Waktu dan Materi dalam Filsafat Ibn Sina dan Sains Modern Cipta Bakti Gama ICAS – ICAS – MA MA Islamic Philosophy – Philosophy – Peripatetic Peripatetic Philosophy
I. Pendahuluan Banyak peneliti yang memandang bahwa awal sejarah sains modern ditandai dengan pergeseran pandangan dunia dari dominasi Aristotelianisme ke pandangan dunia mekanistik Galilean1
Newtonian. Sejauh mana pandangan dunia Aristotelian ditinggalkan oleh komunitas k omunitas ilmuan dan pada aspek apa pandangan dunia tersebut berbeda dari pandangan dunia mekanistik adalah hal yang belum disepakati oleh para pendukung sains modern sendiri. Terlepas dari itu, dalam perkembangannya, sains bukan saja meninggalkan pandangan dunia Aristoteles, melainkan 2
melangkah lebih jauh dengan bercerai dari filsafat. Jika Isaac Newton (1643-1727) yang namanya menjadi benchmark pandangan dunia sains modern sendiri masih memandang bahwa fisika adalah 3
bagian dari filsafat alam , ternyata orang-orang segenerasinya sendiri malah memandang bahwa 4
pembahasan fisika sudah tidak harus/tidak perlu dikaitkan dengan metafisika. Seperti kata Leibniz (1646-1716), seorang filsuf-saintis ternama dari Jerman, “Fisikawan “Fisikawan bisa menjelaskan eksperimeneksperimennya, . . ., tanpa harus mengajukan prinsip-prinsip yang dibahas oleh ilmu yang lain (baca: 5
teologi dan metafisika)“ metafisika)“ . Lebih ekstrim lagi, sebagian saintis masyhur kontemporer — seperti seperti Stephen Hawking, telah mendeklarasikan bahwa filsafat telah mati dan sains sudah cukup untuk menjawab
1
Lihat: Daniel Garber, Physics Garber, Physics and Foundations , dalam Katharine Park & Lorraine Daston (ed.), The Cambridge History
of Science, Science, (New York: Cambridge University Press, 2006), vol. III, h. 21-69. 2
Ibid.
3
Magnum opus Newton opus Newton sendiri berjudul Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (1689). Mathematica (1689). Buku ini diterjemahkan
ke bahasa Inggris pada tahun 1729 oleh Andrew Motte dengan judul Mathematical Principles of Natural Philosophy and His System of the World. Buku terjemahan ini kemudian diedit dan diberikan appendix oleh Florian Cajori, diterbitkan oleh University of California Press pertama kali tahun 1934. 4
Daniel Garber, Physics Garber, Physics and Foundations, Foundations , h. 21-69.
5
Leibniz, Discourse on Metaphysics, Metaphysics, dalam Roger Ariew & Daniel Garber (terj., ed.), G. W. Leibniz: Philosophical
Essays, (Indianapolis Essays, (Indianapolis & Cambridge: Hackett Publishing Company, 1989), h. 43. 1
6
pertanyaan-pertanyaan besar dalam hidup manusia yang dulu digeluti para filsuf. Sekalipun demikian, faktanya, masih banyak saintis, filsuf, dan saintis yang sekaligus filsuf tidak sepakat 7
dengan pandangan ekstrim seperti itu. Mereka memandang bahwa sains modern tidak bisa lepas dari filsafat (metafisika) dilihat dari banyak hal, termasuk masalah validitas dirinya sendiri untuk 8
dijadikan jalan memperoleh pengetahuan yang bisa dipercaya.
Dalam tulisan ini saya akan menjelaskan secara ringkas konsep waktu dan hubungannya dengan gerak dan materi yang dibahas oleh Ibn Sina (980-1037) sebagai ikon filsafat Aristotelianisme di dunia Islam. Dengan pandangan Ibn Sina ini saya juga akan mencoba meberikan respon atas pembahasan dua konsep tersebut dalam pandangan sebagian saintis dan filsuf pendukung sains modern. Selain itu, posisi saya terhadap masalah tersebut dalam tulisan ini menunjukan bahwa sains tidak perlu lepas dari filsafat (metafisika) dan bahwa diceraikannya/ditinggalkannya metafisika Aristotelianisme dari sains modern tampaknya bukan karena ia tidak bisa menjadi landasan metafisik dari sains; dengan kata lain, sebenarnya bisa saja metafisika Aristotelianisme tetap menjadi pondasi metafisik bagi sains modern.
II. Waktu dan Materi dalam Filsafat Ibn Sina Dalam al-Syifa, Ibn Sina membahas masalah waktu ( zaman/
) dalam empat pasal. Pasal pertama
menjelaskan perbedaan pendapat tentang eksistensi (wujud/
) dan esensi (mahiyah/
) zaman
dan kritik Ibn Sina terhadap pendapat-pendapat tersebut. Pasal kedua berisi penjelasan tentang pendapat yang dipegang oleh Ibn Sina dalam masalah tersebut. Pasal ketiga menyoroti lebih jauh seputar hakikat sekarang (al-an/
). Dan pada pasal keempat Ibn Sina mencoba menjawab berbagai
keraguan dalam persoalan zaman. Sebenarnya pasal-pasal tentang zaman ini merupakan bagian dari pembahasan yang lebih umum, yaitu masalah gerak (harokah/ mendefinisikan zaman sebagai “ ukuran (miqdar /
). Selain itu, Ibn Sina sendiri
) gerak ketika dipisah oleh jarak (masafah/
6
Stephen Hawking & Leonard Mlowdinow, The Grand Design, (New York: Bantam Books, 2010), h. 10.
7
Seperti yang akan ditunjukan dalam tulisan ini.
8
Lihat: Roger Trigg, Rationality and Science, (Oxford & Cambridge: Blackwell, 1999), h. 4-5. 2
)
menjadi yang dahulu (mutaqoddim/
) dan yang kemudian (mutaakhkhir/
9
)“ [Definisi 1].
Atas dasar itu saya memilih untuk membicarakan masalah gerak terlebih dahulu. Tema gerak dalam al-Syifa diurai ke dalam tiga belas pasal, termasuk di dalamnya empat pasal tentang zaman dan lima pasal tentang tempat (makan/
). Ibn Sina menjelaskan makna gerak ,
perbedaan pendapat dalam masalah gerak , relasinya dengan kategori-kategori genus paling universal (maqulat /
), juga relasinya dengan diam ( sukun/
) dalam empat pasal pertama tema ini.
Berikut saya akan fokus pada dua masalah saja: (1.) Apa definisi gerak ? (2.) Pada maqulat mana saja gerak mewujud?
II.1. Definisi Gerak Ibn Sina memulai pembicaraan tentang gerak dengan pernyataan bahwa seluruh yang ada (eksisten/maujudat /
) bisa dibagi berdasarkan aktualitas (
) dan potensialitas (
)-nya ke
dalam dua kategori berikut: a.) Maujud aktual dari segala aspeknya; b.) Maujud aktual dari sebagian aspek dan potensial dari aspek lainnya. Kemudian ia berkata bahwa seluruh maujud potensial pasti bisa keluar dari kondisi potensialitas-nya menjadi maujud aktual , melalui dua kemungkinan cara: 1. Sekaligus; atau 2. bertahap. Lalu Ibn Sina menyitir definisi tidak sempurna (rosm/
) gerak yang
diajukan sebagian kalangan, yaitu “Keluarnya suatu maujud dari kondisi potensial menjadi aktual secara bertahap dalam suatu zaman“. Namun baginya definisi ini secara implisit mengandung sirkularitas (daur /
10
), jadi harus dicari definisi alternatif. Dari sinilah kita bisa melihat definisi
gerak yang diajukan Ibn Sina. [Definisi 2] : “Gerak adalah kesempurnaan pertama dari suatu potensi dari sisi potensi-nya 11
untuk teraktual pada kesempurnaan pertama itu.“
Untuk memahami definisi ini kita bisa berangkat dari paparan Ibn Sina sebagai berikut:
9
Ibn Sina, al-Syifa, (Uni Emirat Arab, t. t.), vol. 4, h. 157. Teks Arabnya sebagai berikut:
"
". 10
Lihat: Ibid , h. 81-82.
11
LIhat: Ibid , h. 83. Teks Arabnya sebagai berikut:
".
"
3
Sesuatu yang disebut bergerak, ketika sebelumnya dia dalam keadaan diam sebenarnya sudah menjadi sesuatu yang bergerak secara potensial dengan potensi mutlak . Bisa juga dikatakan bahwa ketika itu ia memiliki dua aspek potensi. Pertama, potensi untuk ada dalam suatu kondisi aktual. Kedua, potensi untuk menjalani proses menuju kondisi tersebut. Aktualisasi aspek pertama dan kedua bisa disebut juga sebagai kesempurnaan. Jadi dengan kata lain, ketika diam, sesuatu itu memiliki dua potensi untuk menjadi aktual dalam dua aspek kesempurnaan.12
Istilah Ibn Sina “kesempurnaan pertama“ dalam definisi 2 di atas bisa kita hubungkan dengan konsepsinya tentang “dua aspek kesempurnaan“. Sebagaimana tampak dalam petikan paparan Ibn Sina sebelumnya, bahwa sesuatu yang disebut bergerak bisa diurai kedalam fragmen-fragmen kondisi sebagai berikut: (1) diam
(2)
menjadi aktual dalam kondisi tertentu (kesempurnaan). Hanya saja
aktualisasi kondisi ini sebenarnya bukanlah kondisi bergerak itu sendiri. Yang disebut gerak sebenarnya adalah kondisi (atau kondisi-kondisi) yang teraktual dalam proses menuju teraktualnya kondisi (2). Jadi fragmennya bukan terdiri dari dua titik kondisi, melainkan tiga, yaitu: (1) diam (2) aktualisasi kondisi yang merupakan proses
(3)
aktualisasi kondisi tujuan. Kondisi (2) inilah yang
Ibn Sina sebut dengan “kesempurnaan pertama“. Untuk lebih memperjelas bahasan, saya ajukan satu contoh, yaitu: mobil X bergerak dari tempat P menuju tempat T yang harus melewati tempat Q, R, lalu S. Proses geraknya bisa diurai sebagai berikut: (1) diam di tempat P tempat S
(5)
(2)
ada di tempat Q
(3)
ada di tempat R
(4)
ada di
ada di tempat T. Yang disebut dengan “kesempurnaan pertama“ adalah aktualisasi
mobil X menjadi ada di tempat Q, R, dan S. Dan inilah yang disebut dengan gerak . Sekalipun ada tiga tempat yang dilalui oleh mobil X untuk berada di tempat T, yang berarti ada tiga kali aktualisasi, tapi ketiga aktualisasi tersebut (yakni di tempat Q, R, dan S) masing-masing tetap disebut “kesempurnaan pertama“ karena istilah “pertama“ di situ bersifat relatif dalam fragmen rangkaian tiga poin saja. Jadi sebenarnya, jika kita mengikuti konsep Ibn Sina, fragmentasi kondisi-kondisinya cukup dilihat dari tiga poin: (1) potensial (2) aktual pada kondisi menuju (kesempurnaan pertama) (3)
aktual pada kondisi tujuan (kesempurnaan kedua). Selain itu, seperti kata Ibn Sina dalam
definisi 2, “. . . dari sisi potensinya untuk teraktual dalam kesempurnaan pertama itu“, sebenarnya
ada sisi potensialitas yang lain yang dimiliki sesuatu sebelum teraktual dalam gerak yang ia sebut dengan “ potensi mutlak “ dalam petikan paragraf sebelumnya. Aplikasinya pada kasus di atas jadi seperti berikut: 12
Lihat: Ibid , h. 82. 4
I.
(1) ada di tempat P (memiliki potensi mutlak untuk ada di tempat Q, R, S, T, dan tempat lainnya) (2) ada di tempat Q (aktualisasi ini disebut kesempurnaan pertama dilihat dari rangkaian fragmen P-Q-R) (3) ada di tempat R.
II.
(1) Ada di tempat Q
(2)
ada di tempat R
(3)
ada di tempat S. Di rangkaian
fragmen Q-R-S ini yang menjadi kesempurnaan pertama adalah aktualisasi di tempat R. Demikian pula seterusnya. Penjelasan di atas mengklarifikasi makna “kesempurnaan pertama“, “dua kesempurnaan“, “potensi mutlak“, dan “potensi dari sisi potensinya untuk teraktual dalam kesempurnaan pertama“, yang digunakan oleh Ibn Sina dalam mendefinisikan gerak dan menjelaskannya. Ada satu hal penting lagi untuk memahami konsep gerak dalam pandangan Ibn Sina. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Ibn Sina memandang definisi gerak yang diajukan sebagian filsuf sebagai “Keluarnya suatu maujud dari kondisi potensial menjadi aktual secara bertahap dalam suatu zaman“ sebagai definisi yang mengandung daur . Namun tampaknya daur yang ia maksud terletak pada frase “dalam suatu zaman”. Ini karena Ibn Sina ternyata menerima konsepsi gerak sebagai “keluarnya maujud dari kondisi potensial menjadi aktual secara bertahap, bukan sekaligus“. Hal tersebut tampak dalam penjelasannya dalam topik “pada maqulat mana saja gerak mewujud?“ Inilah poin berikutnya yang hendak saya diskusikan.
II.2. Gerak dan Maqulat Di awal pembahasan masalah ini, Ibn Sina menyebutkan beberapa pendapat tentang hubungan gerak dengan maqulat . Pertama, gerak adalah maqulat pasivitas (an yanfa’il /
). Kedua, gerak adalah
kata universal yang partikular-partikularnya disatukan oleh kemiripan tertentu (bi l-isytirok albaht /
). Ketiga, gerak adalah kata universal yang ambigu (musyakkak /
) yang
partikular-partikularnya tidak mewujud pada maqulat , melainkan pada partikular maqulat .
13
Sebenarnya pendapat ketiga dibagi lagi menjadi beberapa pendapat, namun yang penting untuk
13
Lihat: Ibid , h. 93. 5
dicatat adalah bahwa Ibn Sina menolak semua pandangan tersebut dan menghabiskan satu pasal 14
untuk mengkritiknya. Ia baru mengulas pandangan yang ia pegang dalam pasal berikutnya. [Postulat 1]: “Gerak mewujud pada empat maqulat : kualitas (al-kaif /
kam/
), ruang (al-ain/
), dan posisi (al-wadh‘/
), kuantitas (al-
).“
Postulat 1 mewakili pandangan yang dipegang oleh Ibn Sina. Tapi sebelum melangkah lebih jauh, ada makna yang perlu diklarifikasi terlebih dahulu. Frase “ gerak mewujud pada maqulat ” 15
sebenarnya memiliki beragam makna. Paling tidak, menurut Ibn Sina, ada empat makna . (1) Bahwa maqulat adalah subjek hakiki (maudhu’ haqiqi/
) dari gerak . (2) Bahwa maqulat adalah
perantara mewujudnya gerak pada substansi ( jauhar /
) yang menjadi subjek hakikinya. (3)
Bahwa maqulat adalah genus dari gerak . (4) Bahwa substansi bergerak dari satu spesies (nau’ /
)
16
dari suatu maqulat ke spesies lainya. Yang dimaksud oleh Ibn Sina dalam postulat 1 di atas adalah makna keempat. Lalu bagaimana suatu substansi bergerak dari satu spesies ke spesies lain pada maqulat kualitas, kuantitas, ruang, dan posisi? Ibn Sina menjelaskan sebagai berikut. Wujud gerak pada maqulat kaif itu jelas . . . Gerak juga mewujud pada maqulat kam dalam dua bentuk: pertama, dengan tambahan sehingga substansi menjadi tumbuh; kedua, dengan pengurangan sehingga substansi menjadi menyusut. Dalam dua bentuk tersebut bentuk ( form/shuroh/
) dari substansi
tersebut masih tetap sama . . . Wujud gerak pada maqulat aina sangat jelas . . . Dan yang benar adalah bahwa pada gerak juga mewujud pada maqulat wadh’ . . ., ini tampak jelas dengan mengamati gerak 17
planet.
14
Lihat: Ibid , h. 93-97.
15
Lihat: Ibid , h. 98.
16
Penting dicatat bahwa maqulat adalah genus paling universal dari maujudat di dunia eksternal . Jadi ia memiliki spesies-
spesies yang juga merupakan partikular-partikularnya. Dan maqulat tidak memiliki genus yang lebih universal darinya, kecuali universalia yang tidak memiliki makna yang wujud di dunia eksternal . Dengan kata lain, dalam istilah filsafat Hikmah Muta’aliyah, universalia yang menjadi genus dari maqulat adalah bagian dari al-ma’qulat al -tsaniyah ( secondary intelligibles/
), bukan al-ma’qulat al -ula ( primary intelligibles/
). Lihat: Abduljabbar al-Rifa’i,
Durus fi l-Falsafah al-Islamiyah: Syarh Taudhihi li Kitab Bidayah Hikmah, (Teheran: Muassasah al-Huda, 2000), h. 351356. 17
Lihat: Ibn Sina, al-Syifa, vol. 4, h. 101-106. 6
Dalam kutipan di atas, tampaknya Ibn Sina memandang wujud gerak pada maqulat kaif, kam, dan ain sebagai sesuatu yang jelas; dan wujud gerak pada maqulat wadh’ bisa diamati pada gerak planet-planet. Ia lebih memilih untuk mengisi pasal ini dengan bantahan terhadap pendapat yang mengatakan bahwa gerak juga mewujud pada enam maqulat lainnya, yaitu: jauhar , idhofah (relasi/
), mata (kapan/
(pasivasi/
), jidah (kepemilikan/
), an yaf’al (aksi/
), dan an yanfa’il
). Inti argumen bantahan Ibn Sina tersebut adalah bahwa wujud perubahan dari
potensi ke aktual yang terjadi pada enam maqulat tersebut tidak bersifat bertahap (mutadarrijan) melainkan sekaligus (duf’atan). Padalah sejak awal sudah diklarifikasi bahwa gerak bersifat bertahap, tidak sekaligus. Seperti pada kasus gerak mobil X dari tempat P ke tempat T yang harus melalui tempat Q, R, dan S. Dalam kasus tersebut yang disebut gerak adalah aktualitas pada Q-R-S, dan bukan aktualitas pada tempat P dan T. Dan aktualitas pada Q -R-S sifatnya bertahap, yang oleh karena itu ia disebut gerak. Dalam makalah ini saya tidak akan masuk ke bantahan-bantahan tersebut lebih jauh. Yang lebih penting dari itu dalam topik kita adalah memperjelas maksud gerak pada empat maqulat yang oleh Ibn Sina dianggap jelas itu. Karena Ibn Sina tidak membahasnya secara detil, maka saya akan 18
meminjam penjelasan al-Thabathaba’i dalam Nihayat-u l-Hikmah dan Taqi Mishbah Yazdi dalam 19
Amuzesh-e Falsafeh . Taqi Mishbah Yazdi mengatakan bahwa contoh yang paling jelas tentang gerak pada kualitas 20
adalah gerak pada kualitas-kualitas mental seperti cinta dan benci. Perubahan yang terjadi pada rasa cinta dan benci yang menguat-melemah kita sadari bersifat bertahap. Dari perspektif filsafat, perubahan bertahap seperti itulah yang disebut gerak. Ia juga kemudian menjelaskan gerak juga terjadi pada spesies kualitas selain mental, seperti kualitas inderawi (contoh: warna, kecepatan) dan kualitas bentuk (contoh: perubahan bentuk tali dari lurus menjadi melingkar). Contoh gerak pada ruang adalah perpindahan raga dari satu ruang ke ruang lainnya (seperti pada kasus mobil X sebelumnya). Di sini, Taqi Mishbah Yazdi mengatakan bahwa gerak pada ruang 18
Muhammad Husain al-Thabathaba’i, Nihayah al-Hikmah, (Qum: Muassasah al-Nasyr al-Islami, 1424 H.Q.).
19
Teks yang saya gunakan adalah yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Muhammad Legenhausen da n ‘Azim
Sarvdalir dengan judul Philosophical Instructions: An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy, (New York: IGCS, 1999). 20
Lihat: Taqi Mishbah Yazdi, Philosophical Instructions, h. 469-470. 7
bisa dibagi ke dalam dua kategori: intensional (dengan kehendak tertentu, berarti melibatkan jiwa) dan unintensional (tidak dengan kehendak jiwa tertentu).
Contoh untuk yang pertama adalah
perpindahan raga manusia dan contoh untuk yang kedua adalah gerak benda mati (misalkan apel yang jatuh karena tertarik gaya gravitasi). Kemudian, ia mengatakan bahwa dua kategori tersebut dan pembicaraan tentang gerak pada ruang bisa diterapkan juga pada gerak pada posisi. Ini karena menurutnya gerak pada posisi bisa direduksi pada gerak pada ruang.
21
Tapi menurut hemat saya, jika kita berbicara dalam konteks
filsafat Peripatetik yang masih mengakui perbedaan antara ruang dan posisi, berarti harusnya kita juga tetap membedakan gerak pada kedua maqulat tersebut. Dalam hal ini kita bisa tetap melihat pembedaan tersebut pada penjelasan al-Thabathaba’i. Beliau berkata, “Wujud gerak pada posisi 22
sangat jelas, contohnya adalah gerak lingkaran pada porosnya.”
Yang terakhir adalah gerak pada kuantitas. Di sini ada catatan penting dari Taqi Mishbah 23
Yazdi , yaitu bahwa kuantitas, sekalipun identik dengan angka, namun angka sebenarnya tidak punya wujud secara independen di dunia eksternal. Jadi membahas gerak pada kuantitas jangan dibayangkan sebagai gerak perubahan angka-angka, seperti 1, jadi 2, jadi 3, jadi 4, dan seterusnya. Gerak pada kuantitas sebenarnya adalah gerak pada kuantitas yang merupakan aksiden dari substansi tertentu. Contohnya adalah gerak penambahan atau pengurangan volume balon yang ditiup.
II.3. Ibn Sina: Waktu, Gerak, Materi, Bentuk, dan Raga Setelah memahami definisi gerak dan wujud gerak pada maqulat, berikutnya kita bisa masuk ke definisi waktu dalam filsafat Ibn Sina. Definisi waktu sudah disebutkan sebelumnya pada definisi 1, yaitu “ukuran (miqdar / (mutaqoddim/
) gerak ketika dipisah oleh jarak (masafah/
) dan yang kemudian (mutaakhkhir/
postulat penting dalam masalah gerak.
21
Ibid , h. 469.
22
Thabathaba’i, Nihayat Hikmah, h. 259.
23
Lihat: Taqi Mishbah Yazdi, Philosophical Instructions, h. 470-471. 8
) menjadi yang dahulu
)“. Di sisi lain, Ibn Sina juga mengajukan
[Postulat
(mutaharrik / fih/
2] :
Gerak selalu
terkait
dengan
), sebab penggerak (muharrik /
), asal gerak (ma minhu/
enam
hal :
subjek
yang
bergerak
), maqulat yang menjadi lokasi gerak (ma
), tujuan gerak (ma ilaihi/
), dan waktu ( zaman/
24
).
Jika definisi 1, postulat 1, dan postulat 2 saya gabungkan, maka saya bisa sampai pada kesimpulan yang saya jadikan postulat 3. [Postulat 3] : Waktu ada jika dan hanya jika gerak ada, di mana gerak hanya ada pada empat
maqulat eksidental , bukan pada substansi. Postulat 3 ini menurut hemat saya penting untuk digunakan dalam menilai sebagian teori sains modern tentang waktu yang berikutnya akan kita bahas. Namun sebelum beranjak ke pembahasan itu, saya ingin mengangkat satu postulat penting lain yang bisa disimpulkan dari penjelasan Ibn Sina sebagai berikut: “Ketika sudah jelas validitas pandangan bahwa waktu tidak berdiri sendiri, … tidak memiliki esensi ( dzat ), dia bisa muncul dan lenyap, dan bahwa segala sesuatu yang berkarakter seperti itu berarti wujudnya terkait dengan materi (maddah) ; maka waktu pun bersifat material (maaddi), . . . (waktu) mewujud pada materi melalui perantaraan gerak.”
25
Dalam kutipan tersebut, Ibn Sina secara jelas menyatakan bahwa waktu bersifat material, ada pada materi. Dan ini adalah postulat keempat yang menurut saya penting dalam pembahasan kita. [Postulat 4] : Waktu hanya ada di dunia materi.
Apa yang dimaksud dengan materi? Istilah ini juga perlu diklarifikasi. Dalam al-Syifa, Ibn Sina menyatakan: “Seluruh substansi ( jauhar ) bisa berupa raga ( jism) atau bukan raga. Jika dia bukan raga, maka bisa berupa bagian dari raga atau bukan. Jika dia adalah bagian dari raga, maka bisa berupa bentuk ( shuroh) dari raga tersebut atau berupa materi (maaddah)-nya . . .“
Di bagian lain ia menyatakan:
24
Ibn Sina, al-Syifa, vol.4, h. 87.
25
Ibid , h. 159
26
Ibn Sina, al-Syifa, vol. 1, h. 60. 9
26
“Juga, raga itu memiliki secara aktual memiliki bentuk . Di sisi lain, raga juga bisa dilihat sebagai suatu kesiapan (isti’dad ), yaitu raga secara potensial . Sesuatu dari sisi ketika berupa potensialitas tidak sama dengan ketika dia berupa aktualitas. Demikian pula raga. Raga secara potensial bukanlah raga secara aktual . . . Maka, raga merupakan suatu substansi ( jauhar ) yang terkomposisi oleh suatu potensialitas dan aktualitas. Aktualitas tersebut adalah bentuk ( shuroh). Dan potensialitasnya adalah materi (maaddah), yaitu hayula.“27
Dari kutipan di atas, cukup jelas bahwa Ibn Sina memandang materi sebagai suatu substansi yang berupa potensi untuk teraktual dalam bentuk tertentu. Ia juga memandang bahwa dengan komposisi antara materi dan bentuk lah raga terwujud. Ini akan saya jadikan postulat kelima, keenam, dan definisi ketiga. [Postulat 5]: Raga, bentuk , dan materi adalah substansi. [Definisi 3]: Materi adalah substansi yang berupa potensi untuk teraktual dalam bentuk
tertentu. [Postulat 6]: Raga terkomposisi oleh materi yang bersifat potensial dan bentuk yang bersifat
aktual. Dengan tiga definisi dan enam postulat dari filsafat Ibn Sina di atas, berikutnya saya akan mencoba mendiskusikan secara ringkas pandangan sebagian filsuf dan saintis modern tentang topik ini. Namun sebelum itu saya ingin mengklarifikasi satu hal, yaitu: masalah hakikat waktu dan dunia materi memang dibicarakan oleh para saintis modern. Namun karena di era modern ini ada keragaman persepsi tentang posisi sains dan filsafat — sebagaimana telah disinggung di awal tulisan ini, maka wajar jika kita melihat semacam ada kesimpang-siuran apakah mereka membahas topik ini sebagai topik sains ataukah filsafat, fisika ataukah metafisika? Di era Ibn Sina, hal ini tidak menjadi persoalan karena fisika masih menjadi cabang dari filsafat. Sebagaimana telah disinggung di awal tulisan, Newton sendiri sebenarnya masih menamai buku fisikanya dengan filsafat alam ( Philosophiae 28
Naturalis Principia Mathematica) . Hal ini menjadi persoalan ketika di era modern sebagian orang 27
Ibid , h. 67.
28
Isaac Newton, Mathematical Principles of Natural Philosophy and His System of the World, terj. Andrew Motte &
Florian Cajori, (Berkeley-Los Angeles-London: Univerity of California Press, 1974). 10
memandang filsafat sudah tidak diperlukan lagi dan tergantikan oleh sains. Persoalannya adalah ketika sains dan filsafat dipisahkan, kemudian suatu teori saintifik dipandang meruntuhkan suatu pandangan filosofis atau filsafat secara keseluruhan, namun di sisi lain sebenarnya dia sedang membuat klaim tentang hakikat sesuatu yang nota bene adalah klaim filosofis, maka kerancuan itu pun menjadi tampak jelas. Sebagian yang lain membedakan filsafat dari sains dari sisi pendekatan: filsafat bersfat rasional dan sains empiris. Sebagian yang lain lagi memandang bahwa filsafat dengan sains itu hanya beda topiknya saja: ontologi-epistemologi-aksiologi adalah milik filsafat, dan sains berarti tidak membahas persoalan itu. Dalam tulisan ini saya mengambil pandangan yang terakhir. Dengan begitu sebenarnya apapun sikap tokoh yang akan saya singgung di sini terhadap sains dan filsafat, maka saya akan tetap memposisikan klaim-klaim mereka tentang hakikat waktu dan materi sebagai klaim filosofis (ontologis/metafisik).
III. Filsafat Ibn Sina & Sains Modern: Hakikat Waktu di Dunia Materi Dalam al-Syifa Ibn Sina sudah memetakan ragam pandangan tentang hakikat waktu. Di antaranya 29
yang paling penting adalah sebagai berikut : 1. Tidak ada waktu. Di era modern posisi ini dipegang oleh para penganut empirisme. 2. Waktu hanya ilusi/konstruk mental (wahmi). Immanuel Kant dan para pengikutnya 30
mengambil posisi ini . Fritjof Capra juga bisa dikategorikan sebagai penganut pandangan 31
ini . 3. Waktu adalah suatu substansi yang berdiri sendiri. Newton sering disebut sebagai penganut 32
pandangan ini.
4. Waktu adalah relasi antara berbagai entitas. Pandangan ini dianut oleh Leibniz, Einstein, dan 33
Mario Bunge . 29
Ibn Sina, al-Syifa, v. 4, h. 148.
30
Lihat: Mario Bunge, Chasing Reality: Strife over Realism, (Toronto: Toronto University Press, 2006), h. 245.
31
Lihat: Fritjof Capra, The Tao of Physics: An Exploration of The Parallels between Modern Physics and Eastern
Mysticism, (Boulder: Shambhala, 1975), h. 161-187. 32
Lihat: Graham Nerlich, Space-Time Substantivalism, dalam Michael J. Loux & Dean W. Zimmerman (ed.), The Oxford
Handbook of Metaphysics, (New York: Oxford University Press, 2005), h. 281-283. 33
Lihat: Mario Bunge, Chasing Reality: Strife over Realism, h. 244. 11
5. Waktu adalah aksiden ( properties). Leibniz, Einstein, dan Bunge juga bisa dikategorikan ke dalam penganut pandangan ini karena beberapa alasan yang nanti akan saya utarakan. Teori Ibn Sina juga, pada batas tertentu (nanti akan saya jelaskan perbedaannya), bisa dikategorikan ke dalam pendapat ke lima ini. Pendapat ke 1, 2, dan 4 di dasarkan pada pandangan bahwa “waktu tidak mewujud pada pengalaman empirik, yang kita saksikan dalam pengalaman empirik hanyalah rentetan kejadian 34
( successive events)“. Dari sini, orang yang memandang realitas hanya ada pada pengalaman empirik (empirisme ontologis, contoh: Berkeley) jelas akan menafikan waktu sebagai wujud ril (pendapat 1). Di sisi lain, Kant yang memandang bahwa sekalipun waktu tidak didapati pada pengalaman empiris, namun menurutnya waktu merupakan salah satu konstruk akal murni (pure reason) yang tanpanya pengalaman empirik tidak bisa dipahami. Fritjof Capra yang memanang bahwa “fisika modern telah mengkonvirmasi ide-ide dasar mistik Timur, yaitu bahwa seluruh konsep yang kita gunakan untuk menggambarkan alam bersifat terbatas, bukan fitur dari realitas, dan merupakan ciptaan mental kita 35
36
sendiri“ , juga berkesimpulan bahwa waktu adalah konstruk mental dan tidak ril. Berbeda dengan para penganut pandangan 1 dan 2, Leibniz, Einstein, dan Bunge memandang bahwa sekalipun waktu tidak ada pada pengalaman empirik, namun waktu adalah fitur (property/aksiden) dari relasi-relasi 37
antara substansi-substansi (thing/stuff ) material yang nyata . Jadi, menurut pendapat 4 (dan 5), waktu adalah ril, ada pada realitas, dan realitas berifat material. Pandangan 3, yaitu bahwa waktu adalah suatu substansi yang berdiri sendiri, disebut oleh 38
sebagian penulis dengan istilah “ substantivalism“ . Newton, yang sering disebut sebagai penganut 39
pandangan ini, memang dikenal memiliki teori gerak absolut pada ruang dan waktu yang absolut.
Hanya saja, sebenarnya ada kontroversi di kalangan peneliti tentang “apakah Newton dengan teorinya itu sedang membicarakan persoalan metafisika (ontologi), yaitu soal hakikat ruang, waktu, dan gerak,
34
Lihat: Mario Bunge, Ibid .
35
Fritjof Capra, The Tao of Physics, h. 161.
36
Ibid ., 163.
37
Lihat: Mario Bunge, Chasing Reality, h. 244-247.
38
Graham Nerlich, Space-Time Substantivalism, h. 282.
39
Robert DiSalle, Understanding Space-Time: The Philosophical Development from Newton to Einstein , (New York:
Cambridge University Press, 2006), h. 13. 12
40
ataukah bukan?“ Ketika Newton mendefinisikan waktu absolut, ia berkata, “Absolute time, without 41
reference to anything external, flows uniformly“ (waktu absolut, tanpa referensi kepada apapun yang bersifat eksternal, mengalir secara konstan). Menurut analisa DiSaille (2006), Leibniz lah yang menyimpulkan
bahwa
pernyataan
Newton
tersebut
menunjukan
bahwa
ia
menganut
42
substantivalisme. Penalarannya secara sederhana sebagai berikut: jika Newton mengklaim bahwa waktu adalah absolut, maka implikasinya adalah ia harus memandang waktu sebagai suatu 43
substansi. DiSaille menolak penalaran ini. Menurutnya sebenarnya Newton sedang membicarakan masalah gerak simultan dengan interval konstan dan gerak tidak simultan. Dan gerak itu sendiri 44
adalah gerak benda-benda fisik. Sebagaimana dinyatakan oleh Earman (1989), “Waktu absolut 45
adalah suatu teori, bukan ontologi waktu, melainkan strukturnya.“ Jika analisa ini benar, berarti Newton memang bukan penganut substantivalisme. Terlepas dari klaim-klaim ontologis di atas, yang paling juga untuk dicatat adalah bahwa pada praktiknya, sains modern (fisika, baik mekanika klasik Newtonian ataupun fisika modern) selalu membahas waktu dalam konteks relasi benda-benda fisik, bukan waktu sebagai substansi yang berdiri sendiri, ataupun sebagai ilusi yang dikonstruksi mental manusia, apalagi menafikan waktu sama sekali. Bahkan bagi Bunge (2010), persoalan realitas dan objektifitas waktu dalam fisika sudah 46
diselesaikan oleh Einstein (1915) dengan teori relativitas umumnya. Menurut teori ini, ruang dan waktu yang digabungkan menjadi ruang-waktu (spacetime) ditentukan oleh distribusi raga (bodies) dan medan ( fields), bukan oleh gravitasi (sebagaimana menurut fisika klasik); dengan persamaan utama “G = k T “. G menunjukan tensor geometri, dan T menunjukan tensor materi. Jika dimana-mana 47
T = 0, yang berarti suatu alam yang kosong, maka tidak ada fisika (sains).
Jika benar demikian, maka filsafat Ibn Sina (juga pendapat 4 dan 5) tentang waktu dan gerak yang dinyatakan dalam definisi 1, definisi 2, postulat 1, dan postulat 3 lebih sesuai dengan praktik 40
Ibid ., h. 16-17.
41
Ibid , h. 20.
42
Ibid ., h. 22.
43
Ibid .
44
Ibid .
45
Ibid .
46
Mario Bunge, Chasing Reality, h. 246.
47
Ibid . 13
sains dibandingkan dengan ontologi waktu yang ada pada pendapat 1, 2, dan 3. Penganut ontologi waktu 1 (menolak wujud waktu) hanya bisa menerima fisika dengan asumsi “seolah-olah ada waktu“, penganut ontologi waktu 2 (waktu adalah konstruk mental) dengan “seolah-olah waktu nyata“; dan penganut ontologi waktu 3 (waktu adalah substansi, itu pun jika benar ada penganutnya dari kalangan saintis) dengan “seolah-olah waktu bukan substansi“. Terakhir, saya mengasumsikan bahwa filsuf/saintis modern penganut ontologi 4 dan 5 adalah sama. Dua pandangan tersebut bisa disatukan ke dalam pernyataan “waktu adalah aksiden dari relasirelasi substansi material yang nyata“. Pernyataan ini sejalan dengan postulat 3 (Waktu ada jika dan hanya jika gerak ada, di mana gerak hanya ada pada empat maqulat eksidental , bukan pada substansi) dan postulat 4 (Waktu hanya ada di dunia materi) dari filsafat waktu Ibn Sina. Hanya saja ada tiga persoalan penting di sini. Pertama, Ibn Sina membicarakan lebih detil tentang “wujud waktu pada aksiden-aksiden yang disandang oleh substansi material“ tersebut, dengan membatasinya pada empat maqulat aksidental saja (kualitas, kuantitas, ruang, dan posisi). Kedua, istilah materi pada sains modern memiliki definisi yang ambigu. Bahkan Steven Weinberg (1993), peraih nobel fisika tahun 48
1979, menilai materi sudah kehilangan peran sentralnya dalam fisika . Namun Bunge, seorang professor fisika teoritis, logika, dan metafisika, yang saya sebut sebagai penganut ontologi 5 di atas, berbeda sikap dengan Weinberg. Ia mendefinisikan materi sebagai “substansi yang memiliki potensi 49
untuk berubah“ Definisi ini mirip dengan definisi 3 Ibn Sina (materi adalah substansi yang berupa potensi untuk teraktual dalam bentuk tertentu). Namun kedua tokoh tersebut berbeda dari sisi bahwa bagi Bunge substansi fisikal (thing/stuff ) adalah substansi material itu sendiri, sedangkan bagi Ibn Sina wujud fisik adalah komposisi antara materi dengan bentuk yang menghasilkan raga. Ketiga, sekalipun Ibn Sina dan ontologi 5 sama-sama memandang waktu sebagai aksiden, namun dalam postulat 3 Ibn Sina tidak memandang aksiden tersebut sebagai aksiden dari relasi antara substansi material, melainkan aksiden dari gerak pada empat maqulat aksidental yang disandang oleh suatu substansi. 48
Steven Weinberg, Dreams of A Final Theory: The Scientist’s Search for The Ultimate Laws of Nature, (New York:
Vintage Books, 1993), h. 3. 49
Mario Bunge, Matter and Mind: A Philosophical Inquiry, (Dordrecht: Springer, 2010), h. 63-64; Evaluating
Philosophies, (Dordrecht: Springer, 2012), h. 133-134. Bunge berpendapat bahwa energi adalah potensi untuk berubah; dan suatu substansi (thing, stuff ) disebut material (konkrit) jika dan hanya jika dia memiliki potensi untuk berubah (energi). 14
IV.Kesimpulan
Filsafat waktu Ibn Sina sebagai salah satu genre filsafat Aristotelian — sebagaimana diwakili oleh tiga definisi dan enam postulat yang dijelaskan dalam tulisan ini, sebenarnya masih cocok dengan sains modern (dalam kasus ini: fisika). Namun tentunya ada sebab yang menjadikan sebagian saintis menilai fisika dalam kerangka pandangan dunia Aristotelian sudah ditinggalkan oleh fisika di era sains modern. Tulisan ini memang tidak membahas apa saja sebab-sebab tersebut, tapi melalui tulisan ini cukup jelas bagi saya bahwa tidak ada pertentangan antara keduanya, paling tidak sampai sejauh ini. Pernyataan yang tepat tampaknya bukanlah “fisika Aristotelian telah ditinggalkan oleh sains modern atau dipandang tidak valid“, melainkan “fisika Aristotelian telah menjadi metafisika di era modern, dan metafisika telah diceraikan dari fisika saintifik-modern oleh banyak saintis.“
Jika
masalahnya adalah “cerai“, bukan “tidak harmonis“, maka sebenarnya masih ada peluang untuk “rujuk“ dan “ berharmonisasi“. Tulisan ini menunjukan bahwa justru sebenarnya ontologi Ibn Sina lebih harmonis dengan sains modern daripada tiga ontologi (khususnya dua dari tiga tersebut) yang secara paradoks dianut oleh banyak saintis. Sebagian saintis berusaha tidak memisahkan atau 50
menyatukan kembali (keduanya dalam arti yang beragam) metafisika dan fisika. Untuk yang seperti ini, filsafat Ibn Sina sangat siap untuk dilibatkan.
50
Tokoh-tokoh yang disebut di tulisan ini: Einstein, Bunge, Newton, Leibniz, dan Capra bukan termasuk para penolak
metafisika. Leibniz memang pendukung cerainya fisika dari metafisika dalam arti menjadikan masing-masing sebagai disiplin ilmu yang terpisah. Bunge termasuk pendukung integrasi metafisika dan fisika, bahkan integrasi/unifikasi ilmuilmu dalam arti bahwa bangunan pengetahuan itu perlu diatur baik dalam pyramid ataupun diagram Venn dengan tiga alternative relasi: logis, epistemologis, atau ontologis. Capra juga mencoba melihat relevansi fisika modern dengan metafisika Timur. Walau, seperti dikatakan oleh S. H. Nasr, karya-karya Capra masih belum menyentuh metafisika tradisional yang sebenarnya (traditional sciences) tentang alam. Di antara karya yang terbaik, menurut Nasr, tentang integrasi metafisika tradisional dengan fisika terdapat pada Wolfgang Smith. Lihat: Mario Bunge, Evaluating Philosophies, 167-171; Seyyed Hossein Nasr, Religion and The Order of Nature, (New York: Oxford University Press, 1996), h. 127; Wolfgang Smith, The Quantum Enigma: Finding The Hidden Key, (New York: Sophia Perennis, 2005). 15