PENDAHULUAN
Besaran masalah
Populasi dari penduduk lanjut usia (lansia), berusia 65 tahun ke atas, menunjukkan kecenderungan untuk meningkat. Peningkatan paling besar populasi lansia di dunia dipikirkan akan terjadi pada tahun 2020, yaitu sebesar 400%1.Di Indonesia sendiri, jumlah populasi lansia diperkirakan akan meningkat 4 kali lipat pada tahun 2025, dibandingkan tahun 1990. Saat ini terdapat sekitar 15 juta orang lansia di Indonesia1.Secara keseluruhan, peningkatan populasi berusia 65 tahun ke atas di dunia diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 3 kali lipat.
Peningkatan usia harapan hidup tidak selalu disertai dengan kondisi kesehatan yang baik pula. Berbagai masalah fisik, psikologis, dan sosial akan muncul akibat proses degeneratif yang terjadi seiring dengan menuanya seseorang2.Masalah-masalah tersebut berdampak pada kondisi kesehatan seseorang pada saat usia lanjut. Dalam pelayanan kesehatan primer, lebih kurang sepertiga pasien yang datang berkunjung berusia lebih dari 65 tahun3. Dan sekitar 40% biaya kesehatan, perawatan, serta peresepan obat diperuntukan untuk lansia1.Oleh karena itu, membantu populasi lanjut usia dengan menambah 15-20 tahun dari usia harapan hidup (65 tahun) dan tetap dapat hidup sehat dan aktif, menjadi tantangan di bidang kesehatan masyarakat pada abad 214.
Proses pertambahan usia pada pasien geriatri juga diikuti dengan penurunan fungsi organ dan kemampuan kompensasi. Beberapa teori penuaan, seperti loss of self-renewal capacity,4 menyatakan hal tersebut dapat terjadi karena dalam proses penuaan secara biologis terdapat berkurangnya kemampuan memperbaiki diri (tissue-repair) sehingga terjadi kerusakan perlahan dan progresif pada sistem organ yang berdampak terjadi penurunan kapasitas faal. Hal ini menyebabkan Variasi gejala pada pasien geriatri sangat luas sehingga sulit membedakan kondisi fisiologis dan patologis. klasik dari infeksi seperti demam seringkali tidak ditemukan, adakalanya didapatkan sebaliknya, hipotermia.
Selain itu, penurunan fungsi satu organ dapat mempengaruhi fungsi organ lain ataupun terjadi penurunan fungsi secara serentak. Sehinggapasien usia lanjut seringkali memiliki lebih dari satu permasalahan kesehatan (multipatologi). Lima puluh persen dari pasien berusia di atas 65 tahun, memiliki lebih dari satu penyakit kronis dan keduanya bisa saling mempengaruhi penatalaksanaannya, seperti penyakit serebrovaskuler dan ulkus peptikum2. Selain itu, pasien lanjut usia juga rentan risiko polifarmasi karena banyaknya morbiditas yang dapat meningkatkan efek samping obat. Hal tersebut menyebabkan sangat perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan kondisi medis pada pasien geriatri2.
Selain itu, berbagai gejala atau kumpulan gejala juga sering dijumpai pada pasien geriatri bersamaan dengan penyakit dasarnya. Gejala-gejala atau kondisi medis tersebut tidak dapat diabaikan karena dapat menimbulkan komplikasi yang akan memperburuk keadaan pasien. Kumpulan gejala tersebut disebut sindrom geriatri.1 tantriKane, et al, dalam bukunya menyebutkan sindrom geriatri yang seringkali dijumpai pada pasien geriatri, yaitu: immobility, instability, incontinence, intellectual impairment, infection, impairment of vision and hearing, irritable colon, isolation (depression), inanition (malnutrition), impecunity, iatrogenesis, insomnia, immune deficiency, dan impotence yang dikenal juga dengan 14 I3.
Dari sindrom geriatri tersebut terdapat empat masalah yang sering terjadi pada pasien geriatri dan menyebabkan seorang lansia harus dirawat di rumah sakit. Empat masalah tersebut adalah inkontinensia, imobilisasi, instabilitas, penurunan intelektual (delirium dan demensia). Kondisi medis tersebut sering disebut sebagai geriatric giants karena dapat meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian seorang lansia bila tidak ditangani dengan baik.
Melalui makalah ini akan dibahas mengenai geriatric giants, mulai dari penyebab, diagnosis, hingga penatalaksanaannya.
Epidemiologi
Populasi lanjut usia, diperkirakan akan mengalami ledakan yang cukup besar, perkiraan PBB, jumlahnya akan meningkat lebih dari 3 kali lipat, 600 juta pada tahun 1999 menjadi 2 milyar pada tahun 2050. Peningkatan ini tentunya menjadi tantangan bagi negara ini untuk dapat melayani populasi senior ini, salah satunya dalam bidang pelayanan kesehatan, dimana permasalahan kesehatan pada kelompok ini tidaklah sedikit. Di Indonesia sendiri, seperti dinyatakan sebelumnya, peningkatan populasi lansia akan mencapai 4 kali lipat dari tahun 1990 sampai tahun 2025. Perkiraan lainnya menyebutkan dari tahun 1980 sampai 2020 akan bertambah lebih dari 20 juta orang, mencakup 11,34% dari populasi keseluruhan6.
Menurut Agate pada tahun 1970, yang dipentingkan dalam geriatri adalah usia biologis. Usia harapan hidup populasi Indonesia pada tahun 1998 adalah 62,6 tahun untuk pria dan 66,7 tahun untuk wanita. Sedangkan WHO menghitung harapan hidup dengan Disability Adjusted Life-Exp ectancy (DALE) dimana penduduk lanjut usia yang mengalami disabilitas tidak disertakan. Angka DALE untuk Indonesia adalah 59,7 tahun, menduduki peringkat ke-1036. Usia diantara DALE dan usia harapan hidup inilah yang juga menjadi tantangan di bidang kesehatan khususnya geriatri, bagaimana mencegah kesakitan, menurunkan disabilitas, sehingga meningkatkan kualitas hidup pada populasi lanjut usia.
Permasalahan kesehatan pada populasi lanjut usia tentunya berbeda dengan populasi usia muda, dimana umumnya penyakit kronis degeneratif lebih mendominasi, disertai juga penyakit-penyakit infeksi yang mungkin berkaitan atau mempengaruhi penyakit-penyakit kronis yang sudah diderita.
Data epidemiologi mengenai kondisi-kondisi medis yang lazim ditemukan pada populasi lanjut usia bervariasi dari tahun ke tahun dan di beberapa negara. Seperti ditampilkan pada tabel berikut.
Tabel 1. Epidemiologi kondisi-kondisi medis pada lanjut usia di Indonesia
Indonesia
Tahun 1978a
(n = 567)
Tahun 1986b
1990c
(n=1203)
Penyakit
%
Penyakit
/100
Penyakit/permasalahan
%
Infeksi
18,5
Kardiovaskuler
15,7
Arthritis/reumatism
49
Kardiovaskuler
12,9
Muskuloskeletal
14,5
Hipertensi dan peny. kardiovaskuler
15,2
Serebrovaskuler
11,8
TBC paru
13,6
Bronchitis/sesak nafas
7,4
Penyakit mata
11,1
Peny. Paru Kronis
12,1
Diabetes melitus
3,3
Trauma/fraktur
10,9
Inf. Resp. Akut
10,2
Jatuh
2,5
Neoplasma
9,4
Sal. Cerna
10,2
Stroke/ kelumpuhan
2,1
BPH
9,0
Neurologi
5,9
TBC
1,8
Metab & endokrin
2,6
Inf. Kulit
5,2
Fraktur
1,0
Tulang & sendi
0,4
Malaria
3,3
Kanker
0,7
Lain-lain
14,3
Infeksi lain
2,4
Masalah yang mengganggu ADL
29,3
Data diagnosis penyakit pada penderita usia > 65 tahun di RS. Kariadi, Semarang dikutip dari Darmojo, RB, 2004. Demografi dan Epidemiologi Populasi Lanjut Usia dalam Buku Ajar Geriatri Edisi ke-3
Data pola penyakit pada usia > 55 tahun. SKRT tahun 1986 dikutip dari Darmojo, RB, 2004. Demografi dan Epidemiologi Populasi Lanjut Usia dalam Buku Ajar Geriatri Edisi ke-3
Data dari WHO-Community Study of te Elderly, Central Java 1990 dikutip dari Darmojo, RB, 2004. Demografi dan Epidemiologi Populasi Lanjut Usia dalam Buku Ajar Geriatri Edisi ke-3
Faktor Risiko
Populasi lanjut usia memiliki karakteristik yang berbeda dari kelompok umur lain. Karakteristik ini harus menjadi pertimbangan dalam penilaian, investigasi, dan penatalaksaan pada pasien lanjut usia.3 Populasi geriatri memiliki karakteristik yang berbeda karena:
Multipatologi
Penurunan fungsi faal organ-organ yang terjadi seiring pertambahan usia, dapat pula disertai dengan adanya penyakit kronis dan komplikasinya, seringkali menyebabkan pasien geriatri memiliki lebih dari satu permasalahan medis (komorbiditas) dan menyebabkan penatalaksaan pada pasien lanjut usia menjadi kompleks. Presentasi/manifestasi penyakit yang tidak spesifik
Mudah terjadi perburukan kondisi
Pada geriatri, terjadi penurunan fungsi organ sehingga menyebabkan berkurangnya kemampuan memperbaiki diri (tissue-repair) dan kemampuan kompensasi (hemostatis). Hal ini menyebabkan mudah sekali terjadi perburukan pada pasien lansia.
Insien tinggi terhadap komplikasi sekunder dari penyakit dasar dan tata laksananya.
Pasien geriatri sangat rentan terjadinya komplikasi sekuder dari penyakit dasarnya karena berkurangnya kemampuan kompensasi. Serta geriatri juga berisiko mendapatkan komplikasi dari penatalaksaan penyakit dasar seperti polifarmasi.
Pasien geriatri memerlukan rehabilitasi
Seiring bertambahnya usia selain kemampuan fisiologis, kemampuan fungsional untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari juga dapat menurun, sehingga menimbulkan ketergantungan. Pada pasien geriatri juga memerlukan waktu yang lama dalam pemulihan dari penyakitnya. Hal-hal tersebut dapat diperbaiki dengan rehabilitasi.
Sangat dipengaruhi faktor sosial dan lingkungan
Penilaian pada pasien geriatri harus dilakukan secara komprehensif, pendekatan dan kerjasama dengan keluarga sangatlah penting, mengingat pasien geriatri memiliki masalah yang lebih kompleks dan dipengaruhi faktor sosial dan lingkungan.
GERIATRIC GIANT
Geriatri adalah populasi masyarakat yang berusia 65 tahun keatas. Terminologi Giant geriatric, pertama kali diajukan pada tahun 1930-an oleh Prof. Bernard Isaacs untuk me-highlight kondisi medis yang dominan dalam proses penuaan. Walaupun penyebab mortalitas mayor pada geriatri adalah kanker, penyakit jantung, dan stroke, giant geriatric mencerminkan kondisi yang mempengaruhi sebagian besar lansia dan menyebabkan ketidakmampuan dalam melakukan fungsi sehari-hari. Kondisi-kondisi medis tersebut adalah: inkontinensia, imobilisasi, instabilitas, penurunan intelektual (delirium dan demensia).
Inkontinensia urin
Inkontinensia urin didefinisikan sebagai pengeluaran urin secara involunter, tidak diinginkan, dalam jumlah dan frekuensi tertentu yang menimbulkan masalah kesehatan dan/atau sosial. Angka kejadiannya cukup tinggi, berkisar antara 1 : 3 – 5 pada wanita, dan 1 : 5 – 10 pada laki-laki3,8.
Pengeluaran urin terjadi akibat kontraksi dari detrusor buli dan relaksasi dari otot polos sfingter. Ketika buli terisi urin, sampai pada jumlah tertentu (+ 300ml), reseptor regang pada dinding buli akan mengirimkan menuju pusat miksi pada segmen sakral, kemudian sinyal eferen dikirimkan baik melalui sistim syaraf otonom dan somatik. Saat miksi, impuls kolinergik dari sistim parasaimpatis akan menyebabkan kontraksi detrusor, pada saat yang bersamaan tonus dari sistim simpatis akan hilang, menyebabkan relaksasi sfingter urethra interna, dan juga tonus dari sistim syaraf somatik (n. pudendus) akan menghilang, menyebabkan relaksasi sfingter urethra eksterna3,9.
Gambar 1. Inervasi buli-buli 8
Perubahan pada buli-buli akibat menua, baik anatomis dan fisiologis, tidak secara langsung menyebabkan inkontinensia urin, tetapi mempermudah terjadinya inkontinensia urin. Mengecilnya ukuran buli, penurunan volume buli, meningkatnya urin residual mengakibatkan pengosongan buli yang lebih sering (frekuensi). Menurunnya kemampuan menekan kontrksi detrusor menyebabkan munculnya gejala urgensi. Gejala-gejala ini dapat diperberat dengan adanya patologi lain yang sering ditemui pada usia lanjut, seperti infeksi saluran kemih, kelemahan otot dasar panggul, hipertrofi prostat, imobilisasi dan impaksi fekal8,9. Adanya inkontinensia urine akan berdampak terhadap penurunan kualitas hidup, bahkan beberapa penelitian mengaitkan inkontinensia urine dengan mortalitas, walaupun pada penelitian lain menunjukkan bahwa keduanya tidak berkaitan10.
Pembagian Inkontinensia Urin
Inkontinensia Akut
Inkontinensia akut merujuk pada inkontinensia yang awitannya tiba-tiba dan bersifat sementara, sehingga dapat kembali normal bila masalah yang mendasari diatasi. Beberapa penyebab inkontinensia yang sementara dapat dilihat dari tabel 3.
Tabel 3. Penyebab inkontinensia akut/sementara11
D
I
A
P
E
R
S
Delirium/confusional state
Infection-urinary
Atropic urethritis/vaginitis
Pharmaceuticals
Excess urine output (seperti CHF, hiperglikemia)
Restricted mobility
Stool impaction
Pada pasien delirium, pasien memerlukan tata laksana untuk kondisi medis yang mendasarinya dibandingkan tata laksana berkemih. Infeksi saluran kemih (ISK) menyebabkan inkontinensia akut ketika disuria dan urgensi sangat dominan yang menyebabkan pasien lanjut usia tidak dapat menuju toilet sebelum sempat berkemih. Hal tersebut hanya terjadi pada ISK yang simptomatik, sedangkan pada bakteriuria asimptomatik, sering pada lanjut usia, tidak menimbulkan inkontinensia. Karena gejala ISK pada lanjut usia dapat tidak khas, perlu dievaluasi dengan baik adanya ISK pada usia lanjut11,12,13.
Uretritis/vaginitis atropik sering menimbulkan gejala inkontinensia. Delapan puluh persen wanita usia lanjut yang datang dengan keluhan inkontinensia memiliki uretritis/vaginitis atropik. Pada vaginitis atropik, mukosa vagina tampak atropi, erosi, rapuh, dan terdapat perdarahan pungtata. Vaginitis atropik dapat diobati dengan pemberian estrogen dosis rendah baik peroral maupun pervaginam14.Medikamentosa merupakan salah satu penyebab paling sering inkontinensia pada geriatri. Mekanisme masing-masing bervariasi dalam menyebabkan inkontinensia (Tabel 4).
Tabel 4. Medikamentosa yang dapat mempengaruhi fungsi berkemih (7,10)
Jenis obat
Mekanisme
Diuretik
Meningkatkan keluaran urin, menyebabkan pengisian buli yang cepat
Antikolinergik (antidepresan trisiklik, obat-obatan untuk inkontinensi urgensi, antihistamin, relaksan, anti-Parkinson, antipsikotik)
Melemahkan kontraksi detrusor, sedasi, immobilitas, retensi urin
Opiat
Relaksasi buli, impaksi fekal, sedasi
Hipnotik – sedatif
Mengganggu kognisi, sedasi, delirium, immobilitas
Penghambat ACE
Efek samping dapat berupa batuk-batuk dapat mencetuskan inkontinensia tipe stres
Penghambat kanal kalsium
Menurunkan kontraksi detrusor, dapat menyebabkan retensi, dan nokturia
Adrenenergik alfa
Meningkatkan tonus sfingter, dapat menyebabkan retensi atau overflow
Penghambat adrenergik alfa
Menurunkan tonus sfingter, dapat menyebabkan inkontnensia tipe stres
OAINS dan penghambat COX-2
Menyebabkan retensi cairan dan dapat mengakibatkan nokturia
Gabapentin, pregabalin, TZD
Edema (nokturia)
Alkohol
Poliuria, frekuensi, urgensi, sedasi, delirium imobilisasi
Kafein
Poliuria, iritasi buli
Hipervolume juga dapat menyebabkan inkontinensia urin pada geriatri. Penyebab dapat berupa kelebihan masukan cairan, gangguan metabolik, dan penyakit yang berhubungan dengan retensi cairan. Hipervolume biasanya menyebabkan inkontinesia urin bila berhubungan dengan nokturia. Restriksi/immobilisasi merupakan penyebab umum inkontinensia urin akut. Immobilisasi ini dapat akibat arthritis, stroke, masalah kaki, ganggunaan penglihatan, dan hipotensi postural. Penyebab-penyebab tersebut dapat dimodifikasi oleh karena itu, perlu evaluasi yang cermat dalam menilai inkontinensia urin yang berhubungan dengan immobilisasi1.
Terakhir, impaksi feses dapat menyebabkan inkontinensia urin pada sekitar 10% pasien geriatri yang datang ke klinik inkontinensia. Pasien biasanya menunjukkan inkontinensia tipe urgensi atau overflow dan juga disertai inkontinensia alvi.Penyebab-penyebab inkontinensia akut sangat penting dievaluasi secara cermat. Bila penyebab telah diidentifikasi makan dapat segera ditata laksana dan hampir sebagian besar fungsi berkemih kembali normal15,16.
Inkontinensia Urin Persisten
Inkontinensia urin persisten yang tidak terkait pada penyakit akut dan bersifat menetap. Inkontinensia urin persisten terdiri atas tipe stres, tipe urgensi, tipe overflow, tipe fungsional, dan campuran. Ringkasan inkontinensia urin persisten dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Tipe-tipe Inkontinensia Urine8,17
Definisi / mekanisme
Etiologi
Gejala
Stres
Pengeluaran urin involunter ketika terjadi peningkatan tekanan intraabdomen.
Prolaps pelvis, hipermobilitas uretra, perubahan posisi uretra, kelemahan sfingter internus, kelemahan otot dasar panggul
Keluarnya urin pada saat adanya pencetus (batuk/ bersin/ketawa)
Urgensi
Pengeluran urin akibat ketidakmampuan menunda berkemih ketika timbul sensasi keinginan untuk berkemih. Masalah ter
Non-neurogenik: inflamasi (batu, keganasan, infeksi, vaginitis-uretritis atrofik), obstruksi, proses penuaan, idiopatik
Neurogenik:
Lesi suprapontin, lesi medula spinalis, medikamentosa, kelainan metabolik
Urgensi a, frekuensib, nokturiac,
Overflow
Pengeluaran urin akibat kekuatan mekanik pada kandung kemih overdistensi atau faktor lain yang berefek pada retensi urin dan fungsi sfingter
Inadekuat detrusor (obat-obatan, antikolinergik, neuropati), obstruksi outflow (BPH, impaksi fekal)
Pancaran urin lemah, rasa tidak lampias, hesitancyd, straininge, intermittencyf,dapat disertai frekuensi dan urgensi
Fungsional
Pengeluaran urin abnormal dengan ketidakmampuan untuk ke toilet akibat hambatan lingkungan, penurunan fungsi kognitif, dan ketidakmampuan psikologis
Demensia berat, depresi
Campuran
Adanya inkontinensia yang berkaitan dengan urgensi disertai pencetus (misalnya: OAB dan kelemahan otot dasar panggul)
Kombinasi dari tipe stres dan urge
tidak mampu untuk menunda berkemih ketika timbul keinginan berkemih
berkemih 8 kali atau lebih/hari atau berkemih kurang dari 2 jam sekali
berkemih 2 kali atau lebih pada jam tidur malam
menunggu lama bila akan berkemih
mengedan untuk berkemih
berkemih terputus-putus
Dalam melakukan penilaian inkontinensia ini, diperlukan evaluasi dasar dan evaluasi lanjut. Evaluasi dasar meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, urinalisis, dan pengukuram volume residual pasca berkemih (post void residual/PVR). Evaluasi dasar bertujuan untuk mengidentifikasi penyebab inkontinensia yang bersifat sementara (DIAPERS), mengidentifikasikan kondisi yang memerlukan evaluasi khusus (pemeriksaan lebih lanjut), dan menetapkan tipe inkontinensia pasien sehingga dapat menentukan penatalaksanaan yang tepat. Evaluasi dasar menentukan diagnosis presumtif dan diberikan terapi empiris. Jika diagnosis presumtif tidak dapat ditentukan atau terapi empiris tidak efektif, diperlukan evaluasi lanjut padapasien.1,11 (lihat algoritma)
Gambar 2. Algoritma evaluasi pasien geriatri dengan inkontinensia1
Evaluasi DasarAnamnesisPemeriksaan FisikUrinalisisPVRYaFaktor reversibel teridentifikasiTata Laksana sesuai penyakitMasih inkontinensiaIndikasi evaluasi lanjutTidakTerapi empiris sesuai tipe inkontinensiaEvaluasi lanjut urologi/ginekologi/urodinamikYaTerapi tidak efektifTidak
Evaluasi Dasar
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Urinalisis
PVR
Ya
Faktor reversibel teridentifikasi
Tata Laksana sesuai penyakit
Masih inkontinensia
Indikasi evaluasi lanjut
Tidak
Terapi empiris sesuai tipe inkontinensia
Evaluasi lanjut urologi/ginekologi/urodinamik
Ya
Terapi tidak efektif
Tidak
Tabel 6. Evaluasi dasar dan lanjutan pada pasien dengan inkontinensia urin1,8,9
Anamnesis
Tipe (urge, stres, campuran, overflow)
Frekuensi, keparahan, durasi
Pola (diurnal, nokturnal, campuran, situasi tertentu)
Gejala yang berhubungan urinasi
Penyakit penyerta
Medikasi
Fungsi fungsional (status mental, kognitif, kemampuan untuk self-toilet, mobilitas)
Pemeriksaan fisik
Identifikasi kondisi medis
Tes stress-induced leakage ketika buli penuh
Palpasi distensi buli pasca pengosongan
Pemeriksaan pelvis
Pemeriksaan rektal
Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan penunjang dasar
Rekam pengosongan
Pemeriksaan volume residu pasca pengosongan (PVR) dengan kateterisasi atau USG
Urinalisis, sitologi,dan kultur
Pemeriksaan penunjang lanjutan
Pemeriksaan metabolik seperti kadar glukosa dan kalsium
USG ginjal
Uroflowmetri
Sistometrogram
Sistoskopi
Evaluasi urodinamik
Pemeriksaan urinalisis dilakukan untuk mendeteksi adanya piuria, hematuria, dan glukosuria. Pemeriksaan PVR dilakukan untuk menentukan adanya retensi urin dan dapat digunakan untuk menentukan tipe inkontinensia terutama pada kasus yang tidak spesifik (Gambar 3).
Gambar 3. Algoritma evaluasi pemeriksaan PVR18
Pada kasus-kasus tertentu perlu dilakukan evaluasi khusus atau rujukan bagi pasien dengan inkontinensia (Tabel 7). Pemeriksaan penunjang lanjutan antara lain pemeriksaan urodinamik (uroflowmetri) untuk menentukan adanya obstruksi atau difungsi instrinsik sfingter uretra, sistometrogram untuk menentukan adanya disfungsi detrusor atau sensorik serta pemeriksaan sistoskopi untuk melihat adanya kelainan pada saluran kemih bawah. USG ginjal juga perlu dilakukan untuk menilai fungsi ginjal terutama pada pasien dengan retensi urin bermakna.1,18
Tabel 7. indikasi untuk evaluasi lanjut pada pasien inkontinensia1
Inkontinensia tipe urgensi yang baru terjadi dalam 2 bulan terakhir
Riwayat pembedahan anti-inkontinensia
Riwayat pembedahan pelvis radikal
Riwayat inkontinensia simptomatik berulang (3 kali atau lebih dalam kurun waktu 12 bulan)
Pembesaran prostat dan/atau kecurigaan keganasan
Kelainan neurologis yang berhubungan dengan inkontinensia
Proteinuria persisten bermakna
Kesulitan pemasangan kateter urin (no. 14)
Kegagalan terhadap terapi empiris berdasarkan diagnosis presumtif
Tata Laksana
Penatalaksanaan inkontinensia urin tidak hanya dengan obat-obatan. Latihan untuk memperkuat otot dasar panggul, intervensi perilaku, merupakan bagian dari pengobatan non-farmakologis pada inkontinensia urin.
Tabel 8. Terapi primer untuk berbagai tipe inkontinensia urin pada geriatri 1,10
Tipe inkontinesia urin
Terapi
Tipe urgensi
Tipe stres
Tipe overflow
Tipe fungsional
Lini pertama
Lini kedua
Lini ketiga
Lini pertama
Lini kedua
Lini ketiga
Lini pertama
Lini kedua
Lini ketiga
Lini pertama
Lini kedua
Lini ketiga
Intervensi perilaku: bladder training, bladder drill
Medikamentosa: antikolinergik dan antispasmodik (bladder relaxant)
Pembedahan
Intervensi perilaku: senam Kegel, bladder training
Medikamentosa: agonis adrenergik alfa dan/atau estrogen atau antidepresi
Injeksi periuretra, pembedahan
Pembedahan, katerisasi intermitten
Katerisasi menetap jangka panjang
Katerisasi suprapubik
Intervensi perilaku
Manipulasi lingkungan
Pemakaian underpad (alas ompol)
Tabel 9. Obat-obatan yang dapat digunakan pada inkontinensia adalah1,10,11
Antikolinergik
Oxybutinine
3 x 2,5 - 5 mg (immediate release)
1 x 5 - 30 mg (extended release)
Urgensi atau campuran dengan predominan urgensi
Tolterodine
2 x 2 mg (immediate release)
1 x 2 - 4 mg (long-acting)
Solifenacin
1 x 5 - 10 mg
Darifenacin
1 x 7,5 - 15 mg
Agonis alfa-adrenergik
Doxazosin
1 x 1 - 8 mg
Overflow dengan BPH
Tamsulosin
1 x 0,4 - 0,8 mg
Terazosin
1 x 1 - 10 mg
Alfuzosin
1 x 10 mg setelah makan
Agonis kolinergik
Bethanecol
3 x 10 - 30 mg
Overflow dengan atonia kandung kemih
Agonis alfa-adrenergik
Pseudoephedrine
3 x 30 - 60 mg
Stres
Estrogen topikal
Krim
0,5 – 1 g/hari selama 2 minggu, selanjutnya 2x seminggu
Urgensi atau stres karena vaginitis atrofi
Arginin-vasopresin
DDAVP oral
0,1 – 0,4 mg malam hari
Nokturia yang menganggu dan tidak berespon terhadap terapi lain
DDAVP semprot hidung
10 – 20 mikrogram setiap nostril, malam hari
Antidepresan
TCA: Imipramine
3 x 25 – 50 mg
Stres atau campuran
SNRI: Duloxetine
20 – 40 mg
Stres sedang – berat
Imobilisasi
Imobilisasi diartikan sebagai kehilangan gerak anatomi akibat perubahan fungsi anatomis. Imobilisasi digunakan untuk menggambarkan kondisi dimana seseorang membutuhkan tirah baring atau mobilisasi yang sangat terbatas, akibat suatu penyakit atau kondisi yang dideritanya. Penyebabnya beragam, termasuk faktor psikologis (depresi, kecemasan), perubahan fisik (kardiovaskuler, neurologi, muskuloskeletal, nyeri), dan lingkungan (tidak adanya alat bantu). Dari beberapa data epidemiologi, masalah muskuloskeletal, arthritis, dan nyeri menunjukkan angka kejadian yang tinggi pada populasi lanjut usia1,3,6
Beragam faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada geriatri (Tabel 10). Faktor-faktor tersebut perlu diidentifikasi secara cermat karena sebagian besar dapat dicegah atau ditata laksana sehingga tidak menyebabkan imobilisasi lagi.Konsep mobilisasi dini telah dilontarkan sejak awal 1940-an pada pasien-pasien usia lanjut yang dirawat di rumah sakit. Antibiotik dan pembedahan kuratif membantu mempersingkat lamanya imobilisasi.
Tabel 10. Penyebab umum imobilisasi pada lanjut usia1
Gangguan muskuloskeletal
Artritis
Osteoporosis
Fraktur (terutama tulang panggul dan femur)
Masalah podiatrik
Lain-lain (misal: penyakit Paget)
Gangguan neurologis
Stroke
Parkinson
Neuropati
Normal Pressure Hydrocephalus
Demensia
Lain-lain (disungsi serebelar, neuropati)
Penyakit kardiovaskuler
Gagal jantung kongestif (berat)
Penyakit arteri koroner (angina yang sering)
Penyakit pembuluh darah perifer (klaudikasio yang sering)
Penyakit paru
PPOK (berat)
Faktor sensori
Gangguan penglihatan
Penurunan sensasi kinestetik
Penurunan sensasi perifer
Penyebab lingkungan
Imobilisasi yang dipaksakan (di rumah sakit atau rumah perawatan)
Kurangnya alat bantu
Nyeri akut dan kronis
Lain-lain
Deconditioning (setelah tirah baring berkepanjangan)
Malnutrisi
Penyakit sistemik yang berat (keganasan)
Depresi
Efek samping obat (rigiditas karena antipsikotik)
Takut akan jatuh
Apatis dan kurangnya motivasi
Dalam manajemennya, mengoptimalkan mobilitas menjadi sasaran dari terapi. Sedikit perbaikan dapat menurunkan insiden dan keparahan dari komplikasi, memperbaiki kesejahteraan pasien, menurunkan beban dan biaya perawatan. Imobilisasi memiliki dampak yang besar dan bersifat sistemik, komplikasi yang fatal juga dapat terjadi.3
Dalam penilaian pasien lanjut usia yang mengalami imobilisasi, anamnesis yang terfokus harus meliputi identifikasi penyebab terjadinya imobilisasi, baik masalah internal maupun lingkungan pasien. Perubahan kecil yang seringkali kurang diperhatikan atau dianggap wajar dapat merupakan tanda-tanda awal dari suatu kelainan, seperti misalnya keluhan keseimbangan dimana kelainan dapat terjadi dari organ sensorik perifer – susunan syaraf pusat – organ efektor; kelambatan berjalan (bradikinesia) dapat merupakan tanda-tanda dini penyakit Parkinson. Pada umumnya memang didapatkan penurunan kecepatan berjallan + 20% pada usia lanjut, dimana rentang melangkah pada usia lanjut menurun, tetapi jumlah langkah per menitnya konstan 3,19
Tabel 11. Penilaian terhadap pasien usia lanjut dengan imobilisasi
Anamnesis
Perjalanan dan durasi dari disabilitas yang menyebabkan imobilisasi
Kondisi medis yang ikut berperan
Nyeri
Obat-obatan yang berisiko menyebabkan imobilisasi
Motivasi dan faktor psikologis lainnya
Lingkungan
Pemeriksaan fisik
Kulit
Status kardiopulmonal
Pemeriksaan muskuloskeletal
Tonus dan kekuatan otot
Lingkup gerak sendi
Deformitas dan lesi
Defisit neurologis
Kelemahan fokal
Evaluasi kognitif, sensori dan persepsi
Keseimbangan
Tingkat mobilisasi
Tempat tidur
Kemampuan untuk berpindah
Perpindahan dengan kursi roda
Keseimbangan saat berdiri
Gait
Nyeri dengan pergerakan
Nutrisi
Protein
25-OH vitamin D
Kompllikasi Immobilisasi
Immobilisasi dapat menyebabkan komplikasi yang dapat memperburuk kondisi medis penyerta dan immobilisasi itu sendiri. Imobilisasi menyebabkan proses degenerasi pada hampir semua sistem organ sebagai akibat berukurangnya fungsi motorik dan berubahnya tekanan gravitasi. Sehingga perlu juga untuk mengidentifikasi komplikasi yang terjadi maupun yang potensial untuk terjadi seperti pada tabel 12.
Tabel 12. Komplikasi yang sering terjadi pada pasien immobilisasi
Kulit
Ulkus dekubitus
Muskuloskeletal
Atrofi dan deconditioning
Kontraktur
Osteoporosis
Kardiovaskular
Deconditioning
Menurunnya volume darah hipotensi ortostatik
Trombo-emboli vena
Pulmonal
Penurunan ventilasi
Atelektasis
Pneumonia aspirasi
Gastrointestinal
Anoreksia
Konstipasi
Impaksi fekal, inkontinensia
Urogenital
Infeksi
Retensi
Kalkulus buli
Inkontinensia
Metabolik
Perubahan komposisi tubuh (misalnya: penurunan volume plasma perubahan farmakokinetik obat)
Keseimbangan nitrogen negatif
Gangguan toleransi glukosa
Psikologi
Penurunan sensoris
Delirium
Depresi
Diantara komplikasi tersebut, terdapat empat komplikasi utama dapat menjadi sangat serius dan fatal yang berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas, yaitu tromboemboli vena, ulkus dekubitus, hipotensi ortostatik, dan kontraktur.
Tromboemboli vena
Tromboemboli vena adalah penyakit vaskular yang kompleks yang bermanifestasi sebagai trombosis vena dalam atau emboli paru. Angka kejadian tromboemboli vena pada lanjut usia secara signifikan lebih tinggi dibanding pada usia muda, dapat mencapai lebih dari 5 kali lipat. Analisis post-hoc dari studi MEDENOX, menunjukkan usia di atas 75 tahun sebagai faktor risiko independen untuk terjadinya tromboemboli vena.
Patogenesis timbulnya tromboemboli vena melibatkan tiga faktor, yang dikenal trias Virchow, yaitu disfungsi/cedera endotel, status hiperkoagulasi, dan statis vena. Imobilisasi menyebabkan keadaan statis vena yang akan meningkatkan status hiperkoagulasi dan cedera endotel sehingga mudah terbentuk trombosis. Namun proses tersebut juga dipengaruhi multifaktor seperti terlihat di tabel 13.
Tabel 13. Faktor risiko trombosis1
Kondisi permanen yang mendasari
Kondisi medis akut
Faktor risiko iatrogenik
Usia lanjut (> 75 tahun)
Riwayat tromboemboli vena
Vena varikosa
Obesitas
Keganasan
Trombofilia
Gagal jantung
Penyakit respirasi berat
Penyakit infeksi akut
Keganasan
Stroke
Imobilisasi berkepanjangan
Infark miokard
Terapi sulih hormon
Menetap di RS/ rumah perawatan
Kemoterapi
Kateter vena sentral
Diagnosis
Diagnosis tromboemboli vena (trombosis vena dalam dan emboli paru) sulit ditegakan. Gejala klasik dari trombosis vena dalam adanya edema, nyeri, dan perubahan warna pada sekitar ekstremitas yang terkena. Namun bila trombosis tidak menyebakan sumbatan seringkali asimptomatik. Edema ekstremitas merupakan tanda paling spesifik, namun jarang sampai terjadi edema massif dengan sianosis dan iskemik (phegmasia ceruleadolens). Nyeri ekstremitas terjadi pada 50% pasien, namun tidak terlalu spesifik. Nyeri dapat muncul pada saat dorsofleksi kaki (tanda Homans), nyeri tersebut muncul pada 75% pasien DVT tetapi juga muncul pada 50% pasien tanpa DVT. Bahkan pasien dengan gejala klasik masih sekitar 46% memiliki hasil negatif pada venogram. Gejala dan tanda emboli pulmonal, dispnue dan takikardi, hanya muncul pada 10% dari pasien dengan DVT.1
Wells dkk. Telah mengembangkan sistem skoring untuk memprediksi terjadinya DVT. Skor Wells ini membantu untuk dapat menstratifikasi pasien menjadi kelompok risiko tinggi, risiko sedang, dan risiko rendah (Tabel 14). Mengkombinasikan skor wells dengan pemeriksaan penunjang, seperti ultrasonografi (doppler), tes D-dimer, angiografi paru, ventilation-perfusion scanning, dapat memastikan atau menyingkirkan kemungkinan diagnosis DVT atau PE.1
Tabel 14. Interprestasi risiko DVT dan PE dengan menggunakan skor Wells
DVT
Nilai > 3
Nilai 1-2
Nilai < 1
Risiko tinggi (75%)
Risiko sedang (17%)
Risiko rendah (3%)
PE
Nilai > 6
Nilai 2-6
Nilai < 2
Risiko tinggi (78,4%)
Risiko sedang (27,8%)
Risiko rendah (3,4%)
Pencegahan
Tromboemboli vena pada usia lanjut, menjadi tantangan bagi klinisi, banyak hal yang perlu diperhatikan, antara lain: adanya komorbid, diagnosis yang lebih sulit (emboli paru dapat tidak menunjukan gejala, pemeriksaan D-dimer tidak dapat dijadikan acuan, sidik paru kurang dapat diandalkan karena adanya kelainan paru, CT angiografi sering terkendala masalah gangguan fungsi ginjal), mortalitas yang lebih tinggi (usia > 80 tahun VS usia < 40 tahun, 16% VS 2%), presentasi klinis yang lebih berat (emboli paru). Belum ada uji klinis mengenai pencegahan tromboemboli vena yang mengkhususkan pada populasi usia lanjut, walaupun dari studi yang sudah dilakukan populasi usia lanjut termasuk di dalamnya.20
Pencegahan tromboemboli vena pada usia lanjut menjadi tantangan, selain diagnosis yang sulit, risiko perdarahan akibat pemberian antikoagulan juga lebih tinggi ditambah pula dengan adanya polifarmasi yang meningkatkan kemungkinan interaksi antar obat. Risiko perdarahan akibat pemberian antikoagulan, berkisar antara 1,6 – 2 kali lipat pada populasi usia lanjut. Perlu diperhatikan, pada insufisiensi ginjal yang berat, heparin tidak terfraksinasi dapat dipakai, sedangkan heparin berat molekul rendah dikontraindikasikan.20 Obat-obat tromboprofilaksis yang diberikan meliputi antiplatelet dan antikoagulan (Tabel 15).Dalam memutuskan apakah perlu pemberian tromboprofilaksis, perlu dinilai risiko trombosis secara individual (Tabel 13). Namun demikian, mengingat usia di atas 75 tahun merupakan faktor risiko independen, adanya kondisi medis akut pada populasi ini, pemberian tromboprofilaksis perlu dipertimbangkan.
Tabel 15. Obat-obatan yang digunakan dalam pencegahan DVT
Antikoagulan
Unfractionated heparin (UFH)
Dosis rendah (5000 unit) secara subkutan setiap 8 atau 12 jam sampai pasien dapat mobilisasi.
Pada pembedahan, diberikan 1-2 jam sebelum operasi dan dilanjutkan tiap 8-12 jam sampai pasien dapat mobilisasi.
Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
Dalteparin
Enoxaparin
Lebih efektif dan memiliki risiko lebih rendah perdarahan.
Dosis 2500-5000 unit secara subkutan sekali setiap hari sampai 5-10 hari atau pasien dapat mobilisasi.
Dosis 40 mg secara subkutan setiap hari sampai pasien dapat mobilisasi.
Inhibitor faktor Xa
Fondaparinux
Biasa digunakan untuk profilaksis operasi besar ortopedik.
Dosis 2,5 mg secara subkutan sekali setiap hari sampai pasien 5-9 hari. Tambahan 24 hari untuk operasi fraktur pinggul.
Antagonis vitamin K
Warfarin
Biasa digunakan untuk pencegahan sekunder
Dosis terapi dengan waktu Protrombin ekuivalen dengan INR 2,0-3,0.
Antiplatelet
Dapat digunakan bersama-sama dengan antikoagulan. ACCPa tidak merekomendasikan penggunaan antiplatelet sendiri sebagai pencegahan tunggal
Gambar 4. Evaluasi penentuan penggunaan tromboprofilaksis
Selain secara farmakologis, pencegahan dapat juga dengan metode mekanik seperti penggunaan stoking elastis (graduated compression stocking/GCS), intermitten pneumatic compression (IPC), venous foot pump (VFP). Metode mekanik ini tidak menimbulkan risiko perdarahan namun tidak seefektif pencegahan dengan medikamentosa.
Terapi
DVT akut dengan menggunakan antikoagulan dan trombolitik (Tabel 16). Terapi antikoagulan direkomendasikan selama 3-12 bulan bergantung pada situs trombosis dan faktor risiko pada pasien. Bila DVT berulang, bila terdapat status hiperkoagulasi kronik, dan emboli paru, pengobatan seumur hidup mungkin dipertimbangkan. Tata laksana ini memiliki risiko kumulatif komplikasi perdarahan kurang dari 12%. Sebagian besar pasien dengan DVT aman diterapi secara rawat jalan kecuali pada pasien:21
Terdapat emboli paru konkomitan
Terdapat komorbid penyakit paru dan kardiovaskular
Area iliofemoral
Kontraindikasi antikoagulasi
Kelainan koagulasi dan perdarahan familial
Kehamilan
Obesitas berisiko (> 150 kg)
Gangguan ginjal (Cr > 2 mg/dL)
Ketidakmampuan untuk follow up rutin seperti kendala geografi
Tabel 16. Obat-obatan untuk terapi DVT akut/PE.1
Antikoagulan
Unfractionated heparin (UFH)
Loading dose diberikan sebesar 80 unit/kgBB secara bolus dilanjutkan 18 unit/kgBB per jam secara infus kontinu hingga tercapai aPTT sebesar 2-3 kali kontrol.
Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
Dalteparin
Enoxaparin
Tinzaparin
Lebih efektif dalam mencegah rekurensi dan memiliki risiko lebih rendah perdarahan. Tidak memerlukan pemantauan PTT dan dapat digunakan pada pasien rawat jalan.
Dosis 200 unit/kgBB 1-2 kali sehari secara subkutan. Digunakan untuk DVT
Dosis 1 mg/kgBB dua kali sehari secara subkutan. Dapat untuk DVT dan PE
Dosis 175 unit/kgBB sekali sehari secara subkutan. Dapat untuk DVT dan PE
Inhibitor faktor Xa
Fondaparinux
Dapat untuk DVT dan PE.
Diberikan secara subkutan sekali sehari. Dosis:
Dosis 5 mg, BB < 50 kg
Dosis 7,5 mg, BB 50-100 kg
Dosis 10 mg, BB > 100 kg
Antagonis vitamin K
Warfarin
Biasa digunakan untuk pencegahan sekunder
Dosis terapi dengan waktu Protrombin ekuivalen dengan INR 2,0-3,0.
Selain itu, dapat dilakukan fisioterapi dengan latihan gerak sendi pasif hingga aktif dengan bantuan setelah 48 jam pemberian heparin. Penggunaan stoking elastik dapat juga diberikan.
Ulkus dekubitus
Ulkus dekubitus adalah kerusakan kulit dan jaringan lunak di bawahnya, akibat tekanan pada penonjolan tulang dan permukaan luar yang terus menerus pada jaringan dalam periode waktu tertentu. Empat faktor yang berperan penting terhadap patogenesis terjadinya ulkus dekubitus yaitu:3,22
Tekanan, lebih besar dari 25 mmHg
Daya regang, besar gaya yang memberikan penekanan pada permukaan.Pada usia lanjut, diperberat dengan kondisi jaringan kulit yang kendur dan longgar
Friksi(gesekan).Gesekan antara kulit dan permukaan seprei, pakaian, dapat menyebabkan trombosis dari pembuluh darah kecil, mengakibatkan aliran darah tidak adekuat.
Kelembaban, seperti pada pasien geriatri dengan inkontinensia urin.
Adanya keradangan pada tingkat epidermis dalam bentuk eritema, indurasi, edema, sedangkan kulit sendiri masih tampak intak merupakan stadium awal dari suatu ulkus dekubitus. Berdasarkan modifikasi klasifikasi Shea, ulkus dekubitus dibagi menjadi empat stadium yang dapat dilihat pada tabel 17 dan gambar 5. Ulkus dekubitus juga dapat dibagi berdasarkan waktu penyembuhan dan suhu ulkus dengan kulit sekitarnya (Tabel 18).
Tabel17. Stadium ulkus dekubitus berdasarkan modifikasi klasifikasi Shea.1
Stadium
Manifestasi klinis
Stadium I
Edema nonblanchable pada kulit yang masih utuh atau perubahan warna kulit yang hangat, edema, dan berindurasi pada pasien dengan kulit gelap
Stadium II
Peradangan/kerusakan mencapai tingkat dermis sampai perbatasan lemak subkutan. Telah terjadi kehilangan kulit epidermidis dan/atau dermis, dapat terbentuk bula, abrasi, atau ulkus dangkal. Selain itu, juga dapat dapat terjadi fibrosis dan perubahan pigmen
Stadium III
Ulkus sudah mencapai jaringan lunak dan lapisan fasia dalam. Dasar ulkus sering terinfeksi dan didapatkan jaringan nekrotik
Stadium IV
Telah ada keterlibatan otot dan tulang. Tulang menjadi dasar ulkus, pada stadium ini, osteomielitis dan artritis septik dapat menjadi komplikasinya
STAGE ISTAGE IISTAGE IIISTAGE IV
STAGE I
STAGE II
STAGE III
STAGE IV
Gambar 5. Stadium dari ulkus dekubitus (Gambar diunduh tanggal 10 November 2013 dari http://www.lhsc.on.ca/Health_Professionals/Wound_Care/p_chart.htm)
Tabel 18. Tipe ulkus dekubitus1
Tipe
Manifestasi klinis
Lama penyembuhan
Normal
Perbedaan suhu dengan kulit sekitar kurang dari 2,5oC
6 minggu
Arteriosklerotik
Terdapat gangguan aliran darah akibat arteriosklerotik. Perbedaan temperatur dengan kulit sekitar kurang dari 1oC
10 minggu
Terminal
Terjadi pada pasien yang akan meninggal
Tidak dapat sembuh
The Agency for Health Care Policy and Research (AHPCPR) menggalakan panduan untuk pencegahan ulkus dekubitus, yang meliputi pengkajian faktor risiko, perawatan kulit, pencegahan/perlindungan terhadap efek tekanan, gesekan, dan regangan, dan terapi awal ulkus dekubitus serta program edukasi mengenai ulkus dekubitus.1
Evaluasi faktor risiko pada pasien yang mengalami imobilisasi harus dilakukan. Evaluasi faktor risiko dilakukan ketika pasien geriatri masuk ke rumah sakit, panti werdah, program perawatan rumah, dan fasilitas kesehatan lainnya. Risiko ulkus dekubitus harus dievaluasi berkesinambungan dan diulang setiap ada perubahan dalam tingkat aktivitas atau mobilisasi. Individu yang harus berbaring atau duduk dalam jangka panjang atau dengan ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas atau berubah posis dianggap sebagai kelompok risiko tinggi.1
Beberapa alat bantu untuk menilai risiko ulkus dekubitus, antara lain adalah dengan menggunakan skala Norton (< 14 = rentan, < 12 = berisiko sangat tinggi)1.Alat bantu lainnya adalah skala Braden (15-16 = risiko rendah, 13-14 = risiko sedang, < 12 = risiko tinggi). Jika nilai kurang dari 16, tindakan pencegahan perlu dilakukan.23
Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah ulkus dekubitus adalah:1,23
Perawatan kulit dan terapi awal.
Kulit pasien setiap hari harus diamati secara sistemik, kulit perlu dibersihkan dengan bahan yang lembut secara rutin dan hindari pemakaian air. Hindari paparan terhadap dingin, cedera, dan kekeringan. Dapat diberikan pelembab untuk kulit kering. Kurangi kelembaban akibat keringat, paparan basah, atau drainase luka. Bahan topikal yang mengurangi kelembaban juga dapat digunakan.
Latihan dan penatalaksanaan inkontinensia.
Inkontinensia dapat meningkatkan kelembaban pada kulit sehingga berisiko terjadinya ulkus. Jika inkontinensia tidak dapat dikendalikan, setelah penatalaksanaan yang sesuai, dapat digunakan bahan absorptif atau alas ompol (underpad).
Pencegahan terhadap tekanan, gesekan, dan regangan
Mengubah posisi (reposisi) sesering mungkin dapat mencegah efek akibat tekanan, gesekan, dan regangan. Umumnya dengan mengubah punggung pasien miring 30o dari permukaan tempat tidur bergantian ke kanan dan kiri yang dilakukan setiap 2-3 jam untuk risiko tinggi dan 2-4 kali per hari untuk risiko rendah. Hindari posisi 90oterhadap permukaan tubuh yang sempit atau penonjolan tulang.
Untuk mencegah gaya renggangan, jangan mengambil posisi yang rentan terhadap penarikan kulit atau lekukan pada pembuluh darah seperti jangan mendudukan pasien pada sudut 30o karena menyebabkan lekukan pembuluh darah pada gluteal dan sakrum.
Support surfaces
Pengurangan tekanan dapat menggunakan matras/penopang terutama pada saat mempertahankan posisi atau mencegah kontak yang berisiko tekanan besar. Penggunaan alas atau pelindung pada daerah-daerah rentan trauma dapat mencegah gesekan. Beberapa studi yang meneliti efektifitas berbagai support surface dengan hasil yang beragam, yang terbukti cukup efektif diantarnya adalah matras khusus, foam, kulit domba yang lebih tebal, alas yang dilapisi gel. Masih terdapat perdebatan mengenai dynamic support vs static support. Sebuah penelitian menunjukkan reposisi setiap 4 jam dan penggunaan matras khusus lebih baik daripada reposisi setiap 2 jam tanpa menggunakan matras khusus.
Perbaikan nutrisi
Sebuah studi yang cukup baik menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol (diet biasa) risiko relatif terjadinya ulkus dekubitus pada perawatan di rumah sakit sebesar 1,5 kali dibanding kelompok intervensi.
Edukasi
Edukasi terhadap tenaga kesehatan, pasien, keluarga, dan pramuwerdha (caregiver) mengenai faktor risiko dan perawatan pada pasien dengan faktor riaiko dapat mengurangi angka kejadian ulkus dekubitus.
Sedangkan untuk penatalaksanaan dari ulkus dekubitus, sesuai dengan panduan AHCPR, meliputi1,3,22
Pendekatan sistemik
Status hidrasi dan nutrisi yang adekuat sangat diperlukan untuk penyembuhan ulkus dekubitus. Pada pasien malnutrisi, nutrisi yang diberikan sekitar 30 – 35 kalori/kgBB/hari dengan protein sebanyak 1,25 – 1,5 g/kgBB/hari.
Pada stadium I dan II, pemberian antiobiotika dapat dipertimbangkan. Pada stadium III diberikan jika didapati bakteriemia, sepsis, selulitis dan osteomielitis. Pada stadium IV pemberian antibiotika secara sistemik.Antibiotik empiris harus berspektrum luas, mencangkup bakteri gram positif, gram negatif, dan anaerob, seperti ampisilin-sulbaktam, imipenem, meropenem, tikarsilin klavulanat, piperasilin tazobaktan, dan kombinasi klindamisin dengan siprofloksasin atau aminoglikosida dapat menjadi pilihan yang sesuai untuk terapi empiris. Antibiotik sistemik juga digunakan untuk profilaksis terhadap endocarditis bakterial pada pasien yang akan dilakukan debrideman ulkus.
Penggunaan tempat tidur, alas, atau matras khusus
Penggunaan air-fluidized, low-air-loss bed, atau tempat tidur khusus yang dapat mengubah posisi pasien secara otomatis sangat disarankan.
Perawatan lokal
Pada stadium I dan II umumnya tidak memerlukan pemberian terapi topikal, cukup menjaga kelembaban dan kebersihan ulkus. Pada luka bersih namun tidak menyembuh setelah 2 – 4 minggu dengan perawatan optimal, dapat dipertimbangkan pemberian antibiotik topikal seperti silver sulfadiazin selama 2 minggu. Hindari penggunaan povidon-iodin, hidrogen peroksida, dan asam asetat.
Debrideman harus adekuat bila terdapat jaringan nekrotik. Setelah ulkus bersih dan epitelisasi mulai, lakukan dressing (penutup luka) untuk mempertahankan kelembaban tanpa menghambat penyembuhan.
Manajemen nyeri perlu dilakukan terutama nyeri pada saar debrideman. Pijat manual sirkular pada tepi ulkus dekubitus, dengan menggunakan alat seperti phonophoresis, dapat memperbaiki vaskular daerah luka dan merangsang epitelisasi jaringan.
Dukungan nutrisi
Beberapa studi menunjukkan manfaat pemberian vitamin C, tetapi tidak didapatkan perbedaan pada pemberian dosis tinggi maupun dosis rendah. Studi lain menunjukkan diet tinggi protein saja tidak cukup, dengan suplementasi zinc, arginine dan antioksidan memberikan penyembuhan yang lebih baik.
Penutup luka
Dari systematic review terhadap 7 uji klinis acak (collagenase vs fibrinolysin atau deoxyribonuclease, collagenase vs hydrocolloid, radiant heat dressing vs hydrocolloid dan/ atau alginate dan phenytoin solution vs normal saline) menunjukkan tidak didapatkan perbedaan dengan penutup luka jenis apapun.
Pembedahan
Debrideman dan nekrotomi dilakukan pada stadium III dan IV. Pada stadium IV dapat pembedahan rekonstruksi meliputi penutupan luka, cangkok kulit, dan flap miokutaneus serta membuang fragmen tulang yang menonjol. Amputasi dapat dipertimbangkan pada ulkus yang terinfeksi yang menyebabkan komplikasi.
Terapi eksperimental
Terapi oksigen hiperbarik serta beberapa jenis terapi topikal dan faktor pertumbuhan (growth factor) dapat dipertimbangkan sebagai terapi adjuvan. Platelet-derived growth factor (PDGF), dari 3 uji klinik acak, menunjukkan hasil yang memuaskan dalam terapi ulkus dekubitus.
Hipotensi Ortostatik
Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan darah sistolik >20 mmHg atau diastolik >10 mmHg yang terjadi segera dalam waktu 2- 3 menit dari posisi berbaring ke posisi tegak dan dapat disertai keluhan pusing atau sinkop (hipotensi ortostatik simptomatik).1
Hipotensi ortostatik dapat dicegah dengan mobilisasi bertahap secara cepat. Perubahan posisi dari berbaring ke posisi duduk dilakukan secepatnya dengan kakik menggantung kebawah sambil digerak-gerakan. Evaluasi terhadap faktor risiko terjadinya hipotensi ortostatik perlu dilakukan dengan cermat. Medimentosa seperti obat-obat anti hipertensi, diuretik, antiparkinson, antipsikotik, antidepresan, dan vasodilatasi dapat menyebabkan hipotensi ortostatik. Defisit cairan juga dapat menyebabkan hipotensi ortostatik.1
Bila telah terjadi hipotensi ortostatik, maka atasi faktor risiko yang reversibel dan dapat dilakukan latihan rekondisi untuk memulihkan tekanan darah menjadi normal serta penggunaan alat seperti stoking elastik pada abdomen dan ekstremitas bawah dapat juga membantu mengatasi hipotensi ortostatik.
Kontraktur
Kontraktur adalah deformitas akibat pemendekan serabut otot akibat imobilisasi pada posisi non fungsional contohnya berbaring lama pada posisi tungkai menekuk, membuka keluar, atau drop foot.1
Pencegahan kontraktur dapat dilakukan dengan body positioning/stretching seperti mobilisasi bertahap secara cepat, proper positioning, dan static splinting. Apabila telah terjadi kontraktur, dapat dilakukan latihan sendi ekstremitas baik secara aktif maupun pasif yang disertai slow stretching minimal 1 – 2 kali sehari. Stretching dapat ditambahkan dengan terapi diatermi untuk lebih mempermudah mobilisasi.1
Instabilitas dan jatuh
Jatuh merupakan masalah yang serius pada populasi lanjut usia. Setiap tahun, sekitarsepertiga populasi usia usia diatas 65 tahun dan 50% dari populasi diatas 80 tahun pernah mengalami jatuh. Setengah dari populasi tersebut mengalami jatuh berulang. Sekitar 7% dari populasi di atas 75 tahun masuk ke unit gawat darurat setiap tahun dan lebih dari 40% dari kunjungan tersebut perlu dirawat di rumah sakit.Kejadian lebih banyak pada wanita daripada pria.
Data di Klinik Layanan Terpadu Usia Lanjut RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (2007) menunjukkan angka kejadian instabilitas sebesar 19,3% atau 661 kasus. ngka tersebut mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan data hasil penelitian Handayani tahun 2003. Kejadian instabilitas di divisi Geriatri RSUPN Cipto Mangunkusumo dilaporkan sebesar 23,3%.20 Selain gangguan keseimbangan, seiring dengan penuaan juga terjadi penurunan kecepatan berjalan sekitar 0,2% per tahun sampai dengan usia 63 tahun. Penurunan kecepatan Penurunan kecepatan tersebut meningkat sampai dengan 1,6% per tahun setelah usia 63 tahun.1
Jatuh dapat menyebabkan cedera serius bahkan fatal pada lansia dan merupakan penanda klinis yang penting dalam kondisi frailty yang berhubungan dengan kondisi medis lainnya dan peningkatan tingkat mortalitas yang tidak berhubungan langsung dengan cedera akibat jatuh. Jatuh merupakan penyebab kelima kematian pada geriatri. Dampak dari jatuhpun sangat signifikan mempengaruhi kualitas hidup pada populasi lanjut usia.1
Faktor Presdisposisi dan presipitasi
Penyebab jatuh pada geriatri adalah multifaktorial, banyak hal yang berkontribusi terhadap terjadinya jatuh. Model epidemiologi mengenai hubungan host, agen (aktivitas), dan lingkungan merupakan faktor terjadinya insiden jatuh. Stabilitas, merupakan faktor pencegah jatuh, bergantung integrasi antara fungsi komponen sensorik, susunan saraf pusat, dan efektor muskuloskeletal. Komponen tersebut saling overlapping dan mengkompensasi satu sama lain, namun komponen tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi host seperti sistem kardiovaskular, respiratorik, dan metabolik, serta dipengaruhi juga oleh aktivitas dan lingkungan.Akumulasi perubahan atau gangguan yang mempengaruhi komponen tersebut dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya jatuh.Secara umum, faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik (Gambar 6)3, 13,24
FAKTOR INTRINSIKFAKTOR EKSTRINSIKJATUHKondisi medis dan neuropsikiatrikGangguan penglihatan dan pendengaranPerubahan neuromuskular, gait refleks postural, terkait usiaObat-obatanAlat bantu yang kurang tepatLingkungan
FAKTOR INTRINSIK
FAKTOR EKSTRINSIK
JATUH
Kondisi medis dan neuropsikiatrik
Gangguan penglihatan dan pendengaran
Perubahan neuromuskular, gait refleks postural, terkait usia
Obat-obatan
Alat bantu yang kurang tepat
Lingkungan
Gambar 6. Faktor intrinsik dan ekstrinsik jatuh
Penggunaan obat yang tidak tepat merupakan faktor risiko paling sering menyebabkan insiden jatuh pada geriatri (Tabel 19) Beberapa kondisi patologis yang timbul seiring dengan bertambahnya usia dapat memperbesar kemungkinan terjadinya instabilitas dan jatuh. Penyakit sendi degeneratif (terutama di leher, daerah lumbosakral, dan ekstremitas bawah) dapat menyebabkan nyeri, ketidakstabilan sendi, kelemahan otot, serta gangguan neurologis. Fraktur di pangkal paha dan femur dapat menyebabkan gaya berjalan yang abnormal dan kurang stabil. Kelemahan otot atau defisit sensori akibat stroke juga dapat menjadi penyebab instabilitas.25
Tabel 19. analisis pengaruh jensi obat terhadap risiko jatuh25
Golongan obat
Jumlah studi
Pooled OR
95% CI
Psikotropik
Neuroleptik
Sedatif
Anti depresan
Benzodiazepin
Diuretik
Digoksin
Anti aritmia kelas 1A
20
23
23
28
14
27
18
11
1,73
1,5
1,54
1,66
1,48
1,08
1,22
1,59
1,52-1,97
1,25-1,79
1,40-1,70
1,40-1,95
1,23-1,77
1,02-1,16
1,05-1,42
1,02-2,48
Selain faktor risiko yang telah disebutkan, kecelakan yang tidak terduga dan sinkop mendadak dapat menyebabkan insiden jatuh. Insiden jatuh juga disebabkan gangguan keseimbangan akibat penyakit vestibular maupun non vestibular.1,26
Gangguan keseimbangan dan cara berjalan pada akhirnya dapat menyebabkan jatuh dan selanjutnya patah tulang yang mengancam nyawa. Di Ruang Rawat Akut Geriatri RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (2001) tercatat 15 pasien dari 146 pasien yang dirawat karena instabilitas dan sering jatuh.Di ruangan yang sama pada tahun 1999, 2000, dan 2001 masing-masing tercatat sebanyak 25, 31, dan 42 pasien yang harus dirawat karena fraktur femur akibat jatuh.1
Hipotensi ortostatik juga berperan terhadap kejadian instabilitas dan jatuh. Hipotensi ortostatik terjadi pada sekitar 20% orang yang berusia 65 tahun atau lebih. Hipotensi ortostatik dapat dipengaruhi oleh obat-obatan, dehidrasi, atau akibat perubahan atau penyakit yang mempengaruhi kontrol otonom tonus vaskular. Sedangkan hipotensi postprandial dapat dicurigai pada orang yang mengeluh pusing atau jatuh setelah makan. Mereka dengan hipotensi ortostatik dan/atau postprandial memiliki risiko terjadinya sinkop dan jatuh bila mendapat terapi diuretik dan obat antihipertensi.21,24 tantripenyakit penyerta juga dapat menjadi penyebab terjadinya jatuh seperti penyakit kardiovaskular. Selain itu, kelainan pada saluran kemih seperti OAB, inkontinensia tipe urgensi, dan nokturia berhubungan pula dengan kejadian jatuh.27
Tabel 20. Hasil dari kumpulan analisis univarian terhadap faktor risiko jatuh yang paling sering.27
Faktor Risiko
Adjusted RR-OR
95% CI
Penggunaan medikasi
Gangguan kognitif
Kelemahan otot
Riwayat jatuh
Gangguan gait
Gangguan keseimbanganan
Penggunaan alat bantua
Gangguan penglihatan
Arthritis
Gangguan ADLb
Depresi
Masalah kaki
Usia > 80 tahun
28,3
5,0
4,4
3,0
2,9
2,9
2,6
2,5
2,4
2,3
2,2
1,8
1,7
3,4-239,4
1,8-13,7
1,5-10,3
1,7-7,0
1,3-5,6
1,6-5,4
1,2-4,6
1,6-3,5
1,9-2,9
1,5-3,1
1,0-2,3
1,0-3,1
1,1-2,5
a alat bantu keseimbangan/berjalan
bActivities of Daily Living
Kejadian jatuh pada geriatri sulit diprediksi kapan terjadinya. Sekitar 70% insiden jatuh ternyata terjadi pada saat berjalan biasa dirumah, 10% insiden jatuh terjadi pada saat menuruni tangga dan sekitar 5% pada saat menanjak kursi atau tangga, serta jatuh juga dapat dipicu pada saat pasien berubah posisi.27
Evaluasi risiko jatuh
Evaluasi risiko jatuh pada lanjut usia dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang komprehensif dan sistematis untuk mengidentifikasi semua faktor-faktor predisposisi. Perlu diperhatikan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi medis pada lanjut usia tidak khas dan saling mempengaruhi satu sama lain, sehingga menilai semua aspek dan faktor yang berkontribusi sangat essential. Dengan mengindetifikasi faktor-faktor tersebut diharapkan dapat menurunkan risiko jatuh dengan memodifikasi faktor-faktor tersebut.27
Dalam anamnesis perlu diketahui kondisi umum saat ini untuk melihat risiko kasar terjadinya jatuh. Riwayat jatuh sebelumnya termasuk gejala yang mendahuluinya, lokasi, situasi sekitar saat terjatuh perlu juga ditelusuri. Kondisi medis yang berhubungan dengan risiko jatuh perlu dievaluasi satu persatu seperti penyakit neurologis perlu pemeriksaan keseimbangan, gait, tonus otot, dan koordinasi. Evaluasi kondisi lain dan intervensinya dapat dilihat di tabel 21.27
Tabel 21. Faktor predisposisi jatuh dan intervensi27
Faktor Predisposisi
Contoh intervensi
Sensorik
Visual: tajam penglihatan, persepsi
Pendengaran
Disfungsi vestibular
proprioseptif
Saraf pusat
Penyakit saraf pusat : seperti parkinson, NPH
Dementia
Muskuloskeletal
Kelemahan otot: ekstremitas atas dan bawah
Arthropati
Gangguan kaki: propioseptif, pola gait
Lain-lain
Hipotensi postural
Depresi
Medikamentosa
Tata laksana penyakit dasar, koreksi refraksi, ekstrasi katarak, pencahayaan yang baik
Tata laksana penyakit dasar, hearing aid, mengurangi bising
Tata laksana penyakit dasar, latihan vestibular, hindari obat vestibulotoksik
Tata laksana penyakit dasar, latihan keseimbangan, koreksi pola berjalan
Tata laksana penyakit dasar, fisioterapi
Tata laksana penyakit dasar, instrumentasi, ambulansi
Tata laksana penyakit dasar, latihan keseimbangan dan gait
Tata laksana penyakit dasar, rehidrasi, hindari obat pencetus, elevasi kepala saat tidur
Antidepresan dengan efek antikolinergik minimal
Penggunaan dosis efektif yang paling minimal atau dihentikan bila memungkinkan
Pada pasien yang mengalami jatuh, diperlukan evaluasi yang komprehensif terdiri atas anamnesis yang rinci termasuk riwayat jatuh dan riwayat medis lainnya terutama faktor risiko terjadinya jatuh, pemeriksaan fisik, pengkajian cara berjalan dan keseimbangan, pengkajian terhadap kondisi lingkungan tempat pasien tinggal atau terjatuh, serta pada keadaan tertentu dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium (Gambar 7).
Pada insiden jatuh pertama kali, sangat penting untuk mencari mekanisme, situasi, waktu, lokasi, dan faktor penyebab/pencetus terjadi jatuh. Pada pemeriksaan fisik, perlu dilakukan pemeriksaan keseimbangan dan gait salah satunya denganGet up and Go Test. Bila terdapat kelainan maka perlu dilakukan evaluasi mendalam. Pada pasien yang jatuh berulang atau terdapat faktor risiko jatuh, anamnesis sebaiknya difokuskan pada riwayat medis umum dan pengobatan pasien, pendapat pasien tentang penyebab jatuh, lingkungan tempat pasien jatuh, gejala dan tanda yang menyertai (seperti palpitasi akibat aritmia atau gejala neurologis fokal akibat transient ischemic attack), dan apakah terdapat riwayat kehilangan kesadaran. Adanya riwayat kehilangan kesadaran setelah jatuh penting diketahui dan patut dicurigai kelainan jantung (aritmia sesaat atau blok jantung) ataupun kejang (terutama bila terdapat inkontinensia). Pemeriksaan pada penyakit penyerta perlu dilakukan sperti pada pasien dengan penyakit kardiovaskular, gangguan saraf, dan DM.3,24
Gambar 7. Evaluasi terhadap pasien uia lanjut yang mengalami jatuh28
Oleh karena jatuh dapat disebabkan oleh berbagai penyakit akut, maka pada pemeriksaan fisik harus benar-benar diperhatikan tanda vital pasien. Adanya demam, takipnu, takikardi, dan hipotensi perlu dikaji untuk mencari adanya penyakit akut seperti pneumonia atau sepsis, infark miokard, emboli paru, atau perdarahan gastrointestinal. Adanya hipotensi postural juga perlu diwaspadai karena selain dapat terjadi pada lansia yang sehat dan tanpa gejala, dapat pula terjadi pada orang yang mengalami deconditioning akibat imobilisasi berkepanjangan atau mengalami insufisiensi vena. Hipotensi postural dapat diakibatkan oleh dehidrasi, kehilangan darah akut, atau efek samping obat.27,29
FirstTargetSecondTargetThirdTargetFourthTarget
First
Target
Second
Target
Third
Target
Fourth
Target
Gambar 8. Pendekatan sistematik tata laksana jatuh
Tata Laksana Jatuh
Prinsip dasar tata laksana lansia dengan masalah instabilitas dan jatuh adalah mengkaji serta mengobati trauma fisik akibat jatuh.Morbiditas paling sering dari jatuh adalah fraktur pelvis terutama pada wanita dengan osteoporosis, ketidakmampuan untuk bangun tanpa bantuan, dan kecemasan untuk jatuh kembali serta kehilangan kepercayaan diri.30
Jatuh adalah sumber mortalitas dan morbiditas pada lanjut usia yang dapat dicegah. Dalam menangani pasien usia lanjut yang mengalami jatuh, yang pertama dilakukan adalah mengobati jejas fisik terlebih dahulu, kemudian menangani kondisi yang mendasarinya, mencegah terulangnya jatuh. Edukasi dan terapi fisik seperti latihan keseimbangan, penguatan otot, alat bantu, terapi perilaku juga perlu dilakukan. Modifikasi lingkungan juga tidak kalah pentingnya, terutama dalam mencegah terulangnya jatuh, seperti alat-alat rumah tangga, furnitur, karpet, tangga, pencahayaan yang disesuaikan.3 Pada gambar 8 dapat dilihat pendekatan sistematik pencegahan insiden jatuh dan fraktur pada lanjut usia. Pencegahan terbagi atas empat tahap yaitu:30
Target pertama: Penatalaksanaan pada insiden jatuh dengan komplikasi fraktur panggul.
Perlu adanya usaha untuk terus memperbaiki kondisi pada pasien dengan fraktur panggul tidak stabil baik pada prognosis, waktu operasi, lama perawatan, maupun pencegahan pasca perawatan.
Target kedua: Penatalaksanaan pada insiden jatuh tanpa komplikasi fraktur
Dalam menata laksana pasien jatuh, perlu melibatkan berbagai disiplin ilmu karena penilaian multidisiplin dalam pencegahan kejadian jatuh berulang akan menurunkan angka kejadian jatuh di masa yang akan datang. Penilaian multidisiplin pada pasien di rumah sakit mampu menurunkan risiko kejadian jatuh berikutnya pada lansia dengan jatuh rekuren yang tinggal di komunitas sebesar 9%.24Kemudahan dalam mengakses pusat pelayanan harus sangat diperhatikan untuk pencegahan sekunder dan pemantauan berkala pada pasien geriatri dapat menurunkan risiko jatuh berulang.
Mengobati berbagai kondisi yang mendasari instabilitas dan jatuh juga sangat penting pasca insiden jatuh. Memberikan terapi fisik dan edukasi berupa latihan cara berjalan, penguatan otot, alat bantu, sepatu atau sandal yang sesuai, serta mengubah lingkungan agar lebih aman seperti pencahayaan yang cukup, pegangan, dan lantai yang tidak licin dapat mencegah terjadi jatuh berulang.20
Target ketiga: Penatalaksanan atau intervensi awal pada kelompok risiko tinggi.
Perlunya identifikasi multifaktor risiko, seperti yang telah disebutkan diatas, pada lanjut usia kelompok risiko tinggi serta penanganan segera terhadapat faktor-faktor risiko tersebut. Untuk pasien lansia dengan risiko tinggi jatuh dan fraktur pangkal paha, penggunaan hip protector sebaiknya dipertimbangkan. Meskipun berbagai studi klinis dan metaanalisis telah dilakukan, tidak terdapat bukti pasti bahwa hip protector mengurangi morbiditas pada pasien jatuh. Namun, pada pasien risiko tinggi yang menggunakan hip protector, alat tersebut dapat menjadi alat preventif yang sederhana dan relatif tidak mahal.21
Target keempat: Pencegahan primer insiden jatuh.
Proses penuaan tidak dapat dicegah, oleh karena itu diperlukan intervensi sejak awal (sebelum masuk usia lanjut) untuk menahan atau mencegah terjadinya faktor predisposisi jatuh. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan aktivitas fisik yang sehat, memodifikasi gaya hidup, dan mengurangi faktor risiko yang berasal dari eksternal. Intervensi pencegahan ini bersifat individual yang tidak dapat disamakan pada setiap pasien.27 Komponen penting yang harus diperhatikan dari tata laksana multidisiplin adalah olahraga dan latihan untuk memperbaiki defisit keseimbangan, mobilitas, dan kekuatan; memperbaiki defisit sensorik (penglihatan, pendengaran, vestibular, dan fungsi proprioseptif); evaluasi dan terapi hipotensi postural; mengkaji dan mengurangi obat-obatan; menata laksana masalah kaki; serta modifikasi lingkungan dan menggunakan alat bantu.24
Olahraga merupakan bagian penting dari strategi pencegahan jatuh. Olahraga tersebut meliputi latihan kekuatan dan keseimbangan di bawah pengawasan terapis fisik. Dengan demikian akan memperbaiki rasa percaya diri lansia dan mengurangi rasa takut akan jatuh sehingga menurunkan angka kejadian jatuh. Selain itu, lansia juga dapat diajarkan cara untuk bangkit dari lantai setelah jatuh.24,25,28
Vitamin D dipercaya dapat menurunkan kejadian jatuh dengan meningkatkan kekuatan otot. Namun, bukti dari 13 studi dengan 23.112 partisipan menyatakan bahwa vitamin D tidak efektif dalam menurunkan kejadian jatuh pada lansia, dengan kemungkinan pengecualian bagi mereka yang mengalami defisiensi vitamin D.28
Studi Gillespie, dkk. (2009) mengemukakan bahwa intervensi lingkungan rumah tidak menurunkan kejadian jatuh (RaR 0,90; 95% CI 0,79 – 1,03 dan RR 0,89; 95% CI 0,80 – 1,00), tetapi efektif bagi mereka dengan gangguan penglihatan berat dan memiliki risiko jatuh yang lebih tinggi. Penggunaan sepatu anti-slip pada lantai yang licin dapat mengurangi kejadian jatuh (RaR 0,42; 95% CI 0,22 – 0,78).28,29
Beberapa obat-obatan meningkatkan risiko jatuh. Penghentian obat psikotropik secara bertahap serta modifikasi peresepan yang komprehensif oleh dokter pelayanan primer dapat menurunkan kejadian jatuh, tetapi tidak dengan risiko jatuh. Intervensi pemedahan juga diuji pada beberapa studi, meskipun dalam jumlah sedikit. Hasil tinjauan studi tersebut adalah bahwa alat pacu jantung untuk orang dengan hipersensitivitas sinus karotid dan operasi katarak pada mata yang terkena dapat menurunkan kejadian jatuh pada lansia.28,29
Penurunan intelektual (delirium dan demensia)
Delirium dan demensia dapat ditemukan pada usia lanjut, pada keduanya didapatkan penurunan fungsi kognitif. Delirium bersifat reversibel, sedangkan demensia progresif. Keduanya dapat saling tumpang tindih dimana usia lanjut rentan mengalami delirium pada setiap kondisi medis akut.
Delirium dan demensia dapat dibedakan dari:3
Delirium
Demensia
Onset
Akut, mendadak, sering muncul pada malam hari
Perlahan, progresif
Perjalanan
Fluktuatif, dengan interval lucid umumnya pada pagi hari
Umumnya stabil progresif
Durasi
Jam – minggu
Bulan – tahun
Kewaspadaan
Menurun
Baik
Atensi
Menurun/ meningkat, mudah dialihkan, berfluktuasi
Biasanya normal (pada saat awal)
Orientasi
Biasanya terganggu untuk waktu, tempat dan orang
Seringkali terganggu
Memori
Terganggu untuk jangka pendek dan menengah
Terganggu dari jangka sangat pendek hingga jangka panjang (seiring dengan progresivitas)
Proses berpikir
Disorganisasi
Kemampuan berpikir menurun
Persepsi
Ilusi dan halusinasi, cukup sering
Biasanya normal
Bicara
Inkoheren, tidak lancar, lambat atau cepat
Kesulitan menemukan kata-kata
Siklus tidur-bangun
Selalu terganggu
Terfragmen
Penyakit fisik, keracunan obat
Didapatkan
Seringkali tidak ada, umumnya penyakit Alzheimer
Gambar 9. Karakteristik perjalanan demensia karena penyakit Alzheimer dan demensia vaskuler (multi-infark) dan perbedaanya dengan delirium (Wattis and Curran, 2009)
Delirium
Delirium merupakan kondisi dimana terjadi fluktuasi akut dari kesadaran, atensi, dan kognitif. Delirium merupakan penyebab yang sering, serius, berpotensi menyebabkan morbiditas dan mortalis pada lanjut usia namun delirium juga merupakan gangguan yang dapat dicegah atau reversibel. Prevalensi delirium (studi Inouye. 2006) pada pasien yang masuk rumah sakit sekitar 14-24% dan inisiden terjadinya delirium di rumah sakit 6 hingga 56 %.Delirium juga terjadi pada 15-53% pada pasien lansia pasca operasi dan 70-87% pada pasien di unit perawatan intensif.31-35 Sedangkan prevalensi sindrom delirium Prevalensi sindrom delirium di ruang rawat akut geriatri RSCM pada tahun 2004 adalah sebesar 23%, sedangkan insidensnya mencapai 17% pada pasien yang sedang dirawat inap.36
Selain itu, tingkat mortalitas pasien dengan sindrom delirium sebesar 22 – 76%. Angka tersebut sama tinggi dengan tingkat mortalitas yang berhubungan dengan infark miokard akut atau sepsis.34,35
Delirium sebelumnya dianggap kondisi yang bersifat transien dan reversibel, namun berdasarkan studi delirium dapat persisten.37,38 Durasi delirium lebih dari 30 hari merupakan tipikal pada pasien lanjut usia dan terjadi pemanjangan fase transisional yang ditandai gangguan kognitif, afektif, dan perilaku. Bahkan 20% pasien memerlukan 6 bulan untuk pulih dari delirium.37
Diagnosis
Diagnosis delirium sering menggunakan kriteria Diagnostic and Statictical Manual Version IV (DSM-IV) oleh American Psychiatric Association. Dalam DSM-IV, disebutkan kriteria diagnosis untuk delirium adalah:34-36,39
Gangguan kesadaran disertai dengan menurunnya kemampuan untuk memusatkan, mempertahankan, dan merubah perhatian
Perubahan kognitif seperti defisit memori, disorientasi, gangguan berbahasa) atau perkembangan gangguan persepsi yang tidak berkaitan dengan demensia sebelumnya, yang sedang berjalan atau memberat
Perkembangan dari gangguan selama eriode waktu yang singkat (umumnya jam sampai hari) dan kecenderungan untuk berfluktuasi dalam perjalanan hariannya
Bukti dari riwayat, pemeriksaan fisik atau temuan laboratorium, bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh: (a) kondisi medis umum, (b) intoksikasi, efek samping, putus obat dari suatu substansi
Selain kriteria diagnosis berdasarkan DSM-IV, dapat juga menggunakan algoritma The Confusion Assessment Method (CAM). CAM merupakan metode standarisasi sehingga memungkinkan identifikasi demensia dengan lebih cepat dan akurat. Algoritma CAM (Tabel 22) memiliki sensitivitas 94-100%, spesifisitas 90-95%, nilai prediksi positif 91-94%, dan nilai prediksi negatif 90-100% dalam menentukan delirium.40,41
Tabel 22. Algoritma kriteria diagnostik delirium berdasarkan CAM.25,41
Kriteria 1. Onset akut dan adanya fluktuasi
Kriteria ini dapat didapatkan dengan anamnesis dari pihak keluarga dengan pertanyaan: adakah perubahan status mental/perilaku yang akut? Apakah ada perubahan (fluktuasi) perilaku yang terjadi sepanjang hari? Bila terdapat fluktuasi, apakah hilang timbul atau gradasi perbaikan dan perburukan?
Kriteria 2. Inatensi
Kriteria ini dapat didapatkan dengan pertanyaan: Apakah pasien terdapat kesulitan berkosentrasi?
Kriteria 3. Gangguan pikir
Kriteria ini dapat didapatkan dengan pertanyaan: Apakah pasien terdapat inkoherensi dalam percakapan? Apakah terdapat pemikiran/ide yang tidak masuk akal?
Kriteria 4. Gangguan tingkat kesadaran
Kriteria ini dapat didapatkan bila pasien dalam keadaan apapun selain kompos mentis
Diagnosis delirium ditegakkan dengan adanya kriteria 1 dan 2 ditambah kriteria 3 atau 4.
Delirium dapat terjadi karena multifaktor yang merupakan interaksi antara faktor predisposisi dengan faktor presipitasi (tabel 23). Faktor predisposisi terjadinya delirium,antara lain: gangguan kognitif sebelumnya seperti demensia, penyakit penyerta seperti penyakit keganasan, kardiovaskular, neurologi, dan ginjal, gangguan metabolik dan elektrolit, infeksi, gangguan fungsional, umur lanjut, dehidrasi, malnutrisi, dan gangguan indera seperti penglihatan dan pendengaran.32 Demensia merupakan faktor predisposisi paling sering terjadinya delirium. Pasien dengan demensia memiliki 2 sampai 5 kali risiko terjadinya delirium, bahkan lebih dari sepertiga pasien demensia memiliki demensia sebelumnya.
Obat-obatan merupakan faktor presipitasi paling utama terjadinya delirium, berkontribusi pada 40% kasus delirium.42 Obat yang sering menyebabkan delirium adalah obat yang memiliki efek psikoaktif seperti sedatif-hipnotik, narkotik, antihistamin H2, dan obat-obat yang memiliki efek antikolinergik. Pada sebuah studi didapatkan penggunaan obat yang memiliki efek psikoaktif meningkatkan risiko delirium sebesar 4 kali.32,42 Obat sedatif-hipnotik meningkatkan risiko 3-12 kali, obat narkotik meningkatkan risiko 3 kali, dan obat antikolinergik meningkatkan risiko 5-12 kali.31,43 Obat-obat lain yang dapat menimbulkan, antara lain: OAINS, antihipertensi, antibiotik, antiaritmia, digitalis, pelemas otot, dan steroid.3
Tabel 23. Faktor predisposisi dan presipitasi delirium.35
Faktor Predisposisi
Faktor Presipitasi
Karakteristik demografi
Usia 65 tahun atau lebih
Jenis kelamin laki-laki
Status kognitif
Demensia
Gangguan kognitif
Riwayat sindrom delirium
Depresi
Status fungsional
Ketergantungan fungsional
Imobilisasi
Aktivitas terbatas
Riwayat jatuh
Gangguan sensorik
Gangguan penglihatan
Gangguan pendengaran
Menurunnya asupan oral
Dehidrasi
Malnutrisi
Obat-obatan
Obat psikoaktif multipel
Polifarmasi
Penyalahgunaan alkohol
Penyakit penyerta
Penyakit berat
Penyakit ginjal atau hati kronik
Riwayat stroke
Penyakit neurologi
Gangguan metabolik
Fraktur atau trauma
Penyakit terminal
Infeksi HIV
Obat-obatan
Hipnotik sedatif
Narkotika
Antikolinergik
Polifarmasi
Putus obat atau alkohol
Penyakit neurologi
Stroke
Perdarahan intrakranial
Meningitis atau ensefalitis
Keadaan lain
Infeksi
Iatrogenik
Penyakit akut berat
Hipoksia
Syok
Demam atau hipotermia
Anemia
Dehidrasi
Status nutrisi buruk
Kadar albumin serum rendah
Gangguan metabolik
Pembedahan
Operasi ortopedi
Operasi kardiak
Operasi non-kardiak
Lingkungan
Perawatan ICU
Penggunaan kateter
Penggunaan prosedur multipel
Nyeri
Stres emosional
Gangguan tidur yang berkepanjangan
Pencegahan
Pencegahan primer, sebelum terjadinya delirium, merupakan strategi paling efektif mencegah terjadinya delirium dan komplikasinya. Oleh karena itu, identifikasi dan intervensi faktor-faktor risiko terjadinya delirium harus dilakukan secara cermat dan secepatnya. Pada sebuah RCT34,35,44 mengemukakan bahwa pencegahan primer terhadap faktor risiko dapat menurunkan 40% risiko terjadinya delirioum.Tabel memperlihatkan faktor risiko terjadinya delirium beserta intervensi untuk mencegahnya.
Tabel 24. Faktor risiko delirium dan intervensi25
Faktor Risiko
Program intervensi
Gangguan kognitif
Gangguan tidur
Imobilisasi
Medikasi
Gangguan penglihatan dan pendengaran
Dehidrasi
Program rehabilitasi aktif
Program orientasi realitas
Strategi reduksi tingkat kebisingan
Pengaturan jadwal pemberian obat pada malam hari
Mobilisasi dini
Instrumentasi alat bantu
Penggunaan dan pengaturan obat yang rasional
Program terapi nonfarmakologis
Perbaikan kondisi penglihatan dan pendengaran baik terapi kausal maupun alat bantu
Selalu menjaga status hidrasi dengan baik
Tata Laksana
Terapi nonfarmakologi
Pada delirium, penatalaksanaan dititikberatkan pada penyebab dasarnya. Penatalaksanaan non farmakologis harus dilakukan pada setiap pasien delirium.Tata laksana yang dapat diberikan pada pasien dengan delirium adalah melindungi jalan napas, memelihara status hidrasi dan nutrisi, memobilisasi pasien untuk mencegah ulkus dekubitus dan trombosis vena dalam, serta membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.35
Intervensi lingkungan dan sosial merupakan terapi nonfarmakologi yang sangat penting setelah pasien stabil. Tata laksana tersebut termasuk intervensi perilaku dan reorientasi seperti meningkatkan peran keluarga, penggunaan asisten, dan memodifikasi faktor-faktor sehingga mudah menjalankan fungsi sehari-hari dan mudah untuk disupervisi. Meningkatkan kepercayaan diri dan status fungsional dalam aktivitas sehari-hari sangat perlu dilakukan.
Terapi farmakologi
Tata laksana terapi farmakologi membutuhkan pertimbangan yang sangat hati-hati antara risk-benefit antara efektivitas pengobatan dengan efek samping. Penatalaksanaan farmakologis ditujukan hanya pada pasien yang agitasi atau membahayakan baik pasien sendiri maupun orang lain. Perlu ditekankan bahwa penggunaan obat untuk delirium adalah obat yang memiliki efek psikoaktif yang dapat mempengaruhi delirium juga. Oleh karena itu, penggunaan obat harus menggunakan dosis efektif yang minimal dengan durasi sependek-pendeknya.
Antipsikotik merupakan dasar terapi farmakologi sindrom delirium. Neuroleptik memperbaiki gejala, efektif pada pasien dengan gambaran klinis hiperaktif atau hipoaktif, dan umumnya dapat memperbaiki fungsi kognitif. Mula kerja obat ini cepat, perbaikan biasanya terjadi dalam beberapa jam atau hari.
Klorpromazin, droperidol, dan haloperidol memiliki efektifitas yang sama, tetapi haloperidol memiliki kelebihan karena memiliki metabolit aktif yang lebih sedikit, efek antikolinergik terbatas, serta efek sedatif dan hipotensif yang ringan. Meskipun penggunaan obat antipsikotik potensi tinggi seperti haloperidol dapat meningkatkan risiko efek samping ekstrapiramidal, tetapi insidens yang dilaporkan rendah. Bila keadaan memungkinkan, pemberian haloperidol secara intravena paling disarankan karena onset cepat dengan durasi pendek dibandingkan intramuskular.
Pemberian haloperidol intravena lebih jarang menimbulan efek samping ekstrapiramidal pada pasien dengan sindrom delirium. Sedangkan droperidol lebih baik digunakan bila membutuhkan mula kerja yang lebih cepat atau efek sedasi yang lebih besar. Pimozide merupakan antagonis kalsium yang kuat dan lebih sesuai untuk tata laksana delirium yang diserta hiperkalsemia.
Olanzapin dan risperidon dapat digunakan untuk kasus sindrom delirium yang tidak terkontrol. Obat ini memiliki efek sedasi ringan dan efek samping ekstrapiramidal yang lebih jarang. Namun, obat ini hanya tersedia dalam bentuk oral dan manfaat penggunaannya dalam terapi jangka pendek sindrom delirium masih belum jelas.45
Haloperidol diberikan 0,5 sampai 1 mg parenteral atau oral, diulang tiap 20-30 menit setelah semua tanda vital diperiksa. Endpoint pemberian haloperidol adalah pasien dalam keadaan sadar dan stabil bukan dalam keadaan sedasi. Pasien geriatri yang belum pernah mendapatkan obat antipsikotik sebelumnya loading dose tidak boleh melebihi 3-5 mg.31,32
Pada studi Lonergan, dkk (2009) menyatakan bahwa tidak terdapat bukti bahwa haloperidol dosis rendah (<3,0 mg per hari) memiliki efektivitas yang berbeda bila dibandingkan dengan antipsikotik atipikal olanzapin dan risperidon dalam menata laksana sindrom delirium. Selain itu, haloperidol dosis rendah juga tidak menyebabkan insidens efek samping yang lebih besar dibandingkan dengan olanzapin dan risperidon.46
Benzodiazepin tidak direkomendasikan untuk terapi delirium karena terdapat risiko oversedasi, depresi pernapasan, dan eksarsebasi status konfusional. Tetapi mereka tetap sebagai obat pilihan untuk terapi withdrawal syndrome dari alkohol dan obat sedasi-hipnotik. Benzodiazepin juga digunakan sebagai terapi ajuvan bagi pasien yang tidak dapat mentoleransi obat-obat antipsikotik karena dapat diberikan dosis yang lebih rendah. Untuk pasien lanjut usia, lorazepammerupakan agen rekomendasi karena memiliki mula kerja cepat, durasi pendek, tidak mempunyai metabolit aktif yang besar, dan bentuk parenteral. Lorazepam dapat diberikan dengan dosis awal 0,5-1,0 mg dapat dinaikan hingga 2 mg secara intravena atau intramuskular tiap empat jam.25,45
Demensia
Demensia merupakansindrom penurunan fungsi mental global dan progresif yang cukup berat sehingga mempengaruhi aktivitas kehidupan sehari-hari dan fungsi sosialnya. Demensia merupakan masalah besar dan serius yang dihadapi oleh negara-negara maju, dan telah menjadi masalah kesehatan yang mulai muncul di negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini disebabkan makin meningkatnya penyakit-penyakit degeneratif serta makin meningkatnya usia harapan hidup hampir di seluruh dunia.
Sebagian besar demensia ireversibel, hanya 5% yang dapat reversibel. Angka kejadian demensia meningkat seiring dengan pertambahan usia, jarang sekali didapatkan pada usia < 65 tahun, tetapi pada usia > 85 tahun dapat di atas 20%. Studi prevalensi menunjukkan bahwa pada populasi berusia lebih dari 65 tahun di Amerika Serikat, persentase orang dengan penyakit Alzheimer (penyebab terbanya demensia) meningkat dua kali lipat setiap penambahan umur 5 tahun. Tanpa pencegahan dan pengobatan yang memadai, jumlah pasien dengan penyakit Alzheimer di Amerika Serikat meningkat dari 4,5 juta pada tahun 2000 menjadi 13,2 juta orang pada tahun 2050.tanti38 Sedangkan di klinik geriatri RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2007 didapatkan 150 kasus demensia.1
Gejala dari demensia bervariasi antara lain penurunan daya ingat (terutama memori jangka pendek), disorientasi waktu dan tempat, gangguan dalam berbahasa, perubahan perilaku dan afek, perubahan kepribadian, dan menurunnya kemampuan melaksanakan aktivitas sehari-hari. Demensia pada geriatri terdiri atas demensia reversibel atau reversibel parsial dan ireversibel.1
Demensia reversibel.
Etiologi
Beberapa faktor risiko/penyakit dapat menyebabkan demensia reversibel (Tabel 25). Faktor risiko/penyakit tersebut sebagian besar dapat ditata laksana dengan baik sehingga dapat memulihkan pasien dari demensia. Tata laksana demensia menitikberakan pada faktor risiko/penyakit yang mendasarinya sehingga evaluasi yang cermat dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang sangatlah penting.
Tabel 25. Penyebab demensia reversibel47
Neoplasma
Gangguan metabolik
Trauma
Toksin
Alkohol
Logam berat
Racun organik
Infeksi
Virus, termasuk HIV
Penyakit autoimun
Vaskulitis sistem saraf pusat
Arteritis temporal
SLE
Sklerosis multipel
Obat-obatan
Gangguan nutrisi
Gangguan psikiatri
Depresi
Gangguan lain (misalnya: NPH)
Demensia ireversibel
Demensia ireversibel bersifat progresif kronik dan sulit disembuhkan. Terdapat beberapa penyebab terjadinya demensia ireversibel. Penyebab demensia ireversibel antara lain:1,27
Penyakit degeneratif sistem saraf pusat seperti penyakit Alzheimer (55%), demensia frontotemporal, demensia terkait dengan Lewy bodies(15%), penyakit Huntington, penyakit Pick (5%),Progressive supranuclear palsy,dan penyakit Parkinson
Penyakit vaskular/demensia vaskular (20%) yang dapat disebabkan stroke iskemik multipel, penyakit Binswanger, emboli serebral, arteritis, anoksia sekunder karena henti jantung dan gagal jantung, dan intoksikasi zat toksik seperti karbonmonoksida (CO)
Demensia Trauma: trauma kranioserebral dan demensia pugilistic
Infeksi: AIDS, infeksi oportunistik, penyakit Creutzfeld-Jakob, Progressive Multifocal Leukoencephalopathy, dan demensia pasca-ensefalitis
Selain itu, terdapat kondisi lain yang juga didapatkan gangguan fungsi kognitif, adalah Mild Cognitive Impariment (MCI ) dan Cognitive Impairment, not Dementia (CIND), pada kondisi ini kelambatan berfikir, gangguan memori ringan, dimana kondisi ini dapat menjadi demensia atau tidak.3,48,49
Diagnosis demensia
Diagnosis demensia paling sering menggunakan kriteria diagnosis berdasarkan DSM-IV (tabel 26). Selain itu, untuk penyakit Alzheimer umumnya menggunakan kriteria dari konsensus The National Institute of Neurogical and Communicative Disorder (NINCDS) dan The Alzheimer's Disease and Related Disorder Association (ADRDA). Kriteria tersebut dapat dilihat pada tabel 27.
Tabel 26. Kriteria Diagnosis Demensia50
A
Munculnya defisit kognitif multipel yang bermanifestasi pada kedua gangguan berikut:
1. Gangguan memori ketidakmampuan untuk mempelajari informasi baru atau untuk mengingat informasi yang baru saja dipelajari
2. Satu atau lebih gangguan kognitif di bawah ini:
a. Afasia (gangguan berbahasa)
b. Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas motorik walaupun fungsi motorik masih normal)
c. Agnosia (kegagalan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda walaupun fungsi sensorik masih normal)
d. Gangguan fungsi eksekutif (seperti merencanakan, mengorganisasi, berpikir runut, berpikir abstrak)
B
Defisit kognitif yang terdapat pada kriteria A1 dan A2 menyebabkan gangguan bermakna pada fungsi sosial dan okupasi serta menunjukkan penurunan yang bermakna dari fungsi sebelumnya. Defisit yang terjadi bukan terjadi khusus saat timbulnya delirium.
Tabel 27. Kriteria diagnosis penyakit Alzheimer50
1.
Kriteria diagnosis klinis untuk probable penyakit Alzheimer mencakup:
- Demensia yang ditegakkan oleh pemeriksaan klinis dan tercatat dengan pemeriksaan Mini Mental Test, Blesse Dementia Scale, atau pemeriksaan sejenis dan dikonfirmasi dengan tes neuropsikologis
- Defisit pada dua atau lebih area kognitif
- Tidak ada gangguan kesadaran
- Awitan antara 40 dan 90 tahun, umumnya setelah umur 65 tahun
- Tidak ada kelainan sistemik atau penyakit otak lain yang dapat menyebabkan defisit progresif pada memori dan kognitif
2.
Diagnosis probable penyakit Alzheimer didukung oleh:
- Penurunan progresif fungsi kognitif spesifik seperti afasia, apraksia, dan agnosia
- Gangguan aktivitas hidup sehari-hari dan perubahan pola perilaku
- Riwayat keluarga dengan gangguan yang sama, terutama bila sudah dikonfirmasi secara neuropatologi
- Hasil laboratorium yang menunjukkan:
a. Pungsi lumbal normal yang dievaluasi dengan teknik standar
b. Pola normal atau perubahan non-spesifik pada EEG seperti peningkatan aktivitas slow wave
c. Bukti adanya atrofi otak pada pemeriksaan CT yang progresif dan terdokumentasi oleh pemeriksaan serial
3.
Gambaran klinis yang konsisten dengan diagnosis probable penyakit Alzheimer setelah mengeksklusi penyebab demensia selain penyakit Alzheimer:
- Perjalanan penyakit yang progresif namun lambat
- Gejala-gejala yang berhubungan seperti depresi, insomnia, inkontinensia, delusi, halusinasi, verbal katastrofik, emosional, gangguan seksual, dan penurunan berat badan
- Abnormalitas neurologis pada beberapa pasien, terutama pada penyakit tahap lanjut seperti peningkatan tonus otot, mioklonus, dan gangguan melangkah
- Kejang pada penyakit lanjut
- Pemeriksaan CT normal untuk usianya
4.
Gambaran yang membuat diagnosis probable penyakit Alzheimer menjadi tidak cocok adalah:
- Awitan yang mendadak dan apolectic
- Terdapat defisit neurologis fokal seperti hemiparesis, gangguan sensorik, defisit lapang pandang, dan inkoordinasi pada tahap awal penyakit; dan kejang atau gangguan melangkah pada saat awitan atau tahap awal perjalanan penyakit.
5.
Diagnosis possible penyakti Alzheimer:
- Dibuat berdasarkan adanya sindrom demensia tanpa adanya gangguan neurologis, psikiatrik, atau sistemik lain yang dapat menyebabkan demensia dan adanya variasi pada awitan, gejala klinis atau perjalanan penyakit
- Dibuat berdasarkan adanya gangguan otak atau sistemik sekunder yang cukup untuk menyebabkan demensia, namun penyebab primernya bukan merupakan penyebab demensia
6.
Kriteria untuk definite penyakit Alzheimer adalah:
- Kriteria klinis untuk probable penyakit Alzheimer
- Bukti histopatologi yang didapat dari biopsi atau otopsi
7.
Klasifikasi penyakit Alzheimer untuk tujuan penelitian dilakukan bila terdapat gambaran khusus yang mungkin merupakan subtipe penyakit Alzheimer seperti:
- Banyak anggota keluarga yang mengalami hal yang sama
- Awitan sebelum usia 65 tahun
- Adanya trisomi 21
- Terjadi bersamaan dengan kondisi lain yang relevan seperti penyakit Parkinson
Evaluasi Demensia
Dalam mengevaluasi pasien demensia perlu dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dengan cermat. Dokter harus melakukan anamnesis pada keluarga atau pelaku rawat pasien. Pertama perlu ditanyakan adalah waktu munculnya gejala, selanjutnya tanyakan riwayat keluarga yang demensia, trauma kepala, riwayat jatuh, penggunaan alkohol, kelemahan fokal, gangguan berjalan, serta riwayat pengobatan secara lengkap (Tabel 28). Mengidentifikasi faktor risiko/penyakit penyerta dan menata laksana kondisi medis umum pasien dapat memperbaiki fungsi kognitif pasien.
Mengingat perjalanan dari demensia yang progresif dan pada tahap awal seringkali sulit untuk mendeteksi dini adanya demensia. Pada pasien usia lanjut dengan gejala-gejala berikut sebaiknya dilakukan evaluasi lebih lanjut:
Kesulitan belajar dan mengingat informasi baru, biasanya berulangkali sulit mengingat percakapan, kejadian, janji yang baru saja terjadi; lupa tempat meletakkan barang-barang
Kesulitan mengerjakan pekerjaan sulit, terutama pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan banyak tahapan, seperti memeriksa laporan keuangan sederhana, memasak.
Kemampuan reasoning yang menurun, seperti: tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika bak mandi luber
Orientasi dan kemampuan spasial yang terganggu, seperti kesulitan saat berkendara, menata benda-benda di dalam rumah
Kemampuan berbahasa menurun, kesulitan menemukan kata-kata untuk menyatakan apa yang ingin diutarakan
Perilaku, tampak lebih pasif dan kurang berespon, lebih mudah terangsang, curiga, salah menginterpretasikan stimulus visual dan auditorik.
Tabel 28. evaluasi anamnesis pada pada pasien demensia
Karakteristik gejala
Perjalanan deficit (memori vs. fungsi kognitif lainnya)
Onset dan kecepatan progresi
Fungsi yang terganggu
Gejala psikologis terkait (depresi, kecemasan, gelisah, paranoid, gangguan proses berpikir)
Masalah khusus
"berkeliaran" (dan hilang)
Berkendara dan kecelakaan
Perilaku yang mengganggu dan membahayakan diri sendiri
Agitasi verbal
Agresi fisik
Insomnia
Higiene yang buruk
Malnutrisi
Inkontinensia
Nilai situasi sosial
Living arrangements
Dukungan social
Ketersediaan keluarga atau orang yang merawat
Kesehatan dari orang yang merawat
Kondisi medis saat ini
Riwayat keluarga dengan demensia
Riwayat jatuh dan trauma kepala
Obat-obatan yang dikonsumsi (termasuk obat OTC)
Riwayat kardiovaskular dan neurologi
Pendekatan klinis demensia juga mencakup pemeriksaan fisik dan neurologis yang komprehensif. Pemeriksaan terutama dilakukan untuk melihat kelemahan fokal, gangguan berjalan, gangguan berbahasa, serta mencari tanda-tanda ekstrapiramidal seperti rigiditas, tremor, dan bradikinesia. Status fungsional pasien pun perlu dinilai dengan menanyakan aktivitas pasien seperti apakah pasien masih bisa mandi, berpakaian, ke toilet, serta melakukan aktivitas sedang seperti mengatur keuangan, memasak, dan berbelanja. Selain menilai status fungsional, seorang dokter perlu pula mengevaluasi status mental pasien dengan menggunakan Mini-Cog, menyebutkan nama-nama binatang dalam satu menit, MMSE, Geriatric Depression Scale, dan PHQ-9.51 Penilaian status mental meliputi: derajat kesadaran, perilaku dan penampakan umum, orientasi, daya ingat (jangka pendek dan jangka panjang), kemampuan berbahasa, fungsi visuospasial, fungsi pengendalian eksekusi, fungsi kognitif lain, tilikan dan penilian, isi pikiran, afek dan emosi.3
Pemeriksaan penunjang tidak selalu dilakukan pada pasien dengan demensia. Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan seperti memeriksa darah perifer lengkap, fungsi hati dan ginjal, serta elektrolit (Tabel 29). Dapat pula dilakukan pemeriksaan neuroimaging (MRI atau CT scan otak). Kemungkinan ditemukannya lesi struktural akan meningkat pada pasien dengan usia <60 tahun, adanya tanda atau gejala neurologi fokal yang tidak dapat dijelaskan, onset tiba-tiba atau penurunan fungsi kognitif dengan cepat (dalam beberapa minggu sampai bulan), serta adanya kondisi predisposisi seperti metastasis kanker atau penggunaan antikoagulan.47,51
Tabel 29. Evaluasi pemeriksaan penunjang pasien demensia
Pemeriksaan darah
Darah perifer lengkap termasuk laju endap darah
Gula darah
Urea dan elektrolit (termasuk kalsium dan fosfat)
Pemeriksaan fungsi liver
TSH
Vitamin B12 dan folat
Pemeriksaan serologis sifilis*
Antibodi HIV*
Studi radiografi
CT atau MRI kepala
PET**
*Pada pasien dengan risiko
**Lebih sering pada penelitian
Selain itu, perlu dievaluasi dengan cermay adanya gangguan mental atau perilaku yang menyertai demensia. Gangguan mental dan perilaku muncul pada lebih dari setengah pasien geriatri dengan demensia. Gejala-gejala gangguan dapat dilihat tabel 30.52
Tabel 30. Prevalensi gangguan perilaku yang menyertai pasien demensia
Apatis
Depresi (vaskular > Alzheimer)
Agitasi
Iritabilitas
Delusi (Alzheimer > vaskular)
Ansietas
Halusinasi
25%
24%
24%
20%
18%
17%
14%
Tata laksana
Tujuan utama tata laksana demensia adalah memperbaiki kualitas hidup serta memaksimalkan fungsi sosial dengan meningkatkan fungsi kognitif dan memantau mood serta perilaku pasien.47 Pada penyebab demensia reversibel,pasien ditata laksana sesuai dengan penyakit dasarnya. Pada pasien dengan demensia dengan penyakit spesifik seperti parkinson, selain pengobatan demensianya itu sendiri juga ditata laksana spesisfik sesuai penyakitnya.Pada demensia, penatalaksanaannya terdiri dari farmakologis dan non-farmakologis.47
Terapi farmakologi
Tata laksana farmakologi pada pasien demensia lebih bersifat mencegah progresifitas, simptomatik, dan bersifat paliatiaf, tidak dapat mencegah terjadinya demensia. Dalam tata laksana pasien demensia harus berdasarkan pada tiga pendekatan, yaitu;
Memberikan obat yang dapat meningkatkan fungsi kognitif
Tata laksana depresi yang terjadi bersamaan dengan demensia
Tata laksana gangguan perilaku akibat demensia seperti paranoid, delusi, psikosis, serta agitasi (verbal dan fisik)
Penggunaan antipsikotik untuk mengobati gejala-gejala neuropsikiatri pada pasien demensia sangat kontroversial (Sink, dkk. 2005; Wang, dkk. 2005). Terapi farmakologi primer untuk menata laksana penyakit Alzheimer adalah dengan menggunakan penghambat kolinesterase. Efektivitas obat ini dalam memperbaiki fungsi dan kualitas hidup masih kontroversi, dan manfaat potensial obat tersebut terhadap risiko dan biaya yang dikeluarkan harus dipertimbangkan dengan baik pada setiap pasien. Beberapa bukti penelitian menyatakan bahwa penghambat kolinesterase memiliki manfaat untuk mengobati demensia multi-infark dan demensia dengan Lewy bodies. Terdapat empat obat penghambat kolinesterase yang telah disetujui oleh US Food and Drug Administration (FDA), yaitu tacrine, donepezil, rivastigmin, dan galantamin. Studi klinis terkontrol acak menyebutkan bahwa penghambat kolinesterase memiliki efek positif terhadap fungsi kognitif serta dapat memperbaiki atau mencegah penurunan fungsi pada pasien.
Tacrine bersifat hepatotoksik sehingga jarang digunakan. Penghambat kolinesterase memiliki efek samping gastrointestinal seperti mual, muntah, dan diare.47,50 Sebuah studi juga menyebutkan bahwa penambahan vitamin E pada donepezil tidak berpengaruh pada pasien dengan gangguan kognitif ringan (Peterson, dkk. 2005). Obat penghambat kolinesterase juga digunakan untuk terapi gejala perubahan perilaku yang berkaitan dengan demensia, tetapi salah satu studi terhadap donepezil gagal membuktikan efektivitas hal tersebut (Howard, dkk. 2007).47 Obat lain yang juga telah disetujui oleh FDA sebagai terapi demensia adalah memantin, suatu antagonis N-metil-D-aspartat. Efek terapinya diduga melalui pengaruhnya pada glutaminergic excitotoxicity dan fungsi neuron di hipokampus.50 Pemberian memantin pada demensia sedang sampai berat memiliki efektivitas sedang bila dibandingkan dengan plasebo, baik sebagai monoterapi maupun kombinasi dengan donepezil.34
Obat-obatan lain seperti estrogen (pada wanita), vitamin E, ginkgo biloba, dan NSAID telah digunakan untuk mencegah demensia. Namun, tidak terdapat bukti bahwa obat-obat tersebut efektif dalam mencegah atau menata laksana demensia. Selain itu, suplementasi vitamin B12, B6, atau asam folat tidak terbukti mampu memperbaiki fungsi kognitif pasien (Balk, dkk. 2007).47
Studi lain pun dilakukan oleh Veld, dkk (2001) pada subjek berusia 55 tahun atau lebih tanpa demensia. Hasil studi tersebut menyatakan bahwa penggunaan NSAID jangka panjang dapat mengurangi risiko terjadinya penyakit Alzheimer, tetapi tidak mengurangi risiko terjadinya demensia vaskular.53
Obat-obatan pada pasien demensia:3
Jenis obat
Dosis inisiasi
Dosis akhir
Antikolinesterase
Donepezil
Rivastigmine
Galantamine
Anti oksidan
Selegiline
α-Tokoferol
Lain-lain
Ginkgo biloba
1 x 5 mg
2 x 1,5 mg
2 x 4 mg
1 x 5 mg
1 x 30 IU
1 x 60
1 x 10 mg
2 x 6 mg
2 x 16 mg
1 x 5 mg
1 x 1000 IU
1 x 60
Terapi nonfarmakologi
Terapi nonfarmakologi pada pasien demensia dapat memperbaiki fungsi secara keseluruhan. Target tata laksana non farmakologis bertujuan mengoptimalisasi fungsi kognitif, mental, fisik, dan aktivitas sehari-hari. Intervensi yang dapat diberikan bervariasi mulai dari perubahan lingkungan, rehabilitasi dan resosialisasi, menggunakan alat bantu pengingat, menghindari pekerjaan yang penuh tekanan, menyediakan informasi, dukungan nutrisi yang baik, dan pelayanan konseling.47
Agitasi, halusinasi, delusi, dan kebingungan (confusion) seringkali sulit ditata laksana dan menjadi alasan utama memasukkan seorang lansia dengan demensia ke panti werdha atau ruang rawat geriatri. Sebelum memberikan obat untuk berbagai gangguan perilaku tersebut, harus disingkirkan faktor lingkungan atau metabolik yang mungkin dapat dikoreksi atau dimodifikasi. Imobilisasi, asupan makanan yang kurang, nyeri, konstipasi, infeksi, dan intoksikasi obat adalah beberapa faktor yang dapat mencetuskan gangguan perilaku.
Dalam mengelola pasien dengan demensia, perlu pula diperhatikan upaya-upaya mempertahankan kondisi fisik pasien. Seiring dengan progresi demensia, maka banyak sekali komplikasi yang akan muncul seperti pneumonia dan infeksi saluran napas atas, septikemia, ulus dekubitus, fraktur, dan berbagai masalah nutrisi. Kondisi-kondisi ini terkadang merupakan sebab utama kematian pasien dengan demensia sehingga pencegahan dan penatalaksanaan menjadi sangat penting. Pada stadium awal penyakit, seorang dokter harus mengusahakan berbagai aktivitas dalam rangka mempertahankan status kesehatan pasien seperti melakukan olahraga, pengolahan nutrisi yang baik, mengendalikan penyakit penyerta seperti hipertensi dan DM, imunisasi terhadap pneumokok dan influenza, memperhatikan higiene dan sanitasi pribadi pasien, serta mengupayakan kacamata dan alat bantu dengar bila terdapat gangguan penglihatan atau pendengaran. Pada fase lanjut demensia, merupakan hal yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan dasar pasien seperti nutrisi, hidrasi, mobilisasi, dan perawatan kulit untuk mencegah ulkus dekubitus. Yang juga sangat penting dalam pengelolaan paripurna pasien demensia adalah kerja sama yang baik antara dokter dengan pelaku rawat.50
PENUTUP
Kesimpulan
Populasi geriatri dengan segala karakteristik khasnya akan meningkat seiring dengan peningkatan usia harapan hidup, baik di Indonesia maupun di dunia. Peningkatan jumlah populasi geriatri menyebabkan semakin meningkatnya masalah fisik, psikologis, dan sosial yang terkait dengan proses bertambahnya usia. Diantara permasalahan tersebut, terdapat Geriatric Giants, empat masalah utama yang meningkatkan morbiditas, mortalitas dan fungsi pasien geriatri yang dapat dicegah, yang perlu menjadi fokus utama dalam penatalaksanaan pada pasien geriatri.
Penatalaksanaan GeriatricGiants merupakan tantangan bagi bidang kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan paripurna pasien geriatri sebagai evaluasi multidimensi terhadap berbagai permasalahan pada pasien geriatri. Sehingga pasien geriatri dapat mencapai derajat kesehatan yang optimal dan meningkatkan kualitas hidup.
Bagaimana agar kualitas hidup usia lanjut tetap baik, adalah tantangan bagi bidang kesehatan masyarakat.
Beberapa kondisi yang sering ditemukan pada geriatri adalah:
Inkontinensia
Imobilisasi
Instabilitas dan jatuh
Gangguan Intelektual (delirium dan demensia)
Tatalaksana yang optimal terhadap kondisi di atas dapat memperbaiki kualitas hidup pasien.
Tatalaksana tidak hanya dititikberatkan pada farmakologis, tetapi juga non-farmakologis termasuk penyesuaian lingkungan.
Daftar Pustaka
Setiati S. Pengenalan dan Pemahaman Sindrom Geriatri. Dalam: Makalah Workshop Pendekatan Klinik dan Tata Laksana Paripurna Pasien Geriatri Tahap Dasar. 2009.
Dewi SY, Danardi, Dharmono S, Heriawan C, Aries W, Ariawan I. Faktor Risiko yang Berperan terhadap Terjadinya Depresi pada Pasien Geriatri yang Dirawat di RS dr. Cipto Mangunkusumo. Cermin Dunia Kedokteran. 2007;156:117-23
Kane, Robert L, Joseph G. Ouslander, Itamar B. Abrass, Barbara Resnick. 2009. Essentials of Clinical Geriatrics 6th Edition. McGrawHill Co.
Fried, Linda P. 2000. Epidemiology of Aging. Epidemiologic Review Vol. 22 No. 1
Silva, Haroldo, Irina M. Conboy. 2008. Aging and stemcell renewal. Stembook
Darmojo, R, Boedhi. 2004. Demografi dan Epidemiologi Populasi Lanjut Usia dalam Buku Ajar Geriatri Edisi ke-3. Balai Penerbit FKUI
Cooper, Nicole, Graham Mulley. 2009. Introducing Geriatric Medicine in ABC of Geriatric Medicine. Blackwell Publishing
Burns, Eileen, Anne Siddle. 2009. Urinary Incontinence in ABC of Geriatric Medicine. Blackwell Publishing
Chutka, Darryl . Kevin C. Fleming, Mary P. Evans, Jonathan M. Evans, Karen L. Andrews. 1996. Urinary incontinence in elderly population. Mayo Clinic Proceeding Vol. 71 page 93-101
Noriyuki Nakanisihi, Kozo Tatara, Fumiaki Shinsho, Shigeki Murakami, Toshio Takatorige, Hideki Fukuda, Kazue Nakajima, Hiromie Naramura. 1999. Mortaity in relation to urinary and fecal incontinenc in elderly people living at home. Age and Ageing No. 28 page 301-6
Resnick NM. Voiding Dysfunction in the Elderly. In: Yalla SV, McGuire EJ, Blaivas JG, eds. Neurourology and Urodynamics: Principles and Practice. New York:Macmillan; 1988:303-30
Brocklehurst JC, Dillane JB, Griffiths L, Fry J. The Prevalence and Symptomatology of Urinary Infection in an Aged Population. Gerontol Clin. 1968;10:242-53
Robinson JM. Evaluation of methods for assesment of bladder and urethral function. In: Brocklehurst JC,ed. Urology in The Elderly. New York: Churchill Livingstone;1984:19-54
Everett HC. The use of bethanechol chloride with tricyclic antidepressants. Am J Psychiatry. 1975;132:1202-04
Marshall HJ, Beevers DG. Alpha adrenoceptor blocking drugs and female urinary incontinence: prevalence and reversibility. Br J Clin Pharmacol. 1996;42:507-09
Resnick NM, Marcantonio ER. How should clinical care of the aged differ? Lancet.1997;350:1157-58
Frank, Christopher, Agata Szlanta. 2010. Office management of urinary incontinence among older patients. Canadian Family Physician No. 56 p. 1115-20
Resnick NM, Brandeis GH, Baumann MM, Morris JN. Evaluating a national assessment strategy for urinary incontinence in nursing home residents: reliability of the minimum data set and validity of resident assessment protocol. Neurourol Urodyn. 1996;15:583-98
Hubbard, Ruth E, Eamonn Eeles, Kenneth Rockwood. 2010. Impaired mobility in Brocklehurst's Textbook of Geriatric Medicine and Gerontology 7th Ed. Saunders Co
Lacut, Karine, Gregoire Le Gal, Dominique Mottier. 2008. Primary prevention of venous thromboembolism in elderly medical patients. Clinical Interventions in Agng Vol. 3 No. 3 page 399-411
Patel K, Chun LJ. Deep Venous Thrombosis. http://emedicine.medscape.com/article/1911303-overview. diunduh pada tanggal 10 November 2013.
Struck, Bryan D. 2010. Pressure sores in Brocklehurst's Textbook of Geriatric Medicine and Gerontology 7th Ed. Saunders Co
Reddy, Madhuri, Sudeep S. Gill, Paulya A. Rochon. 2006. Preventing Pressure Ulcers: a sysematic review. JAMA Vol. 296
Studenski, Stephanie A. 2010. Falls in Brocklehurst's Textbook of Geriatric Medicine and Gerontology 7th Ed. Saunders Co
Cassel CK, Leipzig RM, Cohen HJ, Larson EB, Meier DE. Geriantric Medicine: Evidence based approach. 4 ed.New York. 2003.
Weiss BD. Diagnostic Evaluation of Urinary Incontinence in Geriatric Patients. The American Academy of Family Physicians. 1998. Diunduh tanggal 22 September 2013.
Kulmala J, Viljanen A, Sipila S, Pajala S, Parssinen O, Kauppinen M, et al. Poor Vision Accompanied with Other Sensory Impairments as a Predictor of Falls in Older Women. Age and Ageing 2009;38:162-7.
Cooper, Nicola. 2009. Falls in ABC of Geriatric Medicine. Blackwell Publishing
Setiati S, Laksmi PW. Gangguan Keseimbangan, Jatuh, dan Fraktur. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. hal 1388-97.
British Geriatric Society. Next Steps for Falls and Fracture Reduction. Age and Ageing 2009; 38: 640–643
Bergman K, Eastham EJ. Psychogeriatric ascertainment and assessment for treatment in an acute medical ward setting. Age Ageing. 1974;3:174-88.
Francis J, Martin D, Kapoor WN. A prospective study of delirium in hospitalized elderly. JAMA. 1990;263:1097-101.
Hodkindson HM. Mental impairment in elderly. J R Coll Physicians Lond. 1973;7:305-17.
Inouye SK, Fearing MA, Marcantonio ER. Delirium. In: Halter JB, Ouslander JG, Tinetti ME, Studenski S, Hih KP, Asthana S. Editors. Hazzard's Geriatric Medicine and Gerontology. USA: The McGraw Hill. 2009. p.647-58.
Iouye SK. Delirium in Older Persons. N Engl J Med 2006;354:1157-65.
Soejono CH. Sindrom Delirium (Acute Confusional State). Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. hal 1433-6.
Levkoff SE, Evans DA, Liptzin B, et al. Delirium: the occurence and persistence of symptoms among elderly hospitalized patients. Arch Intern Med. 1992;152:334-40.
Rockwood K. The oocurence and duration of the symptoms in elderly patiens with delirium. J Gerontol Med Sci. 1993;48:M162-6.
American Psychiatric association. Diagnositc and Statistical Manual of Mental disorders (DSM-IV), 4th.Ed. Washinton, DC: American Psychiatric Association; 1994
Sharon K, Inouye SK. The Confusion Assessment Method (CAM): Training Manual and Coding Guide. 2003. Diunduh tanggal 1 November 2013.
Inouye SK. Van Dyck CH. Alessi CA, Balkin S, Siegel AP, Horwitz RI. Clarifying confusion: The Confusion Assessment Method, a new method for detection of delirium. Ann Intern Med. 1990;113:941-8.
Inouye SK, Charpentier PA. Precipitating factors for delirium in hospitalized elderly persons: predictive model and interrelationship with baseline vulnerability. JAMA.1996;275:852-7.
Rosin AJ, Boyd RV. Complication of illness in geriatric patients in hospital. Chronic Dis. 1966;19:307-13.
Inouye SK, Charpentier PA, et al. A multicomponent intervention to prevent delirium in hospitalized older persons. N Eng J Med.1999;340:669-76.
Meagher DJ. Delirium: Optimising Management. BMJ 2001;322:144-9.
Lonergan E, Britton AM, Luxenberg J. Antipsychotics for Delirium (Review). Cochrane Database of Systematic Reviews 2007.
Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB, Resnick B. Confusion Delirium and Dementia. In: Essentials of Clinical Geriatrics. Sixth edition. USA: The McGraw Hill. 2009. p.145-73.
Eeles, Eamonn, Ran S. Bhat. 2010. Delirium in Brocklehurst's Textbook of Geriatric Medicine and Gerontology 7th Ed. Saunders Co
Eeles, Eamonn, Ran S. Bhat. 2010. Delirium in Brocklehurst's Textbook of Geriatric Medicine and Gerontology 7th Ed. Saunders Co
Rochmah W, Harimurti K. Demensia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. hal 1374-8.
The American Geriatrics Society. A Guide to Dementia Diagnosis and Treatment. www.americangeriatrics.org. Diunduh tanggal 25 September 2013.
Lyketsos CG, Steinberg M, Tschanz JT, et al. Mental and behavioral disturbances in dementia: findings for the Cache County Study on Memory an Aging. Am J Psychiatry.2000;157:708-14.
Veld BA, Ruitenberg A, Hofman A, Launer LJ, Duijn CM, Stijnen T, et al. Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs and The Risk of Alzheimer's Disease. N Engl J Med 2001;345:1515-21.