[1]Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994), 33.
[2]Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaani (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), 78.
[3] A. C. Milner, Islam dan Martabat Raja Melayu , "dalam Islam di Asia Tenggara: Perspektif Sejarah. Eds. Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique, Yasmin Hussain ( Jakarta: LP3ES, 1989), 52.
[4] A.C. Milner, Islam dan Negara Muslim "dalam Azyumardi Azra (ed.), Perspektif Islam di Asia Tenggara. Ed. Azyumardi Azra ( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), 154.
[5]Ibid.
[6] Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya 1 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Forum Jakarta-Paris, École française d'Extrême-Orient, 2005), xvi.
[7]Taufik Abdullah, Lombard, Mazhab Annales dan Sejarah Mentalitas Nusa Jawa "dalam dalam Henri Chambert dan Hasan Muarif Ambary (ed.) Panggung Sejarah Persembahan Kepada Denys Lombard (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), 52-53.
[8]Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 2004), xix.
[9] J. C. Bottoms, Beberapa Sumber Melayu, "dalam Soedjatmoko, dkk (eds). Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar (Jakarta: Gramedia, 1995), 162.
[10]H. J. de. Graaf, Sumber-sumber Sejarah Pulau Jawa Dari zaman Mataram dan Historiografi, " dalam Soedjatmoko, dkk (ed). Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar (Jakarta: Gramedia, 1995), 99.
[11]Terdapat di cover belakang buku Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya 1.
[12] Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, xviii.
[13] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Jakarta: Kencana, 2007), 387.
HISTORIOGRAFI ISLAM INDONESIA ABD 14-19
INDONESIAN ISLAMIC HISTORIOGRAPHY
IN THE 14th-19th CENTURY
A. Pendahuluan
Historiografi (historical explanation) merupakan langkah terakhir dalam metodologi penelitian sejarah yang terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Berawal dari pertanyaan, bagaimana para sejarawan merekonstruksi sejarah melalui bukti dan sumber sejarah sehingga menjadi tulisan sejarah, dari situlah historiografi melakukan tugasnya. Dalam paper ini saya akan membahas sedikit tentang kajian historiografi terhadap beberapa sejarawan (sejarawan Indonesia maupun serawan asing) dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa saja ruang lingkup kajian sejarah Islam Indonesia sejak abad ke-14 sampai abad ke-19 yang menjadi perhatian para sejarawan?
2. Sumber-sumber apa saja yang digunakan oleh para sejarawan untuk merekonstruksi sejarah Islam Indonesia mulai abad ke-14 sampai abad ke-19 ?
3. Apa teori-teori yang digunakan dan/atau teori-teori yang dihasilkan oleh para sejarawan tersebut?
B. Ruang Lingkup Kajian Sejarah Islam Indonesia Sejak abad XIV sampai abad XIX
Secara umum ruang lingkup kajian sejarah Islam Indonesia sejak abad XIV sampai abad XIX yang menjadi perhatian para sejarawan antara lain political history, social history dan intelectual history. Beberapa sejarawan yang menulis sejarah politik adalah M. C. Ricklefs dan A.C Milner. Penulisan sejarah sosial muncul sebagai gejala baru sejak sebelum perang dunia II. Di Perancis aliran penulisan sejarah annales yang dipelopori oleh Lucien Febvre dan Marc Bloch menjadi modal bagi generasi baru penulis sejarah sosial[1], di antaranya Denys Lombard dan Anthony Reid. Sedangkan intelectual history ditulis oleh Azyumardi Azra yang di dalam bukunya ia berhasil merumuskan jaringan intelektual muslim antara ulama Timur tengah dengan Nusantara.
Merle Calvin Ricklefs, seorang sejarawan Belanda, dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern lebih cenderung meng-cover buku sejarahnya kepada political history. Dalam buku ini Ricklefs merekronstruksi sejarah Indonesia sejak awal kedatangan Islam, masa kerajaan-kerajaan Islam termasuk transisi dari kerajaan hindu Jawa (Majapahit) ke kerajaan Islam (Demak), masa kolonial Belanda, kebangkitan nasional, masa pendudukan Jepang sampai Indonesia merdeka, masa orde lama, orde baru dan reformasi.
A. C. Milner yang juga menulis tentang sejarah politik, membahas tentang martabat raja Melayu yang tidak berubah setelah kedatangan Islam yaitu sangat tingginya posisi raja sehingga semua hal berada di tangan raja. Kedatangan Islam dan penyebaran Islam di Nusantara tidak banyak mengubah esensi etintas politik dalam kerajaan.[2] Raja pada masa pra Islam rupanya telah menjadi fokus kehidupan politik dan spiritual yang digambarkan sebagai seorang bodhisatwa, yaitu budhis yang sukarela meninggalkan nirwana untuk tinggal menetap di dunia dan membantu pembebasan spiritual umat manusia.[3] Dalam hal nilai penting kerohaniannya penguasa-penguasa di Nusantara ini memiliki banyak kesamaan, sebagaimana di Pasai raja disebut sebagai "dewa Apollo", di Minangkabau raja disebut emanasi Tuhan dan di Jawa raja disebut sebagai "wisnu".[4] Dalam masalah hukum, kedatangan Islam juga tidak banyak merubah sistem hukum kerajaan. Raja-raja nusantara lebih cenderung memakai hukum adat daripada hukum Islam. Menurut Milner, dua hal yang menarik minat raja-raja Melayu terhadap Islam tentang kepemimpinan adalah yaitu tradisi Kerajaan Persia (suatu tradisi yang telah diasimilasikan ke dalam Islam abad pertengahan) dalam hal pemakaian gelar-gelar untuk legitimasi dan pandangan mistik tentang insan kamil atau manusia sempurna.[5]
Sejarawan Perancis abad 20, Denys Lombard, dalam disertasinya Le Carrefour Javanais yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul "Nusa Jawa Silang Budaya" melakukan pendekatan yang berbeda dengan sejarah konvensional dalam merekonstruksi sejarah Indonesia khususnya Jawa bahwa di luar aspek politik, banyak perkembangan sosio-kultural yang dapat diungkapkan. Dengan menggunakan mazhab annales, Denys tidak lagi semata-mata mengkonstruk dengan metode naratif-deskriptif, tetapi dengan menggunakan eksplanasi serta memberi makna fakta-fakta yang mencakup bentuk-bentuk generalisasi, pola kehidupan sosial dan kultural. Sedangkan kultur adalah ekologi sosial, sehingga Profesor Lombard ini mengungkapkan aspek-aspek kultural Jawa sekaligus telah merekonstruksi sejarah sosial Jawa. [6] Menurut Taufik Abdullah, Nusa Jawa Silang Budaya milik Lombard ini merupakan studi pertama yang memakai pendekatan menyeluruh terhadap sejarah Jawa dan hampir tidak ada aspek kehidupan yang tidak dibicarakan. Semua hal dibahas di dalamnya meliputi bidang sosial, budaya, politik, bahkan termasuk seni lukis dan gaya berpakaian.[7]
Karya denys Lombard lainnya, Le sultanat d'Atjéh au temps d'Iskandar Muda (1607-1636) yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Kerajaan Aceh; Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), juga terasa pengaruh mazhab Annales yang kuat, dimana banyak diungkapkan berbagai gejala historis lokal serta perilaku keseharian masyarakat setempat. Lombard membahas semua aspek kehidupan Kerajaan Aceh, baik politik, ekonomi, dan ketentaraan, maupun budaya, agama, dan filsafat, bahkan tinjauan terhadap aspek kejiwaan sosok Iskandar Muda pun dilakukan Lombard, termasuk perilaku kesehariannya.
Anthony Reid juga merupakan penulis sejarah sosial yang mengkritik sejarah konvensional yang sangat "elitis' yang hanya menarasikan tentang orang-orang besar seperti raja dan para bangsawan. Dalam bukunya "Sejarah Modern Awal Asia Tenggara", Reid menguraikan tentang sejarah sosial Asia Tenggara yang memfokuskan kajiannya dalam hal perdagangan termasuk kemajuan dan kemundurannya, serta peran orang Islam di dalamnya. Dalam buku ini Reid ingin menyampaikan bahwa seperti halnya di Eropa, pada masa-masa modern awal di kota-kota dagang Asia Tenggara pun terdapat kapitalisme perdagangan. Reid juga melihat peranan Islam yang masuk ke Asia Tenggara sejak abad 14 sebagai pemberi corak khusus peradaban kota-kota dagang di Asia Tenggara. Hal ini menunjukkanbahwa kota-kota dagang yang bercorak Islam itu berada dalam hubungan yang serasi dengan keraton-keraton pedalaman yang masih bersifat hindu atau budhis.[8]
Azyumardi Azra, saru-satunya orang Indonesia yang saya bahas di sini, menulis tentang intelectual history di Nusantara yang ter-cover dalam kedua bukunya yang berjudul "Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII" dan "Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal". Dalam buku Jaringan Ulama, Azyumardi memaparkan intelectual networks yang terbentuk antara ulama Timur Tengah dan Ulama Nusantara dengan kandungan intelektualnya yang terdiri dari fiqh (syafi'iyah), Teologi (Asy'ariyah), Hadis, tasauf (neo-sufisme) dan lain sebagainya dan juga menjelaskan tentang gerakan pembaruan Islam di Nusantara. Sedangkan dalam buku "Nusantara: Jaringan Global dan Lokal", dia ingin menyampaikan dinamika Islam nusantara yang tidak pernah lepas dari dinamika dan perkembangan Islam di kawasan-kawasan lain khususnya wilayah Timur Tengah.
C. Sumber-sumber yang digunakan oleh Para Sejarawan untuk merekonstruksi sejarah Islam Indonesia mulai abad XIV sampai abad XIX.
Untuk merekonstruksi Sejarah Islam Indonesia, sumber sejarah yang digunakan oleh para sejarawan ada yang berbentuk historiografi tradisional, historiografi kolonial (sumber-sumber) dari pemerintahan kolonial Belanda-VOC)dan historiografi modern. Sumber-sumber tradisional meliputi sumber lokal yang terdiri dari babad, hikayat, syair-syair serta silsilah dan sumber non lokal yang terdiri dari sumber berita cina, portugis, spanyol dan lain-lain. Di antara sumber-sumber tradisional lokal Indonesia yang banyak digunakan oleh para sejarawan adalah:
a. Sumber Melayu. Menurut J.C Bottoms, sumber untuk masa sebelum pertengahan abad ke-18 tentang melayu sangat sedikit sekali, yaitu Sejarah Melayu, Hikayat Raja-Raja Pasai, Bustan as Salatin, Hikayat Aceh, Sha'er speelman, beberapa himpunan undang-undang serta dongeng-dongeng.[9]
b. Sumber Jawa. Karya orang Jawa yang pertama kali oleh orang non Jawa adalah Babad Tanah Jawi[10]. Adapun sumber tradisional jawa yang lain adalah Babad Petjina, Babad Gianti, Babad Diponegoro, Serat centini dan lain sebagainya.
D. Teori-teori yang Digunakan Dan/Atau Teori-Teori yang Dihasilkan Oleh Para Sejarawan
Dalam merekonstruksi sejarah Islam Indonesia, para sejarawan mungkin mengadopsi teori-teori sebelumnya atau bahkan setelah menulis sejarah mereka justru menciptakan teori baru.
a. Merle Calvin Ricklefs
Ricklefs dalam bukunya "Sejarah Indonesia Modern" berhasil menghasilkan teori bahwa Sejarah Modern Indonesia dimulai ketika agama Islam datang ke Indonesia.
b. A. C Milner
A.C. Milner ketika menulis tentang "Martabat Raja Melayu" dan "Islam dan Negara Islam" memakai teori continuity bahwa meskipun agama Islam datang, unsur-unsur lokal tetap ada. Raja tetap memiliki posisi tertinggi sebagai bodhisatwa, meskipun Islam telah hadir dan menjadi agama di wilayah itu.
c. Denys Lombard
Denys Lombard menganut mazhab annales dalam gaya penulisan sejarahnya. Buku Nusa Jawa: Silang Budaya merangkul keseluruhan sejarah pulau jawa sambil menganalisis unsur-unsur dasar kebudayaan. Lombard memakai konsep "geologi" yang membahas tentang "lapisan" bumi, kemudian ia terapkan dalam studi kebudayaan sehingga ia menyebutnya "geologi budaya". Dengan konsep "geologi budaya' ini ia melakukan pendekatan dengan mengamati berbagai lapisan budaya, mulai dari yang tampak nyata sampai yang terpendam dalam sejarah. Setiap lapisan budaya itu diuraikan sejarah perkembangannya dan diulas unsur-unsur masyarakat yang mengembangkannya.[11]
d. Anthony Reid
Ketika menulis buku tentang perdagangan Asia Tenggara, Anthony Reid mengadopsi teori milik Fernand Braudel. Berawal dari disertasinya mengenai laut tengah pada zaman raja Spanyol Philip II abad 16, Braudel mengmbangkan teori sejarah yang berintikan kelautan. Laut tengah yang dituangkan dalam disertasinya merupakan kesatuan yang utuh dari wilayah-wilayah berbeda agama (Islam. Turki, Kristen> Yunani, Perancis, Spanyol dan lain-lain) yang berinteraksi melalui perdagangan.[12] Menurut Reid, Teori ini bisa diterapkan di wilayah Asia Tenggara, bahwa Asia Tenggara bukan wilayah yang mati melainkan merupakan kesatuan wilayah kapitalisme perdagangan laut.
e. Azyumardi Azra
Dalam bukunnya "Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII", Azyumardi Azra memakai teori great tradition and little tradition atau disebut juga dengan central line and peripherals Islam atau grand imigran and little imigran dalam menggambarkan perpaduan atau bertemunya ulama Nusantara dengan ulama Timur Tengah. Selain itu Azra juga meminjam konsep "Neosufisme" yakni jenis tasauf yang menekankan kesetiaan dan kepatuhan kepada syari'at. Sedangkan teori yang dihasilkan oleh Azra adalah bahwa pembaruan Islam di Nusantara dimulai sejak paruh kedua abad ke-17 dan bukannya pada abad ke-19 atau ke-20 dengan adanya peurubahan dari paham sufisme excessive kepada neo-sufisme.[13] Teori ini membantah teori sebelumnya yaitu teori bahwa pembaruan Islam dimulai sejak abad ke-19 terhitung sejak munculnya gerakan paderi di Minangkabau (salah satu pendukung teori ini adalah HAMKA) dan teori Deliar Noer dalam bukunya "Gerakan Modern Islam Indonesia (1900-1942)" bahwa pembaruan Islam dimulai sejak abad ke-20.
E. Kesimpulan
Ruang lingkup kajian sejarah Islam Indonesia sejak abad XIV sampai abad XIX yang menjadi perhatian para sejarawan antara lain political history oleh M.C Ricklefs dan A.C. Milner, social history oleh Denys Lombard dan Anthony Reid dan intelectual history oleh Azyumardi Azra. Sumber-sumber yang digunakan untuk merekonstruksi sejarah Islam Indonesia adalah babad, hikayat, syair-syair, berita dari cina, portugis dan lain-lain, dokumen-dokumen VOC serta sumber modern. Teori-teori yang digunakan atau dihasilkan oleh para sejarawan di atas antara lain:
a. Ricklefs menghasilkan teori modernisasi di Indonesia dimulai ketika kedatangan Islam.
b. A.C milner memakai teori continuity
c. Denys Lombard memakai konsep "geologi budaya"
d. Anthony Reid memakai teori tentang kelautan milik Fernand Braudel
e. Azyumardi Azra memakai teori great tradition and little tradition/ central line and peripherals Islam/ grand imigran and little imigran dan menghasilkan teori bahwa pembaruan Islam Indonesia sudah dimulai sejak abad ke-17.
PERKEMBANGAN HISTORIOGRAFI ISLAM DI INDINESIA
Oleh: Syafieh, M. Fil. I
A. Pendahuluan
Historiografi (historical explanation) merupakan langkah terakhir dalam metodologi penelitian sejarah yang terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Berawal dari pertanyaan, bagaimana para sejarawan merekonstruksi sejarah melalui bukti dan sumber sejarah sehingga menjadi tulisan sejarah, dari situlah historiografi melakukan tugasnya.
B. Historiografi Islam di Indonesia
Historiografi (Islam) Indonesia, setidaknya dalam beberapa dasawarsa terakhir, ditandai beberapa perkembangan penting baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Menurut Azyumardi Azra, Secara kuantitatif munculnya karya-karya sejarah, baik yang ditulis sejarawan Indonesia sendiri maupun sejarawan asing. Karya-karya itu bisa merupakan sejarah lokal maupun nusantara, dan global. Karya-karya sejarah ini telah memberikan sumbangan yang signifikan bagi upaya pemahaman yang lebih akurat terhadap sejarah Indonesia secara keseluruhan.(Azra,2002:3) Sementara secara kualitatif, menurut Kuntowijoyo, terlihat dari pengunaan metodologi yang semakin kompleks, yang melibatkan kian banyak ilmu bantu, khususnya ilmu-ilmu humaniora lainnya. (Kuntowijoyo, 2003:39-58)
Penggunaan ilmu-ilmu bantu dalam penulisan sejarah Indonesia secara umum dan sejarah Islam Indonesia khususnya, menurut Azra, tidak dapat dipungkiri telah memperkuat dan mengembangkan corak baru dari apa yang disebut kalangan sejerawan Indonesia sebagai "sejarah baru" (new history), sebagai kontras dari "sejarah lama" (old history), yang umumnya bersifat naratif dan deskriptif, atau yang biasa disebut "sejarah ensiklopedis". (Azra, 2006:4) Tetapi "sejarah baru" itu sendiri, sebagaimana baru saja diisyaratkan, juga mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Pada awal kemunculannya, terutama sejaka 1960-an, "sejarah baru" pada umumnya dipahami sebagai alternatif, jika tidak sebagai tandingan "sejarah lama" yang cenderung merupakan "sejarah politik".
Dalam melacak historiografi Islam awal di Indonesia, Resenthal melihat bahwa bentuk dasar historiografi Islam di Indonesia adalah karya sastra klasik yang isinya banyak menyebutkan istilah-istilah kepada narasi tertentu seperti haba, hikayat, kisah, tambo dan lainnya yang berasal dari bahasa Arab. (Franz Rosenthal, 1968:8) Argumen ini didukung HAMKA dalam melakukan penulisan Sejarah Umat Islam IV banyak bahannya yang diambil dari historiografi lokal meski bercampur mitos dan legenda, seperti Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, dan lain-lain yang menjelaskan interaksi langsung antara Nusantara dengan Arabia. (HAMKA, 1981) Adanya karangan klasik seperti haba, hikayat, kisah, tambo inilah yang oleh Resenthal disebut dapat dijadikan bahan penting dalam studi karya historiografi Islam, sehingga akan terbentuk suatu horizon baru di dalam penulisan sejarah Islam yang lebih banyak berpijak pada bumi sendiri dalam pengembangan keahlian dan pengetahuan sejarah Islam yang dilakukan oleh penulis-penulis Islam sendiri.
Menurut Mukti Ali paling tidak terdapat dua corak pendekatan dalam penulisan sejarah Islam di Indonesia. Pertama, Pendekatan sejarah Islam Indonesia sebagai bagian dari sejarah umat Islam, kedua, pendekatan sejarah Islam Indonesia sebagai bagian dari sejarah nasional Indonesia. Pendekatan sejarah Islam Indonesia sebagai bagian dari sejarah umat Islam diperkenalkan oleh HAMKA dalam bukunya Sejarah Umat Islam IV. Pendekatan semacam inilah yang mengantarkan analisisnya bahwa Islam masuk ke Indonesia datang langsung dari Makkah atau Madinah. Waktu kedatangannya pun bukan pada abad ke-12 atau 13, melainkan pada awal abad ke-7. Artinya, Islam masuk ke Indonesia pada awal abad hijriah, bahkan pada masa Khulafaur Rasyidin memerintah. Islam sudah mulai ekspidesinya ke Nusantara ketika sahabat Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memegang kendali sebagai Amirul Mukminin. Teori HAMKA ini yang kemudian dikenal dengan teori Arabia.
Setidaknya ada tiga teori yang menjelaskan kedatangan Islam ke Timur Jauh termasuk ke Nusantara. Teori pertama, mengatakan Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah di anak benua India. Tempat-tempat seperti Gujarat, Bengali dan Malabar disebut sebagai asal masuknya Islam di Nusantara. teori ini didukung oleh Snouck Hurgronje, Pijnappel, dan orang Barat lainnya. Teori kedua, adalah Teori Persia. Tanah Persia disebut-sebut sebagai tempat awal Islam datang di Nusantara. Teori ini berdasarkan kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat Islam dengan penduduk Persia. Misalnya saja tentang peringatan 10 Muharam yang dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husein, cucu Rasulullah. Selain itu, di beberapa tempat di Sumatera Barat ada pula tradisi Tabut, yang berarti keranda, juga untuk memperingati Hasan dan Husein. Teori ini menyakini Islam masuk ke wilayah Nusantara pada abad ke-13. Dan wilayah pertama yang dijamah adalah Samudera Pasai. dan teori ketiga, yakni Teori Arabia. Dalam teori ini disebutkan, bahwa Islam yang masuk ke Indonesia datang langsung dari Makkah atau Madinah. Waktu kedatangannya pun bukan pada abad ke-12 atau 13, melainkan pada awal abad ke-7. Artinya, menurut teori ini, Islam masuk ke Indonesia pada awal abad hijriah, bahkan pada masa khulafaur rasyidin memerintah. Islam sudah mulai ekspidesinya ke Nusantara ketika sahabat Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memegang kendali sebagai amirul mukminin.
Teori yang ketiga ini didukung oleh sejerawan Indonesia ternasuk HAMKA dan Badri Yatim. Namun Yatim lebih melihat pada sisi politiknya, dengan artian bahwa perkembangan masyarakat Islam di Indonesia baru terdapat ketika "komunitas Islam" berubah menjadi pusat kekuasaan. (Yatim, 2006:192-3) Sementara Taufik Abdullah tidak menyetujui tentang teori yang mengatakan bahwa datangnya Islam pertama kali ke Indonesia pada abad ke- 7 M dengan alasan belum ada bukti bahwa pribumi Indonesia di tempat-tempat yang disinggahi oleh para pedagang Muslim itu beragama Islam. Adanya koloni itu, diduga sejauh yang paling bisa dipertanggungjawabkan, ialah para pedagang Arab tersebut, hanya berdiam untuk menunggu musim yang baik bagi pelayaran.(Taufik Abdullah, 1991:34)
Namun berdasarkan bukti catatan-catatan resmi dan Jurnal Cina pada periode dini Dinasti Tang 618 M secara ekplisit menegaskan bahwa Islam sudah masuk wilayah Timur jauh, yakni Cina dan sekitarnya pada abad pertama Hijriah melalui lintas laut dari bagian Barat Islam. Cina yang dimaksudkan pada abad pertama Hijriah tiada lain adalah gugusan pulau-pulau di Timur Jauh termasuk Kepulauan Indonesia. Jurnal Cina juga mengisyaratkan adanya pemukiman Arab di Cina yang penduduknya diizinkan oleh Kaisar untuk sepenuhnya menikmati kebebasan beragama. Pada masa itu orang-orang Islam memilih pemimpin mereka sendiri yang dinamakan imam, dan sejak masa itu perdagangan Indonesia mulai lancar dan maju. (van Leur, 1995:440)
Selain itu, laporan Cina yang menegaskan keputusan bangsa Arab mengirim utusan kepada Kerajaan Ho Long. Kerajaan Arab mengirim utusan ke Kerajaan Ho Long sekitar tahun 640 M, 666 M, dan 674 M. Sementara Kerajaan Ho Long sendiri menurut Alwi Sihab terletak di Jawa Timur yang bernama Kerajaan Kalingga yang terkenal dengan kemajuan dan kesejahteraan rakyat serta keadilan pemerintahannya. Sementara yang mengutus oleh orang-orang Cina dikenal dengan sebutan "Tasheh" sebagai nama yang mereka kenal untuk kerajaan Arab.(Grenvelt, 1960:201) Jadi, pengenalan dini kaum Muslimin (Arab) terhadap Kepulauan Indonesia setaraf dengan data yang mereka ketahui mengenai Cina bahkan lebih luas. Jika demikian halnya, alasan apakah gerangan yang menjadi penghalang untuk menetapkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah. Yaitu, pada masa pedagang-pedagang Muslim memasuki Cina kerena kedatangan orang-orang Arab membawa Islam ke Cina melalui jalur laut lama.
Selain pendekatan diatas, dalam Pendekatan historiografinya HAMKA lebih banyak menekankan kepada periode daripada daerah. Penekannya lebih banyak kepada peranan pahlawan dan Sultan dalam bangun dan tenggelamnya kerajaan Islam di kepulauan Nusantara, sehingga ia dikenal sebagai penulis sejarah heroworship.
Pendekatan penulisan sejarah Islam Indonesia yang menekankan pada periode juga dilakukan oleh Yahya Harun. Ia lebih tertarik terhadap pertumbuhan, perkembangan, dan runtuhnya suatu kerajaan Islam di bumi Nusantara ini, begitu juga ia lebih menekankan pada peranan pahlawan dan sultan dan mengecilkan peranan masyarakat dalam mengembangkan Islam di bumi nusantara ini. (Yahya Harun, 1995)
Dari uraian tentang beberapa tulisan sejarah Islam di Indonesia diatas sudah memberi gambaran sekilas tentang adanya karya-karya sejarah Islam yang ditulis oleh penulis-penulis dahulu. Namun tulisan sejarah Islam awal di Indonesia lebih mengarah pada teori dan metode sejarah konvensional yang lebih menonjolkan proses dan tokoh politik serta mengungkapkannya sebagai tulisan deskriptif-naratif, bagaimana peristiwa-peristiwa itu terjadi. Juga, memasukkan peristiwa-peristiwa berdasarkan pembabaran besar dalam suatu proses yang linier. Sejarah sebagai suatu narasi besar diperlihatkan melalui peristiwa dan tokoh besar dengan mendokumentasikan asal-usul kejadian, menganalisis genealogi, lalu membangun dan mempertahankan singularitas peristiwa, memilih peristiwa yang dianggap spektakuler (seperti perang), serta mengabaikan peristiwa yang bersifat lokal
Sementara pendekatan sejarah Islam Indonesia sebagai bagian dari sejarah nasional Indonesia diperkenalkan oleh Uka Tjandrasasmita, seorang arkeolog yang keahliannya khusus mengenai peninggalan-peninggalan Islam di Indoenesia. Ia telah mempergunakan sumber sekunder baik berupa buku, artikel dan lain-lainnya, maupun naskah-naskah, hikayat-hikayat daerah dan berita-berita asing yang pernah diterbitkan. Dalam penulisan sejarah Islam Indonesia ia lebih menekankan pada sejarah sebagai proses dalam masyarakat yang terjadi karena pergeseran elemen-elemen yang terdapat dalam masyarakat itu dan kurang memberikan peranan tokoh.
Selain dari Uka Tjandrasasmita, Taufik Abdullah juga menggunakan penekatan yang sama dalam penulisan sejarah Islam Indonesia. Ia menulis sejarah Islam dalam lingkup sejarah nasional. Dalam bukunya Sejarah Umat Islam Indonesia Taufik Abdullah membahas tentang perjuangan umat Islam di Indonesia, yang semula berada dalam konteks politik yang bersifat fragmentaris, untuk membentuk situasi yang integratif – bangsa dan negara Indonesia. Sejarah Islam Indonesia bukan saja merintis proses ke arah integratif nasional, tetapi juga menemukan afinitas dengan nasionalisme Indonesia.(Taufik Abdullah, 1991)
Munculnya pendekatan sejarah Islam Indonesia sebagai bagian dari sejarah nasional Indonesia yang diidentikan oleh Sartono Kartodirdjo sebagai kumpulan sejarah-sejarah lokal, secara implisit menggambarkan penulisan baru sejarah Islam Indonesia. Pendekatan semacam itu lebih menekankan pada sejarah sebagai proses dalam masyarakat yang terjadi karena pergeseran elemen-elemen yang terdapat dalam masyarakat itu. (Kartodirjo, 1968:17)
Kalau kita perhatikan, perkembangan historiografi Islam di Indonesia mengalami perkembangan bersamaan dengan perkembangan historiografi Indoensia itu sendiri. Historiografi Indonesia dimulai dengan munculnya corak historiografi tradisional yang mempunyai unsur-unsur yang tidak bisa lepas dari karya mitologi dimana pihak kerajaan mempunyai peranan penting seperti Empu Prapanca yang menulis kitab Negara kertagama. Kemudian pada zaman kolonial penulisan sejarah di dominasi oleh orang-orang Eropa yang datang ke Indonesia. Penulisan sejarah pada masa ini bersifat Eropa-sentris. Setelah Indonesia merdeka mulailah penulisan sejarah yang di dominasi oleh para penulis Indonesia yang memperkenalkan historiografi dengan pendekatan Indonesia-sentris. Fokus penulisan sejarah pada masa ini mengangkat tentang tokoh-tokoh pahlawan nasional yang telah berjasa dalam memperjuangkan kemerdekaan dan bahkan banyak biografi-biografi tokoh pahlawan nasional yang diterbitkan.
Perkembangan baru dalam historiografi Indonesia, dalam pandangan Azra, ditandai dengan munculnya beberapa karya besar sejarah yang melihat sejarah dalam perspektif global. Dalam perspektif sejarah global ini, sejarah Indonesia harus dilihat dan ditempatkan dalam kerangka sejarah dunia pada umumnya. Salah satu karya sejarah yang menempatkan sejarah pada kerangka global adalah karya Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, 3 Jilid (aslinya, Le Carrefour Javanais: Essai d'histoire globale, pertama diterbitkan pada 1990). Menurut Azra, karya Denys Nusa Jawa ini telah turut mewakili dan memperkuat momentum bagi kemunculan corak historiografi yang relatif baru bagi kajian-kajian sejarah Indonesia. Karya lain yang meletakkan kerangka sejarah global adalah mahakarya Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680. Karya ini diterbitkan dalam dua jilid; jilid pertama, Southeast Asia in the Age of Commerce, Volume One: The Lands below the Winds (1988) dan jilid kedua, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, Volume Two:Expansion and Crisis (1993)
Menurut Azra, kedua karya ini melihat "Nusa Jawa" sesuai istilah Lombard, atau "Negeri Bawah Angin" menurut istilah Reid, dalam perspektif global, persisnya dalam kaitannya dengan perkembangan lingkungan, bahkan dunia disekitar kedua wilayah tersebut. Perspektif ini secara implisit menegaskan suatu filosofis sejarah yang menegaskan bahwa perkembangan historis disuatu wilayah tertentu tidaklah terjadi dan berlangsung dalam situasi vakum dan isolatif. Tetapi, ia terkait dengan peristiwa-peristiwa pada kawasan lain. Dengn demikian, dalam perspektif ini, sejarah Indonesia harus dilihat dan ditempatkan dalam kerangka sejarah dunia pada umumnya; bukan sejarah yang berdiri sendiri. Walhasil, pendekatan ini secara implisit berisi pengakuan, bahwa sejarah Indonesia merupakan bagian sah dari sejarah dunia secara keseluruhan.
Pendekatan semacam ini, menurut Azra, secara tidak langsung merupakan revisi atas dua pendekatan yang selama ini populer dalam historiografi Indonesia. Pertama, pendekatan yang bersifat Eurosentris—atau lebih tegas lagi dalam kontek Indonesia Nederlando-sentris (berpusat pada Belanda). Dalam pendekatan ini, sejarah Indonesia dipandang sebagai bagian dari sejarah kolonialisme Eropa, persisnya ekspansi dan konsolidasi Belanda. Sebagai konsekwensinya, sejarah masyarakat-masyarakat pribumi Indonesia diposisikan tidak pada tempat yang marjinal, tetapi bahkan juga dalam perspektif yang pejoratif. Kedua, pendekatan yang bersifat 'Indo-sentris", persisnya yang bertujuan menjadikan Indonesia sebagai sentral atau pusat wacana sejarah. Pendekatan ini sebetulnya berusaha menghindari "ektrimitas" sejarah Euro-sentris, namun pada gilirannya terjerembab ke kutub ektrem lainnya. Meski pendekatan Indo-sentris terlihat seolah-olah bertolak belakang dengan pendekatan Euro-sentris, namun pandangan dunia yang mendasari keduanya pada dasarnya sama, yakni motif-motif atau kepentingan-kepentingan ideologi tertentu.
Disamping itu, karya Reid atau Lombard juga menggambarkan tentang "sejarah sosial". Walaupun dalam karyanya Lombard memakai istilah "Nusa Jawa" tetapi menurut Azra, pembahasan yang diberikan Lombard lebih dari sekedar tentang "Pulau Jawa" sebagaimana kita kenal tetapi pembahasannya dapat dikatakan mencakup seluruh "Nusantara", dengan jawa sebagai fokus utamanya. Begitu juga ketika dilihat dari subjudul karya Lombard berbunyi Essai d'histoire globale yang menurut Azra, secara harfiah seharusnya diterjemahkan sebagai "Esai Sejarah Total" secara emplisit menjelaskan corak penulisan sejarah yang dianut oleh Lambard yakni sejarah global atau, lebih populer lagi, "sejarah Total" (total history), yang sering juga disbut disebut sebagai "New History".(Arthur Marwick, 1985:64) Dengan subjudul ini mengisyaratkan bahwa Lombard ingin menulis sejarah Jawa secara global atau tepatnya, secara total. Dan ini dengan segera menjelaskan akar-akar historiografi yang mendasari pandangan dunia seorang Lombard. Dengan pendekatan sejarah global (total), Lombard dengan leluasa membahas berbagai aspek kehidupan masyarakat dalam perkembangan historisnya, sejak dari geografi, pelapisan sosial, demografi, estetika, ekonomi dan prdagangan, birokrasi, peranan wanita, dan seterusnya.
Dari paparan kedua karya tersebut telah memberi gambaran tentang perkembangan historiografi Indonesia. Harus diakui bahwa kedua karya tersebut diatas telah mempengaruhi corak historiografi Indonesia sehingga historiografi Indonesia semakin cenderung bersifat global dan total.
Perkembangan historiografi Indonesia ini diakui oleh Azra juga berdampak pada perkembangan historiografi Islam Indonesia. Dalam kurun-kurun waktu terakhir ini, sejarah Islam di Indonesia tidak lagi dilihat dari persektif lokal, sebagaimana selama ini cenderung dilakukan para sejarawan, tetapi dalam perspektif global dan total, yang melihat sejarah Islam di Indonesia dalam kaitan dengan perkembangan historis Islam di kawasa-kawasan lain.
Salah satu karya penting tentang sejarah Islam Indonesia yang menempatkan sejarah pada kerangka total atau global adalah karya Azyumardi Azra Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Dalam karyanya ini Azra melakukan penelitian terhadap ulama Nusantara, khususnya pada pada abad 17 dan 18 dalam kaitan dengan wacana intelektual keagamaan (religio-intellectual discourse) ulama Indonesia di Mekkah dan Madinah (Haramayn) dan sekaligus tentang hubungan dinamika Islam di Nusantara dengan perkembangan Islam dikawasan dunia Muslim lainnya. Penelitian Azra tentang wacana intelektual keagamaan (religio-intellectual discourse) ulama Indonesia di Mekkah dan Madinah (Haramayn) mencoba melacak sejarah sosial-intelektual ulama Nusantara dalam kaitannya dengan Dunia Islam yang lebih luas. Menurut Azra wacana intelektual keagamaan ini berpusat pada semacam jaringan ulama (networks of the ulama) yang berpusat di Mekkah dan Madinah (Haramayn). Kajian sejarah sosio-intelektual ulama Nusantara yang telah dilakukan Azra ini merupakan hal yang baru karena pada umumnya pengkajian tentang ulama-ulama Indonesia berbentuk pengkajian biografis, yang terlalu memusatkan pada ulama bersangkutan, sehingga cenderung terlepas dalam konteks sosio-intelektual yang mengitari mereka. Sementara itu, terdapat pula beberapa studi yang lebih memusatkan perhatian pada peran keagamaan dan politik yang mereka mainkan dalam kurun tertentu sejarah Nusantara.(Azra, tt:15)
Karya penting lainnya dari Azra yang perlu disebut dalam tarikan nafas yang sama adalah Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal. Buku ini merupakan historical accunt tentang Islam di Nusantara dengan menggunakan pendekatan multidisipliner—ilmu sejarah yang dipadu dengan ilmu-ilmu lain, seperti antropologi, sosiologi, ilmu politik, perbandingan agama dan lain-lain. Karya Azra ini juga menegaskan bahwa perkembangan historis di suatu wilayah tertentu tidaklah terjadi dan berlangsung dalam situasi fakum dan isolatif. Tetapi ia terkait dengan peristiwa-peristiwa pada kawasan lain. Oleh karena itu, Azra melihat bahwa dinamika Islam Nusantara tidak pernah lepas dari dinamika dan perkembangan di kawasan-kawasan lain, wilayah yang kini disebuat bagai Timur Tengah. Kerangka, koneksi, dan dinamika global itu bisa dipastikan membentuk—atau setidak-tidaknya memengaruhi—dinamika dan tradisi local di Nusantara.(Azra, 2002)
Kedua karya Azra ini secara implisit telah menjelaskan tentang corak penulisan sejarah yang dianutnya yakni sejarah global atau, lebih populer lagi, "sejarah Total" (total history). Sejarah Islam di Indonesia, dalam pandangan Azra, harus dilihat dalam perspektif global dan total, yakni melihat sejarah Islam di Indonesia dalam kaitan dengan perkembangan historis Islam di kawasa-kawasan lain. Sehingga dengan studinya ini Azra beragumen bahwa perjalanan historis Islam di Indonesia sepanjang sejarah tak bisa dilepaskan dari perkembangan Islam di Arabia dan kawasan-lawasan Muslim lainnya. (Azra, 1994)
Karya sejarah lainnya yang sama dengan corak penulisan sejarah Azra adalah kajian yang dilakukan oleh Abaza tentang mahasiswa Indonesia di Kairo. Kajian Abaza dapat disebut sebagai "sejarah kontemporer" mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di Kairo dan peranan mereka setelah kembali ke Indonesia. Kajian Abaza ini menekankan tentang proses cultural axchanges, atau yang disebut Azra sebagai tranmission of Islamic Learning.(Mona Abaza, 1993)
Sementara karya yang lainnya adalah kajian yang dilakukan oleh von der Mehden tentang interaksi dan hubungan antara Islam di Asia Tenggara dan Islam di Timur Tengah. Karya ini berusaha mengungkapkan dinamika interaksi di antara kedua wilayah Muslim ini dalam berbagai aspek kehidupan, sperti politik, ekonomi, dan intelektual.(Von der Mehden, 1993) Meski cukup berhasi dalam mengungkapkan dampak interaksi dan hubungan di antara wikayah ini dalam perkembangan Islam di Asia Tenggara, namun menurut Azra dalam segi-segi tertentu kajian ini mempunyai kelemahan dan kekurangan yang cukup mencolok.
C. Kesimpulan
Dari beberapa catatan diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa historiografi Islam di Indenesia mengalami perkembangan bersamaan dengan perkembangan historiografi Indonesia itu sendiri. Penulisan sejarah Islam di Indonesia pada mulanya tidak menampakkan ciri yang jelas sebagai sejarah Islam, namun hanya berbentuk karya sastra klasik yang isinya banyak menyebutkan istilah-istilah kepada narasi tertentu seperti haba, hikayat, kisah, tambo dan lainnya yang berasal dari bahasa Arab.
Sementara corak historiografi awal Islam di Indonesia adalah historiografi yang mendekati sejarah Islam di Indonesia sebagai bagian dari sejarah umat Islam. Dalam hal ini penekanan historiografi lebih ditekankan kepada periode dan memberikan penekanan kepada peranan pahlawan dan sultan dalam bangun dan tenggelamnya kerajaan Islam di Kepulauan Nusantara
Pada perkembangan selanjutnya, muncul pendekatan sejarah Islam sebagai bagian dari sejarah nasional Indonesia Jadi, historiografi Islam di Indonesia pada masa ini dianggap sebagai bagian dari sejarah nasional Indonesia yang penekanannya pada sejarah sebagai proses dalam masyarakat yang terjadi karena pergeseran elemen-elemen yang terdapat dalam masyarakat itu.
Baru sejak 1960-an muncul penulisan sejarah Islam Indonesia yang sering disebut kalangan sejarawan Indonesia sebagai "sejarah baru" (new history) yang cenderung dipahami sebagai "sejarah sosial" (social history) yakni sejarah yang lebih menekankan kepada kajian dan analisis terhadap faktor-faktor bahkan ranah-ranah sosial yang mempengaruhi terjadinya peristiwa-peristiwa sejarah itu sendiri. Dalam sejarah baru ini, historiografi Islam Indonesia tidak lagi dilihat dari persektif lokal, sebagaimana selama ini cenderung dilakukan para sejarawan, tetapi dalam perspektif global dan total, yang melihat sejarah Islam di Indonesia dalam kaitan dengan perkembangan historis Islam di kawasa-kawasan lain.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002
-------------------"Historiografi Islam Indonesia: Antara Sejarah Sosial, Sejarah Total, dan Sejarah Pinggir", Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, Jakarta: Mizan, 2006
---------------------, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung:Mizan,1994
---------------------, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, Bandung: Mizan, 2002
Abdullah, Taufik (Ed), Sejarah Umat Islam Indonesia, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1991
Abaza, Mona, Islamic Edication, Perception and Axchanges: Indonesia Students in Cairo, Paris: Caheir d'Archipel No.33, 1993
Alnold, T. W. The Preaching of Islam, London:t.p, 1935
Al-Hamari, Yaqut, Mu'Jam Al-Buldan, vol. III, Beirut: Dar Shadir, 1971
Fred R. Von der Mehden, Two Worlds of Islam: Introduction Between Southeast Asia and Middle East, Gainsville, Fl: University Press of Florida, 1993
Grenvelt, W.P., Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled From Chinese Sources, 1960
yo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003
Kartodirdjo, Sartono, Pemikiran dan Perkembangan Histriografi Indonesia : Suatu Alternatif, Jakarta: Gramedia, 1982
----------------------, Sejarah Nasional Indonesia, vol. II, Jakarta: Depdikbud, 1977
Kartodirdjo, A. Sartono dkk, Lembar Sejarah, Beberapa Fasal Dari Historiografi Indonesia, Jogjakarta: Jajasan Kanisius, 1968
Marwick, Arthur, The Nature of History, Secon Edition, London: Macmillan Education, 1985
Togi Simanjuntak, Peneliti Sejarah Sosial dan Sejarah Kekerasan pada Institut Riset Sosial dan Ekonomi (Inrise). Bahan didapatkan di internet yang mengakses pada tanggal. 01 April 2009. Lihat http://www.duniaesai.com/sejarah/sejarah2.html
Umar, A. Muin, Historiografi Islam, Jakarta: rajawali Press, 1988
Rosenthal, Franz, A History of Muslim , Leiden:E.J Brill, 1968
Sihab, Alwi, Antara Tasawuf Suni & Tasawuf Falsafi: Akar Tasawuf di Indonesia, Jakarta: Pustaka IIMaN, 2009
Uka Tjandrasasmita, Sejarah Nasional Indonesia III , Jakarta: Balai Pustaka, 1977
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006
van Leur, J.C, Indonesian Trade and Society, Den Haag, W. Van Hoeve Ltd, 1995
Yahya Harun, Islam Nusantara Abad XVI & XVII , Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera 1995
Historiografi Islam (mata kuliah sejarah Historiografi sejarah 1 or 2)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Agama Islam adalah agama yang universal mengenai nilai dalam kehidupan yang meliputi duniawi dan akhirat. Terlebih Islam adalah agama ilmu dan agama akal yang mendorong umat manusia untuk menuntut ilmu pengetahuan agar dapat membedakanmana yang benar dan mana yang salah, serta menyelami hakekat alam dan menganalisa segala pengalaman dalam perjalanan hidup. Islam disamping menekankan kepada umatnya untuk belajar juga dituntut untuk mengajarkan ilmunya kepada orang lain, jadi dengan kata lain Islam mewajibkan umatnya untuk belajar dan mengajar.
Saat Islam lahir dan bangkit, terdapat empat peradaban yang eksis saat itu, yaitu Byzantium di Eropa Timur dengan agama Cristio-Hellenistic, Persia di lembah Mesopotamia yang menganut Zoroaster (Majusi), India di Asia Tengah dengan Hiduisme-nya dan negeri Tiongkok di Asia Timur dengan filsafat Confusius. Gesekan-gesekan intelektual ini merupakan salah satu pemantik berkembangnya peradaban Islam di kemudian hari.
Dengan Maju pesatnya Islam tidak lepas dari cara perkembangannya yaitu perkawinan, dakwa, pengajian. Dan dalam lintasan waktu, Islam sebagai sebuah entitas religius dalam komunitas insani telah meninggalkan warisan panjang berupa historiografi. Secara umum, terdapat masalah yang dihadapi oleh historiografi masa awal Islam dan hingga kini belum tuntas. Antara legenda-legenda dan tradisi-tradisi populer Arab masa pra-Islam dengan sejarah yang relatif ilmiah dan eksak yang muncul pada abad kedua hijriyah, masih terbentang satu jurang yang belum dapat dijelaskan.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat ditarik rumusan masalah yang berkaitan dengan Historiografi Islam yaitu:
1. Bagaimana bentuk-bentuk dasar penulisan sejarah Islam?
2. Bagaimana pengaruh penulisan sejarah Islam?
3. Bagaimana tujuan dan perkembangan historiografi Islam?
PEMBAHASAN
1. Bentuk-bentuk dasar penulisan sejarah Islam
Bentuk dasar berposisi sebagai karakter awal penulisan sejarah dalam tradisi Islam. Bentuk-bentuk ini merupakan kerangka penulisan sejarah yang berisi kisah-kisah, syair-syair dan bait puisi. Pendapat umum para peneliti historiografi tentang beberapa genre awal penulisan sejarah di kalangan Islam dan Arab, adalah meliputi
A. Khabar
Khabar biasa diartikan sebagai 'laporan', 'kejadian' atau 'cerita'. Biasanya lebih banyak berisi tentang cerita-cerita peperangan dan kepahlawanan. Karakteristik khabar ditekankan dengan garis sanad yang mendahului tiap-tiap khabar, dan hal itu akan dihilangkan bila menginginkan keringkasan khabar itu atau sekedar menyingkirkan munculnya kecermatan pengetahuan. Khabar Merupakan bentuk historiografi yang paling tua yang langsung berhubungan dengan cerita perang dengan uraian yang baik dan sempurna ditulis dalam beberapa halaman. Sejarawan yang menggunakan bentuk Khabar misalnya Ali ibn Muhammad al-Madaini. Khabar mempunyai ciri khas sebagai berikut: tidak mempunyai hubungan sebab akibat di antara dua atau lebih peristiwa-peristiwa.
Dalam khazanah historiografi, dapat disimpulkan tiga ciri khabar.
Dalam khabar tidak terdapat hubungan sebab akibat antara dua atau lebih peristiwa. Tiap-tiap khabar sudah melengkapi dirinya sendiri dan tidak membutuhkan referensi pendukung.
sesuai dengan ciri khasnya yang berakar jauh sebelum Islam, cerita-cerita perang dalam bentuk khabar tetap mempergunakan cerita pendek, memilih situasi dan peristiwa yang disenangi dan kadang menyalahi kejadian yang sebenarnya. Peristiwa selalu disajikan dalam bentuk dialog antar pelaku sehingga memudahkan ahli sejarah dalam melakukan pembacaan dan analisa.
bentuk khabar cukup bervariasi, sebagai cerita pertempuran yang terus-menerus dan sebagai suatu ekspresi yang artistik, khabar juga disajikan dalam bentuk puisi serta syair-syair. Banyak sedikitnya syair tergantung kemauan dan ekspresi psikologis penulis.
Ada Terdapat pertanyaan yang agak mengganjal tentang kapan karya pertama berbentuk khabar ada dalam penulisan sejarah yang dilakukan oleh orang Islam. Literatur Islam permulaan tidak menyediakan jawaban, sementara sumber-sumber bibliografi dan kutipan penulis kontemporer juga tidak membantu. Dengan demikian terjadi jurang pemisah antara literatur Arab yang asli dengan organisasi penerbit buku-buku Islam.
Bentuk khabar di dalam berbagai ragamnya terdapat pula dalam sejarah Muslim, walaupun mereka membatasi kepada catatan peristiwa-peristiwa saja atau menulis nama-nama tanpa ada penjelasan lanjut. Sebagaimana bentuk-bentuk dasar lainnya, jarang sekali muncul apa yang disebut bentuk murni. Biasanya selalu dikombinasikan dengan unsur-unsur lain dalam penulisan sejarah. Sehingga, sebagai misal, dalam menyajikan biografi Nabi Muhammad sudah dilengkapi dengan nasab (silsilah) dan informasi lain seperti daftar nama sahabat yang berjasa dan dikenang dalam perjuangannya.
Ilmuwan sejarah yang menulis dalam bentuk khabar ini diantaranya adalah: Abu Mihnaf Luth Ibn Yahya (w. 774 M) dan al-Haitsam Ibn 'Adi (w. 821 M) yang karyanya berupa kumpulan monograf dalam bentuk khabar dan nasab. Juga terdapat nama 'Ali Ibn Muhammad al-Madaini (w. 831 M) yang salah satu karyanya berjudul Al-Murdifat min Quraisy (Wanita Quraisy yang Poliandri). Selanjutnya, pada tahun-tahun kehidupan penulis itu pula historiografi dalam bentuk khabar sebagai bentuk yang berdiri sendiri dalam sejarah mulai berakhir, bentuk selanjutnya mengarah pada kronologi.
B. Analitik
Analitik berasal dari kata dasar anno (tahun). Historiografi dalam bentuk analitik merupakan bentuk khusus penulisan sejarah dengan menggunakan kronologis, yaitu pencantuman kejadian tiap tahun. Biasanya dimulai dengan kalimat "dalam tahun pertama" atau "ketika masuk tahun kesembilan". Penyajian dalam bentuk ini sepenuhnya berkembang pada masa al-Thabari (wafat 310 H). Karya sejarah permulaan terbit pada dasawarsa pertama abad ke-10 M dan diteruskan sampai tahun 915 M. Al-Thabari bernama lengkap Abu Ja'far Muhammad ibn Jarir ibn Yazid al-Thabari al-'Amuli, adalah seorang penulis sejarah yang terkemuka. Namun pada masanya beliau lebih dikenal sebagai ahli fiqih, bahkan Ibn Nadhim menyejajarkannya dengan imam Malik dan Syafi'i. Dalam perjalanan hidupnya, banyak kitab yang telah dikarang, seperti Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Adab al-Manasik, Adab al-Nufus dan Tahdzib Atsar. Yang masih diperdebatkan adalah tentang afiliasi politik al-Thabari terhadap Syi'ah Rafidhah.
Namun, sebelum al-Thabari juga telah berkembang penulisan dalam bentuk analitik, misalnya: (1) Sejarah Khalifah Ibn Hayyat yang ditulis sampai tahun 847 M sebagai bentuk analitik yang memulai uraiannya mengenai arti tarikh dan uraian singkat mengenai sirah nabawiyah, (2) Kitab sejarah dari Ya'qub ibn Sufyan (wafat 891 M) yang ditulis berdasar urutan tahun dengan beberapa kutipan. (3) Sejarah dari Ibn Abi Haitsamah (wafat 893 M).
Mu'in Umar menjelaskan, secara teori penulis-penulis muslim lebih dahulu berkenalan dengan penggunaan data sejarah dan sejak diperkenalkan tahun Hijriyah, mereka sampai pada kesimpulan bahwa bentuk analitik merupakan cara yang sangat menyenangkan dalam penyajian sejarah. Karena kepraktisan dan muatan isi penulisan yang lebih padat. Mungkin itu yang dijadikan alasan.
Contoh bentuk analitik ini, di antaranya ditunjukkan oleh Ibn Hajar yang berjudul al-Durar al-Kaminah fi A'yan al-Miati al-Saminah yang menyajikan biografi tokoh-tokoh terkemuka, termasuk guru-gurunya yang disusun menurut hijaiyah yang terdiri dari dua bagian, pertama disajikan menurut riwayah dan kedua dengan cara dirayah, sesuai tahun mereka meninggal.
Penulisan bentuk analitik, awalnya menggunakan klasifikasi tahun, sementara penyebutan bulan sangat sedikit. Terjadi pengecilan scope lintasan waktu, pada abad 14 dan 15 pasca Kristus, pengecilan itu mencapai hitungan bulan dan hari. Sedangkan kristalisasi historiografi seratustahunan (seabad) berlaku sampai akhir abad ke-13 masehi. Untuk pertama kali, perkataan "qarn" (abad) muncul dalam judul yang berhubungan dengan abad itu, misalnya karya Ibn al-Fuwaithi dan Lisanuddin ibn al-Khatib.
C. Catatan dinasti
Tidak ada penulisan sejarah di masa lalu yang dapat lepas dari intervensi penguasa. Hampir seluruh catatan sejarah adalah cerita tentang kekuasaan, kemenangan perang dan kepahlawanan sang pendiri dinasti serta anak cucunya. Bahkan banyak terdapat biografi-biografi khusus yang menulis tentang raja-raja itu. Misalnya karya al-Qudla'i yang berjudul 'Uyun al-Ma'arif. Maka tidak heran jika muncul adagium bahwa sesungguhnya sejarah adalah milik penguasa. Rakyat kecil maupun bawahan hanya menjadi footnote (catatan kaki) yang kadang malah tidak tertulis sama sekali. Namun, bagaimanapun, biografi dinasti dan penguasanya merupakan sebuah bentuk dasar historiografi Islam. Perkataan "daulah" yang berarti peredaran dan pergiliran sebetulnya menjadi dasar kultural linguistik bagi penulisan model historiografi dinasti ini. Teori penggantian penguasa seperti pada masa al-Kindi, mengisyaratkan hal itu. Selain juga terdapat pengaruh yang besar dari budaya intelektual Persia dan Syiah.
Model penulisannya adalah menurut pergantian kekuasaan khalifah secara berurutan. Misalnya seperti Sinan ibn Tsabit yang terlebih dahulu menguraikan khalifah al-Mu'tadlid yang semasa dengannya baru kemudian menguraikan khalifah sebelumnya. Contoh biografi raja yang komprehensif adalah karya al-Haitsan ibn 'Adi dan al-Madaini yang berjudul Biografi Mu'awiyah dan Bani Umayyah pada pertengahan abad kedua hijriyah (lk. 767 M) .
Susunan dinasti dalam sejarah Islam sama halnya dengan penyajian sejarah pra Islam yang ditulis oleh penulis-penulis muslim dalam bentuk bangsa-bangsa dan dinasti-dinasti. Uraian mengenai sejarah pra Islam pada umumnya mendapat kesulitan, karena orang Islam tidak pernah menemukan sistem penentuan waktu untuk periode pra Islam, seperti waktu Sebelum Masehi (SM) yang biasa dipergunakan oleh penulis-penulis Barat. Untuk penulisan sejarah dinasti pra Islam, penulis Arab mendapat kontribusi berarti dari khazanah Yunani, Byzantium dan Persia. Terdapat juga sedikit tambahan dari India dan Cina, namun penerjemahan itu kurang begitu lancar sebab jiwa nasionalisme yang kuat dari sejarawan kala itu macam al-Dinawari dan Miskawayh.
D. Thabaqat
Thabaqat berarti lapisan. Transisi masyarakat dari satu lapisan atau kelas dalam penggantian kronologis generasi mudah dilakukan. Sebagaimana qarn yang mendahului arti thabaqat, yang dalam penggunaannya berarti generasi. Ahli-ahli leksikografi mencoba menetapkan ukuran panjang yang pasti dari thabaqat. Sebagian mereka menentukan suatu lapisan generasi itu 20 tahun sedang lainnya 40 tahun. Ada juga yang berpendapat thabaqat itu 10 tahun. Menurut penulis, thabaqat lebih mirip klasifikasi penulisan sejarah berdasarkan pada "batasan waktu" hidupnya. Dalam sepuluh tahun pertama, misalnya, terdapat tokoh-tokoh dengan kesamaan orientasi dan budaya intelektual. Maka jadilah klasifikasi sedemikian rupa yang selanjutnya ini menjadi metode tersendiri.
Dalam tradisi Islam sendiri, thabaqat merupakan sesuatu yang amat lazim. Terutama jika merujuk pada sejarah Muhammad; dalam lingkaran dan lintasan waktu perkembangan agama Islam, terdapat lapisan shahabat, tab'in, tabi' al-tabi'in dan seterusnya. Hal ini berhubungan dengan kritik isnad dalam 'ulum al-hadits. Pada mulanya, sebagai contoh dalam karya ibn Sa'ad, penyusunan thabaqat dipergunakan sebagai biografi para penguasa yang penting dalam pemindahan hadits. Dalam sejarah lokal, semacam karya Washal Sejarah Wasith di dalamnya hanya dibatasi para perawi hadits. Kemudian dapat dipergunakan untuk kelas-kelas kelompok pribadi terutama yang tergolong ulama. Selanjutnya juga digunakan untuk klasifikasi kejadian-kejadian sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Dzahabi yang berjudul Tarikh al-Islam wa Thabaqati Masyahir al-'Alam.
Yang penting dalam karya thabaqat ini ialah untuk memperoleh suatu gambaran yang nyata tentang apa yang sebenarnya harus dicari dan diteliti. Dalam karya Abu Ishaq yang berjudul Thabaqat al-Fuqaha' seseorang menginginkan sebanyak mungkin informasi, sehingga memungkinkan mereka untuk mendapatkan biografi tokoh dalam suatu wilayah dan lokasi.
Cara alfabetis penyusunan biografi ini banyak memberikan kemudahan bagi generasi selanjutnya. Dalam kitab al-Dibaj yang disusun oleh Ibn Farhun (abad 14 M), ulama-ulama Malikiyah diuraikan sesuai nama mereka, dan ini dibagi lagi ke dalam thabaqat kemudian thabaqat disusun menurut geografis.
E. Nasab.
Nasab adalah catatan silsilah keluarga. Bagi orang Arab, menjaga jalur keturunan, terutama bagi yang mempunyai nenek moyang tokoh terhormat menyebabkan mereka harus menuliskannya. Keuntungan posisi dan status sosial ekonomi kadang membuat orang menyalahgunakan nasab ini. Nasab, kemudian menjadi bentuk dasar bagi historiografi Islam.
Selama abad kedelapan dan sembilan masehi, para ahli filsafat sejarah kuno, pada saat yang bersamaan juga merupakan ahli dalam bidang garis keturunan. Karya-karya mereka merupakan bentuk khabar yang berisi kumpulan berbagai kelompok kabilah (suku). Salah satu monograf yang berkenaan dengan garis keturunan yang mula-mula sekali adalah Kitab Hadzfu min Nasab Quraisy mengenai keluarga kecil suku Quraisy tanpa nabi Muhammad yang disusun oleh Mu'arrij ibn 'Amr al-Sadusi. Selain itu terdapat nama al-Zubair ibn Abu Bakkar (w. 870 M) yang menulis kitab berjudul Nasab Quraisy, walaupun kitab ini lebih banyak membahas budi pekerti orang Quraisy daripada pohon keluarganya. Sebuah kitab dari al-Baladzuri berupa biografi tokoh berjudul Kitab al-Ansab didominasi biografi khalifah. Bentuknya adalah khabar dan historiografi dinasti.
Bentuk penulisan nasab ini ada dua. Penulis bermadzhab Syi'ah, Tajuddin ibn Muhammad dalam pengantarnya untuk kitab Ghayat al-Ikhtishar fi Akhbari al-Buyutati al-'Alawiyah, memasukkan dua macam penyajian untuk informasi garis keturunan, yaitu bentuk pohon dan bentuk datar/lajur (mabsuth).
Sebenarnya, orang-orang Arab sejak masa lalu telah terbiasa membuat jalur keturunannya sendiri, dan ini merupakan cabang ilmu pengetahuan yang khusus dan seringkali dihubungkan dengan syair. Kebanggaan keluarga, sangat tergantung pada apa yang telah dilakukan nenek moyangnya dalam peristiwa ayyam al-A'rab (perang antara kabilah Arab) maupun peristiwa lain dan itu disusun dalam bentuk syair.
Seorang sejarawan muslim India, Nizar Ahmed Faruqi dalam disertasinya berjudul Early Muslim Historiography (1979) menyatakan bahwa nasab merupakan satu-satunya sumber bagi penyusunan historiografi Islam, dengan mengambil dasar dari al-Quran surat al-Hujurât [49] ayat 13.
2. Pengaruh Penulisan sejarah Islam
Dalam penulisan sejarah Islam ada beberapa pengaruh dari luar seperti
Pengaruh dari Luar Arab
Gesekan budaya antara Islam yang baru lahir dan berkembang dengan bangsa oukimene (berperadaban) yang lain menyebabkan historiografi Islam sedikit banyak mengambil corak dari filsafat dan budaya intelektual yang diterjemahkan maupun dikutip oleh penulis-penulis sejarah muslim. Pada masa kekhalifahan al-Makmun, ketika penerjemahan naskah Yunani dengan materi filsafat dan sejarah digalakkan melalui institusi Dar al-Hikmah itu, perkembangan penulisan sejarah juga makin marak.
Pengaruh Yunani
Dalam bentuk analitik, historiografi Yunani memberikan pengaruh besar. Kronik Yunani pada periode itu ketika Islam datang menyajikan bentuk historiografi analitik secara jelas melalui penulis muslim kontemporer. Ketika itu Ioannes Malalas, menggunakan struktur analitik sehubungan kekuasaan kaisar-kaisar. Terdapat juga data-data tentang sarjana-sarjana, filosof dan pemimpin gereja walaupun pada saat yang sama mereka juga politikus.
Yang menarik justru pernyataan Muin Umar, bahwa tidak pernah ada naskah klasik historiografi Yunani yang pernah sampai ke dunia Arab. Alasan yang dikemukakan adalah kecurigaan dari para ulama terhadap literatur sejarah lebih dari literatur pengetahuan lainnya. Selain juga kurikulum Yunani-Persia sangat jarang dimasukkan dalam pendidikan tinggi Islam.
Model Yunani ini, masuk dalam lingkar intelektual Islam melalui Syiria, dimana mayoritas beragama Kristen yang sering melakukan kontak dengan masyarakat luar seperti Yunani dan Byzantium. Dari segi jumlah, kurang tepat bila disebutkan bahwa historiografi analitik Islam pada mulanya berasal dari model Syiria dan Yunani. Hal ini lebih karena masuknya orang-orang Kristen ke dalam Islam. Terdapat sebuah naskah sejarah Yunani, Akhbar al-Yunaniyiin, yang bentuk, isi dan penulisannya tidak begitu jelas. Menurut riwayat diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Habib ibn Bahrez dari Mosul Irak, yang hidup di masa al-Makmun dan penerjemahannya dilakukan oleh Hamzah al-Isfahani dan Qadli Waqi' (wafat 918 M).
Pengaruh Byzantium
Dalam konteks persentuhan dengan Byzantium, lebih banyak berasal dari penganut agama Kristen yang berbangsa Arab sehingga interaksi dengan kaum muslimin cukup sering dan terjadi transfer pengetahuan terhadap mereka. Peradaban Byzantium yang Kristen itu cukup memperhatikan penulisan sejarah, dan mereka cukup respek jika literatur historiografi menempati posisi yang besar dalam literatur Byzantium. Perlu disebutkan bahwa Bibliotheca of Photius abad sepuluh masehi, sebagian besar mencurahkan uraiannya mengenai sejarah dari segala sisi.
Persentuhan dengan Byzantium melalui Syiria ini mencatatkan Kronik Edessa pada abad keenam masehi yang merupakan karya analitik. Juga oleh Jacob van Edessa pada abd ke-7 M yang mahir menuliskan tentang peristiwa alam, bencana, gempa, kekeringan, hama dan sebagainya. Walaupun dia mengalami kesulitan kronologis karena adanya perbedaan almanak dalam naskah klasik terakhir.
Informasi bagi orang Islam sekitar orang Romawi dan raja-raja Kristen kembali kepada sumber-sumber Yunani Kristen atau Syiria, demikian pula mengenai Perjanjian Lama dan Baru, juga berita tentang raja-raja Babylonia dan Asyiria juga kembali pada sumber-sumber Kristen.
Pengaruh Persia
Sebenarnya, bukti yang tersedia tentang bentuk historiografi Persia abad tujuh masehi sangat kurang. Ketiadaan ini menyebabkan kesulitan penentuan penggunaan bentuk analitik dalam historiografinya. Banyak yang menganggap, pendapat yang menekankan pengaruh Persia pada keaslian histoiografi analitik Islam telah gugur. Namun kita masih dapat melacak adanya pengaruh yang tidak kecil dalam konsepsional penulisan sejarah Islam.
Dalam contoh ini adalah penulisan sejarah Raja-raja. Shiddiqie memberikan argumentasi dengan data masuknya tradisi intelektual Persia dalam khazanah Islam. Bahkan buku Persia berjudul Khuday-nama—yang merupakan kisah raja-raja, dan dianggap menjadi buku patokan penulisan biografi Arab—telah masuk dalam historiografi Arab satu abad sebelum Ibn Mukhaffa (w. 139 H). Pengaruh Persia ini cukup negatif. Banyak kisah dalam Khuday-nama yang memuat mitos pribadi dan spekulasi pendeta, juga legenda-legenda Avestik dan roman Iskandar bahkan cerita-cerita tradisi asli Sasanian sering disepuh dengan epik dan retorika.
3. Tujuan dan Perkembangan Historiografi Islam
Tujuan historiografi Islam adalah untuk menunjukan perkembangan konsep sejarah baik di dalam pemikiran maupun di dalam pendekatan ilmiah yang dilakukannya disertai dengan uraian mengenai pertumbuhan, perkembangan, dan kemunduran bentuk-bentuk ekspresi yang dipergunakan dalam penyajian bahan-bahan sejarah Islam.
Dalam Perkembangan peradaban Islam merupakan pencerminan besar dalam sejarah. Beberapa hal yang mendorong perkembangan pesat bagi penulisan sejarah Islam antara lain adanya konsep Islam sebagai agama yang mengandung sejarah, dan adanya kesadaran sejarah yang dipupuk oleh nabi Muhammad. Perkembangan sejarah Islam terjadi dalam 2 tahap yaitu awalnya informasi disampaikan secara lisan.
KESIMPULAN
I. Dalam bentuk penulisan historiografi Islam ada lima bentuk antara lain:
A .Khabar
Khabar biasa diartikan sebagai 'laporan', 'kejadian' atau 'cerita'. Biasanya lebih banyak berisi tentang cerita-cerita peperangan dan kepahlawanan. Karakteristik khabar ditekankan dengan garis sanad yang mendahului tiap-tiap khabar, dan hal itu akan dihilangkan bila menginginkan keringkasan khabar itu atau sekedar menyingkirkan munculnya kecermatan pengetahuan
Dalam khazanah historiografi, dapat disimpulkan tiga ciri khabar:
Dalam khabar tidak terdapat hubungan sebab akibat antara dua atau lebih peristiwa.
sesuai dengan ciri khasnya yang berakar jauh sebelum Islam, cerita-cerita perang dalam bentuk khabar tetap mempergunakan cerita pendek, memilih situasi dan peristiwa yang disenangi dan kadang menyalahi kejadian yang sebenarnya.
bentuk khabar cukup bervariasi, sebagai cerita pertempuran yang terus-menerus dan sebagai suatu ekspresi yang artistik, khabar juga disajikan dalam bentuk puisi serta syair-syair.
b. Analitik
Analitik berasal dari kata dasar anno (tahun). Historiografi dalam bentuk analitik merupakan bentuk khusus penulisan sejarah dengan menggunakan kronologis, yaitu pencantuman kejadian tiap tahun.
c. Catatan dinasti
Tidak ada penulisan sejarah di masa lalu yang dapat lepas dari intervensi penguasa. Hampir seluruh catatan sejarah adalah cerita tentang kekuasaan, kemenangan perang dan kepahlawanan sang pendiri dinasti serta anak cucunya. Bahkan banyak terdapat biografi-biografi khusus yang menulis tentang raja-raja itu. Misalnya karya al-Qudla'i yang berjudul 'Uyun al-Ma'arif. Maka tidak heran jika muncul adagium bahwa sesungguhnya sejarah adalah milik penguasa.
d. Thabaqat
Thabaqat berarti lapisan. Transisi masyarakat dari satu lapisan atau kelas dalam penggantian kronologis generasi mudah dilakukan. Sebagaimana qarn yang mendahului arti thabaqat, yang dalam penggunaannya berarti generasi.
e. Nasab.
Nasab adalah catatan silsilah keluarga. Bagi orang Arab, menjaga jalur keturunan, terutama bagi yang mempunyai nenek moyang tokoh terhormat menyebabkan mereka harus menuliskannya. Keuntungan posisi dan status sosial ekonomi kadang membuat orang menyalahgunakan nasab ini. Nasab, kemudian menjadi bentuk dasar bagi historiografi Islam.
II. Pengaruh penulisan sejarah Islam
Pengaruh dari Luar Arab
Gesekan budaya antara Islam yang baru lahir dan berkembang dengan bangsa oukimene (berperadaban) yang lain menyebabkan historiografi Islam sedikit banyak mengambil corak dari filsafat dan budaya intelektual yang diterjemahkan maupun dikutip oleh penulis-penulis sejarah muslim
Pengaruh Yunani
Dalam bentuk analitik, historiografi Yunani memberikan pengaruh besar. Kronik Yunani pada periode itu ketika Islam datang menyajikan bentuk historiografi analitik secara jelas melalui penulis muslim kontemporer.
Pengaruh Byzantium
Dalam konteks persentuhan dengan Byzantium, lebih banyak berasal dari penganut agama Kristen yang berbangsa Arab sehingga interaksi dengan kaum muslimin cukup sering dan terjadi transfer pengetahuan terhadap mereka.
Pengaruh Persia
Sebenarnya, bukti yang tersedia tentang bentuk historiografi Persia abad tujuh masehi sangat kurang. Ketiadaan ini menyebabkan kesulitan penentuan penggunaan bentuk analitik dalam historiografinya.
Jawaban Pertayaan
1. (Rika) Bagaimanakah penyajian biografi melalui analitik?
Penyajiannya dilakukan dengan cara kronologis yaitu secara berurutan berdasarkan urutan waktu, misalnya: kejadian-kejadian tiap tahun dicantumkan, biografi melalui analitik biasannya dimulai dari kelahiran tokoh yang akan dituliskan, prestasai yang dapat dicapai tokoh tersebut dan sampai kematian tokoh dituliskan dalam biografi.
(Sumber: H.A. Mukmin Umar, Historiografi Islam, Jakarta, CV. Rajawali, 1988. hlm.33)
2. (Ika) Pengaruh dari luar manakah yang paling kuat yang mempengarui bentuk-bentuk dasar dari historiografi Islam ?
Yunani, karena kebudayaan Arab merupakan pengembangan dari kebudayaan Yunani, yaitu ketika orang-orang Yunani yang memeluk agama Katholik dan dilarang oleh pemerintah Yunani karena dianggap akan merubah kehidupan religius bangsa Yunani yang menyembah banyak Dewa, maka mereka melarikan diri ke Syria, disinilah terjadi kontak kebudayaan dengan orang Arab.
Bukti.
Pada masa kekalifahan Abbasiah orang Arab mampu merebut kota Konstantinopel yang sudah diinginkan orang Arab sejak ke khalifahan Usman bin Khatab. Kota ini sulit direbut karena mempunyai pertahanan laut yang unik berupa pemasangan rantai besi di pintu masuk jalur laut menju kota Konstantinopel sehingga kapal musuh tidak dapat mendekat. Namun armada laut Arab mempuyai srategi dalam berperang yaitu mengangkat kapal melewati tanah dengan melapisi tanah terlebih dahulu dengan belahan kayu agar kapal tidak tersangkut kedalam tanah dan akhirnya mereka sampai ke kota Konstantinopel dan memperoleh kemenangan. Dengan cara inilah pengaruh dari Yunani berupa strategi berperang dan angkatan laut yang kuat dimanfaatkn orang Arab untuk membentuk kekuasaan.
3. (Merry dan Tanti) Jelaskan persamaan dari bentuk-bentuk dasar dari historiografi Islam?
Kesemuanya menceritakan cerita-cerita kepahlawanan dari orang-orang Arab yang berperang untuk mengislamkan suku-suku yang ditakhukannya.
Kebayakan bentuk dasar dari historiografi Islam dituliskan dalam lembaran-lembaran kertas, kulit binatang dan daun lontar kemudian dikumpulkan untuk dijadikan sebuah buku oleh para penulis sejarah Islam.
Kebayakan bentuk dasar dari historiografi Islam dituliskan dalam bentuk syair-ayair karena mengingat keadaan geografis di Arab yang terdiri dari padang pasir yang mempuyai suhu udara yang panas, membuat orang Arab ingin melepaskan kelelahannya dengan bersyair.
Bentuk-bentuk dasar dari historiografi Islam yang banyak diterapkan dalam sejarah yaitu analitik, karena:
Memudahkan sistematika penulisan sejarah.
Merupakan rangkuman dari suatu peristiwa menurut seorang sejarawan.
Memudahkan pembaca dalam memahami suatu peristiwa sejarah.
Merupakan penghubung dari fakta-fakta sejarah.
4. (Shinta) Bentuk-bentuk dari historiografi Islam yang ada di Indonesia?
Yaitu: hikayat, babad(babad tanah jawi) dan diwarnai oleh nuansa Islam. Shalawat Nabi atau puji-pujian, dan syair. Shalawat badar yaitu perjuangan nabi Muhamad
5. (Muriyani) Jelaskan tujuan dari khabar?
Tujuan asal dan yang lazim adalah untuk memberitahu kepada mukhatab sesuatu yang belum ia ketahui.
Tujuan lainnya adalah ta'tsir nafsi(memberikan kesan kejiwaan)yang meliputi: izhah(nasihat), sikhriyah(olok-olok), istihtsaats(membangkitkan semangat)dan madh(pujian).
6. (Susi) Jelaskan perbedaan pengaruh historiografi Islam yang datang dari luar Arab?
Yunani, pengaruhnya masuk dalam historiografi Islam dari Lebanon dimana pada saat itu mayoritas penduduknya beragama Katholik yang berasal dari Yunani dan melakukan kontak kebudayaan dengan orang Arab.
Persia, pengaruhnya berupa hukum yang berasal dari Persia dimana orang yang melakukan pembunuhan akan dipengal kepalanya oleh seorang Algojo (eksekutor) atas perintah penguasa. Hal ini bertujuan agar masyarakat bisa hidup dengan damai dan meminimalisir tindak kejahatan.
7. (Hesti) Jelaskan ciri-ciri dari historiografi Islam ?
Istana sentris: Penulisannya berdasarkan kejayaan kekhalifahan Islam, seperti pada masa Ummayah yang telah mampu meluaskan kekuasaan islam kearah Barat meliputi Afrika Utara dan Spayol bagian Selatan.
Rajasentris: Penulisannya berdasarkan kejayaan kekhalifahan Islam, seperti pada masa Abu Bakar sebagai sahabat dan pengganti nabi Muhamad yang meneruskan pemerintahan Islam di Arab.
Geneologi: Penulisannya berdasarkan silsilah kehidupan khalifah seperti pada masa pemerintahan Ali yang merupakan petera dari Abu Thalib dan sekaligus sebagai menantu nabi Muhamad yang memperistri siti Aisyah, sehingga dapat melanjutkan keturunan nabi Muhamad.
Sinandi: Dalam pengislaman keberbagai wilayah dilakukan dengan cara peperangan karena pada saat itu sulit dilakukan dalam keadaan damai, sedangkan dalam historiografi Islam mereka dikisahkan sebagai penyelamat bagi orang-orang yang memuja banyak Dewa karena mereka tidak fokus dalam melakukan pemujaan.
Religiomagis: Penulisannya berdasarkan kehidupan orang Arab yang telah memeluk agama Islam sebagai agama negara sehingga merupakan kewajiban bagi pemeluknya untuk menyebarluaskan ke berbagai penjuru dunia.
Etnosentris: Penulisaanya berdasarkan kesukuan yang mengistimewakn suku Arab sebagai suku yang kuat yang telah mampu memanfaatkan kekosongan kekuasaan yang terjadi di Timur Tengah karena pada saat itu kerajaan Romawi sedang menagalammi kemunduran. Dan suku Arab mampu menguasai kekuasaan Romawi dengan mengembangkan kebudayaan Romawi itu sendiri.
Sumbangan historiografi Islam bagi sejarah nasional Indonesia.
Adanya historiografi Islam di Indonesia (seperti kerajaan Demak dam Mataram Islam) yang mendapat pengaruh dari pedagang-pedagang Arab yang ingin mencari rempah-rempah di nusantara, sehingga terjadi kontak budaya. Orang Arab yang berdagang ke nusantara menceritakan kehidupan keagamaan yang ada di Arab berupa agama Islam, ternyata masyarakat di nusantara sudah memilki keagamaan berupa agama Hindhu-Budha. Sedangkan pada abad ke 13 kerajaan yang bercorak Hindhu-Budha sedang mengalami kelemahan kekuasaan dan pengaruh Islam dapat masuk ke nusantara. Para pedagang inipun disertai para pemuaka agama untuk mendampingi kegiatan spiritual para pedagang, sesampainya ditujuan pemuka agama selanjutnya menyebarkan agama Islam sebagai pertanggung jawabnya menjadi seorang muslim.
8. (Alpian) Mengapa historiografi Islam mendapat pengaruh dari luar Arab?
Karena pada dasarnya wilayah di Arab ini tidak subur yang mengakibatkan kehidupan masyarakatnya hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan air sulit didapatkan di sini sehingga terjadi pertikaian antar suku-suku di Arab, dan mereka tidak sempat untuk mengebangkan kebudayaannya. Baru setelah mereka mendapat pengaruh dari luar Arab mereka dapat mengembangkannya yang berdampak lahirnya kekuasaan Arab sehingga mampu menguasai wilayah yang subur untuk kelangsungan suku Arab.
Historiografi Islam yang asli.
Berupa tulisan Arab yang menterjemahkan buku-buku asing kedalam bahasa Arab untuk memudahkan orang Arab dalam mempelajarinya, penterjemahan buku asing ini dapat berkembang dengan cepat karena khalifah akan memberika hadiah emas dengan berat yang sama atas buku yang telah diterjemahkan.
(Sumber: W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam Kajian Kritis dar Tokoh Orientalis (terj), Yogyakarta, PT Tiara Wacana Yogya, 1990, hlm.15)
DAFTAR PUSTAKA
Umar, A. Mu'in, Historiografi Islam (Pertumbuhan dan Perkembangannya), Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Ushuludin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
7 November 1992.
Umar, A. Mu'in,1977, Pengantar Historiografi Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Umar, A. Mu'in, Historiografi Islam (Jakarta: Rajawali Press, t.th.)
Shiddiqie, Nourouzzaman1983, Pengantar Sejarah Muslim (t.tp.: Nur Cahaya).
Al-Hikmah, 1993, Jurnal Studi-studi Islam, edisi Syawwal-Dzulhijjah 1413/ April-Juni
Danar Widiyanta. 2002. Perkembangan Historiografi Tinjauan di Berbagai Wilayah Dunia. Yogyakarta:UNY.
Diposkan oleh agustinus di 18.37