Arfianita ramadhani 115070200111015 UPAYA KESEHATAN IBU DAN ANAK (Depkes RI, 2012) 1. Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil Pelayanan kesehatan ibu hamil diwujudkan melalui pemberian pelayanan antenatal
sekurang-kurangnya
4
kali selama masa
kehamilan, dengan distribusi waktu minimal 1 kali pada trimester pertama (usia kehamilan 0-12 minggu), 1 kali pada trimester kedua (usia kehamilan 12-24 minggu), dan 2 kali pada trimester ketiga (usia kehamilan
24-36
minggu).
Standar
waktu
pelayanan
tersebut
dianjurkan untuk menjamin perlindungan terhadap ibu hamil dan atau janin, berupa deteksi dini faktor risiko, pencegahan dan penanganan dini komplikasi kehamilan. Pelayanan antenatal diupayakan agar memenuhi standar kualitas 7 T, yaitu : a. Penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan; b. Pengukuran tekanan darah; c. Pengukuran tinggi puncak rahim (fundus uteri); d. Penentuan status imunisasi tetanus dan pemberian imunisasi tetanus toksoid sesuai status imunisasi; e. Pemberian tablet tambah darah minimal 90 tablet selama kehamilan; f. Pelaksanaan temu wicara (pemberian komunikasi interpersonal dan konseling, termasuk keluarga berencana); serta g. Pelayanan tes laboratorium sederhana, minimal tes hemoglobin darah (Hb) dan pemeriksaan golongan darah (bila belum pernah dilakukan sebelumnya). Capaian pelayanan kesehatan ibu hamil dapat dinilai dengan menggunakan indikator. Cakupan K1 dan K4. Cakupan K1 adalah jumlah ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan antenatal pertama kali, dibandingkan jumlah sasaran ibu hamil di satu wilayah kerja pada kurun waktu satu tahun. Sedangkan Cakupan K4 adalah jumlah ibu
hamil yang telah memperoleh pelayanan antenatal sesuai dengan standar paling sedikit 4 kali sesuai jadwal yang dianjurkan, dibandingkan sasaran ibu hamil di satu wilayah kerja pada kurun waktu satu tahun. Indikator tersebut memperlihatkan akses pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil dan tingkat kepatuhan ibu hamil dalam memeriksakan kehamilannya ke tenaga kesehatan. Gambaran kecenderungan Cakupan K1 dan Cakupan K4 dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2012 nampak pada Gambar 4.1 berikut ini. GAMBAR 1 CAKUPAN PELAYANAN IBU HAMIL K1 DAN K4 DI INDONESIA TAHUN 2004 – 2012
Pada Gambar 1 di atas nampak adanya kecenderungan peningkatan cakupan K1 dan cakupan K4 mulai dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2012. Hal ini menunjukkan semakin membaiknya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan ibu hamil yang diberikan oleh tenaga kesehatan. Pada tahun 2012, capaian indikator kinerja “Persentase Ibu Hamil Mendapat Pelayanan Antenatal (Cakupan K4)” dapat terealisasi dengan baik yaitu mencapai 90,18%. Walaupun secara nasional, capaian tersebut telah melampaui target Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2012 sebesar 90%, namun
masih terdapat disparitas cakupan antar provinsi. Data cakupan K4 menurut distribusi provinsi menunjukkan adanya kesenjangan cakupan antar provinsi dengan capaian tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta sebesar 96,37%, diikuti oleh Jawa Tengah sebesar 95,65% dan Kepulauan Bangka Belitung sebesar 95,43%. Sedangkan provinsi dengan capaian terendah adalah Papua sebesar 34,48%, diikuti oleh Papua Barat sebesar 64,34%, dan Nusa Tenggara Timur sebesar 67,67%. GAMBAR 2 CAKUPAN PELAYANAN IBU HAMIL K4 DI INDONESIA TAHUN 2012
Pada gambar 2 dapat diketahui bahwa, sebagian besar provinsi telah memenuhi target Renstra 2012 yaitu sebanyak 19 provinsi (57,6%). Sedangkan 14 provinsi lainnya belum mencapai target Renstra 2012.
Berbagai program dan kegiatan telah dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan untuk semakin mendekatkan akses pelayanan kesehatan yang berkualitas kepada masyarakat hingga ke pelosok desa, termasuk untuk meningkatkan cakupan pelayanan antenatal. Dari segi sarana dan fasilitas pelayanan kesehatan, hingga Desember 2012, tercatat 9.510 Puskesmas di seluruh Indonesia. Dengan demikian rasio Puskesmas terhadap 30.000 penduduk sudah mencapai rasio ideal 1:30.000 penduduk. Demikian pula dengan. Upaya Kesehatan Bersumberdaya
Masyarakat
(UKBM)
seperti
Poskesdes
dan
Posyandu. Sampai dengan tahun 2012, tercatat terdapat 54.142 Poskesdes yang beroperasi dan 276.392 Posyandu di Indonesia. Upaya meningkatkan cakupan K4 juga makin diperkuat dengan telah dikembangkannya Kelas Ibu Hamil. Sampai saat ini telah terdapat 7.074 Puskesmas yang melaksanakan dan mengembangkan Kelas Ibu Hamil di wilayah kerjanya. Kelas Ibu Hamil akan meningkatkan
demand
creation
di
kalangan
ibu
hamil
dan
keluarganya, dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu hamil dan keluarganya dalam memperoleh pelayanan kesehatan ibu secara paripurna. Adanya Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) sejak tahun 2010 dan diluncurkannya Jaminan Persalinan (Jampersal) sejak tahun 2011 juga semakin bersinergi dalam berkontribusi meningkatkan cakupan K4. BOK dapat dimanfaatkan untuk kegiatan luar gedung, seperti pendataan, pelayanan di Posyandu, kunjungan rumah, sweeping kasus drop out, serta kemitraan bidan dan dukun. Sementara itu Jampersal mendukung paket pelayanan antenatal, termasuk yang dilakukan pada saat kunjungan rumah atau sweeping. Semakin kuatnya kerja sama dan sinergi berbagai program yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat termasuk sektor swasta diharapkan mampu mendorong tercapainya target cakupan K4. 2. Pelayanan Kesehatan Ibu Bersalin
Upaya kesehatan ibu bersalin dilaksanakan dalam rangka mendorong agar setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih dan dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan. Pertolongan persalinan adalah proses pelayanan persalinan dimulai pada kala I sampai dengan kala IV persalinan. Pencapaian upaya kesehatan ibu bersalin diukur melalui indikator persentase persalinan ditolong tenaga kesehatan terlatih (Cakupan Pn). Indikator ini memperlihatkan tingkat kemampuan Pemerintah dalam menyediakan pelayanan persalinan berkualitas yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih. Persentase persalinan yang ditolong tenaga kesehatan terlatih (cakupan Pn) di Indonesia pada tahun 2012 mencapai 88,64%. Angka ini telah berhasil memenuhi target Renstra Kementerian Kesehatan Tahun 2012 sebesar
88%.
Capaian
indikator
ini
dalam
9
tahun
terakhir
menunjukkan kecenderungan peningkatan, yaitu dari 74,27% pada tahun 2004 menjadi 88,64% pada tahun 2012. Secara nasional indikator ini memang telah berhasil memenuhi target
Renstra
tahun
2012,
namun
demikian
masih
terdapat
kesenjangan antar provinsi. Provinsi dengan cakupan tertinggi adalah DI Yogyakarta sebesar 98,62%, diikuti oleh Kepulauan Riau dan Kepulauan
Bangka
Belitung
masing-masing
sebesar
97,95%.
Sedangkan Provinsi Papua memiliki capaian terendah sebesar 43,54% diikuti oleh Papua Barat sebesar 65,15%, dan Nusa Tenggara Timur sebesar 69,41%. Berdasarkan Gambar 4.4 dapat diketahui bahwa terdapat 17 provinsi (51,5%) dengan capaian melebihi target Renstra 2012 sebesar 88%. Sedangkan 16 provinsi lainnya memiliki capaian di bawah Renstra 2012. Kematian ibu terkait erat dengan penolong persalinan dan tempat/fasilitas persalinan. Persalinan yang ditolong tenaga kesehatan terbukti berkontribusi terhadap turunnya risiko kematian ibu. Demikian pula dengan tempat/fasilitas, jika persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan, juga akan semakin menekan risiko kematian ibu. Oleh karena
itu,
kebijakan
Kementerian
Kesehatan
adalah
seluruh
persalinan harus ditolong oleh tenaga kesehatan dan diupayakan dilakukan di fasilitas kesehatan. Kebijakan DAK Bidang Kesehatan menggariskan bahwa pembangunan Puskesmas harus satu paket dengan rumah dinas tenaga kesehatan. Demikian pula dengan pembangunan Poskesdes yang harus bisa sekaligus menjadi rumah tinggal bidan di desa. Sampai tahun 2012, terdapat 54.142 Poskesdes di seluruh Indonesia. Dengan disediakan rumah tinggal, maka tenaga kesehatan termasuk bidan akan siaga di daerah tempat tugasnya. Bidan yang tinggal di desa memberikan kontribusi positif dalam penurunan kematian ibu. Upaya penting dalam program kesehatan ibu di
Indonesia
adalah
Program
Perencanaan
Persalinan
dan
Pencegahan Komplikasi (P4K) yang menitikberatkan fokus totalitas pemantauan yang menjadi salah satu upaya deteksi dini, menghindari risiko kesehatan pada ibu hamil serta menyediakan akses dan pelayanan kegawatdaruratan kebidanan dan bayi baru lahir dasar di tingkat Puskesmas (PONED) dan pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal komprehensif di Rumah Sakit (PONEK). Dalam implementasinya, P4K merupakan salah satu unsur dari Desa Siaga. Sampai dengan tahun 2011, tercatat 61.731 desa (80%) telah melaksanakan P4K. Di sebagian daerah di Indonesia, cakupan persalinan ditolong tenaga
kesehatan
masih
rendah
dikarenakan
masih
adanya
kepercayaan masyarakat untuk melahirkan ditolong dukun. Selain itu, di daerah dengan kondisi geografis sulit, masyarakat menghadapi kendala untuk dapat mengakses fasilitas pelayanan kesehatan secara cepat. Pada daerahdaerah tersebut, kebijakan Kementerian Kesehatan adalah dengan mengembangkan program Kemitraan Bidan dan Dukun serta Rumah Tunggu Kelahiran. Para dukun diupayakan bermitra dengan bidan dengan hak dan kewajiban yang jelas. Pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan tidak lagi dikerjakan oleh dukun, namun dirujuk ke bidan. Sampai dengan tahun 2011, tercatat sudah 72.963 dukun (68,6%) yang bermitra dengan bidan.
Ibu hamil yang di daerahnya tidak ada bidan atau memang memiliki kondisi penyulit, maka menjelang hari taksiran persalinan diupayakan sudah berada di dekat fasilitas kesehatan, yaitu di Rumah Tunggu Kelahiran. Rumah Tunggu Kelahiran tersebut dapa berupa rumah tunggu khusus maupun di rumah sanak saudara yang dekat dengan fasilitas kesehatan. Sampai tahun 2011, tercatat 6 Rumah Tunggu Kelahiran di wilayah Puskesmas DTPK dan 2.700 Rumah Tunggu Kelahiran di luar wilayah Puskesmas DTPK. Salah satu hal yang menjadi alasan seorang ibu melahirkan di rumah dan dibantu oleh dukun
adalah
hambatan
finansial.
Menyadari
hal
tersebut,
Kementerian Kesehatan sejak tahun 2011 meluncurkan program Jaminan Persalinan (Jampersal) yang merupakan jaminan paket pembiayaan sejak pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, hingga pelayanan nifas termasuk pelayanan bayi baru lahir dan KB pasca persalinan. Penyediaan Jampersal diyakini turut meningkatkan cakupan Pn di seluruh wilayah Tanah Air. Keberhasilan pencapaian target indikator Pn merupakan buah dari kerja keras dan pelaksanaan berbagai program yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat termasuk sektor swasta. 3. Pelayanan Kesehatan Ibu Nifas Nifas adalah periode mulai dari 6 jam sampai dengan 42 hari pasca persalinan.
Pelayanan
kesehatan
ibu
nifas
adalah
pelayanan
kesehatan pada ibu nifas sesuai standar yang dilakukan sekurangkurangnya 3 (tiga) kali sesuai jadwal yang dianjurkan, yaitu pada 6 jam sampai dengan 3 hari pasca persalinan, pada hari ke-4 sampai dengan hari ke-28 pasca persalinan, dan pada hari ke-29 sampai dengan hari ke-42 pasca persalinan. Jenis pelayanan kesehatan ibu nifas yang diberikan meliputi : a. Pemeriksaan tanda vital (tekanan darah, nadi, nafas, dan suhu); b. Pemeriksaan tinggi puncak rahim (fundus uteri); c. Pemeriksaan lokhia dan cairan per vaginam lain; d. Pemeriksaan payudara dan pemberian anjuran ASI eksklusif;
e. Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) kesehatan ibu nifas dan bayi baru lahir, termasuk keluarga berencana; f. Pelayanan keluarga berencana pasca persalinan. Keberhasilan upaya kesehatan ibu nifas diukur melalui indikator cakupan pelayanan kesehatan ibu nifas (Cakupan Kf-3). Indikator ini menilai kemampuan negara dalam menyediakan pelayanan kesehatan ibu nifas yang berkualitas sesuai standar. Capaian indikator Kf-3 dari tahun
2008
sampai
dengan
tahun
2012
menggambarkan
kecenderungan yang semakin meningkat, yaitu mulai dari 17,90% pada tahun 2008 menjadi 85,16% pada tahun 2012. Capaian indikator Kf-3 yang meningkat dalam 5 tahun terakhir merupakan hasil dari berbagai upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dan masyarakat termasuk sector swasta. Program penempatan Pegawai Tidak Tetap (PTT) untuk dokter dan bidan terus dilaksanakan. Selain itu, dengan diluncurkannya Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) sejak tahun 2010, Puskesmas, Poskesdes, dan Posyandu lebih terbantu dalam mengintensifkan implementasi upaya kesehatan termasuk di dalamnya pelayanan kesehatan ibu nifas, diantaranya kegiatan sweeping atau kunjungan rumah bagi yang tidak datang ke fasilitas pelayanan kesehatan.
Dukungan
Pemerintah
makin
meningkat
sejak
diluncurkannya Jampersal pada tahun 2011, dimana pelayanan nifas termasuk paket manfaat yang dijamin oleh Jampersal. cakupan pelayanan ibu nifas di Indonesia pada tahun 2012 adalah 85,16%. Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan (SPM) menetapkan target pelayanan nifas pada tahun 2015 sebesar 90%. Pada tahun 2012, terdapat 7 Provinsi dengan capaian di atas 90% yaitu Jambi, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Selatan, dan Bali. Capaian indikator pelayanan nifas pada tahun 2015 diharapkan telah memenuhi target SPM 90%. Provinsi dengan capaian Kf-3 tertinggi pada tahun 2012 adalah Jambi sebesar 95,77% diikuti oleh Jawa Barat sebesar 95,61%, dan Jawa Timur sebesar 94,3%. Sedangkan provinsi dengan capaian terendah adalah
Papua sebesar 27,61%, diikuti oleh Papua Barat sebesar 57,06%, dan Kalimantan Timur sebesar 63,91%.
4. Penanganan Komplikasi Maternal Komplikasi maternal adalah kesakitan pada ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas dan atau janin dalam kandungan, baik langsung maupun tidak langsung, termasuk penyakit menular dan tidak menular yang dapat mengancam jiwa ibu dan atau janin, yang tidak disebabkan oleh trauma/kecelakaan. Pencegahan dan penanganan komplikasi maternal adalah pelayanan kepada ibu dengan komplikasi maternal untuk mendapatkan perlindungan/pencegahan dan penanganan definitif sesuai standar oleh tenaga kesehatan kompeten pada tingkat pelayanan dasar dan rujukan. Indikator yang digunakan untuk mengukur keberhasilan pencegahan dan penanganan komplikasi maternal adalah cakupan penanganan komplikasi maternal (Cakupan PK).
Indikator
ini
mengukur
kemampuan
negara
dalam
menyelenggarakan pelayanan kesehatan secara profesional kepada ibu (hamil, bersalin, nifas) dengan komplikasi. Terjadi penurunan cakupan penanganan komplikasi maternal, yaitu dari 44,84% pada tahun 2008 menjadi 42,29% pada tahun 2009. Capaian ini kemudian terus meningkat hingga mencapai 69,15% pada tahun 2012. Berdasarkan Laporan Rutin Program Kesehatan Ibu Dinas Kesehatan Provinsi Tahun 2012, penyebab kematian ibu di Indonesia masih didominasi oleh Perdarahan (32%) dan Hipertensi dalam Kehamilan (25%), diikuti oleh infeksi (5%), partus lama (5%), dan abortus (1%). Selain penyebab obstetrik, kematian ibu juga disebabkan oleh penyebab lain-lain (non obstetrik) sebesar 32%. Walaupun sebagian komplikasi maternal tidak dapat dicegah dan diperkirakan sebelumnya, tidak berarti bahwa komplikasi tersebut tidak dapat ditangani. Mengingat bahwa setiap ibu hamil/bersalin/nifas berisiko mengalami komplikasi, maka mereka perlu mempunyai akses terhadap pelayanan kegawatdaruratan maternal/obstetrik. Terdapat
tiga jenis area intervensi yang dilakukan untuk menurunkan angka kematian dan kesakitan ibu dan neonatal yaitu melalui : 1) peningkatan pelayanan antenatal yang mampu mendeteksi dan menangani kasus risiko tinggi secara memadai; 2) pertolongan persalinan yang bersih dan aman oleh tenaga kesehatan terampil, pelayanan pasca persalinan dan kelahiran; serta 3) pelayanan emergensi obstetrik dan neonatal dasar (PONED) dan komprehensif (PONEK) yang dapat dijangkau. Upaya terobosan dalam penurunan AKI dan AKB di Indonesia adalah melalui Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) yang menitikberatkan focus totalitas monitoring yang menjadi salah satu upaya deteksi dini, menghindari risiko kesehatan pada
ibu
hamil
serta
menyediakan
akses
dan
pelayanan
kegawatdaruratan obstetri dan neonatal dasar di tingkat Puskesmas (PONED) dan pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal komprehensif di Rumah Sakit (PONEK). Dalam implementasinya, P4K merupakan salah satu unsur dari Desa Siaga. Sampai dengan tahun 2011, tercatat 61,731 (80%) desa/kelurahan telah melaksanakan P4K. Sesuai Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014, ditargetkan pada akhir tahun 2014 di setiap kabupaten/kota terdapat minimal 4 (empat) Puskesmas rawat inap mampu PONED dan 1 (satu) Rumah Sakit Kabupaten/Kota yang mampu melaksanakan PONEK. Melalui pengelolaan pelayanan PONED dan PONEK, Puskesmas dan Rumah Sakit diharapkan bisa menjadi institusi terdepan dimana kasus komplikasi dan rujukan dapat diatasi dengan cepat dan tepat. Standardisasi PONEK untuk rumah sakit dilakukan oleh Direktorat Bina Upaya Kesehatan Rujukan bekerjasama dengan Jaringan Nasional Pelatihan Klinik-Kesehatan Reproduksi (Badan Khusus POGI yang menghimpun unit-unit pelatihan klinik organisasi profesi POGI, IDAI, IBI dan PPNI). Lokakarya PONEK dilakukan selama 5 hari, meliputi materi manajemen dan klinik PONEK yang kemudian diikuti dengan latihan on the job training PONEK untuk mengenalkan cara
melakukan bimbingan teknis untuk perbaikan kinerja Tim PONEK rumah sakit. Jumlah rumah sakit siap PONEK di Indonesia sampai dengan tahun 2011 sebanyak 388 (87,39%) rumah sakit dari 444 rumah sakit umum milik Pemerintah. Selain itu dilakukan pula kegiatan Audit Maternal Perinatal (AMP), yang merupakan upaya dalam penilaian pelaksanaan serta peningkatan mutu pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir melalui pembahasan kasus kematian ibu atau bayi baru lahir sejak di level masyarakat sampai di level fasilitas pelayanan
kesehatan.
Kendala
yang
timbul
dalam
upaya
penyelamatan ibu pada saat terjadi kegawatdaruratan maternal dan bayi baru lahir akan dapat menghasilkan suatu rekomendasi dalam upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan ibu dan bayi di masa mendatang. 5. Penanganan Komplikasi Neonatal Neonatal komplikasi adalah neonatal dengan penyakit dan atau kelainan yang dapat menyebabkan kecacatan dan atau kematian, seperti
asfiksia,
ikterus,
hipotermia,
tetanus
neonatorum,
infeksi/sepsis, trauma lahir, BBLR (Berat Lahir < 2.500 gram), sindroma gangguan pernafasan, dan kelainan kongenital maupun yang termasuk klasifikasi kuning pada pemeriksaan dengan Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM). Yang dimaksud dengan penanganan Neonatal komplikasi adalah neonatal sakit dan atau neonatal dengan kelainan yang mendapat pelayanan sesuai standar oleh tenaga kesehatan (dokter, bidan atau perawat) baik di rumah, sarana pelayanan kesehatan dasar maupun sarana pelayanan kesehatan rujukan. Pelayanan sesuai standar antara lain sesuai dengan standar MTBM, manajemen Asfiksia Bayi Baru Lahir, manajemen Bayi Berat Lahir Rendah, pedoman pelayanan neonatal essensial di tingkat pelayanan operasional
kesehatan pelayanan
dasar, lainnya.
PONED, capaian
PONEK
atau
penanganan
standar neonatal
komplikasi pada tahun 2012 sebesar 48,58%. Indikator ini mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2011 sebesar 39,46%. Meskipun
terjadi peningkatan capaian, namun masih terdapat disparitas antar provinsi. Provinsi Jawa Timur memiliki capaian tertinggi sebesar 74,16% diikuti oleh Bengkulu sebesar 71,89%, dan DI Yogyakarta sebesar 71,88%. Capaian terendah terdapat di Provinsi Papua Barat sebesar 11,52%, diikuti oleh Papua sebesar 19,45%, dan Sulawesi Tenggara sebesar 21,02%. Cakupan penanganan komplikasi neonatal yang
rendah
dapat
disebabkan
oleh
beberapa
permasalahan
diantaranya sistem pencatatan dan pelaporan penanganan neonatal dengan komplikasi yang belum mengakomodir semua laporan fasilitas kesehatan
dasar
dan
rujukan
swasta.
Rendahnya
cakupan
penanganan juga dapat disebabkan masih terdapat tenaga kesehatan yang
belum
memahami
definisi
operasional
dari
terminology
penanganan neonatal dengan komplikasi. 6. Kunjungan Neonatal Bayi baru lahir atau yang lebih dikenal dengan neonatal merupakan salah satu kelompok kesehatan.
Beberapa
yang paling rentan terhadap gangguan upaya
mengendalikan
risiko
pada
mengupayakan
agar
persalinan
kesehatan
di
fasilitas
kesehatan
kelompok
kesehatan
ini
dapat serta
dilakukan
untuk
diantaranya
dengan
dilakukan
oleh
menjamin
tenaga
tersedianya
pelayanan kesehatan sesuai standar pada kunjungan bayi baru lahir. Menurut Riskesdas tahun 2007, diketahui bahwa sebagian besar kematian neonatal (78,5%) terjadi pada minggu pertama kehidupan (07 hari). Dengan melihat adanya risiko kematian yang tinggi pada minggu pertama ini, maka setiap bayi baru lahir harus mendapatkan pemeriksaan sesuai standar lebih sering dalam minggu pertama. Langkah ini dilakukan agar penyakit dan tanda bahaya dapat dideteksi sedini mungkin sehingga intervensi dapat segera dilakukan untuk mengendalikan risiko kematian. Terkait hal tersebut, pada tahun 2008 ditetapkan perubahan kebijakan dalam pelaksanaan
kunjungan
neonatal, dari 2 kali yaitu satu kali pada minggu pertama dan satu kali pada 8-28 hari, menjadi 3 kali yaitu dua kali pada minggu pertama dan
satu kali pada 8 – 28 hari. Dengan demikian, jadwal kunjungan neonatal yang dilaksanakan saat ini adalah pada umur 6-48 jam, umur 3-7 hari dan umur 8-28 hari. Indikator ini mengukur kemampuan manajemen
program
KIA
dalam
menyelenggarakan
pelayanan
neonatal yang komprehensif. Pelayanan kesehatan neonatal sesuai standar adalah pelayanan kesehatan neonatal saat lahir dan pelayanan kesehatan saat kunjungan neonatal sebanyak 3 kali. Pelayanan yang diberikan saat kunjungan neonatal adalah pemeriksaan sesuai standar Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM) dan konseling perawatan bayi baru lahir termasuk ASI eksklusif dan perawatan tali pusat. Pada kunjungan neonatal pertama (KN1), bayi baru lahir mendapatkan vitamin K1 injeksi dan imunisasi hepatitis B0 bila belum diberikan pada saat lahir. cakupan KN1 tahun 2012 telah memenuhi target Renstra 2012 yaitu 92,31% dari target 88%. Dengan demikian, terdapat 23 provinsi (69,7%) telah memenuhi target Renstra Kemenkes. Pada Gambar 4.9 juga diketahui bahwa provinsi dengan capaian tertinggi adalah Bali sebesar 99,49% diikuti oleh DI Yogyakarta sebesar 99,33%, dan Kepulauan Bangka Belitung sebesar 99,15%. Sedangkan Papua memiliki capaian terendah sebesar 33,75%, diikuti Papua Barat sebesar 66,63%, dan Kepulauan Riau sebesar 74,03%. Cakupan kunjungan neonatal pertama menunjukkan peningkatan dalam 4 tahun terakhir, yaitu dari 80,6% pada tahun 2009 menjadi 92,31% pada tahun 2012. Selain KN1, indikator yang menggambarkan pelayanan kesehatan bagi neonatal adalah KN Lengkap yang mengharuskan agar setiap bayi baru lahir mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar sedikitnya 3 kali. Capaian KN lengkap di Indonesia pada tahun 2012 sebesar 87,79%. Capaian ini telah memenuhi target program tahun 2012 sebesar 84%. Terdapat 20 provinsi telah memenuhi target tersebut. Terjadi disparitas capaian yang lebar, dimana capaian tertinggi terdapat di Provinsi Bali sebesar 97,42%, diikuti oleh
Kepulauan Bangka Belitung sebesar 95,77%, dan Jawa Tengah sebesar 95,75%. Sedangkan provinsi dengan capaian terendah adalah Papua sebesar 29,7%, diikuti oleh Papua Barat sebesar 57,42%, dan Kepulauan Riau sebesar 66,83%. Pada
tingkat
nasional,
capaian
KN
Lengkap
mengalami
peningkatan dibandingkan tahun 2011, yaitu dari 84,18% menjadi 87,79% pada tahun 2012. Gambar berikut ini menampilkan cakupan KN lengkap dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012. Pada tahun 2008, mulai ditetapkan kebijakan KN lengkap yang mensyaratkan 3 kali kunjungan. Cakupan KN lengkap nampak mengalami sedikit penurunan dari 78,04% pada tahun 2009 menjadi 71,5% pada tahun 2010. Cakupan ini kembali meningkat menjadi 87,79% pada tahun 2012. Sejak tahun 2008 ketika kebijakan KN lengkap yang mensyaratkan 3 kali kunjungan diimplementasikan, cakupan KN lengkap menunjukkan kecenderungan peningkatan. 7. Pelayanan Kesehatan Pada Bayi Bayi juga merupakan salah satu kelompok yang rentan terhadap gangguan kesehatan maupun serangan penyakit. Oleh karena itu dilakukan upaya pelayanan kesehatan yang ditujukan pada bayi usia 29 hari sampai dengan 11 bulan dengan memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi klinis kesehatan (dokter, bidan, dan perawat) minimal 4 kali. Program ini terdiri dari pemberian imunisasi dasar (BCG, DPT/ HB1-3, Polio 1-4, dan Campak), Stimulasi Deteksi Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK) bayi, pemberian vitamin A pada
bayi,
dan
penyuluhan
perawatan
kesehatan
bayi
serta
penyuluhan ASI Eksklusif, MP ASI dan lainlain. Cakupan pelayanan kesehatan bayi dapat menggambarkan upaya pemerintah dalam meningkatan akses bayi untuk memperoleh pelayanan kesehatan dasar, mengetahui sedini mungkin adanya kelainan atau penyakit, pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit serta peningkatan kualitas hidup bayi. Cakupan pelayanan
kesehatan bayi pada tahun 2012 mencapai 87,73% yang berhasil memenuhi target Renstra Kementerian Kesehatan tahun 2012 sebesar 86%. Capaian ini lebih tinggi dibandingkan tahun 2011 dan tahun 2010 yaitu masing-masing sebesar 84,04% dan 85,21%. terdapat 18 provinsi (54,5%) dengan capaian melebihi 86%. Provinsi Nusa Tenggara Barat memiliki capaian tertinggi sebesar 95,82% diikuti oleh Jawa Tengah sebesar 95,43% dan Jawa Timur sebesar 95,13%. Provinsi Papua memiliki capaian terendah sebesar 29,47% diikuti oleh Kepulauan Riau sebesar 56,14%, dan Kalimantan Selatan sebesar 57,23%. 8. Pelayanan Kesehatan pada Anak Balita Salah satu indikator yang ditetapkan pada Rencana Strategis Kementerian Kesehatan terkait dengan upaya kesehatan anak adalah pelayanan kesehatan pada anak balita. Adapun batasan anak balita adalah setiap anak yang berada pada kisaran umur 12 sampai dengan 59 bulan. Pelayanan kesehatan pada anak balita dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam upaya meningkatkan kualitas hidup anak balita dengan melakukan beberapa kegiatan antara lain ; a. Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan dan stimulasi tumbuh kembang pada anak dengan menggunakan instrumen SDIDTK b. Pembinaan posyandu, pembinaan anak prasekolah termasuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan konseling keluarga pada kelas ibu balita dengan memanfaatkan Buku KIA c. Perawatan anak balita dengan pemberian ASI sampai 2 tahun, makanan gizi seimbang, dan vitamin A Capaian indikator ini pada tahun 2012 sebesar 73,52% yang mengalami penurunan dibandingkan tahun 2011 sebesar 80,96%. Indikator ini juga belum memenuhi target Renstra pada tahun 2012 yang
sebesar 81%.
Capaian
indikator
menurut
provinsi juga
menunjukkan bahwa sebagian besar provinsi memiliki capaian di bawah 81% hanya 7 provinsi yang memiliki capaian melebihi target
81%, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Bali, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Utara. DKI Jakarta memiliki capaian tertinggi sebesar 89,96%, diikuti oleh Jawa Barat sebesar 85,74%, dan Bali sebesar 83,92%. Sedangkan provinsi dengan capaian terendah adalah Papua sebesar 18,95%, diikuti oleh Gorontalo sebesar 46,91%, dan Kepulauan Bangka Belitung sebesar 51,62%. 9. Pelayanan Kesehatan Pada Siswa SD dan Setingkat Salah satu upaya kesehatan anak adalah intervensi pada anak usia sekolah. Upaya kesehatan pada kelompok ini yang dilakukan melalui penjaringan kesehatan terhadap murid SD/MI kelas I juga menjadi salah satu indikator yang dievaluasi keberhasilannya melalui Renstra Kementerian Kesehatan. Melalui kegiatan penjaringan kesehatan diharapkan bisa mengatasi permasalahan kesehatan pada anak usia sekolah yaitu pelaksanaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) seperti menggosok gigi dengan baik dan benar, mencuci tangan menggunakan
sabun,
karies
gigi,
kecacingan,
kelainan
refraksi/ketajaman penglihatan dan masalah gizi. Kegiatan penjaringan kesehatan ini terdiri dari : 1. Pemeriksaan kebersihan perorangan (rambut, kulit dan kuku) 2. Pemeriksaan status gizi melalui pengukuran antropometri 3. Pemeriksaan ketajaman indera (penglihatan dan pendengaran) 4. Pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut 5. Pemeriksaan laboratorium untuk anemia dan kecacingan 6. Pengukuran kebugaran jasmani 7. Deteksi dini masalah mental emosional. Melalui penjaringan kesehatan diharapkan siswa SD/sederajat kelas 1 yang memiliki masalah kesehatan mendapatkan penanganan sedini mungkin.
Penjaringan
kesehatan
dinilai
dengan
menghitung
persentase SD/MI yang melakukan penjaringan kesehatan terhadap seluruh SD/MI yang menjadi sasaran penjaringan. Cakupan SD atau sederajat yang melaksanakan penjaringan kesehatan untuk siswa
kelas 1 pada tahun 2012 di Indonesia sebesar 83,95%. Cakupan ini lebih tinggi dibandingkan tahun 2011 yang sebesar 74,86%. Meskipun terjadi peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya, capaian tersebut belum memenuhi target Renstra 2012 sebesar 92%. 10. Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) 11. Pelayanan Kesehatan pada Kasus Kekerasan terhadap Anak (KtA) 12. Pelayanan Kesehatan Anak Terlantar dan Anak Jalanan di Panti 13. Pelayanan Keluarga Berencana (KB) Program Keluarga Berencana (KB) dilakukan dalam rangka mengatur jumlah kelahiran atau menjarangkan kelahiran. Sasaran program KB adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang lebih dititikberatkan pada kelompok Wanita Usia Subur (WUS) yang berada pada kisaran usia 15-49 tahun. Keberhasilan program KB dapat diukur dengan melihat cakupan KB aktif dan KB baru. Cakupan KB aktif menggambarkan proporsi pasangan usia subur (PUS) yang sedang menggunakan alat/metode kontrasepsi terhadap jumlah PUS yang ada. Sedangkan cakupan KB baru adalah jumlah PUS yang baru menggunakan alat/metode kontrasepsi terhadap jumlah PUS. Cakupan peserta KB aktif di Indonesia pada tahun 2102 sebesar 76,39%. Gambaran distribusi provinsi menunjukkan bahwa persentase tertinggi adalah Provinsi Bengkulu sebesar 87,91%, diikuti oleh Provinsi Gorontalo sebesar 86,96%, dan Provinsi Bali sebesar 86,11%. Provinsi dengan persentase terendah adalah Papua sebesar 67,7%, diikuti oleh Sumatera Utara sebesar 67,99%, dan Banten sebesar 69,95%. Penggunaan metode kontrasepsi pada KB terdiri dari beberapa jenis. Kepesertaan KB menurut penggunaan metode kontrasepsi pada tahun 2012 menunjukkan bahwa sebagian besar peserta KB memilih untuk menggunakan metode kontrasepsi jangka pendek melalui suntikan. Hanya sedikit PUS yang memilih untuk menggunakan Metode Operatif Pria (MOP) pada tahun 2012.
Dapus :
Kementrian Kesehatan RI. 2012. Profil Kesehatan Indonesia 2012. http://www.kemkes.go.id/