 2011). c. Tiroidektomi Tiroidektomi merupakan prosedur pembedahan pada kelenjar tiroid.Metode terapi ini merupakan pilihan bagi pasien yang kontraindikasi atau menolak pengobatan dengan obat anti tiroid dan iodine radioaktif. Pembedahan direkomendasikan bagi pasien dengan multinodular goiter atau goiter yang sangat besar (Baskin et al , 2002). 28 Secara umum prosedur tiroidektomi dapat dibedakan menjadi dua metode berikut. 1) Tiroidektomi total Pada prosedur ini dilakukan pengangkatan seluruh bagian kelenjar tiroid. Dengan tidak adanya kelenjar tiroid yang memproduksi hormon tiroid, pasien perlu mengonsumsi pengganti ho rmon tiroid oral seumur hidup. 2) Tiroidektomi sub-total Pada prosedur ini hanya dilakukan pengangkatan sebagian kelenjar tiroid sehingga pasien tidak perlu mengonsumsi ho rmon tiroid karena kelenjar tiroid yang tersisa masih dapat memproduk si hormon tiroid. Salah satu efek samping yang dapat muncul akibat pembedahan ini adalah hipoparatioroidisme. Hipoparatiroidisme merupakan kondisi dimana hormon paratiroid tubuh kurang dari normal, manifestasi klinik yang muncul berupa hipokalsemia dan hiperfosfatemia. Secara anatomis kelenjar tiroid dan paratiroid terletak berdekatan, sehingga pada prosedur tiroidektomi kelenjar paratiroid dapat ikut terganggu dan menyebabkan hipoparatiroidisme setelah tiroidektomi. Hipoparatiroidisme pada pasien tiroidektomi dapat bersifat sementara maupun permanen. Selain hipoparatiroidisme, efek samping lainnya yang dapat muncul adalah gangguan pada produksi suara beberapa hari hingga beberapa minggu setelah operasi (Bhattacharyya dan Fried, 2002). 29 7. Penggunaan Obat Rasional Menurut WHO penggunaan obat rasional didefinisikan sebagai pasien
menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinis, dosis sesuai kebutuhan individu, selama waktu yang cukup, dan dengan biaya yang terendah. Penggunaan obat dikatakan tidak rasional apabila tidak sesuai dengan definisi di atas. Beberapa contoh penggunaan obat yang tidak rasional yang paling sering umum terjadi adalah: a. Polifarmasi, pasien menerima obat terlalu banyak. b. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat. Pasien menerima dosis antibiotik yang tidak tepat atau bahkan sebenarnya tidak memerlukan antibiotik. c. Pemberian obat injeksi dimana penggunaan obat per oral masih dapat digunakan. d. Pemberian resep yang tidak sesuai dengan guideline atau panduan klinis. e. Swamedikasi yang tidak tepat. Penggunaan obat yang tidak tepat dapat menimbulkan efek bagi pasien baik langsung maupun tidak langsung. Pada kasus penggunaan obat yang berlebihandari sisi ekonomi dapat meningkatkan biaya yang harus dikeluarkan pasien dan dari sisi klinik hal ini dapat meningkatkan kemungkinan munculnya efek samping obat. Pada pasien hipertiroidisme penggunaan obat rasional memegang kunci penting dalam keberhasilan terapi. Ketepatan pemberian dosis dapat mempercepat tercapainya kondisi euthyroid dan dapat memperpendek durasi terapi. Selain itu regimen dosis antitiroid dan banyaknya obat dapat mempengaruhi kepatuhan 30 pasien yang secara tidak langsung mempengaruhi keberhasilan terapi hipertiroidisme. F. Keterangan Empirik Hipertiroidisme merupakan gangguan berupa produksi hormon tiroid berlebihan yang mengakibatkan munculnya berbagai gejala klinis di antaranya berupa gangguan psikiatrik, saraf, pencernaan, dan kardiovaskuler. Tata laksana terapi yang umum dilakukan adalah dengan pemberian obat anti tiroid selama 12 – 24 bulan untuk mengembalikan kadar hormon tiroid ke kadar normal (euthyroid ). Efek samping yang dapat muncul berupa ruam kulit, hepatotoksisitas, dan agranulositosis. Rasionalitas penggunaan obat anti tiroid berperan penting dalam menjamin pengobatan yang tepat, aman dan efektif. Penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai pola penggunaan obat dan evaluasi rasionalitas penggunaan obat anti tiroid pada pasien hipertiroidisme di RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2007 – 2012.
Thyrax
Penulis : Paisal Tanggal : 2014-03-24 Daftar isi
Indikasi & kontraindikasi Efek samping Dosis
INDIKASI & KONTRAINDIKASI
Thyrax adalah nama dagang dari levotiroksin, yaitu hormon sintetik yang menyerupai hormon tiroid manusia. Sintetik artinya hormon tersebut dibuat di laboratorium. Indikasi Thyrax adalah untuk mengobati keadaan kekurangan hormon tiroid (hipotiroidisme). Kekurangan hormon tiroid terutama terjadi pada penyakit seperti: Penyakit Hashimoto : Penyakit Hashimoto, disebut juga tiroiditis Hashimoto adalah kerusakan kelenjar tiroid yang terjadi akibat sistem pertahanan tubuh menyerang kelenjar tiroid (autoimun). Akibat rusaknya kelenjar tiroid, maka sel tiroid tidak mampu lagi menghasilkan hormon tiroid. Nama Penyakit Hashimoto diambil dari nama penemunya, yaitu Hakaru Hashimoto, seorang dokter berkebangsaan Jepang. Beliau lah yang pertama kali menjelaskan mengenai penyakit ini pada tahun 1912. Penyakit Gondok : Penyakit ini disebut juga dengan hipotiroidisme goitrosa, terjadi akibat kurangnya konsumsi iodium dalam jangka waktu yang lama. Ciri-cirinya adalah pembesaran kelenjar gondok dan produksi hormon tiroid yang kurang. Selain kedua penyakit di atas, hipotiroidisme juga dapat terjadi akibat dari pembedahan atau radiasi, infeksi virus, dan lain-lain. Ciri-ciri kekurangan hormon tiroid adalah penambahan berat badan, depresi, nyeri sendi, gangguan kesuburan (infertilitas), penyakit jantung, kerusakan saraf perifer, bayi lahir cacat, dan lain-lain. Kontraindikasi thyrax adalah penyakit kelebihan hormon tiroid (hipertiroidisme), penyakit kardiovaskuler, dan lain-lain. EFEK SAMPING
Efek samping thyrax, terutama jika kelebihan dosis antara lain adalah jantung berdetak kencang, cemas, tangan gemetar (tremor), sakit kepala, muka menjadi merah, banyak berkeringat, penurunan berat badan, dan lain-lain. DOSIS
Thyrax tersedia dalam bentuk tablet dengan isi sebesar 100 mcg. Dosis dewasa dan anak di atas 12 tahun adalah sebesar 150 – 200 mcg per hari. Sedangkan anak-anak usia 6-12 tahun 100-150 mcg, 1-5 tahun 75-100 mcg, 6-12 bulan 50-75 mcg, <6 bulan 25-50 mcg. Biasanya obat harus diberikan secara terus menerus seumur hidup.
Dosis obat tidak boleh dikurangi atau ditambahkan sendiri di luar anjuran dokter. Kekurangan atau kelebihan dosis dapat menyebabkan gangguan pada tubuh penderita. Selain itu, untuk mencegah terjadinya ketidakcocokan dosis, maka penderita harus memeriksakan diri ke dokter untuk menyesuaikan dosisnya. Agar efektif, thyrax harus diberikan dalam keadaan perut kosong atau sekitar setengah jam sebelum makan. Perlu diketahui juga, beberapa jenis obat juga dapat mengganggu penyerapan thyrax antara lain kalsium, zat besi, atau obat maag.
PENGGUNAAN OBAT ANTITIROID PADA PASIEN HIPERTIROIDISME
Posted on June 10, 2008 | 3 Comments PENGGUNAAN OBAT ANTITIROID PADA PASIEN HIPERTIROIDISME FITRIANI (078115012)
Hipertiroidisme adalah suatu keadaan akibat dari produksi hormon tiroid yang berlebihan oleh kelenjar tiroid sehingga menyebabkan kadar hormon tiroid didalam darah berlebihan. Hormon tiroid berfungsi untuk mengendalikan kecepatan metabolisme tubuh. Hormon tiroid mempengaruhi kecepatan metabolisme tubuh melalui dua cara : 1. Merangsang hampir setiap jaringan tubuh untuk menghasilkan protein. 2. Meningkatkan jumlah oksigen yang digunakan oleh sel. Untuk menghasilkan hormon tiroid, kelenjar tiroid memerlukan iodium. Hormon tiroid dibentuk melalui penyatuan satu atau dua molekul iodium ke sebuah glikoprotein besar yang disebut tiroglobulin yang dibuat di kelenjar tiroid dan mengandung asam amino tirosin. Kompleks yang mengandung iodium ini disebut iodotirosin. Dua iodotirosin kemudian menyatu untuk membentuk dua jenis hormon tiroid dalam darah yaitu : Tiroksin (T4), triiodotironin (T3). Dua jenis hormon ini dipengaruhi oleh hormon TSH (Thyreoid Stimulating Hormone) dan TRH (Thyrotropin Releasing Hormone). Tubuh memiliki mekanisme yang rumit untuk menyesuaikan kadar hormon tiroid. Hipotalamus menghasilkan Thyrotropin-Releasing Hormone, yang menyebabkan kelenjar hipofisa mengeluarkan TSH. TSH merangsang kelenjar tiroid untuk menghasilkan hormon tiroid dalam darah (Cooper, 2005).
Penyebab yang paling umum ( lebih dari 70% orang) adalah produksi berlebih dari hormon tiroid oleh keseluruhan kelenjar tiroid.Kondisi ini juga dikenal sebagai graves’ disease. Hipertiroidisme pada graves’ disease adalah akibat antibodi reseptor TSH yang merangsang aktivitas TSH (Thyreoid Stimulating Hormone) untuk mengeluarkan terlalu banyak hormon tiroid. Penyebab hipertiroidisme lainnya adalah strauma noduler toksik, tiroiditis, penyakit troboblastis, pemakaian yodium yang berlebihan (Lee, 2006). Tujuan terapi hipertiroidisme adalah mengurangi sekresi kelenjar tiroid. Sasaran terapi dengan menekan produksi hormon tiroid atau merusak jaringan kelenjar dengan (dengan yodium radioaktif atau pengangkatan kelenjar) (Cooper, 2005). Adapun penatalaksanaan terapi hipertiroidisme meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi. Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan: 1. Diet yang diberikan harus tinggi kalori, yaitu memberikan kalori 2600-3000 kalori per hari baik dari makanan maupun dari suplemen. 2. Konsumsi protein harus tinggi yaitu 100-125 gr (2,5 gr/kg berat badan ) per hari untuk mengatasi proses pemecahan protein jaringan seperti susu dan telur. 4. Olah raga secara teratur. 5. Mengurangi rokok, alkohol dan kafein yang dapat meningkatkan kadar metabolisme. Penatalaksanaan hipertiroidisme secara farmakologi menggunakan empat kelompok obat ini yaitu: obat antitiroid, penghambat transport iodida, iodida dalam dosis besar menekan fungsi kelenjar tiroid, yodium radioaktif yang merusak sel-sel kelenjar tiroid. Pada paper ini akan dibahas tentang obat antitiroid yang merupakan salah satu cara untuk menghambat produksi hormon tiroid. Obat antitiroid bekerja dengan cara menghambat pengikatan (inkorporasi) yodium pada TBG (thyroxine binding globulin) sehingga akan menghambat sekresi TSH (Thyreoid Stimulating Hormone) sehingga mengakibatkan berkurang produksi atau sekresi hormon tiroid. Antitiroid digunakan untuk : a. mempertahankan remisi pada straumadengan tirotoksikkosis
b. mengendalikan kadar hormon pada pasien yang mendapat yodium radioaktif c. menjelang pengangkatan tiroid (Anonim, 2000). Adapun obat-obat yang temasuk obat antitiroid adalah Propiltiourasil, Methimazole, Karbimazol. Propiltiourasil (PTU)
Nama generik : Propiltiourasil Nama dagang di Indonesia : Propiltiouracil (generik) Indikasi : hipertiroidisme Kontraindikasi : hipersensisitif terhadap Propiltiourasil, blocking replacement regimen tidak boleh diberikan pada kehamilan dan masa menyusui. Bentuk sediaan : Tablet 50 mg dan 100 mg Dosis dan aturan pakai : untuk anak-anak 5-7 mg/kg/hari atau 150-200 mg/ m2/hari, dosis terbagi setiap 8 jam. Dosis dewasa 3000 mg/hari, dosis terbagi setiap 8 jam. untuk hipertiroidisme berat 450 mg/hari, untuk hipertiroidisme ocasional memerlukan 600-900 mg/hari; dosis pelihara 100150 mg/haridalam dosis terbagi setiap 8-12 jam. Dosis untuk orangtua 150-300 mg/hari (Lacy, et al , 2006) Efek samping : ruam kulit, nyeri sendi, demam, nyeri tenggorokan, sakit kepala, ada kecendrungan pendarahan, mual muntah, hepatitis. Mekanisme Obat: menghambat sintesis hormon tiroid dengan memhambatoksidasi dari iodin dan menghambat sintesistiroksin dan triodothyronin (Lacy, et al , 2006) Resiko khusus : . Hati-hati penggunaan pada pasien lebih dari 40 tahun karena PTU bisa menyebabkan hipoprotrombinnemia dan pendarahan, kehamilan dan menyusui, penyakit hati (Lee, 2006). Methimazole
Nama generik : methimazole Nama dagang : Tapazole Indikasi : agent antitiroid Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap methimazole dan wanita hamil. Bentuk sediaan : tablet 5 mg, 10 mg, 20 mg Dosis dan aturan pakai : untuk anak 0,4 mg/kg/hari (3 x sehari); dosis pelihara 0,2 mg/kg/hari (3 x sehari). maksimum 30 mg dalam sehari. Untuk dewasa: hipertiroidisme ringan 15 mg/hari; sedang 30-40 mg/hari; hipertiroid berat 60 mg/ hari; dosis pelihara 5-15 mg/hari. Efek samping : sakit kepala, vertigo, mual muntah, konstipasi, nyeri lambung, edema. Resiko khusus : pada pasien diatas 40 tahun hati-hati bisa meningkatkan myelosupression, kehamilan (Lacy, et al , 2006) Karbimazole
Nama generik : Karbimazole Nama dagang di Indonesia : Neo mecarzole (nicholas). Indikasi : hipertiroidisme Kontraindikasi : blocking replacement regimen tidak boleh diberikan pada kehamilan dan masa menyusui. Bentuk sediaan : tablet 5 mg Dosis dan aturan pakai : 30-60 mg/hari sampai dicapai eutiroid, lalu dosis diturunkan menjadi 520 mg/hari; biasanya terapi berlangsung 18 bulan.
Sebagai blocking replacement regimen, karbamizole 20 – 60 mg dikombinasikan dengan tiroksin 50 -150 mg. Untuk dosis anak mulai dengan 15 mg/hari kemudian disesuaikan dengan respon. Efek samping : ruam kulit, nyeri sendi, demam, nyeri tenggorokan, sakit kepala, ada kecendrungan pendarahan, mual muntah, leukopenia. Resiko khusus : penggunaan pada pasien lebih dari 40 tahun karena PTU bisa menyebabkan hipoprotrombinemia dan pendarahan, kehamilan dan menyusui (Lacy, et al , 2006). Tiamazole
Nama generik : Tiamazole Nama dagang di Indonesia : Thyrozol (Merck). Indikasi : hipertiroidisme terutama untuk pasien muda, persiapan operasi. Kontraindikasi : hipersensitivitas Bentuk sediaan : tablet 5 mg, 10 mg Dosis dan aturan pakai : untuk pemblokiran total produksi hormon tiroid 25-40 mg/hari; kasus ringan 10 mg (2 x sehari); kasus berat 20 mg (2 x sehari); setelah fungsi tiroid normal (3-8 minggu) dosis perlahan-lahan diturunkanhingga dosis pemelihara 5 – 10 mg/hari. Efek samping : alergi kulit, perubahan pada sel darah, pembengkakan pada kelenjar ludah. Resiko khusus : jangan diberikan pada saat kehamilan dan menyusui, hepatitis. Daftar Pustaka
Anonim, 2000, Informatorium Obat NasionalIndonesia (IONI), Direktorat Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Anonim, 2007, Informasi Spesialite Obat Indonesia Volume 42-2007 , PT. Ikrar Mandiri, Jakarta. Anonim, 2007, MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 6 2006/2007 , PT. InfoMaster lisensi dari CMPMedika, Jakarta. Cooper, David S. 2005 Antithyroid Drugs, http://content.nejm.org/cgi/content/full/352/9/905 vol.352 Hal.905-917, diakses 6 Juni 2008. Lacy, C.F., Amstrong, L.L., Goldman, M.P., and Lance, L.L., 2006, Drug Information Handbook , 14th edition, AphA. Lexi-Comp’s. Lee, L Stephanie. 2006. Hyperthyroidimhttp://www.emedicine.com/med/topic1109.htm,
THYROZOL 10 MG TABLET
Brand: :
Merck
Product Code::
G
Komposisi: Thiamazole Indikasi:
Terapi konservatif hipertiroid, persiapan operasi untuk segala jenis hipertiroid, terapi sebelum terapi radiodine.
Dosis:
Dewasa, untuk terapi konservatif hipertiroid: untuk menghambat produksi hormon tiroid secara komplit 25-40 mg/hari. Dosis harian maksimal: 40 mg dalam
maksimal 20 mg dosis tunggal. Kasus ringan: 10 mg 2 x/hari. Kasus berat: 20 mg 2 x/hari. Pemeliharaan: kurangi dosis hingga 5020 mg/hari (biasanya perlu penambahan hormon tiroid). Dosis rejimen kedua: monoterapi biasanya 2,5-10 mg/hari. Untuk persiapa operasi untuk segala jenis hipertiroid, untuk memperoleh aktivitas metabolik normal kelenjar tiroid, sebagaimana digambarkan di atas. Lakukan operasi segera sesudah kondisi ini tercapai. Atau berikan hormon tiroid tambahan. 10 hari sebelum operasi, yodium dapat diberikan untuk mencapai konsolidasi jaringan tiroid. Untuk terapi sebelum terapi radioiodine untuk memperoleh aktivitas metabolik normal dari kelenjar tiroid, sebagaimana digambarkan di atas. Dosis radioiodine yang lebih tinggi mungkin diperlukan. Anak awal 0,3-0,5 mg/kgBB/hari. Pemeliharaan 0,2-0,3 mg/kgBB/hari. Terapi penambahan hormon tiroid mungkin diperlukan. Ibu hamil 2,5-10 mg/hari tanpa pemberian hormon tiroid. Untuk pasien dengan k erusakan hati berikan dosis rendah sedapat mungkin. Pemberian Obat:
Berikan sesudah makan.
Kontra Indikasi:
Granulositopenia, kolestasis sebelum mulai terapi, sebelumnya sudah terjadi kerusakan sumsum tulang setelah terapi dengan k arbimazol atau tiomazol. Laktasi.
Perhatian:
Gejala-gejala agranulositosis seperti demam atau nyeri tenggorokan. Agranulositosis, anemia aplastik, hepatitis atau dermatitis eksfoliatif (hentikan pemberian obat ini). Lebih awal, reaksi hipersensitivitas yang kurang serius. Pembesaran kelenjar tiroid dengan konstriksi trakhea. Monitor waktu protrombin selama terapi; fungsi sumsum tulang. Lakukan evaluasi fungsi hati pada pasien simtomatik. Hamil. Hanya untuk penggunaan jangka pendek.
Efek Samping:
Reaksi alergi kulit sering terjadi. Mual, muntah, rasa tidak nyaman pada epigastrium, artralgia, parestesis, kehilangan daya pengecapan, alopesia, mialgia, sakit kepala, pruritus, mengantuk, neuritis, edema, vertigo, pigmentasi kulit, ikterus, sialadenopati dan limfadenopati.
Interaksi Obat:
Defisiensi yodium akan meningkatkan dan sebaliknya kelebihan yodium akan menurunkan respon kelenjar tiroid. Antikoagulan.
Kemasan:
Tablet 10 mg x 10 x 10
PROPILTIOURASIL
Home> Hormon > PROPILTIOURASIL
NAMA GENERIK Propiltiourasil NAMA KIMIA 6-propil-2-sulfanil-pirimidin-4-on 2,3-dihidro-6-propil-2-tiooksopirimidin-4(1H)-on 2-merkapto6-propilpirimidin-4-ol .
STRUKTUR KIMIA C7H10N2OS GB STRUKTUR KIMIA 281 SIFAT FISIKOKIMIA Serbuk kristal putih, agak krem, atau tak berwarna, tidak berbau, rasa pahit. Sangat sukar larut dalam air, kloroform, dan eter , sedikit larut dalam etanol, larut dalam larutan ammonia atau alkali hidroksida. Titik lebur 218-221�C; SUB KELAS TERAPI Hormontiroid dan anti tiroid KELAS TERAPI Hormon, obatendokrin lain dan kontraseptik Dosis PEMBERIAN OBAT Untuk pengobatan hipertiroidisme : dosis awal lazim dewasa : 300-450 mg sehari : untuk pasien hipertiroidisme parah mungkin memerlukan dosis awal 600-1200 m g sehari : Secara umum jika suatu saat kontrolgejala telah terpenuhi, terapi dilanjutkan sesuai dosis awal selama 2 bulan. Dosis pemeliharaan propiltiourasil sangat bervariasi tapi secara umum berkisar dari satu pertiga sampai dua pertiga dosis awal. Untuk pengobatan krisis tirotoksik, dosis lazim propiltiourasil adalah 200 mg setiap 4-6 jam pada hari pertama, jika suatu saat gejala telah terpenuhi, dosis terapi diturunkan secara bertahap sampai tingkat dosis p emeliharaan. Untuk pengobatan hipertiroidisme pada anak, dosis lazim awal adalah 50-150 mg sehari untuk anak 6-10 tahun dan 150-300 mg atau 150 mg/m2 setiap hari untuk anak 10 tahun atau lebih. Dosis pemeliharaan ditandai dengan respon pasien. Untuk pengobatan hipertiroidisme pada bayi, dosis yang direkomendasikan adalah 5-10mg/kg setiap hari FARMAKOLOGI Walaupun bergantung pada kondisi fisiologis dan patologis pasien, namun keadaan eutiroid pada terapi dengan propiltiourasil (PTU) umumnya baru dapat terkapsulai setelah terapi selama 2 – 4 bulan. PTU diabsorpsi dengan cepat dari saluran pencernaan. Pada pemberian per oral, konsentrasi puncak dalam serum terkapsulai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian. PTU terkonsentrasi dalam kelenjar tiroid, dan karena efek kerjanya lebih ditentukan oleh kadarnya dalam kelenjar tiroid dibandingkan dengan kadarnya dalam plasma, maka hal ini menyebabkan perpanjangan atau prolongasi aktivitas antitiroidnya. Oleh sebab itu interval dosis dapat 8 jam atau lebih, bahkan dapat diberikan dalam dosis tunggal harian. Fraksi terikat protein dari PTU cukup besar, yaitu sekitar 70-80%, dan sebagian besar terionisasi pada pH fisiologis normal. Akibatnya, transport lintas plasenta dan distribusi ke dalam air susu tidak sebesar obat antiroid lain, misalnya metimazol. Waktu paruh plasma sekitar 1-2 jam. Waktu paruh eliminasi kemungkinan akan bertambah apabila terdapat gangguan fungsi hati atau ginjal. Kurang dari 10% PTU yang diekskresikan dalam bentuk senyawa`asal (tak berubah), sebagian besar (lebih dari 50%) mengalami metabolismehepatik yang ekstensif melalui reaksi glukuronidasi.
STABILITAS PENYIMPANAN Stabil disimpan dalam suhu kamar, antara 15-30�C. Hindarkan dari lembab dan cahaya matahari langsung. Kontra Indikasi Blocking replacement regiment tidak boleh diberikan pada masa kehamilan dan menyusui Efek Samping Efek Samping yang paling sering terjadi adalah ruamkulit, urtikaria, pigmentasi kulit, dan kerontokan rambut. Efek Samping lain yang agak umum antara lain nyeri sendi, demam, sakit kepala, nyeri tenggorokan, mual, muntah, dan kurang nafsu makan. Efek Samping yang jarang terjadi tetapi berakibat serius pada terapi dengan P TU adalah agranulositosis atau leukopenia (turunnya jumlah sel darah putih di dalam darah), yang ditandai antara lain dengan lesiinfeksi pada tenggorokan, saluran cerna, dan kulit disertai rasa lemah dan demam. Di samping itu juga dapat terjadi trombositopenia (penurunan trombosit) yang berakibat pada kecenderungan perdarahan. INTERAKSI MAKANAN Kadar PTU serum dapat berkurang apabila diberikan bersama dengan makanan. INTERAKSI OBAT PTU dapat menurunkan efek antikoagulan ( blood thinner) senyawa-senyawa turunan kumarin, misalnya warfarin (Coumadin). Oleh sebab itu, dosis warfarin harus disesuaikan apabila diberikan bersama dengan PTU, dan monitoring efek warfarin terhadap penggumpalan darah perlu dilakukan (risiko interaksi Kategori D: pertimbangkan modifikasi terapi). PTU dapat mengurangi efek Natrium Iodida. Untuk mengatasinya, hentikan pemberian antitiroid (PTU) 3-4 hari sebelum pemberian natrium iodida (risiko interaksi Kategori X: hindarkan kombinasi) PENGARUH ANAK Tidak ada data PENGARUH HASIL LAB Tidak ada data PENGARUH KEHAMILAN Faktor risiko D PENGARUH MENYUSUI PTU dapat masuk ke dalam air susu ibu. PTU membahayakan bayi yang sedang disusui oleh Ibu yang mengonsumsi PTU. Oleh sebab itu pemberian PTU pada Ibu menyusui harus diawasi dengan 5eksama. PARAMETER MONITORING Konsentrasi TSH (Thyroid Stimulating Hormone) dalam serum, waktu protrombin, tes fungsi liver , tes darah lengkap
BENTUK SEDIAAN Tablet 50 mg dan 100 mg PERINGATAN Sifat hepatotoksisitasnya diperkirakan lebih kuat dibandingkan dengan obat-obat antitiroid tiourea lainnya (misalnya karbimazol dan metimazol), sehingga sering menimbulkan gangguan fungsi hati asimptomatik. Harus diberikan dengan hati-hati dan d engan dosis yang lebih rendah pada penderita gangguan fungsi ginjal. . Bila ada tanda hipersensitivitas, pengawasan harus dilakukan dengan ketat untuk mendeteksi agranulositosis, antara lain pasien harus melaporkan bila ada nyeri tenggorokan. Bila ada neutropenia, obat harus dihentikan. KASUS TEMUAN Tidak ada data INFORMASI PASIEN Tidak ada data MEKANISME AKSI Hormon-hormon tiroid, yaitu tiroksin (T4 ) dan triiodotironin (T3), disintesis dengan jalan mereaksikan molekul Iodium dengan senyawa protein prekursor hormon tiroid yang disebut tiroglobulin. Reaksi ini berlangsung dengan katalisator enzim tiroperoksidase. Propiltiourasil (PTU) bekerja menghambat kerja enzim tiroperoksidase sehingga sintesis T4 dan T3 terhambat. PTU juga menghambat kerja enzim 5′-deiodinase (tetraiodotironin 5′ deiodinase) yang mengkonversi T4 menjadi T3. Karena T3 lebih kuat daya hormon tiroidnya dibandingkan T4, maka hal ini juga akan mengurangi aktivitas hormon-hormon tiroid secara keseluruhan. DAFTAR PUSTAKA 1. Martindale : The Complete Drug Reference 35th edition 2. BNF 54th ed. (electronic version) 3. Propylthiouracil Drug Information Provided by Lexi-Comp. accessed on line at 27th May 2009 from http://www.merck.com/mmpe/lexicomp/propylthiouracil.html 4. Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, 2000. 5. The International Pharmacopoeia, Fourth edition, 2008. WHO Department of Essential Medicines and Pharmaceutical Policies A.
Hipotiroidisme
I. Pengganti Hormon Tiroid
Dalam pengobatan hipotiroidisme, senyawa tiroksin dan triiodotironin yang dipakai adalah isomer L(Levo). Isomer ini digunakan karena memiliki aktifitas yang jauh lebih tinggi daripada isomer dextro.1 Tiroksin diabsorbsi paling baik di duodenum dan ileum. Akan tetapi tingkat absorpsinya dipengaruhi oleh keasaman lambung, flora saluran cerna, makanan, dan obat lainnya. Absorpsi melalui jalur oral T3 sekitar 95%, sedangkan Levotiroksin 80%1. Absorpsi Levotiroksin dihambat oleh sukralfat, resin kolestiramin, Fe, kalsium, dan Al(OH)3.2 Absorpsi T3 dan T4
sangat menurun di ileus pada pasien yang mengalami myxedema, oleh karena itu jalur parenteral digunakan. Jalur parenteral yang digunakan adalah intravena.1 Waktu paruh T3 dan T4 menurun pada pasien hipotiroidisme bila dibandingkan pada orang normal. Eksresi bilier dapat meningkat oleh obat yang menginduksi enzim sitokrom, misalnya rifampin, phenobarbital, carbamazepine, phenytoin, imatinib, protease inhibitors, sehingga meningkatkan eksresi melalui empedu1,2. Mekanisme kerja pengganti hormone tiroid sama dengan hormone tiroid yang disintesis secara alamiah dari kelenjar tiroid. Jaringan memiliki jumlah reseptor tiroid yang tidak sama, oleh karena itu jaringan tubuh dapat dibagi menjadi yang sensitif(hipofisis, hati, jantung, otot rangka, usus, dan ginjal) dan yang tidak sensitif(limpa, testis) terhadap tiroid.1 Preparat pilihan untuk pengganti hormone tiroid adalah levotiroksin. Levotiroksin memiliki waktu paruh yang panjang(7 hari), lebih stabil, tidak menimbulkan alergi, murah, dan konsentrasinya dalam plasma mudah diukur. 1 Pemakaian Levotiroksin sekali sehari 100 mikrogram. Alasan lain pemakaian Levotiroksin sebagai obat pilihan adalah kelebihan T4 dapat diubah menjadi T3. Liotironin(T3) memiliki efek yang lebih poten daripada levotiroksin. Namun liotironin jarang dipakai karena waktu paruhnya yang singkat(24 jam), lebih mahal, dan sulit untuk memonitor kadarnya dalam plasma.1 II.Pengobatan komplikasi dan gejala serta hipotiroidisme kasus khusus
Pada pasien yang mengalami miksedema dan penyakit jantung koroner, pemberian hormone tiroid dapat berbahaya karena meningkatkan aktifitas jantung . Pada kasus ini harus menyembuhkan penyakit jantung koroner lebih dahulu baru mengobati miksedema. Kasus gawat darurat hipotirodisme adalah koma miksedema.1 Faktor predisposisinya adalah infeksi paru, penyakit serebrovaskular, dan gagal jantung kongestif.2 Pada kasus ini diberikan levotiroksin melalui intravena sebanyak 300-400 mikrogram, yang dilanjutkan dengan dosis 50100 mikrogram per hari.1 Pada pasien yang hamil, dosis levotiroksin harus dinaikkan karena kadar Thyroid-Binding Globulin(TBG) yang meningkat. Peningkatan kadar TBG menurunkan jumlah obat bebas dalam plasma dan sebagian obat pindah ke janin, sehingga menurunkan efek kerjanya.2 Hipotiroidisme subklinis, yaitu peningkatan TSH dengan nilai T4 dan T3 yang normal. Pengobatan diperlukan apabila nilai TSH melebihi 10mIU/L.1 B.
Hipertiroidisme
I. Farmakologi umum hipertiroidisme
Hipertiroidisme diobati dengan empat golongan obat, yaitu:
–
antitiroid, obat yang menghambat sintesis hormone secara langsung
–
penghambat transport iodide
–
iodium berkonsentrasi tinggi
–
iodium radioaktif
1. Antitiroid(Tioamida) Tioamid memiliki beberapa efek menghambat sintesis tiroid. Cara kerja pertama yaitu menghambat enzim tiroid peroxidase, yang berfungsi mengubah iodide menjadi iodine.Cara kerja lainnya adalah menghalangi iodotirosin untuk berpasangan.1 Contoh tioamida adalah propiltiourasil(PTU), metimazol, dan carbimazole(gambar 1). PTU dapat menghambat deiodinasi pada jaringan perifer.2 PTU sangat cepat diserap dan mencapai konsentrasi puncaknya. PTU diabsorbsi melalui saluran pencernaan sebanyak dan memiliki bioavailbilitas sekitar 50-80%. PTU didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh dan dieksresi melalui air susu ibu dan urin, melalui bentuk glukoronida.1,2 PTU memiliki waktu paruh 1,5 jam dan diberikan setiap 6-8 jam sebanyak 100 mikrogram. Pemberian dosis tersebut dapat menghambat organifikasi iodine sebanyak 60% selama 7 jam.2Metimazol diabsorpsi secara lengkap dan memiliki volume distribusi yang luas. Methimazol dieksresikan lebih lambat, yaitu 65-70% selama 48 jam.2 Efek samping dari tioamid salah satunya adalah agranulosis, yang dapat timbul karena PTU dan methimazol. Efek samping yang sering muncul adalah purpura dan popular rash, yang dapat hilang sendiri. Efek samping lainnya adalah nyeri dan kaku sendi.2 Thioamid dapat menembus plasenta, oleh karena itu fetus menerima thioamid yang dikonsumsi ibunya. Thioamid dapat menyebabkan hipotiroidisme pada janin. Namun PTU memiliki ikatan dengan protein yang lebih kuat, sehingga lebih sedikit yang beredar bebas dalam darah. Oleh karena itu PTU masih dapat digunakan ibu hamil.2 2. Inhibitor Anion Inhibitor anion adalah golongan obat yang menghambat pompa iodide sel folikuler. Penghambatan ini menurunkan sintesis hormone tiroid. Contoh obat golongan ini adalah tiosianat, perklorat, dan fluoborat. Obat ini dapat menimbulkan goiter. Efek samping dari Natrium dan kalium perklorat adalah anemia anaplastik, demam, kelainan kulit, iritasi usus, dan agranulositosis.2 3. Iodida Iodida merupakan obat tertua untuk terapi hipertiroidisme. Iodida menghambat organifikasi dan pelepasan hormone(Wolf-Chaikoff effect) serta menghambat vaskularisasi kelenjar tiroid.1Sediaan yang digunakan adalah natrium iodide dan kalium iodide, dengan dosis tiga kali
0,3 mL. Iodida sebaiknya tidak digunakan sendiri. Iodida akan menumpuk dalam folikel, dan setelah 2-8 minggu efek hambatannya menghilang. Hal ini menimbulkan tirotoksikosis. Iodida sebaiknya tidak diberikan pada ibu hamil.2 4. Iodida radioaktif Iodida radioaktif yang sering digunakan adalah 131I, yang memiliki waktu paruh 8 hari. 131I memancarkan sinar β dan γ. Iodium radioaktif terkumpul dalam folikel. Pancaran sinarnya menghancurkan parenkim tiroid.1 Dosis terapinya adalah 0,03 mikrogram. Distribusi iodide radioaktif sama dengan iodine biasa. Eksresi iodide radioaktif dipengaruhi oleh aktifitas tiroid, pada normotiroid 65%, hipotiroid 85-90%, dan pada hipertiroid 5% dieksresikan dalam 24 jam.2 Iodium radioaktif dikontraindikasikan bagi wanita hamil dan anak-anak.1,2 Indikasi pemakaian Iodida radioaktif adalah2: –
hipertiroidisme usia lanjut
–
grave disease
–
goiter nodular toksik
–
goiter nodular non-toksik yang disertai gejala kompresi
–
karsinoma tiroid
–
alat diagnostic fungsi tiroid
II. Tatalaksana komplikasi dan gejala hipertiroidisme
1. Optalmopati Pada grave disease dapat terjadi optalmopati. Tatalaksana yang dianjurkan adalah pembedahan atau 131I ditambah dengan predinison oral. Pada minggu pertama berikan predinison 60-100 mg oral perhari, setelah dapat dilanjutkan setiap hari. Apabila predinison gagal, maka dapat menggunakan sinar X.1 2. Thyroid storm Thyroid storm adalah tirotoksikosis yang muncul tiba-tiba dengan efek yang sangat hebat. Kondisi ini merupakan kegawatdaruratan. Propanolol 40-60 mg oral setiap enam jam dapat mengurangi efek tirotoksikosis ke jantung. Kalium iodide sebanyak 10 tetes sehari dapat menghambat pelepasan hormone tiroid, sedangkan pamberian PTU 250 mg setiap 6 jam dapat menghambat sintesis hormon.1 Daftar Pustaka
1. Katzung BG, et.al. Thyroid and Antithyroid Drugs, In: Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. Basic and Clinical Pharmacology. United states: McGraw Hill. 11th ed.[ebook] 2. Suherman SK, Elysabeth. Bab 27: Hormon Tiroid dan Antitiroid, dalam: Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 5th ed. p.439-45
Obat Antitiroid
bhaskoroarifin.wordpress
1. Hormon Tiroid
1.1 Mekanisme Kerja Hormon Tiroid Mekanisme kerjanya melalui inti sel, hormonnya adalah Triyodotironin. Bekerja dengan memodulasi transkripsi gen dan sintesis protein. T4 dan T3 berikatan dengan reseptor yang sama, tapi T4 tidak menyebabkan transkripsi gen, jadi T4 disebut sebagai prohormon.
1.2 Peran dalam Pertumbuhan Hormon ini mempunyai peran yang sangat penting terhadap pertumbuhan otak, oleh karena itu, jika hormon tiroid tidak ada pada masa neurogenesis (0-6 bulan pasca lahir) mungkin terjadi retradasi mental yang irreversibel dan kretinisme. Kretinisme sendiri dibedakan menjadi endemik dan sporadik. Endemik bisa terjadi dengan atau tanpa goiter, sedangkan yang sporadik akan selalu disertai goiter. Tiroksin
meningkatkan penggunaan O2 pd hampir semua jaringan, yang tidak responif hanya otak, gonad dan limpa. Disamping itu tiroksin berperan penting pada termogenesis.
2. Gangguan fungsi
2.1 Hipofungsi Tiroid Terjadi akibat defisiensi yodium. Pada daerah non-endemik umumnya disebabkan karena tiroiditis autoimun yang kronis (tiroiditis hashimoto) dimana penyakit ini ditandai dengan tingginya antibodi terhadap peroksidase tiroid di sirkulasi.
Kegagalan kelenjar tiroid memproduksi hormon adalah penyebab paling sering, disebut hipotiroidisme primer, disamping itu ada pula hipotiroidisme sentral yang terjadi akibat efek stimulasi TSH yang kurang memadai.
Hipotiroidisme non-goiter biasanya karena degenerasi atau atrofi kelenjar, bisa juga sebagai tahap akhir penyakit Grave. Pada tiroiditis hashimoto, biasanya disertai goiter. Gambaran klinis pasien tampak spesifik dengan muka yang ekspresif, membengkak, pucat, kulit dingin dan kering, kepala bersisik, rambut kasar kering dan mudah lepas, kuku jari menebal tetapi rapuh. Suara penderita akan terdengar parau, bicara lambat dengan gangguan daya pikir bahkan mungkin depresi. Pada pasien wanita dapat timbul gangguan haid.
2.2 Hiperfungsi Tiroid Merupakan keadaan dimana hormon tiroid bebas dalam darah kadarnya meningkat, bisa terjadi karena hiperfungsi kelenjar tiroid. Yang disebut subclinical hyperthyroidism adalah apabila hipertiroid terjadi dengan kadar TSH plasma rendah dan T3 serta T4 normal. Penyakit grave ( toxic diffuse goiter ) merupakan penyebab paling sering, biasa terjadi pada pasien 20-50 tahun. Gejala yang timbul akibat pembentukan panas berlebih dan peningkatan motorik syaraf simpatis antara lain kulit kemerahan, otot lemah, tremor dengan frekuensi denyut nadi dan jantung cepat, bila pasien kebutuhan makannya tidak terpenuhi berat badan akan turun drastis.
3. Obat Antitiroid
Sediaan Na-levotiroksin (T4) tablet dan suntikan IV, tiap tablet mengandung 0,25 mg, 0,05 mg, 0,1 mg, 0,15 mg, 0,2 mg, dan 0,3 mg, sedangkan suntikan 10 ml mengandung 0,1 mg/ ml dan 0,5 mg/ ml. Na-liotironin (T3) tablet 0,005 mg, 0,025 mg dan 0,05mg. Untuk penghambat sintesis hormon tiroid ada 4 jenis 1.
Antitiroid, menghambat sintesis hormon langsung
2.
Penghambat ion, yang memblok mekanisme transpor yodida
3.
Yodium konsentrasi tinggi
4.
Yodium radioaktif
3.1 Antitiroid Antitiroid golongan tionamida, misalnya propiltiourasil (PTU), bekerja menghambat proses inkorporasi yodium pada residu tirosil dari tiroglobulin, dan juga menghambat yodium membentuk yodotironin. 3.1.1 Farmakokinetik
Antitiroid Farmakokinetik
Propiltiourasil
Metimazol
75 %
-
Waktu paruh
75'
4 - 6 jam
Terdistribusi
20 L
40 L
-
Metabolisme turun
Ikatan protein plasma
Pada gangguan hati
Pada gangguan ginjal
-
-
1 - 4 kali/hari
1 - 2 kali/hari
Daya tembus plasenta
Rendah
Rendah
Sekresi pada ASI
Rendah
Rendah
Dosis
Propiltiourasil pada dosis 100mg bekerja 6-8jam, sedangkan metimazol dosis 30-40mg bekerja 24jam. Sebaiknya diberikan selama 12 minggu, setelah itu dosis dikurangi, atau dilihat perkembangannya. Sebaiknya pemberian tidak langsung dihentikan 3.1.2 Farmakodinamik Efek samping jarang sekali timbul, pada propiltiourasil dan metimazol biasanya sama. Untuk metimazol efek samping seringkali tergantung dosis. Agranulositosis adalah dengan 0,44% pada propiltiourasil dan 0,12%
dengan
metimazol,
jumlah
yang
sangat
sedikit
tetapi
cukup
berbahaya.
Efek lain adalah purpura rash, nyeri dan kaku sendi pada pergelangan dan tangan, nefritis pada pemakaian dosis tinggi. Antitiroid digunakan untuk terapi simptomatik pada tiroidisme. Efek terapi muncul 3-6 minggu terapi, tergantung berat-ringan penyakit, dosis obat, dan jumlah hormon yang tersedia. Antitiroid tidak berbahaya pada kehamilan, tapi lebih baik dikurangi pada masa trimester ketiga, menghindari goiter fetus. Propiltiourasil tablet, 50 mg biasanya diberikan dosis 100 mg tiap 8 jam. Metimazol tablet 5 mg dan 10 mg dengan dosis 30 mg sekali sehari. Karbimazol, derifat metimazol, tablet 5 mg dan 10 mg, dosis sama dengan metimazol.
3.2
Penghambat
Ion
Penghambat ion yodida adalah obat yang menghambat transpor aktif ion yodida kedalam kelenjar tiroid, obat golongan ini dapat menghambat fungsi tiroid dan menimbulkan goiter. Mekanisme kerjanya menghambat dan kompetitif pada Natrium-Iodide Symporter , dapat menghambat masuknya yodium. Jenis perklorat dan tiosinat. Perklorat kekuatannya 10 kali tiosinat. Tiosinat tidak ditimbun dalam tiroid, perklorat meskipun ditimbun dalam tiroid tidak dimetabolisme dalam tiroid dan diekskresikan dalam bentuk utuh. Obat ini mampu menghilangkan perbedaan kadar yodida dalam plasma dan tiroid. Tapi obat ini sekarang jarang digunakan karena dapat memicu anemia aplastik, selain itu dapat memberi efek samping berupa demam, kelainan kulit dan iritasi usus. Mungkin juga timbul agranulositosis.
3.3
Yodida
Merupakan obat tertua dalam pengobatan hipertiroid sebelum ditemukan antitiroid yang lainnya. Yodida diperlukan dalam jumlah kecil, jumlah yang berlebihan akan menyebabkan goiter bahkan hipotiroidisme pada orang sehat. Efeknya nyata, menekan fungsi tiroid. Peran yodida adalah : 1.
Biosintesis hormon tiroid
2.
Menghambat proses transpor aktifnya sendiri kedalam tiroid
3.
Bila yodium didalam tiroid jumlahnya cukup, akan timbul wolf-chaikoff effect. Yodida sering digunakan untuk persiapan operasi hipertiroidisme, sekitar 10 hari sebelum operasi. Obat ini tidak diberikan sendiri, biasa diberikan setelah pemakaian antitiroid lain. Antitiroid diperlukan dalam jangka waktu lebih lama agar kadar tiroid optimal. Efek pemberian kombinasi yodida dan antitiroida sangat bervariasi.
Farmakodinamik Yodida bukan obat tunggal, karena tidak dapat mengendalikan gejala hipertiroidisme. Tidak boleh diberikan pada wanita hamil, karena akan menyebabkan fetusnya ber-goiter. Natrium yodida dan kalium yodida adalah contohnya. Sediaan banyak macam, kapsul, tablet dan larutan jenuh dalam air. Dosis sehari 0.3 ml 3 kali sehari. Efek samping dapat timbul hipersensitivitas yodida. Ditandai dengan ada rasa logam di mulut, terbakar di mulut dan faring, dan rangsangan pada selaput lendir. Dapat terjadi radang faring, laring dan tonsil. Kelainan kulit ringan, bisa berat disebut yoderma. Gejala pada saluran cerna berupa iritasi, mungkin terjadi perdarahan.
3.4 Yodium Radioaktif Proses radiasi dengan memancarkan sinar-ά sinar -β (elektron) dan sinar -γ (sejenis sinar -x). dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh, karena perubahan molekul di dalam sel oleh sinar yang energinya tinggi. Sinar-ά sinar -β daya tembus kecil, efeknya dapat dibatasi dalam satu organ saja, sedangkan sinar -γ daya tembusnya besar, efeknya luas namun ionisasi pada organ target sedikit.
Efek terhadap tiroid Radioisotop-I yang diberikan akan berperan dalam biosintesis hormon tiroid dan terkumpul dalam koloid. Umumnya jaringan diluar tiroid tidak terpengaruh radiasi. Dosis besar dapat memberi efek nyata, dosis kecil hanya akan merusak jaringan sentral.
Kontra indikasi Tidak boleh diberikan pda masa kehamilan dan anak-anak, sebaiknya diberikan pada pasien usia antara 25 sampai 30 tahun saja. Sediaan, larutan natrium yodida dapat diberikan oral dan suntikan IV, juga tersedia dalam bentuk kapsul.
- dr. Desie Dwi Wisudanti -
Referensi:
1. Katzung B. G. 2006. Basic and Clinical Pharmacology, 10 th Edition. San Fransisco 2.
Farmakologi dan Terapi, edisi ke-5 (cetakan ulang 2011), bagian Farmakologi FKUI: Gaya Baru, Jakarta
3.
Journal of physiology and pharmacology 2006, 57, supp 5, 113.124
1.4. Fisiologi manusia, Sherwood, edisi 6
6.2.1 Hormon Tiroid Hormon tiroid digunakan pada hipotiroidisme (myxoedema) dan juga digunakan pada goiter non toksik yang diffuse (luas tidak berbatas tegas), tiroiditis Hashimoto (lymphadenoid goiter ) dan karsinoma tiroiditis. Hipotiroid neonatal membutuhkan pengobatan segera agar bayi dapat tumbuh kembang normal. Natrium levotiroksin (natrium tiroksin) adalah obat pilihan untuk terapi pemeliharaan. Dosis awal tidak lebih dari 100 mcg sehari, lebih baik sebelum makan pagi, atau 25 – 50mcg pada pasien lanjut usia atau pasien dengan penyakit jantung, ditingkatkan dengan 25 – 50 mcg dengan interval paling cepat tiap 4 minggu. Dosis pemeliharaan untuk mengobati
hipotiroid umumnya 100 – 200 mcg sehari yang dapat diberikan sebagai dosis tunggal. Pada bayi dan anak, dosis tiroksin untuk hipotiroid bawaan dan juvenile myxoedema sebaiknya dititrasi sesuai dengan respon klinik, penilaian pertumbuhan serta pengukuran tiroksin plasma dan TSH (Thyroid Stimulating Hormone). Pada hipotiroid bawaan, dosis awal yang lebih tinggi (hingga 15 mcg/kg bb/hari) dapat memberikan efek yang menguntungkan pada perkembangan mental anak. Monografi:
NATRIUM LEVOTIROKSIN (GARAM TIROKSIN) Indikasi:
hipotiroidisme. Peringatan:
panhipopituarisme atau predisposisi insufisiensi adrenal (terapi awal dengan kortikosteroid sebelum mulai levotiroksin), lansia, penyakit jantung (insufisiensi miokardial atau infark miokardial, lihat pada dosis awal yang tertera diba wah ini), hipotiroidisme dalam jangka waktu yang lama, diabetes insipidus, diabetes mellitus (dosis obat antidiabetes termasuk insulin mungkin perlu ditambah), kehamilan dan menyusui. Interaksi:
Lampiran 1 (hormon tiroid). Sebelum mulai terapi sebaiknya dilakukan EKG untuk menilai perubahan yang ada apakah dipengaruhi oleh hipotiroidisme atau karena iskemia. Jika peningkatan metabolisme terlalu cepat (menyebabkan diare, gelisah, denyut jantung lebih cepat, tremor dan kadang-kadang nyeri angina pada iskemia latent), dosis dikurangi atau tidak diberikan selama 1-2 hari dan mulai kembali pada dosis yang lebih rendah. Kontraindikasi:
tirotoksikosis. Efek Samping:
biasanya terjadi karena kelebihan dosis (lihat dosis awal di atas), nyeri angina, aritmia, palpitasi, kram otot skelet, takikardi, diare, muntah, tremor, gelisah, bergairah, insomnia, sakit kepala, muka merah, berkeringat, demam, intoleransi terhadap panas, berat badan turun drastis, otot lemah. Dosis:
Dewasa; dosis awal 50-100 mcg/ hari (50 mcg untuk pasien berumur lebih dari 50 tahun), diutamakan sebelum sarapan, secara bertahap dinaikkan setiap 3-4 minggu sampai metabolisme kembali normal (biasanya 100-200 mcg sehari). Untuk pasien yang mempunyai penyakit jantung, dosis awal 25 mcg/hari atau 50 mcg pada hari yang lain secara bergantian, dinaikkan 25 mcg secara bertahap setiap 4 minggu. Hipotiroidisme bawaan dan Juvenille myxoedema; neonatus sampai 1 bulan, dosis awal 5-10 mcg/kg bb/hari, anak-anak lebih dari 1 bulan dosis awal 5 mcg/kg bb/hari dinaikkan 25 mcg secara bertahap setiap 2-4 minggu sampai gejala toksik ringan muncul kemudian dosis diturunkan secara perlahan-lahan
http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-6-sistem-endokrin/62-hormon-tiroid-dan-antitiroid/621-hormontiroid
6.2.2 Antitiroid Obat antitiroid digunakan pada pengobatan hipertiroidisme, yaitu untuk persiapan pengangkatan tiroid (thyroidectomy) atau untuk pengobatan jangka panjang. Karbimazol umum digunakan, propiltiourasil digunakan pada pasien yang sensitif terhadap karbimazol. Mekanisme kerja kedua obat tersebut terutama dengan mempengaruhi sintesis hormon-hormon tiroid. Peringatan tentang neutropenia dan agranulositosis Dokter harus ingat akan kemungkinan dan mengenali tanda-tanda terjadinya depresi sumsum tulang yang ditimbulkan oleh karbimazol dan obat harus segera dihentikan. 1. Pasien sebaiknya melapor bila terjadi gejala-gejala radang terutama r adang tenggorokan. 2. Jumlah sel darah putih sebaiknya diperiksa jika ada tanda-tanda infeksi. 3. Karbimazol sebaiknya segera dihentikan jika secara klinik atau hasil laboratorium menunjukkan adanya neutropenia.
Karbimazol diberikan pada dosis 15-40 mg/hari, kadang-kadang diperlukan dosis lebih besar. Dosis ini dilanjutkan sampai pasien mencapai keadaan eutiroid, biasanya setelah 4-8 minggu, kemudian secara berangsur-angsur dosis dikurangi menjadi dosis pemeliharaan 5-15 mg. Terapi diberikan selama 12-18 bulan. Pada anak-anak dosis awal yang diberikan adalah 250 mcg/kgbb, 3 kali sehari, disesuaikan dengan respon. Pengobatan untuk anak-anak sebaiknya dilakukan oleh dokter spesialis.
Pemakaian karbimazol kadang dapat mengakibatkan rash dan pruritus, yang dapat diobati dengan pemberian antihistamin tanpa menghentikan terapi, sebagai alternatif dapat diganti dengan pemakaian propiltiourasil. Pasien diberitahu untuk segera melaporkan sakit tenggorokan karena meskipun jarang hal tersebut dapat terjadi akibat agranulositosis (lihat box peringatan). Dosis propiltiourasil untuk dewasa adalah 200-400 mg/hari, dosis ini dipertahankan sampai pasien mencapai keadaan eutiroid, lalu dosis diturunkan secara berangsur-angsur sampai mencapai dosis pemeliharaan 50-150 mg/hari. Obat-obat antitiroid hanya perlu diberikan sekali sehari karena efeknya yang panjang pada kelenjar tiroid. Pengobatan yang berlebihan dapat cepat menyebabkan hipotiroidisme, keadaan ini sebaiknya dihindari terutama selama kehamilan karena dapat menyebabkan goitre pada janin. Kombinasi karbimazol 40-60 mg/hari dengan levotiroksin 50-150 µg/hari digunakan pada blocking replacement regimen, yang diberikan selama 18 bulan. Blocking replacement regimen tidak boleh diberikan selama kehamilan. Iodium (Iodine) dapat digunakan bersama dengan antitiroid, diberikan 10-14 hari sebelum pengangkatan sebagian tiroid ( partial thyroidectomi), tetapi tidak cukup bukti manfaat. Iodium sebaiknya tidak digunakan untuk pengobatan jangka panjang karena efek antitiroidnya cenderung menurun. Larutan natrium iodida radioaktif makin banyak digunakan untuk pengobatan tirotoksikosis pada semua usia terutama bila ada masalah dengan terapi obat, ada masalah kepatuhan, atau pada pasien dengan penyakit jantung dan pasien yang kambuh setelah tiroidektomi. Propanolol bermanfaat untuk mengurangi gejala tirotoksikosis dengan cepat, dapat diberikan bersama obat-obat antitiroid atau sebagai tambahan pada terapi dengan iodium radioaktif. Beta bloker juga bermanfaat untuk pengobatan tirotoksikosis neonatus dan untuk aritmia supraventrikular yang disebabkan oleh hipertiroidisme. Propanolol juga pernah digunakan bersama iodium pada persiapan operasi pasien tirotoksikosis ringan, tetapi lebih baik menggunakan karbimazol untuk membuat pasien mencapai keadaan eutiroid. Beta bloker tidak mengganggu hasil pemeriksaan laboratorium fungsi tiroid. Nadalol juga pernah digunakan sebagai pengganti propanolol. Thyrotoxic crisis (tiroid storm) memerlukan penanganan gawat darurat dengan pemberian intravena cairan propanolol (5mg) dan hidrokortison 100 mg setiap 6 jam, sebagai natrium suksinat), dan juga larutan iodium per oral dan karbimazol atau propiltiourasil yang mungkin pemberiannya perlu melalui nasogastric tube. Kehamilan dan menyusui. Terapi dengan iodium-radioaktif dikontraindikasikan selama kehamilan. Propiltiourasil dan karbimazol dapat diberikan tetapi tidak boleh memberikan blocking0-replacement regiment . Propiltiourasil dan karbimazol dapat melewati sawar plasenta dan pada dosis tinggi dapat menyebabkan goiter pada janin dan hipotiroidisme. Dengan demikian dipakai dosis terkecil yang dapat digunakan untuk mengontrol hipertiroid (pada Grave’s disease kebutuhan obat cenderung menurun selama kehamilan). Meskipun jarang karbimazol jarang dikaitkan dengan kejadian aplasia cutis pada neonatus. Karbimazol dan
propiltiourasil masuk dalam ASI tetapi hal ini tidak menghalangi pemberian ASI selama tumbuh kembang bayi dimonitor secara ketat dan digunakan dosis obat paling rendah yang efektif. Hipertiroidisme pada neonatal diatasi dengan karbimazol atau propiltiourasil, biasanya selama 812 minggu. Pada keadaan dengan gejala yang parah, mungkin diperlukan Iodium untuk memblokade tiroid dan propanolol diperlukan untuk mengatasi gejala perifer. Monografi:
IODIDA DAN IODIN Indikasi:
tirotosikosis (sebelum operasi). Peringatan:
kehamilan, anak, tidak untuk pengobatan jangka panjang. Kontraindikasi:
reaksi-reaksi hipersensitif seperti coryza-like symptoms, sakit kepala, lakrimasi, konjungtivitis, nyeri pada kelenjar ludah, laringitis, bronkhitis, ruam kulit, insomnia, impoten, gondok pada bayi yang ibunya menggunakan iodida.
PROPILTIOURASIL Indikasi:
hipertiroidism. Peringatan:
Seperti pada karbimazol, gangguan hati (Lampiran 2), gangguan ginjal (Lampiran 3). Efek Samping:
seperti pada karbimazol, leukopenia, cutaneous vasculitis, trombositopenia, anemia aplastik, hipoprotrombinemia, hepatitis, enselopati, nekrosis hati, nefritis, gejala seperti lupus eritematosus. Dosis:
lihat catatan di atas.
KARBIMAZOL Indikasi:
hipertiroidism. Peringatan:
gangguan hati, kehamilan, menyusui (lihat catatan di atas). Efek Samping:
muntah, gangguan pencernaan ringan, sakit kepala, ruam kulit dan pruritus, nyeri sendi, miopati, alopesia, supresi sumsum tulang (pansitopenia dan agranulositosis), jaundice. Dosis:
(lihat pada catatan di atas) Konseling. Informasikan kepada pasien agar segera memberitahu dokter jika terjadi sakit tenggorokan, sariawan, demam, memar, berkembangnya penyakit non spesifik, malaise.
TIAMAZOL Indikasi:
pengobatan hipertiroidism, terutama pada pembengkakan tiroid yang sedikit atau besar (goiter ) pada pasien usia muda. Persiapan untuk operasi segala macam hipertiroidisme. Persiapan pasien hipertiroidisme pada rencana pengobatan radioiodine untuk mencegah terjadinya resiko krisis tirorotoksik setelah terapi. Peringatan:
Pasien harus memberitahu dokter jika terjadi gejala agranulositosis, seperti demam. Pasien dengan kelaianan fungsi sumsum tulang harus dimonitor. Hati-hati adanya reaksi hepatik yang dapat terjadi seperti disfungsi hati (anoreksia, pruritis). Hati-hati pemakaian pada wanita hamil. Perlu dimonitor nilai TSH (Thyroid Stimulating Hormone) pasien. Hati-hati karena diduga obat ini dapat menyebabkan karsinogenesis, mutagenesis, dan kelainan fungsi kesuburan. Kontraindikasi:
Hipersensitivitas; menyusui. Efek Samping:
reaksi alergi kulit (gatal, kemerahan, ruam), mual, muntah, nyeri epigastrik, artralgia, parestesia, kehilangan indera pengecap, rambut rontok, mialgia, sakit kepala, pruritis, mengantuk, neuritis, edema, vertigo, pigmentasi kulit, jaundice, sialadenopathy dan limfadenopati. Jarang terjadi demam, nyeri, arthritis, dan gangguan pada indera pengecap. Perubahan jumLah darah, granulositopenia, trombositopenia, anemia aplastik, hipoprotombinemia dan nepritis, agranulositosis, peradangan mukosa oral dan faring, pembentukan furunkules. Efek ini dapat terjadi seminggu hingga sebulan setelah pengobatan, tapi dapat hilang dengan sendirinya. Limpadenitis, pembengkakan akut kelenjar lidah, penurunan angka platelet darah dan konstituen darah lainnya, peradangan pembuluh darah dan saraf, gangguan sensitivitas, terjadi induksi lupus eritematosus (penyakit auto imun), dan sindrom autoimun insulin. Dosis:
Pengobatan hipertiroidism: Bloking produksi hormon tiroid dicapai dengan dosis obat 25-40 mg. Terapi utama (untuk mencapai aktivitas metabolisme normal kelenjar tiroid): Dosis maksimum 20-40 mg tergantung pada keparahan penyakit. Untuk kasus ringan, 10 mg 2 kali sehari. Untuk aksus berat, 20 mg 2 kali sehari. Setelah fungsi tiroid normal (biasanya antara 3-8 minggu) maka pada pengobatan jangka panjang dosis obat dikurangi menjadi 5-20 mg perhari; pada terapi tunggal dengan obat ini, dosis tergantung pada aktivitas metabolisme yang harus diperiksa secara individual pada tiap pasien. Perhatikan nilai TSH. Dosis pada kasus ini 2,5 dan 10 mg per hari. Dosis pada anak-anak: dosis tergantung pada parahnya penyakit 0,3-0,5 mg/kg bb per hari. Dosis pemeliharaan, 0,2-0,3 mg/kg bb perhari, dibutuhkan pengobatan tambahan dengan hormon tiroid. Dosis wanita hamil: 2,5-10 mg perhari, pengobatan tanpa penambahan hormon tiroid. Dosis pasien dengan kerusakan hati: dosis diberikan serendah mungkin agar efek terapi tetap tercapai.
http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-6-sistem-endokrin/62-hormon-tiroid-dan-antitiroid/622-antitiroid Hormon tiroid (bahasa Inggris: thyroid hormone, TH) adalah klasifikasi hormon yang mengacu pada turunan senyawa asam amino tirosina yang disintesis oleh kelenjar tiroid dengan menggunakan yodium. Terdapat dua jenis hormon dari klasifikasi ini yaitu tetra-iodotironina dan tri-iodotironina. Kedua jenis hormon ini mempunyai peran yang sangat vital di dalam metabolisme tubuh. Istilah hormon tiroid juga sering digunakan untuk merujuk pada asupan senyawa organik pada terapi hormonal berupa levotikroksin, atau isoform terkait; meskipun terhadap dua hormon tiroid yang lain yaitu CT, dan PTH
Hormon tiroid merupakan pengendali utama metabolisme dan pertumbuhan dengan, deiodinasi tetra-iodotironina yang memicu respirasi pada kompleks I rantai pernapasan mitokondria,yang menjadi salah satu faktor laju metabolisme basal; dan modulasi transkripsi genetik melalui
pencerap tri-iodotironina yang terdapat pada inti sel. Pentingnya peran TH
mulai dikenali pada abad ke 19 saat sebuah kasus pembesaran kelenjar tiroid dengan simtoma hipertiroidisme mengakibatkan gagal jantung, exophthalmos dan percepatan laju metabolisme basal. Studi lebih lanjut yang kemudian dilakukan, memberikan pengetahuan bahwa kedua hormon tiroid T4 dan molekulnya yang lebih reaktif, yaitu T3 mempunyai efek pleiotropik. Konversi T4 menjadi T3, pada plasma darah disebut monodeiodinasi, terjadi oleh enzim ID-I yang banyak terdapat pada hati dan ginjal, dan ID-2 yang terdapat pada otak, hipofisis dan jaringan adiposa cokelat. Kedua jenis enzim deiodinase tersebut mengandung senyawa Selenium, dengan glukokortikoid sebagai senyawa promoter.
Hormon tiroid mempengaruhi kecepatan metabolisme tubuh melalui 2 cara : 1.
Merangsang hampir setiap jaringan tubuh untuk menghasilkan
2.
Meningkatkan jumlah oksigen yang digunakan oleh sel.
protein
Untuk menghasilkan hormon tiroid, kelenjar tiroid memerlukan yodium, yaitu suatu eleman yang terdapat di dalam makanan dan air. Kelenjar tiroid menangkap yodium dan mengolahnya menjadi hormon tiroid. Setelah hormon tiroid digunakan, beberapa yodium di dalam hormon kembali ke kelenjar tiroid dan didaur-ulang untuk kembali menghasilkan hormon tiroid. Tubuh memiliki mekanisme yang rumit untuk me nyesuaikan kadar hormon tiroid. Hipotalamus (terletak tepat di atas kelenjar hipofisa di otak) menghasilkan thyrotropinreleasing hormone, yang menyebabkan kelenjar hipofisa mengeluarkan thyroid-stimulating hormone (TSH). Sesuai dengan namanya, TSH ini merangsang kelenjar tiroid untuk menghasilkan hormon tiroid. Jika jumlah hormon tiroid dalam darah mencapai kadar tertentu, maka kelenjar hipofisa menghasilkan TSH dalam jumlah yang lebih sedikit; jika kadar hormon tiroid dalam darah
berkurang, maka kelenjar hipofisa mengeluarkan lebih banyak TSH. Hal ini disebut mekanisme umpan balik.
B.
Pembentukan Hormon Kelenjar Tiroid
1.
Tirosin adalah suatu asam amino yang disintesis oleh sel – sel tubuh dalam jumlah yang cukup. Molekul
– molekul tirosin yang diambil dari plasma kemudian masuk ke dalam koloid dan terikat pada molekul tiroglobulin. Tiroglobulin disintesis oleh reticulum endoplasma sel folikel yang kemudian disekresikan ke dalam koloid secara eksositosis. Hormone tiroksin yang dihasilkan adalah hasil iodinisasi molekul tirosin yang terikat pada tiroglobulin. Untuk dapat melakukan iodinisasi, diperlukan molekul iodium yang aktif. 2.
Molekul iodium aktif berasal dari iodide yang diambil melalui proses transport aktif yang memerlukan energi.
Proses pengambilan iodida secara aktif tersebut dikenal dengan proses idodida trapping. Iodide yang telah ditangkap akan dioksidasi oleh enzim peroksida menjadi iodium aktif sebelum berkonjugasi dengan gugus terminal tirosin-tiroglobulin. Proses ini menggunakan suatu simporter atau pompa iodida yang disebut simporter NA+/I- (NIS) yang mengangkut Na+ dan I- ke dalam sel melawan gradient e lektrokimia untuk I.
3.
Iodinisasi tiroglobulin/organic binding Gugus tirosin yang menempel pada tiroglobulin di dalam koloid segera mengikat molekul – molekul iodium (iodinisasi) : 1)
1 molekul iodium + tirosin-globulin à monoiodotirosin (MIT) 2)
2 molekul iodium + tirosin-tiroglobulin à diiodotirosin (DIT)
Proses iodinisasi tiroglobulin-tirosin ini dikatalisis oleh enzim peroksidase tiroid dan dapat dihambat oleh zat – zat kimia seperti tiourea dan propiltiourasil
4.
Kondensasi oksidatif 1 molekul MIT + 1 molekul DIT à 1 molekul triiodotironin (T3) + alanin 1 molekul DIT + 1 molekul MIT à 1 molekul reverse triiodotironin (rT3) + alanin 1 molekul DIT + 1 molekul DIT à 1 molekul tetraiodotironin (T4) + alanin Sintesis hormone kelenjar tiroid di atas dirangsang oleh TSH. Dalam tiroid manusia normal, distribusi rata – rata senyawa beriodium adalah 23% MIT, 33% DIT, 35% T4, dan 7% T3. Sedangkan RT3 dan komponen lain hanya terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit.
Hormon tiroid terdapat dalam 2 bentuk: 1.
Tiroksin (T4), merupakan bentuk yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid, hanya memiliki efek yang ringan terhadap kecepatan metabolisme tubuh.
2.
Tiroksin dirubah di dalam hati dan organ lainnya ke dalam bentuk aktif, yaitu tri-iodo-
tironin (T3). Perubahan
ini
menghasilkan
sekitar
80%
bentuk hormon aktif, sedangkan 20% sisanya dihasilkan oleh kelenjar tiroid sendiri. Perubahan dari T4 menjadi T3 di dalam hati dan organ lainnya, dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya kebutuhan tubuh dari waktu ke waktu. Sebagian besar T4 dan T3 terikat erat pada protein tertentu di dalam darah dan hanya aktif jika tidak terikat pada protein ini. Dengan cara ini, tubuh mempertahankan jumlah hormon tiroid yang sesuai dengan kebutuhan agar kecepatan metabolisme tetap stabil.
C. Fungsi Hormon Tiroid
1.
Mengatur laju metabolisme tubuh. Baik T3 dan T4 kedua-duanya meningkatkan metabolisme karena peningkatan konsusmsi oksigen dan produksi panas. Efek ini pengecualian untuk otak, lien, paru-paru dan testis. Kedua hormon ini tidak berbeda dalam fungsi namun berbeda dalam intensitas dan cepatnya reaksi. T3 lebih cepat dan lebih kuat reaksinya tetapi waktunya lebih singkat dibanding dengan T4. T3 lebih sedikit jumlahnya dalam darah. T4 dapat diubah menjadi T3 setelah dilepaskan darifolikel kelenjar.
2.
Memegang peranan penting dalam pertumbuhan fetus khususnya pertumbuhan saraf dan tulang.
3.
Mempertahankan sekresi GH dan gonadotropin
4.
Efek kronotropik dan Inotropik terhadap jantung yaitu menambah kekuatan kontraksi otot dan menambah irama jantung.
5. 6.
Merangsang penbentukan sel dalam darah. Mempengaruhi kekuatan dan ritme pernapasan sebagai komp[ensasi tubuh terhadap kebutuhan oksigen akibat metabolisme.
7.
Bereaksi terhadap antagonis insulin. Tirokalsitonin mempuyai jaringan sasaran tulang dengan fungsi utama menurunkan kadar kalsium serum dengan menghambat reabsorpsi kalsium I tulang. Faktor utama yang mempengaruhi sekresi kalsitonin adalah kadar kalsium serum. Kadar kalsium serum rendah akan menekan pengeluaran tirokalsitonin dan sebaliknya peningkatan kalsium serum akan merangsang pengeluaran tirokalsitonin. Faktor tamabahan adalah diet kalsium dan sekresi gastrin di lambung. Agar kelenjar tiroid berfungsi secara normal, maka berbagai faktor harus bekerjasama secara benar: 1)
hipotalamus
2)
kelenjar hipofisa
3)
hormon tiroid (ikatannya dengan protein dalam darah dan perubahan
hati serta organ lainnya).
Tiroid mengeluarkan tiga hormon penting, yaitu: 1)
Triodotironin
T4 menjadi T3 di dalam
2)
Tiroksin
3)
Kalsitonin Triodotironin dan Tiroksin mengatur laju metabolisme dengan cara mengalir bersama darah
dan memicu sel untuk mengubah lebih banyak glukosa. Jika Tiroid mengeluarkan terlalu sedikit Triodotironin dan Tiroksin, maka tubuh akan merasa kedinginan, letih, kulit mengering dan berat badan bertambah. Sebaliknya jika terlalu banyak, tubuh akan berkeringat, merasa gelisah, tidak bisa diam dan berat badan akan berkurang.
D. Mekanisme Kerja Hormon Tiroid Mekanisme Kendali yang Teliti
Sebuah sistem yang sangat maju dan teratur telah diciptakan untuk mengatur jumlah tiroksin yang dilepaskan. Pelepasan tiroksin terjadi lagi sebagai hasil rantai perintah sekumpulan sel tak sadar yang disusun dalam hirarki yang amat tertib.
Saat cukup hormon tiroid telah dihasilkam, hipotalamus menghentikan pembentukan hormon pelepas tiroid.
Saat tiroksin dilepaskan, otak sistem hormonal - hipotalamus -mengirimkan sebuah perintah (TRH, hormon pelepas tiroid) ke kelenjar tiroid. Kelenjar tiroid, sebagai titik akhir rantai perintah ini, segera menanggapi dengan
melepaskan
tiroksin
dan
menyebarkannya ke seluruh tubuh melalui darah.
Saat tiroksin dibutuhkan, hipotalamus mengirimkan perintah ke kelenjar pituitari (TRH). Kelenjar pituitari yang menerima perintah ini memahami bahwa kelenjar tiroid harus diaktifkan. Kelenjar pituitari segera mengirimkan perintah ke kelenjar tiroid (TSH). Sesuai dengan perintah yang diterima, kelenjar tiroid segera menghasilkan tiroksin, dan menyebarkannya ke seluruh tubuh lewat aliran darah. Saat jumlah tiroksin dalam darah naik di atas normal, hormon tiroksin mempengaruhi kelenjar pituitari dan terkadang langsung ke hipotalamus: kelenjar ini mengurangi kepekaan kelenjar pituitari terhadap hormon TRH. Fungsi hormon TRH adalah mengaktifkan kelenjar pituitari agar mengirimkan perintah (berbentuk hormon TSH) ke kelenjar tiroid. Perintah ini adalah titik kedua dalam rantai perintah produksi hormon tiroksin.
Sistem ini dirancang begitu rumit sehingga kelebihan tiroksin mengambil tindakan amat cerdas agar sumber-sumber yang menghasilkan hormon ini tak membuat terlalu banyak, serta campur tangan dan menghambat rantai perintah yang dibangun untuk menghasilkan dirinya. Dengan cara ini, saat tiroksin di dalam darah meningkat di atas normal, produksinya otomatis dihentikan
Empat dari Sepuluh Ribu Molekul Jumlah tiroksin yang dilepaskan ditentukan oleh sistem menakjubkan yang telah kami gambarkan di atas. Namun, di samping semua ini, ada sistem menakjubkan lainnya yang menjaga agar jumlah tiroksin dalam darah mantap di masa genting. Molekul tiroksin dilepaskan oleh kelenjar tiroid ke dalam darah dan harus segera menempel ke molekul yang dirancang khusus untuk mengangkutnya dalam darah. Saat menempel pada molekul ini, molekul tiroksin tak dapat menjalankan fungsinya. Dari ribuan molekul tiroksin, hanya sedikit yang beredar bebas dalam darah. Hanya sekitar empat dari sepuluh ribu molekul tiroksin yang mempengaruhi keepatan metabolisme dalam sel.
Setelah molekul tiroksin bebas memasuki sel-sel yang dituju, molekul tiroksin lainnya yang melepaskan diri dari molekul pembawanya menggantikan. Molekul-molekul pembawa bekerja sebagai tangki penyimpanan untuk memastikan bahwa tersedia cukup tiroksin bila dibutuhkan. Kita telah melihat betapa cermat pengelolaan keseimbangan jumlah tiroksin yang dibutuhkan untuk mempengaruhi sel-sel ini dan masalah-masalah kesehatan yang timbul jika jumlah itu naik atau turun. Keseimbangan yang teliti ini melibatkan kadar empat molekul bebas dari sepuluh ribu molekul tiroksin terikat.
E.
Tanda-tanda Orang yang Kelebihan dan Kekurangan Hormon Tiroid
Hormon tiroid berfungsi menstimulasi metabolisme dari sel-sel tubuh. Tapi ada kalanya jumlah hormon ini tidak sesuai dengan yang dibutuhkan. Apa saja tanda-tanda kelebihan dan kekurangan hormon tiroid?
Tiroid adalah kelenjar yang terletak di leher bagian depan yang berbentuk seperti kupu-kupu dan seringkali mudah untuk diraba. Gangguan yang terjadi pada kelenjar ini bisa akibat ukurannya atau produksi hormonnya yang tidak seimbang.
Produksi hormon yang tidak seimbang ini bisa diakibatkan oleh kelebihan hormon tiroid (hipertiroid) atau kekurangan hormon tiroid (hipotiroid). Gangguan hormonal ini bisa terjadi seumur hidup, meski pada saat-saat tertentu kadar hormonnya bisa kembali normal tapi tidak ada yang tahu penyebab gangguan hormon tersebut muncul kembali.
Gangguan tiroid lebih banyak dialami oleh perempuan dibanding laki-laki (bisa sampai 5-7 kali lipat) dan mewakili sebagian besar penyakit endokrin atau yang berhubungan dengan hormon.
Untuk mengetahui apakah seseorang memiliki hipotiroid atau hipertiroid biasanya dilakukan tes darah dengan mengetahui jumlah dari hormon T3 (triiodothyronine), T4 (thyroxine) dan TSH (Thyroid Stimulating Hormone).
Berikut ini gejala yang muncul jika tubuh kelebihan atau justru kekurangan hormon tiroid, seperti dikutip dari Thyroid.about.com, Rabu (24/8/2011) yaitu:
Hipertiroidisme
Hipotiroidisme
Denyut jantung yg cepat
Denyut nadi yg lambat
Tekanan darah tinggi
Suara serak
Kulit lembat & berkeringat banyak
Berbicara menjadi lambat
Gemetaran
Alis mata rontok
Gelisah
Kelopak mata turun
Nafsu
makan
bertambah
disertai Tidak tahan cuaca dingin
penambahan berat badan Sulit tidur
Sembelit
Sering buang air besar & diare
Penambahan berat badan
Lemah
Rambut kering, tipis, kasar
Kulit diatas tulang kering menonjol &
Kulit kering, bersisik, tebal, kasar Kulit
menebal
Mata membengkak, memerah & menonjol
diatas
tulang
kering
menebal & menonjol Sindroma terowongan karpal
Mata peka terhadap cahaya
Kebingungan
Mata seakan menatap
Depresi
Kebingungan
Demensia
Sumber detikHealth - Vera Farah Bararah
F.
Penyakit Yang Menyerang Tiroid
1.
Hipotirosis Pada hipotirosis atau hipofungsi tiroid aktivitas kelenjar lebih rendah dari normal dan produksi
hormon-hormonnya berkurang. Misalnya pada penyakit myxedema yang berciri anemia, rasa lesu, dingin & kantuk, tak mampu memprestasikan sesuatu, muka busung (udem), pucat dan berat badan meningkat, sedangkan denyut nadi diperlambat, begitu pula buang air besar kurang lancar karena peristaltik berkurang. Pada wanita seringkali suaranya menjadi agak serak dan haid lebih deras. Bila hipofungsi dimulai sedari lahir, maka terjadilah penyakit kretinisme, dimana pertumbuhan tubuh dan mental terganggu, mendekati pandir (idiot) dengan tubuh kerdil dan seringkali dengan struma (gondok) di leher karena tiroid membesar. Penyakit-penyakit ini dapat disebabkan oleh tidak adanya iod dalam air atau pangan, juga karena tubuh tidak sanggup membentuk mono- dan di-iodtiroksin atau pula tidak dapat mempersenyawakannya menjadi T3 dan T4.
Pengobatan Hipotirosis Hormon tiroid dalam Penggunaan Klinis, penggunaan satu-satunya yang tepat dari hormon-hormon tiroid adalah pada terapi-substitusi dari hipotirosis. Biasanya digunakan serbuk organ atau tiroksin, yang mulai kerjanya lambat, setelah sejumlah hari (masa latensi) dengan efek maksimal baru tercapai setelah lebih kurang 10 hari. T3 kerjanya lebih cepat, tetapi berhubung khasiatnya yang lebih kurang 5 kali lebih kuat dan resiko efek samping yang lebih besar maka hanya digunakan pada keadaan-keadaan genting, seperti koma (pingsan), myxudema. Pengobatannya dilakukan dengan terapi-substitusi dengan serbuk tiroid at au hormonnya. a)
Serbuk tiroid (thyranon) Serbuk organ diperoleh dari tiroid binatang menyusui, lasimnya domba, karena kadar hormonnya tinggi, yang telah dibebaskan dari lemak dan jaringan-jaringan pengikatnya dan kemudian dikeringkan. Serbuk ini mengandung T3 dan T4 dalam perbandingan tak tertentu, yang aktivitasnya berhubungan erat dengan kadar-iod dari serbuk. Selama resorpsi dari usus yang berlangsung perlahan, T3 & T4 dibebaskan dengan
jalan enzimatis. Berhubung adanya masa latensi, maka efeknya baru nyata setelah 3 – 7 hari. Biasanya dimulai dengan dosis rendah yang berangsur-angsur dinaikkan hingga tercapai efek sampingan seperti takikardi dan kegelisahan, kemudian dosis ini dikurangi dengan 25 mg dan digunakan untuk pemeliharaan. Dosis oral pemula 12,5 – 50 mg, perlahan-lahan dinaikkan sampai 150 mg/hari. Dosis dapat diberikan sebagai single dosis pada pagi hari, tablet harus di kunyah atau dilarutkan dalam air b)
Tiroksin (T4) Hormon ini dibuat secara sintetis. Penggunaannya tidak ada keuntungan di atas serbuk organ (yg
harganya lebih murah & kini paling banyak digunakan), kecuali dapat digunakan sebagai injeksi; resiko over-dose & eso lebih besar. Dosis oral pemula 2 – 3 kali/hari 5 – 10 mcg, yang berangsur-angsur dinaikkan sampai 60 – 100 mcg/hari. -) Mekanisme/kerja : Menggantikan kadar serum normal T 4 dan T3 (T4 dikonversi menjadi T3 oleh deyoinasi di perifer). -) Indikasi : Obat pilihan untuk hipoiroid. -) Efek tak diinginkan : Tidak ada toksisitas pada kadar penggantian. Over dosis menyebabkan efek hipertiroid. -) Farmakokinetik : PO/IV. 70% diabsorpsi, aitan kerja lambat, waktu paruh = 1 minggu. Catatan : Pengobatan lama. Pasien jangan menghentikan terapi penggantian bila hipotiroid hilang. Dosis oral 0,2 – 0,4 mg/hari, setelah dimulai dengan dosis rendah 0,05 – 0,1 mg/hari yg berangsur-angsur dinaikkan; ada kalanya dicampur dengan 25% liotironin untuk meniru efek serbuk tiroid. Dosis ekuivalen 0,1 mg tiroksin=50 mg serbuk tiroid=0,02 mg liotironin.
c)
Liotironin (Triidtironin T3)
Hormon ini juga dibuat secara sintetis, khasiatnya lebih kurang 5 kali lebih kuat daripada tiroksin; mulai kerjanya juga lebih cepat (setelah beberapa jam), tetapi hanya singkat. Bahaya efek sampingnya lebih tinggi, terutama infark jantung, maka hanya digunakan bila dibutuhkan kerja yg pesat dan kuat, misal pada coma myxudem. -) Mekanisme/kerja : Menggantikan T3. -) Indikasi : Digunakan pada pasien hipotiroid yang sulit mengabsorpsi levotiroksin. -) Efek tak diinginkan : Tidak ada toksisitas pada kadar penggantian. Over dosis menyebabkan efek hipertiroid. -) Farmakokinetik : PO/IV. 100% diabsorpsi, awitan kerja cepat, waktu paruh = beberapa jam. Catatan : Karena waktu paruh pendek, kadar serum berbeda-beda sesuai pemberian dosis. -) Mekanisme kerja : Menggantikan T4 dan T3 -) Indikasi : Bila konversi T4 dan T3 rendah abnormal (koma miksedema) , liotriks dapat lebih berguna daripada levotiroksin. -) Efek tak diinginkan : Tidak ada toksisitas pada kadar penggantian. Over dosis menyebabkan efek hipertiroid. -) Efek Samping - Sama dengan hipertirosis, kecuali exoftalmus, terutama denyut-nadi pesat, rasa g elisah & sulit tidur - Pada pentakaran yg terlalu mendadak tinggi, dapat terjadi
angina pectoris & infark jantung;
guna menghindarkan hal ini dosis harus dimulai rendah sekali & berangsur-angsur
dinaikkan
-
Semakin keras keadaan hipotirosis, semakin besar kepekaan
hormon tiroid & semakin rendah 2.
organisme terhadap hormon-
pula hendaknya dosis awal.
Hipertirosis Pada hipertirosis/hiperfungsi tiroid justru terdapat overproduksi hormon-2 tiroid, sebagaimana halnya penyakit Basedow/Grave, gejalanya takikardi, struma dan eksoftalmus (mata menonjol keluar), meskipun kedua gejala terakhir tidak selalu Nampak. Selanjutnya tremor (tangan gemetaran) dan berkeringat, gelisah, sering buang air besar dan cair karena peristaltik diperkuat. Pada lansia seringkali gejalanya berupa kelemahan jantung : takikardi, udem, banyak berkemih, jantung & hati membesar. Sebab hipertirosis dalam kebanyakan hal adalah stimulasi tiroid oleh suatu globulin darah yang memiliki aktivitas TSH, yakni LATS (long acting thyroid stimulator). Seringkali juga disebabkan adanya banyak benjol-2 kecil dalam kelenjar (noduli) yang secara otonom membentuk hormon-hormon berkelebihan di luar pengaruh sistem hipotalamus-hipofisis. Dapat pula diakibatkan oleh pemasukan iodida atau iod selama waktu yang lama, misalnya banyak makan terlalu banyak obat batuk yang mengandung kaliumiodida atau garam dapur yang m engandung iodide.
Pengobatan Hipertirosis Terapi ditujukan terhadap mengurangi aktivitas tiroid, yakni dengan mengeluarkan atau merusak sebagian kelenjar (operasi atau iod radio-aktif), atau dengan mengurangi produksi hormon-hormonnya dengan tiroistatika. Operasi (strumectomi) dilakukan bila struma demikian besar hingga pembuluh nadi leher atau batang tenggorok terancam dengan penyumbatan hanya sebagian tiroid dikeluarkan untuk memudahkan pembedahan, sebelumnya operasi dilakukan terapi dengan tiroistatik dan iod guna mengurangi vaskularisasi (memadatkan) kelenjar. Senyawa-senyawa-iod radio aktif, yakni isotop-isotop iod 125, 131 atau132, setelah diserap oleh tiroid merusak sebagian jaringan dengan penyinaran radioaktif (sinar-sinar beta). Obat-obat lain adakalanya digunakan untuk mengurangi gejala-gejalanya (terutama takikardia dan kegelisahan) adalah beta-bloker propranolol, guanetidin dan reserpin, yang mengurangi efek tiroksin di jaringan-jaringan perifer dengan jalan blokade susunan saraf simpatis.
Antitiroid
Antitiroid atau tiroistatik adalah zat yang berkhasiat menekan produksi hormon-hormon tiroid dan digunakan pada keadaan-keadaan hiperfungsi tiroid (hipertirosis) Secara kimia dapat dibagi dalam beberapa kelompok : 1. Derivat-derivat tioamida yang terdiri dari derivat-tiourea (metil- & propiltiourasil) serta derivattioimidazol (karbimazol & tiamazol). 2. Iodida (NaI & KI) yg merintangi pembebasan hormon ke dalam darah; mulai kerjanya cepat tanpa masa latensi sebagai tioamida, juga tidak mengakibatkan hiperplasia, pertumbuhan berlebihan dari tiroid; berhubung kurang efektif, kini tak banyak digunakan 3.
Kalium perkelorat (KClO4) yang merintangi penangkapan iodida dan pemadatannya oleh tiroid; meskipun kerjanya efektif, jarang digunakan berhubung efek sampingnya (agranulositosis)
Selain itu dikenal pula sejumlah obat lain yang dapat menyebabkan hipotirosis, antara lain PAS, fenilbutason, sulfonilurea (tolbutamid) dan garam-garam litium.
Iodida
Kaliumiodida adalah obat pertama yang digunakan untuk menyembuhkan struma (penyakit gondok) dan hipertirosis. Khasiat iodida terhadap tiroid adalah kompleks, dalam dosis rendah dibubuhi pada garam dapur (2 : 100.000) guna mencegah dan mengobati penyakit iod-basedow dan kretinisme. Sebaliknya dosis besar yang digunakan untuk waktu lama, misalnya dalam obat batuk pada bronchitis dapat mengakibatkan struma dan hipertirosis. Kerjanya cepat, tanpa masa latensi, tetapi tidak semua gejala dihilangkan dan setelah beberapa waktu kerapkali tidak efektif lagi, malah gejala-gejala memburuk. Maka sekarang tidak banyak digunakan lagi. Kebutuhan tubuh akan iodida ±150 mcg/hari. Dosis ; oral 2 kali sehari 60 mg kaliumiodida sebagai larutan jenuhnya atau sebagai larutan lugol
Propiltiourasil Turunan dari metiltiourasil dan merupakan senyawa tioamida pertama yang digunakan sebagai
tiroistatikum a)
Nama generik : Propiltiourasil
b)
Nama dagang di Indonesia : Propiltiouracil (generik)
c)
Indikasi : hipertiroidisme
d)
Kontraindikasi : hipersensisitif terhadap Propiltiourasil, blocking replacement regimen tidak boleh diberikan pada kehamilan dan masa menyusui. e)
Bentuk sediaan : Tablet 50 mg dan 100 mg Dosis dan aturan pakai : untuk anak-anak 5-7 mg/kg/hari atau 150-200 mg/ m 2/hari, dosis terbagi
setiap 8 jam. Dosis dewasa 3000 mg/hari, dosis terbagi setiap 8 jam. untuk hipertiroidisme berat 450 mg/hari, untuk hipertiroidisme ocasional memerlukan 600-900 mg/hari; dosis pelihara 100-150 mg/hari dalam dosis terbagi setiap 8-12 jam. Dosis untuk orangtua 150-300 mg/hari (Lacy, et al , 2006) f)
Efek samping : ruam kulit, nyeri sendi, demam, nyeri tenggorokan, sakit kepala, ada kecendrungan pendarahan, mual muntah, hepatitis.
g)
Mekanisme Obat: menghambat sintesis hormon tiroid dengan memhambatoksidasi dari iodin dan menghambat sintesistiroksin dan triodothyronin (Lacy, et al , 2006)
h)
Resiko khusus : . Hati-hati penggunaan pada pasien lebih dari 40 tahun karena PTU bisa menyebabkan hipoprotrombinnemia dan pendarahan, kehamilan dan menyusui, penyakit hati. Khasiatnya lebih kurang sama, tetapi zat ini lebih jarang menyebabkan efek sampingan alergis daripada derivat metilnya; sehingga propiltiourasil banyak digunakan
Karbimazol (neo-mercazol) Turunan tiomidazol lebih kurang 10 kali kuat dari propiltiourasil, kerjanya lebih cepat dan lama -) Indikasi : agent antitiroid -) Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap methimazole dan wanita hamil. -) Bentuk sediaan : tablet 5 mg, 10 mg, 20 mg
-) Dosis dan aturan pakai : untuk anak 0,4 mg/kg/hari (3 x sehari); dosis pelihara 0,2 mg/kg/hari (3 x sehari). maksimum 30 mg dalam sehari. -) Untuk dewasa: hipertiroidisme ringan 15 mg/hari; sedang 30-40 mg/hari; hipertiroid berat 60 mg/ hari; dosis pelihara 5-15 m g/hari. -) Efek samping : sakit kepala, vertigo, mual muntah, konstipasi, nyeri lambung, edema. -) Resiko khusus : pada pasien diatas 40 tahun hati-hati bisa meningkatkan myelosupression, kehamilan
Tiamazol (metimazol) -) Nama generik : Karbimazole -) Nama dagang di Indonesia : Neo mecarzole (nicholas). -) Indikasi : hipertiroidisme -) Kontraindikasi : blocking replacement regimen tidak boleh diberikan pada kehamilan dan masa menyusui. -) Bentuk sediaan : tablet 5 mg -) Dosis dan aturan pakai : 30-60 mg/hari sampai dicapai eutiroid, lalu dosis diturunkan menjadi 5-20 mg/hari; biasanya terapi berlangsung 18 bulan. Sebagai blocking replacement regimen, karbamizole 20 – 60 mg dikombinasikan dengan tiroksin 50 -150 mg. Untuk dosis anak mulai dengan 15 mg/hari kemudian disesuaikan dengan respon. -) Efek samping : ruam kulit, nyeri sendi, demam, nyeri tenggorokan, sakit kepala, ada kecendrungan pendarahan, mual muntah, leukopenia. -) Resiko khusus : penggunaan pada pasien lebih dari 40 tahun karena PTU bisa menyebabkan hipoprotrombinemia dan pendarahan, kehamilan dan menyusui (Lacy, et al , 2006).
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Hormon tiroid (bahasa Inggris: thyroid hormone, TH) adalah klasifikasi hormon yang mengacu pada turunan senyawa asam amino tirosina yang disintesis oleh kelenjar tiroid dengan menggunakan yodium. Terdapat dua jenis hormon dari klasifikasi ini yaitu tetra-iodotironina dan tri-iodotironina. Kedua jenis hormon ini mempunyai peran yang sangat vital di dalam metabolisme tubuh. Istilah hormon tiroid juga sering digunakan untuk merujuk pada asupan senyawa organik pada terapi hormonal berupa levotikroksin, atau isoform terkait; meskipun terhadap dua hormon tiroid yang lain yaitu CT, dan PTH.
1.
Fungsi utama hormon tiroid adalah meningkatkan aktivitas metabolik
hormon pertumbuhan, dan mempengaruhi mekanisme kardiovaskuler dan regulasi hormon 2.
seluler, sebagai
tubuh yang spesifik seperti sistem
lain.
Diagnosis hipertiroidisme mengacu pada hasil pemeriksaan TSH, FT4,
FT3, TSI, dan
indeks Wayne dan indeks New Castle berdasarkan gejala klinis yang timbul. 3.
Penyebab terjadinya hipertiroidisme adalah TSI yang mengambil alih
regulasi yang
seharusnya dilaksanakan oleh TSH.] 4.
Efek samping pembedahan yang mungkin timbul bisa saja terjadi
akibat letak kedua
kelenjar yang berdekatan dan fungsinya yang antagonis. 5.
Penatalaksanaan hipertiroidisme meliputi tindakan bedah dan
pemberian bahan
penghambat sintesis tiroid, seperti antitiroid, penghambat ion iodida, yodium konsentrasi tinggi, dan yodium
B.
Saran
radioaktif.
1. Mahasiswa diharapkan dapat mengetahui fungsi hormone tiroid. 2. Mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan tetang mekanisme kerja hormone tiroid. 3. Mahasiswa dapat megetahui tentang pembentukan hormon tiroid