EVOLUSI KHILAFAH
( Masa al Khulafa al Rasyidin Sampai Dinasti ‘Abbasiyah) Ahmad Muthohar
[email protected]
IAIN Samarinda A.
PENDAHULUAN Wacana Khilafah dalam sejarah politik Islam sejak kemunculannya pada masa Islam awal hingga kini masih menjadi meinstrem perdebatan dan menimbulkan pandangan pro dan kontra. Hal ini semakin memperkuat pandangan bahwa khilafah memang memiliki akar sejarah yang kuat dalam konstelasi politik Islam. Dalam diskurus Khilafah setidaknya dapat dipetakan dua pandangan yang secara substansial nampak bertentangan. Pertama, pandangan yang menganggap bahwa khilafah merupakan sistem pemerintahan Islam sebagai warisan teologi nabi dan para sahabat yang harus diikuti oleh umatnya baik secara teknis maupun substansif. Pendapat ini biasanya didukung kalangan Islam tekstualis atau fundamentalis, semisal Dhiya’ al-Din al-Rais dan Abu a’la al-Maududi. Kedua, pandangan yang menganggap bahwa khilafah sebagai fenomena sosiologis-politik yang bersifat ijtihadi. Oleh karenanya, khilafah sebagai sistem pemerintahan secara teknis tidaklah harus mengikat umat untuk diikutinya. Dalam konteks relasi negara dan agama, khilafah sebagaimana agama tidaklah harus berimplikasi pada penciptaan negara-agama. Secara etik sudah pasti agama harus menjadi ruh bagi kehidupan politik dan pemerintahan, tetapi secara administratif tidaklah demikian. Pandangan kedua ini misalnya dapat dilihat pada pemikiran Ali Abdul Raziq, Nur Cholis Madjid dan Abdurrahman Wahid. 1 Pandangan pro-kontra di kalangan intelektual dan politisi muslim tentang konsep khilafah tersebut tentu tidak dapat dilepaskan dari konteks sosiologis kemunculannya dan logika politik yang mendasarinya. Perbedaan konteks sosiologis dan keragaman logika politik telah menimbulkan keragaman hasil pemikiran di antara para intelektual muslim tentang konsep khilafah.
Begitu pula al Mawardi dalam
karyanya ‘al Ahkam al Sulthaniyah, Ibn Taimiyyah dalam ‘ al Siyasah al Syari’ah’ dan al Lihat selengkapnya pada : Dhiya’ al-Din al-Rais, Islam wa al-Khalifah (terj.), Islam dan Khilafah, Pustaka, Bandung, 1985, h 213 –231; lihat pula : Nur cholis Madjid, Cita-cita politik Islam Era Reformasi, Paramadina, Jakarta, 1999, h. 219-230. 1
1
Farabi dalam ‘al Madinah al Fadhilah’ membenarkan pendapat ini dan menyatakan bahwa terjadinya perbedaan praktek khilafah antara al khulafa’ al Rasyidin dengan para khilafah bani umayah dan ‘Abbasiyah dan nampaknya dipengaruhi oleh kondidi sosio-politik yang berkembang waktu itu. Lepas dari pemaknaan konsep khilafah para tokoh diatas, secara praktis, khilafah dalam sejarah umat Islam telah terjadi sebuah evolusi mulai masa khulafa al Rasyidin hingga dinasti-dinasti Islam sesudahnya. Hal itu tentu disebabkan beberapa faktor sosio-politik yang melingkupinya. Sehingga wajar, di kalangan intelektual muslim abad pertengahan, baik modern maupun post modern terjadi pertentangan pendapat baik yang ujungnya memperkuat konsep khilafah secara teologis maupun yang mendekontruksinya. Dalam hal ini dapat dicontohkan dhiya’ al Din al Rais dan Abu al A’la al Maududi sebagai intelektual muslim yang mendukung penuh diterapkannya sistem khilafah dalam pemerintahan Islam secara totalitas. Sementara Ali Abdul Raziq, Nurchilish Madjid dan Abdurrahman Wahid dapat dicontohkan sebagai intelektual muslim modern dan post modern yang mendekontruksi sistem khilafah sebagai konsep sosiologis politik yang masuk dalam wilayah ijtihad, bukan doktrin teologis. Dikalangan intelektual sendiri – selain para pengkaji khilafah yang disebutkan diatas- banyak pemerhati politik Islam baik dari barat maupun kaum muslim sendiri yang telah mengemukakan kajian kritis tentang politik Islam, termasuk didalamnya konsep khilafah. Sekalipun demikian, agaknya kajian mereka masih sangat bersifat umum, dan belum sampai menyentuh pada gambaran mengenai perkembangan konsep khilafah secara evolutif dari satu masa yang lain dalam sejarah Islam. Padahal apabila dilihat secara lebih teliti dan kritis dengan pendekatan sosio-historis, akan ditemukan bahwa konsep khilafah dalam prakteknya sejak masa pemerintahan al khulafa’ al Rasyidin sampai runtuhnya dinasti ‘Abbasiyah telah mengalami evolusi yang signifikan. Signifikansi konsep khilafah tersebut tampaknya lebih merupakan fenomena sosiologis-politik dari pada fenomena teologis. Karena itu, sudah tentu evolusi konsep khilafah tersebut tidak terlepas dari interes psiko-sosiologi historis yang melingkupinya secara mikro maupun makro. Atas dasar pemikiran di atas, penulis tertarik untuk mengkaji evolusi konsep khilafah mulai masa khulafa’ al Rasyidin hingga masa Dinasti ‘Abbasiyah dalam sejarah politik Islam dalam rangka mencoba membuka membuka interes sosio-politik
2
yang mewarnai perubahan-perubahan konsep khilafah tersebut. Pembatasan kajian ini dilakukan penulis selain karena pendekatan sejarah yang sangat membutuhkan cakupan data peristiwa juga media yang dilakukan sebatas paper.
B.
TELAAH PUSTAKA Sejauh ini, memang telah terdapat banyak kajian umum tentang sejarah politik Islam. Namun, kajian komprehenship mengenai fokus khilafah dan perkembangannya secara evolutif tergolong masih sangat sedikit. Meskipun al Mawardi dalam karyanya ‘al Ahkam al Sulthaniyah; Ibn Taimiyah dalam ‘ al Siyasah al Syar’iyyah’ dan al Farabi dalam ‘al Madinah al Fadhilah’ telah melakukan kajian cukup detail tentang imamah atau khilafah, namun kajiannya bersifat doktrinal, belum menyentuh kajian historis yang kritis. Bahkan, cenderung tinjauan yang normatif-teologis daripada khilafah sebagai fenomena sejarah sosial – politik. Ali Abdul Raziq dalam karya ‘al Islam wa Ushul al Hukm’, Patricia Corn dan Martin Hinds dalam ‘God’s Caliph’ sebenarnya telah melakukan upaya kajian kritis tentang khilafah, tetapi agaknya kajiannya belum dapat disebut kajian komprehenship sejarah perkembangan konsep khilafah secara kritis-kronologis. Demikian halnya kajian yang dilakukan Dhiya’ al Din al Rais dalam ‘ al Islam wa al Mulk’ belum banyak mengupas evolusi konsep khilafah dalam sejarah politik Islam dan terkesan apologetik karena kajian tersebut untuk membantah thesis Ali Abdul Raziq. Buku lain yang mengkaji tentang khilafah adalah Karya Ira M. Lapidus ‘Sejarah Sosial Ummat Islam’ khususnya bab 4 (khilafah) sebatas memuat rentetan peristiwa yang terjadi seputar khilafah dari Umayyah hingga Abbasiyah, tetapi tidak secara detail mengkaji evoluis konsep khilafah. Selain itu referensi lain
yang bisa dipakai adalah buku berbahasa Inggris
seperti ‘ A Short of the Saracens, yang dipublikasikan oleh Nusrat Ali Nasri dari kitab Bhavan New Delhi; karya G.E Von GruneBaum dengan ‘ Classical Islam a History 6001258’, juga karya Dr. Muhammad Sayyid al Wakil ‘ Wajah Dunia Islam’ yang diterbitkan Pustaka al Kaustar telah disertai dengan analisa sejarah agak komplit walau belum sistematis; W. Montgomery Watt dengan ‘ Kejayaan Islam, kajian Kritis dari tokoh orientalis’; M. Shaban dengan ‘Sejarah Islam’ atau naskah Inggrisnya ‘ Islamic History’ yang diterbitkan Cambridge University Press; juga Karel Amstrong dengan ‘ Islam; a Short History’ nya. Maupun Joesoef Sou’yb dalam karyanya yang telah
3
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia ‘sejarah daulah Abbasiyah’ maupun Hasjmy dengan ‘Sejarah Kebudayaan Islam’. Untuk itu, kajian dengan topik evolusi konsep khilafah ini sangatlah menarik untuk mengisi khasanah intelektual sejarah politik Islam.
C.
EVOLUSI KONSEP KHILAFAH ( Masa al Khulafa’ al Rasyidin Sampai Dinasti ‘Abbasiyah) 1. Definisi Khilafah Istilah al Khilafah berasal dari bahasa Arab dan bentuk jamaknya al khalaif. Asal kata ini adalah ‘takhalafa’ yang berarti menggantikan, pergantian atau perwakilan dari orang lain. secara etimologis, khilafah dapat diartikan sebagai pergantian atau perwakilan dari orang lain. Dengan demikian, secara singkat khalifah berarti pengganti atau wakil dari orang lain berkaitan dengan orang yang digantikannya itu wafat atau ada halangan. Jika Khilafah dinisbatkan kepada Allah (Khalifah Allah), maka berarti wakil Allah (the deputy of God) bukan pengganti Allah (the Successor of God) karena umat Islam meyakini tuhan itu tidak akan pernah mati. Karena itu, secara konvensional, istilah khalifah umumnya dinisbahkan kepada nabi Muhammad Rasulullah yang berarti pengganti nabi yang dipilih nabi (the successor of Prophet approvebby God). 2 al Mawardi dalam al Ahkam al Sulthaniyah wa al Wilayat al Diniyyah mengatakan bahwa khilafah dapat disinonimkan dengan al Imamah, yaitu sistem perwakilan atau pergantian atas kenabian dalam upaya memelihara agama dan mengatur dunia. 3 Pengertian ini memberikan dampak dua makna yang spesifik. Pertama, khalifah atau imam adalah wakil atau pengganti Nabi SAW yang berarti pula ia berhak mewarisi otoritas dan keistimewaan yang pernah didapatkan oleh nabi di mata umat Islam. Kedua, khalifah atau imam secara konseptual mewarisi otoritas agama sekaligus otoritas pemerintahan yang juga pernah dimiliki oleh Nabi SAW. Konsep khilafah sebagaimana dikemukakan di atas, merupakan konsep kenegaraan Islam ideal yang hanya terbukti pada masa al khulafa’ al Rasyidin. Al khulafa’ al Rasyidin oleh kalangan umat Islam dinilai mewakili praktek dan
Lihat Ali Abdul Raziq, al Islam wa Ushul al Hukm baths fi al Khilafah wa al Hukumah fi al Islam, Syarikah Mahimah Misriyyah, Mesir, 1925, hal. 1; Patricia Crone dan Martin Hinds, God caliph, Religious authority in the First centuries of Islam, Cambridge, 1990, hal 4; Ignaz Goldziher, Muslim studies, London, 1967, 71, vol II, hal 337. 3 Hal senada dikemukakan Ibn Khaldun dalam Muqaddimah Ibn Khaldun, Dar al Fikr, Beirut- Libanon, t.th., halaman 181. 2
4
pelaksanaan konsep khilafah yang ideal, karena selain mereka mendapat kepercayaan mayoritas umat Islam waktu itu, mereka juga memiliki kapasitas untuk menjalankan fungsinya sebagai negarawan sekaligus agamawan. Sekalipun tidak sama dengan kualitas yang ada pada diri Nabi sendiri, apa yang dilakukan al khulafa al Rasyidin paling tidak sudah memenuhi kriteria bagi terlaksanyanya khilafah ideal. Tetapi dalam perkembangan berikutnya, terdapat kesenjangan antara konsep ideal khilafah dengan praktek-praktek kekhilafahan itu sendiri, baik pada masa dinasti Umayyah maupun dinasti ‘Abbasiyah. Karena alasan semakin rumitnya masalah pemerintahan Islam yang berkembang terus dan semakin minimnya kapasitas dan kapabelitas yang dimiliki para pemimpin Islam sesudah al khulafa’ al Rasyidin. Maka menerapkan sistem khilafah ideal dalam dataran praktis adalah utopia. Oleh karenanya, di kalangan intelektual muslim abad pertengahan, baik modern maupun post modern berkembang konsep kenegaraan baik yang ujungnya memperkuat konsep khilafah maupun yang mendekontruksinya, sebagaimana telah disebutkan di atas. Dalam sejarah Islam, khilafah adalah persoalan yang muncul pertama kali sejak wafatnya nabi Muhammad SAW pada tahun 632 M. 4 Hal ini dipicu adanya Perdebatan mengenai siapakah yang akan menggantikan kedudukan nabi sebagai pemimpin umat Islam setelah beliau wafat tidak dapat di hindarkan dan menjadi sebuah kewajaran. Menjadi wajar karena; Pertama, semasa nabi SAW, sistem pemerintahan Islam dipegang oleh pemimpin tunggal yang mempunyai otoritas spiritual dan temporal berdasarkan kenabian dan wahyu ilahi. Kedua, tidak adanya isyarat sepeninggal Nabi tentang siapa yang harus menggantikan beliau sebagai pemimpin umat, dan ketiga, di dalam ajaran Islam (al-Qur’an dan Hadist) hanya terdapat pesan umum bahwa dalam menyelesaikan masalah yang menyangkut kepentingan bersama melalui musyawarah, tanpa ada adanya aturan atau pola yang baku tentang bagaimana mekanisme musyawarah dilaksanakan. 5 –bahkan konon Ali pernah dimohon oleh ‘Abbas bin Abdul Muthalib untuk bertanya kepada Nabi SAW sewaktu sakit perihal khalifah yang akan menggantikannya. Namun Ali bin Abi Thalib enggan melakukan usulan Abbas bin Abdul muthalib tersebut. 6 Dengan Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, halaman 82. M. Munawir sajdzali, MA, Islam dan Tata Negara, UI Press, Jakarta, 1990, halaman 21. 6 Muhammad al Khudari Bik, Tarikh al Umam al Islamiyah, al Maktabah al Tijariyah al Kubra, Mesir, 1970, halaman 8. 4 5
5
demikian, sejak itulah praktek khilafah atau khalifah sebagai atribut pemerintahan untuk pertama kalinya muncul dalam sejarah politik Islam. Hal tersebut berimplikasi pada terjadinya Transformasi di kalangan umat Islam terkait dengan mekanisme pengangkatan pemimpin umat (khalifah), kontruksi sistem dan model pemerintahan Islam serta akibat (positif dan negatif) yang ditimbulkannya sehingga menimbulkan sekaligus membuat dinamika panjang di kalangan umat Islam saat itu. 2. Historisitas Dinamika Khilafah Menurut Ira M. Lapidus, telah terjadi rekontruksi radikal tentang sistem Khilafah (pemerintahan Islam) sejak kemunculannya pasca wafatnya Nabi SAW dan terbagi ke dalam beberapa fase.
Yaitu, adanya arah membentuk khilafah
menjadi institusi yang membutuhkan legitimasi politik dari sekedar model koalisi kelompok penakluk nomadic- yang menjadi tradisi bangsa Arab. Hal ini sekaligus menjadi jawaban atas berbagai konflik elit politik Arab, gesekan isu primordialisme dan ketegangan persepsi keagamaan yang semakin tajam. Namun setiap fase mempunyai trend yang khas. Menurutnya, ada beberapa fase dalam sejarah khilafah. 1) Khulafaur Rasyidun (632-661); 2) dinasti Umayyah (661-750); 3) fase awal imperium Abbasiyah (750-833) dan 4) fase kemunduran dinasti Abbasiyah (833945). 7 a. Fase Khulafa al Rasyidin (632-661). Fase Khilafah pertama sepeninggal Nabi Muhammad SAW di pegang oleh Khulafa al Rasyidin. 8 . Pemegang kekuasaan dalam masa ini adalah Abu Bakar ( 632-634 ), Umar Bin Khattab ( 634-644), Usman bin Affan ( 644-656 ) dan Ali bin Abi Thalib ( 656-661). Secara sosio-historis, karena tidak adanya pola baku mekanisme pengangkatan khalifah pasca wafatnya Nabi SAW kecuali isyarat umum berupa ajaran ‘Musyawarah’ dan ketegangan kondisi akan adanya kekosongan kepemimpinan umat, maka khilafah pada fase ini dibangun dengan dasar
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, op.cit., halaman 81. Terdapat pemaknaan yang berbeda dalam terminologi ‘Khulafaur Rasyidun’. Ada yang berpendapat bahwa gelar tersebut diberikan karena mekanisme pengangkatan khalifah fase ini melalui ‘tunjuk’ dan ‘angkat’, tetapi Abul A’la Al-Maududi berpendapat bahwa gelar tersebut karena para khalifah fase ini adil dan benar yang didasari hubungan dekat secara pribadi dengan Nabi Muhammad, otoritas agama dan ketokohan dan loyalitas dalam Islam.. Lihat : Abul A’la Al-Maududi, Muhammad Al-Baqir (penerj.), Khilafah dan Kerajaan , Mizan, Bandung, 1993, halaman 111. 7 8
6
‘musyawarah’, walaupun pola dan bentuk mekanisme musyawarah berbeda satu sama lain. Dalam sejarah Islam, Abu Bakar berhasil dipilih sebagai khalifah pertama pengganti Nabi dengan cara musyawarah terbuka. mekanisme ini di kenal dengan sebutan Bai’at Saqifah. Umar bin Khattab terpilih lewat penunjukan Abu Bakar, tetapi telah melalui konsultasi dengan para sahabat senior baik Anshar maupun Muhajirin dan dilanjutkan pada baiat umum di masjid Nabawi. Usman bin affan dipilih dengan cara pertemuan oleh ‘Dewan Formatur’ yang ditunjuk oleh khalifah pendahulunya bukan atas dasar unsur tetapi kualitas pribadinya. Ali bin Abi Thalib di pilih melalui pemilihan terbuka, walau dalam bentuk musyawarah yang kurang ideal. 9 Secara politis, karena khilafah telah menjadi sebuah institusi, maka para khalifah telah menerapkan kebijakan politik sesuai dinamika sosio-politik saat itu. Ira M. Lapidus memaparkan bahwa pada awal kekhilafahan kekuasaan diisi oleh komunitas muslim Arab dan kesukuan bangsa Arab yang berhasil menundukkan imperium Timur Tengah sebagai imbal jasa politik. Namun dalam perkembangannya dua kelompok ini menimbulkan ketegangan politik dalam memperebutkan kekhalifahan. Karena konflik politik semakin tajam, maka pada masa kekhilafahan Umar Bin Khattab, ia mencoba mengantisipasinya dengan menerapkan kebijakan politik yang akomodatif dan otonom 10. Bahkan kalangan aristokrasi Quraisy yang semula mengadakan perlawanan dan belakangan baru masuk Islam juga menuntut perlakuan sama dilibatkan dalam pemerintahan. Namun ketika kekhilafahan dipegang Ustman bin Affan, kebijakan Umar bin Khattab tersebut di rubah. Khalifah III fase Khulafa al Rasyidin ini mengembangkan kebijakan sentralistik dan nepotis. Kebijakan nepotisme diambil dengan membagi kekuasaan kepada klan Umayyah yang notabene adalah klan keluarganya dan klan Makkah lainnya dan mengabaikan para sahabat nabi dan kelompok Madinah. Dengan demikian ia kembali menegakkan koalisi aristokrat Makkah dan kesukuan Arabia pra Islam. Sedang
9 Baca : M.Munawir Sjadzali, Op.Cit, halaman 23 . lihat juga : Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Penerbit Kota Kembang, Yogyakarta, 1989, halaman 34.
Politik akomodatif Umar antara lain : di Makkah dan Madinah ia merangkul sahabat nabi kalangan Makkah dan Anshar (penolong nabi), di pusat militer merangkul klan-klan madinah yang mendukung peperangan melawan kekuatan makkah dan penaklukan Iraq dengan jabatan gubernur, jenderal dan pegawai dengan tunjangan ‘sawafi’. 10
7
kebijakan sentralistik dengan menekankan sistem kekuasaan pusat atas penguasaan pendapatan propinsi. Kebijakan Ustman ini berekses pada munculnya persekongkolan, perlawanan
dan kelompok sektarian terhadap kepemimpinan Ustman yang
mengakibatkan kematiannya di Fustat pada tahun 656. 11 Pasca kematian Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dilantik menjadi Khalifah. Khalifah terakhir dalam fase Khulafa al Rasyidin ini kembali mengubah kebijakan pemerintah sebelumnya. Ia mengembalikan kebijakan akomodatif dengan sistem pembagian pendapatan secara seimbang. Walau ia mendasari klaimnya dengan kedekataannya terhadap nabi, kesalehan pribadi dan awal masuk Islam namun ia terlibat dalam kompromi dengan kelompok pembunuh Ustman untuk memperoleh jabatan khalifah. Pada masa khalifah Ali inilah, gelombang pertikaian dan konflik interes Arab mulai muncul dan cenderung permanen sebagai akibat rentetan kebijakan politik khalifah yang tidak akomodatif dan aspiratif, disamping nuansa primordialisme kelompok, suku, kepentingan serta gesekan atas nama agama. Pemicu konflik dan peperangan sipil yang terjadi di kalangan umat Islam sepanjang pemerintahan Ali bin Abi Thalib adalah adanya tuntutan untuk membalas kematian Ustman dari klan Makkah dan Bani Umayyah. Kalangan aristokrat Makkah dipimpin Thalhah, Zubair dan A’isyah, sedang Bani Umayyah dimotori Mu’awwiyah yang menjadi gubernur Syria. Sedang Ali terlanjur melakukan deal politic terhadap kelompok Anshar Madinah, Kufah dan Mesir yang terlibat dalam pembunuhan Ustman. Puncaknya, terjadi pada perang Shiffin (657), dimana setelah melalui beberapa konfrontasi dan perundingan tetap tidak mendapatkan hasil. Akhir pergolakan adalah dicapainya kesepakatan perundingan antara kedua pihak yang diusulkan kalangan moderat. Namun, kesediaan Ali menerima perundingan dianggap sebagai penyerahan harapan atas otoritas khilafah Ali dan pelanggaran prinsip agama oleh
kelompok
Kharijiyah yang kemudian berbelok melawan Ali dan memperlemah dukungan Muslim. Akhir perundingan terjadi di Adhruh pada bulan januari 659 dengan hasil pembunuhan Ustman tidak dapat dibenarkan dan sebuah lembaga syuro segera dibentuk untuk memilih khalifah yang baru. Keputusan ini menyebabkan 11 Kematian Ustman selain disebabkan kebijakan yang nepotis dan sentralistik, juga akibat kekecewaan tentang kebijakan menerapkan mushaf standar.
8
semakin lemahnya posisi Ali di kursi khilafah dengan terpecahnya koalisi Ali, walau Ali tidak menerimanya, tetapi realita politik berkehendak lain. Dengan melemahnya dukungan terhadap Ali di kursi Khilafah dan dibarengi stabilitas politik, keamanan dan ekonomi yang mulai goyah karena pemberontakan-pemberontakan di wilayah Iran Timur menyebabkan opini publik dengan mudah terbentuk bahwa Mu’awwiyah layak menggantikan Ali Bin Abi Thalib di tampuk Khilafah. Di tengah pergolakan ini, Ali akhirnya terbunuh oleh seorang
Kharijiyah
dan Muawwiyah segera menyambutnya
dengan memproklamirkan diri sebagai khalifah.
b. Fase Dinasti Umayyah ( 661-750 ) Pasca tumbangnya Ali bin Abi Thalib dan Muawwiyah duduk dalam tampuk khilafah, Muawiyyah mulai membangun ‘gerbong politik’ dengan kelompok Quraisy (kesukuan Arab) dan keluarga Umayyah dan memindahkan pusat kekhilafahan ke Damascus 12. Dengan demikian Umayyah telah mengakhiri kekuasaan Makkah dan Madinah.
Sejak khalifah Muawiyyah, perang sipil
dikalangan intern umat Islam sempat reda. Tetapi, berakibat pada perpecahan permanen dalam komunitas Muslim dalam memperebutkan jabatan khilafah dan berkembang dalam bentuk sekte-sekte agama lengkap dengan versi dan lembaga keagamaan masing-masing. Adapun sekte yang berkembang saat itu antara lain : 1. Sunni, merupakan kelompok muslim yang menerima suksesi Muawwiyah dan serangkaian khalifah sesudahnya dengan cara kompromi politik kelompok
ini
cenderung
membatasi
peran
agama
dan
mentolerir
keterlibatannya dalam politik. 2. Syi’ah, meruapakan kelompok muslim yang beranggapan bahwa Ali lah yang berhak memangku jabatan Khilafah karena ia keturunan nabi dan hanya keturunanlah yang berhak memegang jabatan itu serta cenderung menekankan fungsi keagamaan pada seorang khalifah. 3. kharijiyah, adalah kelompok muslim yang berpandangan bahwa khilafah tidaklah harus dari keturunan keluarga Nabi, melainkan harus dipilih mayoritas umat Islam dan tetap bertahan selama menjalankan kekuasaannya secara benar dan tidak melanggar. 12
Lihat juga : Joesoep Sou’yb, Sejarah Daulah Abbasiyah I, Bulan Bintang, Jakarta, 1979, hal 7.
9
Dinasti Umayyah dapat bertahan hingga pada 132 H/750 M atau telah berlangsung selama 92 tahun. 13
Strategi politik yang dipakai dalam rangka
membangun kesetiaan pada khalifah adalah dengan cara mengubah koalisi kesukuan Arab menjadi sentralisasi monarki dengan kekuatan militer, perluasan administrasi keluarga dan merancang alasan-alasan moral dan politik sebagai alat kekuasaan. Pendekatan yang dipakai adalah patriarch kesukuan Arab. Namun, stabilitas yang dibangun Mu’awiyyah tidaklah berlangsung lama. Pada tahun 680 –692 perang sipil kembali terjadi dikalangan umat Islam, terutama akibat kekecewaan terhadap sistem pemerintahan Muawiyyah oleh warga Madinah yang dimarginalkan dan kelompok Syi’ah. 14 Perang sipil II ini merupakan akibat dari konflik interes yang bertumpu pada tiga masalah : pertempuran antara kalangan aristokrat Arab memperebutkan jabatan khilafah, persaingan antar kelompok dan pemberontakan sekte keagamaan. Tajamnya konflik interes umat Islam ini, pada periode akhir Dinasti Umayyah, tepatnya pada masa khalifah Abdul Malik (685-705) dan Al-Walid (705-715)
memaksa
diberlakukannya
strategi
pemerintahan
baru
yaitu
militerisasi dan percepatan sistem negara sentralistik (rezim), melebihi loyalitas pada pribadi khalifah, politis maupun ideologis. Langkah awal yang diterapkan khalifah Abdul Malik adalah penguatan militer, reposisi sistem pajak dan administrasi. 15 Disamping itu pada masa khalifah Umar II (717-720) telah dilakukan perubahan/revisi
prinsip-prinsip
perpajakan
untuk
menghilangkan
ketidakseragaman dan demi persamaan. Kebijakan ini akhirnya dilanjutkan oleh khalifah Hisyam (724-743) di wilayah khurasan, Mesir dan Mesopotamia. Konsolidasi
rezim
tersebut
berimplikasi
pada
penguatan
– penguatan
organisatoris, antara lain : peningkatan sistem administrasi dan aparatur negara dengan tenaga profesional mulai dari pegawai administrasi, sekretaris raja, Ibid. beberapa pemberontakan yang terjadi pada dinasti Umayyah sebagai akibat dari sentralisasi kekuasaan dan patriach Arab antara lain : Khalifah Yazid (680-683) harus menghadapi kelompok baru Makkah yang di motori Abdullah bin Ibn Zubair dan kelompok pendukung Ali yang dipimpin putranya Husayn. Namun keduanya dapat dikalahkan, bahkan Husayn terbunuh di Karbala. Akibatnya, kematian Husayn ini semakin mempertajam konflik antar kelompok (suku, ras, kebahasaan, sekte) di kalangan umat Islam hingga merambah pada aspek teologi, dan hukum. Ira. M. Lapidus, sejarah Sosial Umat Islam, op.cit., halaman. 89. 15 Penguatan militer diambil melalui kebijakan demiliterisasi Arab yang berasal dari militer Iraq dari sebuah perkampungan militer yang didirikan Al-Wasith digantikan militer Syria. sistem pajak baik segi personil (dari orang yunani dan Syria kepada orang -orang yang berbahasa Arab) maupun administratif. Perubahan ini terjadi di Iraq pada 697, Syria dan Mesir pada 700, setelah beberapa tahun berlangsung di Khurasan. Ibid. 13 14
10
pengawal dan juru tulis tetapi pos-pos penting tetap di isi oleh tokoh-tokoh Arab. Dari sisnilah mulai berkembang imperium Arab-muslim dari model patriarch ke arah model pemerintahan kerajaan hingga abad ke sepuluh. Konsolidasi rezim kekhilafahan juga berkembang pada upaya dominasi dunia dengan cara ekspansi yang melibatkan kekuatan arab dan non Arab. Perang yang ada bukan lagi perang kesukuan tetapi telah beralih ke arah perang kerajaan. Hasil ekspansi inilah yang kemudian terbentuknya negeri afrika utara, spanyol, transoxania, termasuk negeri Sindh telah menjadi bagian imperium Muslim. Pada masa akhir Daulah Umayyah tepatnya pada masa khalifah Abdul Malik dan Hisyam, ideologi baru telah mendasari pembentukan negara, antara lain :(1) telah dicetak mata uang logam sendiri dan menggantikan mata uang Bizantium dan sasania. Mata uang dibuat dengan model koin yang terbuat dari eamas dan perak yang bertuliskan huruf Arab sebagai symbol kedaulatan negara dan sekaligus menghilangkan simbolisme Kristen dan Zoroastrian.
(2)
dibangunnya bangunan monumental. Pada masa Abdul Malik, Yerusalem telah dijadikan kota suci bagi umat Islam dan dibangunnya Masjid Kubah batu ( Kubbat al Shahra atau The Dome Rock ) di atas tanah peribadatan Ummat Yahudi Kuno. Kebijakan ini dilanjutkan Al walid dengan membangun masjid-masjid baru di Madinah dan Damaskus. Bani Umayyah masa akhir ( 724-743) inilah pemerintahan kerajaan tidak lagi berdasarkan unsur Arab, tetapi berdasarkan kekuatan militer Syria dan telah terjadi peningkatan kekuatan dan rasionalisasi pejabat negara. Negara pada masa ini merupakan sebuah bentuk institusi rezim negara dan tidak lagi khilafah. Namun pada saat yang sama mereka juga tetap menjaganya menjadi sebuah simbolisme imperium yang merupakan warisan Islam yang khas. Meskipun bernuansa Islam, tetapi tidak sepenuhnya inspirasi dari Umayyah, tetapi terdapat kesejajaran langkah dengan praktik imperium Bizantium dan Sasania. Tiruan model Umayyah dalam membangun sistem negara dengan Bizantium antara lain terlihat dari : Perangkat Administrasi di Mesir dan Syria berasal dari tradisi bizantium, organisasi militer Syria juga mengikuti model Bizantium. Di Iraq mengikuti model Sasania antara lain terlihat dalam empat bidang : badan keuangan, kemiliteran, bagian surat menyurat dan bidang kedutaaan.. termasuk pembangunan beberapa tempat ibadah baik islam
11
maupun Kristen
lengkap dengan motif dan dekorasinya sebagai bentuk
dukungan resmi negara kepada agama juga merupakan tiruan kebijakan Bizantium. Imbas dari perang sipil kedua semakin memperjelas semangat kesukuan Bangsa Arab dengan orientasi politik dan ekonomi. Dimana dua kelompok saling berhadapan antara lain : (1) kelompok Yaman yang mewakili demiliterisasi Arab yang berasimililasi dengan mata pencaharian sipil . Kelompok ini menerima asimilasi arab dan Non Arab dalam militer dan mengakomodasi kelompok Islam baru dalam militer, maupun persamaan finansial dan menghendaki desentralisasi kekuasaan khalifah. Mereka cenderung menekankan corak Islami dari pada identifikasi terhadap corak yang khas Arab. (2) Kalangan Qays yang mewakili kalangan Arab yang tetap aktif dalam militer dan menguntungkan secara ekonomi
cenderung menghendaki sentralisasi
kekuasaan politis, ekspansi militer dan pelersarian previlise Arab. Persaingan interes akhirnya berkobar pada masa khalifah Umar II (717720). Namun Umar II jenius dalam mengambil soslusi yang realistis. Ia berpandangan bahwa Antagonisme antara Arab dan Non Arab harus segera di hilangkan
dan membentuk kesatuan muslim yang universal dan berprinsip
bahwa imprerium yang ada tidak akan bertahan sebagai imperium Arab tetapi imperium bagi seluruh warga muslim. Prinsip Umar II ini mendorong keterpihakaknnya pada setiap pemeluk Islam Baru di Asia Barat. Walaupun demikian
konflik
interes
ini
menimbulkan
kekuatan
oposisi 16
yang
memperlemah posisi dinasti Umayyah. Disamping karena faktor kepayahan atau keletihan militer, pada tahun 744 sampai 750 kelompok keluarga Ali, Abbasiyah, Kharijiyah, kelompokkelompok kesukuan, dan para gubernur yang tersisihkan semuanya dalam keadaan percekcokan dan berhasil menggulingkan Mu’awiyyah.
c. Fase Dinasti Abbasiyah 16 Kekuatan oposisi yang terjadi antara lain : pemikir-pemikir muslim yang bermaksud melepaskan dri dari rezim karena telah dianggap telah melenceng dari konsep khilafah; kalangan syiah yang dengan rahasia telah melakukan upaya pemberontakan. Adapun isu yang dipakai antara lain : diskriminasi, isu tentang al Mahdi, dan isu keailan. Puncaknya , antara 736-740 agitasi syi’ah mulai berkobar di Kufah. Bahkan dalam melakukan agitasi ini, bani Hasyim (Abbasiyah) mengirimkan missionari – Abu Muslim – dan sukses mengorganisir kekuatan militer pendukung di khurasan, dan Yaman yang tinggal di Iran Barat. Ibid. hal 98.
12
Pada awal kepemimpinan dinasti Abbasiyah (750), sebenarnya kondisi umat Islam telah menunjukkan kesatuan di antara sejumlah kelompok yang tengah bersaing memperebutkan posisi pemerintahan. Tetapi di akhir kepemimpinan
dinasti,
menghadapi
permasalahan
yang
rumit
dalam
menerjemahkan jabatan khalifah menjadi berbagai institusi pemerintahan yang efektif, sebagaimana yang dihadapi oleh Umayyah. Problem ini terus menjadi pemicu konflik yang tak pernah tuntas. Dinasti Abbasiyah menandai awal kekuasaannya dengan pembentukan sebuah ibukota baru di Baghdad sebagai markas besar militer dan staf administrasi, sekaligus simbol tata pemerintahan baru, seperti halnya penguasa Assyria membangun kota besar Nineveh dan Nimrod; penguasa Sasania membangun kota Ctesiphon. Dalam perkembangannya, Baghdad tidak hanya menjadi pusat militer dan administratif tetapi telah menjadi menjadi sebuah kota besar yang heterogen dan kompleks. 17 Bahkan, DR. Mustafa Saba’I mencatat kejayaan Baghdad sebagai negara yang mengembangkan toleransi (tasamuh) dan pluralitas non diskriminatif. 18 Pendirian kota Baghdad melambangkan upaya Abbasiyah untuk tetap berkuasa dengan refleksi terjadap berbagai permasalahan yang telah menimpa dan bahkan telah menghancurkan Dinasti Umayyah, antara lain : pembangunan institusi pemerintahan yang efektif, dan memobilisasi dukungan politik dari kalangan Muslim Arab, Muslim non-Arab, dan komunitas non-Muslim melalui pembayaran pajak dan mengamankan loyalitas dan kepatuhan warganya dari sebuah gerakan pemberontakan dan justifikasi diri dengan term-term keislaman. Untuk tetap berkuasa di tengah sejumlah problem tersebut, dinasti Abbasiyah menerapkan prinsip-prinsip kebijakan Umar II. Abbasiyah menghilangkan supremasi kasta Arab dan menerapkan prinsip universalitas di kalangan ummat Karena heterogenitas dan komplekitas, akhirnya Baghdad dikenal dengan Madinat al-Salam yang berarti kota damai. Hal ini dibuktikan dengan pesatnya perkembangan Baghdad antara lain telah menumbuhkan dua pemukiman besar di sekitarnya, yakni al-Harbiya, yang merupakan perluasan perkampungan militer Abbasiyah dan pernukiman al-Karkh, yang dihuni oleh ribuan pekerja bangunan yang didatangkan dari Iraq, Syria, Mesir dan Iran dan telah merangsang perkembangan kota hingga melintasi perbatasan sungai Tigris. Pesatnya perkembangan Baghdad telah menjadikannya pusat metropolitan pertama di Timur Tengah, Pada abad kesembilan, luas kota ini 25 mil persegi, berpenduduk sekitar 300.000 sampai 500.000. yang mrupakan sepuluh kali lebih luas dibandingkan Ctesiphon. Bahkan Baghdad lebih besar dibandingkan Konstantinopel yang hanya diperkirakan berpenduduk 200.000, dan ia lebih besar dari kota-kota besar lainnya di Timur Tengah hingga Istambul di abad ke-19. Pada zaman itu Baghdad merupakan kota terbesar dunia selain Cina. Ibid hal 103-104. 18 Mustafa Saba’I, Some Glittering Aspect of Islamic Civilization, Delhi, Hisdustan Publication, 1990 (II), halaman 203. 17
13
Muslim dan loyalitas pada dinasti. Rezim baru ini menekankan orientasi politik dengan cara : Pertama, reorganisasi kemiliteran denga melepaskan privilise kemiliteran bangsa Arab dan menumbuhkan sebuah kekuatan militer baru yang direkrut dan diorganisasikan sedemikian rupa sehingga mereka harus loyal kepada dinasti semata dan tidak kepada kepentingan kesukuan atau kasta tertentu, sekalipun pasukan Arab tetap berperan di dalamnya. Kedua, penguatan adiministrasi dan organisas pemerintahan. Abbasiyah melanjutkan upaya-upaya Umayyah untuk memusatkan kekuasaan politik di tangan khalifah dan elite penguasa sebagai hasil modifikasi pemerintahan Bizantium
dan Sasania. Dengan demikian, Abbasiyah tetap
berbagai tradisi, praktik, keahlian, dan bahkan personil administrasi dan organisasi pemerintahan Umayyah yang rasional. Misalnya, juru tulis, menteri, pengawal dan berkembangnya dinas-dinas atau biro (Diwan). 19 Disamping staf birokrasi, khalifah juga mengangkat beberapa qadi atau hakim. Para qadi tersebut biasanya dipilih di antara fuqaha' yang berpengaruh, dan mereka bertugas menerapkan hukum Islam mengenai permasalahan sipil warga Muslim. Tugas lainnya adalah berkenaan dengan isu-isu kenegaraan. hukum adat tetap diberlakukan untuk komunitas kecil tenentu. Karena luasnya kekuasaan Abbasiyah, maka memunculkan beberapa wilayah yang dapat secara langsung dan tidak secara langsung dikontrol oleh pusat pemerintahan (Baghdad) 20, untuk wilayah yang tidak terkontrol langsung, pengurusannya diserahkan kepada seorang supervisi gubernur-militer dan membentuk sebuah garnisun. Hal ini memungkinkan pemerintahan imperium
19 Ada tiga macam Diwan dalam dinasti Abbasiyah : dinas kearsipan (diwan al rasail), dinas pengumpulan pajak (Diwan al Kharaj) dan dinas yang menangani pengeluaran Militer khalifah, keperluan istana, dan tahanan, dinas kemiliteran (diwan al Jaysh). Dalam perkembangannya, diwan ini berkembang lbih khusus dalam cabang dan sub cabang. Misalnya diwan al Azimma (pejabat-pejabat pengawas), yang semula jabatan ini melekat pada masing-masing diwan dan yang belakangan berkembang menjadi sebuah biro budget yang mandiri, Urusan surat-menyurat mestilah berjalan melalui tangan petugas perkonsepan, yakni diwan Tawqi, untuk mendapatkan paraf, dan melalui diwan khatam, yakni petugas stempel. mazalim yaitu pengadilan yang khusus berfungsi memberi saran-saran oleh kepala hakim dalam penanganan permasalahan pemerintahan dan keuangan. Diwan al Barid, jawatan pos dan informasi, bertugas memata-mata seluruh unsur pemerintahan. Akhirnya, Jabatan wazir (menteri) dikembangkan untuk mengkoordinir, mengawasi dan mengontrol kerja birokrasi. Wazir semula adalah sebuah gelar untuk sekretaris atau administrator yang merupakan asisten pribadi khalifah dan yang memiliki kekuasaan cukup banyak sesuai kebijaksanaan tuannya. Ibid. hal 109-110. 20 Daerah yang secara langsung dikontrol pusat antara lain : Iraq, Mesopotamia, Mesir, Syria, Iran . Barat, dan Khuzistan. Sedangkan yang tidak secara langsung terkontrol antara lain : dataran tinggi Caspian — Jilan, Tabaristan, Daylam, dan Jujan, Propinsi di Asia Tengah — Transoxiana, Farghana, Ushrusana, dan Kabul, dan sebagian besar propinsi di Afrika Utara. Ibid. Hal 111.
14
yang toleran dan otonom. Dari sisi dapat dipahami bahwa organisasi imperium Abbasiyah merupakan sebuah birokrasi yang mengalami elaborasi pesat di tingkat pusat dan dalam pola hubungan antar kekuatan lokal dan propinsial seluruh wilayah imperium (desentralisasi dan otonomi penuh). Walaupun sistem kekuasaannya longgar, Abbasiyah tetap menemui pemberontakan-pemberontakan antara lain: berasal dari propinsi-propinsi pedalaman 21, oposisi Arab yang terdiri Kelompok militer lama, para pegawai yang terpecat, gaji dan prestise, dan penggantian oleh sebuah militer profesional. 22
D. KESIMPULAN Wacana Khilafah pertama kali muncul sejak meninggalnya Rasulullah SAW dunia pada 632 M. Dalam perkembangannya, khilafah telah menimbulkan dinamika dan evolusi yang mewarnai perdebatan wacana politik Islam, mulai yang klasik hingga kontemporer. Sosio-historis munculnya khilafah adalah adanya kondisi krisis kepemimpinan dan perdebatan sepeninggal Nabi SAW. Hal ini dipicu tidak adanya pesan eksplisit perihal siapa yang akan menggantikan nabi setelah wafat sebagai pemimpin umat Islam. al Qur’an dan Hadist hanya mengisaratkan secara global untuk menyelesaikan persoalan yang
menyangkut hidup orang banyak hendaknya
diselesaikan secara musyawarah. Namun tidak ada pola baku bagaimana mekanisme musyawarah ini dilaksanakan–termasuk khilafah. Dinamika khilafah diawali dengan fase Khulafa al Rasyidin. Yakni kepemimpinan Abu Bakar ( 632-634 ), Umar Bin Khattab ( 634-644), Usman bin Affan ( 644-656 ) dan Ali bin Abi Thalib ( 656-661). Pada fase ini, ajaran ‘musyawarah’ 21 Misalnya di wilayah Caspia, para penguasa tabaristan dan Daylam, di Asia Tengah, sejumlah propinsi independen di Kabul, Ushrusana dan Farghana yang menolak beban pajak atau persekutuan. Hal ini memaksa para khalifah mengerahkan ekspedisi militer untuk mengambil kembali kekuasaan mereka. Demikian halnya saat al-Makmun (813-833), di Afrika, setelah tahun 800 M. terjadi kecenderungan yang mengarah kepada kemerdekaan, meskipun keluarga penguasa setempat (lokal) tetap mengakui keberadaan pemefintahan khilafah. 22 Misalnya, Kelompok Arab Syria melancarkan pemberontakan pada 760 dan dapat dipadamkan. Di Mesir, pembentukan perkampungan militer Abbasiyah di al-Askar dekat Fusthtat, menyu!ut pertempuran kesukuan Arab (785) dan sejumlah pemberontakan (793-794). Kelompok Badui menentang konsolidasi setiap pemerintahan yang akan mengurangi otonomi mereka. Serbuan dan perlawanan suku terhadap kekuasaan negara muncul di Syria, Ambia, Sistan, Kirman, Pars, Khurasan, dan sebagian besar wilayah dataran tinggi Mesopotamia dimana kelompok Arab dan Kurdish tidak henti-hentinya bersengketa. Hingga awal abad kesembilan pemberontakan Badui mengambil kharijisme untuk menyuarakan oposisi mereka terhadap imperum Abbasiyah, termasuk Syi’ah. Di Iran, kelompok petani kampung mempertahankan oposisi dengan membentuk sekte-sekte sinkretis, menyatukan Syi'isme dan Mazdaisme dan masih banyak lagi sekte, kelompok yang mencoba memberontak.
15
dijadikan landasan dalam kontruksi khilafah, walaupun dengan mekanisme yang bersifat Ijtihadi sesuai kondisi sosio-politik pada zamannya.
Abu Bakar dipilih
sebagai khalifah I dengan sistem musyawarah terbuka yang dikenal dengan Bai’at Saqifah, Umar bin Khattab terpilih dengan cara penunjukan khalifah sebelumnya, tetapi telah melalui konsultasi para sahabat senior, Ustman bin Affan dipilih oleh dewan formatur yang ditunjuk khalifah sebelumnya, sedangkan Ali bin Abi Thalib dipilih dengan pemilihan terbuka. Namun, idealisme sistem khilafah ‘musyawarah’ diatas, diwarnai kebijakan yang berbeda tiap khalifah karena kepentingan politis kekuasaan sebagaima diuraikan diatas. Lepas dari pemaknaan berbeda tentang Khulafa al Rasyidin seperti di atas, fase ini telah membuktikan konsep kenegaraan Islam ideal. Karena selain para khalifah mendapat legitimasi politik ideal dengan kepercayaan mayoritas umat Islam waktu itu, juga kontruksi khilafah didasarkan pada kualitas pribadi para khalifah (capability) antara lain : hubugan dekat dengan pribadi nabi SAW, otoritas agama serta ketokohan dan loyalitas dalam Islam. Tetapi dalam perkembangan berikutnya, terdapat gap antara konsep khilafah ideal dengan praktek kekhilafahan itu sendiri, sejak dinasti Umayyah maupun Abbasiyah. Hal ini karena semakin kompleknya masalah yang mewarnai kontelasi politik Islam dan minimnya kapabelitas para khalifah sesudah Khulafa al Rasyidin. Setelah khilafah dipegang oleh dinasti Umayyah sampai Abbasiyah, gelar kenegaraan khalifah rasulullah yang dipakai khulafaur Rasyidun berganti menjadi khalifatullah fil’ard 23. Hal ini ditandai bahwa dua fase pasca khulafa al Rasyidin sistem pemerintahan didasarkan dinasti atau sistem keturunan dan pembentukan negara dengan sistem rezim sebagai legitimasi politik. Fenomena ini menunjukkan perkembangan bahkan evolusi konsep khilafah dan praktek politiknya dalam perjalanan sejarah politik Islam pada abad awal dan pertengahan Hijriyah. Bahkan, evolusi ini sangat dimungkikan terjadi tidak secara kebetulan, tetapi agaknya merupakan strategi politik yang sarat dengan kepentingan politik bila dilihat dari sosiologis kemunculannya. Hal ini bertujuan memperkokoh (sakralisasi) kekuasaan politik di mata umat Islam melalui simbol-simbol teologis. Setelah fase Khulafa al Rasyidin berakhir, khilafah selanjutnya dipegang oleh daulat Umayyah pada tahun 41 H/661 M dengan mengganti Damaskus sebagai ibu kota menggantikan Madinah Munawwarah dan berakhir kekuasaannya pada tahun 23
Patricia Crone dan Martin Hinds, Op.Cit., hal 20; lihat juga Badri Yatim, Op.Cit., hal. 35.
16
132 H/750 M atau berlangsung selama 91 tahun. 24 Sejak dinasti Umayyah inilah konsep khilafah mulai terjadi evolusi dalam prakteknya. Selama dinasti Umayyah berkuasa, kekuasaan dibentuk atas dasar klan Umayyah dan untuk diarahkan pada pembentukan rezim (patriach Monarki) dengan sistem sentralistik dengan sistem penguatan militer dan administrasi- yang terilhami oleh model Sasania dan Bizantium.
Selama itu pula, Umayyah berhasil menjaga
stababilitas kekuasannya walau banyak terjadi pemberontakan-pemberontakan yang timbul akibat konflik elit politik Arab, gesekan isu primordialisme maupun sekte keagamaan. Namun kontinuitas pemberontakan dan meningkatnya kepentingan politik lambat laun memperlemah posisi Umayyah. Munculnya konflik ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah Umayyah yang tak akomodatif. Kontruksi khilafah yang sentralistik dan patriach Monarki menimbulkan pergeseran konsep khilafah Ideal dalam prakteknya, sekaligus menimbulkan kesalahan pada dinasti umayyah.
A. Hasjmy menunjukkan beberapa kesalahan
dinasti Umayyah yang menyebabkan pergeseran makna khilafah ideal antara lain : (1) Politik kepegawaian didasarkan pada klan, golongan, suku, kaum dan kawan; (2) penindasan terus menerus terhadap pengikut Ali RA. Pada khususnya dan kepada Bani Hasyim Pada umumnya; (3) Penganggapan rendah terhadap Muslim yang bukan bangsa Arab (mawalli) dan (4) pelanggaran terhadap ajaran Islam dan HAM dengan cara terang-terangan. 25
Walau demikian, tidak semua khalifah pada dinasti ini
menerapkan kebijakan yang sentralistik dan nepotis. Misalnya khalifah Umar II (717720) sudah mulai menyadari bahwa khilafah tidak bisa dibangun atas antagonisme Arab dan non Arab, tetapi harus didasarkan universalitas kesatuan Muslim. Namun karena intensitasnya yang semakin meningkat dan semakin melebar dibarengi melemahnya kepemimpinan khalifah, maka akhirnya dinasti ini tumbang pada tahun 750. Setelah dinasti Abbasiyah, sistem pemerintahan dibangun tidak lagi berdasarkan klan, suku, maupun sekte keagamaan tertentu, tetapi dibangun atas dasar loyalitas kepada negara. Dengan demikian, dinasti ini sebenarnya mewarisi tradisi umayyah atau
sentralisasi negara tetapi telah dimodifikasi dengan penanganan
sebuah negara yang professional dengan dibentuknya perangkat pemerintahan yang Joesoep Sou’yb, Op. Cit., hal 7 A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1985, hal. 240; lihat juga W. Montgomery Watt, The Majesty That Was Islam, diterjemahkan oleh Hartono hadikusumo, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1990, hal. 28. 24 25
17
sepesifik seperti diwan dan qadi. Disamping itu, untuk beberapa daerah yang tidak terjangkau oleh pusat diberlakukan otonomi. Kebijakan ini menyebabkan Baghdad sebagai ibu kota menjadi kota metropolitan pertama di Timur Tengah yang kompleks dan dinamis. Walaupun Abbasiyah telah memberlakukan desentralisasi kekuasaan, namun dinasti ini tetap mengalami pemberontakan yang digerakkan kepentingan primordial kesukuan, paham keagamaan maupun politik dan ekonomi.
18
DAFTAR PUSTAKA Abul A’la Al-Maududi, Muhammad Al-Baqir (penerj.), Khilafah dan Kerajaan , Mizan, Bandung, 1993. al Mawardi, al Ahkam al Sulthaniyah wa al Wilayat al Diniyyah, tt. Ali Abdul Raziq, Dhiya’ al-Din al-Rais, Islam wa al-Khalifah (terj.), Islam dan Khilafah, Pustaka, Bandung, 1985. _______________ , al Islam wa Ushul al Hukm baths fi al Khilafah wa al Hukumah fi al Islam, Syarikah Mahimah Misriyyah, Mesir, 1925 Bachtiar Effendi, Islam dan Negara, Paramadina, Jakarta, 1998. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Rajawali Press, Jakarta, 2001 A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1985. Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Penerbit Kota Kembang, Yogyakarta, 1989. Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Dar al-Fikr, Beirut-Libanon, t.th.. Ignaz Goldziher, Muslim studies, vol II, London, 1967, 71, Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam , Rajawali Press, Jakarta, 1999. Joesoep Sou’yb, Sejarah Daulah Abbasiyah I, Bulan Bintang, Jakarta, 1979. M. Munawir sajadzali, MA, Islam dan Tata Negara, UI Press, Jakarta, 1990, Mustafa Saba’I, Some Glittering Aspect of Islamic Civilization, Delhi, Hisdustan Publication, 1990 (II), halaman 203. Nur cholis Madjid, Cita-cita politik Islam Era Reformasi, Paramadina, Jakarta, 1999. Patricia Crone dan Martin Hinds, God caliph, Religious authority in the First centuries of Islam, Cambridge, 1990. W. Montgomery Watt, The Majesty That Was Islam, (terj.) Hartono hadikusumo, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1990
19
20