GEOLOGI ZONA REMBANG Geomorfologi Zona ini meliputi pantai utara Jawa yang membentang dari Tuban ke arah timur melalui Lamongan, Gresik, dan hampir keseluruhan Pulau Madura. Merupakan daerah dataran yang berundulasi dengan jajaran perbukitan yang berarah barat-timur dan berselingan dengan dataran aluvial. Lebar rata-rata zona ini adalah 50 km dengan puncak tertinggi 515 m (Gading) dan 491 (Tungangan). Litologi karbonat mendominasi zona ini. Aksesibilitas cukup mudah dan karakter tanah keras. Jalur Rembang terdiri dari pegunungan lipatan berbentuk Antiklinorium yang memanjang ke arah Barat – Timur, dari Kota Purwodadi melalui Blora, Jatirogo, Tuban sampai Pulau Madura. Morfologi di daerah tersebut dapat dibagi menjadi 3 satuan, yaitu Satuan Morfologi dataran rendah, perbukitan bergelombang dan Satuan Morfologi perbukitan terjal, dengan punggung perbukitan tersebut umumnya memanjang berarah Barat – Timur, sehingga pola aliran sungai umumnya hampir sejajar (sub-parallel) dan sebagian berpola mencabang (dendritic). Sungai utama yang melewati daerah penyelidikan yaitu S. Lusi, yang mengalir ke arah Baratdaya, melalui Kota Blora dan bermuara di Bengawan Solo. Stratigrafi Menurut Sutarso dan Suyitno (1976), secara fisiografi daerah penelitian termasuk dalam Zona Rembang yang merupakan bagian dari cekungan sedimentasi Jawa Timur bagian Utara (East Java Geosyncline). Cekungan ini terbentuk pada Oligosen Akhir yang berarah Timur – Barat hampir sejajar dengan Pulau Jawa (Van Bemmelen, 1949). Menurut Koesoemadinata (1978), cekungan Jawa Timur bagian Utara lebih merupakan geosinklin dengan ketebalan sedimen Tersier mungkin melebihi 6000 meter. Suatu hal yang khas dari cekungan Jawa Timur bagian Utara berarah Timur-Barat dan terlihat merupakan gejala tektonik Tersier Muda. Tiga tahap orogenesa telah dikenal berpengaruh terhadap pengendapan seri batuan Kenozoikum di Indonesia (Van Bemmelen, 1949). Yang pertama terjadi di antara interval Kapur Akhir – Eosen Tengah, kedua pada Eosen Tengah (Intramiocene Orogeny) dan ketiga terjadi pada Plio-Pleistosen. Orogenesa yang terjadi pada Miosen Tengah ditandai oleh peristiwa yang penting di dalam distribusi sedimen dan penyebaran flora dan fauna, terutama di daerah Indonesia bagian Barat dan juga menyebabkan terjadinya fase regresi (susut laut) yang terjadi dalam waktu singkat di Jawa dan daerah Laut Jawa. Fase orogenesa Miosen Tengah ditandai juga oleh hiatus di daerah Cepu dan dicirikan oleh perubahan fasies yaitu dari fasies transgresi menjadi fasies regresi di seluruh Zona Rembang. Selain hal tersebut diatas, fase orogenesa ini
ditandai oleh munculnya beberapa batuan dasar Pra – Tersier di daerah pulau Jawa Utara (Van Bemmelen, 1949). Perbedaan yang mencolok perihal sifat litologi dari endapan – endapan yang berada pada Mandala Kendeng, Mandala Rembang, dan Paparan laut Jawa yaitu sedimen. Mandala Kendeng pada umumnya terisi oleh endapan arus turbidit yang selalu mengandung batuan piroklastik dengan selingan napal dan batuan karbonat serta merupakan endapan laut dalam. Umumnya sedimen-sedimen tersebut terlipat kuat dan tersesar sungkup ke arah Utara, sedangkan Mandala Rembang memperlihatkan batuan dengan kadar pasir yang tinggi disamping meningkatnya kadar karbonat serta menghilangnya endapan piroklastik. Sedimen-sedimen Mandala Rembang memberi kesan berupa endapan laut dangkal yang tidak jauh dari pantai dengan kedalaman dasar laut yang tidak seragam. Hal ini disebabkan oleh adanya sesar-sesar bongkah (Block faulting) yang mengakibatkan perubahan-perubahan fasies serta membentuk daerah tinggian atau rendahan. Daerah lepas pantai laut Jawa pada umumnya ditempati oleh endapan paparan yang hampir seluruhnya terdiri dari endapan karbonat. Mandala Rembang menurut sistem Tektonik dapat digolongkan ke dalam cekungan belakang busur (retro arc back arc) (Dickinson, 1974) yang terisi oleh sedimen-sedimen berumur Kenozoikum yang tebal dan menerus mulai dari Eosen hingga Pleistosen. Endapan berumur Eosen dapat diketahui dari data sumur bor (Pringgoprawiro, 1983). Litostratigrafi Tersier di Cekungan Jawa Timur bagian Utara banyak diteliti oleh para pakar geologi diantaranya adalah Trooster (1937), Van Bemmelen (1949), Marks (1957), Koesoemadinata (1969), Kenyon (1977), dan Musliki (1989) serta telah banyak mengalami perkembangan dalam susunan stratigrafinya. Kerancuan tatanama satuan Litostratigrafi telah dibahas secara rinci oleh Pringgoprawiro (1983) dimana susunan endapan sedimen di Cekungan Jawa Timur bagian Utara dimasukkan kedalam stratigrafi Mandala Rembang dengan urutan dari tua ke muda yaitu Formasi Ngimbang, Formasi Kujung, Formasi Prupuh, Formasi Tuban, Formasi Tawun, Formasi Bulu, Formasi Ledok, Formasi Mundu, Formasi Lidah dan endapan yang termuda disebut sebagai endapan Undak Solo. Anggota Ngrayong Formasi Tawun dari Pringgoprawiro (1983) statusnya ditingkatkan menjadi Formasi Ngrayong oleh Pringgoprawiro, 1983. Anggota Selorejo Formasi Mundu (Pringgoprawiro, 1983) statusnya ditingkatkan menjadi Formasi Selorejo oleh Pringgoprawiro (1985) serta Djuhaeni dan Martodjojo (1990). Sedangkan Formasi Lidah mempunyai tiga anggota yaitu Anggota Tambakromo, Anggota Malo (sepadan dengan Anggota Dander dari Pringgoprawiro, 1983) dan Anggota Turi (Djuhaeni, 1995). Rincian stratigrafi Cekungan Jawa Timur bagian Utara dari Zona Rembang yang disusun oleh Harsono Pringgoprawiro (1983) terbagi menjadi 15 (lima belas) satuan yaitu Batuan Pra – Tersier, Formasi Ngimbang, Formasi Kujung, Formasi Prupuh, Formasi Tuban, Formasi Tawun, Formasi Ngrayong, Formasi Bulu, Formasi Wonocolo, Formasi Ledok, Formasi Mundu, Formasi
Selorejo, Formasi Paciran, Formasi Lidah dan Undak Solo. Pembahasan masing – masing satuan dari tua ke muda adalah sebagai berikut : 1. Formasi Tawun Formasi Tawun mempunyai kedudukan selaras di atas Formasi Tuban, dengan batas Formasi Tawun yang dicirikan oleh batuan lunak (batulempung dan napal). Bagian bawah dari Formasi Tawun, terdiri dari batulempung, batugamping pasiran, batupasir dan lignit, sedangkan pada bagian atasnya (Anggota Ngrayong) terdiri dari batupasir yang kaya akan moluska, lignit dan makin ke atas dijumpai pasir kuarsa yang mengandung mika dan oksida besi. Penamaan Formasi Tawun diambil dari desa Tawun, yang dipakai pertama kali oleh Brouwer (1957). Formasi Tawun memiliki penyebaran luas di Mandala Rembang Barat, dari lokasi tipe hingga ke Timur sampai Tuban dan Rengel, sedangkan ke Barat satuan batuan masih dapat ditemukan di Selatan Pati. Lingkungan pengendapan Formasi Tawun adalah paparan dangkal yang terlindung, tidak terlalu jauh dari pantai dengan kedalaman 0 – 50 meter di daerah tropis. Formasi Tawun merupakan reservoir minyak utama pada Zona Rembang. Berdasarkan kandungan fosil yang ada, Formasi Tawun diperkirakan berumur Miosen Awal bagian Atas sampai Miosen Tengah. 2. Formasi Ngrayong Formasi Ngrayong mempunyai kedudukan selaras di atas Formasi Tawun. Formasi Ngrayong disusun oleh batupasir kwarsa dengan perselingan batulempung, lanau, lignit, dan batugamping bioklastik. Pada batupasir kwarsanya kadang-kadang mengandung cangkang moluska laut. Lingkungan pengendapan Formasi Ngrayong di daerah dangkal dekat pantai yang makin ke atas lingkungannya menjadi littoral, lagoon, hingga sublittoral pinggir. Tebal dari Formasi Tawun mencapai 90 meter. Karena terdiri dari pasir kwarsa maka Formasi Tawun merupakan batuan reservoir minyak yang berpotensi pada cekungan Jawa Timur bagian Utara. Berdasarkan kandungan fosil yang ada, Formasi Ngrayong diperkirakan berumur Miosen Tengah. 3. Formasi Bulu Formasi Bulu secara selaras berada di atas Formasi Ngrayong. Formasi Bulu semula dikenal dengan nama ‘Platen Complex’ dengan posisi stratigrafi terletak selaras di atas Formasi Tawun dan Formasi Ngrayong. Ciri litologi dari Formasi Bulu terdiri dari perselingan antara batugamping dengan kalkarenit, kadang – kadang dijumpai adanya sisipan batulempung. Pada batugamping pasiran berlapis tipis kadang-kadang memperlihatkan struktur silang siur skala besar dan memperlihatkan adanya sisipan napal. Pada batugamping pasiran memperlihatkan kandungan mineral kwarsa mencapai 30 %, foraminifera besar, ganggang, bryozoa dan echinoid. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal antara 50 – 100
meter. Tebal dari formasi ini mencapai 248 meter. Formasi Bulu diperkirakan berumur Miosen Tengah bagian atas. 4. Formasi Wonocolo Lokasi tipe Formasi Wonocolo tidak dinyatakan oleh Trooster, 1937, kemungkinan berasal dari desa Wonocolo, 20 km Timur Laut Cepu. Formasi Wonocolo terletak selaras di atas Formasi Bulu, terdiri dari napal pasiran dengan sisipan kalkarenit dan kadang-kadang batulempung. Pada napal pasiran sering memperlihatkan struktur parallel laminasi. Formasi Wonocolo diendapkan pada kondisi laut terbuka dengan kedalaman antara 100 – 500 meter. Tebal dari formasi ini antara 89 meter sampai 339 meter. Formasi Wonocolo diperkirakan berumur Miosen Akhir bagian bawah sampai Miosen Akhir bagian tengah.
Gambar Kolom Stratigrafi Mandala Rembang (Harsono Pringgoprawiro, 1983)
Struktur Geologi Pada masa sekarang (Neogen – Resen), pola tektonik yang berkembang di Pulau Jawa dan sekitarnya, khususnya Cekungan Jawa Timur bagian Utara merupakan zona penunjaman (convergent zone), antara lempeng Eurasia dengan lempeng Hindia – Australia (Hamilton, 1979, Katili dan Reinemund, 1984, Pulonggono, 1994).
Evolusi tektonik di Jawa Timur bisa diikuti mulai dari Jaman Akhir Kapur (85 – 65 juta tahun yang lalu) sampai sekarang (Pulonggono, 1990). Secara ringkasnya, pada cekungan Jawa Timur mengalami dua periode waktu yang menyebabkan arah relatif jalur magmatik atau pola tektoniknya berubah, yaitu pada jaman Paleogen (Eosen – Oligosen), yang berorientasi Timur Laut – Barat Daya (searah dengan pola Meratus). Pola ini menyebabkan Cekungan Jawa Timur bagian Utara, yang merupakan cekungan belakang busur, mengalami rejim tektonik regangan yang diindikasikan oleh litologi batuan dasar berumur Pra – Tersier menunjukkan pola akresi berarah Timur Laut – Barat Daya, yang ditunjukkan oleh orientasi sesar – sesar di batuan dasar, horst atau sesar – sesar anjak dan graben atau sesar tangga. Dan pada jaman Neogen (Miosen – Pliosen) berubah menjadi relatif Timur – Barat (searah dengan memanjangnya Pulau Jawa), yang merupakan rejim tektonik kompresi, sehingga menghasilkan struktur geologi lipatan, sesar – sesar anjak dan menyebabkan cekungan Jawa Timur Utara terangkat (Orogonesa Plio – Pleistosen) (Pulonggono, 1994). Khusus di Cekungan Jawa Timur bagian Utara, data yang mendukung kedua pola tektonik bisa dilihat dari data seismik dan dari data struktur yang tersingkap. Menurut Van Bemmelen (1949), Cekungan Jawa Timur bagian Utara (North East Java Basin) yaitu Zona Kendeng, Zona Rembang – Madura, Zona Paparan Laut Jawa (Stable Platform) dan Zona Depresi Randublatung. Keadaan struktur perlipatan pada Cekungan Jawa Timur bagian Utara pada umumnya berarah Barat – Timur, sedangkan struktur patahannya umumnya berarah Timur Laut – Barat Daya dan ada beberapa sesar naik berarah Timur – Barat. Zona pegunungan Rembang – Madura (Northern Java Hinge Belt) dapat dibedakan menjadi 2 bagian yaitu bagian Utara (Northern Rembang Anticlinorium) dan bagian Selatan (Middle Rembang Anticlinorium). Bagian Utara pernah mengalami pengangkatan yang lebih kuat dibandingkan dengan di bagian selatan sehingga terjadi erosi sampai Formasi Tawun, bahkan kadang – kadang sampai Kujung Bawah. Di bagian selatan dari daerah ini terletak antara lain struktur – struktur Banyubang, Mojokerep dan Ngrayong. Bagian Selatan (Middle Rembang Anticlinorium) ditandai oleh dua jalur positif yang jelas berdekatan dengan Cepu. Di jalur positif sebelah Utara terdapat lapangan – lapangan minyak yang penting di Jawa Timur, yaitu lapangan : Kawengan, Ledok, Nglobo Semanggi, dan termasuk juga antiklin – antiklin Ngronggah, Banyuasin, Metes, Kedewaan dan Tambakromo. Di dalam jalur positif sebelah selatan terdapat antiklinal-antiklinal / struktur-struktur Gabus, Trembes, Kluweh, Kedinding – Mundu, Balun, Tobo, Ngasem – Dander, dan Ngimbang High.
Sepanjang jalur Zona Rembang membentuk struktur perlipatan yang dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu : 1. Bagian Timur, dimana arah umum poros antiklin membujur dari Barat Laut – Timur Tenggara. 2. Bagian Barat, yang masing – masing porosnya mempunyai arah Barat – timur dan secara umum antiklin-antiklin tersebut menunjam baik ke arah barat ataupun ke arah timur.
Gambar Kerangka tektonik Cekungan Jawa Timur bagian Utara (Katili dan Reinemund, 1984).
GEOLOGI PEGUNUNGAN SELATAN Fisiografi dan Geomorfologi Regional Menurut Van Bemmelen ( 1949, hal. 596), Pegunungan Kulon dilukiskan sebagai dome besar dengan bagian puncak datar dan sayap-sayap curam, dikenal sebagai “Oblong Dome”. Dome ini mempunyai arah utara timur laut – selatan barat daya, dan diameter pendek 15-20 Km, dengan arah barat laut-timur tenggara.
Gambar Sketsa Fisografi Jawa (Van Bemmmelen, 1949) dan Citraan Landsat (SRTM NASA, 2004)
Di bagian utara dan timur, komplek pegunungan ini dibatasi oleh lembah Progo, dibagian selatan dan barat dibatasi oleh dataran pantai Jawa Tengah. Sedangkan di bagian barat laut pegunungan ini berhubungan dengan deretan Pegunungan Serayu. Inti dari dome ini terdiri dari 3 gunung api Andesit tua yang sekarang telah tererosi cukup dalam, sehingga dibeberapa bagian bekas dapur magmanya telah tersingkap. Gunung Gajah yang terletak di bagian tengah dome tersebut, merupakan gunung api tertua yang menghasilkan Andesit hiperstein augit basaltic. Gunung api yang kemudian terbentuk yaitu gunung api Ijo yang terletak di bagian selatan. Kegiatan gunung api Ijo ini menghasilkan Andesit piroksen basaltic, kemudian Andesit augit hornblende, sedang pada tahapterakhir adalh intrusi Dasit pada bagian inti. Setelah kegiatan gunung Gajah berhenti dan mengalami denudasi, di bagian utara mulai terbentuk gunung Menoreh, yang merupakan gunung terakhir pada komplek pegunungan Kulon Progo. Kegiatan gunung Menoreh mula-mula menghasilkan Andesit augit hornblen, kemudian dihasilkan Dasit dan yang terakhir yaitu Andesit.
Dome Kulon Progo ini mempunyai puncak yang datar. Bagian puncak yang datar ini dikenal sebagai “Jonggrangan Platoe“ yang tertutup oleh batugamping koral dan napal dengan memberikan kenampakan topografi “kars“. Topografi ini dijumpai di sekitar desa Jonggrangan, sehingga litologi di daerah tersebut dikenal sebagai Formasi Jonggrangan. Pannekoek (1939), vide (Van Bammelen, 1949, hal 601) mengatakan bahwa sisi utara dari Pegunungan Kulon Progo tersebut telah terpotong oleh gawir-gawir sehingga di bagian ini banyak yang hancur, yang akhirnya tertimbun di bawah alluvial Magelang. Stratigrafi Pegunungan Kulon Progo Daerah penelitian yang merupakan bagian sebelah timur dari Pegunungan Serayu Selatan, secara stratigrafis termasuk ke dalam stratigrafis Pegunungan Kulon Progo. Unit stratigrafis yang paling tua di daerah Pegunungan Kulon Progo dikenal dengan Formasi nanggula, kemudian secara tidak selaras diatasnya diendapkan batuan-batuan dari Formasi Jonggaran dan Formasi Sentolo, yang menurut Van Bemmmelen (1949, hal.598), kedua formasi terakhir ini mempunyai umur yang sama, keduanya hanya berbeda faises. 1. Formasi Nanggulan - Formasi Nanggulan merupakan formasi yang paling tua di daerah pegunungan Kulon Progo. Singkapan batuan batuan penyusun dari Formasi Naggulan dijumpai di sekitar desa Nanggulan, yang merupakn kaki sebelah timur dari Pegunungan Kulon Progo. - Penyusun batuan dari formasi ini menurut Wartono Raharjo dkk (1977) terdiri dari Batupasir dengan sisipan Lignit, Napal pasiran, Batulempung dengan konkresi Limonit, sisipan Napa dan Batugamping, Batupasir dan Tuf serta kaya akan fosil foraminifera dan Moluska. Diperkirakan ketebalan formasi ini adalah 30 meter. - Marks (1957, hal.101) menyebutkan bahwa berdasarkan beberapa studi yang dilakukan oleh Martin (1915 dan 31 ), Douville (1912), Oppernorth & Gerth (1928), maka formasi Nanggulan ini dibagai menjadi 3 bagian secara strtigrafis dari bawah ke atas adalah sebagai berikut a) Anggota (“ Axinea Berds”), marupakan bagian yang paling bawah dari formasi Nanggulan. Ini terdiri dari Batupasir dengan interkalasi Lignit, kemudian tertutup oleh batupasir yang banyak mengandung fosil Pelcypoda, dengan Axinea dunkeri Boetgetter yang dominan. Ketebalan anggota Axinea ini mencapai 40 m. b) Anggota Djogjakartae (‘Djokjakarta”). Batuan penyususn dari bagian ini adalh Napal pasiran, Batuan dan Lempung dengan banyak konkresi yang
bersifat gampingan. Anggota Djokjakartae ini kaya akan Foraminifera besar dan Gastropoda. Fosil yang khas adalah Nummulites djokjakartae MARTIN, bagian ini mempunyai ketenalan sekitar 60 m. c) Anggota Discocyclina (“Discocylina Beds”), Batuan penyususn dari bagian ini adalah Napal pasiran, Batupasir arkose sebagi sisipan yang semakin ke atas sering dijumpai. Discocyciina omphalus, merupakan fosil penciri dari bagian ini.Ketebalan dari anggota ini mencapai 200 m. -
Berdasarkan pada studi fosil yang diketemukan, Formasi Nanggulan mempunyai kisaran umur antara Eosen Tengah sampai Oligosen Atas (Hartono, 1969, vide Wartono Raharjo dkk, 1977).
2. Formasi Andesit Tua -
-
-
-
-
Batuan penyusun dari formasi ini terdiri atas Breksi andesit, Tuf, Tuf Tapili, Aglomerat dan sisipan aliran lava andesit. Lava, terutama terdiri dari Andesit hiperstein dan Andesit augit hornblende (Wartono Raharjo dkk, 1977). Formasi Andesit Tua ini dengan ketebalan mencapai 500 meter mempunyai kedudukan yang tidak selaras di atas formasi Nanggulan. Batuan penyusun formasi ini berasal dari kegiatan vulaknisme di daerah tersebut, yaitu dari beberapa gunung api tua di daerah Pegunungan Kulon Progo yang oleh Van Bemmelen (1949) disebut sebagai Gunung Api Andesit Tua. Gunung api yang dimaksud adalah Gunung Gajah, di bagian tengah pegunungan, Gunung Ijo di bagian selatan, serta Gunung Menoreh di bagian utara Pegunungan Kulon Progo. Aktivitas dari Gunung Gajah di bagian tengah mengahsilkan aliran-aliran lava dan breksi dari andesit piroksen basaltic. Aktivitas ini kemudian diikuti Gunung Ijo di bagian selatan Pegunungan Kulon Progo, yang menghasilkan Andesit piroksen basaltic, kemudian Andesit augit hornblende dan kegiatan paling akhir adalah intrusi Dasit. Setelah denudasi yang kuat, sedikit anggota dari Gunung Gajah telah tersingkap, di bagian utara, Gunung Menoreh ini menghasilkan batuan breksi Andesit augithornblende, yang disusul oleh intrusi Dasit dan Trakhiandesit. Purnamaningsih (1974, vide warttono rahardjo, dkk, 1977) menyebutkan telah menemukan kepingan Tuff napalan yang merupakan fragmen Breksi. Kepingan Tuff napalan ini merupakan hasil dari rombakan lapisan yang lebih tua, dijumpai di kaki gunun Mujil. Dari hasil penelitian, kepingan Tuff itu merupakan fosil Foraminifera plantonik yang dikenal sebagai Globigerina ciperoensis bolli, Globigerina geguaensis weinzrel; dan applin serta Globigerina praebulloides blow. Fosil-fosil ini menunjukkan umur Oligosen atas. Formasi Andesit Tua secara stratrigrafis berada di bawah Formasi Sentolo. Harsono Pringgoprawiro (1968, hal.8) dan Darwin Kadar (1975, hal.2) menyimpulkan bahwa
umur Formasi Sentolo berdasarkan penelitian terhadap Foraminifera plantonik adalah berkisar antara Awal Meiosen sampai Pliosen. Formasi Nanggulan, yang terletak di bawah Formasi Andesit Tua mempunyai kisaran umur Eosen Tengah hingga Oligosen Atas (hartono, 1969, vide Wartono Rahardjo, dkk, 1977). Jika kisaran umur itu dipakai, maka Formasi Andesit Tua diperkirakan berumur Oligosen Atas sampai Meiosen Bawah. Menurut Purbaningsih (1974, vide wartono Rahardjo, dkk, 1977) umur Formasi Tua ini adalah Oligosen. 3. Formasi Jonggrangan -
Litologi dari Formasi Jonggrangan ini tersingkap baik di sekitar desa Jonggrangan, suatu desa yang ketinggiannya di atas 700 meter dari muka air laut dan disebut sebagai Plato Jonggrangan.
-
Bagian bawah dari formasi ini terdiri dari Konglomerat yang ditumpangi oleh Napal tufan dan Batupasir gampingan dengan sisipan Lignit. Batuan ini semakin ke atas berubah menjadi Batugamping koral (Wartono rahardjo, dkk, 1977)
-
Formasi Jonggrangan ini terletak secara tidak selaras di atas Formasi Andesit Tua. Ketebalan dari Formasi Jonggrangan ini mencapai sekitar 250 meter (van Bemmelen, 1949, hal.598). koolhoven (vide van Bemmelen, 1949, hal.598) menyebutkan bahwa formasi Jonggrangan dan Formasi SEntolo keduanya merupakan Formasi Kulon Progo (“Westopo Beds”) ini diduga berumur Miosen Tengah.
4. Formasi Sentolo -
-
-
Litologi penyusun Formasi Sentolo ini di bagian bawah, terdiri dari Aglomerat dan Napal, semakin ke atas berubah menjadi Batugamping berlapis dengan fasies neritik. Batugamping koral dijumpai secara lokal, menunjukkan umur yang sama dengan formasi Jonggrangan, tetapi di beberapa tempat umur Formasi Sentolo adalah lebih muda (Harsono Pringgoprawiro, 1968, hal.9). Berdasarkan penelitian fosil Foraminifera yang dilakukan Darwin kadar (1975) dijumpai beberapa spesies yang khas, seperti : Globigerina insueta CUSHMAN & STAINFORTH, dijumpai pada bagian bawah dari Formasi Sentolo. Fosil-fosil tersebut menurut Darwin Kadar (1975, vide Wartono Rahardjo, dkk, 1977) mewakili zona N8 (Blow, 1969) atau berumur Miosen bawah. Menurut Harsono Pringgoprawiro (1968) umur Formasi Sentolo ini berdasarkan penelitian terhadap fosil Foraminifera Plantonik, adalh berkisar antara Miosen Awal sampai Pliosen (zona N7 hingga N21). Formasi Sentolo ini mempunyai ketebalan sekitar 950 meter ( wartono rahardjo, dkk, 1977). Dari uraian di atas terlihat stratigrafi daerah Pegunungan Kulon Progo, baik itu perbedaan hubungan stratigrafis antara formasi, maupun perbedaan umur dari masing-masing formasi. Ini disebabkan oleh adanya perbedaan data fosil yang digunakan untuk
penentuan umur, karena sebagian ahli mempergunakan fosil Moluska dan Foraminifera besar sebagai dasar penelitian, sedangkan ahli lain mempergunakan Foraminifera kecil plantonik sebagai penelitian. Tidak lengkapnya data merupakan penyebab utama adanya perbedaan tersebut. Untuk lebih jelasnya perbedaan tentang susunan stratigrafi di daerah pegunungan Kulon Progo tersebut. Struktur Geologi Regional Seperti yang sudah dibahas pada geomorfologi regional, pegunungan Kulon Progo oleh Van Bemmelen (1949, hal.596) dilukiskan sebagai kubah besar memanjang ke arah barat dayatimur laut, sepanjang 32 km, dan melebar kea rah ternggara-barat laut, selebar 15-20 km. Pada kaki-kaki pegunungan di sekekliling kubah tersebut banyak dijumpai sesar-sesar yang membentuk pola radial.
Gambar Skema blok diagram dome pegunungan Kulon Progo, yang digambarkan Van Bemmelen (1945, hal.596)
Pada kaki selatan gunung Menoreh dijumpai adanya sinklinal dan sebuah sesar dengan arah barat-timur, yang memisahkan gunung Menoreh dengan gunung ijo serta pada sekitar zona sesar.
GEOLOGI GUNUNG UNGARAN Fisiografi Regional Pulau Jawa secara fisiografi dan struktural, dibagi atas empat bagian utama (Bemmelen, 1970) yaitu: – Sebelah barat Cirebon (Jawa Barat) – Jawa Tengah (antara Cirebon dan Semarang) – Jawa Timur (antara Semarang dan Surabaya) – Cabang sebelah timur Pulau Jawa, meliputi Selat Madura dan Pulau Madura Jawa Tengah merupakan bagian yang sempit di antara bagian yang lain dari Pulau Jawa, lebarnya pada arah utara-selatan sekitar 100 – 120 km. Daerah Jawa Tengah tersebut terbentuk oleh dua pegunungan yaitu Pegunungan Serayu Utara yang berbatasan dengan jalur Pegunungan Bogor di sebelah barat dan Pegunungan Kendeng di sebelah timur serta Pegunungan Serayu Selatan yang merupakan terusan dari Depresi Bandung di Jawa Barat. Pegunungan Serayu Utara memiliki luas 30-50 km, pada bagian barat dibatasi oleh Gunung Slamet dan di bagian timur ditutupi oleh endapan gunung api muda dari Gunung Rogojembangan, Gunung Prahu dan Gunung Ungaran. Gunung Ungaran merupakan gunung api kuarter yang menjadi bagian paling timur dari Pegunungan Serayu Utara. Daerah Gunung Ungaran ini di sebelah utara berbatasan dengan dataran aluvial Jawa bagian utara, di bagian selatan merupakan jalur gunung api Kuarter (Sindoro, Sumbing, Telomoyo, Merbabu), sedangkan pada bagian timur berbatasan dengan Pegunungan Kendeng (Gambar 2.1). Bagian utara Pulau Jawa ini merupakan geosinklin yang memanjang dari barat ke timur (Bemmelen, 1970).
Sketsa fisiografi Pulau Jawa bagian tengah (Bemmelen,1943 vide Bemmelen, 1970, dengan modifikasi)
Stratigrafi Regional Secara lebih rinci, fisiografi Pegunungan Serayu Utara dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian barat (Bumiayu), bagian tengah (Karangkobar) dan bagian timur (Ungaran). Dalam Bemmelen (1970) diuraikan bahwa stratigrafi regional Pegunungan Serayu Utara bagian timur (Gunung Ungaran dan sekitarnya) dari yang tertua adalah sebagai berikut: 1. Lutut Beds Endapan ini berupa konglomerat dan batugamping dengan fosil berupa Spiroclypeus, Eulipidina, Miogypsina dengan penyebaran yang sempit. Endapan ini menutupi endapan Eosen yang ada di bawahnya.endapan ini berumur Oligo-Miosen. 2. Merawu Beds Endapan ini merupakan endapan flysch yang berupa perselangselingan lempung serpihan, batupasir kuarsa dan batupasir tufaan dengan fosil Lepidocyclina dan Cycloclypeus. Endapan ini berumur Miosen Bawah. 3. Panjatan Beds Endapan ini berupa lempung serpihan yang relatif tebal dengan kandungan fosil Trypliolepidina rutteni, Nephrolepidina ferreroi PROV., N. Angulosa Prov., Cycloclypeus sp., Radiocyclocypeus TAN., Miogypsina thecideae formis RUTTEN. Fosil yang ada menunjukkan Miosen Tengah. 4. Banyak Beds Endapan ini berupa batupasir tufaan yang diendapkan pada Miosen Atas. 5. Cipluk Beds Endapan ini berada di atas Banyak Beds yang berupa napal yang berumur Miosen Atas. 6. Kapung Limestone Batugamping tersebut diendapkan pada Pliosen Bawah dengan dijumpainya fosil Trybliolepidina dan Clavilithes sp. Namun fosil ini kelimpahannya sangat sedikit. 7. Kalibluk Beds Endapan ini berupa lempung serpihan dan batupasir yang mengandung moluska yang mencirikan fauna cheribonian yang berumur Pliosen Tengah. 8. Damar Series Endapan ini merupakan endapan yang terbentuk pada lingkungan transisi. Endapan yang ada berupa tuffaceous marls dan batupasir tufaan yang mengandung fosil gigi Rhinocerous, yang mencirikan Pleistosen awal-Tengah. 9. Notopuro Breccias Endapan ini berupa breksi vulkanik yang menutupi secara tidak selaras di atas endapan Damar Series. Endapan ini terbentuk pada Pleistosen Atas. 10. Alluvial dan endapan Ungaran Muda Endapan ini merupakan endapan alluvial yang dihasilkan oleh proses erosi yang terus berlangsung sampai saat ini (Holosen). Selain itu juga dijumpai endapan breksi andesit yang merupakan produk dari Gunung Ungaran Muda. Menurut Budiardjo et. al. (1997), stratigrafi daerah Ungaran dari yang tua ke yang muda adalah sebagai berikut: a. b. c. d. e.
Batugamping volkanik Breksi volkanik III Batupasir volkanik Batulempung volkanik Lava andesitic
f. g. h. i. j. k.
Andesit porfiritik Breksi volkanik II Breksi volkanik I Andesit porfiritik Lava andesit Aluvium
Peta geologi regional daerah Ungaran (Budiardjo, et. al., 1997)
Tatanan Tektonik a. Tektonik Regional Perkembangan tektonik pulau Jawa dapat dipelajari dari pola-pola struktur geologi dari waktu ke waktu. Struktur geologi yang ada di pulau Jawa memiliki pola-pola yang teratur. Secara geologi pulau Jawa merupakan suatu komplek sejarah penurunan basin, pensesaran, perlipatan dan vulkanisme di bawah pengaruh stress regime yang berbeda-beda dari waktu ke waktu. Secara umum, ada tiga arah pola umum struktur yaitu arah Timur Laut –Barat Daya (NESW) yang disebut pola Meratus, arah Utara – Selatan (N-S) atau pola Sunda dan arah Timur – Barat (E-W). Perubahan jalur penunjaman berumur kapur yang berarah Timur Laut – Barat Daya (NE-SW) menjadi relatif Timur – Barat (E-W) sejak kala Oligosen sampai sekarang telah menghasilkan tatanan geologi Tersier di Pulau Jawa yang sangat rumit disamping mengundang pertanyaan bagaimanakah mekanisme perubahan tersebut. Kerumitan tersebut dapat terlihat pada unsur struktur Pulau Jawa dan daerah sekitarnya. Pola Meratus di bagian barat terekspresikan pada Sesar Cimandiri, di bagian tengah terekspresikan dari pola penyebarab singkapan batuan pra-Tersier di daerah Karang Sambung. Sedangkan di bagian timur ditunjukkan oleh sesar pembatas Cekungan Pati, “Florence” timur,
“Central Deep”. Cekungan Tuban dan juga tercermin dari pola konfigurasi Tinggian Karimun Jawa, Tinggian Bawean dan Tinggian Masalembo. Pola Meratus tampak lebih dominan terekspresikan di bagian timur. Pola Sunda berarah Utara-Selatan, di bagian barat tampak lebih dominan sementara perkembangan ke arah timur tidak terekspresikan. Ekspresi yang mencerminkan pola ini adalah pola sesar-sesar pembatas Cekungan Asri, Cekungan Sunda dan Cekungan Arjuna. Pola Sunda pada Umumnya berupa struktur regangan. Pola Jawa di bagian barat pola ini diwakili oleh sesar-sesar naik seperti sesar Beribis dan sear-sear dalam Cekungan Bogor. Di bagian tengah tampak pola dari sesar-sesar yang terdapat pada zona Serayu Utara dan Serayu Selatan. Di bagian Timur ditunjukkan oleh arah Sesar Pegunungan Kendeng yang berupa sesar naik. Dari data stratigrafi dan tektonik diketahui bahwa pola Meratus merupakan pola yang paling tua. Sesar-sesar yang termasuk dalam pola ini berumur Kapur sampai Paleosen dan tersebar dalam jalur Tinggian Karimun Jawa menerus melalui Karang Sambung hingga di daerah Cimandiri Jawa Barat. Sesar ini teraktifkan kembali oleh aktivitas tektonik yang lebih muda. Pola Sunda lebih muda dari pola Meratus. Data seismik menunjukkan Pola Sunda telah mengaktifkan kembali sesar-sesar yang berpola Meratus pada Eosen Akhir hingga Oligosen Akhir. Pola Jawa menunjukkan pola termuda dan mengaktifkan kembali seluruh pola yang telah ada sebelumnya (Pulunggono, 1994). Data seismik menunjukkan bahwa pola sesar naik dengan arah barat-timur masih aktif hingga sekarang. Fakta lain yang harus dipahami ialah bahwa akibat dari pola struktur dan persebaran tersebut dihasilkan cekungan-cekungan dengan pola yang tertentu pula. Penampang stratigrafi yang diberikan oleh Kusumadinata, 1975 dalam Pulunggono, 1994 menunjukkan bahwa ada dua kelompok cekungan yaitu Cekungan Jawa Utara bagian barat dan Cekungan Jawa Utara bagian timur yang terpisahkan oleh tinggian Karimun Jawa. Kelompok cekungan Jawa Utara bagian barat mempunyai bentuk geometri memanjang relatif utara-selatan dengan batas cekungan berupa sesar-sesar dengan arah utara selatan dan timur-barat. Sedangkan cekungan yang terdapat di kelompok cekungan Jawa Utara Bagian Timur umumnya mempunyai geometri memanjang timur-barat dengan peran struktur yang berarah timur-barat lebih dominan. Pada Akhir Cretasius terbentuk zona penunjaman yang terbentuk di daerah Karangsambung menerus hingga Pegunungan Meratus di Kalimantan. Zona ini membentuk struktur kerangka struktur geologi yang berarah timurlaut-baratdaya. Kemudian selama tersier
pola ini bergeser sehingga zona penunjaman ini berada di sebelah selatan Pulau Jawa. Pada pola ini struktur yang terbentuk berarah timur-barat. Tumbukkan antara lempeng Asia dengan lempeng Australia menghasilkan gaya utama kompresi utara-selatan. Gaya ini membentuk pola sesar geser (oblique wrench fault) dengan arah baratlaut-tenggara, yang kurang lebih searah dengan pola pegunungan akhir Cretasisus. Pada periode Pliosen-Pleistosen arah tegasan utama masih sama, utara-selatan. Aktifitas tektonik periode ini menghasillkan pola struktur naik dan lipatan dengan arah timur-barat yang dapat dikenali di Zona Kendeng. Volkanisme Posisi pulau Jawa dalam kerangka tektonik terletak pada batas aktif (zona penunjaman) sementara berdasarkan konfigurasi penunjamannya terletak pada jarak kedalaman 100 km di selatan hingga 400 km di utara zona Benioff. Konfigurasi memberikan empat pola busur atau jalur magmatisme, yang terbentuk sebagai formasi-formasibatuan beku dan volkanik. Empat jalur magmatisme tersebut menurut Soeria Atmadja dkk., 1991 adalah : 1. Jalur volkanisme Eosen hingga Miosen Tengah, terwujud sebagai Zona Pegunungan Selatan. 2. Jalur volkanisme Miosen Atas hingga Pliosen. Terletak di sebelah utara jalur Pegnungan Selatan. Berupa intrusi lava dan batuan beku. 3. Jalur volkanisme Kuarter Busur Samudera yang terdiri dari sederetan gunungapi aktif. 4. Jalur volkanisme Kuarter Busur Belakang, jalur ini ditempati oleh sejumlah gunungapi yang berumur Kuarter yang terletak di belakang busur volkanik aktif sekarang. a. Magmatisme Pra Tersier Batuan Pra-Tersier di pulau Jawa hanya tersingkap di Ciletuh, Karang Sambung dan Bayat. Dari ketiga tempat tersebut, batuan yang dapat dijumpai umumnya batuan beku dan batuan metamorf. Sementara itu, batuan yang menunjukkan aktifitas magmatisme terdiri atas batuan asal kerak samudra seperti, peridotite, gabbro, diabase, basalt toleit. Batuan-batuan ini sebagian telah menjadi batuan metamorf. b. Magmatisme Eosen Data-data yang menunjukkan adanya aktifitas magmatisme pada Eosen ialah adanya Formasi Jatibarang di bagian utara Jawa Barat, dike basaltik yang memotong Formasi Karang Sambung di daerah Kebumen Utara, batuan berumur Eosen di Bayat dan lava bantal basaltik di sungai Grindulu Pacitan. Formasi Jatibarang merupakan batuan volkanik yang dapat dijumpai di setiap sumur pemboran. Ketebalan Formasi Jatibarang
kurang lebih 1200 meter. Sementara di daerah Jawa Tengah dapat ditemui di Gunung Bujil yang berupa dike basaltik yang memotong Formasi Karang Sambung, di Bayat dapat ditemui di kompleks Perbukitan Jiwo berupa dike basaltik dan stok gabroik yang memotong sekis kristalin dan Formasi Gamping-Wungkal. c. Magmatisme Oligosen-Miosen Tengah Pulau Jawa terentuk oleh rangkaian gunungapi yang berumur Oligosen-Miosen Tengah dan Pliosen-Kuarter. Batuan penyusun terdiri atas batuan volkanik berupa breksi piroklastik,breksi laharik, lava, batupasir volkanik tufa yang terendapkan dalam lingkungan darat dan laut. Pembentukan deretan gunungapi berkaitan erat dengan penunjaman lempeng samudra Hindia pada akhir Paleogen. Menurut Van Bemmelen (1970) salah satu produk aktivitas volkanik saat itu adalah Formasi Andesit Tua. d. Magmatisme Miosen Atas-Pliosen Posisi jalus magmatisme pada periode ini berada di sebelah utara jalur magmatisme periode Oligosen-Miosen Tengah. Pada periode in aktivitas magmatisme tidak terekspresikan dalam bentuk munculnya gunungapi, tetapi berupa intrusi-intrusi seperti dike, sill dan volkanik neck. Batuannya berkomposisi andesitik. e. Magmatisme Kuarter Pada periode aktifitas kuarter ini magmatisme muncul sebagai kerucut-kerucut gunungapi. Ada dua jalur rangkaian gunungapi yaitu : jalur utama terletak di tengah pulau Jawa atau pada jalur utama dan jalur belakang busur. Gunungapi pada jalur utama ersusun oleh batuan volkanik tipe toleitik, kalk alkali dan kalk alkali kaya potasium. Sedangkan batuan volkanik yan terletak di belakan busur utama berkomposisi shoshonitik dan ultra potasik dengan kandungan leusit. f. Magmatisme Belakang Busur Gunung Ungaran merupakan magmatisme belakang busur yang terletak di Kota Ungaran, Jawa Tengah dengan ketinggian sekitar 2050 meter di atas permukaan laut. Secara geologis, Gunung Ungaran terletak di atas batuan yan tergabung dalam Formasi batuan tersier dalam Cekungan Serayu Utara di bagian barat dan Cekungan Kendeng di bagian utara-timur. Gunung Ungaran merupakan rangkaian paling utara dari deretan gunungapi (volcanic lineament) Gunung Merapi-Gunung Merbabu-Gunung Ungaran. Beberapa peneliti menyatakan bahwa fenomena itu berkaitan dengan adanya patahan besar yan berarah utara-selatan.
Komposisi batuan yang terdapat di Gunung Ungaran cukup bervariasi, terdiri dari basal yang mengandung olivin, andesit piroksen, andesit hornblende dan dijumpai juga gabro. Pada perkembangannya, Gunung Ungaran mengalami dua kali pertumbuhan, mulanya menghasilkan batuan volkanik tipe basalt andesit pada kala Pleistosen Bawah. Perkembangan selanjutnya pada Kala Pleistosen Tengah berubah menjadi cenderung bersifat andesit untuk kemudian roboh. Pertumbuhan kedua mulai lagi pada Kala Pleistosen Atas dan Holosen yang menghasilkan Gunung Ungaran kedua dan ketiga. Saat ini Gunung Ungaran dalam kondisi dormant. Tatanan Tektonik Daerah Ungaran Gunung Ungaran selama perkembangannya mengalami ambrolan-tektonik yang diakibatkan oleh pergeseran gaya berat karena dasarnya yang lemah (Gambar 2.3 dan 2.4). Gunung Ungaran tersebut memperlihatkan dua angkatan pertumbuhan yang dipisahkan oleh dua kali robohan (Zen dkk., 1983). Ungaran pertama menghasilkan batuan andesit di Kala Pliosen Bawah, di Pliosen Tengah hasilnya lebih bersifat andesit dan berakhir dengan robohan. Daur kedua mulai di Kala Pliosen Atas dan Holosen. Kegiatan tersebut menghasilkan daur ungaran kedua dan ketiga. Struktur geologi daerah Ungaran dikontrol oleh struktur runtuhan (collapse structure) yang memanjang dari barat hingga tenggara dari Ungaran. Batuan volkanik penyusun pre-caldera dikontrol oleh sistem sesar yang berarah barat laut-barat daya dan tenggara-barat daya, sedangkan batuan volkanik penyusun post-caldera hanya terdapat sedikit struktur dimana struktur ini dikontrol oleh sistem sesar regional (Budiardjo et al. 1997).
Blok diagram struktur volkano-tektonik Ungaran Tua (akhir Pleistosen). (Bemmelen,1943 vide Bemmelen, 1970 dengan perubahan)
Peta Ungaran fault System dan antiklinorium utara Candi (Bemmelen, 1943 vide Bemmelen, 1970 dengan perubahan)
GEOLOGI PEGUNUNGAN KENDENG Fisiografinya
Gambar Sketsa Fisografi Pulau Jawa Bagian Timur (de Genevraye and Samuel, 1972)
Zona Kendeng juga sering disebut Pegunungan Kendeng dan adapula yang menyebutnya dengan Kendeng Deep, adalah antiklinorium berarah barat-timur. Pada bagian utara berbatsan dengan Depresi Randublatung, sedangkan bagian selatan bagian jajaran gunung api (Zona Solo). Zona Kendeng merupakan kelanjutan dari Zona Pegunungan Serayu Utara yang berkembang di Jawa Tengah. Mandala Kendeng terbentang mulai dari Salatiga ke timur sampai ke Mojokerto dan menunjam di bawah alluvial Sungai Brantas, kelanjutan pegunungan ini masih dapat diikuti hingga di bawah Selat Madura. Menurut Van Bemmelen (1949), Pegunungan Kendeng dibagi menjadi 3 bagian, yaitu bagian barat yang terletak di antara G.Ungaran dan Solo (utara Ngawi), bagian tengah yang membentang hinggaJombang dan bagian timur mulai dari timur Jombang hingga Delta Sungai Brantas dan menerus ke Teluk Madura. Daerah penelitian termasuk dalam Zona Kendeng bagian barat. Stratigrafi Menurut Harsono P. (1983) Stratigrafi daerah kendeng terbagi menjadi dua cekungan pengendapan, yaitu Cekungan Rembang (Rembang Bed) yang membentuk Pegunungan Kapur Utara, dan Cekungan Kendeng (Kendeng Bed) yang membentuk Pegunungan Kendeng. Formasi yang ada di Kendeng adalah sebagi berikut:
1. Formasi Kerek Formasi ini mempunyai ciri khas berupa perselingan antara lempung, napal lempungan, napal, batupasir tufaan gampingan dan batupasir tufaan. Perulangan ini menunjukkan struktur sedimen yang khas yaitu perlapisan bersusun (graded bedding) yang mencirikan gejala flysch. Berdasarkan fosil foraminifera planktonik dan bentoniknya, formasi ini terbentuk pada Miosen Awal – Miosen Akhir ( N10 – N18 ) pada lingkungan shelf. Ketebalan formasi ini bervariasi antara 1000 – 3000 meter. Di daerah Lokasi Tipe, formasi ini terbagi menjadi 3 anggota (de Genevreye & Samuel, 1972), dari tua ke muda masing-masing : a. Anggota Banyuurip Tersusun oleh perselingan antara napal lempungan, napal, lempung dengan batupasir tuf gampingan dan batupasir tufaan dengan total ketebalan 270 meter. Pada bagian tengah perselingan ini dijumpai batupasir gampingan dan tufaan setebal 5 meter, sedangkan bagian atas ditandai oleh adanya perlapisan kalkarenit pasiran setebal 5 meter dengan sisipan tipis dari tuf halus. Anggota ini berumur N10 – N15 (Miosen Tengah bagian tengah – atas). b. Anggota Sentul Tersusun oleh perulangan yang hampir sama dengan Anggota Banyuurip, tetapi lapisan yang bertufa menjadi lebih tebal. Ketebalan seluruh anggota ini mencapai 500 meter. Anggota Sentul diperkirakan berumur N16 (Miosen Tengah bagian bawah). c. Batugamping Kerek Anggota teratas dari Formasi Kerek ini tersusun oleh perselangselingan antara batugamping tufan dengan perlapisan lempung dan tuf. Ketebalan dari anggota ini adalah 150 meter. Umur dari Batugamping Kerek ini adalah N17 (Miosen Atas bagian tengah).
2. Formasi Kalibeng Formasi ini terletak selaras di atas Formasi Kerek. Formasi ini terbagi menjadi dua anggota yaitu Formasi Kalibeng Bawah dan Formasi Kalibeng Atas. Bagian bawah dari Formasi Kalibeng tersusun oleh napal tak berlapis setebal 600 meter berwarna putih kekuningan sampai abu-abu kebiruan, kaya akan foraminifera planktonik. Asosiasi fauna yang ada menunjukkan bahwa Formasi Kalibeng bagian bawah ini terbentuk pada N17 – N21 (Miosen Akhir – Pliosen). Pada bagian barat formasi ini oleh de Genevraye & Samuel, 1972 dibagi menjadi Anggota Banyak, Anggota Cipluk, Anggota Kalibiuk, Anggota Batugamping, dan Anggota Damar. Di bagian bawah formasi ini terdapat beberapa perlapisan batupasir, yang ke arah Kendeng bagian barat berkembang menjadi suatu endapan aliran rombakan debris flow, yang disebut Formasi Banyak (Harsono, 1983, dalam Suryono, dkk., 2002). Sedangkan ke arah Jawa Timur bagian atas formasi ini berkembang sebagai endapan vulkanik laut yang menunjukkan struktur turbidit. Fasies tersebut disebut sebagai Formasi Atasangin, sedangkan bagian atas Formasi Kalibeng ini disebut sebagai Formasi Sonde yang tersusun mula – mula
oleh Anggota Klitik, yaitu kalkarenit putih kekuningan, lunak, mengandung foraminifera planktonik maupun foraminifera besar, moluska, koral, alga, bersifat napalan atau pasiran dan berlapis baik. Bagian atas bersifat breksian dengan fragmen gamping berukuran kerikil sampai karbonat, kemudian disusul endapan bapal pasiran, semakin ke atas napalnya bersifat lempungan, bagian teratas ditempati napal lempung berwarna hijau kebiruan. 3. Formasi Pucangan Di bagian barat dan tengah Zona Kendeng formasi ini terletak tidak selaras di atas Formasi Sonde. Formasi ini penyebarannya luas. Di Kendeng Barat batuan ini mempunyai penyebaran dan tersingkap luas antara Trinil dan Ngawi. Ketebalan berkisar antara 61 – 480 m, berumur Pliosen Akhir (N21) hingga Plistosen (N22). Di Mandala Kendeng Barat yaitu di daerah Sangiran, Formasi Pucangan berkembang sebagai fasies vulkanik dan fasies lempung hitam. 4. Formasi Kabuh Formasi Kabuh terletak selaras di atas Formasi Pucangan. Formasi ini terdiri dari batupasir dengan material non vulkanik antara lain kuarsa, berstruktur silangsiur dengan sisipan konglomerat dan tuff, mengandung fosil Moluska air tawar dan fosil – fosil vertebrata berumur Plistosen Tengah, merupakan endapan sungai teranyam yang dicirikan oleh intensifnya struktur silangsiur tipe palung, banyak mengandung fragmen berukuran kerikil. Di bagian bawah yang berbatasan dengan Formasi Pucangan dijumpai grenzbank. Menurut Van Bemmelen (1972) di bagian barat Zona Kendeng (daerah Sangiran), formasi ini diawali lapisan konglomerat gampingan dengan fragmen andesit, batugamping konkresi, batugamping Globigerina, kuarsa, augit, hornblende, feldspar dan fosil Globigerina. Kemudian dilanjutkan dengan pembentukan batupasir tuffaan berstruktur silangsiur dan berlapis mengandung fragmen berukuran kecil yang berwarna putih sampai cokelat kekuningan. 5. Formasi Notopuro Terletak tidak selaras di atas Formasi Kabuh. Litologi penyusunnya terdiri dari breksi lahar berseling dengan batupasir tufaan dan konglomerat vulkanik. Makin ke atas, sisipan batupasir tufaan makin banyak. Juga terdapat sisipan atau lensa – lensa breksi vulkanik dengan fragmen kerakal, terdiri dari andesit dan batuapung, yuang merupakan ciri khas Formasi Notopuro. Formasi ini pada umumnya merupakan endapan lahar yang terbentuk pada lingkungan darat, berumur Plistosen Akhir dengan ketebalan mencapai lebih dari 240 meter.
6. Formasi Undak Bengawan Solo Endapan ini terdiri dari konglomerat polimik dengan fragmen batugamping, napal dan andesit di samping batupasir yang mengandung fosil-fosil vertebrata, di daerah Brangkal dan Sangiran, endapan undak tersingkap baik sebagai konglomerat dan batupasir andesit yang agak terkonsolidasi dan menumpang di atas bidang erosi pad Formasi Kabuh maupun Notopuro.
Gambar Stratigrafi Kendeng (Harsono, 1983)
Struktur Geologi Deformasi pertama pada Zona Kendeng terjadi pada akhir Pliosen (Plio – Plistosen), deformasi merupakan manifestasi dari zona konvergen pada konsep tektonik lempeng yang diakibatkan oleh gaya kompresi berarah relatif utara – selatan dengan tipe formasi berupa ductile yang pada fase terakhirnya berubah menjadi deformasi brittle berupa pergeseran blok – blok
dasar cekungan Zona Kendeng. Intensitas gaya kompresi semakin besar ke arah bagian barat Zona Kendeng yang menyebabkan banyak dijumpai lipatan dan sesar naik dimana banyak zona sesar naik juga merupakan kontak antara formasi atau anggota formasi. Deformasi Plio – Plistosen dapat dibagi menjadi tiga fase/ stadia, yaitu; fase pertama berupa perlipatan yang mengakibatkan terbentuknya Geantiklin Kendeng yang memiliki arah umum barat – timur dan menunjam di bagian Kendeng Timur, fase kedua berupa pensesaran yang dapat dibagi menjadi dua, yaitu pensesaran akibat perlipatan dan pensesaran akibat telah berubahnya deformasi ductile menjadi deformasi brittle karena batuan telah melampaui batas kedalaman plastisnya. Kedua sesar tersebut secara umum merupakan sesar naik bahkan ada yang merupakan sesar sungkup. Fase ketiga berupa pergeseran blok – blok dasar cekungan Zona Kendeng yang mengakibatkan terjadinya sesar – sesar geser berarah relatif utara – selatan. Deformasi kedua terjadi selama kuarter yang berlangsung secara lambat dan mengakibatkan terbentuknya struktur kubah di Sangiran. Deformasi ini masih berlangsung hingga saat ini dengan intensitas yang relatif kecil dengan bukti berupa terbentuknya sedimen termuda di Zona Kendeng yaitu Endapan Undak.
Gambar Pola Struktur Jawa (Sribudiyani dkk., 2003)
Secara umum struktur – struktur yang ada di Zona Kendeng berupa : 1. Lipatan Lipatan yang ada pada daerah Kendeng sebagian besar berupa lipatan asimetri bahkan beberapa ada yang berupa lipatan overturned. Lipatan – lipatan di daerah ini ada yang memiliki pola en echelon fold dan ada yang berupa lipatan – lipatan menunjam. Secara umum lipatan di daerah Kendeng berarah barat – timur. 2. Sesar Naik Sesar naik ini biasa terjadi pada lipatan yang banyak dijumpai di Zona Kendeng, dan biasanya merupakan kontak antar formasi atau anggota formasi. 3. Sesar Geser Sesar geser pada Zona Kendeng biasanya berarah timur laut- barat daya dan tenggara -barat laut.
4. Struktur Kubah Struktur Kubah yang ada di Zona Kendeng biasanya terdapat di daerah Sangiran pada satuan batuan berumur Kuarter. Bukti tersebut menunjukkan bahwa struktur kubah pada daerah ini dihasilkan oleh deformasi yang kedua, yaitu pada Kala Plistosen.