TEORI STRUKTURALISME BUDAYA DAN PERKEMBANGANNYA
Disusun Oleh :
Emi Janriani Manialoka 362013091
Iin Nur Ambarwati 362013068
Siggit Dermawan 362013072
Romana Yudith Laksmita 362013083
Heru Christianto 362013082
Program Studi Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi
Universitas Kristen Satya Wacana
2016
Teori Strukturalisme Budaya dan Perkembangannya
Strukturalisme Budaya
Awal Rintisan Strukturalisme Budaya
Secara Etimologis strukturalisme berasal dari bahasa Inggris, structuralism; latin struere (membangun), structura berarti bentuk atau bangunan (kata benda). System (Latin) = cara (kata kerja). Jadi strukturalisme berarti bentuk bangunan.
Mazhab awal strukturalisme antropologis digagas oleh Levis-Strauss,yang terpengaruh oleh pemikiran Ferdinand de Saussure dalam bidang linguistic. Bagi Saussure, bahasa pada hakikatnya adalah sistem perlambangan yang disusun secara sewenang atau arbitrer. Bagi Saussure, individu tidak lebih dari ''pengguna'' kode-kode sosial yang telah tersedia. Pemikiran strukturalisme ini secara singkat dapat ditulis sebagai berikut: (a) Strukturalisme tidak menganggap penting individu sebagai ''subjek''pencipta, dan melihatnya lebih sebagai pengguna kode yang tersedia; (b) strukturalisme memberikan perhatian yang sedikit pada masalah sebab akibat, dan memusatkan dirinya pada kajian tentang struktur; (c) strukturalisme tidak menganggap penting pertanyaan tentang sejarah dan perubahan, dan lebih berkonsentrasi pada jalinan hubungan antara seperangkat unsure dalam satu system pada satu waktu tertentu.
Bagi Levi-Strauss, budaya adalah sistem simbolik atau konfigurasi sistem perlambangan. Untuk memahami suatu perangkat lambang budaya tertentu, kita harus lebih dulu melihatnya dalam kaitannya dengan sistem keseluruhan tempat sistem perlambangan itu menjadi bagian. Ketika berbicara tentang fenomena kultural sebagai sesuatu yang bersifat simbolik, Levi-Strauss tidak mempermasalahkan referen (arti lambing) secara empiris. Yang diperhatikan adalah pola-pola formal, bagaimana unsure-unsur simbol saling berkait secara logis untuk membentuk sistem keseluruhan.
Asumsi yang Dikembangkan
Beberapa asumsi yang mendasari penggunaan paradigma struktural dalam menganalisis kebudayaan :
Strukturalisme mengandung sebuah unsur-unsur yang menyerupai adanya aktivitas sosial, seperti mitos, ritual, dan adanya sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal. Secara formal dapat dilihat sebagai bahasa yaitu simbol yang menyampaikan sebuah pesan tertentu.
Kaum stukturalisme mempercayai bahwa dalam diri manusia secara genetis terdapat kemampuan stucturing yang menyusun sebuah struktur tertentu di hadapan gejala-gejala yang dihadapinya.
Para strukturalisme mempercayai bahwa relasi fenomena budaya dengan fenomena lain kepada satu titik tertentu yang menentukan adanya makna fenomena tersebut.
Dalam sautu kekerabatan diperlakukan oleh Levi-Strauss sebagai bahasa. Suatu aturan-aturan yang diikuti oleh suku bangsa primitif dalam bidang kekerabatan dan perkawinan merupakan suatu sistem.
Karena bahasa dan kerabatan dianggap sebagai fenomena yang sama, mereka dapat menyelediki dengan metode yang sama yaitu linguistik struktural.
Salah satu pusat perhatian utama dalam analisis kekerabatan adalah masalah keturunan. Dasar hubungan sosial dan kebudayaan pada umumnya adalah pertukaran. Incest dan endogamy sangat dilarang keras karena dapat meruntuhkan penyangga kepada masyarakat bahwa suatu system kekerabatan merupakan bentuk komunikasi yang mencerminkan daya kemampuan pemikiran manusia yang lebih tinggi.
Fungsionalisme dan Struktur Fungsionalisme
Orientasi dari Struktur Fungsionalisme
Fungsionalisme adalah penekanan dominan di dalam antropologi khususnya penelitian etnografis selama beberapa dasawarsa silam. Dalam fungsionalisme ada kaidah yang bersifat mendasar bagi suatu antropologi yang berorientasi pada teori yaitu diktum metodologi bahwa kita harus mengeksplorasi ciri sistemis budaya. Artinya kita harus mengetahui keterkaitan anatara institusi atau struktur suatu masyarakat sehingga membentuk sistem yang bulat.
Perspektif struktur fungsional memandang bahwa masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas elemen-elemen. Pada asumsi dasar perspektif bahwa setiap setiap struktur pada sistem bersifat fungsional terhadap bagian dan struktur lainnya.
Aguste comte mengemukakan konsep statik sosial bahwa masyarakat diibaratkan sebagai suatu organisasi yang diadopsi dari konsep biologis dan terdiri atas struktur dan fungsi, masyarakat terdiri atas bagian-bagian yang saling berinteraksi dan mempunyai fungsi-fungsi tersendiri dalam menciptakan keseimbangan.
Herbert Spencer mengemukakan bahwa masyarakat terbentuk dari organisasi hidup. Spencer mengatakan bahwa antara masyarakat(sistem sosial dengan organisme hidup (sistem biologi) terdapat perbedaan dan kesamaan. Pendapat Comte dan Spencer tersebut mempertegas asumsi dasar dari prespektif struktur fungsional. Masyarakat merupakan sistem dan mempunyai bagian yang saling bergantungan satu sama lain.
Pada pihak lain, Radcliffe-Brown dalam mengakaji gejala sosial masyarakat tentang menawarkan konsep struktural sosial. Menurutnya bahwa masyarakat masyarakat adalah system social yang mempunyai struktur seperti halnya molekul atau organism. Brown lebih memperhatikan masyarakat daripada kebudayaan, dan menganggap bahwa struktur social merupakan jaringan social yan benar-benar berwujud, sehingga struktur social adalah keterkaitan antara gejala-gejala yang saling berhubungan dan membentuk unsure-unsur social budaya. Hal ini dipertegas oleh teori struktur fungsional Talcott Parsons yang menyebutkan bahwa system social masyarakat merupakan organisme besar terdiri atas beberapa bagian, dan setiap bagian memiliki status, peran dan fungsi tertentu yang mempertahankan eksistensinya.
Parsons mengungkapkan beberapa persyaratan agar system social dapat bekerja pada koridor keseimbangan. Persyaratan ini dikenal dengan skema A-G-I-L. Pertama,penyesuaian (adaptation) masyarakat dengan lingkungannya; kedua,tujuan (goal) anggota masyarakat terhadap ketentuan untuk memilih,mengetahui dan memahami tujuan kolektif dengan menyusun struktur tertentu; ketiga, integrasi (integration) merupakan titik solidaritas antara system social, memiliki ikatan emosional yang tidak bergantung pada segi keuntungan; keempat, latensi atau pola pemeliharaan (latency or pattern maintenance) setiap masyarakat harus membuat anggotanya memiliki motivasi yang cukup untuk memerankan peranan yang dikehendaki dan menghasilkan komitmen paksaan terhadap nilai-nilai masyarakat.
Aspek lain dari pemikiran strukturalisme fungsional Parson terletak pada pemikirannya tentang "stratifikasi social". Posisi, peran dan fungsi seseorang dalam "struktur" akan menjadikan motivasi bagi setiap orang untuk melakukan prestasi yang didasarkan pada nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat. Dalam posisinya, setiap individu (dan komunal) memiliki dua aspek, yaitu "teritorial" dan "tekanan".
Prasyarat Fungsional
Tahun 1950, sekelompok ilmuwan sosial menerbitkan artikel yang memuat model masyarakat manusia. Model itu mengeneralisasikan semua masyarakat manusia dan berisi daftar "prasyarat fungsional".
Daftar prasyarat yang mereka susun meliputi:
a. Jaminan adanya hubungan yang memadai dengan lingkungan dan adanya rekrutmen seksual
b. Diferensiasi peran dan pemerian peran
c. Komunikasi
d. Perangkat tujuan yang jelas dan disangga bersama
Dalam kajian struktur fungsional ini,ada dua tema penting yang harus mendapatkan perhatian ,yaitu institusi sosial serta status dan peran:
Institusi sosial
Institusi sosial merupakan suatu bentuk organisasi yang secara tetap tersusun dari pola-pola kelakuan,peranan,dan relasi yang mengikat guna tercapainya kebutuhan sosial dasar(Hendropuspito,1989:63).
Hendropuspito (1989:63-64) mengemukakan beberapa unsur penting yang melandasi sebuah institusi ,yaitu sebagai berikut:
1. Kebutuhan sosial dasar,terdiri atas sejumlah nilai materil,mental,dll. Misalnya kebutuhan akan sandang, pangan, pendidikan.
2. Organisasi yang relatif tetap,didasarkan pada pertimbangan bahwa kebutuhan yang hendak dilayani bersifat tetap.
3. Seluruh komponen yang ada dalam sebuah intitusi dipandang sebagai cara hidup dan bertindak yang mengikat.
Banyak jenis intitusi yang sudah berkembang di masyarakat, diantaranya sebagai berikut:
1. Intitusi kekeluargaan menangani masalah kelangsungan dan pembinaan jenis umat manusia.
2. Institusi pendidikan menangani masalah proses sosialisasi yang intinya mengantar seseorang pada suatu kebudayaan.
3. Institusi perekonomian menangani masalah kesejahteraan materiil.
4. Institusi politik menangani masalah administrasi dan tata tertib umum.
5. Institusi keagamaan mengatur hubungan manusia dengan Tuhan di dunia akhirat.
Status dan Peran
Status didefinisikan sebagai suatu peringkat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok,atau posisi suatu kelompok dalam hubungannya dengan kelompok lainnya. Sementara peranan adalah perilaku yang diharapkan dari orang yang mempunyai suatu status(Horton,1999:118).
Dalam arti tertentu ,status dan peran merupakan dua aspek dari gejala yang sama. Status adalah seperangkat hak dan kewajiban ;peran adalah pemeranan dari perangkat kewajuban dan hak-hak tertentu.
Dalam hal ini ,Cohen (1983:77) membedakan status pada dua kategori. Pertama ,status yang diturunkan (ascribed status)dan yang kedua ,status yang di dapat melalui prestasi(achieved status). Ascribed status adalah status yang diperoleh seseorang dengan tidak berdasarkan usaha yang sulit karena diberikan melalui latar belakang keturunannya. Sedangankan achieved status diperoleh dengan dasar kemampuan yang dimiliki seseorang.
Hendropuspito( 1989:105) menyebutkan bahwa status seseorang bergantung pada berikut:
1. Kelahiran
2. Unsur-unsur biologis
3. Harta kekayaan
4. Pekerjaan
5. Agama
Status tidak hanya mempunyai satu peran tunggal,tetapi sejumlah peran yang saling berhubungan dan cocok. Walaupun bukan status sosial,peranan sosial memberikan pengaruh dominan terhadap masyarakat dalam menentukan tempat seseorang .
Dengan kata lain peranan turut menentukan status;peranan dapat mengubah status,lebih tinggi ataupun lebih rendah , status tertentu memberikan warna dan rasa pada peranan yang dilaksanakan.
Strukturalisme : Kritik dan Perkembangannya
Claude Levi Strauss adalah tokoh dari teori strukturalisme, yang paling dikenal oleh Levi adalah pemikirannya dalam teori oposisi biner, teori ini mengupas masalah segitiga kuliner,yaitu kajian tentang makanan. Dalam teori Strukturalisme ada kelebihan dan kekurangan, kelebihan dari teori ini adalah menerapkan gagasan yang sebelumnya dituangkan dalam "pemikiran liar", sedangkan kekurangan dari teori ini adalah tidak mempertimbangkan masalah kekuasaan dalam menganalisis mitos-mitos. Strukturalisme memandang kebudayaan hanya sebuah abstraksi yang dapat aktif tanpa intervensi aktif dari manusia.
Kebudayaan adalah struktur yang sudah ada dan terbentuk di dalamnya.
Pendekatan "jaringan sosial" (social network), yang dianggap lebih mampu menjelaskan gejala sosial yang ada di masyarakat. Analisis jaringan social ini menekan pada analisis situasional, bahwa tindakan sosial, perilaku, dan sikap seorang manusia dianggap tidak bias lepas dari pengaruh lingkungannya. Keluhan yang dilontarkan mengenai analisis fungsional adalah analisis ini mempersoalkan mengenai pemeliharaan-diri system dan tidak dapat menjelaskan perubahan struktural. Jaringan atau jejaring (network) adalah struktur yang dibentuk dari simpul-simpul yang umumnya individu atau organisasi yang dijalin dengan satu atau lebih, jadi interaksi akan lebih sering dilakukan oleh individu (kelompok atau organisasi) dengan lainnya karena adanya kesamaan nilai atau norma. Roland Burt adalah seorang sosiolog jaringan yang member dukungan terhadap teori jaringan, analisis jaringan memandang hubungan individu, komunitas atau lembaga sebagai simpul dan ikatan. Simpul adalah aktor individu/lembaga di dalam jaringan, sedangkan ikatan adalah hubungan antara actor tersebut.
Topologi jaringan dapat dipetakan menjadi enam,yaitu :
1. Topologi bintang, merupakan bentuk topologi jaringan yang terpusat.
2. Topologi cincin, jaringan yang berbentuk rangkaian hubungan (node) yang saling terhubung secara berderet dan berurutan membentuk jalur melingkar seperti cincin.
3. Topologi bus, merupakan jaringan yang banyak digunakan pada masa node (struktur) cukup banyak, terutama untuk keperluan pendampingan dan pembinaan.
4. Topologi jala atau mesh, bentuk hubungan antar pesantren, yaitu terhubung secara langsung ke pesantren-pesantren lainnya yang ada di dalam jaringan.
5. Topologi pohon, kombinasi karekteristik antara topologi bintang dan topologi bus, topologi ini disebut juga sebagai topologi jaringan bertingkat, karena bisanya digunakan untuk interkoneksi pesantren antarsentral (pusat) dengan cabang-cabang hierarki (kekuasaan) yang berbeda.
6. Topologi runtut (linear topologi), biasa disebut dengan topologi bus runtut, karena topologi jaringan ini memiliki struktur umum.
Dari uraian teori diatas, dapat dilihat bahwa hal yang menjadi pembatas budaya adalah lingkungan, yaitu adanya penduduk yang heterogen. Terdapatnya penduduk yang memiliki latar belakang kelompok sosial yang berbeda-beda, misalnya ideologi, ras yang berbeda akan mudah menyulut terjadinya konflik. Terjadinya konflik ini akan dapat menjadi pendorong perubahan-perubahan sosial di dalam masyarakat.
Media dan Budaya
Moko Dalam Tradisi Masyarakat Alor
Pulau Alor di Provinsi Nusa Tenggara Timur dikenal sebagai Pulau Seribu Moko karena dalam Tradisi masyarakat Alor, Moko memiliki peranan yang penting. Bagi masyarakat Alor, kepemilikan terhadap jumlah dan jenis moko tertentu dapat menunjukkan status sosial seseorang.
Moko atau disebut nekara perunggu merupakan benda budaya zaman pra-sejarah. Menurut para ahli Arkeologi dan sejarah, teknologi pembuatan Moko Alor berasal dari teknologi perunggu di Dongson, Vietnam bagian Utara. Kemudian teknologi ini menyebar ke berbagai daerah di Asia Tenggara, termasuk ke pulau Alor. Secara fisik, moko berbentuk seperti drum dengan diameter 40 sentimeter hingga 60 sentimeter dan tinggi 80 sentimeter hingga 100 sentimeter dan memiliki bentuk yang beragam.
Pada umumnya Moko berbentuk lonjong seperti gendang kecil, namun ada pula yang berbentuk gendang besar. Pola hiasannyapun bermacam-macam tergantung jaman pembuatannya dan sangat mirip dengan benda-benda perunggu di Jawa pada jaman Majapahit. Dalam penggunaannya, Moko memiliki berbagai fungsi. Namun dahulu, Moko berfungsi sebagai alat musik tradisional yang digunakan pada waktu upacara adat dan acara kesenian lainnya. Biasanya alat musik gong dan Moko dimainkan untuk mengiringi tari-tarian tradisional. Selain sebagai alat musik tradisional, Moko juga berfungsi sebagai alat tukar ekonomi masyarakat Alor.
Moko dapat ditukar dengan barang tertentu secara barter. Hal inilah yang kemudian menyebabkan inflasi pada zaman pemerintahan kolonial Belanda sehingga Belanda membuat sistem baru dengan membatasi peredaran Moko di pulau Alor. Seiring perjalanan waktu, Moko mengalami perubahan fungsi. Saat ini, Moko berfungsi sebagai peralatan belis atau mas kawin serta sebagai simbol status sosial. Dalam adat- istiadat pernikahan masyarakat Alor, Moko digunakan sebagai alat pembayaran belis atau mas kawin seorang laki-laki kepada calon isterinya. Jika pihak keluarga pria tidak memiliki Moko, maka mereka harus meminjam moko kepada Tetua Adat. Peminjaman ini tidaklah gratis, karena pihak keluarga pria harus menggantinya dengan sejumlah uang yang cukup besar.
Memang harga satu buah Moko sangatlah bervariasi, bergantung dengan ukuran besar kecilnya Moko, tahun pembuatannya serta pola hiasnya. Namun bagi masyarakat Alor, moko tak bisa diukur dengan uang berapapun jumlahnya karena Moko mempunyai kedudukan dan nilai tersendiri dalam pergaulan sosial masyarakat Alor.
Memiliki beberapa jenis Moko tertentu menunjukan status sosial seseorang dalam masyarakat Alor, misalnya Moko Malei Tana atau Moko Itkira. Kepemilikan kedua Moko ini menunjukan status sosial yang cukup tinggi dan terpandang. Bahkan yang memiliki kedua Moko ini memiliki pengaruh dalam setiap kepemimpinan tradisional masyarakat Alor.
Hingga sekarang pun moko masih digunakan oleh masyarakat Alor sebagai belis atau mas kawin pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Karena itu moko pun dipercaya dapat mengikat pernikahan. Selain itu, nilai moko yang sangat tinggi membuat kepemilikan terhadap jumlah dan jenis moko tertentu dapat menunjukkan status sosial seseorang.
Menurut Cora Dubois, peneliti asing asal Swiss disebutkan ada empat fungsi moko,yaitu :
Moko sebagai simbol status sosial
Memiliki jumlah dan jenis Moko tertentu menunjukan status sosial seseorang dalam masyarakat. Misalnya Moko Malei Tana atau Moko Itkira. Kepemilikan Moko ini mempunyai status sosial yang cukup tinggi dan terpandang. Bahkan orang yang memiliki Moko ini dalam jumlah tertentu akan berpengaruh dalam setiap kepemimpinan tradisional.
Moko sebagai mahar atau mas kawin
Seorang pria yang hendak menikah menyerahkan sejumlah Moko kepada keluarga perempuan calon istri. Kaun bangsawan menggunakan Moko Malei Tana sebagai Mas Kawin. Orang biasa menggunakan Moko Malei Utangpei yang disebut delapan bobak.
Moko sebagai alat tukar ekonomi
Sejak dahulu orang Alor mengenal Moko sebagai alat tukar seperti uang. Dalam hal ini Moko dapat di tukar dengan barang tertentu secara barter. Hal inilah yang menyebabkan inflasi pada zaman pemerintahan kolonial Belanda sehingga Belanda membuat sistem baru dengan membatasi peredaran Moko.
Moko sebagai alat musik
Moko dapat menggantikan fungsi tambur yang terbuat dari kulit kayu dan kulit hewan. Alat musik Gong dan Moko biasa dimainkan untuk pengiring tari-tarian. Dalam perspektif orang Alor, Gong yang berbentuk plat dalam posisi telungkup adalah lambang kewanitaan. Sedangkan Moko berbentuk bulat dalam posisi berdiri adalah lambang kejantanan.