HIPERGLIKEMIK HIPEROSMOLAR NON-KETOTIK Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul
Disusun oleh : Araafi Hariza Mahandaru Mahandaru 20080310212
Diajukan kepada : Dr. Waisul Choroni Trenggono, Sp.PD SMF BAGIAN ILMU DALAM PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL 2013
1
LEMBAR PENGESAHAN
HIPERGLIKEMIK HIPEROSMOLAR NON-KETOTIK Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul
Disusun oleh: Araafi Hariza Mahandaru Mahandaru 20080310212 Telah dipresentasikan dan disetujui pada: 08 Maret 2013
Mengetahui, Dosen Pembimbing & Penguji Klinik
Dr. Waisul Choroni Trenggono, Sp.PD
2
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik ialah suatu sindrom yang ditandai hiperglikemia berat, hiperosmolar, dehidrasi berat tanpa ditandai adanya ketosis, disertai menurunnya kesadaran. kesadaran . Gejala klinis utama adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan seringkali disertai gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis (Sudoyo, 2006). Bertambahnya penyakit yang terkait pada pasien lansia adalah ketidakmampuan sistem kardiovaskuler mengatasi perpindahan volume cepat trombosis intraseluler serta kejang setempat (diduga karena hiperkonsentrasi darah yang berlebihan dan kurangnya aliran darah setempat). Diabetes Mellitus adalah kondisi hiperglikemi kronis yang disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah, disertai lesi pada membran basalis dengan mikroskop elektron (Mansjoer, 2001). Diabetes mellitus tipe 2 / non-insulin dependent merupakan 90% jenis diabetes yang terjadi di dunia pada saat ini. Di Indonesia sendiri diabetes tipe 2 menyumbang 80% dari seluruh dibetes. (WHO,2013) Diabetes yang tidak disadari dan tidak diobati dengan tepat atau diputus akan memicu timbulnya penyakit berbahaya dan memicu terjadinya komplikasi. Komplikasi yang di akibatkan kadar gula yang terus menerus tinggi dan merupakan penyulit dalam perjalanan penyakit diabetes mellitus salah satunya adalah hiperglikemia. Angka kematian HHNK 40-50%, lebih tinggi t inggi dari pada diabetik diabet ik ketoasidosis. Karena pasien HHNK kebanyakan usianya tua dan seringkali memiliki penyakit lain (Mansjoer, 2001). Ditemukan 85% pasien KHNK mengidap penyakit ginjal atau kardiovaskuler,
pernah juga
ditemukan
pada
penyakit
akromegali,
3
tirotoksikosis, dan penyakit Chusing. Pasien KHNK kebanyakan usianya tua dan seringkali mempunyai penyakit lain. Sindrom koma hiperglikemik hiperosmolar
non
ketosis
penting
diketahui
karena
kemiripannya
dan perbedaannya dari ketoasidosis diabetik berat dan merupakan diagnosa banding serta per perbe beda daan an dal dalam am pen penat atal alak aksa sana naan an (Hu (Huda dak k dan dan Gall Gallo) o).. Pasi Pasien en yan yang g mengalami sindrom koma hipoglikemia hiperosmolar nonketosis akan mengalami prognosis jelek. Komplikasi sangat sering terjadi dan angka kematian mencapai 25- 50% (Mansjoer, 2001).
B. TUJUAN
Untuk mengetahui lebih dalam tentang penyakit koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik yang meliputi : 1. Mengetahui pengertian koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik 2. Mengetahui etiologi dari koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik 3. Mengetahui patofisiologi koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik 4. Mengetahui penetapan diagnosis dini serta penatalaksanaan koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik
4
BAB II ISI
A. DEFINISI
Hiperglikemia, hiperosmoler, koma non ketotik (HHNK) adalah komplikasi metabolik akut diabetes, biasanya pada penderita diabetes mellitus (DM) tipe 2 yang lebih tua. Pada kondisi ini, terjadi hiperglikemia berat (kadar glukosa serum > 600 mg/dL) yang tanpa disertai ketosis. Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolalitas, diuresis osmotik, dan dehidrasi berat. Psien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila tidak segera ditanganin (Price, 2006).
B. EPIDEMIOLOGI
1. Statistik Amerika Serikat Tidak ada studi berbasis populasi dari HHS yang telah dilakukan. Menurut National National Hospital Discharge Survey AS yang didanai oleh Pusat Statistik Kesehatan Nasional Amerika serikat, ada 10.800 kejadian tahunan untuk HNS di Amerika Serikat 1989-1991. HHS mempengaruhi sekitar 1 dari 500 pasien dengan DM. Insiden keseluruhan HHS kurang dari 1 kasus per 1000 orang-tahun, sehingga secara
signifikan
kurang
umum
daripada
DKA
(Diabetes
Ketoasidosis). Seperti prevalensi DM tipe 2 yang meningkat, kejadian HHS kemungkinan kemungkinan akan meningkat juga (Hemphill, 2012). 2. Demografi Sehubungan dengan Usia HHS memiliki usia rata-rata onset awal dekade ketujuh kehidupan. Rata-rata usia pasien dengan HHS adalah 60 tahun. Laporan kejadian kasus yang paling sering dipublikasikan adalah usia 57-69 tahun. Sebaliknya, usia rata-rata onset untuk Diabetes Ketoasidosis adalah
5
awal dekade keempat kehidupan.. HHS juga dapat terjadi pada orang yang lebih muda. Secara khusus, karena laju peningkatan obesitas pada anak-anak, prevalensi DM tipe 2 juga meningkat pada kelompok usia ini dan dapat menyebabkan peningkatan insiden HHS pada populasi ini (Hemphill, 2012). Masyarakat yang hidup di panti jompo beresiko untuk HHS. Hal hal yang mendasari adanya pencegahan hidrasi yang memadai, termasuk imobilitas, usia lanjut, kelemahan, demensia, agitasi, dan aktivitas yang menurun, menempatkan pasien pada risiko. Gangguan indera, seperti tuli dan kebutaan, dapat menyebabkan isolasi sosial dan juga meningkatkan risiko HHS (Hemphill, (Hemphill, 2012). 3. Demografi Sehubungan dengan Jenis Kelamin Tidak ada predileksi seks dicatat dalam seri yang paling sering dipublikasikan HHS. Namun, beberapa data menunjukkan bahwa prevalensi sedikit lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada lakilaki. Dalam Survei Discharge US National Hospital (lihat di atas), 3700 orang adalah laki-laki dan 7100 adalah perempuan (Hemphill, 2012). 4. Demografi Sehubungan dengan Ras Afrika Amerika, Hispanik, dan penduduk asli Amerika yang terpengaruh
oleh
HHS
sebagai
konsekuensi
dari
peningkatan
prevalensi DM tipe 2 .Dalam Survey National Hospital Discharge AS dari 10.800 buangan rumah sakit daftar HHS di Amerika Ser ikat antara tahun 1989 dan 1991, ada 6300 pasien putih dan 2.900 pasien Amerika-Afrika, sisa pembuangan orang-orang dari ras lain atau ras tidak diketahui (Hemphill, 2012).
C. ETIOLOGI
Koma hiperosmolar hipoglikemik nonketotik dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut beri kut (Soewondo, 2009) : 1. Infeksi
6
a. Selulitis b. Infeksi gigi c. Pneumonia d. Sepsis e. Infeksi saluran kemih 2. Pengobatan a. Obat kemoterapi b. Glukokortikoid c. Fenitoin d. Diuretik tiazid e. Propanolol 3. Noncompliance, Noncompliance, maksudnya adalah ketidakpatuhan penderita Diabetes Melitus terhadap penatalaksanaan yang dianjurkan, misalnya dalam hal mengkonsumsi makanan, tidak patuh meminum obat, melewatkan jadwal penyuntikan, dan lain-lain. 4. Diabetes Melitus tidak terdiagnosis. 5. Penyalahgunaan obat, seperti alkohol dan kokain. 6. Penyakit penyerta a. Infark miokard akut b. Tumor yang menghasilkan hormone adrenokortikotropin c. Kejadian serebrovaskular d. Sindrom cushing e. Hipertermia f. Hipotermia g. Trombosis mesenterika h. Pankreatitis i.
Emboli paru
j.
Gagal ginjal
k. Luka bakar berat l.
Tirotoksitosis
7
D. PATOMEKANISME
Insulin memegang peranan yang sangat penting dalam membawa glukosa kedalam sel. Insulin adalah suatu zat atau hormon yang dikeluarkan
ole oleh h
se sel
p a n k r e a s .
Insulin
be beta yang
di p u l a u - p u l a u dikeluarkan
langerhans oleh
sel
di
b e t a di
ibaratkan sebuah anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa kedalam sel, kemudian di dalam sel glukosa itu dimetabolisme menjadi energi atau tenaga. Bila insulin tidak ada, maka glukosa tidak dapat masuk sel sehingga glukosa akan tetap berada dalam pembuluh darah yang artinya kadarnya dalam darah meningkat (hiperglikemik) (Soegondo dkk, 2007; WHO, 2007). Mekanisme timbulnya penyakit kencing manis atau diabetes mellitus adalah sebagai berikut. Pada kondisi normal, glukosa dalam tubuh yang berasal dari makanan, diserap ke dalam aliran darah dan bergerak ke sel-sel di dalam tubuh. Glukosa tersebut kemudian dimanfaatkan sebagai sumber energi. Pengubahan glukosa dalam darah menjadi energi dil akukan oleh hormon insulin yang dihasilkan oleh kelenjar pankreas. Hormon insulin juga berfungsi untuk mengatur kadar glukosa dalam darah. Secara normal, glukosa akan masuk ke sel-sel dan kelebihannya dibersihkan dari darah dalam waktu 2 jam . Namun apabila insulin yang tersedia jumlahnya terbatas dan atau tidak bekerja dengan normal,maka sel-sel di dalam tubuh tidak terbuka dan glukosa akan terkumpul dalam darah. Kadar glukosa darah di atas 10 mmol per liter merupakan kondisi di atas ambang serap ginjal. Apabila kadar glukosa dalam darah berlebihan, maka sebagian glukosa kemudian dibuang bersama urin. Peristiwa terbuangnya glukosa bersama-sama urin tersebut terse but dikenal dengan istilah kencing manis (Kurnia, 2010).
8
Mekanisme hampir serupa dengan KAD. Pada mulanya sel β pankreas gagal atau terhambat oleh beberapa keadaan stres yang menyebabkan sekresi insulin mejadi tidak adekuat. Pada keadaan stres terjadi peningkatan hormon glukagon sehingga pembentukan glukosa meningkat dan menghambat pemakaian glukosa perifer, akhirnya akan timbul
hiperglikemia.
Selanjutnya
terjadi
diuresis
osmotik
yang
menyebabkan cairan dan elektrolit tubuh berkurang, perfusi ginjal menurun, dan sebagai akibatnya sekresi hormon lebih meningkat lagi dan timbul hiperosmolar hiperglikemik (Mansjoer, 2001). Sampai saat ini para ahli belum dapat menetapkan, mengapa pada pasien hiperosmolar tidak terjadi ketossis atau ketoasidosis. Beberapa hipotesis diajukan tetapi rupanya patogenesis yang diajukan Gerich mendapat perhatian dan pandangan lebih tepat (Mansjoer, 2001). Beberapa hipotesis mengenai KHNK sebagai berikut : 1. Pada pasien KHNK diduga kadar insulin masih cukup untuk mencegah ketosis tetapi tak dapat mempertahankan homeostasis glukosa. Hipotesis ini ternyata tidak benar, karena diketahui bahwa kadar insulin pada keadaan hiperosmolar dan ketoasidosis diabetik sama. William menduga kadar insulin vena porta cukup banyak atau sel-sel lemak yang sensitif terhadap insulin (Mansjoer, 2001). 2. Peran hiperosmolar dan dehidrasi. Pada biatang percobaan, dengan mengurangi
cairan
ternyata
intoleransi
glukosa
akan
diikuti
pengurangan pelepasan asam lemak bebas, sehigga diduga dehidrasi mempunyai sifat antiketogenik (Mmencegah lipolisis) (Mansjoer, 2001). Peran penurunan hormon lipolitik, seperti hormon pertumbuhan, kortison, glukagon, katekolamin (hormon stres) kadar hormon lipolitik yang berkurang ini memang telah dibuktikan pada koma hiperosmolar, sehingga kadar asam lemak bebas lebih sedikit atau mempunyai kadar sama dengan pada ketoasisdosis diabetik. Shunt mengajukan hipotesis bahwa prostalglandin E2 (PGE2) mempunyai sifat anti lipolisis yang lebih
9
kuat dibandingkan insulin sehingga bila PGE 2 meninggi tentu dapat mencegah ketosis, tetapi hal ini belum terbukti (Mansjoer, 2001).
E. PATOFISIOLOGI
(Smeltzer, 2002).
Sindrome
Hiperglikemia
Hiperosmolar
Non
Ketotik
mengambarkan kekurangan hormon insulin dan kelebihan hormon glukagon. Penurunan insulin menyebabkan hambatan pergerakan glukosa ke dalam sel, sehingga terjadi akumulasi glukosa di plasma. Peningkatan hormon glukagon menyebabkan glikogenolisis yang dapat meningkatkan kadar
glukosa plasma.
hiperosmolar.
Kondisi
Peningkatan
kadar
hiperosmolar serum
glukosa akan
mengakibatkan menarik
cairan
10
intraseluler ke dalam intra vaskular, yang dapat menurunkan volume cairan intraselluler. Bila klien tidak merasakan sensasi haus akan menyebabkan kekurangan cairan (Sudoyo, 2006). Tingginya kadar glukosa serum akan dikeluarkan melalui ginjal, sehingga timbul glikosuria yang dapat mengakibatkan diuresis osmotik secara berlebihan (poliuria). (poliuria ). Dampak dari poliuria akan menyebabkan kehilangan cairan berlebihan dan diikuti hilangnya potasium,sodium dan phospat (Sudoyo, 2006). 2006). Akibat kekurangan insulin maka glukosa tidak dapat diubah menjadi glikogen sehingga kadar gula darah meningkat dan terjadi hiperglikemi. Ginjal tidak dapat menahan hiperglikemi ini, karena ambang batas untuk gula darah adalah 180 mg% sehingga apabila terjadi hiperglikemi maka ginjal tidak bisa menyaring dan mengabsorbsi sejumlah glukosa dalam darah. Sehubungan dengan sifat gula yang menyerap air maka semua kelebihan dikeluarkan bersama urin yang disebut glukosuria. (Sudoyo, 2006). Faktor yang memulai timbulnya koma hiperosmolar hiperglikemik non
ketotik
mengakibatkan
(HHNK)
adalah
kegagalan
pada
diuresis
glukosuria.
kemampuan
Glukosuria
ginjal
dalam
mengkonsentrasikan urin, yang akan semakin memperberat derajat kehilangan air. Pada keadaan normal, ginjal berfungsi mengeliminasi glukosa diatas ambang batas tertentu. Namun demikian, penurunan volume intravaskular atau penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya akan menurunkan laju filtrasi glomerular, menyebabkan konsentrasi glukosa meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak dibandingkan natrium menyebabkan keadaan hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup untuk menurunkan konsentrasi glukosa darah, terutama jika terdapat resistensi insulin (Soewondo, 2009). Bersamaan keadaan glukosuria maka sejumlah air hilang dalam urine yang disebut poliuria. Poliuria mengakibatkan dehidrasi intraselluler, hal ini akan merangsang pusat haus sehingga pasien akan merasakan haus
11
terus menerus sehingga pasien akan minum terus yang disebut polidipsi. Perfusi ginjal menurun mengakibatkan sekresi hormon lebih meningkat lagi dan timbul hiperosmolar hiperglikemik (Sudoyo, 2006). Kemudian produksi insulin yang kurang pun akan menyebabkan menurunnya transport glukosa ke sel-sel sehingga sel-sel kekurangan makanan dan simpanan karbohidrat, lemak dan protein menjadi menipis. Karena digunakan untuk melakukan pembakaran dalam tubuh, maka klien akan merasa lapar sehingga menyebabkan banyak makan yang disebut poliphagia. Kegagalan tubuh mengembalikan ke situasi homestasis akan mengakibatkan hiperglikemia, hiperosmolar, diuresis osmotik berlebihan dan dehidrasi berat. Disfungsi sistem saraf pusat karena ganguan transport oksigen ke otak dan cenderung menjadi koma. Hemokonsentrasi akan meningkatkan viskositas darah dimana dapat mengakibatkan pembentukan bekuan darah, tromboemboli, infark cerebral, jantung (Sudoyo, 2006). Adanya
keadaan
hiperglikemia
dan
hiperosmolar
ini
jika
kehilangan cairan tidak dikompensasi dengan masukan cairan oral maka akan timbul dehidrasi dan kemudian hipovolemia. Hipovolemia akan mengakibatkan hipotensi dan nantinya akan menyebabkan gangguan pada perfusi jaringan. Keadaan koma merupakan stadium terakhir dari proses hiperglikemik ini, dimana telah timbul gangguan elektrolit berat dalam kaitannya dengan hipotensi (Soewondo, 2009).
F. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Pasien dengan HHNK, umumnya berusia lanjut, belum diketahui mempunyai DM, dan pasien DM tipe 2 yang mendapat pengaturan diet dan atau obat hipoglikemi oral. Seringkali dijumpai penggunaan obat yang semakin memperberat masalah, misalnya misaln ya diuretic (Soewondo, 2009). Keluhan pasien HHNK ialah : rasa lemah, gangguan penglihatan, atau kaki kejang. Dapat pula ditemukan keluhan mual dan muntah, namun lebih jarang jika dibandingkan dengan KAD. Kadang, pasien dating
12
dengan disertai keluhan saraf seperti letargi, disorientasi, hemiparesis, kejang atau koma (Sewondo, 2009). Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tamda dehidrasi berat seperti turgor yang buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung, perabaan ekstremitas yang dingin dan denyut nadi na di yang cepat dan lemah. Dapat pula ditemukan peningkatan suhu tubuh yang tak terlalu tinggi. Akibat gastroparesis dapat pula dijumpai distensi abdomen, yang membaik setelah rehidrasi adekuat (Soewondo, 2009). Perubahan pada status mental dapat bekisar dari disorientasi sampai koma. Derajat gangguan neurologis yang timbul berhubungan secara langsung dengan osmolaritas efektif serum. Koma terjadi saat osmolaritas serum mencapai lebih dari 350 mOsm per kg (350 mmol per kg). Kejang ditemukan pada 25% pasien, dan dapat berupa kejang umum, local, maupun, mioklonik. Dapat juga terjadi hemiparesis yang bersifat reversible dengan koreksi deficit cairan (Soewondo, 2009). Temuan laboratorium awal pada pasien dengan HHNK adalah konsentrasi glukosa darah yang sangat tinggi (> 600 mg per dL) dan osmolaritas serum yang tinggi (> 320 mOsm per kg air [normal = 290 ± 5]), dengan pH lebih besar dari 7,30 dan disertai ketonemia ringan atau tidak. Separuh pasien akan menunjukkan asidosis metabolik dengan anion gap
yang ringan (10 – 12). Jika anion gap nya berat (>12), harus
dipikirkan diagnosis diferensial asidosis laktat atau penyebab lain. Muntah dan penggunaan diuretik tiazid dapat menyebabkan alkalosis metabolik yang dapat menutupi tingkat keparahan asidosis. Konsentrasi kalium dapat meningkat atau normal. Konsentrasi kreatinin, blood urea nitrogen (BUN), dan hematokrit hampir selalu meningkat. HHNK menyebabkan tubuh banyak kehilangan berbagai macam elektrolit (Soewondo, 2009).
Kehilangan Elektrolit pada HHNK Elektrolit
Hilang
13
Natrium
7 – 13 – 13 mEq per kg
Klorida
3 – 7 3 – 7 mEq per kg
Kalium
5 – 15 5 – 15 mEq per kg
Fosfat
70 – 140 70 – 140 mEq per kg
Kalsium
50 – 100 50 – 100 mEq per kg
Magnesium
50 – 50 – 100 100 mEq per kg
Air
100 – 200 100 – 200 mEq per kg
G. PENATALAKSANAAN
1. Prinsip Penatalaksanaan Angka
kematian
pada
koma
hiperosmolar
tinggi
(>50%).
Akibatnya terapi segera sangat mendesak. Tindakan yang paling penting adalah pemberian cairan intravena dalam jumlah besar untuk memulihkan sirkulasi dan aliran urin. Deficit cairan rata-rata adalah 10 sampai 11 liter. Sementara air tawar akan sangat diperlukan, terapi awal harus berupa larutan garam isotonik, 2 sampai 3 liter harus diberikan dalam 1 sampai 2 jam pertama. Kemudian salin separuh kekuatan dapat digunakan. Begitu kadar glukosa mencapai normal, dapat diberikan dekstrose 5 persen sebagai pembawa air tawar. Jika komahiperosmolar dapat dipulihkan dengan cairan saja, insulin harus diberikan untuk mengendalikan hiperglikemia lebih cepat. Banyak penulis menganjurkan dosis kecil insulin tetapi mungkin diperlukan jumlah yang lebih besar terutama pada pasien obes. Garam kalium biasanya diperlukan lebih awal dalam terapi koma hiperosmolar disbanding pada ketoasidosis karena pergeseran K + plasma intraseluler selama peningkatan terapi tanpa asidosis. Jika terdapat asidosis laktat, natrium bikarbonat harus diberikan sampai perfusi jaringan dapat dipulihkan. Antibiotika diperlukan jika infeksi merupakan penyakit (Foster, 2000).
14
Penatalaksanaan Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (HHNK) meliputi lima pendekatan (Soewondo, 2009) : a. Rehidrasi intravena agresif b. Penggantian elektrolit c. Pemberian insulin intravena d. Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta e. Pencegahan 2. Penatalaksanaan Medikamentosa a. Cairan Langkah pertama dan terpenting dalam penatalaksaan HHNK adalah penggantian cairan yang agresif, dimana sebaiknya dimulai dengan mempertimbangkan perkiraan defisit cairan (biasanya 100 sampai 200 mL per kg, atau total rata-rata 9 L). Penggunaan larutan isotonik akan dapat menyebabkan overload cairan dan cairan hipotonik mungkin dapat mengkoreksi defisit cairan terlalu cepat dan potensial menyebabkan kematian dan lisis mielin difus. Sehingga pada awalnya sebaiknya diberikan 1L normal
saline
per
jam.
Jika
pasiennya
mengalami
syok
hipovolemik, mungkin dibutuhkan plasma expanders. Jika pasien dalam keadaan syok kardiogenik, maka diperlukan monitor hemodinamik (Soewondo, 2009). Pada awal terapi, konsentrasi glukosa darah akan menurun, bahkan sebelum insulin diberikan, dan hal ini dapat menjadi indikator yang baik akan cukupnya terapi cairan yang diberikan. Jika konsentrasi glukosa darah tidak bisa diturunkan sebesar 75100 mg per dL per jam, hal ini biasanya menunjukkan penggantian cairan yang kurang atau gangguan ginjal (Soewondo, 2009). b. Elektrolit Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui pasti, karena konsentrasi kalium dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Konsentrasi kalium yang sebenarnya akan terlihat ketika
15
diberikan insulin, karena ini akan mengakibatkan kalium serum masuk ke dalam sel. Konsentrasi elektrolit harus dipantau terusmenerus
dan
irama
jantung
pasien
juga
harus
dimonitor
(Soewondo, 2009). Jika konsentrasi kalium awal <3,3 mEq per L (3,3 mmol per L), pemberian insulin ditunda dan diberikan diberikan kalium (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat sampai tercapai konsentrasi kalium setidaknya 3,3 mEq per L). Jika konsentrasi kalium lebih besar dari 5,0 mEq per L (5,0 mmol per L), konsentrasi kalium harus diturunkan sampai dibawah 5,0 mEq per L, namun sebaiknya konsentrasi kalium
ini perlu dimonitor tiap dua jam. Jika konsentrasi awal kalium antara 3,3-5,0 mEq per L , maka 20-30 mEq kalium harus diberikan dalam tiap liter cairan intravena yang diberikan (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat) untuk mempertahankan konsentrasi kalium antara 4,0 mEq per L (4,0 mmol per L) dan 5,0 mEq per L (Soewondo, 2009). c. Insulin Hal yang penting dalam pemberian insulin adalah perlunya pamberian cairan yang adekuat terlebih dahulu. Jika insulin diberikan sebelum pemberian cairan, maka cairan akan berpindah ke intrasel dan berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi, kolaps vaskular, atau kematian. Insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0,15U/kgBB secara intravena, dan diikuti dengan drip 0,1U/kgBB per jam sampai konsentrasi glukosa darah turun antara 250 mg per dL (13,9 mmol per L) sampai 300 mg per Dl. Jika konsentrasi glukosa dalam darah tidak turun 50-70 mg/dL per jam, dosis yang diberikan dapat ditingkatkan. Ketika konsentrasi glukosa darah sudah mencapai dibawah 300 mg/dL, sebaiknya diberikan dekstrosa secara intravena dan dosis insulin dititrasi secara sliding scale sampai pulihnya kesadaran dan keadaan hiperosmolar (Soewondo, 2009).
16
3. Penatalaksanaan Non Medikamentosa Pasien Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (KHHNK) biasanya datang dengan keadaan penurunan kesadaran dan dalam keadaan gawat darurat, oleh karena itu pemberian obat secara non farmakologi akan kurang tepat karena memberikan efek yang cukup lama. Penatalaksaan yang tepat bagi pasien (KHHNK) yaitu secara medikamentosa. Selain itu dapat juga dengan dilakukan pencegahan penyakit Diabetes Melitus yang biasanya merupakan penyebab awal KHHNK, meliputi (Yunir, 2009) : a. Terapi gizi Prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetesi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual. b. Latihan jasmani Latihan
jasmani
pada
diabetesi
akan
menimbulkan
perubahan metabolik, yang dipengaruhi selain oleh lama, berat latihan, dan tingkat kebugaran, juga oleh kada insulin plasma, kadar glukosa darah, kadar benda keton dan imbangan cairan tubuh 4. Identifikasi dan Mengatasi Faktor Penyebab Walaupun tidak direkomendasikan untuk memberikan antibiotik kepada semua pasien yang dicurigai mengalami infeksi, namun terapi antibiotik dianjurkan sambil menunggu kultur pada pasien usia lanjut dan pada pasien hipotensi. Berdasarkan penelitian terkini, peningkatan konsentrasi C-reactive protein dan interleukin-6 merupakan indikator awal sepsis pada pasien dengan HHNK (Soewondo, 2009). 5. Pencegahan Hal yang harus diperhatikan dalam pencegahan adalah perlunya penyuluhan mengenai pentingnya pemantauan konsentrasi glukosa darah dan compliance yang tinggi terhadap pengobatan yang diberikan. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah adanya akses terhadap persediaan air. Jika pasien tinggal sendiri, teman atau ata u anggota keluarga
17
terdekat sebaiknya secara rutin menengok pasien untuk memperhatikan adanya perubahan status mental dan kemudian menghubungi dokter jika hal tersebut ditemui (Soewondo, 2009). 2009). Pada tempat perawatan, petugas yang terlibat dalam perawatan harus diberikan edukasi yang memadai mengenai tanda dan gejala HHNK dan juga edukasi mengenai pentingnya asupan cairan yang memadai dan pemantauan yang ketat (Soewondo, 2009). Kemudian diet yang baik merupakan salah satu pencegahan dari HHNK. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut : a. Karbohidrat : 60-70% b. Protein : 10-15% c. Lemak : 20-25% Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensim insulin dan memperbaiki respons sel-sel sel-sel β terhadap stimulus glukosa. Dalam salah satu penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah satu parameter status DM), dan setiap kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup. Selain jumlah
kalori,
pilihan
jenis
bahan
makanan
juga
sebaiknya
diperhatikan. Masukan kolesterol tetap diperlukan, namun jangan melebihi 300 mg per hari. Sumber lemak diupayakan yang berasal dari bahan nabati, yang mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh dibandingkan asam lemak jenuh. Sebagai sumber protein sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam (terutama daging dada), tahu dan tempe, karena tidak banyak mengandung lemak. Masukan serat sangat penting bagi penderita diabetes, diusahakan paling tidak 25 g per hari.
18
Disamping akan menolong menghambat penyerapan lemak, makanan berserat yang tidak dapat dicerna oleh tubuh juga dapat membantu mengatasi rasa lapar yang kerap dirasakan penderita DM tanpa risiko masukan kalori yang berlebih. Disamping itu makanan sumber serat seperti sayur dan buah-buahan segar umumnya kaya akan vitamin dan mineral (American Diabetes Association, 2004). Selain diet, dengan berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap normal. Saat ini ada dokter olah raga yang dapat dimintakan nasihatnya untuk mengatur jenis dan porsi olah raga yang sesuai untuk penderita diabetes. Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan (American Diabetes Association, 2004). Olahraga
yang
disarankan
adalah
yang
bersifat
CRIPE
(Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training ). ). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-umur),disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita. Beberapa contoh olahraga yang disarankan, antara antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang,dan lain sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan selama total30-40 menit per hari didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-10 menit. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (American Diabetes Association, 2004).
H. PROGNOSIS
Keadaan Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (HHNK) merupakan salah satu komplikasi akut atau emergensi Diabetes Melitus (DM). Kedaruratan ini pun masih merupakan penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas dari pasien penderita Diabetes Melitus (DM).
19
Angka kejadian Keadaan Hiperosmolar Hiperglikemik masih sulit diperkirakan karena belum ada studi populasi tentang keadaan ini, namun diperkirakan kurang dari 1% dari semua penderita diabetes yang dirawat di Rumah Sakit. Koma hanya ditemukan kurang dari 10% kasus. Prognosis dari kasus ini biasanya buruk, meskipun sebenarnya kematian dari pasien bukan disebabkan oleh sindrom hiperosmolar itu sendiri melainkan oleh karena penyakit yang mendasarinya
atau menyertainya.
Angka
kematiannya berkisar antara 30 – 50 % yang merupakan angka kematian yang tinggi hal ini disebabkan karena serinya terjadi kegawatan ini pada usia lanjut dan berhubungan dengan
penyakit penyakit penyakit kardiovaskular kardiovaskular
atau penyakit yang mendasari lainnya, infeksi, dehidrasi, dan osmoralitas darah yang sangat tinggi. Namun demikian angka kematian pada negara maju dapat ditekan menjadi sekitar 12 % (Soewondo, 2009).
20
BAB III KASUS A. Identitas Pasien
Nama
:
Bp. A
Umur
:
40 tahun
Jenis Kelamin
:
Laki - laki
Alamat
:
Cangkringan RT 03 Bantul
Tanggal masuk
:
21/02/2013
No. RM
:
49.32.55
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama Pasien dating dengan keluhan gula darah dikatakan tinggisejak +- 3 minggu SMRS 2. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien dating dari IGD dengan keluhan gula darah dikaakan tinggi dari pemeriksaan di peuskesmas. Gula darah tinggi sejak -+3 minggu. Pasien diantare oleh istri dengan kondisi penurunan kesadaran. Nyeri perut (-), mual (-), muntah (+), Nyeri kepala (+), sesak nafas (+), BAB dan BAK dalam batas normal. Riwayat gula darah tinggi. Pasien diberi obat penurun gula darah tetapi tidak mau diminum. 3. Riwayat Penyakit Dahulu - riwayat hipertensi (+) - riwayat diabetes mellitus (+) 7 tahun - riwayat asma disangkal - riwayat penyakit jantung disangkal - riwayat alergi obat disangkal 4. Riwayat Penyakit Keluarga - riwayat hipertensi (+) - riwayat diabetes mellitus disangkal
21
- riwayat asma disangkal - riwayat penyakit jantung disangkal - riwayat alergi obat disangkal C. Pemeriksaan Fisik Kesan Umum : Baik Kesadaran
: Compos Mentis
Vital Sign
:
Tekanan darah : 200/120 mmHg Nadi
: 88 x/menit
Suhu badan
: 36,4oC
Pernafasan
: 24 x/menit
Pemeriksaan kulit
: Turgor dan elastisitas dalam batas normal,
kelainan kulit (-), sianosis (-) Pemeriksaan kepala
- Bentuk kepala
: Mesosefal
- Rambut
: Warna hitam, tidak mudah dicabut, distribusi
merata Pemeriksaan mata
- Palpebra
: Edema (-/-)
- Konjungtiva
: Anemis (-/-)
- Sklera
: Ikterik (-/-)
- Pupil
: Reflek cahaya (+/+), isokor
Pemeriksaan Telinga
: Otore (-/-), nyeri tekan (-/-), serumen (-/-)
Pemeriksaan Hidung
: Sekret (-/-), epistaksis epistaksis (-)
Pemeriksaan Leher
- Kelenjar tiroid
: Tidak membesar
- Kelenjar lnn
: Tidak membesar, nyeri (-)
- Retraksi suprasternal: (-) - JVP Pemeriksaan Dada
: Tidak meningkat :
22
Depan
Kanan
Kiri
Inspeksi : retraksi (-)
Inspeksi : retraksi (-)
Palpasi : ketinggalan gerak (-).
Palpasi : ketinggalan gerak (-).
Perkusi : sonor pada seluruh
Perkusi : sonor pada seluruh
lapang paru
lapang paru
Auskultasi :
Auskultasi :
- Suara dasar : vesikuler
- Suara dasar : vesikuler
- Suara tambahan : Ronkhi kering
- Suara tambahan : Ronkhi kering
(-), wheezing (-),
(-), wheezing (-)
krepitasi (-)
krepitasi (-)
Belakang Kanan
Kiri
Palpasi : ketinggalan gerak (-)
Palpasi : ketinggalan gerak (-)
Perkusi : sonor
Perkusi : sonor
Auskultasi :
Auskultasi :
- Suara dasar : vesikuler
- Suara dasar : vesikuler
- Suara tambahan : Ronkhi kering
- Suara tambahan : Ronkhi kering
(-), wheezing (-),
(-), wheezing (-),
krepitasi (-)
krepitasi(-)
Jantung
Inspeksi
:
Iktus kordis tidak tampak
Palpasi
:
Iktus kordis teraba pada sela iga ke 5 linea midclavicula kiri,
Auskultasi
:
S1 & S2 reguler, Bising jantung (-)
23
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi
:
Bentuk bulat, defans muskular (-), venektasi (-), sikatrik (-)
Auskultasi
:
Peristaltik usus (+)
Palpasi
:
Nyeri tekan abdomen (-), Hepatomegali (-), nyeri tekan hepar (-), lien tak teraba membesar, nyeri lepas tekan (-), massa (-), Nyeri tekan suprapubik (-)
Perkusi
:
Timpani, nyeri ketok kostovertebra (-), pekak beralih (-), undulasi (-)
D. Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium Darah Hb
10,0 gr%
AL
6,00
AE
4,00
AT
272
Hmt
29,6
Eosinofil
5
Basofil
1
Batang
3
Segmen
66
Limfosit
22
Monosit
3
GDS
*969
Ureum darah
50
Kreatinin darah
1,61
SGOT
11
SGPT
9
Natrium
123,1
24
Kalium
2,49
Klorida
88,0
-Ro Thorax : Cord an Pulmo dalam batas normal. E. Diagnosis Kerja
Diagnosis Kerja : Hyperglikemia dengan penurnan kesadaran susp. HONK
F. Terapi
1. O2 3-5 l/m 2. IVFD NaCl loading 2l
60 tpm, lanjutkan 20 tpm (monitoring RBB dan
VS) 3. Pasang DC 4. Pasang NGT 5. RI 5 unit/jam dengan syringe pump, s/d GDS 250 mg/dl (cek GDS tiap jam), lanjutkan dengan RI 2 unit unit (cek GDS tiap 4 jam) 6. Inj. Ceftriaxon 1g/12 jam 7. Inj. Ranitidin 1A/12 jam 8. Nifedipin 3x1 9. KCL 3 x 1 10. Masuk ICU G. Follow up Tanggal 21/02/2013
Perjalanan Penyakit Terapi S : pasien mengalami penurunan Inj. Ceftriaxon 1g/12 jam kesadaan E1V1M5 Inj. Ranitidin 1A/12 jam O : KU sedang, GCS 7, pupil isokor, Nifedipin 3x1 kesa lateralisasi kiri Phenitoin 2x1 TD 170/110 R 24 KCL 3 x 1 N 88 t 36,4 RI 5 unit/jam dengan syringe pump, s/d A : Hiperglikemia dengan penurunan GDS 250 mg/dl (cek GDS tiap jam), kesadaran suspek HONK lanjutkan dengan RI 2 unit (cek GDS tiap 4 jam) GDS = 784 (siang) Inj. Meconeuro GDS = 496 (sore) Inj. Bralin GDS = 360 (malam) Captopril 3 x 12,5 mg GDS = 95 (21.00) RI tergantung GDS Sliding Scale Cek GDS tiap 6 jam target 200
22/02/2013
S : OS sudah membaik, tampak lemah, pusng (-),mual (-), Muntah (-), sesak nafas (-), pandangan kabur (-) O : KU sedang, CM
Inj. Ceftriaxon 1g/12 jam Inj. Ranitidin 1A/12 jam Nifedipin 3x1 Phenitoin 2x1
25
TD 180/110 R 20 N 80 t 36,1 A : Hiperglikemia dengan penurunan kesadaran suspek HONK GDS = 285 GDS = 101
KCL 3 x 1 RI 5 unit/jam dengan syringe pump, s/d GDS 250 mg/dl (cek GDS tiap jam), lanjutkan dengan RI 2 unit (cek GDS tiap 4 jam) Inj. Meconeuro Inj. Bralin Novogard 10 – 10 – 10 10 – – 0 0 Novomix 0 – 0 – 0 0 - 10 Captopril 3 x 12,5 mg RI tergantung GDS Sliding Scale Cek DL, GDS pagi dan sore
23/02/213
S : Sudah merasa baikan, pusng (- Novogard 10 – 10 – 10 10 – – 0 0 ),mual (-), Muntah (-), sesak nafas (-), Novomix 0 – 0 – 0 0 - 10 pandangan kabur (-) Captopril 3 x 12,5 mg O : KU sedang, CM Cek DL, GDS pagi dan sore TD 170/90 R 24 Cek K, jika baik stop KCL N 88 t 36,1 Inj. Ceftriaxon 1g/12 jam A : Hiperglikemia dengan penurunan Inj. Ranitidin 1A/12 jam kesadaran suspek HONK Nifedipin 3x1 Phenitoin 2x1 GDS = 204 KCL 3 x 1
24/02/2013
S : Sudah merasa merasa baikan, baikan, pusng (- Novogard 10 – 10 – 10 10 – – 0 0 ),mual (-), Muntah (-), sesak nafas (-), Novomix 12 – 12 – 0 0-8 pandangan kabur (-) Captopril 3 x 12,5 mg O : KU sedang, CM Cek DL, GDS pagi dan sore TD 170/90 R 24 Cek K, jika baik stop KCL N 88 t 36,1 Inj. Ceftriaxon 1g/12 jam A : Hiperglikemia dengan penurunan Inj. Ranitidin 1A/12 jam kesadaran suspek HONK Nifedipin 3x1 Phenitoin 2x1 KCL 3 x 1 GDS = 165
26
BAB IV PEMBAHASAN
Diagnosis
Pasien laki – laki – laki laki 40 th dengan keluhan gula darah dikatakan tinggisejak +3 minggu SMRS. Pasien dating dari IGD dengan keluhan gula darah dikaakan tinggi dari pemeriksaan di peuskesmas. Gula darah tinggi sejak -+3 minggu. Pasien diantare oleh istri dengan kondisi penurunan kesadaran. Nyeri perut (-), mual (-), muntah (+), Nyeri kepala (+), sesak nafas (+), BAB dan BAK dalam batas normal. Riwayat gula darah tinggi. Pasien diberi obat penurun gula darah tetapi tidak mau diminum. Riwayat Penyakit Dahulu riwayat hipertensi (+) riwayat diabetes mellitus (+) 7 tahun riwayat asma disangkal riwayat penyakit jantung disangkal riwayat alergi obat disangkal Riwayat Penyakit Keluarga - riwayat hipertensi (+) - riwayat diabetes mellitus disangkal - riwayat asma disangkal - riwayat penyakit jantung disangkal - riwayat alergi obat disangkal Pembahsan : Dari data tersebut, dapat diperoleh bahwa pasien memiliki factor resiko untuk terkena HONK yaitu riwayat penyakit diabetes mellitus yang sudah lam diderita nya. Berdasaran onsetnya penyakit tersebut merupakan diabetes mellitus tipe II yang mana lebih sering menyebabkan HONK. Dari sumber American Diabetic Association, menyebutkan bahwa kebanyakan komplikasi HHS/HONK terjadi pada penderita diabetes tipe II / non-insulin dependent.
27
Pada pasien tersebut tidak memiliki riwayat penyakit infeksi kronis maupun infeksi akut yang sedang dialami, sehingga kemungkinan untuk terjadi infeksi sedikit kecil. Namun pada data di atas disebutkan bahwa pasien tidak mau meminum obat antidiabetes yang diberikan untuk menjaga agar glukosa darahnya tetap terkontrol. Hal ini membuktikan bahwa un-compliance menjadi factor presipitasi untuk timbulnya kopmplikasi HONK pada pasien ini. Sebagai mana dari penelitian yang dilakukan oleh Guillermo, 2012 dan Abbas et al., 2006 disebutkan bahwa un-compliance menjadi penyebab terbanyak dalam timbulnya komplikasi HHS/HONK. Un-compliance sendiri menyumbang 50% pada kasus studi yang dilakukan oleh Guillermo, 2006 – 2012, yang mana infeksi menyumbang data yang variatif (SD luas) antara 30 – 50%, yang mana infeksi terbanyak adalah pneumonia. Keluhan nyeri perut, sesak nafas, nyeri kepala dan penurunan kesadaran yang terjadi pada pasien serupa dengan manifestasi klinis yang terjadi pada HHS/HONK. Akibat adanya peningkatan kadar glukosa darah, terjadilah kopndisi hiperosmolaritas serum hingga mencapai 320 mOsm. Pada penderita kali ini dijumpai kadar glukosa darah saat tiba di IGD naik tinggi 969 mg/dl yang menyebabkan kenaikan osmolaritas cukup tinggi sehingga dijumpai penurunan kesadaran walaupun tidak sampai pada tahap koma. Pada pasien tidak dijumpai kondisi syok karena tekanan darahnya justru tinggi.
Terapi
Pada pasien ini telah diberikan ke lima poin penting untuk terapi yaitu, rehidrasi intravena agresif, koreksi elektrolit, pemberian insulin intravena, pelacakan penyebab presipitasi dan pencegahan. Pasien diberikan terapi saat tiba di IGD sbb.,
O2 3-5 l/m
IVFD NaCl loading 2l
Pasang DC
Pasang NGT
60 tpm, lanjutkan 20 tpm (monitoring RBB dan VS)
28
RI 5 unit/jam dengan syringe pump, s/d GDS 250 mg/dl (cek GDS tiap jam), lanjutkan dengan RI 2 unit (cek GDS tiap 4 jam)
Inj. Ceftriaxon 1g/12 jam
Inj. Ranitidin 1A/12 jam
Nifedipin 3x1
KCL 3 x 1
Masuk ICU Pemberian KCL pada pasien ini adalah untuk mengkoreksi kdar kalium pasien
yang rendah. Karena jika tidak, kadar kalium akan semakin turun karena insulin berefek memasukan me masukan kalium kali um ke intrasel. Pada pasien ini diberikan terapi te rapi anibiotik karena dengan alasan tertentu dicurigai adanya infeksi sebagai penyebab/ presipitasi timbulnya HONK, meskipun penyebab yang sebenarnya sudah dikoreksi dan dilakukanedukasi untuk penceghan. Pemberian antihipertensi disini bertujuan untuk menurunkan tekanan darah pasien yang justru menngkat hingga HT gr II. Pasien diransfer di ICU untuk mendapatkan perawatan lebih intensif sehubungan dengan penurunan kesadaran dan resiko syok hipovolemik yang mana perlu pemantauan ketat dan pemeriksaan darah secara rutin. Pemberian insulin pada pasien dilakukan persis seperti pada teori penatalaksanaan HHS/HONK yaitu diberikan bolus insulin sampai dengan GDS 250. Kemudian GDS dan elektrolit diperiksa rutin untuk mengetahui ap[akah terjadi hipokalemiapada pasien atau tidak. Pemberian insulin kemudian dilakukan dengan insulin sliding scale dengan dosis sesuai dengan GDS pasien.
29
BAB V KESIMPULAN
A. Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik ialah suatu sindrom yang ditandai hiperglikemia berat, hiperosmolar, dehidrasi berat tanpa ditandai adanya ketosis, disertai menurunnya kesadaran. B. Faktor yang mempengaruhi koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik diantara adalah infeksi, diabetes mellitus yang tidak terdiagnosis dan penyalahgunaan obat C. Faktor yang memulai timbulnya koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik (HHNK) adalah diuresis glukosuria. Glukosuria mengakibatkan kegagalan pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin, yang akan semakin memperberat derajat kehilangan air D. Penegakan diagnosis selain dari keluhan pasien, pemeriksaan fisik, juga dengan hasil laboratorium yang menunjukkan konsentrasi glukosa darah yang sangat tinggi, osmolaritas serum yang tinggi dan juga pH lebih besar dari 7.30 dan disertai ketonemia ringan atau tidak. E. Penatalaksanaan medikamentosa dengan cara rehidasi intravena agresif, penggantian elektrolit dan pemberian insulin intravena sedangkan penatalaksanaan non medikamentosanya tidak bisa dilakukan hal ini disebabkan karena pasien tidak koperatif
30
DAFTAR PUSTAKA
American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes. Diabetes Care. Care. 2004;27(Suppl 1):S15-S35. Foster, Daniel W. 2000. Diabetes 2000. Diabetes Mellitus. Mellitus. Dalam : Harrison : Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam edisi 13/ editor edisi bahasa inggris, ing gris, Kurt J. Isselbacher et al; editor bahasa Indonesia, Ahmad H. Asdie. Jakarta: EGC. Hemphill, Robert R. 2012. Hyperosmolar 2012. Hyperosmolar Hyperglicemic State. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/1914705-overview#a0156 Kurnia.
2010.
Mekanisme
Terjadinya
Diabetes. Diabetes.
Available
at
:
http://id.shvoong.com/medicine-and-health/epidemiology-publichealth/2094446-mekanisme-terjadinya-diabetes/#ixzz1PmiprcMK Mansjoer, Arif, Triyanti, dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Ed. 3. Jakarta : Media Aesculapuis. Price, Sylvia A., Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Proses Penyakit . Jakarta: EGC. Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih. asih. Jakarta : EGC. Soegondo S. Obesitas. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk (Eds). Jakarta. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2007; 4;3:1919-25. Soewondo, Pradana. 2009. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik . Dalam : Aru W. Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Dalam . Edisi V . Jakarta : Interna Publishing. Stoner, Hyperglycemic hyperosmolar state, state, American Academy of Family Physician, http://www.aafo.org/afp/20050501/1723.html
31
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV . Jakarta : FKUI WHO.
Diabetes
Mellitus,
WHO
Geneva,
Available
at
:
Http//www.who.int.inf.fs/en/fact 138.html Yunir, Em, Soebardi, dan Suharko. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Jakarta : Interna Publishing.
32