DISKURSUS KECERDASAN BUATAN
The greatest single human gift—the ability to chase down our dreams
Professor Hobby, Artificial Intelligence (2001)
GOFAI (Good Old-Fashioned of AI) is based on the Cartesian idea that all understanding consists in forming and using appropriate symbolic representations
Hubert L. Dreyfus, What Computer Still Can't Do (1992)
Apa yang khas dalam filsafat adalah kajiannya tentang realitas dan pikiran. Sejak Plato sampai Descartes dan terus berlanjut sampai para filsuf kontemporer kedua hal tersebut menjadi fokus pembelajaran tentang bagaimana manusia memahami dunia dan dirinya. Bahkan revolusi kesadaran pada Zaman Pencerahan abad ke-18 M menempatkan pengetahuan tentang keduanya sebagai tolok ukur.
Descartes misalnya, melihat pikiran sebagai penentu sebuah kebenaran. Sebelum manusia menyadari keberadaan secara filosofis ia tak akan bisa meraih keautentikan. Dalam karyanya yang berjudul Meditations, ia menjelaskan bahwa pikiran hanya dapat dipahami pertama kali dengan meragukan keberadaan semua objek (realitas) yang ada, setelah itu barulah ia sampai pada titik ketika ia tak bisa meragukan 'aku' yang meragukan. 'Aku' sebagai pikiran inilah yang sentral dalam filsafat Descartes. Pemikiran Descartes kemudian dilengkapi oleh Immanuel Kant, yaitu bahwa pikiran tidak hanya dipahami sebagai aku subjek berpikir saja, tapi juga mempunyai bentuk-bentuk yang khas yang digunakan untuk melihat dan memahami realitas.
Pada masa kontemporer pembahasan tentang pikiran meluas ke banyak bidang ilmu dan menjadi lebih kompleks, seperti dalam psikologi (ilmu kognitif), biologi (neurosains), dan juga ilmu komputer. Fenomena terciptanya kecerdasan buatan atau AI (Artificial Intelligence) misalnya, adalah diskursus tentang pikiran yang menarik perhatian banyak ilmuwan dan filsuf. Kecerdasan buatan atau AI adalah sebuah konsep yang menjelaskan bagaimana mesin atau komputer dalam arti tertentu berpikir dan berperilaku layaknya manusia.
Kita mengetahui AI dalam fiksi-fiksi sains. Banyak novel dan film mengisahkan tentang eksistensi cyborg, robot, atau superkomputer yang memiliki identitas dan kesadaran seperti manusia. Secara sosio-kultural kisah-kisah robot telah menjadi semacam mitos atau kepercayaan publik. Untuk itu, saya kira wajar bila kita mengetengahkan sebuah pertanyaan: apakah benar fenomena ini dapat menjadi kenyataan? Atau sejauh mana ia menjadi kemungkinan filosofis yang bersifat rasional?
Pertanyaan sejauh mana dapat kita putuskan apakah mesin itu mempunyai kecerdasan dirumuskan oleh Alan Turing pada tahun 1950-an. Alan Turing adalah seorang matematikawan yang terkenal karena berhasil memecahkan kode rahasia Jerman dalam Perang Dunia II. Ia membuat sebuah mesin atau program yang dikenal sebagai mesin Turing. Mesin ini berfungsi untuk menyimulasikan bentuk-bentuk kalkulasi matematis sehingga dapat didefinisikan sebagai kecerdasan. Ia juga membuat sebuah konsep yang dikenal sebagai tes Turing (Turing test) yang menjadi model untuk mengetahui apakah sebuah mesin dapat berpikir atau tidak. Secara sederhana, tes Turing ini dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepada mesin atau program komputer dan manusia yang berada dalam ruang yang berlainan. Masing-masing kemudian diberi pertanyaan. Apabila keduanya dapat menjawab sehingga si penanya tidak dapat membedakan mana mesin dan mana manusia, barulah dapat dikatakan sebuah mesin atau komputer itu mempunyai kecerdasan atau lolos dari tes tersebut.
Apakah mesin atau komputer dapat berpikir? Melihat perkembangan teknologi komputer dan pemrograman secara tentatif boleh dibilang bahwa komputer itu telah dapat berpikir, seperti dalam permainan catur misalnya. Tapi dapatkah komputer menyimulasikan sebuah kesadaran sebagai subjek seperti manusia? Inilah problem yang tampaknya masih belum terselesaikan dalam diskursus AI.
Problem AI dan kaitannya dengan kesadaran dibahas oleh John R. Searle di dalam bukunya, The Mystery of Consciousness (1997), dan secara khusus di dalam artikelnya, "Minds, Brains, and Programs" (1980). John Searle melihat bahwa mesin memang dalam arti tertentu mempunyai kecerdasan. Namun, ia melihat mesin hanya memilikinya secara partikular dan fungsional (Weak AI). Mesin menurutnya tidak mungkin dapat mempunyai kesadaran sebagai subjek seperti manusia (Strong AI). Ia menjelaskan hal ini lewat argumen terkenal tentang AI, yaitu Chinese Room Argument.
Chinese Room Argument adalah sebuah argumen yang menjelaskan tentang fenomena ketika secara programatis tidak lagi diketahui perbedaan antara mesin dan manusia. Argumen ini singkatnya dapat dijabarkan demikian: seseorang yang tak mengerti tulisan China ditempatkan dalam sebuah kamar yang terkunci. Ia diberikan setumpuk lembaran tulisan China, lengkap dengan lembaran yang berisi instruksi-instruksi dengan bahasa yang ia pahami. Setelah itu, ia diberi selembar daftar pertanyaan dengan tulisan China yang tentunya tak ia pahami. Namun, fakta kemudian menunjukkan ia dapat menjawabnya dengan melihat instruksi-instruksi dengan bahasa yang pahami. Instruksi menyatakan bahwa apabila pertanyaan seperti ini—dengan mengenali bentuk hurufnya—maka jawablah seperti ini. Aktivitas tanya jawab dengan lembaran tulisan China mengandaikan bahwa orang yang berada di dalam kamar dapat memahami tulisan China, meski faktanya ia tak memahami. Si penanya tak pernah tahu bahwa ia tak dapat memahami tulisan China, karena ia dapat menjawab lembaran pertanyaan dengan lembaran jawaban dalam tulisan China.
Bila manusia dianalogikan sebagai komputer dalam kaitannya dengan fenomena Chinese Room Argument, akan kita temukan kesamaan antara mesin dan manusia, yaitu sama-sama sebuah program atau bagian dari program. Namun bila kita telaah lagi, akan kita temukan secara tentatif adanya sebuah perbedaan. Dengan merujuk argumen di atas kita pahami bahwa manusia dan mesin sebagai sebuah program memahami sebatas bentuk, bukan makna. Menurut John Searle, lewat Chinese Room Argument dapat diproposisikan bahwa "semantik tidak intrinsik berada pada sintaksis, sehingga sintaksis tidak bersifat intrinsik terhadap bentuk fisik" ( 1997: 17). Dari sini kita pahami bahwa makna sebuah kata dalam beberapa hal adalah misteri. Karena sebuah komputer atau program dapat memahami bentuk (sintaksis) dan menjawab dengan bentuk, seolah-olah ia memahami maknanya (semantik). Jadi sama seperti orang yang berada dalam kamar yang tidak mengerti tulisan China namun lewat sebuah program ia seakan-akan mengerti.
Argumen John Searle memang memberikan penjelasan tentang fenomena robot atau superkomputer yang dapat berpikir. Pertanyaannya, apakah mesin dapat mengerti sebagaimana manusia mengerti? Adapun kita sebagai manusia dapat mengerti dalam arti verstehen seperti dalam filsafat Kant John Searle membuat analogi tentang manusia yang mengerti sebuah bahasa. Manusia yang mengerti cerita berbahasa Indonesia tidak sama dengan mesin yang mengerti cerita yang sama dalam konteks gerak dan bentuk. Karena itulah John Searle menolak Strong AI. Fenomena superkomputer menurutnya hanyalah bagian dari kecerdasan yang bersifat fungsional atau dikenal dengan istilah Weak AI (1997: 17).
Problem Strong AI memang akhirnya terletak pada apa yang dalam filsafat dikenal sebagai hermeneutika. Hermeneutika adalah ilmu yang mengkaji tentang bagaimana manusia memahami sebuah teks. Pemikiran John Searle tentang apakah mesin mengerti seperti halnya manusia mengerti adalah contoh problem hermeneutis. Roger Schank, ahli komputer dan ilmu kognitif, berpendapat bahwa mesin bisa mengerti seperti halnya manusia. Karena menurutnya tujuan sebuah program dibuat adalah menyimulasi kemampuan manusia untuk mengerti sebuah cerita. Dapat dikatakan bahwa mesin secara programatis dapat meniru manusia. Namun pendapat Schank ini disangkal oleh John Searle.
Ketidakmungkinan terciptanya Strong AI lewat Chinese Room Argument menjelaskan bahwa robot atau mesin pintar yang mempunyai pikiran atau kesadaran seperti manusia hanya ada dalam sebuah fiksi. Bahkan dalam diskursus filsafat kontemporer pikiran tidak lagi menjadi unsur konstitutif dari kecerdasan atau kesadaran. Filsafat tidak lagi mempunyai kecenderungan untuk melihat pikiran (cogito) sebagai kajian utamanya. Berakhirnya epistemologi dan kemudian tergantikan dengan hermeneutika diproposisikan oleh Richard Rorty. Adapun keutamaan tubuh dibandingkan pikiran dalam memahami dunia terumuskan dalam filsafat Maurice Merleau-Ponty, Hubert L. Dreyfus, dan Don Ihde.
Adalah menarik bahwa problem kecerdasan telah beralih dan kembali ke unsur yang lebih primordial seperti tubuh. Melihat pikiran sebagai satu-satunya sumber untuk menentukan kecerdasan memanglah problem utama kecerdasan buatan. Hal ini karena pikiran diandaikan sebagai pusat kesadaran. Bila pikiran adalah yang menentukan kecerdasan, lantas bagaimana kita membedakan kecerdasan yang terbentuk secara programatis dan yang alami? Inilah problem yang dijawab oleh John Searle melalui Chinese Room Argument.
Kesadaran yang dipahami lewat proses kemenubuhan memberikan sebuah tilikan bahwa kecerdasan (buatan) tentunya tidak semata-mata masalah pikiran. Dalam mazhab fenomenologi kontemporer misalnya, dijelaskan tentang keutamaan tubuh dibandingkan pikiran dalam arti cogito Cartesian. Don Ihde dalam bukunya, Bodies in Technology (2002), berpendapat bahwa pikiran (cogito) lewat metode fenomenologi telah keluar dari tempatnya yang internalistis nonfisik dan menubuh dengan dunia (2002: 71-75). Subjek yang berkesadaran dalam pemikirannya bukanlah pikiran yang tak tercerap oleh indra-indra, melainkan tubuh itu sendiri, yang kemudian berekstensi lewat instrumen teknologis. Dalam filsafat Don Ihde dapat dikatakan bahwa kesadaran atau kecerdasan bersifat eksternal atau material. Dengan kata lain, tubuh dalam konteks teknik dan praksislah yang menentukan sebuah kecerdasan.
Dalam perspektif Chinese Room Argument kecerdasan yang diidentikkan dengan materi dan eksternal ini dapat berakhir pada misteri kesadaran, seperti halnya kecerdasan programatis yang bersifat linguistik atau logosentris, terutama ketika secara formal tidak dapat dibedakan antara mesin dan manusia. Seperti halnya kesadaran yang ditentukan dalam konteks gerak dan bentuk, mesin pun dapat menjalankan instruksi-instruksi dan bergerak seolah-olah mempunyai kesadaran/kecerdasan. Dengan demikian, tubuh sebagai penentu kecerdasan sebenarnya dapat berakhir pada kesimpulan yang sama dengan kecerdasan yang ditentukan dengan bahasa atau pikiran.
Hubert L. Dreyfus adalah filsuf AI yang merespons secara rinci problem kecerdasan buatan dan kaitannya dengan filsafat tubuh. Dalam bukunya, What Computer Still Can't Do (1992), Dreyfus menjelaskan bagaimana persoalan pengetahuan indrawi (common sense) yang dikondisikan tubuh memunculkan problem tentang kecerdasan buatan yang terpusat pada yang logis dan rasional. Filsafat tubuh menjadi pendasaran Dreyfus untuk menyangkal 'kemungkinan' terciptanya Strong AI.
Kemampuan tubuh untuk memperoleh kecerdasan misalnya, dijelaskan oleh Dreyfus dalam tulisannya yang berjudul A Phenomenology of Skill Acquisition as the Basis for a Merleau-Pontian Nonrepresentationalist (2004). Namun yang ia bicarakan bukanlah kecerdasan dalam arti kesadaran, melainkan dalam arti keahlian. Ia menjelaskan fase-fase seseorang memperoleh sebuah keahlian atau skill. Fase-fase ini bukan dalam arti pertumbuhan atau pengalaman seseorang dalam memahami dunia-kehidupan, melainkan ketika ia ingin mempelajari sebuah keahlian yang sebelumnya tak pernah ia miliki. Dreyfus membagi lima fase pemerolehan keahlian. Pertama, fase Novice atau pemula. Pada fase ini instruksi dan aturan-aturan menjadi keutamaan. Kedua, fase Advanced Beginner, yaitu ketika dunia pengalaman menjadi acuan namun tetap membandingkan dengan instruksi dan aturan. Ketiga, fase Competent, di mana situasi keahlian dipahami atau dikuasai lewat pengalaman. Keempat, fase Proficient, yaitu cermat dalam mengatasi dan memutuskan persoalan dalam situasi keahlian. Dan yang terakhir, fase Expertise, yaitu penguasaan pengalaman atau situasi dan dapat memutuskan persoalan tanpa memikirkannya atau secara intuitif. Lima fase keahlian ini menjelaskan bagaimana perkembangan kecerdasan tubuh itu didapat, yaitu bermula dari yang bersifat konseptual, logis, dan rasional, sampai pada fase expertise yang bersifat intuitif dan nonkonseptual.
Dreyfus memahami sebuah instruksi (programatis/konseptual) sebagai fase awal atau syarat pemerolehan keahlian. Seperti Chinese Room Argumentnya John Searle, instruksi sebuah teks menjadi unsur utama dalam mengatasi sebuah situasi. Dari tahap-tahap pemerolehan keterampilan yang dirumuskan Dreyfus, dapat kita simpulkan bahwa pikiran merupakan unsur yang tetap utama dan tak dapat ditinggalkan. Namun yang menarik dari fase-fase pemerolehan keterampilan Dreyfusian ini ada pada fase terakhir, yaitu fase expertise (ahli) di mana tubuh menjadi cerdas atau terampil dalam menanggapi/menyelesaikan persoalan tanpa melibatkan pikiran dan kesadaran. Logikanya sama seperti argumen John Searle, yaitu pada titik tertingginya, kecerdasan/kesadaran tidak bersifat konseptual atau programatis. Kendati keduanya mempunyai perbedaan dalam melihat dimensi praktis pengetahuan, yaitu John Searle yang lebih optimistis pada yang bersifat logis dan konseptual sedangkan Hubert L. Dreyfus yang lebih menekankan kecerdasan tubuh (fenomenologis), namun dalam melihat kesadaran sebagai sebuah kecerdasan dalam konteks diskursus AI keduanya mempunyai kesamaan.
Program atau konsep dalam filsafat Dreyfus tetap menjadi syarat pemerolehan kecerdasan. Tubuh menjadi cerdas melalui proses yang pada awalnya bersifat konseptual. Pengalaman adalah manifestasi dari yang konseptual ini. Akan tetapi yang konseptual ini bersifat terbatas—pengalaman dan pengulangan memberi lebih banyak tilikan dalam hal pemerolehan keahlian. Karena itu pada fase tertentu dalam tahapan pemerolehan keahlian program atau konsep tidak lagi dibutuhkan.
Dari sini muncul pertanyaan, bagaimana menentukan seseorang itu dapat dikatakan expertise atau tidak? Tentu kita akan mengatakan kemampuannya untuk mengatasi berbagai tingkat kesulitan. Dan ini tentu saja terbentuk lewat pengalaman dan atau pengulangan. Namun demikian, bukan berarti seorang ahli dapat mengatasi semua persoalan dalam bidangnya. Faktor lingkungan dan pendukung keahlian (instrumen teknologis) misalnya, adalah juga bagian penting dari keahlian meskipun merupakan faktor yang sebenarnya berada di luar konteks keahlian itu sendiri. Oleh karena itu, dalam menyelesaikan persoalan seorang ahli terkadang melibatkan kebetulan-kebetulan. Dreyfus sendiri mengatakan bahwa ada unsur yang bersifat intuitif ketika seorang ahli menyelesaikan sebuah persoalan.
Dengan melihat pada filsafat Dreyfus, tentulah pola pikir modernisme yang berdasar pada moda rasionalisasi programatis tidak mencukupi untuk menjelaskan batas-batas kecerdasan. Kecerdasan seorang ahli misalnya, adalah terlepas dari rasionalisasi programatis. Artinya, ada dimensi yang 'melampaui' bentuk rasionalisasi ini; seperti dimensi etis, estetis, dan metafisis yang bersifat intuitif dan sulit untuk dikonseptualisasikan. Dalam fase-fase pemerolehan keahlian Dreyfusian, yang intuitif dikatakan lebih bernilai. Hal ini karena adanya pengandaian bahwa sang ahli mengetahui yang konseptual programatis sekaligus mampu menggunakan intuisinya, yaitu ketika ia dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang belum pernah dihadapi tanpa melihat pada pengalaman dan konsep/program.
Akan tetapi, ada persoalan tersendiri ketika intuisi digunakan untuk menentukan keputusan-keputusan dalam etika/moral. Yang intuitif terkadang tidak lebih baik dari yang rasional dan konseptual. Dalam berberapa hal, emosi, ego, prasangka yang tak rasional dapat mengambil alih keputusan moral yang bersifat intuitif. Intuisi dapat menimbulkan kontradiksi moral. Inilah yang dijawab oleh Immanuel Kant, bahwa hanya rasionalitas yang dapat menjadi tolok ukur penyelesaian persoalan-persoalan moral. Dalam nalar Kantian seseorang dikatakan cerdas secara moral ketika ia tidak lagi menggunakan acuan nonempiris seperti intuisi.
Apabila keputusan-keputusan moral adalah persoalan keahlian (ethical skill), filsafat Dreyfusian akan mengatakan bahwa keahlian moral (etis) yang bersifat intuitif yang pada mulanya berdasar aturan-aturan atau konsep itu lebih bernilai dibandingkan dengan rasionalitas Kantian. Inilah yang dibahas Dreyfus dalam tulisannya, What is Moral Maturity? A Phenomenological Account of the Development of Ethical Expertise (2004). Dalam pemikirannya keahlian etis yang menubuh dan terbentuk lewat pengalaman, seperti dalam fase-fase pemerolehan keahlian lainnya, melampaui keputusan moral yang bernilai logis dan rasional. Memutuskan persoalan moral secara logis dan rasional (moral Judgement) mengandaikan bahwa ia dapat dikonseptualisasikan. Inilah yang ditanggapi oleh Dreyfus. Menurutnya keahlian etis pada fase ahli (expert) bersifat fenomenologis dan situasional sebagaimana bentuk-bentuk keahlian lainnya.
Namun persoalannya, seperti halnya keahlian praktis lainnya, seorang ahli moral (moral expert) dapat mengambil keputusan di luar kebiasaan atau secara publik tidak rasional. Bila tolok ukurnya adalah keberhasilan tentu kita tidak akan mempertanyakannya. Yang jadi pertanyaan adalah ketika intuisi itu sendiri dikuasai oleh emosi sehingga ia menghasilkan keputusan yang benar-benar tidak bernilai moral. Tentu saja kita akan mengatakan bahwa ketidakahlianlah yang menyebabkannya demikian. Dalam konteks filsafat Dreyfus seorang ahli moral diandaikan telah mengatasi emosi-emosi yang dapat memengaruhi keputusan moral.
Kendati demikian tidak berarti rasionalisasi programatis dalam hal keputusan moral tidak lebih bernilai. Dalam fase-fase pemerolehan keahlian, konseptualisasi nilai etis tetap penting. Bahkan dalam konteks masyarakat yang lebih luas penalaran menjadi keutamaan, karena tentu saja adalah sulit membayangkan semua orang itu ahli moral (moral expert).
Kebebasan dan Kecerdasan Manusia
Dalam diskursus AI, selain kecerdasan praktis yang bersifat konseptual programatis dan intuitif muncul istilah kecerdasan sosial (social intelligence). Dengan adanya kecerdasan sosial, emosi dan kemampuan sosial menjadi bagian integral dari kecerdasan. Contoh robot dengan kecerdasan sosial adalah Robot Kismet, didisain oleh Cynthia Breazeal ahli robot dari MIT. Robot ini dapat mensimulasikan emosi dan berinteraksi secara sosial dengan manusia. Namun kemampuan motorik robot Kismet masih terbatas bila dibandingkan dengan misalnya robot Asimo. Kismet lebih mendekati pada semacam superkomputer yang kemudian ditambahkan fitur-fitur robotik seperti kemampuan merespon secara inderawi.
Berkaitan dengan social intelligence adalah menarik bila kita lihat pemikiran Richard Rorty tentang makna rasionalitas. Dalam Jurnal Philosophy East & West: A Quarterly of Comparative Philosophy (1992) Rorty membuat tulisan cukup menarik yang berjudul A Pragmatist View of Rationality and Cultural Difference; yaitu gagasannya tentang rasionalitas dalam arti toleransi dan kebebasan. Dalam tulisan itu ia membagi rasionalitas ke dalam tiga bentuk. Pertama dalam konteks kemenubuhan, yaitu rasionalitas yang dipahami sebagai kemampuan semua makhluk hidup untuk survive. Yang kedua rasionalitas dalam arti pikiran, sui generis atau unik pada manusia. Yang terakhir rasionalitas dalam arti toleransi dan kebebasan.
Tiga bentuk rasionalitas ini menjadi acuan tentang bagaimana kebudayaan manusia berkembang. Rorty, dalam tulisan tersebut menjelaskan pemikiran Herbert Spencer dan John Dewey mengenai kondisi-kondisi yang memungkinkan kemajuan peradaban. Kecerdasan evolusionistik seperti dalam pemikiran Herbert Spencer misalnya, dikatakan sebagai bentuk rasionalitas yang khas dan natural pada manusia yang mengondisikan kebudayaan dan peradaban. Kemajuan peradaban yang kita hidupi, menurut Spencer adalah hasil dari bentuk rasionalitas yang naturalistik—setiap kebudayaan mempunyai karakter dari rasionalitas yang natural ini. Rorty membandingkannya dengan pemikiran John Dewey yang menyatakan bahwa peradaban modern sebenarnya dikondisikan oleh bentuk rasionalitas nonfondasionalis. Peradaban teknologi modern dalam filsafat John Dewey lebih berkembang akibat bentuk rasionalitas yang mempunyai ciri sebagai toleransi dan kebebasan.
Demikianlah diskursus kecerdasan (buatan) berakhir pada problem kecerdasan sosial. Dan yang menarik, bentuk kecerdasan sosial dalam arti toleransi dan kebebasan sebagaimana yang diajukan oleh Richard Rorty lewat pemikiran John Dewey, tidaklah secara khas atau natural terbentuk pada manusia. Dengan kata lain, ia hanya dimungkinkan terbentuk secara artificial atau tidak bersifat natural. Bila kita berefleksi pada filsafat Rorty, dapatlah disimpulkan bahwa potensi kecerdasan pada manusia masih tetap terbuka untuk berkembang. Seperti misalnya toleransi dan kebebasan, adalah bentuk rasionalitas yang menjadi prasyarat kemajuan dalam peradaban ilmu pengetahuan dan teknologi.
Oleh karena itu, perlu juga dijadikan renungan berkenaan dengan pertanyaan tentang kemungkinan-kemungkinan terciptanya kecerdasan buatan dalam wujud robot atau superkomputer. Kecerdasan superkomputer saya kira mempunyai matranya tersendiri. Dengan berefleksi pada argumen John Searle bahwa kecerdasan robotis dan programatis akhirnya terbentur pada persoalan makna dan juga filsafat tubuh sebagai praksis Hubert L. Dreyfus yang mensyaratkan pengetahuan common sense indrawi sebagai prakondisi pengetahuan yang logis dan konseptual, saya kira agak berlebihan memercayai kemungkinan terciptanya kecerdasan yang lebih cerdas dari pembuatnya.