Setudi Ekonomi Politik Internaisonal dan Hubungan Internasional
Oleh: Gigih Alislami
Abstraksi
international relations was a study of interstate relations that gave great concern base on hight political issue. Sign by state centric studies, a phenomenon of international economics at 1970's had been changing. International oil creasis and the fall of bretoon woods sistem as an international monetary sistem that held at that time showed the complect relations and the increasing in the international studies. Some international phenomenon could be understood only by politacl analisys or iven economical analisys. This situations brought some efort for internationl scholar to product an approach that could representese and give the best explanations on a situations where the complecity relations of international problems could be understood well.
Key Word: international relations, International Political Economic
Pendahuluan
Perjalanan hubungan antar manusia menjadi suatu kisah yang seolah menarik dan mengesankan untuk dapat dirangkum kedalam satu tulisan layaknya alkitab yang akan menjadi rujukan dan selalu diabadikan. Mencoba mengingat sebuah perjalanan singkat dari sebuah perjalanan dalam mengenal manusia, diawali dengan kehidupan individu Adam yang diyakini bagi beberapa kalangan sebagai manusia pertama yang diciptakan Tuhan di dunia untuk menjadi khalifah di muka bumi, Adam selanjtunya didampingi oleh Siti Hawa sebgai istri dan pendamping hidup untuk Adam. Dalam gambaran mengenai kehidupan Adam dan Hawa dilengkapi dengan dunia dan segala isinya yang mencakup segala macam hal di alam semesta ini, air, udara, laut, binatang, tanaman dan lainnya sebagai hal yang dianugrahkan kepada manusia untuk menjadi manfaat untuk menunjang segala kebutuhan manusia semasa hidupnya.
Dari gambaran di atas jelas menunjukan betapa manusia memang sejatinya tercipta untuk berinteraksi dan berhubungan dengan berbagai hal yang ada di sekitarnya guna mencapai intisari perjalanan hidupnya. Perjalanan panjang kehidupan manusia diwarnai oleh berbagai macam hal, anugrah akal yang diberikan sebagai entitas tertinggi yang membedakan manusia dengan makhluk lain di dunia ini, mengarahkan manusia kepada usaha mencapai keadaan untuk menjadi lebih baik. Menciptakan sebuah kotak yang dikenal dengan istilah ilmu pengetahuan.
Permasalahan mengenai ilmu kemanusia menjadi satu kajian tersendiri kedalam ilmu sosial, yang mengkaji mengenai hubungan dan iteraksi manusia dengan sekitarnya. Perjalanan peradaban manusia yang terus semakin maju dengan ditopang oleh pemahaman akan ilmu pengetahuan menghantarkan manusia menemukan suatu konsepsi tentang Negara. Diawali dengan penandatanganan perjanjian westphalia. Pola interaksi ini berkembang seiring kemajuan peraaban, pencapaian suatu konsepsi tentang Negara Bangsa. Pembantukan entitas yang menaungi manusia berdasarkan wilayah yang pasti dengan pengorganisiran oleh aturan dan kelembagaan yang disebut Negara ini membawa peradaban manusia kepada masa dengan interaksi yang berorientasikan batasan Negara Bangsa.
Dalam perjalanannya, interaksi antar entitas manusia ini dalam bentuk Negara Bangsa mencapai suatu masa dimana banyak muncul perselisihan dan masalah di antara mereka. Salah satunya adalah persoalan perang, perang yang melibatkan Negara – Negara sebagai aktor yang mempelopori munculnya perang. Dampak perang yang ternyata membawa kerugian bagi banyak Negara Bangsa, mengarahkan pengembangan setudi kemanusiaan menuju usaha pemahaman mengenai perang untuk menghindari kembali munculnya perang di antara Negara. Situasi ini yang melatarbelakangi munculnya setudi hubungan internasional.
Dengan didukung oleh kemajuan bidang keilmuan yang telah lama berkembang sebelum setudi hubungan internasional ini terbentuk, setudi hubungan berkembagn dengan cepat dalam bidang kajiannya. Salahsatu yang menjadi kajian dalam setudi ini adlah bidang ekonomi politik internasional. Dalam tulisan ini akan berusaha menjelaskan ekonomi politik internasional (EPI) sebagai bagian dari setudi hubungan internasional.
hubungan internasional
Sebagai sebuah kajian, hubugna internasional diresmikan dan disahkan menjadi kajian akademis pada tahun 1919 di universitas Aberistwyth di Wales. Dilatarbelakngi oleh pecahnya perang dunia I, disiplin ini membahas tekait dengan masalah internasional, seingga diarahkan untuk mampu menciptakan suatau pemahaman mengenai hal – hal yang akhirnya menimbulkan pecahnya perang dunia pertama. Tugaas ini lah yang mendorong setudi ini untuk mampu memunculkan semacam struktur disiplin hubungan internasional dan pendekatan yang harus digunakan untuk mencapai tujuan pembentukannya. Sebagai sebuah disiplin ilmu, hubungan internasional pada masa awalnya memfokuskan kajiannya untuk memahami perilaku Negara-Bangsa.
Perang 30tahun 1618-1648 seringakali ditengarahi sebagai akhir and awal peradaban modern dengan perdamaian Westphalia yang mengahiri perang tersebut. Perang tigapuluh tahun ditengarahi sebagai perang benua yang pertama di Eropa dikarenakan perang ini yang melibatkan berbagai aktor yang satu sama lain saling bersilangan, permasalahn toleransi beragama ditengrahi sebagai akar maslah perselisihan ini. Peperangan ini diakhiri dengan penandatanganan perjanjian Westphalia pada 1948, perjanjian ini menegaskan kemenangan penguasa (pangeran pada masa itu) untuk memiliki kekuasaan mutlak atas urusan domestiknya terlepas dari tekanan eksternal (kekasiaran kristiani pada masa itu). Keberhasilan ini menandakan kemenangan Negara untuk mengatur maslah internalnya secara mandiri, dan dalam perjanjian ini disertakan beragam aturan dan prinsip politik masyarakat Negara baru. Perjanjian ini dibentuk untuk menyediakan perjanjian yang fundamental dan komperhensif bagi seluruh eropa.
Implikasi perjanjian ini langsung terlihat pada pentas politki kala itu. Ssegera setelah penetapan ini, Negara – Negara seolah menjadi satu – satunya sistem politik yang sah. Situasi saat itu dapat terangkum kedalam beberapa karakterisrik. Pertama,ia terdiri atas Negara yang saling berdekatan dan mengakui legitimasi dan kemerdekaan masing – masing. Kedua, pengakuan tersebut tidak keluar dari sistem Negara Eropa. Sistem di luar Negara Eropa dianggap inferior secara politik dan akhirnya berada di bawah aturan kekaisaran Bangsa Eropa. Ketiga, hubungan Negara – Negara Eropa kala itu menjadi subjek hukum internasional dan praktek – praktek diplomatik. Keempat, terdapat perimbangan kekuatan diantara Negara untuk menghindari hegemoni yang dikhawatirkan akan kembali membangkitkan pola kekaisaran atas benua tersebut.
Pola hubungan antar Negara Bangsa ini yang melatarbelakngi kajian megnenai hubungan antar Negara modern dalam pembahasan kajian hubungan internasional. Pada mulanya kajian ini merupakan kajian yang mempelajari sejarah Diplomasi, Hukum Internasional, Dan Ekonomi Internasional. Namun kajian hubungan internasional secara resmi diakui sebagai kajian yang terpish dalam lingkungan keilmuan barat baru akhir Perang Dunia I dengan diberdirikannya Dewan Hubungan Internasional di Universitas Wales, Abersytwyth pada 1919. Pada masa awal kajiannya, setudi ini bangyak membahas mengenai masalah perang, mengenai sejarah perang dan penyebab – penyebab perang.aktifitas keilmuan HI masa ini benar – benar di dorong oleh tujuan moral murni untuk menemukan sebab – sebab perang demi terhindarnya bencana serupa di masa yang akan datang.
Para pemikir awal hubungan internasional merupakan banyak berkembang diNegara yang olah Burchill disebut sebagai "puas" atau "setatus quo" terutama Inggris dan Amerika Serikat sebagai reaksi atas kekhawatiran akan konflik yang belum terjadi. Kajian awal HI menghasilkan sebuah konsepsi mengenai usaha mencapai perdamaian oleh kalangan yang dikenal dengan istilah kaum "idealis" atau "utopis". Kalangan ini mengusulkan ide mengenai keamanan bersama (a system of collective security) yang meliputi tindakan transformasi konsep dan praktek masyarakat domestik ke lingkup internasional. Usulan kalangan ini kemudian dikenalkan melalui konsep concert (kesepakatan bersama) yang secara konkrit diimplementasikan melalui lembaga internasional seperti League of Nations. HI awal yang merupakan perwujudan atas usaha menentang kebiadaban Perang Dunia I ini tidak serta merta mendapati hakekat kajian disiplin HI yang sesungguhnya. Muncul berbagai pertanyaan dan kesanksian akan pola pendekatan awal setudi ini. Pendekatannya yang normatis yaitu ditunjukan untuk tujuan tertentu mendapat tantangan dari kaum yang disebut dengan "ralisme". Kalangan ini meyakini bahwa hanya dengan kajian yang sungguh – sungguh (objektif) mengenai perang itu sendiri yang hanya bisa mendapati pemahaman mengenai sebab perang dan akan didapati formulasi yang tepat untuk mecegah pecahnya kembali peperangan. Perdebatan ini dalam setudi hubungan internasional dikenal dengan istilah debat akbar pertama (first great debate) antara tradisi Realisme dan Liberalisme yang memfokuskan persoalan mengenai bagaimana seharunya mempelajari setudi hubungan internasiona.
Objek kajian setudi hubungan internasional mengalami perkembangan yang cukup pesat, persoalan yang lebih lanjut seiring perkembangang setudi HI adalah persoalan mengenai ketiadaan kesepakatan teori HI. Sekayaknya disiplin ilmu yang lain, sebut saja ilmu fisik yang memiliki basis teoritis yang mampu menjelaskan fenomena dengan pendekatan dan metodologi yang sudah pasti. Pada masa ini HI memasuki fase perdebatan kedua (second great debate) antara tradisi awal HI dengan para penggagas tentang perlunya sebuah metode pasti dalam mempelajari HI yang dikenal dengan kalangan positifis. Salagsatu teoritisi kajian hubungan internasional yang membahas perdebatan besar kedua hubungan internasional adalah Hedley bull melalui tulisanya International Theory.
Istilah hubungan internasional yang diciptakan sebagaimana awalmulanya pun menjadi suatu objek kajian yang interdebte studies, yaitu suatu setudi yang dicirikan dengan perdebatan diantara tradisi pensetudi hubungan internasional. Istilah hubungan internasional sendiri mengandung unsur perdebatan yang serius, seolah mengarahkan setudi kajian ini adalah Negara – Bangsa sebagai objek kajiannya. Namun seiring perkembangannya, tema Negara – Bangsa hanyalah merupakan bagian dari kajian HI. Perubahan sistem internasional yang terjadi turut mempengaruhi objek kajian disiplin keilmuan ini, yang nyatanya menambah objek kajian HI tidak hannya terbatas pada persoalan Negara - Bangsa. Maka Banyu Agung Perwita menyebut bahwa HI sebagai disiplin atau cabang ilmu pengetahuan yang sedang tumbuh. Istilah yang dirujukan oleh Anak Agung mengindikasikan bahwa formulasi mengenai kajian HI itu masih dalam proses yang tengah berjalan dan belum rampung untuk menjadi satu kajian yang tengah berusaha mencapai keutuhan kajian selayaknya disiplin ilmu lain yang berkembang jauh sebelum HI dan telah mencapai kemapanan.
Selanjutnya Anak Banyu mengklasifikasikan perkembangan setudi HI melaui periodisai tahun, pada awal 1930-an HI merupakan kajian yang didominasi oleh setudi masalah – masakah politik internasional, geografi politik, dan opini publik. HI bukan lagi hanya terfokus pada kajian masalh perang seperti awal pembentuykannya, walaupun setudi mengenai perang masih memiliki porsi lebih dalam kajian HI. Setelah PD I tersebut, Liga Bangsa – Bangsa yang digagas oleh tradisi liberal sebelumnya mengalami kemunduran akibat pecahnya Perang Dunia II. Kondisi ini menunjukan keberhasilan tradisi realisme yang selanjutanya mendominasi kajian HI yang berlanjut hungga masa sesudah Perang Dunia II dan dibentuknya Perserikatan Bangsa – Bangsa yang merupakan bentuk transformasi dari Liga Bangsa – Bangsa. Dunia memasuki fase baru yang dikenal dengan istilahPerang Dingin, semacam perselisihan yang dilatarbelakangi oleh perselisihan ideologis antara Amerika Serikat dan Unisoviet. Pada periode ini, kajian HI masih didominasi oleh pendekatan state sentric yang mengedepankan kajian mengenai perilaku Negara dan mengedepankan entitas Negara sebagai aktor utama dalam pentas politik internasional.
Selanjutnya periode 1960-an dan 1970-an, perkembangan setudi HI semakin kompleks, dimana Negara Bangsa telah menjadi sistem global dimana jumlan Negara yang menganut sistem Negara modern meningkat drastis. Keanggotaan PBB yang semula hannya berjumlah 50 anggota pada dasawarsa 1945 mengalami peningkatan hinggs mencapai 160 Negara anggota. Situasi ini membawa perubahan pada objek kajian HI, formasi PBB menjadi penanda penguatan peran IGOs (Internasional Government Organisations) yang juga mulai menjadi fokus kajian HI. Selai itu juga mulai muncul INGOs (Internasional non Giovenmental Organisations) menambah kajian HI melingkupi kajian mengenai organisasi yang bersifat internasional. Pada periode ini mulai muncul sebuah fenomena yang berbeda dari tradisi HI sebelumnya, fenomena krisis ekonomi akibat perilaku organisai OPEC yang menghentikan pasokan minyak ke Negara – Negara industri. Kemudian runtuhnya sistem moneter internasional Bretton Woods akibat kebijakan AS saat itu yang akhirnya mengedapankan kepentingan domestiknya daripada mempertahankan tanggungjawabnya kepada sistem internasional. Kondisi ini semakin memperparah kondisi moneter internasional, dan sekalisgus menggambarkan keterkaitan antara ekonomi dan politik di satu sisi. Bahwa kajian antara ekonomi dan politik semakin tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Berlanjut pada dekade 1980-an, ditengarahi sebagai perluasan setudi hubungan internasional yang sangat signifikan, kajian HI yang masih diwarnai oleh bipolaritas politik internasional antara AS dan Soviet dalam konteks Perang Dingin. Namun demikina telah muncul kekuatan yang dikenal dengan istilah sub groups. Fenomena yang terjadi dalam pentas internasional membawa HI untuk juga mengkaji aktor di luar Negara, aktor lain yang bukan hannya Negara yang aktifitas atau perilakunya berpengaruh kepada Negara Bangsa. Hingga akhirnya hubungan interansional mengacu kepada segala aspek bentuk interaksi.
Memasuki masa pasca perang dingin, setudi HI kian kompleks dengan semakin menguatnya aktor – aktor baru baik Negara maupun non Negara dalam pentas internasional yang berpengaruh secara langsug maupun tidak langsung dalam dinamika politik internasional. Anak Agung menjelaskan bahwa dinamika HI dapat terlihat dari aspek praktis dan aspek akademis.
Burchill merangkum pola baru dalam setudi HI kedalam sedikitnya empat kelompok besar. Pertama adalah setudi mengenai hubungan terkit munculnya fenomena saling ketergantungan ekonomi, hutang dan ketergantungan Dunia Ketiga, perdagangan internasional, kesenjangan, identitas politik dan kewargaNegaraan model baru, rezim, komunitas Negara – Negara internasional, anarki, kerjasama, ekonomi regional, keseimbangan kekuasaan, demokrasi, keamanan pasca perang dingin; Kedua adalah aktor yang meluas meliputi Negara Bangsa, perusahaan transnasional, pasar modal, perusahaan multinasional, pasar modal, organisasi non-pemerintah, masyarakat politik supranasional dan subnasional, pasukan penjaga PBB, gerakan sosial baru, G7, IMF-World Bank; Ketiga adalah isu – isu empiris mencakup persoalan globalisasi dan isolasi, hak asasi manusia, intervensi dan kedaulatan, bantuan, pengungsi, etnis, persoalan perempuan, konservasi lingkungan, AIDS, narkoba, kejahatan terorganisir transnasional; Keempat adalah isu – isu filsafat mancakup pembahasan persoalan terkait epistemologi, ontologi dan metodologi, perspektif gender, perdebatan antar pardigma, etika dan kebijakan luar negri.
Peroses menuju entitas kajian HI masih dalam proses yang memberikan peluang bagi kalangan akademisi maupun paraktisi hubungan internasional untuk turut berpartisipasi aktif untuk mengembangkan setudi HI.
Ekonomi Politik Intenasionaal
Kajian mengenai ekonomi kurang mendapat perhatian semasa perang, seorang presiden prancis Charles de Gaulle mengistilahkan persoalan ekonomi dengan "quarter master's stuff" atau politik tiungkat rendah. Secara sederhana peryataan ini menunjukan mengenai perhatian akan persoalan ekonomi sebagai persoalan yang hanya perlu dilihat sekedarnya saja, sementara yang lebih penting adalah politik tingkat tinggi yang hirau dengan isu besar seperti perang dan damai.
Pada masa ini, pengamat ekonomi sering mengabaikan aspek kepentingan nasional sementara para pengamat politik ecap kali memfokuskan perhatian kepada Negara – Bangsa. Kondisi ini menunjukan ketersampingan perhatian akan keterkaitan poltik dan ekonomi yang menjadi ciri utama kajian Ekonomi Politik. Ketidakmampuan penjelasan hubungan antara ekonomi dan politik ini berusaha dijelaskan oleh Charles P. Kinderberger dalam tulisannya yang bertajuk Hegemoyi dan Kenneth N. Waltz melalui Man, State and War.
Kajian ekonomi dan politik seolah memiliki tembok pemisah yang tebal diantara mereka yang berakibat pada berkembangnya pandangan bahwa Ekonomi merupakan kesatuan yang mandiri dan begitu pula dengan politik. Hingga 1960-an perhatian mengenai isu politik merupakan hal yang sangat minim, salah satu penyebabnya adalah perang dingin. Pengalaman praktisi maupun akademisi masa ini merupakan hasil yang didominasi oleh pengalaman perang, yang bahkan terjadi sebanyak dua kali untuk kurun waktu yang singkat. Hal ini yang kemudian mendorong munculnya fokus pilihan; yang bahkan dapat dibilang logis; kepada para akademisi maupun praktisi untuk memberi porsi lebih dalam memperhatikan persoalan poltik ketimbang ekonomi sebagai dapak traumatik kekejaman perang. Faktor lain yang turut mempengaruhi adalah konsepsi mengenai pemisahan antara politik dengan ekonomi, pemisahan antara wilayah politik bagi Negara dan pasas sebagai ekonomi merupakan bentuk dari masyarakat kapitalisme modern.
Pemahaman pemisahan Negara dan pasar memang tidak semestinya mengabaikan segi keterikatan antara ekonomi dan politik. Pemahaman akan keterpisahan ekonomi dan politik oleh tembok diantara keduannya segera runtuh segera setelah pada permulaan 1970-an terjadi krisis global. Sebagai dampak krisis, AS yang merupakan stabilitas hegemoni internasional melalui permberlakuan Dollar AS sebagai katalisator keuangan internasional melalui sistem moneter internasional Bretton Woods runtuh pada 15 Agustus 1971 melalui keputusan Presiden Ricard Nixon. AS membatalkan konvertibilitas emas Dollar AS, akibat kesulitan ekonomi AS sebagai akibat keterlibatan perang Vietnam (1961-1973). Keputusan politik yang diambil AS secara langsung merubah aturan main bagi pasar ekonomi internasional.
Krisis minyak internasional menjadi indikator lain bagi penanda keterkaitan ekonomi dan politik. Kondisi ini menyebabkan perasaan kehilangan kekebalan bagi Negara – Nagara adidaya yang secara politis memiliki kemampuan untuk menangkal segala macam ancaman. Embargo minyak oleh Negara Arab 1973-74 dan penguatan peran OPEC (Organisation of Petrolium Exporting Countries) semakin menambah kompleksitas hubungan politik dan ekonomi, bahwa keputusan politik tidak selayaknya mengabaikan potensi hubungan ekonomi atau dampak ekonomi.
Situasi dekolonialisasi juga menandai kebangkitan isu ekonomi, kondisi ini telah menciptakan kemunculan negara baru yang secara politik lemah dan secara ekonomi miskin dalam sistem internasional. Golongan ini digolongan sebagai subordinat dalam sistem ekonomi internasional oleh Sorensen. Keberadaan PBB (Perserikatan Bangsa – Bangsat) merupakan instruneen penting usaha politik negara baru merdeka yang melakukan usaha politik dalam bentuk usulan pembentukan " Tata Ekonomi Internasional Baru" untuk memberikan kesempatan bagi negara Dunia Ketiga mencapai perbaikan taraf ekonomi. Usulan ini menandakan betapa kondisi ekonomi sangat mempengaruhi tindakan – tindakan politik.
Pendekatan yang berkembang saat itu kurang mampu menjelaskan fenomena yang mengubah pandangan dan pemahaman internasional betapa ekonomi dan politik sesungguhnya saling berkaitan begitu erat. Pendekatan poltiki amaupun ekonomi kurangmampu menjelaskan fenomena internasional ini, maka dibutuhkan sebuah pendekatan yang mampu menjelaskan kompleksitas hubungan antara politik dan ekonomi dalam sistem internasiona. Dan situasi ini yang akhirnya melatarbelakangi dikembangkannya tradisi baru dalam kajian internasional yang dikenal sebagai Ekonomi Politik Internasional.
Ekonomi Politik Internasional secara sederhana dapat dipahamai sebaga setudi yang menjelaskan kompleksitas hubunga ekonomi dan politik dalam sisteminternasional. Michael Veset EPI sebagai setudi probelmatika (problematique), yaitu setudi yang membahas hubungan antar masalah yang saling terkait satu sama lain, probelmatika adalah seperangkat masalah internasional yang tidak dspat dijelaskan hanya melalui satu persepektif saja. Veset menggolongkan objek kajian EPI kedalam kelompok kajian mengenai; Perdagangan Internasional, Keuangan Internasional, Hubungan Utara – Selatan, MNC, Masalah Ekonomi dan kemudian Kajian Globalisai.
Sementara Joan Spero memformulasikan definisi EPI yang lebih konstruktif melalui penjabaran politik internasional dan ekonomi internasional. Politik Internasional adalah interaksi diantara Negara – Negara dalam upaya mencapai tujuan masing – masing dan penentuan " who gets what, when, and how?". Sementar Ekonomi internasional adalah perilaku negara untuk memenuhi kepentingan nasionalnya dalam kondisi keterbatasan sumberdaya. Maka interraksi ekonomi adalah interaksi ekonomi dalam arena internasional.
Lebih jauh Spero menjabarkan keterkaitan ekonomi dan politik melalui stidaknya empat situasi;
Struktur dan oprasi sitem ekonomi internasional dipengaruhi oleh struktur dan oprasi politik internasional;
Kepedulian – kepedulian politik selalu mempengaruhi kebijakan ekonomi;
Kebijakan – kebijakan ekonomi dituntun oleh kepentingan politik;
Hubungan dalam ekonomi internasional adalah hubungan politik interaksi ekonomi internasional, dan hubungan politik adalah proses dimana Negara – Negara dn aktor non Negara mengatur konflik dan kerjasama untuk mencapai tujuan.
EPI merupakan setudi yang berkembang guna menjawab pertanyaan – pertanyaan yang tidak dapat dijawab melalui satu pendekatan atau kacamata ilmu tertentu saja atau hanya melalui analisa satu aktor dalam satu level of analysis. EPI merupakan setudi yang menerobos batasan tradisional guna menjelaskan fenomena internasional hingga mencapai penjelasan komperhensif melalui penggunaan kombinasi pendekatan bidang ekonomi maupun politik internasional. Secara ringkas dapat dipahami sebagai bentuk interdependensi (salingketergantungan) yang kian meningkat antar berbagai aktor terutama dalam bentuk transnasionalisme ekonomi yang bersifat lintas batas negara sehingga meniadakan peluang kebijakan ekonomi politik yang benar – benar bersifat domestik.
Setelah penjabaran di atas dapat dipahaami bahwasanya EPI merupakan setudi yang berusaha menjelaskan hubungan antara politik dan ekonomi dalam pentas internasional. Hendaknya kesimpulan ini mencoba menjadi tolak pikir bersama guna mendapati pemahaman minimum mengenai setudi EPI. Penulis menyadari definisi minimum mengenai EPI ini tidak akan mampu menggambarkan secara detail mengenai setudi EPI, selanjutnya definisi minimum ini yang akan menjadi rujukan untuk istilah EPI.
Ekonomi Politik Internasional dan Hubungan Internasional
Sebagai seorang ilmuan hubungan internasional, sudah selayaknya memiliki kerangka berpikir yang bercorak hubungan internasional. Sebagaimana disebutkan diawal pembahasan, bahwa HI adalah interdebate studies, sebagagi kajian yang seringkali menunjukan perdebatan di antara tradisi keilmuan dalam hubungan internasional itu sendiri. Kondisi ini menurut Scott Burcill terjadi akibat terdapat du wilayah yang sangat berbeda dalam kajian teoritis hubungan internasional,; yaitu pertama aspek perilaku negara (kebijakan luar negeri dan kedua pendekatan dan diskusi di lingkungan akademisi (universitas dan ranah intelektual umum) yang antara keduanya seringkali bertentangan satu sama lain sehingga sulit menemukan konsensus mengenai pendekatan dalam setudi hubungan internasional.
Burcill melanjutkan penjelasannya mengenai bagaimana dominasi realisme dalam menjelaskan perilaku AS semasa Nixon dan Kissinger dalam politik luar negrinya justru bersamaan dengan saat derasnya tantangan dari kalangan akademisi untuk yang pertama kalinya. Pada 1980-an digambarkan bagaimana neo-liberalisme justru mendominasi agenda politik barat disaat derasnya kritik muncul melalui kajian EPI. Beberapa contoh lain saat ini mungkin kasus yang nampak adalah bagaimana dominasi paradigma relaisme yang mampu menggambarkan perilaku AS semasa pemerintahan George W. Bush disaat tradisi realisme justru tengah mendapat tantangan berat dalam kalangan akademisi melalui dominasi tradisi liberal. Situasi lain adalah bagaimana neo-liberalisme jusrtu menguasai agenda pemerintahan negara maju disaat muncul perdebatan besar mengenai ekonomi politik akibat ketimpangan yang disebabkan oleh sistem kapitalisme global.
Sifat studi hubungan internasional yang semacam ini merupakan ciri yang menjadi kunci setudi HI. Bekumadanya paradigma yang dominan dan tunggal dalam studi ini memberikan peluang untuk memiliki berbagai macam sisi dalam memandang dan mengkaji fenomena internaasional. Satu paradigma akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda dalam mengkajui hal yang sama. Untuk itu, dalam kajian hubungan internasional menjadi penting ntuk mampu membatasi kajian pada ranah interparadigm ini. Tradisi perdebatan antar paradigma ini juga merambah ke bidang kajian HI yang lain, termasuk setudi Ekonomi Politik Internasional.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa tradisi awal HI didominasi olah isu high politics, seperti persoalan perang dan damai, keamanan, militeristik yang tergolang kedalam persoalan politik internasional. Perhatian mengenai masalah ekonomi kurang mendapat sorotan para pengkaji setudi hubungan internasional. Diawali dengan situasi krisis global akibat keruntuhan sistem moneter Bretton Woods, krisis minyak dan dekolonialisasi sebagai mana dijelaskan sebelumnya semsa 1970-an, setudi mengenai ekonomi mulai mendapat perhatian khusus melalui tajuk Ekonomi Politik Internasional.
Dalam perkembangannya, dekolonialisasi melahirkan negara baru yang selanjutnya lebih dikenal sebagai negara Dunia Ketiga, ssebagai istilah yang ditunjukan bagi negara dengan posisi ketertinggalan dalam sistem internasional. Adalah penetrasi setudi ekonomi politik ala Neo-Marxis yang membawa HI menuju babak baru dalam perkembangan setudinya. Berangkat dari tradisi politik ekonomi yang dikembangkan Karl Marx, tradisi keilmuan ini mencoba merumuskan teori untuk menjelaskan tentang keterbelakangan ekonomi di dunia ketiga.
Masuknya isu kesejahteraan internasional dan kemiskinan internasional ini melatarbelakangi perdebatan besar ketiga (the thrid great debate) dalam tradisi keilmuan hubungan internasional, yaitu mengenai kajian Ekonomi Politik Internasional. Perdebatan besar ini berangkat dari kritik kalangan Neo-Marxis terhadap perekonomian dunia kapitalisme yang ditanggapi melalui penjelasan tradisi keilnuan HI awal realisme dan liberalisme dalam tajuk EPI liberal dan EPI realis dengan jawaban masing – masing dalam menjelaskan hubungan antara politik dan ekonomi dalam hubungan internasional.
Tradisi Neo – Marxis memperluas analisis Karl Marx atas kapitalisme Eropa yang hannya merupakan eksploitasi atas kaum buruh yang oleh Marx dikonsepsikan dalam tajuk hubungan eksploitatif kalangan borjuis atas kaum ploretar. Neo – Marxis kemudian memperluas analisis ala Marx pada Dunia Ketiga melalui pendapat bahwa perekonomian kapitalisme global yang dikendalikan oleh negara kaya dipergunakan untuk memiskinkan negara – negara miskin dunia. Ketegantungan adalah konsep utama neo – Marxis, mereka menyatakan bahwa pola hubungan tidak seimbang antara negara maju dan negara miskin menciptakan pertukaran tidak swimbang dalam bentuk eksploitasi. Dimana negara miskin untuk dapat berpartisipasi dalam dalam sistem kapitalisme global, akhirnya negara miskin harus menjual bahan mentah kepada negara maju dan harus membeli barang jadi dengan harga yang mahal. Keterbelakangan yang dimiliki oleh negara miskin adalah akibat dari ketidakperdulian negara maju dan kaya.
Tradisi ini berkembang baik pada masa ini, adalah Andre Gunfer Frank yang menjelaskan betapa kapitalisme memberikan hanya sedikit surplus ekonomi dan akhirnya memunculkan begitu banyak penderitaan. Sepanjang kapitalisme menjadi sistem ekonomi global, Negara Dunia Ketiga akan selalu mengalami keterbelakangan. Kemudian ditegaskan kembali oleh Immanuel Wallerstein yang secara komperhensif melakukan penelitian atas sistem kapitalisme global semenjak awal perkembangannya pada abad keenambelas. Wallstrein memberikan kemungkinan bagi Negara Dunia Ketiga untuk memiliki kesempatan bergerak ke atas dalam sistem ekonomi global. Namun hanya sedikit yang akan mencapai itu, tidak ada tempat teratas bagi setiap orang dalm istilah Wallstrein. Kapitalisme adalah suatu hirarki yang didasrkan atas eksploitasi si miskin oleh sikaya yang situasinya tidak akan pernah breubah sejauh sistem ini belum diganti.
Jawaban berbeda dijelaskan oleh EPI liberal yang dikenal sebagai Neo-Liberalism, kalangan liberalisme menentang pandangan ketergantungan dan eksploitasi ala Neo-Marxis. Mereka berangkat dari tradisi ekonomi liberal Adam Smith, kesejahteraan manusia akan dapat dicapai melalui pemisahan antara negara dengan pasar. Pasar yang bebas deengan kepemilikan swasta dan kebebasan individu akan memberikan dasar bagi kemajuan ekonomi yang progresif bagi siapa pun yang terlibat. Friedman menjelaskan bahwa Masyarakat tidak akan melakukan pertukaran selain mereka yakin akan mendapatkan keuntungan dari tindakan mereka itu. Tradisi liberal memegang keyakinan bahwa kapitalisme sebagai peluang untuk menuju perkembangan yang progresif bagi negara mana pun.
Tradisi reais juga menanggapi secara berbeda, tradisi neo-Realism mengangkat pendekatan mengenai ekonomi sebagai intrumen kekuatan negara yang seharusnya diatur dan dimanfaatkan untuk pencapaian kepentingan nasional. Pendekatan EPI Realis lebih dikenal denga sebutan Merkantilisme Ekonomi atau Nasionalisme Ekonomi, tradisi ini berangkat melalui dasar pemikiran Frienddrich List bahwa ekonomi seharusnya diletakan sebagai landasan kekuatan negara dan menopang pencapaian kepentingan nasional. Selanjutnya Robert Gilpin hadir menegaskan bahwa lancarnya fungsi pasar akan tergantung kepada kekuatan politik, tanpa hegemonik atau kekuatan ekonomi dominan, tidak akan tercapai perekonomian yang liberal. Analisa tradisi neo-Realis akhirnya bermuara pada mundurnya AS sebagai Hegemnik ekonomi global yang akhirnya mundur dan melemahkan perekonomian dunia liberal akibat tantangan dari Jepang dan Eropa sehingga tidak ada lagi hegemoni global.
Tradisi perdebatan HI kemudian menjadi rambu tersendiri dalam kajian EPI, bagi pensetudi HI yang berminat dalam kajian ini hendaknya memiliki posisi yang jelas dalam memposisikan diri untuk menggunakan tradisi yang lebih tepat dalam menjelaskan satu fenomena. Perlu ditekankan kembali bahwa dalam setudi HI pendekatan yang berbeda akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda dalam mengkaji persoalan yang sama. Hal ini dapat terjadi akibat tadisi keilmuan HI yang kaya akan pendekatan; jika tidak disebut tidak pasti; dalam berusaha menjelaskan fenomena internasional.
Kesimpulan
HI adalah disiplin ilmu yang inter debate, artinya bercirikan perdebtan antar pendekatan dalam menjelaskan fenomena. Rambu – rambu kajian HI ini harus menjadi pedoman tersendiri dalam setiap kajian HI. Begitu pula dengan kajian EPI, dalam tradisi keilmuan HI yang penuh dengan perdebatan ini juga berimbas pada pembahasan EPI yang juga diwarnai dengan perdebatan antar pendekatan yang satu sama lain sangatlah berbeda. Dalam hal ini bagi persetudi HI perlu mengedepankan pilihan pendekatan yang akan digunakan dalam menganalisa fenomena internsional untuk menghindarkan inkonsistensi pembahasan yang akhirnya berujung pada kesalahan kesimpulan.
Daftar Pustaka
Anak Agung Banyu P., 2006, Ilmu Pengantar Hubungan Internasional, cetakan kedua, Rosdakarya: Bandung
Burcill, Scott & Andrew L., 1996, Theories of International Relations, ST Martin's Press: New York, terjemah bahasa indonesia oleh M. Sobirin, Nusa Media: Bandung
Eventon, Ross, 2009, The Purpose of International Relations, London: Webster University
Jackson, Robert & George Sorensen, (2009), Pengantar Studi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Knorr , K. & James N. Rosenau, 1972, Contending Approach to International Politics, scond editions, Princenton University Press: New Jersey
Ross Eventon, 2009, The Purpose of International Relations, London: Webster University, p. 9.
Robert Jackson & George Sorensen, 2009, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar: Yogyakarta. P. 21 – 23.
Holsti (1991: 26-28) dalam Robert Jackson & George Sorensen, (2009), P. 21.
Watson (1992: 186) dalam ibid. P. 22.
Ibid. P. 22.
Anak Agung Banyu P., 2006, Ilmu Pengantar Hubungan Internasional, cetakan kedua, Rosdakarya: Bandung, p. 2.
Scott B. & Andrew L., 1996, Theories of International Relations, ST Martin's Press: New York, terjemah bahasa indonesia oleh M. Sobirin, Nusa Media: Bandung, p. 5.
Ibid. P. 3.
Ibid. P. 7-9.
K. Knorr & James N. Rosenau, 1972, Contending Approach to International Politics, scond editions, Princenton University Press: New Jersey, p. 21 – 37.
Opcit. P. 12.
Anak Banyu Agung P., P. 2.
Ibid. P. 3.
Scott Burchill & Andrew L., P. 12.
Robert J., & G. Sorensen, P. 229.
Michael Veset dalam International Political Economy diakses melalui http://www2.ups.edu/ipe/whatis.pdf 24/04/12 Pkl. 20:46.
R. Jackson & G. Sorensen, P. 229.
Opcit.
Opcit. P. 229.
Ibid. P. 230.
Michael Veset.
Joan Edelman Spero ,1985, The Political of International Economic Relations dalam Anag Agung Banyu Perwita, 2006, Ilmu Pengantar Hubungan Internasional, cetakan kedua, Rosdakarya: Bandung, p. 76.
Ibid.
David N. Balaam & Michael Veset, 1996, Introductions to International Political Economy dalam Opcit. P. 77.
Anak Agung Banyu P. Ibid.
Scott Burcill & Andrew L. P. 13 – 14.
Ibid.
Robert Jackson & George Sorensen, P. 75.
Ibid.
Ibid.
Ibid.
Ibid. P. 76.
Ibid. 77.