Geologi Regional Kuningan
2.1.1 Geologi Regional Menurut Van Bemmelen (1949), Jawa Barat dibagi lima satuan fisiografi yang merupakan bagian dari jalur fisiografi dan strukt ural yang secara umum berarah Barat T imur. Lima satuan fisiografi de ngan urutan sebagai berikut : 1. Daerah Paparan Pantai Jakarta ; terbentang mulai dari Serang hingga Cirebon, tersusun atas batuan yang sebagian besar terdiri atas endapan aluvium (endapan banjir dan endapan pantai), endapan lahar dan aliran lumpur hasil gunung api Kuarter. 2. Jalur Bogor ; terbentang mulai dari Jasinga di sebelah barat Bogor hingga menuju Bumiayu di Jawa Tengah. Jalur ini terdiri atas bukit dan punggungan yang merupakan antiklinorium rumit dan cembung ke arah utara, tersusun oleh lapisan Neogen yang terlipat kuat kemudian diikuti oleh kegiatan tubuh batuan beku berupa boss dan neck. 3. Jalur pegunungan Bayah ; terbentang dari sebelah barat jalur Bogor dengan penyebaran yang tidak begitu luas jika dibandingkan dengan penyebaran satuan fisiografi yang lainnya. 4. Jalur Bandung ; terbentang dari sebelah timur Jalur Pegunungan Bayah hingga kesebelah timur Tasikmalaya dan berakhir di Sagara Anakan di pantai Selatan Jawa Tengah. Secara struktural Jalur Bandung merupakan puncak dari antiklin Pulau Jawa yang telah mengalami penghancuran pada akhir zaman Tersier. 5. Daerah Pegunungan Selatan Jawa Barat terbentang dari sekitar Teluk Pelabuhan Ratu di sebelah barat hingga ke Pulau Nusakambangan di sebelah timur. Satuan fisiografi ini juga dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Jampang, Pangalengan, dan Karangnunggal. Berdasarkan pembagian satuan fisiografi wilayah Jawa barat tersebut, maka daerah penelitian termasuk kedalam jalur Bogor bagian Timur. 1). Geomorfologi Regional Perkembangan morfologi suatu permukaan bumi sangat dipengaruhi oleh berbagai proses, baik yang telah maupun sedang berlangsung, dimana setiap proses akan memberikan atau membentuk ciri-ciri atau kesan tertentu pada daerah tersebut. Bila proses erosi berlangsung pada suatu daerah dengan tingkatan energi yang berbeda dengan daerah lain, maka morfologi permukaan yang terbentuk pada daerah tersebut akan berlainan. Struktur geologi dan kekerasan litologi merupakan faktor pengontrol utama didalam proses tersebut. Proses geologi yang mempengaruhi suatu daerah tersebut terjadi saling berkaitan satu sama lainnya, perkembangan geomorfologi merupakan cermin dari berbagai proses geologi yang berkembang. Berdasarkan proses geomorfologi di atas dan hasil analisis kenampakan relief permukaan, kemiringan lereng, ketinggian, material penyusun, struktur geologi dan pola pengalirannya, maka daerah penelitian dibagi menjadi 3 (tiga) satuan geomorfologi, yaitu : a. Satuan geomorfogi perbukitan sedimen curam Satuan geomorfogi ini menempati bagian berat hingga selatan dengan luas sekitar 55 % dari seluruh luas
daerah penelitian, meliputi daerah Gunung Klaban, Lebak herang, Balandongan, Sagara hingga daerah situ kulaon. Elevasinya antara 300 m sampai 650 m di atas permukaan laut. Topografi pada satuan geomorfologi ini relatif curam dengan kemiringan lereng antara 30-40 %. Pola pengaliran yang berkembang pada satuan ini adalah pola dendritik dan sub-radier, dengan sungai-sungai yang relatif mengalir sepanjang tahun, yaitu Sungai Cigolo dan Cipaing, sedangkan anak sungainya bersifat berkala (intermiten). Arah aliran sungai pada umumnya berarah selatan-utara. Tingkat erosi yang berkembang pada daerah ini merupakan tingkat erosi sangat muda, hal ini dicirikan oleh bentuk lembah yang mempunyai huruf ”V” yang menunjukan erosi vertikal relatif lebih intensif dibandingkan ke arah vrtikalnya. Karakteristik Litologi penyusun satuan geomorfologi ini umumnya adalah batu pasir yang mencerminkan perbukitan-perbukitan curam. Penduduk setempat memanfaatkan satuan geomorfologi yang berupa perbukitan curam ini untuk lahan pertanian, sebagian kecil untuk pemukiman dan umumnya berupa hutan. b. Satuan geomorfologi perbukitan sedimen bergelombang Satuan geomorfologi ini berkembang dibagian barat laut, timur dan tengah daerah penelitian dengan luas sekitar 25 % dari seluruh luas daerah penelitian, meliputi daerah Ciwaru, Segong, Garahaji, Walahar, Tegalana, Pabuaran dan Pasir jambu. Satuan ini memperlihatkan suatu perbukitan dengan kemiringan lereng berkisar antara 10-25 %, dengan elevasi berkisar antara 200 m sampai 300 m diatas permukaan laut. Pola pengaliran yang berkembang pada satuan ini adalah pola pengaliran subparalel dan dendritik, dengan sungai-sungai yang bersifat mengalir sepanjang tahun (tetap), dan anak anak sungainya bersifat interrniten. Tingkat erosi pada satuan geomorfologi ini adalah erosi muda, yang diperlihatkan oleh lembahnya yang berbentuk huruf ”V” seperti di hulu sungai Cijambu dan Citaal dan anak anak sungainya. Karakteristik litologi penyusun pada satuan geomorfologi ini terdiri atas Batu Pasir dan Batu Lempung. Penduduk setempat memanfaatkan satuan geomorfologi yang berupa perbukian bergelombang ini untuk lahan pertanian, persawahan, dan pemukiman. c. Satuan geomorfologi pedataran aluvium Satuan geomorfologi ini terletak dibagian daerah penelitian dengan luas sekitar 10 % dari seluruh luas daerah penelitian, yang meliputi daerah Galajati dan Gala herang, satuan geomorfologi ini merupakan pedataran dengan elevasi antara 100m sampai 200m diatas permukaan laut dan kemiringan lerengnya antara 0 sampai 8 %. Pola pengaliran yang berkembang pada satuan ini adalah berkelok (meandering), Bagian sungai utamanya adalah sungai Cisanggarung dan citaal yang bersifat mengalir sepanjang tahun (tetap). Tingkat erosi yang berkembang pada satuan ini adalah tingkat erosi tua, hal ini diperlihatkan oleh bentuk lembah yang menyerupai huruf ”U” yang menunjukan erosi lateral relatif lebih intensif dibandingkan arah vertikalnya. Karakteristik litologi penyusun pada satuan geomorfologi ini adalah aluvium. Penduduk setempat memanfaatkan satuan geomorfologi yang berupa pedataran ini umumnya untuk lahan pesawahan, pertanian dan pemukiman. 2). Stratigrafi Regional Van Bemmelen (1949) telah menyusun urutan stratigrafi Jalur Bogor bagian Tengah dan Timur mulai dari lapisan batuan yang berunur paling tua sampai ke lapisan yang berumur paling muda, yaitu : a. Pemali Beds atau Formasi Pemali menempati posisi paling bawah, terdiri atas serpih, lempung, batupasir kuarsa, napal dan batu gamping dengan kandungan fosil Spirolypeus sp, sehingga menafsirkan umur Formasi permali ini adalah Miosen bawah. Sedangkan Formasi Pemali bagian atas yang mengandung fosil Cyclo/ypeus annu/atus MARTIN, Lepidocycylina sp dan Miogypsina sp. Ditafsirkan berumur Miosen Tengah dan bagian atas dari Miosen bawah. Ketebalan dari lapisan ini minimum 5001200 meter untuk bagian timur dari Jalur Bogor. b. Formasi Rambatan terletak selaras diatas Formasi Pemali. Di lembar Majenang, Formasi Rambatan bagian bawah berupa batupasir gampingan, berwarna abu-abu muda jingga kebiruan, konglomerat dengan sisipan napal dan serpih. Bagian atasnya terdiri dari napal abu-abu tua, lempung serpihan dan batu pasir gampingan. Ketebalan formasi ini mencapai 300 meter. Berdasarkan kandungan fosil foraminiferanya, maka umur Formasi Rambatan ini adalah Miosen Tengah (Marks, 1961). c. Diatas formasi rambatan diendapkan secara selaras Formasi lawak. Dibagian bawah formasi ini batuannya berupa napal kehijauan dengan sisipan batupasir gampingan, batugamping foraminifera. Bagian atasnya berupa napal globigerina dengan sisipan batupasir. Tebal seluruhnya sekitar 150 meter (Kastwo, 1975). Dalam formasi ini hetzel (1935) menemukan fosil Cycloclypeus indofasificus TAN, Radiocyclocclypeus.sp, Tribliolepidina radiata MARTIN dan lain-lain. Umur formasi ini Miosen Atas
bagian tengah (Kastowo, 1975). d. Formasi halang atau Halang Series terletak selaras diatas Formasi Lawak. Dilembar Majenang, formasi ini berupa selang-seling batu pasir andesitik, batupasir tufaan, napal dan lempung serpih. Menurut Hetzel (1935) dibagian atas halang series terdapat sisipan batu gamping koral tidak berlapis. Bagian bawahnya berupa breksi andesit, konglomerat, dan tuf batuapung dengan sisipan batugamping abu-abu dan batu gamping napalan. Formasi Halang merupakan batuan sedimen jenis turbidit dengan struktur sedimen yang jelas seperti perlapisan bersusun, konvolut laminasi, seruling dan lain-lain. Ketebalan formasi ini seluruhnya mencapai 2400 meter. Fosil banyak ditemukan dalam formasi ini, berupa fosil moluska, koral dan foraminifera. Berdasarkan fosil-fosil yang ditemukan dalam formasi, maka umur formasi halang ini adalah Miosen Atas (Kastowo, 1975). e. Formasi halang ditutupi oleh Formasi Kumbang secara tidak selaras (Kastowo,1975). Litologinya terdiri atas breksi gunung api andesit, pejal dan tidak berlapis, termasuk aliran lava, tufa berwarna abu-abu dan batupasir tufaan, konglomerat bersisipan lapisan megnetit. Breksi terpropilitisasi terdapat didaerah yang sempit. Ketebalan formasi ini seluruhnya mencapai 2000 meter. Berdasarkan kedudukan stratigrafinya, umur formasi kumbang adalah Pliosen Bawah (Hetzel, 1935 dan kastowo, 1975). Sedangkan Van Bemmelen, 1949) menyebutkan bahwa umur Formasi ini adal Miosen atas. f. Formasi Tapak terletak selaras di atas Formasi Kumbang. Bagian bawah terdiri atas batu pasir kasar kehijauan, ke arah atas berangsur-angsur berubah menjadi batupasir kehijauan dengan sisipan napal pasiran berwarna abu-abu sampai kekuning-kuningan, batu gamping terletak di bagian atas. Ketebalan maksimum Formasi ini sampai 500 meter. Umur Formasi tapak adalah Pliosen tengah bagian bawah (Hetzel,1935 dan kastowo,1975). g. Diatas Formasi Tapak diendapkan secara selaras Formasi Kalibiuk. Dilembar Majenang, Formasi Kalibiuk terdapat di daerah sebelah utara Bentarsari. Batuan bagian bawah berupa batulempung dan napal biru berfosil, bagian sebelah atasnya mengandung lebih banyak sisipan batupasir. Umur Formasi kalibiuk ini adalah Pliosen Tengah (Hatzel,1935 dan Kastowo, 1975). i. Formasi Kaliglagah terletak tidak selaras di atas Formasi kalibiuk (Van Bemmelen,1949 dan Kastowo, 1975). Bagian atas terdiri batupasir kasar dan konglomerat, batulempung dan napal semakin berkurang dibagian atas. Bagian bawahnya terdiri atas batulempung hitam, napal hijau, batupasir abdesitik dan konglomerat. Ketebalannya sekitar 350 meter (kastowo, 1975). Sedangkan umur dari Formasi ini adalah Pliosen Atas (Hetzel,1935 dan Kastowo,1975). j. Selanjutnya Formasi Mengger ter letak tidak selaras diatas Form asi Kaliglagah. Pada lokasi tipe nya di Gunung Mengger – Bumiayu, litologinya terdiri atas tuf kelabu dan batupasir tufaan dengan sisipan konglomerat dan lapisan tipis pasir magnetik. Umur formasi ini adalah Plistosen Bawah (Van Bemmelen, 1949). k. Formasi mengger ditutupi secara selaras oleh Formasi Gintung. Dilembar Majenang litologinya terdiri atas konglomerat bersisipan batupasir abu-abu kehijauan, batulempung pasiran, lempung, batupasir gampingan dan konkresi batupasir napalan. Umur Formasi Gintung ini adalah Plistosen Tengah (Kastowo, 1975). Kegiatan vulkanik didaerah Zona Pegunungan Serayu Utara pada plistosen Atas menghasilkan Formasi Linggopodo dan menutupi batuan yang telah ada sebelumnya dengan membentuk ketidakselarasan menyudut (Van Bemmelen,1949). Menurut Kastowo (1975), dilembar majenang, Formasi Linggopodo terletak selaras diatas Formasi Gintung. Batuan yang menyusun Formasi ini berupa breksi, tuf, endapan lahar bersusunan andesit, berasal dari Gunung Slamet Tua. Umur Formasi Linggopodo adalah Plestosen Atas (kastowo,1975). Selanjutnya kegiatan vulkanik muda dan pembentukan endapan terus berlangsung hingga kini dengan membentuk endapan Resen. Endapanendapan Resen tersebut berupa endapan hasil gunung api muda dari gunung Ciremai, Gunung Sawal, Gunung Slamet disamping itu endapan lainnya adalah kipas aluvium, undak-undak sungai dan endapan aluvial. 3). Struktur Geologi Regional Struktur Geologi yang di jumpai di daerah peneletian merupakan gejala dari penyebaran struktur secara regional. Struktur di Pulau Jawa pada umumnya berarah Barat-Timur, Zona Bogor di batasi oleh sesar sesar yang berarah Baratlaut-Tenggara. Daerah penelitian termasuk ujung timur Zona Bogor yang terlipat kuat sehingga menghasilkan suatu antiklinorium yang berarah Barat-Timur. Selain itu terjadi sesar-sesar yang menyebabkan pergeseran dari sumbu-sumbu antiklin dan terjadi setelah pengendapan Formasi Halang. Van Bemmelen (1949) mengatakan bahwa Zona Bogor merupakan satu dari lima jalur fisiografi di daerah jawa barat dan sebagai daerah antiklinorium yang sedikit cembung ke utara, mem bentang dari barat ke
timur mulai dari Rangkasbitung sampai ke daerah Bumiayu telah mengalami dua kali periode tektonik, yaitu : (a) Periode Tektonik Mio-Pliosen, (b) Periode tektonik Plio-Plistosen. Hadiwisastra dan Martodjojo (1977) menamakan Zona Bogor ini sebagai Palung Bogor yang memisahkan paparan benua di bagian utara dan Jawa Platform di bagian selatan. Daerah ini terkenal sangat aktif sepanjang Zaman Tersier yang membentuk Antiklinorium yang kuat yang disebabkan oleh tekanan yang membentang mulai dari Rangkasbitung sampai ke Bumiayu dengan arah Barat-Timur. Pada akhir Miosen Tengah terbentuk lipatan dengan inti terdiri atas endapan-endapan yang berumur Miosen Tengah dan sayap-sayapnya dibentuk oleh endapan-endapan yang berumur Pliosen dan Plistosen Bawah. Lipatan pada umumnya cenderung agak cembung kearah utara, akibat tekanan yang kuat yang berasal dari selatan. Pada plistosen terjadi sesar-sesar naik. Pada periode tektonik Mio-pliosen terjadi pembentukan geoantiklin Pulau Jawa yang terletak dibagian Selatan Pulau Jawa. Timbulnya gaya-gaya yang berarah Utara menghasilkan struktur lipatan dan sesar dibagian Utara. Gejala itu dibuktikan dengan dapatnya ketidakselarasan antara Formasi Cidadap dengan Formasi Kaliwangu yang berumur Pliosen Bawah (Van Bemmelen, 1949). Antiklinorium yang terbentuk pada Miosen Atas atau Mio-Pliosen dit erobos oleh tubuh batuan beku dasit atau andesit homblenda yang terdiri atas : 1. Boss yang terdapat diantara Jalur Bogor bagian Barat dan Tengah. 2. Kelompok boss dan neck di Purwakarta yang merupakan perbatasan antara Jalur Bogor bagian Tengah dan Timur. 3. Ekstrusi Breksi Kumbang yang terletak dibagian paling timur dan jalur Bogor. Pada periode tektonik Plio-Plistosen berlangsung pula proses perlipatan dan pensesaran yang diakibatkan oleh gaya-gaya yang berarah utara. Gaya-gaya tersebut diakibatkan oleh adanya amblesan dibagian Utara Jalur Bandung yang kemudian menimbulkan struktur lipatan serta sesar naik dengan arah Utara. Akibat adanya tekanan yang kuat mengakibatkan terbentuknya sesar naik di bagian Utara jalur Bogor yang merupakan suatu jalur memanjang antara Subang hingga gunung Ciremai sepanjang kurang lebih 70 km, sesar naik ini dikenal dengan Baribis Thrust. Berdasarkan konsep wrench tectonic, Situmorang,dkk (1971) telah membuat peta tektonik Pulau Jawa berupa peta struktur lipatan dari pola sesar. Beberapa unsur tektonik adalah sebagai berikut : 1. Sistem rekahan meridional yang terbentuk di Pulau Jawa merupakan hasil dari kompresi lokal yang berarah Utara ke Selatan yang erat hubungannya dengan pergerakan aktiv lempeng Samudera Hindia terhadap lempeng Benua Asia. 2. Wrench orde pertama, kedua, dan ketiga mengikuti sistem lipatan primer, dimana ditemukan hanya beberapa lipatan. Berdasarkan pengukuran arah dan jurus kemiringan lapisan dilapangan, Situmorang dkk (1971) telah memplotnya kedalam diagram rosset, kemudian menarik kesimpulan bahwa gaya utama yang bekerja adalah gaya yang berarah Barat daya-Timur laut. Koesoemadinata dan Pulonggono (1975) berpendapat bahwa jalur bogor yang memanjang kearah Tenggara dan membentuk cekungan turbidit Cirebon Banyumas memiliki kesamaan dengan suatu geantiklin. Keadaan ini ditunjang oleh penyelidikan gaya berat di lembah citanduy yang menunjukan adanya suatu cekungan dalam yang berarah Barat laut-Tenggara yang ditempati oleh sedimen Miosen bercirikan endapan flysch hasil mekanisme pengendapan arus turbidit. Cekungan tersebut di tafsirkan sebagai patahan dasar (basement fault) yang terbentuk pada zaman tersier, dimana dataran Sunda yang lenkorsolidasi pada akhir mesozoikum mengalami penseseran yang menghasilkan suatu sistem sesar dalam bentuk ”horst dan graben” dan mengakibatkan berlangsungnya sedimentasi non marine yang tebal disertai kegiatan gunung api secara lokal. Suatu cekungan pada prinsipnya dikontrol oleh patahan dasar yang berpengaruh terhadap pembentukan sedimen dalam cekungan tersebut (koesoemadinata & Pulonggono, 1975).