BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG Follow the money secara harafiah berarti “mengikuti jejak -jejak yang ditinggalkan dalam suatu arus uang atau arus dana”. Jejak -jejak ini akan membawa penyidik atau akuntan forensik ke arah pelaku fraud. Pertama kita akan melihat naluri penjahat. Tanpa disadari, nalurinya ini akan meninggalkan jejak-jejak berupa gambaran mengenai arus uang. Jejak-jejak uang atau money trails inilah yang dipetakan oleh penyidik. Ketentuan perundang-undangan mengenai tindak pidana pencucian uang mengingatkan kita bahwa bukan kejahatan utamanya saja yang merupakan tindak pidana, tetapi juga pencucian uangnya adalah tindak pidana. Teknologi informasi merupakan faktor yang sangat menentukan dalam teknik follow the money. Uang sangat cair (likuid), mudah mengalir. Itulah sebabnya follow the money mempunyai banyak peluang untuk digunakan dalam investigasi. Namun, mata uang kejahatan atau currency of crime bukanlah uang semata-mata. Mengetahui currency of crime akan membuka peluang baru untuk menerapkan teknik follow the money. Akuntan forensik bekerja sama dengan praktisi hukum dalam menyelesaikan masalah hukum. Karena itu akuntan forensik perlu memahami hukum pembuktian sesuai dengan masalah hukum yang dihadapi, seperti pembuktian untuk tindak pidana umum (dimana beberapa pelanggaran dan kejahatan mengenai fraud diatur), tindak pidana khusus (seperti korupsi, pencucian uang, perpajakan, dan lain-lain), pembuktian dalam hukum perdata, pembuktian dalam hukum administrasi dan sebagainya. Akuntan forensik mengenal teknik analisis dari pengalamannya sebagai auditor. Modul ini membahas teknik analisis dengan menggunakan rumusan mengenai perbuatanperbuatan melawan hukum seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut “Undang-Undang “Undang -Undang Tipikor). Dari contoh UndangUndang Tipikor, pembaca dapat menerapkannya dalam pembuktian hukum lainnya.
Perbuatan melawan hukum dirumuskan dalam satu atau beberapa kalimat yang dapat dianalisis atau dipilah-pilah ke dalam bagian yang lebih kecil. Unsur-unsur ini dikenal dengan istilah Belanda, Bestanddeel (tunggal) atau bestanddeelen (jamak). Penyidik atau akuntan forensik mengumpulkan bukti dan barang bukti untuk setiap unsur tersebut. Bukti dan barang bukti yang dikumpulkan untuk setiap unsur akan mendukung atau membantah adanya perbuatan melawan hukum.
BAB II PEMBAHASAN
A. FOLLOW THE MONEY 1. Pengantar Follow the money secara harafiah berarti “mengikuti jejak-jejak yang ditinggalkan dalam suatu arus uang atau arus dana”. Jejak Jejak-jejak -jejak ini akan membawa penyidik atau akuntan forensik ke arah pelaku fraud. Pertama kita akan melihat naluri penjahat. Tanpa disadari, nalurinya ini akan meninggalkan jejak-jejak berupa gambaran mengenai arus uang. Jejak-jejak uang atau money trails inilah yang dipetakan oleh penyidik. Ketentuan perundangundangan mengenai tindak pidana pencucian uang mengingatkan kita bahwa bukan kejahatan utamanya saja yang merupakan tindak pidana, tetapi juga pencucian uangnya adalah tindak pidana. Teknologi informasi merupakan faktor yang sangat menentukan dalam teknik follow the money. Uang sangat cair (likuid), mudah mengalir. Itulah sebabnya follow the money mempunyai banyak peluang untuk digunakan dalam investigasi. Namun, mata uang kejahatan atau currency of crime bukanlah uang semata-mata. Mengetahui currency of crime akan membuka peluang baru untuk menerapkan teknik follow the money
2. Naluri Penjahat Dalam setiap kejahatan pada umumnya, dan fraud khususnya, ada suatu gejala yang sangat lumrah, yakni pelaku berupaya memberi kesan bahwa ia tidak terlibat fraud. Untuk itu, pelaku “harus jauh” dari fraud itu sendiri dan “harus jauh” dari uang yang merupakan hasil kejahatan. Itulah sebabnya, salah satu aksioma dalam fraud ialah fraud is hidden atau fraud itu tersembunyi. Di lain pihak, motive dari perbuatan fraud itu sendiri pada umumnya, adalah mendapatkan uang. Kalaupun bukan itu motive-nya ada aliran uang ke diri pelaku (atau keluarganya). Pada akhirnya ada arus uang atau dana dari “tempat
persembunyian” atau “tempat penitipan” yang mengalir ke alamat si pelaku utama. Jejak-jejak kejahatan, dalam hal ini, berupa arus uang. Karena itu, dalam mencari pelaku, investigator menelusuri jejak-jejak uang ini. Tehnik investigatif yang menelusuri arus dana dan mencari muaranya, disebut Follow The Money.
3. Kriminalisasi Dari Pencucian Uang Pola perilaku pelaku kejahatan dengan “menjauhkan” uang dari pelaku dan perbuatannya dilakukan melalui cara placement, layering, dan integration. a. Placement: upaya menempatkan uang tunai hasil kejahatan ke dalam system keuangan atau upaya menempatkan kembali dana yan sudah berada dalam system keuangan ke dalam system keuangan. b. Layering: upaya mentransfer harta kekayaan hasil kejahatan yang telah berhasil masuk dalam system keuangan melalui tahap placement. c. Integration: upaya menggunakan kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk dalam system keuangan melalui placement dan layering, seolah-olah merupakan kekayaan halal
Tindak perbuatan ini denga tegas diperlakukan serbagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak pidana Pencucian uang sebagaimana telah diubah de ngan Undang-Undang nomor 25 tahun 2003. Dengan diperlakukannya pencucian uang sebagai tindak pidana (kriminalisasi dari pencucian uang), maka banyak kasus kejahatan (termasuk tindak pidana korupsi) dapat diproses (pengadilan) melalui kejahatan utamanya dan melalui pencucian uangnya. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) merupakan lembaga yang penting untuk mengungkapkan pelaku-pelaku dengan menelusuri laporanlaporan dari berbagai sumber, tanpa harus membuktikan kejahatan utamanya.
4. Terorisme Dari Pencucian Uang Pengeboman di Hotel JW Marriott dan The Ritz-Carlton di Jakarta pada tanggal 17 Juli 2009 dapat berlangsung karena ada dukungan dana yang cukup memadai. Polisi menduga, beberapa orang dalam kelompok tersebut menjadi semacam penghubung antara jaringan dan sumber dana, yang berada di dalam maupun di luar negeri. Hal tersebut menunjukkan adanya hubungan antara terorisme sebagai kejahatan utama atau tindak pidana asal (predicate crime) dengan pencucian uang. Pencucian uang yang lebih sulit ditelusuri atau dilacak adalah dengan menghindari transaksi perbankan yang berkewajiban melaporkan transaksi yang mencurigakan kepada otoritas (di Indonesia PPATK). Salah satu cara pemindahan dana dikenal dengan nama hawala.
Kewajiban Melapor bagi Penyelenggara Negara Kewajiban melapor harta kekayaan bagi penyelenggara negara, ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ketentuan
KPK
tersebut
mendefinisikan
“Harta
Kekayaan
Penyelenggaraan Negara” sebagai harta benda yang dimiliki oleh penyelenggara negara beserta istri dan anak yang masih menjadi tanggungan, baik berupa harta bergerak, harta tidak bergerak, maupun hak-hak lainnya yang dapat dinilai dengan uang yang diperoleh penyelenggara negara sebelum, selama dan setelah memangku jabatannya. Harta kekayaan penyelenggara negara dilaporkan dalam “Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara” disingkat (LHKPN). LHKPN adalah daftar seluruh Harta Kekayaan Penyelenggara Negara, yang dituangkan dalam formulir yang ditetapkan oleh KPK.
Ketaatan dalam melapor harta Teknik audit investigative dengan menggunakan perbandingan kenaikan dan penurunan asset merupakan teknik yang ampuh , terutama jika diikuti dengan ketentuan beban pembuktian terbalik.Di tingkaat penyelenggara Negara teknik audit investigative ini akan efektif kalau penyelenggara Negara menaati ketentuan undang undang mengenai pelaoran harta kekayaan
5. Follow The Money Dan Data Mining Tehnik investigasi ini sebenarnya sangat sederhana. Kesulitannya adalah datanya sangat banyak dalam hitungan terabytes. Kita tidak bisa mulai dengan pelakunya, yang kita ingin kita lihat justru adanya pola-pola arus dana yang menuju ke suatu tempat (yang memberi indikasi tentang pelaku atau otak kejahatan). Disamping kerumitan karena data yang begitu besar, juga diperlukan kecermatan dan persistensi dalam mengumpulkan bahan-bahannya. Kemajuan yang sangat pesat di bidang teknologi informasi, memfasilitasi proses ini.
6. Mata Uang Kejahatan Ciri dari penggunaan currency of crime yang bukan berupa uang adalah izinizin atau lisensi untuk akses ke sumber-sumber daya alam yang umumnya dialokasikan kepada keluarga dan kerabat sang diktator. Dalam hal itu currency of crime- nya bisa berupa intan berlian, minyak bumi, pasir laut, kayu bundar (logs), ganja, dan lain sebagainya. Di sini ada dua arus yang bisa diikuti investigator, yakni arus dana dan arus fisik barang. Arus fisik barang sering memberikan indikasi kuat, karena adanya anomali. Contoh: data statistik resmi mengenai impor-ekspor yang menunjukkan kesenjangan yang besar, antara data negara pengimpor dan negara pengekspor.
B. AUDIT INVESTIGATIF DENGAN MENGANALISIS UNSUR PERBUATAN MELAWAN HUKUM 1. Pengantar Akuntan forensik bekerja sama dengan praktisi hukum dalam menyelesaikan masalah hukum. Karena itu akuntan forensik perlu memahami hukum pembuktian sesuai dengan masalah hukum yang dihadapi, seperti pembuktian untuk tindak pidana umum (dimana beberapa pelanggaran dan kejahatan mengenai fraud diatur), tindak pidana khusus (seperti korupsi, pencucian uang, perpajakan, dan lain-lain), pembuktian dalam hukum perdata, pembuktian dalam hukum administrasi dan sebagainya.
Akuntan forensik mengenal teknik analisis dari pengalamannya sebagai auditor. Modul ini membahas teknik analisis dengan menggunakan rumusan mengenai perbuatan-perbuatan melawan hukum seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut “Undang-Undang Tipikor). Dari contoh Undang-Undang Tipikor, pembaca dapat menerapkannya dalam pembuktian hukum lainnya. Perbuatan melawan hukum dirumuskan dalam satu atau beberapa kalimat yang dapat dianalisis atau dipilah-pilah ke dalam bagian yang lebih kecil. Unsurunsur ini dikenal dengan istilah Belanda, Bestanddeel (tunggal) atau bestanddeelen (jamak). Penyidik atau akuntan forensik mengumpulkan bukti dan barang bukti untuk setiap unsur tersebut. Bukti dan barang bukti yang dikumpulkan untuk setiap unsur akan mendukung atau membantah adanya perbuatan melawan hukum.
2. 30 Jenis Tindak Pidana Korupsi Undang-undang tipikor merumuskan 30 jenis atau bentuk tindak pidana korupsi yang dibagi dalam tujuh kelompok yang diringkas dalam Tabel 5. Dalam Tabel 5 terdapat kolom d/da. Dalam kolom ini d berarti “dan” atau da berarti “dan/atau”. Kalau tertulis “dan” berarti kedua jenis pidana pokoknya (dalam hal ini, pidana penjara dan pidana denda) harus dijatuhkan bersama-sama. Penjatuhan dua jenis pidana pokok ini secara bersamaan merupakan sistem kumulatif imperatif, dan terlihat dalam Pasal 2, 6, 8, 9, 10, 12, dan 12B. Tindak pidana korupsi dalam pasal-pasal ini dapat dikenakan pidana penjara seumur hidup, bahkan dalam Pasal 2 dikenakan hukuman mati. Ini menandakan bahwa sistem kumulatif imperatif dikenakan terhadap tindak pidana korupsi yang paling berat. Di samping sistem kumulatif imperatif, juga ada sistem kumulatif fakultatif. yang dapat dilihat pada pasal-pasal yang menggunakan istilah “dan/atau” (da).
Tabel 5 Perincian 30 Jenis Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 Jo.
No
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Kelompok
Keterangan
Tipikor
Pidana
Pidana
Penjara
Denda
Pidana
(tahun)
Penjara
Min Maks
d/da
( juta Rp ) Min
Maks
Kerugian Keuangan Negara 1
Pasal 2
Memperkaya diri
4
20
d
200
1.000
1
20
da
50
1.000
Menyuap PN
1
5
da
50
250
Menyuap PN
1
5
da
50
250
3
da
1
5
da
50
250
Seumur hidup Pidana mati
2
Pasal 3
Menyalahgunakan
Seumur hidup
wewenang
Suap Menyuap 3
Psl 5 ayat (1)a
4
Psl 5 ayat (1)b
5
Pasal 13
Memberi hadiah ke PN
150
6
Psl 5 ayat(2)
PN menerima suap
7
Pasal 12.a
PN menerima suap
Seumur hidup
4
20
d
200
1.000
8
Pasal 12.b.
PN menerima suap
Seumur hidup
4
20
d
200
1.000
9
Pasal 11
PN menerima suap
1
5
da
50
250
10
Psl 6
Menyuap Hakim
3
15
d
150
750
Menyuap advokat
3
15
d
150
750
Hakim & Advokat terima suap
3
15
d
150
750
ayat(1).a 11
Psl 6 ayat(1).b
12
Psl 6 ayat(2)
13
Pasal 12.c
Hakim menerima suap
Seumur Hidup
4
20
d
200
1.000
14
Pasal 12.d
Advokat menerima suap
Seumur Hidup
4
20
d
200
1.000
No
Kelompok
Keterangan
Tipikor
Pidana
Pidana
Penjara
Denda
Pidana
(tahun)
Penjara
Min Maks
d/da
( juta Rp ) Min
Maks
Penggelapan dalam Jabatan 15
Pasal 15
PN menggelapkan uang atau
3
15
d
150
750
membiarkan penggelapan 16
Pasal 9
PN. I memalsukan buku
1
5
d
50
250
17
Pasal 10.a
PN. I merusak bukti
2
7
d
100
350
18
Pasal 10.b
PN membiarkan orang lain
2
7
d
100
350
2
7
d
100
350
merusakkan bukti 19
Pasal 10.c
PN membantu orang lain merusakkan bukti
Perbuatan Pemerasan 20
Pasal 12.e
PN memeras
Seumur Hidup
4
20
d
200
1.000
21
Pasal 12.g
PN memeras
Seumur Hidup
4
20
d
200
1.000
22
Pasal 12.h
PN memeras
Seumur Hidup
4
20
d
200
1.000
Pemborong berbuat curang
2
7
da
100
350
Pengawas proyek
2
7
da
100
350
2
7
da
100
350
2
7
da
100
350
2
7
da
100
350
4
20
d
200
1.000
Perbuatan Curang 23
Psl 7 ayat(1) a
24
Psl 7 ayat(1) b
25
Psl 7 ayat(1) c
26
Psl 7 ayat(1) d
27
Psl 7 ayat (2)
membiarkan perbuatan curang Rekanan TNI/Polri berbuat curang Pengawas rekanan TNI/Polri berbu at curang Penerima barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang
28
Psl 12.h
PN memeras
No
Kelompok
Keterangan
Tipikor
Pidana
Pidana
Penjara
Denda
Pidana
(tahun)
Penjara
Min Maks
d/da
( juta Rp ) Min
Maks
Benturan Kepentingan dalam Pengadaan 29
Pasal 12.i
PN turut serta dlm
Seumur Hidup
4
20
d
200
1.000
Seumur Hidup
4
20
d
200
1.000
pengadaan yang diurusnya
Gratifikasi 30
Psl 12B
PN menerima gratifikasi dan tidak melapor ke KPK
jo.12C
3. Tindakan Pidana Lain Terkait Tipikor Selain ke-30 bentuk tindak pidana korupsi, Undang-Undang Tipikor Bab III mengatur beberapa tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. a. Mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara korupsi. b. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar. c. Dalam perkara korupsi, melanggar KUHP Pasal 220 (mengadukan perbuatan pidana, padahal ia tahu perbuatan itu tidak dilakukan), Pasal 231 (menarik barang yang disita), Pasal 421 (pejabat menyalahgunakan kekuasaan, memaksa orang melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu), Pasal 422 (pejabat menggunakan paksaan untuk memeras pengakuan atau mendapat keterangan), Pasal 429 (pejabat melampaui kekuasaan ... memaksa masuk ke dalam rumah atau ruangan atau pekarangan tertutup ... atau berada di situ secara melawan hukum) atau Pasal 430 (pejabat melampaui kekuasaan menyuruh memperlihatkan kepadanya atau merampas surat, kartu pos, barang atau paket ... atau kabar lewat kawat)
4. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi Tabel 5 di atas menyajikan pasal-pasal dan ayat-ayat dari Undang-Undang Tipikor yang berisi 30 jenis tindak pidana berdasarkan tujuh kelompok. Pada pembahasan di bawah ini, pasal-pasal dan ayat-ayat tersebut diuraikan ke dalam unsurunsurnya (bestanddeelen)
TPK – KERUGIAN KEUANGAN NEGARA TPK – 1 Pasal 2: (1) Setiap
orang
yang
secara
melawan
hukum
melakukan
perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00
(dua
ratus
juta
rupiah)
dan
paling
banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Unsur Tindak Pidana
No 1.
Setiap orang
2.
Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi
3.
Dengan cara melawan hukum
4.
Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
TPK – 2 Pasal 3: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan
atau
kedudukan
yang
dapat
merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Unsur Tindak Pidana
No 1.
Setiap orang
2.
Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
3.
Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana
4.
Yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
5.
Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
TPK – SUAP MENYUAP TPK – 3 Pasal 5 ayat (1) huruf a: (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau b. .........
No
Unsur Tindak Pidana
1.
Setiap orang
2.
Memberi atau menjanjikan sesuatu
3.
Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
4.
Dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya
TPK – 4 (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a. ......... b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Unsur Tindak Pidana
No 1.
Setiap orang
2.
Memberi sesuatu
3.
Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
4.
Berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya
TPK – 5 Pasal 13: Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan
atau wewenang
yang melekat
pada jabatan
atau
kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
No
Unsur Tindak Pidana
1.
Setiap orang
2.
Memberi hadiah atau janji
3.
Kepada pegawai negeri
4.
Dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada abatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut
TPK – 6 Pasal 5 ayat (2): (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a. ........ b. ........ (2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
No
Unsur Tindak Pidana
1.
Pegawai Negeri
2.
Menerima pemberian atau janji
3.
Kepada pegawai negeri
4.
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b
TPK – 7 Pasal 12 Huruf a: Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; b. ........
No
Unsur Tindak Pidana
1.
Pegawai Negeri atau penyelenggara negara
No
Unsur Tindak Pidana
2.
Menerima hadiah atau janji
3.
Diketahuinya bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkannya agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya
4.
Patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya
TPK – 8 Pasal 12 huruf b: Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): a. .......... b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; Penjelasan: Cukup jelas
c. ..........
No
Unsur Tindak Pidana
1.
Pegawai Negeri atau penyelenggara negara
2.
Menerima hadiah
3.
Diketahuinya bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya
4.
Patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya
TPK – 9 Pasal 11: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
No
Unsur Tindak Pidana
1.
Pegawai Negeri atau penyelenggara negara
2.
Menerima hadiah atau janji
3.
Diketahuinya
4.
Patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya
TPK – 10 Pasal 6 ayat (1) huruf a: (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau b. ........
No
Unsur Tindak Pidana
1.
Setiap orang
2.
Memberi atau menjanjikan sesuatu
3.
Kepada hakim
4.
Dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili
TPK – 11 (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a. ........ b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
No
Unsur Tindak Pidana
1.
Setiap orang
2.
Memberi atau menjanjikan sesuatu
3.
Kepada advokat yang menghadiri sidang pengadilan
4.
Dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
TPK – 12 Pasal 6 ayat (2): (2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
No
Unsur Tindak Pidana
1.
Hakim atau advokat
2.
Yang menerima pemberian atau janji
3.
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a atau huruf b
TPK – 13 Pasal 12 huruf c: Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili Penjelasan: Cukup jelas
d. .......
No
Unsur Tindak Pidana
1.
Hakim
2.
Menerima hadiah atau janji
3.
Diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili
TPK – 14 Pasal 12 huruf d: Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): c. ...... d. seseorang
yang
menurut
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili
e. .........
No
Unsur Tindak Pidana
1.
Advokat yang menghadiri sidang di pengadilan
2.
Menerima hadiah atau janji
3.
Diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili
TPK – SUAP MENYUAP TPK – 15 Pasal 8: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
No
Unsur Tindak Pidana
1.
Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu
2.
Dengan sengaja
3.
Menggelapkan atau membiarkan orang lain mengambil atau membiarkan orang lain menggelapkan atau membantu dalam melakukan perbuatan itu.
4.
Uang atau surat berharga
5.
Yang disimpan karena jabatannya
TPK – 16 Pasal 9: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
No
Unsur Tindak Pidana
1.
Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu
2.
Dengan sengaja
3.
Memalsu
4.
Buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi
TPK – 17 Pasal 10 huruf a: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja: a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau b. ......
No
Unsur Tindak Pidana
1.
Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu
2.
Dengan sengaja
3.
Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai
4.
Barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang
5.
Yang dikuasainya karena jabatan
TPK – 18 Pasal 10 huruf b: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja: a. ......... b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau c. ..........
No
Unsur Tindak Pidana
1.
Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu
2.
Dengan sengaja
3.
Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai
4.
Barang, akta, surat, atau daftar sebagaimana disebut pada Pasal 10 huruf a
TPK – 19 Pasal 10 huruf c: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja: b. ......... c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
No
Unsur Tindak Pidana
1.
Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu
2.
Dengan sengaja
3.
Membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai
4.
Barang, akta, surat, atau daftar sebagaimana disebut pada Pasal 10 huruf a
TPK – PEMERASAN TPK – 20 Pasal 12 huruf e: Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): d. ...... e. pegawai
negeri
atau
penyelenggara
negara
yang
dengan
maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan
sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri; f.
.........
No
Unsur Tindak Pidana
1.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara
2.
Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain
3.
Secara melawan hukum
4.
Memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri
5.
Menyalahgunakan kekuasaan
TPK – 21 Pasal 12 huruf g: Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): f.
......
g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolaholah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang h. .........
No
Unsur Tindak Pidana
1.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara
2.
Pada waktu menjalankan tugas
3.
Meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang
4.
Seolah-olah merupakan utang kepada dirinya
5.
Diketahuinya bahwa hal tersebut bukan merupakan utang
TPK – 22 Pasal 12 huruf f: Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): e. ...... f.
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolaholah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang
g. .........
No
Unsur Tindak Pidana
1.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara
2.
Pada waktu menjalankan tugas
3.
Meminta atau menerima pekerjaan, atau memotog pembayaran
4.
Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum
5.
Seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya
6.
Diketahuinya bahwa hal tersebut bukan merupakan utang
TPK – PERBUATAN CURANG TPK – 23 Pasal 7 ayat (1) huruf a: (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang; b. ........
No
Unsur Tindak Pidana
1.
Pemborong, ahli bangunan atau penjual bahan
2.
Melakukan perbuatan curang
3.
Pada waktu membuat bangunan atau menyerahkan bahan bangunan
4.
Yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang
TPK – 24 Pasal 7 ayat (1) huruf b: (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah): a. .......... b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a; c. ..........
No
Unsur Tindak Pidana
1.
Pengawas bangunan atau pengawas penyerahan bahan bangunan
2.
Membiarkan dilakukannya perbuatan curang pada waktu membuat bangunan atau menyerahkan bahan bangunan.
3.
Dilakukan dengan sengaja
4.
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a.
TPK – 25 Pasal 7 ayat (1) huruf c: (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah): b. .......... c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau d. ..........
No
Unsur Tindak Pidana
1.
Setiap orang
2.
Melakukan perbuatan curang
3.
Waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia
4.
Dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang
TPK – 26 Pasal 7 ayat (1) huruf d: (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah): c. .......... d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c
No
Unsur Tindak Pidana
1.
Orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia
2.
Melakukan perbuatan curang
3.
Membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c
4.
Dilakukan dengan sengaja
TPK – 27 Pasal 7 ayat (2) (2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
No
Unsur Tindak Pidana
1.
Orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia
2.
Membiarkan perbuatan curang
3.
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a atau huruf c
TPK – 28 Pasal 12 huruf h: Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): g. .......... h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah
sesuai
dengan
peraturan
perundang-undangan,
telah
merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau i. ......
No
Unsur Tindak Pidana
1.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara
2.
Pada waktu menjalankan tugas menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai
3.
Seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
4.
Telah merugikan orang yang berhak
5.
Diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
TPK – 29 Pasal 12 huruf i: Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): h. .......... i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya
No
Unsur Tindak Pidana
1.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara
2.
Dengan sengaja
3.
Langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan.
4.
Pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya
TPK – 30 Pasal 12 B: (1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. (2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 12 C: (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak b erlaku, jika penerima
melaporkan
gratifikasi
yang
diterimanya
kepada
Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. (3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara. (4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
No
Unsur Tindak Pidana
1.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara
2.
Menerima gratifikasi
3.
Yang berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya
4.
Penerimaan gratifikasi tersebut tidak dilaporkan ke KPK dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanya gratifikasi
5. Beberapa Konsep Undang-Undang Di bawah ini ada catatan mengenai beberapa konsep, baik yang secara umum dikenal dalam KUHP dan KUHAP maupun yang khas untuk tindak pidana korupsi. Konsep-konsep itu adalah: a. Alat bukti yang sah b. Beban pembuktian terbalik c. Gugatan perdata atas harta yang disembunyikan d. Pemidanaan secara in absentia e. “memperkaya” versus “menguntungkan” f.
Pidana mati
g. Nullum delictum h. Concursus idealis i.
Concursus realis
j.
Perbuatan berlanjut
k. “lepas dari tuntutan hukum” versus “bebas”. Konsep-konsep ini akan dibahas secara singkat dan dimaksudkan untuk membantu akuntan forensik yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan hukum. Dalam analisis kasus, pembaca dapat melihat penerapan sebagian konsep-konsep ini.
Alat Bukti yang Sah Penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menyebutkan:
Ketentuan perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah yang berupa petunjuk, dirumuskan bahwa mengenai "petunjuk" selain diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa, juga diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili, dan dari dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Ini merupakan perluasan pengertian alat bukti yang sah dalam KUHAP sesuai dengan perkembangan teknologi. Rumusannya sendiri dapat dilihat dalam Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 berikut: Pasal 26 A Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari : a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Ketentuan serupa mengenai alat bukti yang sah juga terdapat dalam UndangUndang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tinda Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003.
Beban Pembuktian Terbalik Penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menyebutkan: Ketentuan mengenai "pembuktian terbalik" perlu ditambahkan dalam Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan yang bersifat "premium remidium" dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 atau terhadap penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi. Pembuktian terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini.
Penggunaan istilah “pembuktian terbalik” sebenarnya kurang tepat, istilah yang seharusnya digunakan adalah pembalikan beban pembuktian ( omkering van bewijslast ).
Gugatan Perdata atas Harta yang Disembunyikan Penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menyebutkan: Dalam Undang-undang ini diatur pula hak negara untuk mengajukan gugatan perdata terhadap harta benda terpidana yang disembunyikan atau tersembunyi dan baru diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Harta benda yang disembunyikan atau tersembunyi tersebut diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Gugatan perdata dilakukan terhadap terpidana dan atau ahli warisnya. Untuk melakukan gugatan tersebut, negara dapat menunjuk kuasanya untuk mewakili negara.
Ketentuan mengenai hal ini dapat dilihat dalam Pasal 38 C dari UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 38 C Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.
Perampasan Harta Benda yang Disita Ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 38 ayat 5 dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang berbunyi sebagai berikut: “Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan
terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita” dan penjelasannya yang berbunyi sebagai berikut: “ Ketentuan dalam ayat ini, dimaks udkan pula untuk menyelamatkan kekayaan Negara”.
Karena orang itu telah meninggal dunia, kesempatan baginya banding tidak ada. Setelah ia meninggal, pertanggungjawabannya dibatasi sampai pada perampasan harta benda yang telah disita. Inilah peluang yang diberikan kepada negara di bawah pasal ini. Pasal 38 ayat 7 Undang-Undang Tipikor memberi kesempatan kepada yang berkepentingan untuk mengajukan keberatan. Ayat ini sekaligus memberi kepastian mengenai batas waktunya. Ayat ini berbunyi: “Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).”
Pemidanaan secara in Absentia Pengalaman mengenai koruptor yang melarikan diri atau tidak hadir dalam persidangan, diatasi dengan ketentuan mengenai pemidanaan secara in absentia. Hal ini diatur dalam pasal 38 ayat 1, 2, 3, dan 4 Undang-Undang Pemberantasan Tipikor yang berbunyi sebagai berikut: (1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya. (2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang. (3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya. (4) Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
“Memperkaya” versus “Menguntungkan”
Perumusan TPK dalam Pasal 2 Undang-Undang Tipikor berbeda dari perumusan dalam Pasal 3. Dalam Pasal 2, digunakan istilah “memperkaya diri sendiri atau orang lain”. Sementara itu, dalam Pasal 3, digunakan istilah “menguntungkan diri sendiri atau orang lain” Mengapa pembuktian “memperkaya” lebih sulit dari pada “menguntungkan”?. Memperkaya bermakna adanya tambahan kekayaan. Menguntungkan bermakna keuntungan materiil (tambahan kekayaan, uang, harta) dan immateriil (timbulnya goodwill,utang budi dan lain-lain).
Seorang pejabat menerima suap dari seorang pengusaha dan seluruh jumlah itu diberikan kepada atasannya. Pejabat itu tidak memperkaya dirinya, tetapi tetap menguntungkan dirinya. Dengan meneruskan seluruh suap itu kepada atasannya,
ia menguntungkan diri karena bisa mendapat keistimewaan ( favor ) dalam bentuk kenaikan pangkat, jabatan, gaji dan seterusnya.
Pidana Mati Banyak orang menginginkan ketentuan pidana mati te rhadap para koruptor dalam hal jumlah yang dikorupsi besar. Namun, berapa jumlah korupsi yang dikategorikan besar? Dalam Pasal 2 ayat 2 dari Undang-Undang Tipikor, dikatakan: “ Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. Nullum Delictum
Dalam bahasa Latin, asa ini selengkapnya berbunyi: a. Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali, b. Nullum crimen, nulla poena sine praevia lege poenali, atau
c. Nullum crimen, nulla poena sine lege praevia. Yang disingkat menjadi: a. Nullum delictum b. Nullum poena sine lege atau c. Nullum crimen, nulla poena sine lege Maknanya dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundangundangan pidana yang telah ada”
Dalam kaitan dengan TPK, asas ini dikemukakan dalam dua kasus. Pertama untuk kasus-kasus TPK yang dilakukan sebelum keluarnya suatu undang-undang, tetapi diadili setelah keluarnya undang-undang tersebut. Hal ini misalnya terlihat dalam perdebatan di DPR ketika membahas Rancangan Undang-Undang (yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971). Meskipun ada keinginan yang kuat dari beberapa fraksi untuk menerapkan undang-undang itu secara retroaktif (berlaku surut), perumusan Pasal 36 dari undang-undang yang disahkan menunjukkan dipertahankannya asas nullum delictum ini. Berikut ini kutipan dari pasal tersebut: “ Terhadap segala tindak pidana korupsi yang telah dilakukan sebelum saat Undang-Undang ini berlaku,
tetapi diperiksa dan diadili setelah Undang-Undang ini berlaku maka diperlukan Undang-Undang yang berlaku pada saat tindak pidana dilakukan.”
Timbulnya berbagai interpetrasi tentang berlakunya Undang-Undang Tipikor juga dicatat dalam penjelasan undang-undang itu: Sejak Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) diundangkan, terdapat berbagai interpretasi atau penafsiran yang berkembang di masyarakat khususnya mengenai penerapan Undangundang tersebut terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan. Hal ini disebabkan Pasal 44 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan tidak berlaku sejak Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan, sehingga timbul suatu anggapan adanya kekosongan hukum untuk memproses tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.
Kedua, sewaktu KPK menangani kasus yang terjadi sebelum keuarnya UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan TPK, ada orang yang mempertanyakan wewenang KPK dengan menggunakan asas nullum delictum ini. Dalam kasus semacam ini, asas ini sebenarnya tidak dilanggar karena
substansi hukumnya sudah diatur dalam undang-undang yang mendahului TPK itu. Yang terjadi kemudian adalah perluasan dari aparat yang menanganinya, yakni dari polisi dan jaksa ke KPK. Concursus Ideais
Konsep concursus idealis dan concursus realis ini terdapat dalam KUHP Bab VI mengenai “Perbarengan Tindak Pidana”. Konsep concursus idealis berkenaan dengan satu perbuatan yang tercakup da lam lebih dari satu aturan pidana. Hal ini terlihat dalam Pasal 63 yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. (2) Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.
Concursus Realis
Konsep concursus realis ini berkenaan dengan beberapa perbuatan yang dilakukan berbarengan. Hal ini terdapat dalam KUHP Pasal 65 yang berbunyi sebagai berikut. (1) Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana. (2) Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang diancam terhadap perbuatan itu, tetapi boleh lebih dari maksimum pidana yang trerberat ditambah sepertiga.
Perbuatan Berlanjut Masih dalam Bab VI KUHP, ada ketentuan mengenai apa yang dikenal sebagai satu perbuatan berlanjut yang mirip dengan concursus realis (yakni dianggap satu perbuatan). Namun pemidanaannya mirip dengan concursus idealis (dikenakan hanya satu pidana). Perbuatan berlanjut ini diatur dalam Pasal 64 ayat 1 KUHP yang berbunyi sebagai berikut. (1) Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
“Lepas dari Tuntutan Hukum” versus “Bebas”
Bagi orang awam, keputusan “Lepas dari tuntutan hukum” dan keputusan “bebas” mempunyai makna yang sama. Dari sudut pandang KUHAP, kedua putusan ini mempunyai makna dan konsekuensi yang berbeda. Putusan bebas (vrijspraak ) atau bebas murni ( zuivere vrijspraak ) diatur dalam KUHAP Pasal 191 ayat 1 yang berbunyi: “ Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwaan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas.”
“Lepas dari segala tuntutan hukum” ( ontslag van alle rechtsvervolging ) diatur dalam KUHAP Pasal 191 ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut: “ Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwaan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.”
Dalam hal putusan lepas dari segala tuntutan hukum, jaksa penuntut umum dapat melakukan kasasi. Sementara itu, dalam putusan bebas murni, jaksa penuntut umum tidak dapat melakukan kasasi.